• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberadaan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Keberadaan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

1

A. Latar Belakang

Keberadaan manusia dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat dipisahkan dari lingkungan hidup di sekitarnya Peningkatan kualitas lingkungan hidup ditentukan oleh perilaku manusia yang memperbaiki dan memelihara aspek lingkungannya. Penurunan kualitas lingkungan hidup, sebaliknya merupakan dampak perilaku manusia yang mengabaikan dan merusak lingkungan. Peran dari perilaku peduli lingkungan menjadi penting dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Upaya pelestarian lingkungan hidup telah menjadi agenda nasional dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup telah mengamanatkan setiap warga negara Indonesia untuk berperan di dalam upaya tersebut (Undang-Undang, 2009). Piagam Bumi sebagai mandat internasional telah menghendaki segenap penduduk bumi mengelola alam dengan pendekatan pembangunan berkelanjutan (Stern, 1992; Vlek, 2000). Harapan tentang pembangunan berkelanjutan di Indonesia tersebut masih terkendala oleh pengelolaan lingkungan hidup yang belum optimal.

Pengelolaan kualitas lingkungan hidup yang kurang baik memunculkan permasalahan lingkungan misalnya : banjir, erosi, penebangan hutan secara liar, krisis energi, polusi udara, berkurangnya sumber mata air, penurunan kualitas hidup manusia, serta fenomena pemanasan global. Permasalahan mengenai krisis energi belum dapat mengimbangi peningkatan kebutuhan energi sekitar

(2)

5-6 % dan kebutuhan listrik sekitar 6-8 % per tahun (Jateng, 2011). Pertumbuhan industrialisasi turut memicu krisis energi. Berdasarkan kondisi tersebut, maka penghematan energi merupakan salah satu indikator perilaku peduli lingkungan yang penting untuk dilakukan.

Permasalahan lingkungan terkait kepadatan penduduk di Indonesia, misalnya pada tahun 2014, kepadatan mencapai 132 jiwa/km2, meningkat jika dibandingkan sensus tahun 2010 sebesar 124 jiwa/km2 (Statistik Indonesia, 2015). Sebagaimana dikemukakan oleh Keraf (2010) bahwa masalah lingkungan hidup terbesar di Indonesia saat ini meliputi kepadatan penduduk, pencemaran udara yang meningkat, seiring bertambahnya konsumsi bahan bakar minyak, juga diperparah oleh penyusutan ruang terbuka hijau. Keberadaan ruang terbuka hijau dan vegetasi tersebut sangat penting sebagai pasokan oksigen, tempat resapan air dan penyangga sistem drainase alami tanah. Apabila ruang terbuka hijau semakin berkurang karena tertutup dengan bangunan yang tidak memenuhi baku mutu yang ramah lingkungan, maka akan muncul permasalahan lingkungan terkait banjir, menipisnya pasokan air tanah dan cadangan oksigen. Kondisi tersebut menunjukkan betapa penting perilaku menanam kembali dan peduli memelihara tanaman di ruang terbuka hijau.

Kualitas lingkungan terkait dengan kualitas hidup manusia untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan (Soemarwoto, 2009). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia telah melaporkan tentang Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) tahun 2011-2014 (2015). IKLH tersebut sebagai indikator untuk melihat kualitas lingkungan dalam pembangunan berkelanjutan. Indeks kualitas lingkungan hidup tersebut diukur berdasarkan indikator dan target (baku mutu) kualitas air, kualitas udara, dan luas tutupan kawasan hutan (Tabel 1.).

(3)

Indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia (2015) di beberapa pulau di Indonesia secara umum mengalami penurunan selama periode tahun 2011-2014, meskipun ada kenaikan tipis di tahun 2014. Data pada Tabel 1. menunjukkan bahwa nilai indeks kualitas lingkungan hidup di Indonesia masih kurang dari 66 (kurang baik), dan belum di atas 74 (baik). Hal ini menunjukkan masih perlu upaya lebih baik dalam meningkatkan kualitas lingkungan hidup di Indonesia.

Tabel 1.

Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) Nasional

(Indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia tahun 2014, 2015) Tahun Indek Kualitas Lingkungan Hidup Nasional

2011 65,76

2012 63,96

2013 63,20

2014 63,42

Permasalahan lingkungan hidup tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan berdampak pada kualitas lingkungan ditandai dengan anomali iklim dan panas bumi yang ekstrim (Swim, Clayton, & Howard, 2011). Permasalahan lingkungan hidup berkaitan dengan perilaku manusia terhadap lingkungannya (Soemarwoto, 2009; Keraf, 2010), diantaranya adalah perilaku yang merusak dan tidak peduli lingkungan. Kualitas lingkungan dapat terjaga dengan baik apabila manusia masih dapat memperbaiki dan menjaga lingkungan.

Perilaku menjaga dan mencegah kerusakan lingkungan adalah inti mitigasi lingkungan. Topik ini menarik karena mitigasi lingkungan telah menjadi salah satu fokus pengembangan penelitian psikologi terkini sebagai wujud kontribusi psikologi dalam mengurangi efek rumah kaca dan menghadapi perubahan iklim (Swim, Clayton, & Howard, 2011). Tantangan psikologi sebagai ilmu perilaku adalah mengembalikan fokus pada perilaku manusia yang siap

(4)

dalam pembangunan lingkungan berkelanjutan (Oskamp, 2000; Howard, 2000). Sebagaimana dinyatakan dalam beberapa artikel ilmiah (Howard, 2000; McKenzie-Mohr, 2000; Oskamp, 2000; Stern, 2000; Winter, 2000), bahwa kontribusi psikologi sangat penting dalam membina elemen masyarakat untuk memiliki karakter psikologis peduli lingkungan. Berdasarkan penjelasan tersebut disimpulkan bahwa meningkatkan indeks kualitas lingkungan hidup Indonesia dapat dilakukan dengan membentuk pola perilaku masyarakat yang lebih peduli lingkungan. Harapan ini masih terkendala oleh lemahnya akuntabilitas perilaku peduli lingkungan di masyarakat.

Pemetaan Kementerian Lingkungan Hidup selama Oktober-Desember tahun 2012 di 12 provinsi dan 24 kabupaten/kota menunjukkan indeks perilaku peduli lingkungan publik masih rendah, yaitu 0,57 dari angka nilai indeks 1 (Executive summary, 2013). Indikator perilaku peduli lingkungan yang diukur dalam survei tersebut adalah pemanfaatan listrik, perilaku membuang sampah, pemanfaatan air, bahan bakar dan pemanfaatan barang daur ulang. Fakta tentang indeks perilaku peduli lingkungan pada masyarakat Indonesia yang masih rendah, melatar belakangi penelitian tentang determinan perilaku peduli lingkungan ini dilakukan.

Penelitian tentang perilaku peduli lingkungan dan pengaruh faktor pembentuknya pada mahasiswa masih terbatas di Indonesia. Topik ini menarik untuk ditelaah lebih jauh karena mahasiswa sebagai agen perubah dan calon pemimpin di masa mendatang. Mahasiswa mencerminkan kelompok terdidik yang diasumsikan telah memiliki literasi lingkungan hidup yang memadai. Beberapa kampus di Indonesia telah menetapkan visi sebagai kampus yang berwawasan lingkungan sehingga mahasiswa dituntut secara aktif terlibat dalam aktivitas peduli lingkungan terutama di sekitar kampus.

(5)

Kehidupan kampus dan mahasiswa sebagai satu kesatuan yang tak terpisahkan. Mahasiswa dan kesehariannya di kampus, maupun di kost atau di asrama diambil sebagai konteks penelitian karena menurut peneliti lingkungan tersebut sebagai wahana menerapkan kebijakan dalam hal pemeliharaan lingkungan hidup. Pola perilaku peduli lingkungan yang telah terbentuk di kampus menurut Toor dan Havlick (2004) akan memengaruhi perilaku peduli lingkungan mahasiswa di masa mendatang.

Latar belakang mahasiswa yang berbeda-beda dari seluruh wilayah di Indonesia, mencerminkan budaya yang beraneka ragam. Sebagian besar mahasiswa menuntut ilmu di perguruan tinggi di daerah perkotaan yang bukan daerah asal mereka. Mahasiswa pendatang dari daerah lain sebagian besar tinggal di tempat kost atau asrama di sekitar kampus. Kota-kota dengan konsentrasi mahasiswa yang besar dari berbagai daerah di Indonesia, seperti halnya Malang, Surabaya, dan Yogyakarta memiliki ragam permasalahan lingkungan sendiri.

Kota Surabaya sebagai kota metropolis kedua di Indonesia setelah Jakarta dan kota terbesar di Jawa Timur. Karakteristik kota Surabaya yang majemuk, menggambarkan warga yang dinamis dan lebih pragmatis dalam berinteraksi dengan lingkungan berpotensi sebagai kota yang dapat dipilih sebagai lokasi penelitian. Surabaya sebagai kota besar yang berisiko mengalami kerusakan lingkungan karena kegiatan bisnis dan ekonomi yang terus berkembang pesat. Sisi lain dapat dilihat dari geliat kebijakan pemerintah kota Surabaya dan pengelolaan lingkungan perkotaan saat ini relatif terstruktur dan menunjukkan implementasi yang positif. Kebijakan baik dari pemerintah belum selalui diiringi dengan kesadaran tentang pentingnya melestarikan lingkungan, sehingga masih diperlukan edukasi peduli lingkungan kepada masyarakat.

(6)

Kota Yogyakarta dipilih sebagai salah satu kota objek penelitian mengingat adanya keunikan Yogyakarta yang tidak ditemui di kota lain di Indonesia. Sebagian masyarakat masih memegang nilai dan norma budaya timur, sangat kontradiktif dengan realitas bahwa Yogyakarta saat ini dihuni oleh masyarakat urban dengan beragamnya suku dan budaya, khususnya komunitas mahasiswanya. Perbedaan dimensi multikultur tentu saja akan berpengaruh pada perbedaan perilaku, termasuk perbedaan perilaku peduli lingkungan.

Peningkatan jumlah mahasiswa pendatang dari tahun ke tahun, menambah padat konsentrasi hunian di Yogyakarta. Hal ini menambah faktor risiko permasalahan kepadatan penduduk dan perubahan daya dukung konsumsi, tempat tinggal, dan transportasi. Peningkatan jumlah penduduk pendatang akan menyebabkan meningkatnya jumlah sampah yang dihasilkan. Jumlah sampah di Kota Yogyakarta meningkat rata-rata 11,53% per tahun (Profil kebersihan lingkungan kota Yogyakarta, 2008), atau rata-rata pertumbuhan jumlah sampah melebihi pertumbuhan jumlah penduduk.

Kota Malang sebagai salah satu kota yang dipilih untuk lokasi penelitian, karena kota ini sebelumnya dikenal sebagai kota yang bersih dengan potensi alam dan tata kota yang baik. Sisi lain kota Malang kini berada dalam masa transisi kerusakan lingkungan sebagai dampak dari perubahan pola perilaku masyarakat terhadap lingkungan. Implementasi pengembangan kota kurang berpihak pada lingkungan dan melenceng dari rencana tata ruang kota sebelumnya.

Beberapa hasil penelitian berikut menunjukkan adanya permasalahan empirik terkait perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa, terutama di kota Jakarta, Malang, Surabaya dan Yogyakarta. Mahasiswa di Surabaya tergolong boros dalam hal menggunakan kertas, air, dan listrik, serta kurang baik dalam

(7)

pengelolaan sampah (Giovanni, 2014). Penelitian Kumurur (2008) melaporkan bahwa kepedulian lingkungan mahasiswa Jakarta relatif rendah. Intensi perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa kota Malang relatif sedang (Rahmawati, 2015a).

Hasil penelitian Yuliantri dan Yusuf (2007) menyatakan bahwa sikap positif peduli lingkungan yang dimiliki mahasiswa di Yogyakarta tidak selalu diikuti oleh tindakan peduli lingkungan dan peduli sosial secara nyata. Tingkat kepedulian lingkungan dan tanggung jawab sosial relatif rendah berkisar 41%. Hanya sebesar 38% saja yang melaporkan jika melihat sampah tidak pada tempatnya, mereka akan mengambil dan memasukkannya di tempat sampah. Hasil berbeda dari penelitian Kiswanto dan Pitoyo (2016) justru melaporkan indeks perilaku peduli lingkungan masyarakat Yogyakarta tahun 2015 termasuk kategori cukup baik, yaitu 0,62 (dari nilai indeks 1). Catatan dari sub-indeks perilaku penggunaan bahan bakar mencapai 0,54 yang termasuk cukup tinggi. Hal ini dikarenakan sebagian besar penduduk memiliki kendaraan bermotor.

Menurut hasil kajian risiko dan adaptasi perubahan iklim (2012) oleh Kementerian Lingkungan Hidup, diperoleh data bahwa potensi risiko permasalahan lingkungan di kota Malang cukup tinggi, terutama menurunnya ketersediaan sumber air bersih, banjir, dan tanah longsor. Potensi risiko lain dikemukakan oleh Andriono, Hanafi, Yanuwiadi, dan Soemarno (2013) yang mencatat adanya kecenderungan peningkatan emisi karbon selama periode tahun 2010 di kota Malang. Hal ini dikarenakan peningkatan volume kendaraan, konsumsi bahan bakar serta residu yang mengandung karbon.

Berdasarkan beberapa temuan penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa ada perbedaan hasil temuan terkait dengan perilaku peduli lingkungan di tiga kota yaitu Malang, Surabaya, dan Yogyakarta. Wawasan mahasiswa tentang

(8)

lingkungan hidup sudah cukup memadai, akan tetapi belum diimbangi tindakan nyata yang menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Oleh karena itu permasalahan perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa di kota Yogyakarta, Malang, dan Surabaya tersebut merupakan hal yang menarik peneliti untuk mengkajinya lebih lanjut, terutama tentang faktor-faktor yang membentuknya. Apabila telah diketahui faktor pembentuk perilaku peduli lingkungan, maka rencana promosi perilaku pada mahasiswa di masa mendatang diharapkan lebih optimal.

Konstruk perilaku peduli lingkungan pada tingkat individu telah banyak dibangun oleh peneliti-peneliti sebelumnya dengan penamaan yang berbeda-beda, meskipun sebenarnya memiliki pengertian yang hampir sama. Beberapa definisi yang diberikan oleh para ahli terkait dengan perilaku peduli lingkungan atau pro-environmental behavior antara lain : perilaku yang berhubungan dengan penjagaan lingkungan (Scott & Willits, 1994), perilaku yang berkontribusi pada pelestarian lingkungan atau konservasi (Axelrod & Lehman, 1993), perilaku yang mengurangi dampak buruk pada lingkungan, atau tindakan yang menguntungkan bagi penjagaan lingkungan hidup (Steg & Vlek, 2009).

Dimensi-dimensi keperilakuan menurut general ecological behavior memiliki enam aspek (Kaiser, Doka, Hofstetter, & Ranney, 2003), yaitu : efisiensi energi, mobilitas dan transportasi ramah lingkungan, perilaku menolak /meminimalisasi sampah, perilaku pembelian/consumerism produk ramah lingkungan, perilaku daur ulang dan perilaku sosial yang peduli lingkungan. Dimensi perilaku peduli lingkungan yang ditelaah dalam penelitian ini adalah ukuran perilaku peduli lingkungan secara umum seperti yang dikemukakan oleh Kaiser, Doka, Hofstetter, dan Ranney (2003) tersebut. Tinjauan dimensi ukur perilaku peduli lingkungan secara umum ini terdiri dari bermacam-macam jenis

(9)

perilaku peduli lingkungan dan tidak dibatasi pada satu jenis perilaku peduli lingkungan tertentu saja. Sifat objektif diutamakan dalam pengukuran perilaku peduli lingkungan terkait dengan tindakan aktual yang telah dilakukan individu, sehingga perlu pengamatan oleh orang lain.

Penelitian tentang perilaku peduli lingkungan menunjukkan hasil yang beragam. Ada latar belakang psikologis tertentu yang mendasari individu melakukan perilaku peduli lingkungan. Beberapa penelitian hanya menjelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku peduli lingkungan dari satu kerangka tertentu. Beberapa penelitian yang lain menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membentuk perilaku peduli lingkungan seseorang dapat dijelaskan menurut kerangka rasional dan moral (Steg & Vlek, 2009 ; Turaga, Howard, & Borsuk, 2010), atau faktor pengaruh internal dan eksternal (Clark, Kotchen, & Moore, 2003).

Teori yang potensial dan progresif sebagai perspektif teori penelitian dalam domain perilaku peduli lingkungan adalah teori perilaku terencana dan teori aktivasi norma (Bamberg & Moser, 2007). Teori perilaku terencana mewakili kerangka rasional dalam berperilaku dan teori aktivasi norma mewakili kerangka moral dalam berperilaku.

Perilaku secara umum dipahami dari sudut pandang rasional seperti dikemukakan oleh Ajzen (1991) melalui teori perilaku terencana atau theory of planned behavior. Asumsi bahwa perilaku dilakukan berdasarkan pertimbangan rasional untuk memperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi individu dengan usaha yang sekecil-kecilnya. Teori perilaku terencana telah dapat menjelaskan dengan baik beberapa jenis perilaku peduli lingkungan diantaranya adalah : pemilihan jenis berkendara (Verplanken, Aarts, Van Knippenberg, & Moonen, 1998; Harland, Staats, & Wilke, 1999; Heath & Gifford, 2002; Bamberg & Schmidt,

(10)

2003), daur ulang sampah skala rumah tangga (Kaiser & Gutscher, 2003), pembuatan kompos (Taylor, & Todd, 1995; Mannetti, Pierro, & Livi, 2004), pembelian lampu hemat energi, pemakaian kertas tanpa pemutih, penghematan air, pola konsumsi daging (Harland, Staats, & Wilke, 1999), dan perilaku peduli lingkungan secara umum / general ecological behavior (Kaiser, Ranney, Hartig, & Bowler, 1999).

Pendekatan rasional memandang perilaku terbentuk akibat kekuatan niat yang direncanakan dan keyakinan serta pemahaman individu atas hasil dari sebuah perilaku. Ajzen (1991) sebagaimana dalam teori perilaku terencana menyatakan bahwa intensi atau niat berperilaku dipengaruhi oleh variabel sikap (attitude), norma subjektif (subjective norm), dan kendali perilaku yang dipersepsi (perceived behavioral control). Peran dari variabel mediasi yaitu intensi perilaku sebagai kekuatan niat berperilaku diperlukan untuk menjelaskan lebih baik berkaitan perilaku peduli lingkungan yang dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap, persepsi tentang perilaku (Lee & Chang, 2012).

Beberapa penelitian menunjukkan pola yang serupa, yaitu menempatkan intensi peduli lingkungan sebagai variabel mediator yang berpengaruh terhadap perilaku peduli lingkungan. Dasar pemikiran yang diacu adalah bahwa intensi merupakan faktor utama yang harus ada dan paling dekat keberadaaanya dengan perilaku peduli lingkungan. Telaah tentang motif rasional menurut teori perilaku terencana tersebut memperkuat pemahaman peneliti bahwa kerangka rasional merupakan salah satu sudut pandang yang dapat menjelaskan faktor yang membentuk perilaku peduli lingkungan.

Teori perilaku terencana menyatakan bahwa perilaku dipengaruhi oleh harapan rasional atas konsekuensi perilaku yang akan diperoleh. Motif rasional didorong adanya nilai keuntungan material maupun pemenuhan kebutuhan

(11)

pribadi, sehingga faktor pembentuk perilaku memiliki konten rasional tersebut. Model teori perilaku terencana telah terbukti berkinerja dengan baik, namun ada indikasi bahwa model tersebut membutuhkan ekstensi untuk mewakili komplesitas masalah perilaku. Kritik atas hal ini adalah tidak semua perilaku memiliki faktor-faktor pertimbangan yang sepenuhnya rasional. Masalah muncul ketika ada dilema moral yang terlibat dalam pengambilan keputusan berperilaku peduli lingkungan. Misalnya, individu dihadapkan pada dilema adanya beban pengeluaran uang lebih besar bila membeli produk organik ramah lingkungan yang rata-rata berharga lebih mahal dibandingkan produk non organik, di sisi lain individu merasa bersalah apabila membeli produk yang mengandung pestisida karena merusak lingkungan. Kondisi seperti ini belum dapat terjelaskan dengan baik apabila faktor-faktor pembentuk perilaku dilihat dari sudut pandang rasional semata.

Faktor-faktor pembentuk perilaku peduli lingkungan yang lain dapat dikelompokkan menurut sudut pandang moral. Pertimbangan moral dan nilai altruistik menurut Schwartz (1994), Stern (2000), serta Steg, De Groot, Dreijerink, Abrahamse, dan Siero (2011) mendasari perilaku individu. Perilaku peduli lingkungan bertujuan melindungi lingkungan atas dasar pertimbangan moral yang dirasakan individu, dan tidak semata didorong oleh pertimbangan keuntungan material.

Beberapa ahli psikologi menyatakan bahwa kerangka moral, seperti motif altruism (peduli sesama) maupun biosferik (peduli lingkungan alam) dapat diterima untuk menjelaskan faktor-faktor motivasional perilaku peduli lingkungan. Hal ini diperkuat oleh temuan penelitian tentang kerangka moral sebagai faktor yang berperan dalam perilaku peduli lingkungan. Faktor moral yang mengemuka adalah ketaatan moral individu terhadap aturan sehingga berpengaruh besar

(12)

terhadap pilihan perilaku yang seharusnya dilakukan dalam upaya pelestarian lingkungan (Wall, Devine-Wright, & Mill, 2007; Steg & Groot, 2010). Penelitian Lindenberg dan Steg (2007), Steg dan Vlek (2009), serta Liebe (2010), telah membuktikan bahwa perspektif moral dapat diterima untuk menjelaskan perilaku peduli lingkungan. Salah satu faktor yang dapat dimasukkan dalam kerangka moral berperilaku adalah norma personal. Keberadaan norma personal pada diri seseorang akan membuat seseorang merasa bersalah jika tidak melakukan perilaku yang dibenarkan menurut norma masyarakat (Hopper & Nielsen, 1991; Davies, Foxall, & Pallister 2002; Tang, Luo, & Xiao, 2011), dan menimbulkan rasa tanggung jawab untuk melakukan perilaku tertentu untuk menghindari timbulnya konsekuensi yang tidak diiinginkan (Schwartz, 1992). Oleh karena itu, perasaan ketaatan seseorang bahwa perilaku peduli lingkungan sebagai tindakan benar secara moral, akan mendorong semakin besarnya intensi atau niat individu melakukan perilaku peduli lingkungan.

Temuan tentang keterkaitan norma personal dengan intensi perilaku peduli lingkungan ini secara bermakna mempertegas bahwa kewajiban moral yang dirasakan individu berpengaruh positif terhadap niat (Harland, Staats, & Wilke, 1999; Chu, & Chiu, 2003; Bamberg & Moser, 2007; Liebe, 2010; Bamberg, Fujii, Friman, & Garling, 2011; Huijts, Molin & Steg, 2012). Ketika niat atau kemauan semakin kuat, maka dimungkinkan perilaku peduli lingkungan semakin nyata dilakukan di kemudian hari. Atas dasar tersebut maka norma personal dalam penelitian ini merupakan prediktor yang berhubungan secara langsung dengan intensi perilaku peduli lingkungan.

Teori aktivasi norma memiliki kerangka moral yang kuat, namun kurang mampu menjelaskan kompleksitas kognisi serta mengantisipasi hadirnya motif self-interest maupun harapan rasional lain dalam pengambilan keputusan

(13)

berperilaku. Oleh karena itu teori aktivasi norma memiliki kelemahan karena belum dapat mewadahi faktor-faktor penentu perilaku dari kerangka rasional tersebut. Kedua faktor baik rasional maupun moral perlu diposisikan secara simultan sebagai faktor-faktor yang bekerja dengan baik dalam menjelaskan perilaku peduli lingkungan (Steg, & Vlek, 2009; Turaga, Howard, & Borsuk, 2010). Realita perilaku dalam kehidupan sehari-hari tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh faktor rasional semata, atau juga faktor moral semata (Steg, & Vlek, 2009; Turaga, Howard, & Borsuk, 2010).

Teori perilaku terencana membuka peluang untuk memasukkan salah satu faktor moral yaitu norma personal ke dalam model teori perilaku terencana, agar kerangka rasional dan moral dapat terwakili. Peluang tersebut justru dikemukakan sendiri oleh penemunya, yaitu Ajzen (1991, 2005b), yang menyampaikan teori perilaku terencana masih terbuka untuk dikembangkan lebih lanjut dengan menambahkan prediktor baru dalam tujuan meningkatkan kekuatan intensi perilaku. Salah satu prediktor yang potensial dari sudut pandang moral menurut Ajzen (2005b) adalah norma personal.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan temuan yang meyakinkan tentang sumbangan faktor rasional dan moral dalam menjelaskan perilaku peduli lingkungan. Penelitian Bamberg dan Moser (2007); Harland, Staats, dan Wilke (2007); maupun Osbaldiston dan Schott (2012), mendukung model perilaku peduli lingkungan yang menggabungkan faktor rasional dan moral tersebut. Sebaliknya, beberapa temuan penelitian lain memiliki hasil berlawanan dengan temuan tersebut. Penelitian Bamberg dan Schmidt (2003) serta Oom Do Valle, Rebelo, Reis, dan Menezes (2005) menyimpulkan bahwa faktor rasional dan moral kurang dapat menjelaskan perilaku peduli lingkungan dengan baik. Kesimpulan dari temuan penelitian tersebut adalah masih ada perbedaan hasil

(14)

tentang pengaruh faktor-faktor rasional dan moral terhadap perilaku peduli lingkungan.

Temuan penelitian yang berbeda-beda dan hasil yang belum konsisten tersebut menyisakan permasalahan teoretis, bahwa belum ada konsepsi yang kuat tentang pengaruh faktor-faktor rasional dan moral terhadap perilaku peduli lingkungan khususnya di Indonesia. Permasalahan teoretis tersebut melatar belakangi peneliti untuk menelaah lebih lanjut mengenai pengaruh faktor-faktor dari sudut pandang rasional dan moral terhadap perilaku peduli lingkungan. Model teori perilaku peduli lingkungan dalam penelitian disertasi ini dibentuk dari gabungan faktor-faktor rasional dan moral.

Pertimbangan moral dan rasional individu yang telah matang merupakan landasan dalam berperilaku, termasuk dalam hal ini perilaku peduli lingkungan. Berdasarkan tinjauan perkembangan, pada tahap operasional formal ini (Hurlock, 1999) remaja akhir telah memiliki kemampuan kognitif rasional yang baik khususnya dalam pengambilan keputusan berperilaku. Tahap remaja akhir juga disebut tahap paska konvensional penalaran moral. Karakteristik kematangan moral remaja pada tahap ini dilihat dari pertimbangan pilihan perilaku (Kohlberg, 1984). Konteks perkembangan tersebut relevan ketika dihubungkan dengan perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa. Pertimbangan berperilaku yang dilandasi oleh kerangka rasional dan moral menurut peneliti telah sesuai untuk menjelaskan faktor-faktor penentu atau determinan perilaku dalam konteks mahasiswa. Pertimbangan ini sebagai salah satu yang melatar belakangi peneliti untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor penentu dari kerangka rasional dan moral terhadap perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa.

Berdasarkan telaah literatur maka dapat disimpulkan kerangka faktor rasional dan moral secara bersama merupakan determinan perilaku peduli

(15)

lingkungan. Kesimpulan dari pemetaan hasil penelitian sebelumnya diperoleh faktor-faktor relevan dan prioritas yang menentukan dalam pembentukan perilaku peduli lingkungan. Adapun faktor-faktor dalam kerangka rasional adalah intensi, sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dipersepsi terkait dengan perilaku peduli lingkungan. Faktor yang termasuk dalam kerangka moral adalah norma personal terkait perilaku peduli lingkungan. Keempat faktor rasional dan moral yaitu sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi, dan norma personal berkedudukan sebagai prediktor. Intensi perilaku peduli lingkungan merupakan variabel yang berada diantara keempat prediktor tersebut dengan variabel kriterion, yaitu perilaku peduli lingkungan. Model perilaku peduli lingkungan yang diajukan dalam penelitian ini menggambarkan keterkaitan secara langsung antara prediktor dengan intensi, dan intensi merupakan faktor utama yang berhubungan secara langsung dengan perilaku peduli lingkungan.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka permasalahan yang ditelaah dalam disertasi ini adalah tentang pengaruh faktor-faktor penentu dalam kerangka rasional dan moral terhadap perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa. Apakah ada pengaruh positif sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi, norma personal, dan intensi terhadap perilaku peduli lingkungan. Maka peneliti mengajukan judul penelitian yaitu : “Determinan Perilaku Peduli Lingkungan”.

B. Rumusan Permasalahan

Fakta-fakta penelitian memberikan gambaran bahwa dampak kerusakan lingkungan berkaitan dengan perilaku manusia yang tidak peduli lingkungan. Kelestarian lingkungan sebaliknya merupakan konsekuensi positif dari perilaku

(16)

manusia yang peduli lingkungan. Perilaku peduli lingkungan menjadi perhatian utama dalam studi psikologi lingkungan, oleh karena pengaruhnya yang penting dalam menjaga kualitas lingkungan dan kualitas kehidupan manusia. Meskipun demikian, sampai sekarang di Indonesia konsep perilaku peduli lingkungan serta faktor-faktor apa saja yang memengaruhinya masih dalam pengembangan.

Mahasiswa sebagai generasi penerus memiliki nilai strategis yang berperan dalam mengelola mutu lingkungan hidup di masa mendatang. Sebagian mahasiswa telah turut dalam tindakan peduli lingkungan, namun sebagian yang lain masih abai dengan permasalahan isu-isu lingkungan dan kurang terlibat secara nyata dalam tindakan peduli lingkungan. Fakta tersebut merupakan sesuatu yang menarik untuk diteliti lebih jauh, karena masih ada permasalahan empiris yang menyisakan kesenjangan potensi dan optimalisasi perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa. Oleh karena itu penelitian tentang pengaruh faktor-faktor penentu terhadap perilaku peduli lingkungan menjadi perlu dilakukan, mengingat temuan penelitian dapat dimanfaatkan sebagai bahan pertimbangan promosi perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa.

Berdasarkan telaah literatur, peneliti berpendapat bahwa proses pembentukan perilaku peduli lingkungan sebagian besar melibatkan faktor rasional dan faktor moral individu. Permasalahan teoretis muncul karena belum ada konsepsi yang kuat tentang perilaku peduli lingkungan dari faktor rasional dan moral. Penelitian sebelumnya yang menguji secara sendiri-sendiri pendekatan rasional dan pendekatan moral, masih menyisakan persoalan apabila dihadapkan pada kompleksitas perilaku.

Temuan sebelumnya juga menunjukkan bahwa perilaku peduli lingkungan secara umum tidak selalu didorong oleh motif rasional semata maupun motif moral semata. Alasan ini juga sesuai dengan Steg dan Vlek (2009), serta Turaga,

(17)

Howard, dan Borsuk (2010) yang menyatakan bahwa kerangka faktor rasional dan moral secara bersama merupakan determinan yang mempengaruhi perilaku peduli lingkungan dan keduanya saling berkonvergensi. Oleh karena itu diperlukan pendekatan alternatif yang memunculkan kerangka rasional dan moral secara bersama untuk menjelaskan faktor-faktor yang memengaruhi perilaku peduli lingkungan.

Permasalahan empiris dan teoretis ada sebelumnya adalah yang melatar belakangi mengapa penelitian disertasi ini dilakukan. Apabila faktor-faktor yang memengaruhi perilaku peduli lingkungan dalam kerangka rasional adalah : intensi, sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dipersepsi mengenai perilaku peduli lingkungan, dan faktor dalam kerangka moral adalah norma personal. Berdasarkan kajian literatur dan hasil penelitian sebelumnya, muncul pertanyaan tentang pengaruh faktor-faktor penentu atau determinan perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa dari kerangka rasional dan moral. Maka rumusan permasalahan penelitian ini adalah : apakah ada pengaruh positif sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi, norma personal, dan intensi terhadap perilaku peduli lingkungan ?

C. Tujuan dan Manfaat

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ada pengaruh positif sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi, norma personal, dan intensi yang terkait perilaku peduli lingkungan terhadap perilaku peduli lingkungan. Keterkaitan antar variabel dalam penelitian ini dibangun dalam suatu model teoretik perilaku peduli lingkungan.

(18)

Manfaat secara teoretis dari penelitian ini adalah diperoleh bukti tentang keberadaaan pengaruh positif dari sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi, norma personal, dan intensi terhadap perilaku peduli lingkungan. Upaya yang dilakukan adalah berusaha memahami perilaku peduli lingkungan mahasiswa yang dibingkai oleh kerangka rasional maupun moral. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan temuan yang dapat menjelaskan tentang pengaruh determinan perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa melalui model teoretik perilaku peduli lingkungan.

Manfaat secara praktis dari temuan penelitian ini adalah diperoleh informasi untuk menyusun promosi perilaku peduli lingkungan. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan bagi mahasiswa, pendidik, praktisi psikologi, dan pegiat lingkungan hidup dalam mengembangkan faktor-faktor psikologis seperti intensi perilaku peduli lingkungan, sikap terhadap perilaku peduli lingkungan, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi dan norma personal untuk promosi perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa.

D. Keaslian

Nilai-nilai utama yang dimiliki masyarakat Indonesia mendasari sikap dan perilaku sebagian masyarakat Indonesia yang harmonis, toleransi, gotong-royong dan relijius (Sarwono, 1998). Budaya kolektif menjadi ciri khas masyarakat Indonesia (Hofstede & Hofstede, 2005). Inti dari perilaku masyarakat Indonesia lebih berorientasi keharmonisan dengan orang lain serta lingkungan di sekitarnya, dibandingkan nilai fungsional perilaku tersebut. Hal ini menegaskan bahwa pengaruh kolektivisme dan tekanan sosial mempengaruhi kecenderungan

(19)

berperilaku masyarakat di Indonesia. Maka faktor norma subjektif dalam hal ini perlu dipertimbangkan kehadirannya sebagai prediktor perilaku peduli lingkungan.

Indikator perilaku peduli lingkungan yang memiliki keunikan dimensi budaya Indonesia antara lain disampaikan dalam penelitian Dalem (2007) tentang kearifan lokal masyarakat Bali dalam berperilaku peduli lingkungan yaitu awig-awig yang masih ditaati oleh seluruh warga dalam menjaga kelestarian sumberdaya kelautan. Papua memiliki kepercayaan “te aro neweak lako” (alam adalah ibu), memandang alam sebagai ibu dari setiap individu, sehingga memperlakukan alam dengan hormat. Tradisi bersih desa sebagai sebagai kegiatan bersama di masyarakat Jawa yang memandang menyatunya manusia dengan alam dalam menjaga kebersihan lingkungan dan fasilitas umum. Masyarakat Jawa memiliki peribahasa : “ojo dumeh, ojo adigang-adigung adiguna”, bahwa setiap individu perlu rendah hati, berbudi penuh rasa hormat pada siapapun. Hamemayu Hayuning Bawono sebagai salah satu sifat pemimpin yang memiliki sikap dan pandangan yang berani yang melindungi keselarasan tatanan sesama dan lingkungan dalam setiap situasi (Sartini, 2009). Beberapa temuan tersebut menunjukkan bahwa konteks perilaku peduli lingkungan pada masyarakat di Indonesia dapat dilihat dari sudut pandang moral atau etika lingkungan.

Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih banyak menyoroti perilaku peduli lingkungan secara khusus antara lain : pengelolaan terumbu karang berbasis masyarakat (Panjaitan, 2007), persepsi dan perilaku masyarakat dalam pelestarian hutan sebagai resapan air (Umar, 2009), pengaruh kearifan lokal memiliki makna terhadap kecenderungan berperilaku ekologis masyarakat Dayak Benuaq (Rahmawati, 2015b), dan perilaku pengelolaan sampah pada siswa sekolah dasar berdasarkan model theory of

(20)

planned behavior (Gusti, Isyandi, Bahri, & Afandi, 2015). Intensi membeli kosmetik organik sebagai intensi perilaku peduli lingkungan secara khusus, telah diteliti oleh Eriyani dan Wiyono (2012) dalam konteks perilaku konsumsi hijau pada mahasiswa. Berbeda dengan beberapa penelitian tersebut, pada penelitian disertasi ini dimensi keperilakuan peduli lingkungan bersifat lebih umum.

Masalah pengukuran perilaku peduli lingkungan diungkap oleh Markle (2013), tentang lemahnya konsistensi dari dimensi keperilakuan terkait peduli lingkungan yang bermacam-macam. Markle (2013) juga menambahkan bahwa validasi pengukuran perilaku peduli lingkungan sangat penting dilakukan terlebih dahulu untuk disesuaikan dengan konteks penelitian. Pengukuran perilaku peduli lingkungan yang telah ada sebelumnya dari luar Indonesia, menurut peneliti kurang relevan untuk diadaptasi pada konteks masyarakat di Jawa, Indonesia. Beberapa kontennya tidak dapat diterapkan di Indonesia terkait perbedaan iklim dan fasilitas misalnya tentang pemakaian pemanas ruangan dan sistem transportasi umum. Sebagian besar pengukuran perilaku peduli lingkungan yang ada meliputi indikator keperilakuan dalam lingkup kehidupan rumah tangga, yang berbeda dengan mahasiswa. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian disertasi ini, konstruk pengukuran perilaku peduli lingkungan dikembangkan dari hasil kajian teori, Hasil studi pendahuluan (Rahmawati, 2013) digunakan sebagai pertimbangan menyusun redaksional aitem skala yang sesuai dengan konteks subjek penelitian.

Literatur yang ada dan telah mapan menawarkan dua teori yang penting dan saling bersaing, yaitu teori perilaku terencana dengan teori aktivasi norma. Teori perilaku terencana memprediksi bahwa perilaku ditentukan oleh intensi perilaku yang dipengaruhi oleh tiga prediktor. Prediktor intensi yaitu sikap, norma subjektif dan kendali perilaku yang dipersesikan individu. Oleh karena itu perilaku

(21)

seseorang digerakkan dan berangkat dari motif volitional atau intensi yang direncanakan untuk dilakukan oleh individu. Motif self- interest dan rasional lebih berperan dalam mendorong perilaku tersebut, sehingga dalam teori perilaku terencana, motif non-rasional yang lebih bersifat altruistik belum dapat sepenuhnya dipenuhi.

Teori aktivasi norma menyatakan bahwa perilaku peduli mengikuti norma personal yang dimiliki, dan norma personal ini didorong oleh kesadaran atas konsekuensi perilaku (awareness of consequences) dan penerimaan tanggung jawab (ascription of responsibility). Dorongan altruistik dan tanggung jawab moral secara pribadi, kepedulian pada sesama adalah fokus dari teori aktivasi norma. Penekanan teori aktivasi norma adalah pada bagaimana perilaku dapat memberikan manfaat dan akibat positif bagi orang lain dan lingkungannya, namun tujuan berperilaku untuk memperoleh keuntungan secara pribadi kurang diutamakan. Perilaku peduli lingkungan yang dilandasi nilai dari etika lingkungan lebih sesuai dijelaskan dengan teori aktivasi norma. Sisi lain yang ada dalam kehidupan sehari-hari, motivasi individu berperilaku peduli lingkungan tidak semata-mata karena faktor ketaatan moral namun juga karena sejumlah motivasi rasional lain berupa pemenuhan keuntungan bagi diri.

Beberapa penelitian tentang perilaku manusia terhadap lingkungannya telah diteliti secara empiris. Beberapa diantaranya menghasilkan temuan tentang prediktor perilaku peduli lingkungan. Prediktor perilaku peduli lingkungan tersebut meliputi : sikap (Hines, Hungerford & Tomera, 1987), nilai egoistic, biospheric, dan altruistic (Schultz & Zelezny, 1999; Stern, 2000; Schultz, 2000), norma sosial (Nolan, Shultz, Cialdini, Goldstein & Griskevicius, 2008), keterhubungan dengan alam (Schultz, 2002; Mayer & Frantz, 2004), identitas lingkungan (Clayton, 2003) dan komitmen terhadap lingkungan alam (Davis, Green, & Reed, 2009). Peluang

(22)

yang masih perlu ditelaah lagi dalam penelitian mendatang jika mengacu pada landasan berfikir teori perilaku terencana adalah menguji peran dari norma moral ke dalam teori perilaku terencana. Hal tersebut justru disampaikan sendiri oleh Ajzen (1991, 2005a), pengembang teori perilaku terencana dalam jurnal yang diterbitkan. Oleh karena itu terbuka peluang menambahkan norma personal ke dalam struktur prediktor perilaku pada teori perilaku terencana yang diacu.

Pengaruh norma personal atau keyakinan moral individu sebagai determinan atau penentu perilaku peduli lingkungan, telah dibuktikan pada penelitian Vining dan Ebreo (1992), Guagnano, Stern, dan Dietz (1995), Davies, Foxall, dan Pallister (2002), serta Abrahamse, Steg, Gifford, dan Vlek (2009). Hasil dari penelitian-penelitian yang lain (Stern, Dietz & Kalof, 1993; Stern & Dietz, 1994; Stern, Dietz, Kalof & Guagnano, 1995; Nordlund & Garvill, 2002; Thøgersen & Olander, 2002) telah menjelaskan tentang pengaruh norma personal terhadap perilaku peduli lingkungan dengan melalui intensi terlebih dahulu. Faktor moral berpengaruh terhadap perilaku peduli lingkungan melalui intensi perilaku peduli lingkungan dinyatakan oleh Lindenberg dan Steg (2007), Steg dan Vlek, (2009), serta Liebe (2010). Peran norma personal yang ada mendorong seseorang lebih peduli dalam mengambil tindakan korektif dan konstruktif bagi lingkungan (Stern, Dietz, Kalof & Guagnano, 1995). Perilaku peduli lingkungan sebagai perilaku altruistic atau perilaku personal untuk kebaikan komunal (Thøgersen, 1996; Davies, Foxall, dan Pallister, 2002) lebih didasari oleh kerelaan (voluntary).

Konsep nilai tentang alam dan model mental dalam mengelola lingkungan dikembangkan melalui pemikiran budaya masing-masing kelompok. Hal ini telah dikemukakan oleh Milfont, Sibley, dan Duckitt (2010), yang mendukung penemuan Schultz, Gouveia, Cameron, Tankha, Schmuck, dan Franek (2005)

(23)

tentang peran norma terhadap perilaku peduli lingkungan. Nilai tentang lingkungan terutama self-transcedence, altruistic dan biospheric digunakan dalam memprediksikan perilaku lingkungan (Nordlund & Garvill, 2002). Seperangkat nilai moral tentang lingkungan ini dinamakan sebagai norma personal (Lopez & Cuervo Arango, 2008; Steg, De Groot, Dreijerink, Abrahamse, & Siero, 2011). Fakta di lapangan individu tidak sepenuhnya memiliki tujuan altruistik dalam berperilaku. Maka motif rasional dan kecenderungan manfaat bagi pribadi kurang dapat dijelaskan dengan teori aktivasi norma tersebut. Motif rasional dan moral senyatanya ada dalam mendorong perilaku di kehidupan sehari-hari manusia. Oleh karena itu keduanya secara bersama menjadi kerangka penting untuk dipertimbangkan dalam menelaah faktor-faktor penentu perilaku peduli lingkungan pada mahasiswa.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya tentang keaslian penelitian, maka dapat dikatakan penelitian ini berbeda dengan beberapa penelitian sebelumnya. Pertama, alat pengumpul data yang dikembangkan berdasarkan penelitian lapangan terlebih dahulu untuk memperoleh konten perilaku yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari mahasiswa di Indonesia. Kedua, penelitian ini melihat perilaku peduli lingkungan secara umum, bukan secara spesifik mengacu pada satu aspek perilaku tertentu saja. Penelitian-penelitian sebelumnya fokus pada perilaku peduli lingkungan yang lebih spesifik seperti pembelian produk ramah lingkungan (Wahid, Rahbar, & Shyan, 2011), pengelolaan sampah rumah tangga (Riswani, Sunoko, & Hadiyarto, 2011), perilaku konsumerisme hijau (Wibowo, 2011), perilaku hemat energi listrik (Fatmawati, 2012).

Dimensi perilaku pada penelitian disertasi ini tidak menyoroti satu aspek perilaku saja namun lebih umum dan bervariasi meliputi : efisiensi energi, mobilitas dan transportasi ramah lingkungan, perilaku menolak atau minimalisasi

(24)

sampah, perilaku pembelian (consumerism) produk ramah lingkungan, perilaku daur ulang dan perilaku sosial yang peduli lingkungan. Ketiga, penelitian ini menggabungkan bersama kedua kerangka rasional dan moral ke dalam satu model teoritik yang menjelaskan faktor-faktor yang relevan dalam perilaku peduli lingkungan secara umum. Berbeda dengan penelitian sebelumnya yang sebagian besar menguji model teoritik tentang keterkaitan antara beberapa variabel dengan perilaku peduli lingkungan melalui kerangka rasional atau moral secara sendiri-sendiri.

Penelitian sebelumnya memang telah ada yang menggabungkan faktor-faktor rasional dan moral ke dalam satu model (Sopha, 2013; Ittiravivongs, 2012), namun ada perbedaan dalam jenis perilaku peduli lingkungan lebih spesifik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Pemilihan variabel prediktor yang diambil sebagai anteseden berbeda dengan variabel dalam penelitian ini karena memiliki dasar pemikiran yang berbeda.

Berdasarkan telaah literatur dan peta riset, penelitian ini mengambil beberapa variabel prioritas dari kerangka rasional yaitu intensi sebagai mediator, sikap, norma subjektif, kendali perilaku yang dipersepsi terkait perilaku peduli lingkungan sebagai variabel eksogen. Faktor dari kerangka moral adalah norma personal tentang perilaku peduli lingkungan. Implikasi teoretisnya pada model penelitian ini dimasukkan norma personal sebagai variabel eksogen. Penelitian ini memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya karena menggabungkan faktor-faktor penentu dari kerangka rasional dan moral sebagai determinan yang dapat menjelaskan perilaku peduli lingkungan dengan baik.

Pada bagian berikut ini peneliti sajikan peta riset untuk penelitian ini berkaitan dengan variabel-variabel yang berpengaruh terhadap perilaku peduli lingkungan (Gambar. 1).

(25)

Gambar 1. Peta Riset Variabel-Variabel Penelitian.

Hines, Hungerfold, & Tomera, 1987

Bamberg & Schmidt, 2003 Bamberg & Moser, 2007 Han, Hsu, Lee, & Sheu, 2011

Hopper & Nielsen, 1991 Bamberg & Schmidt,2003 Chu & Chiu, 2003 Rise, Sheeran, &

Hukkelberg, 2010 Tang, Luo, & Xiao , 2011

Armitage & Conner, 2001 Bamberg & Schmidt, 2003 Bamberg & Moser, 2007 Abrahamse, Steg, Gifford, & Vlek, 2009

Rise, Sheeran,

& Hukkelberg, 2010

Hines, Hungerfold, & Tomera, 1987

Wall, Devine-Wright, & Mill, 2007

Bamberg & Moser, 2007 Harland,Staats, & Wilke,

2007

Lindenberg & Steg, 2007 Steg & Vlek, 2009 Abrahamse, Steg, Gifford, & Vlek, 2009

Liebe, 2010

Hines, Hungerfold, & Tomera, 1987

Terry, Hogg, & White,1999 Kaiser, Wolfing, & Fuhrer, 1999 Armitage & Conner, 2001 Joireman, Lasane, Bennett,

Richards, & Solaimani, 2001 Bamberg & Schmidt, 2003 Rise, Sheeran, & Hukkelberg,

2010 Bamberg, 2006 Webb & Sheeran, 2006

Bamberg, Hunecke, & Blobaum, 2007

Bamberg & Moser, 2007 Fielding, Terry, Masser, &

Hogg, 2008

Abrahamse, Steg, Gifford, & Vlek, 2009

Schwenk & Moser, 2009 Han, Hsu, Lee, & Sheu, 2011

Thogersen, 1996 Stern, 1997 Kaiser, Wolfing, &

Fuhrer,1999 McKenzie-Mohr. 2000 Kollmuss & Agyeman,

2002

Kaiser, Doka, Hofstetter, & Ranney, 2003 Milfont, Duckitt, &

Cameron, 2006 Manning,Amel,Forsman,

& Scott, 2009 Swim, Clayton, &

Howard, 2011

Sikap terhadap Perilaku Peduli Lingkungan

Norma Subjektif

Intensi Perilaku Peduli Lingkungan Perilaku Peduli Lingkungan Kendali Perilaku yang Dipersepsi Norma Personal

Gambar

Gambar 1. Peta Riset Variabel-Variabel Penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Tjiptono (2015:345) Akses Mudah dijangkau transpotasi Tingkat kemudahan lokasi dijangkau transportasi Menurut saya, lokasi Kedai Kopi Euy sangat mudah dijangkau oleh

Berdasarkan kurva sebagaimana terlihat pada Gambar 4, tampak bahwa kurva debit aliran melalui pipa berpori berada di bawah kurva hitungan kemampuan daripada :

Alirkan tumpahan ke area penampungan atau batasi pinggiran terluar area tumpahan dengan menggunakan bahan penyerap yang tidak mudah terbakar (misalnya pasir, tanah atau

Prosedur kerja penelitian yang dilakukan adalah: Diajukan Pemohonan mengambil data di UPTD Balai Laboratorium Kesehatan Provinsi Lampung Kriteria inklusi dicatat data

Manusia merupakan makhluk individu sekaligus juga makhluk sosial. Ketika menjalani kehidupan sosial dalam masyarakat, seorang individu akan dihadapkan dengan

3.Persoalan Dasar Ekonomi dalam Pembangunan : Kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, kesempatan kerja,.. pengangguran dan inflasi (Teori

Dengan demikian sistem persediaan menggunakan sistem periode tunggal lebih baik apabila diterapkan dalam pengendalian persediaan barang jadi yang hanya sekali pesan dalam satu

(2) Dalam hal calon Direksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berstatus Pegawai Negeri Sipil maka yang bersangkutan harus melepaskan terlebih dahulu status kepegawaiannya, yang