• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL

TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN

TINGKAT KEMISKINAN

Oleh

:

U S M A N

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN

BOGOR

(2)

SURAT

PERNYATAAN

Saya menyatakan dengan sebenar-benamya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya yang berjudul :

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT KEMISKINAN

merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri dengan pembimbingan komisi pembimbing, kecuali yang dengan jelas ltunjukkan rujukannya. Tesis ini belurn pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan tingg lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan dengan jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, April 2006

Usman

(3)

ABSTRAK

USMAN. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemiskinan (BONAR MARULITUA SINAGA sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai anggota komisi pembimbing).

Desentralisasi fiskal memiliki tujuan menciptakan sistem layanan publik yang lebih baik, efektif, dan efesien, yang pada akhir bisa meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat, sehingga desentralisasi fiskal diharapkan bisa menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Secara urnurn, penelitian ini bertujuac untuk: (1) menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin) dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. (2) menentukan faktor-faktor penentu atau determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, dan (3) mempelajari dampak desentralisasi fiskal, terhadap perubahan distribusi pendapatan dan tingkat kerniskinan.

Dalam mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap distribusi pendapatan dan kemiskinan, digunakan pendekatan ekonometrika yang terdiri dari 17 persamaan struktural dan 8 persamaan identitas. Setiap persamaan struktural dalarn model ini diduga dengan teknik Pool Time Series-Cross Section Regression, dengan spesifikasi

fixed eflect model. Studi ini menggunakan data time series tahun 1995-2003 dan data

cross section dari 26 provinsi di Indonesia.

Penelitian ini menemukan bahwa kebijakan ekonomi pada periode sebelum desentralisasi fiskal tidak menguntungkan kelompok miskin, namun sebaliknya kelompok kaya lebih diuntungkan. Periode sesudah desentralisasi fiskal pada awalnya menguntungkan kelompok kaya, narnun tahun berikutnya menguntungkan kelompok miskin. Determinan kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi f i skal sebagian besar tidak berubah. Sektor-sektor yang menjadi determinan kemiskinan adalah sektor pertanian, pendidikan, kesehatan, perurnahan, infrastruktur, dan faktor komunitas atau wilayah.

Hasil dugaan model menunjukkan, desentralisasi fiskal berdampak positif terhadap kine rja fiskal dan perekonomian daerah. Desentralisasi fiskal terindikasi dapat menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, namun pengaruhnya belum terbukti nyata secara statistik. Desentralisasi fiskal juga dapat mengurangi tingkat kemiskinan, yang diindikasikan dengan arah koefesien negatif dan nyata. Hasil simulasi menunjukkan, dalam jangka pendek pengeluaran pemerintah untuk Sektor Pertanian terbukti efektif menciptakan pemerataan distribusi pendapatan dan mengurangi tingkat kemiskinan. Dalam jangka panjang, pengeluaran pemerintah Sektor Pendidikan dan Kesehatan adalah sektor yang hams diprioritaskan.

Kata Kunci: Desentralisasi Fiskal, Distribusi Pendapatan, Kemiskinan, Indeks Gini, Data Panel.

(4)

ABSTRACT

USMAN. The Impact of Fiscal Decentralization on Income Distribution and Poverty Level (EQNAR MARULITUA SINAGA as Chairman and HERMANTO SIREGAR as Member of the Advisory Committee).

The goal of Fiscal Decentralization is to create a better, effective, and efficient public service system, which will increase the welfare and community independency. The expected end result will be the creation of better income distribution and lower poverty level. Generally, this study aims to: (1) analyze the economic growth of the poor and non-poor, prior and afterward the application of fiscal decentralization, (2) determine the determinants factor of poverty, prior and afterward the application of fiscal decentralization, and (3) study the impact of fiscal decentralization on income distribution and poverty level.

Econometric approach with a simultaneous equation model that consists of 17 structural equations and 7 identity equations is used to analyze the impact of fiscal decentralization on income distribution and poverty level. Each structural equation in the model is estimated using the Pool Time Series-Cross Section Regression technique, with fixed effect model specification. The study used time series data from

1995 to 2003 and 26 provinces-cross section data in Indonesia.

T h s study found that the economic policy prior to fiscal decentralization period was not a pro-poor policy. On the beginning of fiscal decentralization period, it was still not pro-poor policy, but afterwards it became pro-poor policy. Generally, there was not any change in the determinants of poverty between pre and post period. Agriculture, education, health, housing, infiastmcture, and community were the determinant sectors of poverty.

The result of the model estimation shows that the fiscal decentralization has a positive impact on fiscal and economic performance. Fiscal decentralization is indicated could create better income distribution, but it was not sigmficant. Fiscal decentralization could also lower poverty level. The result of simulation shows that in the short term period, government expenditure on agriculture can improve better income distribution and lower poverty level. In long term, government expenditure on Education and Health must be given priority.

Key words: Fiscal Decentralization, income distribution, poverty, Gini index, Panel Data.

(5)

O Hak Cipta Milik Usman, Tahun 2006 Hak Cipta Dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagan atau seluruhnya dalarn bentuk apapun,

(6)

DAMPAK DESENTRALISASI

FISKAL

TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN

TINGKAT KEMISKLNAN

Oleh:

U S M A N

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pads

Program Studi Ilmu Ekono~ni Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANZAN BOGOR

(7)

Judul Penelitian : DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT

KEMISKINAN

Nama Mahasiswa : Usman

Nomor Pokok : A151020201

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui, I. Komisi Pembimbing

Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA.

Ketua Anggota

Mengetahui,

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Ekonomi Pertanian

A !

-

Prof Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, fnda Manuwoto, M. Sc.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan tanggal 4 Agustus 1975, di Bogor, Jawa Barat, dari pasangan Abdurahrnan dan Lely Aliah. Penulis anak keempat dari empat bersaudara. Saat ini penulis sudah berkeluarga dengan istri tercinta Dewi Wijayanti, dan telah dikaruniai dua orang putra-putri tersayang bernama Daniyaf, Husna dan Abyan Miladi Ahmad.

Pada tahun 1999 penulis lulus dari pcndidikan sarjana di jurusan Statistika, Fakultas Matematika clan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2002 penulis diterima di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Sekolah Pascasqana Institut Pertanian Bogor.

Penillis bekerja sebagai peneliti di Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia sejak tahun 1999. Tidak kurang dari 20 kegiatan penelitian telah penulis ikuti yang beberapa diantaranya telah diterbitkan dalam Working Paper LPEM maupun Jurnal Ekonomi dan Keuangan Indonesia, salah satunya berjudul Analisa Peringkat Penanggulangan Kemishnan KabupatenKota. Vol. 49 (no.4) hal: 423-45 1

(9)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan limpahan rahmat dan hidayah-NYA, penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Tema yang dipilih untuk karya ilmiah ini adalah "Dampak

Desentrulisusi Fiskul Terhudup Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kemisktnan".

Karya ilmiah ini dilaksanakan dengan tujuan untuk melihat dampak pelaksanaan dssentralisasi fiskal terhadap perubahan distribusi pecdapatan dan tingkat kemiskinan. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini, untuk itu diharapkan ada masukan dari pembaca. Harapan penulis karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat kepada pembaca, atas kritik dan saran yang membangun penulis ucapkan terima kasih.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bonar M. Sinaga, MA. dan Dr. Ir. Hermanto Siregar, MEc, selaku ketua dan anggota komisi pembimbing, yang berperan aktif dalam proses penyelesaian karya ilmiah ini.

Tesis ini dapat selesai berkat bantuan serta dukungan juga dari berbagai pihak.

Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis rnengucapkan terimakasih kepada Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI) sebagai lembaga dimana penulis bekerja dan berkarya, yang telah memberikan bantuan Dana SDM selama penulis menjalankan pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

(10)

Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan bantuan melalui program Hibah Pasca untuk mendukung berbagai penelitian akademis di berbagai perguruan tinggi sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini dengan baik. Penulis ucapkan juga terimakasih dan penghargaannya kepada Riyanto, Ahmad Avenzora, dan Bintoro Seto yang telah membantu melengkapi data yang diperlukan untuk karya ilmiah ini.

Tidak lupa pula penulis sampaikan terimakasih dan penghargaannya kepada Jossy Moeis, Uka Wikarya, Khoirunurrofik, Sumedi, dan rekan-rekan S2 Jurusan Ekonomi Pertanian yang tidak mungkin bisa disebutkan satu persatu, yang telah mendukung serta menjadi teman diskusi yang baik sehingga karya ilmiah ini menjadi seinpurna.

Secara khusus, penulis sampaikan terimakasih setulus-tulusnya kepada kedua orang tua (Abdurrahman dan Lely Aliah), Istri (Dewi Wijayanti), dan kedua putra putri tercinta (Daniyah Husna dan Abyan Milacfi Ahmad) yang telah mendukung dengan penuh ikhlas semenjak penulis menjalankan pendidikan hingga selesainya karya ilmiah ini.

Bogor, April 2006

(11)

DAFTAR IS1

Halaman

...

DAFTAR TABEL XI

...

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPJRAN ... xiv

I

.

PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1

1.2. Perulnusan Masalah ... 4

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... -6

1.4. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

I1

.

TINJAUAN PUSTAKA ... 8

... 2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal 8 ... 2.2 Keuangan Pemerintah Daerah 9 ... 2.3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulangan Kerniskinan 10 2.4 Diskusi Tentang Kerniskinan ... 11

... 2.4.1 Pengertian dan Indikator Ke~niskinan 11 ... 2.4.2 Kerniskinan Relatif dan Absolut 1 4 2.4.3 Ukwan Kerniskinan dan Ketimpangan ... 15

2.4.4 Detcrminan Kerniskinan ... -18

2.5 Tinj auan S tudi Terdahulu ... 19

111

.

KERANGKA PEMIKIRAN ... 26

3.1 Penerllnaan Peinerintah Daerah ... 28

3.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah ... 28

3.3 Pendapatan d a l Pengeluaran Agregat Daerah ... 30

IV

.

METODOLOGI PENELITIAN ... 33

4.1 Analisis Deskripsi ... 33

(12)

4.3 Poverty Growth Analysis ... ..3 5 ...

4.4 Perhitungan Tingkat Kemiskinan 36

4.5 Perhltungan Tingkat Ketimpangan ... 37

4.6 Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan ... 37

4.6.1 Spesifikasi Model ... 38

4.6.2 Metode Estimasi Model ... 44

4.6.3 Validasi Model ... 47

4.6.4 Simulasi Model ... 48

4.7 Jenis dan Sumber Data ... 49

V

.

GAMBARAN UMUM DAERAH SEBELUM DAN SESUDAH DESENTRALISASI FISKAL ... 51

... 5.1 Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi 5 1 5.2 Keadaan Infhstruktur ... -55

5.3 Perkembangan Tingkat Kerniskinan di Indonesia ... 59

... 5.4 Kinerja Fiskal Daerah 64 ... 5.4.1 Penerimaan Daerah -64 5.4.2 Pengeluaran Daerah ... 67

VL ANALISIS PERTUMBUHAN DAN DETEWINAN KEMISKINAN ... 70

6.1.1 Pertumbuhan Kerniskinan Sebelum Desentralisasi Fiskal ... 70

6.1.2 Perturnbuhan Kemiskinan Sesudah Desentralisasi Fiskal .... 73

6.2 Analisis Determinan Kernislunan ... 77

6.2.1 Karakteristik Rumah Tangga dan Individu ... 80

6.2.2 Faktor Komunitas ... 86

6.2.3 ~arakteristik Wilayah ... 91

VII

.

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA ... FISKAL DAN PEREKONOMIAN DAERAH 94 ... 7.1 Blok Fiskal Daerah 94 7.2 Blok Pengeluaran Agregat ... 98

(13)

VIII

.

DAMPAK DESENTRALISASI FISKAL TERHADAP

...

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN TINGKAT ICEMISKINAN :03

8.1 Validasi Model ... 103

8.2 Darnpak Desentralisasi Fiskal Terhadap Perubahan Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan ... 1 14 8.2.1 Peningkatan Pengeluaran Sektor Pertanian ... 116

8.2.2 Peningkatan Pengeluaran Sektor Pendidikan clan ... Kesehatan 1 2 1 8.2.3 Peningkatan Pengeluaran Sektor Perurnahan dan ... Kesejahteraan 1 2 7 8.2.4 Peningkatan Dana Alokasi Umum ... 133

8.2.5 Peningkatan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ... 140

8.2.6 Kombinasi Peningkatan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak ... 1 4 5 8.3 Rekapitulasi Dampak Desentralisasi Fiskal ... 150

IX

.

KESIMPULAN DAN SARAN ... 157

9.1 Kesimpulan ... 157

9.2 Saran ... 160

...

(14)

DAFTAR TABEL

1 . Jenis Data dan Surnbernya ... 50

... 2 . Pertumbuhan Ekonomi Antar Provinsi. Tahun 1993.2003 53 ... 3 . Beberapa indikator infi-astruktur Daerah. Tahun 1996. 1999. dan 2002 59 4 . Indeks Kemiskinan Sebelum Desentralisasi dan Sesudah Desentralisasi ... Berdasarkan Pulau-Pulau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003 61 5 . Perkembangan Indeks Gini Sebelum dan Sesudah Desentralisasi ... Berdasarkan PuIau Besar di Indonesia. Tahun 1995-2003 62 6

.

Penerimaan Pemerintah Daerah KabupatenKota dan Provinsi di Indonesia. Tahun 1995

.

2003 ... 64

7 . Beberapa Sumber Penerimam Pemerintah Daerah KabupatenIKota dan Provinsi di Indonesia Berdasar-kan Pulau. Tahun 1995-1997 dan Tahun 200 1-2003 ... 66

8 . Pengeluaran Pemerintah Daerah KabupatenfKota dan Provinsi di Indonesia. Tahun 1995-2003 ... 68

9 . Pertumbuhan Pengeluaran Konsumsi Indonesia. Tahun 1 994 - 2003

...

74

10 . Laju Pertumbuhan Inflasi. Konsumsi Riil, dan Upah Riil di Indonesia. Tahun 1997-2002 ... 83

1 1 . Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 ... 92

12 . Hasil Estimasi Model Deterrninan Kemiskinan Indonesia Tahun 2002 ... 93

13 . Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Fiskal Daerah . Sisi Penerimaan ... 95

... 14 . Hasil Pendugaan Persamaan Blok Fiskal Daerah . Sisi Pengeluaran 98 15 . Hasil Pendugaan Persamaan Blok Pengeluaran Agregat ... 100

16 . Hasil Pendugaan Persarnaan Blok Distribusi Pendapatan dan Kerniskinan ... 101 17 . Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Tingkat Nasional.

...

(15)

18. Validasi Model Desentralisasi Fiskal Berdasarkan Pulau-pulau Besar ...

di Indonesia.. 1 12

19. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT

...

Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran 117

20. Hasil Sllnulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT

...

Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah 1 18

2 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT

Sebesar 50 persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ... 119

22. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatar, EPERT Sebesar 50 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan

...

Tingkat Kemiskinan.. 12 1

23. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK

Sebesar 20 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran ... 122

24. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK

Sebesar 20 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi ... 123 25. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK

Sebesar 25 Persen. Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan ... 125 26. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPDDK

Sebesar 20 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan

Tingkat Kerniskinan.. ... 126 27. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH

Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Pengeluaran ... 128

28. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH

...

Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah 129

29. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH

...

Sebesar 60 Persen Terhadap Kinerja Fiskal - Sisi Penerimaan . .... 130 30. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPRMH

Sebesar 60 Perseii Terhadap Distribusi Pendapatan clan

Tingkat Kemiskinan.. ... 132 3 1. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU

...

Sebesar 10 persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah 135

32. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU

(16)

33. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan

...

Tingkat Kerniskinan Daerah 139

34. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK

Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Fiskal Daerah ... 141 35. Hasil Simulasi Darnpak Kebijakan Peningkatan BHPJK

...

Sebesar 30 Persen Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah 143

36. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan BHPJK Sebesar 30 Persen Terhadap Distribusi Pendapatan dan

...

Tingkat Kerniskinan Daerah 144

37. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen

...

Terhadap Kinerja Fiskal Daerah 147

38. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU Sebesar 10 persen dan BHPJK sebesar 30 persen

...

Terhadap Kinerja J3konomi Daerah 148

39. Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU

Sebesar 10 persen dan BHPJK Sebesar 30 persen Terhadap Distribusi ...

Pendapatan dan Tingkat Kerniskinan Daerah 150

40. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan EPERT, EPODK, dan EPRMH Terhadap Kinerja Ekonomi Daerah, Distribusi

Pendapatan, dan Tingkat Kerniskinan.. ... 152 41. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU,

BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Kineja Ekonomi Daerah ... 153 42. Rekapitulasi Hasil Simulasi Dampak Kebijakan Peningkatan DAU,

...

BHPJK dan Kombinasinya Terhadap Distribusi Pendapatan 154

43. PDRB per Kapita Menurut Pulau-pulau Besar di Indonesia,

...

Tahun 1999 - 2003 156

(17)

DAFTAR GAMBAR

Nornor Halaman

1 . Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran ... 17 2 . Kerangka Pemikiran Analisis Deseotralisasi Fiskal ... 27

3 . Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia. Tahun 1980.2003 ... 52

...

4 . Jumlah Pendutiuk Miskin di Indonesia Tahun 1976 . 2004 60

5 . Pertumbuhan Pengel- Konsurnsi Sebelum dan Menjelang

...

Desentralisasi Fiskal 75

6 . Perturnbuhan Pengeluaran Konsurnsi Sesudah desentralisasi Fiskal ... 76

...

.

(18)

DAFTAR LAiMPIRAN

Halaman Nomor

1 . Jumlah Penduduk Miskin dan Persentase Penduduk Mislun

...

di Indonesia Tahun 1976-2004 170

2 . Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin Menurut Provinsi.

Tahun 1999-2004 ... 171

3 . Program SAS Estimasi Model Determinan Kemiskinan Indonesia

Tahun 1999 ... 172 4 . Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 1999 ... 176

5

.

Hasil Estimasi Model Determinan Kerniskinan Indonesia Tahun 2002 ... 178

...

6 . Program SAS Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kemiskinan 180

7

.

Hasil Estimasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ... 181 8 . Program SAS Sirnulasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ... 185 9 . Hasil Validasi Model Hubungan Fiskal dan Kerniskinan ... 202 10 . Contoh Hasil Simulasi Peningkatan Dana Alokasi Umum (DAU)

...

Sebesar 10 persen 206

...

11 . Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Nasional. KBI dan KT1 207

12 . Nilai Dasar Variabel Endogen Menurut Pulau-pulau Besar

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Bela kang Penelitian

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 teIa11

membawa perubahan-perubahan dalarn negeri Indonesia di dalam ha1 kebijakan politik dan ekonomi. Kewenangan pemeri2ta.h pusat yang terlalu besar dan adanya

ketirnpangan pembangunan ekonomi antar daerah dianggap sebagai penyebab

lemahnya ketahanan ekonomi Indonesia. Tuntutan untuk mengurangi kewenangan

yang sentralistik semakin besar setel* terjadinya pergantian kepemimpinan nasional dengan mundurnya Soeharto. Akhirnya tuntutan desentralisasi inipun

mulai diakomodasi setelah pelaksanaan pemilu era reformasi tahun 1999 yaitu dengan dikeluarkannya undang-undang mengenai otonomi daerah.

Secara garis besar konsep desentralisasi dapat dibedakan atas tiga bagian

besar, yaitu desentralisasi politik, desentralisasi administrasi, dan desentralisasi

fiskal. Ketiganya saling terkait satu sama lain, dan seharusnya dilaksanakan secara

bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti misalnya penbgkatan

kualitas pelayanan publik, tidak terbengkalai (Simanjuntak, 2001).

Penelitian ini akan memfokuskan kepada salah satu bagian dari

desentralisasi yaitu desentralisasi fiskal. Kebijakan otonomi daerah dan

desentralisasi fiskal berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pem'3~taha.n daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antar pemerintah pusat dan daerah, mulai diterapkan di

Indonesia sejak tahun anggaran 2001. Desentralisasi fiskal adalah pendelegasian tanggung jawab dan pembagian kekuasaan serta kewenangan untuk pengambilan

(20)

keputusan di bidang fiskal, yang meliputi aspek penerimaan dan pengeluaran. Dalain ha1 ini desentraiisasi fiskal dikaitkan dengan tugas dan fungsi

pemerintahan daerah sebagai penyedia barang dan jasa pelayanan kepada

masyarakat (publrc goods;). Penyerahan kewenangan dibidang fiskal pada

dasarnya merupakan inti daripada desentralisasi.

Melalui pemberlakuan desentralisasi fiskal, pemerintah daerah kini memiliki

kewenangan yang besar untuk merencanakan, merumuskan, dan melaksanakan

kebijakan serta program pembangunan yang bisa disesuaikan dengan kebutuhan

setempat. Oleh karena itu menurut McCulloch dan Suharnoko (2003), salah satu kunci yang harus diperhatikan dalam desentralisasi adalah bahwa pemerintah

daerah hams lebih responsif terhadap kebutuhan penduduknya. Pada banyak negara berkembang termasuk Indonesia, tingkat kemiskinannya masih relatif

tinggi dan oleh karenanya desentralisasi diharapkan akan menciptakan kebijakan- kebijakan yang lebih responsif terhadap kebutuhan penduduk miskin. Jika kita

secara khusus peduli dengan kerniskinan, maka hal terpenting dan menjadi kunci adalah melihat bagaimana dampak desentralisasi pada distribusi sumber daya di

dalam wilayah tersebut (intra-regionzl), dan bukan pada efesiensi alokasi surnber daya antar wilayah (inter-regional).

Bardhan (2002) dalam McCtdloch dan Suharnoko (2003) mengatakan

kelemahan lain yang dimiliki negara-negara berkembang adalah mengenai

mekanisme informasi dan pengawasan. Oleh karena itu perhatian lebih besar rnengenai mekanisme informasi dan pengawasan harus diarahkan pada pelayanan

dan mekanisme akuntabilitas publik. Tanpa adanya mekanisme transparansi dan

(21)

d a d karena d i m u n m a n surnberdaya hanya terdistribusi pada segelintir orang

saja yang dekat dengan kekuasaan.

Terdapat keuntungan dan kerugian dari desentralisasi baik dalarn jangka

pendek maupun dalarn jangka panjang. Dalam jangka pendek, menurut Bardhan

dan Mookhorjee (2000) desentralisasi dapat menolong orang miskin melalui mekanisme keputusan pengeluaran publik (publik expenditure) karena menjadi

lebih dekat antara pengambil keputusan dengan objek. Sedangkan dari sisi

kerugiannya adalah pada saat keberadaan orang miskin tidak diakomodir dalam

kebijakan pemerintah daerah. Padahal salah satu karakter di banyak negara

berkembang adalah para pejabatnya memiliki orientasi kebijakan yang lebih

mementingkan dirinya sendiri. Dalam jangka panjang, desentralisasi akan membuat isu akuntabilitas menjadi sebuah kompetisi dimana setiap wilayah akan

saling membandingkan satu terhadap yang lain. Artinya desentralisasi akan menciptakan atau memajukan kompetisi kebijakan melalui atwan hukum yang lebih transparan untuk mengatur pergerakan kapital ataupun orang. Sementara itu

kerugiannya adalah desentralisasi berpotensi msnghambat pembangunan jangka

panjang karena eksploitasi terhadap sumberdaya yang tidak disertai konsep

pembangunan berkelanjutan.

Desentralisasi fiskal di Indonesia sudah dimulai sejak tahun 2001, yang berarti hingga saat ini desentralisasi fiskal sudah berjalan selama leblh dari tiga

tahun. Meskipun masih berumur muda dan secara pelaksanaannya desentralisasi

fiskal ini masih mengalami berbagai kendala di lapangan, namun waktu selama

tiga tahun sudah memungkmkan bagi kita untuk melakukan evaluasi jangka

(22)

khususnya dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang masih tergolong

tniskin.

1.2. Perurnusan Masalah

Kebijakan pemerintah daerah yang memihak masyarakat miskin adalah

tergantung pada praktek bagaimana penyusunan dan pelaksanaan kebijakan di

bidang anggaran yang memasukkan suara dari kepentingan masyarakat miskin.

Berdasarkan definisi ini, menurut BPK dan SMERU (2001) dalam Jasmina (2001) setidaknya ada tiga a s ~ e k yang harm diperhatikan daerah dalam menyusun

anggaran, yaitu:

1. Aspek Penyusunan Anggaran.

Dalam aspek penyusunan anggaran, mekanisme yang dapat

dipertimbangkan adalah sistem "anggaran partisipatif' atau "anggaran yang

berorientasi pada kepentingan rakyat miskin"

.

Sistem ini dapat &lakukan dengan membuka akses politik terhadap keikutsertaan semua kelompok

masyarakat miskin dalam proses pengambilan keputusan. Dengan

melibatkan masyarakat miskin secara langsung, pemda dapat mengetahui

apa yang dibutuhkan oleh masyarakat miskin. Untuk menjalankan sistem ini

pemda dan DPRD perlu melakukan dialog dan konsultasi dengan berbagai

kelompok masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin.

2. Aspek Penerimaan Daerah.

Aspek ini melihat sisi penerimaan anggaran yang memihak kepada orang

miskin. Bagian penerimaan daerah yang dapat disusun tanpa merugikan

masyarakat miskin adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD), mengingat

(23)

retribusi daerah. Ciri kebijakan anggaran ymg memihak orang miskin antara

lain:

a. Pemda tidak memungut pajak dan retribusi yang secara langsung

membebani orang m i s w misalnya dibebaskan membayar biaya

pengobatan di puskesmas, bebas pemungutan biaya KTP, dan lain-lain. b. Hasil produksi pertanian, perikanan, peternakan, industri rurnah tangga

dan industri kecil yang diproduksi kelompok masyarakat miskin

sebaiknya tidak dikenakan pajak d m retribusi.

c. Pemda metnbuat kebijakan pmgutan daerah yang bersifat progresif, yakni membebankan tarif khusus (lebih murah) terhadap masyarakat

miskln.

3. Aspek Pembelanjaan Daerah.

Dengan jurnlah anggaran pembangunan pemerintah daerah umumnya relatif

terbatas. Pengeluaran pembangunan yang memihak orang rniskin adalah

anggaran yang manfaatnya diberikan pada bidang-bidang yang pro miskin, seperti peildidikan dasar, kesehatan, sanitasi, air berslh, dan infi-astruktur. Anggaran yang dialokasikan dalarn bidang ini seharusnya berbanding lwus

dengan jurnlah orang rniskin atau bobot pennasalahan kerniskinan yang

dihadapi daerah.

Dalam penelitian ini, analisis yang dilakukan dibatasi hanya pada aspek ke

dua dan ke tiga. Aspek pembelanjaan daerah digunakan untuk melihat efektivitas

anggaran dalam menanggulangi kerniskinan. Program atau kebijakan pemerintah

(24)

program tersebut memprioritaskan sektor-sektor yang mernang sesuai dengan

faktor-faktor yang meccermlnkan kondisi masyarakat miskin. Selain dari itu

aspek penerimaan dan aspek pengeluaran secara bersama-sama akan digmakan untuk melihat pennasalahan utama dalam penelitian ini yaitu mengevaluasi

sejauhmana dampak desentralisasi fiskal pada perubahan jumlah kemiskinan dan

distribusi pendapatan.

Dalam menjawab permasalahan utama di atas maka fokus penelitian ini diamhkan pada beberapa pertanyaan mendmr yaitu : (1) bagaimana menentukan faktor-faktor penentu (determinan) kemiskinan, (2) seberapa besar pertumbuhan

ekonomi masyarakat miskin dibandingkan masyarakat tidak miskin sebelum

dilakukan desentralisasi dan sesudah desentralisasi diterapkan, dan (3) apakah desentralisasi fiskal cukup berpengaruh terhadap penurunan jumlah kemiskinan dan distribusi pendapatan.

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1 Menganalisis pertumbuhan ekonomi masyarakat ekonomi bawah (miskin)

dibandingkan masyarakat ekonomi atas (tidak miskin) sebelurn dan sesudah

desentrahsasi fiskal diterapkan.

2 Menentukan faktor-faktor penentu atau determinan kemislunan sebelum dan

sesudah desentralisasi fiskal diterapkan.

3 Mempelajari dampak desentralisasi fiskal terhadap perubahan disbibusi

pendapatan dan tingkat kemiskinan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peinerintah baik pusat maupun daerah dalam rangka mengevaluasi dampak desentralisasi fiskal

(25)

yang selama tiga tahun sudah berjalan khususnya dalam hubungannya dengan

upaya meningkatkan kesejallteraan masyarakat rniskin dan distribusi pendapatan.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

Lingicup penelitian adalah sebagai berrkut :

1 Pemerintah daerah yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah pemerintahan daerah pada tingkat kota atau kabupaten di seluruh Indonesia

yang terdiri dari kurang lebih 308 kotahbupaten (berdasarkan kategori

tahun 1996), yang selanjutnya diagregasikan pada tingkat provinsi.

2 Analisis terhadap provinsi dan kabupatenkota yang baru terbentuk masih

digabungkan dengan penmaan daerah sebelumnya. Dengan dernikian

daerah yang menjadi unit observasi dalam penelitian ini terdiri dari 26

provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalarn, Sumatera Utara, Sumatera

Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka

Belitung, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa

Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur,

Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalitnantan Selatan, Kalimantan Tirnur, Sulawei Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selitan, Sulawesi

Tengggara, Maluku, dan Papua.

3 Kerniskinan dalam studi ini didefinisikan sebagai keiidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasar 2 100 kalloranghari.

(26)

11. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Otonomi Daerah dan Desentralisasi Fiskal

Gagasan otonomi daerah yang kini berkembang bukan merupakan ha1 yang

baru. Kenyataan ketimpangan pusat-daerah yang selama ini terjadi hanya

merupakan pemicu lahirnya gagasan otonomi daerzh. Menurut Tim Lapera (2001) dalam Riyanto (2003), secara mum terdapat dua kecenderungan hubungan antara

pusat dan daerah yaitu hubungan sentralistik dan hubungan yang desentralistik

(otonomi). Pemikiran otonomi daerah didasarkn kepada htik atas kenyataan

bahwa pemusatan lebih memberikan keuntungan kepada pusat dan tidak secara

otomatis membawa kernanfaatan bagi daerah.

Secara prinsip hubungan pemerintah pusat dan daerah adalah bagaimana

menciptakan situasi dan kondisi yang memungkinkan rakyat mencapai suatu

kehidupan yang lebih baik dan bermakna. Oleh karena itu otonomi daerah tidak

hanya dapat dilihat clan hubungan antara pusat clan daerah, tetapi juga

menyangkut hubungan antara penyelenggara kekuasaan dengan rakyat. Berbeda

dengan otonomi daerah yang pernah diselenggarakar, pada waktu sebelumnya,

otonomi daerah sejak tahun 2001 yang merupakan tuntutan reformasi diberi

makna sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi

masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan (UU No. 22 Tahun

1999). Dinyatakan pula bahwa dalam penyelenggaraan otonomi daerah dipandang

perlu untuk lebih menekankan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat,

(27)

daerah. Singkatnya pemberlakuan otonomi daerah, memberikan ruang

(kewenangan) kepada pemerintah daerah untuk merencanakan dan melaksanakan

kebijakan dan program sesuai dengan potersi daerahnya masing-masing.

Pengelolaan sumberdaya yang dilakukan dengan hati-hati dan bertanggung jawab

oleh pemerintah daerah serta melibatkan masyarakat setempat sangat mengurangi

kesenjangan yang semakin lebar di segala bidang.

Telah disebutkan sebelumnya penyerahan kewenangan di bidang fiskal pada

dasarnya merupakan inti dari desentralisasi atau otonomi daerah. Pelaksanaan otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal akan mempenganh anggaran

daerah yang tercermin dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah (APBD).

2.2 Keuaugau Pemerintah Daerah

Masalah besar dalam keuangan daerah (regional) adalah menyangkut upaya

mendapatkan uang maupun pembelanjaannya. Artinya, tentang bagaimana sumber

pendanaan digali dan didistribusikan, dan siapa yang menentukannya. Berkaitan

dengan aspek penerimaan daerah, Davey (1983) membedakan sumber-sumber

keuangan daerah ke dalam beberapa sumber yaitu (1) alokasi dari pemerintah

pusat, (2) bantuan pusat (grant) dengan berbagai jenisnya, (3) bagi hasil pajak (tax sharing), (4) pinjarnan (borrowing), (5) penyertaan modal yaitu investasi

pemerintah pusat pada suatu pemerintah regional, (6) perpajakan, dan (7)

retribusi. Sedangkan dari segi pengeluaran jenisnya dapat dibedakan ke dalam (1)

(28)

2 3 Pelaksanaan Otonorni Daerah dan Penanggulsngan Kerniskinan

Dalam kewenangan yang dimiliki daerah, melekat pula lewenangan dan

sekaligus tanggung jawab untuk secara p r o ~ f mengupayakan kebijakan

penanggulangan kemiskinan, baik langsung maupun tidak langsung. Tanggung

jawab demikian sebenarnya merupakan konsekuensi dari salah satu tujuan

pelaksanaan otonomi daerah yakm menciptakan sistem layanan publik yang lebih

baik, efektif, dan efesian, yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan

kesejahteraan serta kemandirian masyarakat. Oleh karena itu upaya

penanggulangan kemiskinan seharusnya tidak lagi menjadi tanggung jawab dan

atau dilakukan oleh pemerintah pusat semata.

Dipandang dari sudut tersebut, pelaksanaan otonomi daerah memiliki

potensi positif terhadap kondusifitas kebijakan penanggulangan kemiskinan.

Adanya kandungan aspek lokalitas yang tinggi dalam perurnusan kebijakan publik

juga menyebabkan pemerintah daerah dituntut untuk bersifat transparan dan

accountable dalam menjalankan "good governance". Sekarang pemerintah daerah

tidak lagi sekedar pelaksana operasional kebijakan yang ditentukan oleh pusat.

Apapun yang diperbuat oleh pemerintah daerah dapat dengan mudah dinilai oleh

masyarakat setempat. Beberapa faktor lain yang dapat menciptakan pelaksanaan

otonomi daerah kondusif terhadap kebijakan penaggulangan kemiskinan adalah :

1. DAU diberikan kepada pemerintah daerah dalam bentuk block Grant,

sehingga pemerintah daerah memiliki fleksibilitas yang tinggi dalam

menggunakan dana tersebut seseuai dengan kepentingan dan prioritas daerah,

termasuk kepentingan dalam menanggulangi kemiskinan. Dengan kata lain

(29)

penanggulangan kemiskinan tanpa hams menunggu instmksi dari pemerintah

diatasnya (provinsi atah pusat). Hal ini penting dikemukakan karena dalam

formula pembagian DAU juga tercakup variabel jumlah penduduk miskin.

Ini artinya agenda penganggulangan kemiskinan seharusnya secara otomatis

menjadi agenda kebijakan semua pemerintah daerah.

2. Ijin penanaman modal dan kegiatan dunia usaha umumnya kini dapat diselesaikan di daerah, sehingga pengurusannya lebih mudah dan dengan

biaya lebih murah. Bila iklirn usaha di daerah telah menjadi lebih kondusif maka infestor akan tertarik untuk menanamkan modalnya di daerah, sehingga akan lebih banyak lapangan kerja yang tersedia. Beberapa kotakabupaten

yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal

untuk

menuju proses perijinan yang cepat, transparan, dan muah.

3. Daerah yang kaya dengan sumber daya alam memperoleh penerimaan

alokasi dana yang besar. Dengan dana tersebut daerah yang bersangkutan

relatif lebih mudah menentukan prioritas langkah-langkah penanggulangan

kemiskinan. Kabupaten kutai misalnya, memberikan dana milyaran rupiah

untuk pembanguuan desa. Jika dana-dana ini digunakan untuk kegiatan-

kegiatan yang bersifat pro orang miskin, ada harapan besar proporsi jumlah orang miskin di kabupaten tersebut akan cepat menurun.

2.4 Diskusi Tentang Kemiskinan

2.4.1 Pengertian dan Indikator Kemiskinan

Salah satu kunci dalam perumusan strategi penanggulangan kemiskinan

adalah pemahaman yang akurat terhadap konsep kemislunan dan indikator yang

(30)

penentwn kelompok sasaran (targettmg), pemantauan kemajuan dan kinerja

(performance mdlcator) penanggulangan kemiskinan.

Namun sebelum kita berbicara kerniskinan ada baiknya kita memahami dulu apa itu kesejahteraan. Ada banyak defkisi dan konsep yang berbeda tentang

kesejahteraan atau "well being" (World Bank, 2002). Misalnya kita dapat mengatakan kesejahteraan seseorang sebagai kemampuan untuk memenuhi

kebutuhan komoditas secara urnurn; seseorang dikatakan mampu (memiliki

kemarnpuan ekonomi yang lebih baik) jika dia memiliki kemampuan yang lebih

besar dalam menggunakan sumberdaya yang dmilikinya (kekayaan). Atau kita dapat berpikir tentang kernampuan untuk memperoleh jenis barang-barang

tertentu (misalnya makanan dm perurnahan). Seseorang yang h a n g mampu untuk andil dalam masyarakat munglun memiliki tingkat kesejahteraan yang

rendah atau lebih rentan terhadap krisis atau gejolak ekonomi dan cuaca. Jadi

dalam konteks ini kemiskinan dapat berarti kurangnya kemampuan memenuhi

kebutuhan komoditas secara umum, atau dalam arti kurangnya kemampuan untuk andilherfungsi dalam masyarakat.

Dengan demikian kerniskinan merupakan masalah yang bersifat

multidemensi szhingga dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang. Dimensi

kemiskinan mencakup empat ha1 pokok, yaitu kutangnya kesempatan (lack of

opportunry), rendahnya kemampuan (low capabrlitres), kurangnya jaminan (low-

level security), dan ketidakberdayaan (low capacity or empowerment).

Kerniskinan juga dikaitkan dengan keterbatasan hak-hak sosial, ekonomi dan

(31)

Langkah yang diperlukan selanjutnya dalam perumusan strategi

~znanggulangan kemiskinan adalah menerjemahkan berbagai konsep kemiskinan

ke dalam berbagai indikator. Dari segi manajemen publlk, suatu indikator

dibedakan menjadi indlkator masukan (inputs), indikator proses (process),

indikator keluaran (outputs), indkator hasil (outcomes), indikator manfaat

(beneJit), dan indikator dampak (impact).

Dengan memperhatikan konsep kemiskinan yang berlaku, indikator

kemiskinan dibedakan menurut kelompok indikator kebutuhan dasar, indikator

pendapatan, indikator kemampuan dasar dan termasuk penguasaan asset, akses

pelayanan publik, dan partisitapi dalam pengambilan keputusan.

Indikator kebutuhan dasar. Indikator kemiskinan yang termasuk dalam

kelompok kebutuhan dasar ini antara lain adalah indikator pendidikan (angka buta

huruf, tingkat perdidikan tertinggi), indikator kesehatan dan gizi (angka kematian bayi, angka kematian ibu, angka harapan hidup, dan angka kecukupan gizi), dan

indikator lain yang relevan.

Indikiitor pendapatan. Indikator pendapatan yang sering dipakai untuk

mengukur kemiskinan adalah indeks kemiskinan absolut (headcount index) yang

dihitung berdasarkan garais kerniskinan. Indikator pendapatan juga dapat

digunakan untuk mengukur indeks kedalaman kemiskinan (povery gap index) clan

indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index). Data dasar yang digunakan

untuk mengukur indeks kemiskinan absolut, indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan adalah data pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Data

(32)

kesulitan dalam mengumpulkan data pendapatan secara akurat. Data rumah

tangga tersebut dikumpulkan oleh Badan Pusat Statistik melalui SUSENAS.

Indikator kemampuan dasar. Indikator kemarnpuan dasar merupakan

gabungan dari indikator pendapatan dan indikator kebutuhan dasar ditambah

dengan indikator penguasaan asset berupa modal, lahan, prasarana, dan

lingkungan, serta tingkat partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan indikator

lain yang relevan.

2.4.2 Kerniskinan Relatif dan Absolut

Terkadang kita tertarik untuk menekankan perhatian kita khusus pada

golongan penduduk termiskin, misalnya 20% atau 40% dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan atau pzngeluaran, kelompok ini merupakan penduduk ymg relatif miskin. Bila mendefinisikan cara ini maka tidak dapat

disangkal bahwa "orang miskin selalu hadir bersama kita". Ukuran atau d e ~ s i

tersebut sering membantu h t a untuk menentukan program sasaran yang ditujukan

untuk membantu penduduk miskin. Mendefinisikan kelompok miskin menggunakan cara seperti ini disebut dengan kerniskinan relatif.

Dalam praktek negara kaya memiliki garis kemiskinan yang lebih tinggi

daripada negara rniskin. Tatkala negara menjadi lebih kaya (sejahtera), negara

tersebut cenderung merevisi garis kemiskinannya menjadi lebih tinggi kecuali

Amenka Serikat, dimana garis kemiskinannya tidak berubah selama hampir empat

dekade. Uni Eropa umurnnya mendefinisikan penduduk miskin adalah mereka

yang memiliki pendapatan perkapita di bawah 50% dari median (rata-rata) pendapatan. Ketika median atau rata-rata pendapatan meningkat, garis kemiskinan

(33)

Kemiskinan absolut di sisi yang lain, merupakan kemiskinan yang

didefinisikan jika seseorang berada pada garis kemiskinan absolut "tetapltidak

berubah" dalam ha1 standar hidup. Garis kemiskinan Arnerika Serikat tidak

berubah dari tahun ke tahun, sehingga angka kemiskinan sekarang mungkm dapat

dibandingkan dengan angka kemiskinan stau dekade yang lalu. Ada masalah

konseptual penting yang muncul ketika bekerja dengan garis kemiskinan absolut,

yang muncul dari isu apa yang dimaksud dengan ~ s t k d a r hidup".

2.4.3 Ukuran Kemiskinan dan Ketimpangan.

Jika diberikan informasi tentang konsumsi per kapita, dan sebuah garis

kemiskinan, maka masalah yang tertinggal hanyalah memutuskan ukuran yang

cukup untuk meringkas agregat kemiskinan. Ada sejumlab ukuran agregat

kemiskinan yang dapat dihitung. Tokoh-tokoh pemerhati kemiskinan di dunia

telah mengembangkan ukuran kerniskinan (povew measures), diantaranya yang

terkenal dan formulanya telah banyak digunakan hingga saat ini adalah Foster, Greer clan Thorbecke (1984) dalam Ikhsan (1999). Tokoh-tokoh ini telah

mempelopori usaha-usaha untuk memperbadci iudeks kemiskinan yang konsisten

menurut teori ekonomi dan dapat dioperasionalkan yang dikenal dengan FGT

indeks. Secara matematis formula FGT poverty index dapat ditulis sebagai berikut :

dengan, n = jumlah penduduk; Yi= pendapatanlpengeluaran perkapita penduduk

(34)

FGT indeks akan menjadi Head-Count Index (HCI) jika

a+;

akan menjadi

Poverty Gap Index (PGI) jika a=l; Poverty Severity Index atau Square Poverty Gap (SPgap) jika a=2.

Ketiga indeks di atas hanya akan berguna jika digunakan secara bersama-

sama (Ikhsan, 1999). HCI menggambarkan berapa persentase dari penduduk yang

berada di bawah garis kemiskinan, PGI menggambarkan kedalaman tingkat

kemiskinan, sedangkan SPGap menggambarkan distribusi pendapatan orang

miskin yang menjelaskan tingkat keparahan.

Ukuran kemiskinan menekankan pada keadaan individu atau rumah tangga

yang berada pada posisi bawah dari distribusi pendapatadpengeluaran. Umumnya

ha1 ini memerlukan iFformasi baik tentang rata-rata pendapatan (pengeluarannya)

maupun distribusinya (pada posisi terendah). Ketimpangan, dilain pihak

merupakan sebuah konsep yang lebih luas dalam arti bahwa ketimpangan

didehsikan terhadap seluruh populasi, dan tidak hanya pada penduduk yang

berada di bawah garis kemiskinan. Sebagian besar ukuran ketimpangan tidak

bergantung pada rata-rata distribusi, dan sifat ini dianggap sebagai sifat yang

disenagi dari suatu ukuran ketimpangan. Perlu dicatat bahwa ukuran ketirnpangan

dapat dihitung

untuk

setiap distribusi, tidak hanya konsurnsi, pendapatan atau

variabel moneter lain, tetapi juga bisa untuk tanah dan variabel kontinyu lainnya. Kadang-kadang kita lebih tertarik mengukur ketimpangan daripada

kemiskinan semata. Cara yang paling sederhana dimulai dengan membagi

penduduk menjadi lima bagian dari kelompok termiskin hingga kelompok

(35)

diterima oleh setiap kelompok. Ukuran ketimpangan lain yang urnum digunakan adalah :

1. Koefisien Ketimpangan Gini.

Ukuran ketimpangan tunggal yang paling luas digunakan adalah Koefisien

Gini (Gini Ratio). Koefisien Gini d i d a d a n pada kurva Lorenz, sebuah kurva fiekuensi kurnulatif yang membandingkan distribusi dari suatu

variabel tertentu (misalnya pendapatan) dengan distribusi uniform (seragam

yang mewakili pemerataan. Untuk membentuk koefisien Gini, gambarlah

grafik presentase kumulatif penduduk (dari termiskin hingga terkaya) pada

sumbu horisontal, dan presentase kumulatif pengeluaran (pendapatan ) pada surnbu vertikal. Ini menghasilkan kurva Lorenz seperti ditunjukkan pada

Gambar 1. Gms diagonal mewakili pemerataan sempurna. Koefisien gini didefhisikan sebagai A/(A+B).

100 80 m 3 d al

p

60 al P

*

tii 40

-

z

z 20 3 0 0 20 40 60 80 100 % kurnulatif penduduk

(36)

Misalkan sebuah titik pada swnbu X, dan yi sebuah

titik

pada sumbu Y. Maka:

Kisaran nilai Gini : OrGiniS 1

Pengertian nilai : 0, berarti pemerataan sempurna.

1, berarti ketimpangan sempuaa.

2. Rasio Dispersi Desil (Decil Dispersion Ratio).

Ukuran lain yang sederhana dan luas digunakan adalah rasio dispersi desil, yang menyajikan rasio rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% peduduk terkaya dibagi dengan rata-rata konsumsi dari pendapatan 10% penduduk termiskin, atau rasio ini dapat juga untuk persenti1 yang lain. Rasio desil

dapat langsung diinterpretasi dengan mengatakan pendapatan 10% tertinggi

(kaya) sebagai perkalian dari pendapatan mereka yang berada di desil

terendah (miskin). Meslupun demikian ukuran tersebut mengabaikan

informasi tentang pendapatan dari golongan meilengah pada distribusi

pendaoatan, dan bahkan tidak menggunakan mformasi distribusi pendapatan dalam desil tertinggi dan terendah itu sendiri.

Pengukwan distibusi pendapatan pada penelitian ini adalah menggunakan

koefisien ketimpangan Gini yang selanjutkan disebut Indeks Gini.

2.4.4 Determinan Kerniskinan

Deteminan kemiskinan adalah fakor-faktor atau karakteristik yang

menentukan seseorang dapat menjadi miskin. Secara ringkas faktor-faktor penentu

(37)

komunitas, karakteristik rumah tangga, dan karakteristik individu (world Bank,

2002). Karakteristik menurut wilayah secara urnum tingkat kemiskinan tinggi

terjadi pada wilayah dengan ciri-ciri sebagai berikut : terpencil secara geografis, surnberdaya yang rendah, curah hujan rendah, dan kondisi iklim yang tidak

ramah.

Pada tingkat komunitas, inftastruktur merupakan determinan utama

kemiskinan. Indikator pembangunan infi-astruktur yang s e ~ g digunakan dalam

pemodelan ekonometrik mencakup akses terhadap jalan aspal, ada tidaknya akses

terhadap listrik, kedekatan terhadap pasar bebas, tersedianya sekolah dan klinik,

dan jarak ke pusat administrasi. Indikator lain dari karakteristik tingkat komunitas mencakup pem5angunan sumberdaya manusia, akses yang sama terhadap

peke rjaan, mobilisasi sosial dan keterwalalan (representasi), dan distribusi lahan

pertanian. Penelitain terbaru telah menekankan kepada pentingya jaringan dan

institusi sosial, serta modal sosial (social capital) dalam masyarakat.

Beberapa karakteristik penting menurut kelwga dan individu mencakup struktur umur anggota rumahtangga, pendidikan, jender kepala rumah tangga, dan tingkat partisipasi angkatan kerja.

2.5 Tinjauan Studi Terdahulu

Studi mengenai desentralisasi fiskal sudah banyak dilakukan baik menurut

wilayah maupun menurut aspek yang diteliti. Studi desentralisasi fiskal dengan

cakupan wilayah agregasi nasional (Indonesia) atau provinsi, serta aspek yang

diteliti adalah perekonomian daerah dan pemerataan antar daerah pernah

dilakukan oleh Brodjonegoro, dkk (2001), Riyanto (2003), Pardede (2005),

(38)

dengan cakupan wilayah agregasi nasional dan aspek yang diteliti mengenai

kerniskinan pernah dilakukan oleh Yudhoyono (2004) dan Nanga (2006).

Brodjonegoro, dkk (2001), mencoba menyusun model ekonornetrika

desentralisasi khususnya mengenai dana alokasi badi hasil surnber daya alam dan

DAU dalam kaitannya dengan pemerataan dan pertumbuhan ekonomi antar

daerah. Pengembangan model ekonometrika ini bertujuan untuk mengetahui dampak pelaksanaan bagi hasi sumber daya lalam dan alokasi DAU terhadap

kesenjangan antar daerah dan merumuskan format alokasi surnber daya alam dan

DAU yang mampu m e n d h g proses pengwangan kesenjangan pendapatan antar

daerah. Model analisis yang dibangun menggunakan model persamaan simultan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan pembagian penerimaan negara

melalui konsep bagi hasil menimbulkan kesenjangan antar daerah. , sedangkan kebijakan alokasi DAU mampu memperkecil kesenjangan antar daerah.

Riyanto (2003), melakukan penelitian dengan tujuan menganalisis dampak

kebijakan desentralisasi fiskal terhadap perekonomian daerah dan pemerataan pembangunan wilayah di Indonesia. Penelitian dilakukan dengan membangun

model hubungan antara blok perekonomian daerah dengan blok keuaflgan daerah

menggunakan model ekonometnka. Setiap persamaan dalam model kemusian

diestimasi dengan teknik pooled time series - cross section regression. Disamping

itu melakukan studi kasus untuk menelaah proses perencanaan di daerah setelah desentralisasi fiskal diberlakukan. Penelitian in menemukan bahwa dana perimbangan amg rnerupakan transfer dari pemerintah pusat ke daerah secara

signiaan meningkatkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), tetapi dana perimbangan tersebut tidak berdampak secara signifikan dalarn

(39)

peningkatan perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh masih besarnya

belanja ruth dalam komponen APBD, kualitas sumberdaya rnanusia yang rendah dan tidak efesiennya birokrasi pemerintah, kelembagaan pemerintah yang lemah,

serta tidak efesiennya proses perencanaan pembangunan daerah karena derajat

partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan masih rendah. Selanjutnya hasil simulasi model ekonometrika untuk analisis dampak desentralisasi fiskal terhadap pemerataan pembangunan wilayah diperoleh informasi bahwa dana perimbangan

dapat meri~perbaiki pemerataan pembangunan antar wilayah, walaupun secara

aktual pemerataan pembangunan wilayah pada tahun 2001 belum membaik.

Pemerataan pembangunan wilayah tersebut akan lebih baik jika formula untuk

mengalokasikan Dana Alokasi Umum diterapkan secara konsisten dengan

megurangi peranan faktor penyeimbang (faktor politik).

Pardede (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fiskal terhadap

perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil

simulasi yang dilakukan, Pardede menemukan bahwa peningkatan Bagi hasil

Pajak dan Bukan Pajak serta upah berdampak negatif terhadap perekonomian

(PDRB), kesempatan kerja, dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh positif

terhadap Inflasi. Sementara itu peningkatan Pajak Daerah dan Retribusi

berdampak positif terhadap terhadap perekonomian (PDRB), kesempatan keja,

dan distribusi pendapatan, namun berpengaruh negatif terhadap Inflasi.

Sedangkan peningkatan DAU dan Pembangunan Mi-astruktur secara umum

berdampak positif terhadap perekonomian dan kesempatan kerja, sebaliknya

(40)

Saefudin (2005), melakukan studi dampak desentralisasi fisical terhadap

kinerja perekonomian dan kelembagaan di Provini Riau. Saefbdin menemukan

bahwa dari evaluasi pelaksanaan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal dan

kinerja fiskal daerah menunjukkan bahwa pada sisi penerimaan terjadi

peningkatan, dimana dana transfer dari pemerintah pusat memberi kontribusi

terbesar, tetapi pada sisi pengeluaran menunjukkan alokasi (proporsi) pengeluaran

rutin meningkat lebih tinggidaripadi alokasi pengeluaran pembangunan.

P e n m a n alokasi pengeluaran pembangunan ditunjukkan oleh penurunan alokasi

pengeluaran untuk sektor-sektor pembangunan khususnya sektor pertanian dan pelayanan sosial urnurn. Kenaikan kebijakan DAU dan Bagi Hasil Pajak dan

Bukan Pajak, dan realokasi pengeluaran rutin dan pembangunan mendorong

pertumbuhan ekonomi, pemerataan pandapatan, p e n m a n kesenjangan antar

daerah. Secara umum Eksekutif sebagai pelaksana kebijakan desentralisasi fiskal

dan Legislatif sebagai fimgsi anggaran dan kontrol Pemda belum dapat

menjalankan ketentuan UU No. 22 d m UU No. 25 Tahun 1999 dan kinerja

dengan baik. Secara adrninistrasi dan ekonomi Pemda belum mampu memberikan

pelayanan publik dengan baik. Indikator utamanya adalah belumadanya

perubahan mendasar terhadap pelayanan publik, dernikian halnya dengan kinerja

administrasi (keuangan), pengelolaan pembanguntin dan kelenbagaan daerah.

Sumedi (2005), melakukan penelitian mengenai darnpak kebijakan

desentralisasi fiskal terhadap kinerja sektor pertauian. Pada cakupan wilayah,

Sumedi menyoroti dampak kebijakan desentralisasi fiskal di Provinsi Jawa Barat.

Analisis dampak kebijakan desentrlisasi fiskal terhadap kesenjangan antar

(41)

basis industri dan pertanian. Indiktor yang digunakan adalah kontribusi PDRB

sektoral. Daerah pertanian adalah kabupatenlkota yang memiliki pangsa PDRB

sektor pertanian relatif besar yaitu lebih dari 10 persen. Jika pangsa PDRB sektor pertanian b a n g dari 10 persen, masuk dalam kategori daerah industri. Diantara

temuan-temuan yang diperolehnya, diketahui bahwa pemngkatan DAU

berdampak pada peningkatan kesenjangan antar kabupatenlkota baik di daerah

berbasis pertanian maupun industri sehingga pada tingkat Provinsi Jawa Barat

juga mengalami peningkatan kesenjangan antar daerah. Hasil ini bertolak

belakang dengan tujuan pemberian DAU yang salah satunya adalah untuk

mengurangi kesenjangan antar daerah justru berdampak sebalhya. Sumedi

mengatakan ha1 ini disebabkan karena alokasi DAU yang belum proporsional berdasarkan kebutuhan dan kapasitas yang dimiliki daerah namun mash sangat

dominan menggunakan faktor penyeimbang.

Pakasi (2005) meneliti dampak desentralisasi fiskal terhadap perekonomian kabupaten dan kota di Provinsi Sulawesi Utara. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian Pakasi adalah pertama, setelah desentralisasi, kinerja fiskal daerah

didomhasi oleh penerimaan DAU terhadap Fiscal Available dan pengelwan rutin terhzdap Fiscal Need Kedua, kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh besar terhadap kinerja fiskal namun kecil pengaruhnya terhadap perekonomian

daerah. Ketiga, darnpak transfer DAU lebih besar terhadap kinerja fiskal daerah,

sedangkan dampak investasi baik domestik maupun asing lebih besar terhadap

perekonomian daerah. Dan keempat, realokasi anggaran rutin ke anggaran sektor

(42)

pendidikan, dapat meningkatkan kinerja perekonornian daerah yang selanjutnya

berdampak meningkatkan kinerja fiskal daerah.

Yudhoyono (2004), melakukan penelitian yang secara umum bertujuan menganalisis dampak penerapan kebijakan fiskal, terutama pengeluaran

pemerintah, terhadap pengangguran dan kemiskinan. Untuk mencapai tujuan ini

Yudhoyono menggunakan pendekatan ekonometrika dengan membangun model

sistem persamaan simultan yang terdiri atas 22 persamaan struktural dan 9

persamaan identitas. Model ini diduga dengan persamaan 2SLS. Hasil pendugaan

parameter kemudian digunakan untuk melakukan simulasi skenario-skenario

kebijakan yang relevan. Hasil dugaan model menunjukkan bahwa rejim

pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kine rja perekonomian, khususnya PDB dan kerniskianan. Kondisi ekonomi-politik yang ditimbulkan oleh rejim

pemerintahan orde baru cenderung menumnkan PDB pertanian dan non-pertanain. Akibatkan kemiskinan dperdesaan dan perkotaan cenderung meningkat. Hasil

simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan infiastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan

penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Selain itu,

studi Yudhoyono menemukan bahwa untuk men,p-angi kemiskinan, khususnya

diperdesaan, diperlukan polic?, mix antara pengeluaran pemerintah untuk

pembangunan pertanian dan kebijakan upah.

Nanga (2005), melakukan studi mengenai dampak transfer fiskal terhadap kemiskinan. Nanga menyatakan bahwa kemiskinan mash merupakan masalah

yang serius dan memiliki keterkaitan yang era- dengan pertumbuhan ekonomi dan distibusi pendapatan. Kebijakan desentralisasi fiskal yang dilakukan melalui

(43)

trasfer fiskal merupakan salah satu kebijakan pemerintah, yang langsung ataupun

tidak langsung dapat memberikan dampak terhadap kemiskinan di Indonesia.

Secara urnurn, tujuan studi yang dilakukan Nanga adalah untuk menganalisis

faktor-faktor yang mempengaruhai kemiskinan dan menganalisis dampak transfer

fiskal terhadap kemiskinan. Model Transfer Fiskal dan Kemiskinan yang

dibangun terdiri dari enam blok persamaan yaitu: fiskal, output, tenaga kerja,

pengeluaran pekapita, distribusi pendapatan, dan Kemiskinan. Hasil studi Nanga

menunjukkan bahwa transfer fiskal di Indonesia rnemiliki dampak yang

cenderung memperburuk ketimpangan pendapatan dan kemiskinan, dan

kemiskinan ternyata sangat dipengaruhi oleh ketimpangan pendapatan.

Persarnaan penelitian kali ini dengan dua penelitian terakhir adalah dari

aspek yang diteliti yaitu mengenai kemiskinan. Namun dalam penelitian ini

cakupan wilayah tidak saja dilihat secara agregat nasional namun didisagregasi

berdasarkan kawasan dan pulau-pulau besar. Berdasarkan kawasan dibedakan

menjadi Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI),

sedangkan yang dimaksud pulau-pulau besar adalah Pulau Sumatera, Jawa dan

Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Lainnya (Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua).

Metode estirnasi yang digunakan adalah dengan teknik pool time series - cross

(44)

Konsep desentralisasi yang diajukan melalui UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999 serta perangkat peraturan yang mendukungnya memberikan keleluasaan

yang sangat besar terutama kepada tingkat kabupatenkota dalam menjalankan

b g s i pelayanan kepada masyarakat daerah setempat. Undang-undang No.

22/1999 telah menggaris bawahi bahwa kabupatenkota

akan

memiliki 1 1 h g s i

pelayanan utama yang wajib dilaksanakan di daerah, antara lain: pendidikan,

kesehatan, pekerjaan mum, transportasi, dan lain-lain (Jasmina, 200 1).

Kewenangan daerah dalam hal pelaksanaan tugas desentralisasi sangat luas,

hal ini tercermin dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban yang diatur dalam mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam tinjauan

ekonomi publik, APBD merupakan instrumen untuk menyelenggarakan aktifitas kepemerintahan dan pengadaan barang publik seperti jalan, jembatan, pertahanan

dan keamanan, serta jasa-jasa pemerintahan lainnya. APBD merupakan belanja

pub& (public expenditure) yang berfbngsi untuk mengatasi kegagalan pasar

(market failure) dalam penyediaan barang dan jasa publik (Stiglitz, 2000).

Oleh karena itu dalam teori keuangan publik disebutkan bahwa fungsi

pemerintah terdiri dari h g s i alokasi, stabiliszsi dan distibusi. Berkaitan ciengan

fungsi alokasi, pemerintah ikut serta dalam perekonomian dengan melakukan alokasi anggaran yang tercermin dalam pengeluaran pemerintah. Berkaitan

dengan penanggulangan kemiskinan, fbngsi distribusi pemerintah sangat

menentukan keberhasilan dari upaya tersebut yang tercerrnin dalam alokasi

(45)

P e n g e l m

SektorPatanian Sekt. Pendidilcan Sek Perurnahan S e k t o r h h y a

~

dan Kesehatan dan Kesejahteraan

~

/

~

/

~

~

l

1

I

Kinexja Ekonomi Daerah i

1

I

PEMJRUNAN PEMERATAAN TINGKAT ( DISTRIBUSI KEMISKINAN / PENDAPATAN

-

(46)

3.1 Penerimaan Pernerintah Daerah

Menurut ketentuan UU No. 25 tahun 1999, sumber penerimaan daerah

dalarn pelaksanaan desentralisasi adalah ; (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), (2) Dana Perimbangan, (3) Pinjaman Daerah dan (4) Lain-lain penerimaan.

Selanjutnya surnber PAD terdiri dari : (1) hasil pajak daerah, (2) hasil retribusi daerah, (3) hasil perusahaan rnilik daerah daerah hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan, dan (4) Lain-lain PAD.

Sedangkan dana perimbangan berasal dari : (1) bagian daerah dari

penerimaan Pajak Bumi dm Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan

Bangunan, dan penerimaan dari Sumber Daya Alam (SDA) ; (2) Dana Alokasi

Umum (DAU) ; dan Dana Alokasi Khusus (DAK).

3.2 Pengeluaran Pemerintah Daerah

Secara garis besar ada 2 jenis pengeluaran daerah yaitu: (1) Pengeluaran

Rutin dan (2) Pengeluaran Pembangunan. Sebagian besar pengeluaran rutin bisa

dik&akan bersifht konsumtif Sedangkan seluruh pengeluaran pembangunan

bersifat investasi.

Anggaran pengeluaran pembangunan pemerintah daerah dalarn APBD

terdiri dari 20 sektor pengeluaran pembangunan yang kemudian dipecah menjadi beberapa sub sektor, program dan proyek. Dari sektor-sektor pengeluaran

pembangunan tersebut secara garis besar dapat digolongkan ke dalam tiga

kelompok, yaitu ; pertarna, pengeluaran untuk sektor ekonomi pertanian yang terdiri dari : (1) sektor pertanian dan kehutanan, serta (2) sektor sumberdaya air dan irigasi ; kedua, pengeluaran untuk sektor ekonomi non pertanian yang terdiri dari : (1) sektor industri, (2) sektor tenaga kerja, (3) sektor perdagangan,

(47)

pengembangan usaha daerah, keuangan daerah dan koperasi, (4) sektor transportasi, (5) sektor pertambangan dan energi, (6) sektor pariwisata dan telekomunikasi daerah, (7) sektor pembangunan dan pemukiman, (8) sektor perumahan dan pemukiman, serta (9) sektor ihnu pengetahuan den energi.

Ketiga, pengeluaran untuk sektor sosial dan pelayanan umum yang terdiri

dari : (1) sektor lingkungan hidup dan tata ruang, (2) sektor pendidikan, kebudayaan nasional, kepercayaan terhadap Tuhan YME, pemuda clan olah raga, (3) sektor kependudukan dan keluarga sejahtera, (4) sektor kesehatan, kesejahtmm sosial, peranan wanita, anak dan remaja, (5) sektor agama, (6)

sektor hukum, (7) sektor aparatus pemerintah dan pengawasan, (8) sektor polink, penerangan, komunikasi dan media masa, serta (9) sektor kearnanan clan ketertiban urnurn.

Disisi lain kita melihat bahwa pada sebagian sektor pengeluaran tersebut

sebenarnya terdapat sektor-sektor yang didalamnya bersentuhan langsung dengan

masyarakat kelas ekonomi bawah atau masyarakat miskin. Dengan kata lain dari

sisi kemampuan ekonomi masyarakat, pengeluaran pembangunan dapzt

digolongkan menjadi: ( I ) program pembangunan berhubungan dengan masyarakat

miskin, dan (2) program pembangunan yang bersifat umum.

Dengan demikian kita bisa beranggapan jika pemerintah daerah memberikan

anggaran cukup besar bagi sektor ini maka masyarakat miskin akan memperoleh manfaat yang relatif lebih besar. Oleh karena itu dari 20 sektor tersebut, perlu

diidentiaasi beberapa sektor yang diperkirakan berhubungan langsung dengan

program penanggulangan kerniskinan. Berdasarkan hasil penelitian yang

Gambar

Gambar 1. Kurva Lorenz Untuk Pengeluaran
Gambar  2.  Kerangka Pemikiran Analisis Desentralisasi Fiskal
Gambar  3.  Perkembangan Pertumbuhan Ekonorni  Indonesia, Tahun 1980-2003
Tabel  2.  Pertumbuhan Ekonomi  Antar  Provinsi, Tahun  1993-2003  (  %>  1 7 TAHUN  Isurnatera Utara  k  jsumatera Barat  Sumatera Selatan  ' ~ a m p w   D  K I  Jakarta  ~ a r a t   Jawa Tengah  - -  i D I Yogyakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan evaluasi kualifikasi yang telah dilaksanakan oleh Panitia Pengadaan Barang/Jasa Pembangunan Data Center Haji Tahun 2012 Ditjen Penyelenggaraan Haji dan

TERIADAP ARUS NETRAL ?ADA PANEL UTAMA GEDUNG B LANTAI DASAR. POLITEKNIK NEGDRI

Penandatanganan perjanjian kerjasamaantara Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan dengan satuan pendidikan yang terakreditasi, atau lembaga sertifikasi lainnya yang sah

Menimbang, bahwa tanpa mengulang menguraikan unsur-unsur tersebut diatas, Pengadilan Tinggi sependapat dengan pendapat Hakim Anggota I yang pada pokoknya menyatakan bahwa

Green sand adalah metode yang paling banyak digunakan dalam proses pengecoran sand casting baik dari coran yang berukuran kecil sampai yang menengah yang diproduksi

Temuan penelitian ini mendukung teori yang digunakan sebagai dasar pengajuan hipotesis penelitian, yaitu: Model Kerangka Kerja Studi Kepuasan Kerja dari Mullins

5) Program kelompok tani merupakan kegiatan-kegiatan yang telah diagendakan untuk bisa dijalankan dengan harapan dapat memberikan perubahan kehidupan petani padi yang

dengan pengaruh konsep diri guru tentang pembelajaran dan pelaksanaan. metode habit forming (pembiasaan) terhadap kemampuan