• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

1 1 Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Universitas Mulawarman

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09 Pembimbing: Pembimbing: dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

WARMAN

SAMARINDA

SAMARINDA

2012

2012

Referat Pendek  Referat Pendek 

(2)

2 2

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Referat Referat

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik  Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik 

 pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam  pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09

Dipresentasikan pada 14 Januari Dipresentasikan pada 14 Januari 20201122

Pembimbing Pembimbing dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002 NIP: 19700513 20003 1 002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

WARMAN

SAMARINDA

SAMARINDA

2012

2012

(3)

2 2

LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS

Referat Referat

Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik  Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik 

 pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam  pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam

Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09

Dipresentasikan pada 14 Januari Dipresentasikan pada 14 Januari 20201122

Pembimbing Pembimbing dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002 NIP: 19700513 20003 1 002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER 

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN

WARMAN

SAMARINDA

SAMARINDA

2012

2012

(4)

3 3

KATA PENGANTAR  KATA PENGANTAR 

Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah

Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta¶alaSubhanahu wa Ta¶ala karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul ³

dengan judul ³  Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis  Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis´.´. Referat ini disusunReferat ini disusun   berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari

  berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari text text book book ,,  guid 

 guid eelinlinesesterbaru dan referensi ilmiah lainnyaterbaru dan referensi ilmiah lainnya.. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT

Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT,, oleh karena itu penulis menerimaoleh karena itu penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek  segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek    penulisan referat ini maupun secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini   penulisan referat ini maupun secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini..

Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun  pembaca

 pembaca..

Samarinda

Samarinda,, JanuariJanuari20201122

Penulis Penulis

(5)

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 BAB II ISI ... 3 2.1 Pengobatan TB... 2

2.2 Efek Samping OAT... 11

2.2.1 Isonazid... 11

2.2.2Rifampisin... 12 2.2.3Pyrazinamide... 13 2.2.4 Ethambuthol... 14

2.2.5Streptomycin... 17

BAB III PENUTUP ... 23

3.1 Kesimpulan... 23

3.2Saran... 23 DAFTAR PUSTAKA ... 24

(6)

5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar , khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain:1

1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia

2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.

3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar  300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta.

4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR ) mengalami   peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan  penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar  76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%.

Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan  penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan   pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa   pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk 

(7)

6

dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut.

1.2 Tujuan

1.2.1 Mengetahui dan mengenali gejala dari efek samping OAT

(8)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengobatan TB

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer . Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan  pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi.2

Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.   Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik , kurang efektif , dan dipakai jika obat   primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai

alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.2

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

y Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk  mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

y Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

(9)

8 1. Tahap Intensif 

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan   perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan

obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif  (konversi)dalam2bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk 

membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan

Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap

dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi

OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H33 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf 

tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :2

H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin

(10)

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada ³2HRZE´, artinya digunakan selama 2  bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf ,

seperti pada ³4H3artinya dipakai 3kali seminggu ( selama 4 bulan). Kemasan obat dalam bentuk :

y Obat tunggal,

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.

y Obat kombinasi dosis tetap ( F i xed Do seCombinat ion± FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia

Kategori 1 2HRZE/4H33

Kategori2 2HRZES/HRZE/5H33E3

OAT sisipan  HRZE

Kategori anak 2HRZ/4HR 

1. Kategori-1 (2HRZE/4H33)1

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6  bulan

Obat ini diberikan untuk:

 Penderita baru TB Paru BTA Positif .

 Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen P ositif   Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru

(11)

x

2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H33E3)1

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah

itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang

diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8bulan.

Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya  pernah diobati, yaitu:

 Penderita kambuh (r elap s)  Penderita gagal ( f  ailur e)

 Penderita dengan pengobatan setelah lalai (a f  ter d e f  aul t ).

3. OAT Sisipan (HRZE)1

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif  dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif , diberikan obat sisipan (HRZE)setiap hari selama 1 bulan.

Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 ± 50 kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet

Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan  berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.

Tabel2.Jenis dan dosis OAT1

Obat  Dosis (mg/Kg BB/hr) Dosis yg dianjurkan Dosis Maks (mg) Dosis mg/KgBB Harian (mg/Kg BB/hr) Intermitte n (mg/Kg BB/kali) <40 40-60 >60 R 8-12 10 10 600 300 450 600 H 4-6 5 10 300 150 300 450 Z 20-30 25 35 750 1000 1500 E 15-20 15 35 750 1000 1500 S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

(12)

xi

Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut  F i x Do seCombinat ion (FDC).

Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO

sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dala m  bentuk lepas.

Keuntungan penggunaan OAT FDC:

a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu

kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan  penderita.

 b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah

  pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita.

c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita

tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan dit elan.

d. Dari aspek manajemen logistik , OAT-FDC akan lebih mudah

  pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3

Tabel 3.Jenis OAT FDC2

Fase Intensif Fase Intensif 

2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu RHZE 150/75/400/275 RHZ 150/75/400 RHZ 150/150/500 RH 150/75 RH 150/150 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non t oksik . Pada kasus yang mendapat obat

(13)

xii

kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk  kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2

4. Kategori Anak 

Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin,radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)

Pada anak , batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat

sulit sekali mengambil sampel dahak , maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis

dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman   Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan ( scor ing  system) yaitu  pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 4. Sistem pembobotan ( scor ing  system) untuk diagnosis TB pada

anak 

Parameter  0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan

keluarga,

BTA tidak   jelas

BTA (+)

Uji Tuberkulin Negatif Positif ( 10

mm, atau  5

mm pada keadaan

imunosupresi)

(14)

xiii

/keadaan gizi merah (KMS)

atau BB/U < 80%   buruk (BB/U <60%) Demam tanpa sebab jelas > 2 minggu (jelas) Batuk* > 3minggu Pembesaran kelenjar limfe coli, aksila, inginal, > 1cm, jumlah > 1, tidak nyeri Pembengkakan tulang/sendi  panggul, lutut Ada  pembengkakan

Foto toraks Normal / tidak jelas

Kesan TB

Catatan:

y Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter 

y Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk 

kronik lainnya seperti : asma,sinusitis dan lain-lain

y Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat

langsung didiagnosis tuberkulosis

y Berat badan dinilai saat pasien datang

y Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak 

y Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah

 penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak .

y Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6(skor maksimal 13)

y Pasien usia balita yang mendapat skor  5, dirujuk ke RS untuk evaluasi

(15)

xiv

Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6(6)didiagnosis

sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis).

Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat

maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :

y Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan

 pleura, cairan serebrospinal,cairan ascites atau spesimen lain.

y Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan

atau biopsy.

y Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu

menggunakan CT-Scan.

y Pemeriksaan lain seperti funduskopi.

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan

dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif 

dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan

selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3

OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R .

Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari,baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak .

Tabel5.Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak 

Obat Dosis Harian

(mg/KgBB/hari) Dosis maksimal (mg per hari) Isoniazid (H) 5-15* 300 Rifampisisn ** (R ) 10-20 600 Pyrazinamide (z) 15-40 2000 Streptomisin (S) 15-40 1000 Catatan:

(16)

xv

* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/Kg?BB/hari

** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat

diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).

Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)

Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75

mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg

dan rifampisin 75 mg.

Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT

Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,

R75, Z150 2 bulan, tiap

hari

KDT tahap lanjutan H50,

R754 bulan, Tiap Hari

05-09 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2tablet

15-19 3 tablet 3tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan:

y Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS

y Anak dengan BB > 33Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5 y Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

y Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah

(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable). 2.2 Efek Samping OAT :5

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek  samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

  pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

(17)

xvi

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &

5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka

 pemberian OAT dapat dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)4,5

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,

kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi

dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau

dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat

diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom

 pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat

timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau

ikterik , hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada

keadaan khusus.

Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis dan lama pemberiannya

A. Reaksi Imunologis

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan

terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat

B. Toksisitas langsung

Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama

yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan

 pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang

tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien,

yang biasanya asimtomatik . Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu

makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada

1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak 

segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan

(18)

xvii

terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 2 1-35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien  berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu

alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa  pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi

kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.

  Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai   pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi,

seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi  piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian   piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf   pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis

dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.

Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.

2. Rifampisin1,3,6

Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,

keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara  permanen).

A. Reaksi Imunologis

Efek samping meliputi ruam dan demam. B. Toksisitas Langsung

Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang

(19)

xviii

dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease,   beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan  pengobatan simptomatik ialah :

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah

kadang kadang diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

- Hepatitis imbas obat atau ikterik , bila terjadi hal tersebut OAT harus

distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah

satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

3. Pirazinamid4,5

Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5%  penderita),

(20)

xix

Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.

y Gastrointestinal

Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya   berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.

y Hematologi dan limfatik 

Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme  pembekuan darah juga jarang dilaporkan.

y Efek lainnya

Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.

4. Etambutol4,5,6

Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang   paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar , yang menyebabkan  penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar  25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.

(21)

xx

y Ocular 

Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman  penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk 

neuritis optic atau retrobulbar neuritis),scotoma, dan buta warna.

Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6 Secara klasik , toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan  bersifat reversibel ketika obat dihentikan.

o Dose-related

Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan  bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg

  per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1%

dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan

  pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang

dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.

o Duration-related

Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah

 pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping

dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah

12bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan

  bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.

Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman   penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa

terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara   berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic

(22)

xxi

Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan   pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan  biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat

terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.

Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.

y Metabolik 

Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor pr esipitasi dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%

  pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2

  bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.

y Hepatic

Efek samping termasuk toksisitas liver . Peningkatan sementara dan asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari  bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol

y Hipersensitivitas

Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,

(23)

xxii

necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking fever ), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.

y Hematology

Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.

y Respiratory

Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa eosinofilia

y Gastrointestinal

Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan   bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain

termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.

y  Nervous system

Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar , dan rasa tebal serta kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.

y Psychiatric

EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.

y Dermatologic

Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.

y Musculoskeletal

Efek samping termasuk gangguan sendi

y Renal

Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial nephritis.

(24)

xxiii

Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik . Ototoksisitas dan

nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan

insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan

diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan.

Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan  pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan.

  Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau   penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya

toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough)

aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat

yang paling bersifat ototoksik . Streptomisin dan gentamisin paling bersifat

vestibulotoksik . Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat

nefrotoksik .

Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek  yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis  pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian

kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak 

sering terjadi.

Reaksi Simpang Streptomisin5

Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat

  paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani   pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada

(25)

xxiv

 petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang

 berhasil.

Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik 

yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular ,

  berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan

gangguan ini berhubungan langsung dengan umur , pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa

minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas

vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama

kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga  penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.

Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya2

Efek Samping Kemungkinan

Penyebab

Tatalaksana

Minor OAT Teruskan

Tidak nafsu makan, mual,

sakit perut

Rifampisin Obat diminum malam

sebelum tidur 

  Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6(piridoksin)

1x100mgperhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Mayor Hentikan Obat

Gatal dan kemerahan  pada kulit

Semua jenis OAT Beri antihistamin & dievaluasi ketat

Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

(26)

xxv

(vertigo dan nistagmus)

Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain

disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT Sampai ikterik menghilang

dan boleh diberikan hepatoprotektor  Muntah dan con f  u sion

( su s pected d r ug-induced 

 pr e-icter iche pat it i s)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol

Kelainan sistemik ,

termasuk syok dan  purpura

Rifampisin Hentikan Rifampisin

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil

meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian

 pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan

tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu

dirujuk .

Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

y Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka   pemberian kembali OAT harus dengan cara ³d r ug chall enging´ dengan

menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat

mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.

y Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT

dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip d echall eng e

(27)

xxvi

rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi

hipersensitivitas.

y Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,

misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan

TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat

tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu

diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.

y Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)

terhadap Isoniasid (INH)atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis

OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)

dalam pengobatan jangka pendek . Bila pasien dengan reaksi

hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut

HIV negatif , mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan

lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab

mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan

rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),

sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik 

tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk 

menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat

regimen pengobatan TB.

Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :

y Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.

y Keparahan dari penyakit hati

y Keparahan dari TB

y Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.

Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat

anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit

(28)

xxvii

regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.

Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati

kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan

melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu

setelah menghilangnya jaundice dan tend er ness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan

  penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.

Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat

diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli

menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif . Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai

diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap

  pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari  pyrazinamide

Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.

y Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa

rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti

dengan 10bulan isoniazid dan ethambutol

y Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin,

 pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.

y Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif ,

total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9

(29)

xxviii

y Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen

nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan

fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.

Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang

optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB

menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang

digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika,

suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah,

(single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya

terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai

 berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif 

atau lanjutan.

y Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan

TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika

hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti

  pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari

 permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6bulan pada fase

lanjutan.

y Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis

menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan

(30)

xxix

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek  samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu

  pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan, antara lain :

1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer , dan

hipersensitivitas.

2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada

gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,

cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.

3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala

 pada gastrointestinal dan hipersensitivitas.

4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik , ketajaman penglihatan

 berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,

hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.

5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik .

3.2 Saran

Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu

(31)

xxx

DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES RI, 2010, P anduan Tat alak  sana Tubekulo si s.Jakarta

2. WHO,2010,Guid elines  f  o he t eat ment  o f   Tubeculo si s  F ouh edit ion.Geneva

3. Dahlan, Z.  Diagno si s dan  P enat alak  sanaan Tubekulo si s.Tinjauan

 K e pu st akaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12

4. Depkes RI. 2005. P hamaceut ical Cae unt uk  P en yakit Tubekulo si s.

Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal. 5. Katzung, 2004. F amakologi Klinik Edi si 4. EGC. Jakarta.

6. RYC Chan, et al, 2006. Oculao xicity o f  et hambut ol: eview aicl e.

Hong Kong Med J Vol 12 No 1 February2006.

Gambar

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT 1
Tabel 3. Jenis OAT FDC 2
Foto toraks  Normal  / tidak jelas
Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak 
+3

Referensi

Dokumen terkait

Efek obat terhadap tubuh pada dasarnya merupakan interaksi obat dengan reseptornya, efek ini tergantung pada jumlah obat yang terangkut oleh protein plasma

PENGARUH FAKTOR RISIKO TERHADAP WAKTU TIMBULNYA EFEK SAMPING KANAMISIN PADA TUBERKULOSIS RESISTAN OBAT.

misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dan sebagainya, sehingga dosis yang diberikan

Semua pasien tuberkulosis di Puskesmas Perumnas Kota Kendari mengalami efek samping berupa mual dan muntah, kemerahan pada urin, tidak ada nafsu makan, demam,

Gambar 2 menunjukkan bahwa jenis efek samping OAT yang paling banyak dialami oleh penderita TB selama pengobatan tahap intensif adalah nyeri sendi (81%).. Adapun

penga'asan pas!a-pemasaran untuk obat baru yang mungkin belum memiliki data efek samping obat angka panang. $elain itu&amp; monitoring efek samping untuk obat beresiko tinggi

bahwa efek samping lain dari OAT adalah efek alergi pada kulit (8,45%).(15) Studi tentang reaksi obat yang merugikan terhadap OAT lini pertama dalam terapi DOTS

Bahan penelitian untuk data efek samping obat pada pasien TB-DM menggunakan data primer, yaitu kuesioner yang diberikan pada pasien TB-DM di Poli Directly Observed Treatment