1 1 Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Universitas Mulawarman
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09 Pembimbing: Pembimbing: dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
WARMAN
SAMARINDA
SAMARINDA
2012
2012
Referat Pendek Referat Pendek2 2
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Referat Referat
Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09
Dipresentasikan pada 14 Januari Dipresentasikan pada 14 Januari 20201122
Pembimbing Pembimbing dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002 NIP: 19700513 20003 1 002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
WARMAN
SAMARINDA
SAMARINDA
2012
2012
2 2
LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
EFEK SAMPING OBAT ANTI TUBERKULOSIS
Referat Referat
Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik Diajukan Dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik
pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam pada Bagian Ilmu Penyakit Dalam
Disusun oleh: Disusun oleh: Heri Suhendra Heri Suhendra NIM: 06.55399.00342.09 NIM: 06.55399.00342.09
Dipresentasikan pada 14 Januari Dipresentasikan pada 14 Januari 20201122
Pembimbing Pembimbing dr. Mauritz S., Sp.P dr. Mauritz S., Sp.P NIP: 19700513 20003 1 002 NIP: 19700513 20003 1 002
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN
WARMAN
SAMARINDA
SAMARINDA
2012
2012
3 3
KATA PENGANTAR KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah
Puji dan syukur penulis panjatkan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta¶alaSubhanahu wa Ta¶ala karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat karena atas rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul ³
dengan judul ³ Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis Efek Samping Obat Anti Tuberkulosis´.´. Referat ini disusunReferat ini disusun berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari
berdasarkan telaah pustaka yang dilakukan penulis yang bersumber dari text text book book ,, guid
guid eelinlinesesterbaru dan referensi ilmiah lainnyaterbaru dan referensi ilmiah lainnya.. Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT
Kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT,, oleh karena itu penulis menerimaoleh karena itu penulis menerima segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek segala saran dan kritik yang membangun demi perbaikan secara khusus pada aspek penulisan referat ini maupun secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini penulisan referat ini maupun secara keseluruhan pada proses pengerjaan referat ini..
Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun Akhirnya penulis berharap semoga referat ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun pembaca
pembaca..
Samarinda
Samarinda,, JanuariJanuari20201122
Penulis Penulis
4
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... iv BAB I PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 BAB II ISI ... 3 2.1 Pengobatan TB... 2
2.2 Efek Samping OAT... 11
2.2.1 Isonazid... 11
2.2.2Rifampisin... 12 2.2.3Pyrazinamide... 13 2.2.4 Ethambuthol... 14
2.2.5Streptomycin... 17
BAB III PENUTUP ... 23
3.1 Kesimpulan... 23
3.2Saran... 23 DAFTAR PUSTAKA ... 24
5
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis adalah penyakit menular yang dapat menyerang berbagai organ tubuh, namun sebagain besar menyerang paru. Tuberkulosis merupakan masalah kesehatan masyarakat terbesar , khususnya di negara berkembang. Beberapa fakta menunjukkan hal ini antara lain:1
1. Indonesia merupakan Negara dengan jumlah pasien TB terbanyak ke-4 di dunia setelah India, Cina dan Afrika Selatan.. Diperkirakan jumlah pasien TB di Indonesia sekitar 5,8% (tahun 2008) dari total jumlah pasien TB di dunia
2. Data yang didapat dari WHO (World Health Organization) pada tahun 2002, terdapat 22 negara di dunia yang memiliki jumlah penderita TB terbesar di dunia.
3. Tahun 2004 tercatat 211.753 kasus baru tuberkulosis di Indonesia, dan diperkirakan sekitar 300 kematian terjadi setiap hari. Setiap tahunnya kasus baru tuberkulosis bertambah seperempat juta.
4. Penemuan kasus BTA positif (case detection rate, CDR ) mengalami peningkatan selama periode 2003-2006 dan tahun 2007 menunjukkan penurunan di bawah target global (70%). Angka penemuan kasus TB paru tahun 2003 sebesar 42%, tahun 2005 sebesar 54%, tahun 2006 sebesar 76% yang berarti mencapai target global, namun pada tahun 2007 kembali menurun sebesar 69%.
Dengan penanganan yang tepat, TB merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Pemerintah juga telah menetapkan pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis. Pengobatan TB memakan waktu yang cukup lama dan rentan untuk timbulnya efek samping. Sebagian besar pasien TB, dalam perjalanan pengobatannya tidak selalu dijumpai adanya efek samping. Tetapi pada beberapa pasien didapatkan efek samping yang dirasakan memberat. Penting bagi pasien untuk
6
dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut.
1.2 Tujuan
1.2.1 Mengetahui dan mengenali gejala dari efek samping OAT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengobatan TB
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer . Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi.2
Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik , kurang efektif , dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai
alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB.2
Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :
y Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.
y Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan
dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
8 1. Tahap Intensif
Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan
obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi)dalam2bulan.
2. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk
membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya
kekambuhan
Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap
dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi
OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R 3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf
tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni :2
H = Isoniazid R = Rifampisin Z = Pirazinamid E = Etambutol S = Streptomisin
Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2 didepan seperti pada ³2HRZE´, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf ,
seperti pada ³4H3R 3´artinya dipakai 3kali seminggu ( selama 4 bulan). Kemasan obat dalam bentuk :
y Obat tunggal,
Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol.
y Obat kombinasi dosis tetap ( F i xed Do seCombinat ion± FDC)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet
Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia
Kategori 1 2HRZE/4H3R 3
Kategori2 2HRZES/HRZE/5H3R 3E3
OAT sisipan HRZE
Kategori anak 2HRZ/4HR
1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R 3)1
Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6 bulan
Obat ini diberikan untuk:
Penderita baru TB Paru BTA Positif .
Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen P ositif Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru
x
2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R 3E3)1
Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah
itu diteruskan dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang
diberikan tiga kali dalam seminggu. Lama pengobatan 8bulan.
Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati, yaitu:
Penderita kambuh (r elap s) Penderita gagal ( f ailur e)
Penderita dengan pengobatan setelah lalai (a f ter d e f aul t ).
3. OAT Sisipan (HRZE)1
Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan dahak masih BTA positif , diberikan obat sisipan (HRZE)setiap hari selama 1 bulan.
Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 ± 50 kg: 1 tablet Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet
Pirazinamid 500mg, 3 tablet Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas dalam 1 dos kecil.
Tabel2.Jenis dan dosis OAT1
Obat Dosis (mg/Kg BB/hr) Dosis yg dianjurkan Dosis Maks (mg) Dosis mg/KgBB Harian (mg/Kg BB/hr) Intermitte n (mg/Kg BB/kali) <40 40-60 >60 R 8-12 10 10 600 300 450 600 H 4-6 5 10 300 150 300 450 Z 20-30 25 35 750 1000 1500 E 15-20 15 35 750 1000 1500 S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000
xi
Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut F i x Do seCombinat ion (FDC).
Obat ini pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO
sangat menganjurkan pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan OAT dalam bentuk kombipak apalagi dala m bentuk lepas.
Keuntungan penggunaan OAT FDC:
a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu
kombinasi tetap dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita.
b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah
pemberiannya dan meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan penderita.
c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita
tidak bisa memilih jenis obat tertentu yang akan dit elan.
d. Dari aspek manajemen logistik , OAT-FDC akan lebih mudah
pengelolaannyadan lebih murah pembiayaannya.3
Tabel 3.Jenis OAT FDC2
Fase Intensif Fase Intensif
2 bulan 4 bulan
BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/minggu RHZE 150/75/400/275 RHZ 150/75/400 RHZ 150/150/500 RH 150/75 RH 150/150 30-37 38-54 55-70 >71 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5 2 3 4 5
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis terapi dan non t oksik . Pada kasus yang mendapat obat
xii
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru / fasilitas yang mampu menanganinya.2
4. Kategori Anak
Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti (termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin,radiologi, serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)
Pada anak , batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat
sulit sekali mengambil sampel dahak , maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya ditegakkan berdasarkan gejala klinis
dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan ( scor ing system) yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang dijumpai.
Tabel 4. Sistem pembobotan ( scor ing system) untuk diagnosis TB pada
anak
Parameter 0 1 2 3
Kontak TB Tidak jelas Laporan
keluarga,
BTA tidak jelas
BTA (+)
Uji Tuberkulin Negatif Positif ( 10
mm, atau 5
mm pada keadaan
imunosupresi)
xiii
/keadaan gizi merah (KMS)
atau BB/U < 80% buruk (BB/U <60%) Demam tanpa sebab jelas > 2 minggu (jelas) Batuk* > 3minggu Pembesaran kelenjar limfe coli, aksila, inginal, > 1cm, jumlah > 1, tidak nyeri Pembengkakan tulang/sendi panggul, lutut Ada pembengkakan
Foto toraks Normal / tidak jelas
Kesan TB
Catatan:
y Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter
y Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti : asma,sinusitis dan lain-lain
y Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis
y Berat badan dinilai saat pasien datang
y Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
y Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah
penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak .
y Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6(skor maksimal 13)
y Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
xiv
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6(6)didiagnosis
sebagai TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis).
Bila skor kurang dari 6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat
maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :
y Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan
pleura, cairan serebrospinal,cairan ascites atau spesimen lain.
y Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan
atau biopsy.
y Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu
menggunakan CT-Scan.
y Pemeriksaan lain seperti funduskopi.
Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan
dalam waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif
dan lanjutan. Pada tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan
selanjutnya merupakan tahap lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3
OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan diberikan paduan 2 obat H dan R .
Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari,baik pada tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak .
Tabel5.Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak
Obat Dosis Harian
(mg/KgBB/hari) Dosis maksimal (mg per hari) Isoniazid (H) 5-15* 300 Rifampisisn ** (R ) 10-20 600 Pyrazinamide (z) 15-40 2000 Streptomisin (S) 15-40 1000 Catatan:
xv
* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/Kg?BB/hari
** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat
diabsorbsi dengan baik melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan).
Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)
Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75
mg, dan pirazinamid 150 mg. Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg
dan rifampisin 75 mg.
Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT
Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,
R75, Z150 2 bulan, tiap
hari
KDT tahap lanjutan H50,
R754 bulan, Tiap Hari
05-09 1 tablet 1 tablet
10-14 2 tablet 2tablet
15-19 3 tablet 3tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Catatan:
y Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS
y Anak dengan BB > 33Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5 y Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
y Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah
(chewable), atau dilarutkan dalam air (dispersable). 2.2 Efek Samping OAT :5
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
xvi
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 &
5), bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)4,5
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi,
kesemutan, rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin dengan dosis terendah 10 mg perhari atau
dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrom
pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang dapat
timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau
ikterik , hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada
keadaan khusus.
Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan dosis dan lama pemberiannya
A. Reaksi Imunologis
Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan
terjadi lupus ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat
B. Toksisitas langsung
Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama
yang paling sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan
pada aminotransferasi hati (hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang
tidak membutuhkan penghentian obat dan dijumpai pada 10-20% pasien,
yang biasanya asimtomatik . Hepatitis klinis yang disertai hilangnya nafsu
makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas terjadi pada
1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak
segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan
xvii
terjadi pada usia di bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 2 1-35 tahun, 1,2% pada pasien berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko hepatitis lebih besar pada pecandu
alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta pada masa pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi
kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.
Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien dengan keadaan kondisi presdiposisi,
seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid meningkatkan ekskresi piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui pemberian piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat, yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis
dan kejang. Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.
Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.
2. Rifampisin1,3,6
Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin,
keringat, air mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen).
A. Reaksi Imunologis
Efek samping meliputi ruam dan demam. B. Toksisitas Langsung
Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang
xviii
dari dua kali seminggu, rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut. Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9, 2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon, antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatik ialah :
- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah
kadang kadang diare
- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan
Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :
- Hepatitis imbas obat atau ikterik , bila terjadi hal tersebut OAT harus
distop dulu dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus
- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah
satu dari gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun gejalanya telah menghilang
- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
3. Pirazinamid4,5
Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),
xix
Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat mencetuskan artritis pirai akut.
y Gastrointestinal
Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.
y Hematologi dan limfatik
Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan obat ini. Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.
y Efek lainnya
Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat, fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.
4. Etambutol4,5,6
Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering terjadi adalah neuritis retrobulbar , yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.
xx
y Ocular
Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan (termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk
neuritis optic atau retrobulbar neuritis),scotoma, dan buta warna.
Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6 Secara klasik , toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat reversibel ketika obat dihentikan.
o Dose-related
Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara 18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg
per hari, 5-6% dengan 25mg/kg per hari dan kurang dari 1%
dengan 15 mg/kg per hari dari ethambuthol HCL dengan
pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis aman yang
dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih rendah dari 12,3 mg/kg per hari.
o Duration-related
Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah
pengobatan. Mean Interval antara onset terapi dengan efek samping
dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan. Manifestasi gangguan setelah
12bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi. Perlu diperhatikan
bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.
Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa
terjadi pada terapi dengan ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman penglihatan dan perbedaan warna. Optic
xxi
Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer maupun sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat
terjadi. Faktor predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah ada dilaporkan.
Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.
y Metabolik
Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor pr esipitasi dari terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66%
pasien yang menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2
bulan terapi. Gejala biasanya menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.
y Hepatic
Efek samping termasuk toksisitas liver . Peningkatan sementara dan asimptomatik dari LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT, biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi ethambutol
y Hipersensitivitas
Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash,
xxii
necrolysis. Reaksi hipersensitifitas ditunjukkan dengan demam (spiking fever ), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia. Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang dilaporkan terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.
y Hematology
Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan neutropenia.
y Respiratory
Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau tanpa eosinofilia
y Gastrointestinal
Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek samping yang lain
termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.
y Nervous system
Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar , dan rasa tebal serta kesemutan pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.
y Psychiatric
EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.
y Dermatologic
Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.
y Musculoskeletal
Efek samping termasuk gangguan sendi
y Renal
Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic interstitial nephritis.
xxiii
Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum
Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik . Ototoksisitas dan
nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari, pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan
insufisiensi ginjal. Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan
diuretik kuat (misalnya furosemid, asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya, vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila memungkinkan.
Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan.
Nefrotoksisitas menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya
toksistas seringkali berupa peningkatan kadar terendah (trough)
aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan amikasin adalah obat-obat
yang paling bersifat ototoksik . Streptomisin dan gentamisin paling bersifat
vestibulotoksik . Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat
nefrotoksik .
Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian
kalsium glukonat (diberikan segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak
sering terjadi.
Reaksi Simpang Streptomisin5
Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat
paparan yang lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang (misalnya tuberkulosis) maupun pada
xxiv
petugas media yang bertugas menangani obat ini. Desensitisasi kadang-kadang
berhasil.
Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik
yang paling serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular ,
berupa vertigo dan hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan
gangguan ini berhubungan langsung dengan umur , pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular dapat terjadi setelah beberapa
minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah. Toksisitas
vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama
kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada kasus ini relatif dikontraindikasikan.
Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya2
Efek Samping Kemungkinan
Penyebab
Tatalaksana
Minor OAT Teruskan
Tidak nafsu makan, mual,
sakit perut
Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki
INH Beri vitamin B6(piridoksin)
1x100mgperhari
Warna kemerahan pada air seni
Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan Obat
Gatal dan kemerahan pada kulit
Semua jenis OAT Beri antihistamin & dievaluasi ketat
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
xxv
(vertigo dan nistagmus)
Ikterik / Hepatitis Imbas Obat (penyebab lain
disingkirkan)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT Sampai ikterik menghilang
dan boleh diberikan hepatoprotektor Muntah dan con f u sion
( su s pected d r ug-induced
pr e-icter iche pat it i s)
Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT & lakukan uji fungsi hati
Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutol
Kelainan sistemik ,
termasuk syok dan purpura
Rifampisin Hentikan Rifampisin
Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil
meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian
pasien menghilang, namun pada sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan
tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu
dirujuk .
Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
y Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara ³d r ug chall enging´ dengan
menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat
mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut.
y Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT
dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai prinsip d echall eng e
xxvi
rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reaksi
hipersensitivitas.
y Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui,
misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan
TB dapat diberikan lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat
tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu
diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh.
y Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan)
terhadap Isoniasid (INH)atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis
OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting)
dalam pengobatan jangka pendek . Bila pasien dengan reaksi
hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau Rifampisin tersebut
HIV negatif , mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan
lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab
mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.
Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan
rifampisin dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis),
sebagai tambahan rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik
tanpa ada buktinya nyata telah terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk
menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab hepatitis selain dari akibat
regimen pengobatan TB.
Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :
y Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.
y Keparahan dari penyakit hati
y Keparahan dari TB
y Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.
Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat
anti-TB, semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit
xxvii
regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.
Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati
kembali normal dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan
melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk menunggu setidaknya 2 minggu
setelah menghilangnya jaundice dan tend er ness pada abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak menghilang dan
penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.
Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu. Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat
diberikan. Obat terakhir yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli
menganjurkan untuk memulai dengan rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif . Setelah 3-7 hari, isoniazid dapat mulai
diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan terhadap
pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari pyrazinamide
Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.
y Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa
rifampisin dengan 2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti
dengan 10bulan isoniazid dan ethambutol
y Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin,
pyrazinamide dan ethambutol dapat dipertimbangkan.
y Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif ,
total terapi dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9
xxviii
y Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen
nonhepatotoksik yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan
fluoroquinolone dapat dilanjutkan selama total 18-24 bulan.
Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang
optimal, terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB
menggunakan tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang
digunakan untuk pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika,
suatu unit kesehatan di suatu daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah,
(single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada daerah dengan sumber daya
terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan pendekatan sebagai
berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase intensif
atau lanjutan.
y Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan
TB dengan isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika
hepatitis menghilang, ulangi kembali semua obat kecuali ganti
pyrazinamid dengan streptomycin untuk menyelesaikan 2 bulan dari
permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama 6bulan pada fase
lanjutan.
y Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis
menghilang, ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan
xxix
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu
pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan, antara lain :
1. Efek Samping Isoniazid berupa hepatitis, neuritis perifer , dan
hipersensitivitas.
2. Efek Samping Rifampisin berupa reaksi kulit, gejala pada
gastrointestinal, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati,
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan.
3. Efek samping Pyrazinamide berupa toksisitas hati, artralgia, gejala
pada gastrointestinal dan hipersensitivitas.
4. Efek samping Etambutol berupa neuritis optik , ketajaman penglihatan
berkurang, nuta warna merah-hijau, penyempitan lapang pandang,
hipersensitivitas dan gejala pada gastrointestinal.
5. Efek samping Streptomisin berupa ototoksik dan nefrotoksik .
3.2 Saran
Penting bagi pasien untuk dimonitoring atau dipantau selama pengobatan terhadap efek samping yang mungkin timbul sehingga dapat dideteksi secara dini dan dilakukan tindakan untuk mengurangi efek samping tersebut. Oleh karena itu
xxx
DAFTAR PUSTAKA
1. DEPKES RI, 2010, P anduan Tat alak sana Tuber kulo si s.Jakarta
2. WHO,2010,Guid elines f or t he t r eat ment o f Tuber culo si s F our t h edit ion.Geneva
3. Dahlan, Z. Diagno si s dan P enat alak sanaan Tuber kulo si s.Tinjauan
K e pu st akaan. Cermin Dunia Kedokteran No.115.1997;8-12
4. Depkes RI. 2005. P har maceut ical Car e unt uk P en yakit Tuber kulo si s.
Direktorat Bina Farmasi Komunitas Dan Klinik Direktorat Jenderal. 5. Katzung, 2004. F ar makologi Klinik Edi si 4. EGC. Jakarta.
6. RYC Chan, et al, 2006. Ocular t o xicity o f et hambut ol: r eview ar t icl e.
Hong Kong Med J Vol 12 No 1 February2006.