• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan orang lain. Manusia menggunakan bahasa sebagai salah satu sarana untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan orang lain. Manusia menggunakan bahasa sebagai salah satu sarana untuk"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai makhluk sosial, dalam kehidupannya selalu berhubungan dengan orang lain. Manusia menggunakan bahasa sebagai salah satu sarana untuk berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang di sekitarnya. Hal ini disebabkan karena bahasa merupakan alat komunikasi yang paling utama. Bahasa digunakan sebagai sarana untuk mengungkapkan segala sesuatu ide, gagasan, isi, pikiran, maksud, realitas, dan perasaannya. Bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat tutur ialah bahasa Jawa. Di dalam penggunaan bahasa pastinya mempunyai aturan atau patokan tersendiri. Aturan tersebut dalam struktur bahasa disebut dengan tata bahasa. Tata bahasa dibedakan menjadi lima bagian, yaitu fonologi, morfologi (tata bentuk), sintaksis, semantik, dan wacana.

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu (Sumarlam, 2013: 30). Studi mengenai wacana lisan dan wacana tulis disebut sebagai kajian wacana atau analisis wacana.

Analisis wacana adalah disiplin ilmu yang berusaha mengkaji penggunaan bahasa yang nyata dalam tindak komunikasi. Analisis wacana merupakan suatu kajian yang meneliti atau menganalisis bahasa yang digunakan secara alamiah, baik dalam bentuk tulis maupun lisan (Stubbs dalam Rani dkk, 2006: 9). Analisis

(2)

wacana mempunyai aspek keutuhan wacana yang terbagi dua yaitu kohesi dan koherensi. Kohesi dalam wacana meliputi kohesi gramatikal dan kohesi leksikal. Kohesi gramatikal terbagi atas empat bagian, yaitu: (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan (substitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) perangkaian (konjungsi). Selanjutnya, kohesi leksikal meliputi: (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) antonimi (oposisi makna), (4) kolokasi (sanding kata), (5) hiponimi (hubungan atas-bawah), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan).

Menurut Tarigan, wacana yang ideal mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi. Selain itu juga dibutuhkan keteraturan atau kerapian susunan yang menimbulkan rasa koherensi (1987: 70). Kepaduan (kohesi) dan kerapian (koherensi) merupakan unsur hakikat wacana, unsur yang turut menentukan keutuhan wacana (Tarigan, 1987: 96). Wacana gempilan sejarah yang menjadi objek kajian penelitian ini merupakan salah satu wacana yang ideal, karena di dalam wacana tersebut mengandung aspek-aspek yang saling berhubungan, terpadu, dan menyatu. Aspek-aspek tersebut meliputi aspek kohesi dan koherensi. Aspek kohesi dan koherensi tersebut yang ikut menentukan keutuhan suatu wacana.

Contoh data yang mendukung kepaduan wacana yang ditandai dengan penanda kohesi gramatikal berupa pengacuan persona III dapat dilihat pada data (33) berikut.

(33) Sedina sadurunge dheweke wafat, salah sijine mitrane sing uga dadi jurnalis, yaiku Imam Soepardi sing dadi Pemimpin Redaksi mingguan basa Jawa “Panjebar Semangat” merlokake tinjo neng omahe Soepratman. (PS/1/10/22/1/06/2013).

‗Sehari sebelum dia meninggal, salah satu temannya yang juga menjadi seorang jurnalis, yaitu Imam Soepardi yang menjadi pemimpin redaksi mingguan bahasa Jawa ―Panjebar Semangat‖ perlu berkunjung ke rumahnya Soepratman.‘

(3)

Tampak pada tuturan (33) terdapat pengacuan pronomina persona III tunggal bentuk bebas dheweke ‗dia‘ mengacu pada unsur lain yang berada di dalam tuturan yang disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan, yaitu mengacu pada Soepratman. Dengan ciri-ciri seperti itu maka

dheweke ‗dia‘ merupakan jenis kohesi gramatikal pengacuan endofora, yang

bersifat kataforis melalui satuan lingual berupa pengacuan pronomina persona III tunggal bentuk bebas.

Selain penanda kohesi gramatikal yang ditunjukkan melalui pengacuan persona III di atas, penanda kohesi leksikal juga mendukung kepaduan wacana yang terdapat dalam wacana gempilan sejarah adalah data (261) sebagai berikut.

(261) Kathik ana unen-unen, tumiyunge katresnane biyung iku marang anak lanang, dene katresnane si bapa tumiyunge marang anak wadon. (PS/1/10/17/27/04/2013).

‗Sebab ada peribahasa, seorang ibu lebih sayang pada anak laki-lakinya, sedangkan bapak lebih sayang pada anak perempuannya.‘ Pada tuturan (261) di atas menunjukkan adanya oposisi hubungan antara kata biyung ‗ibu‘ pada klausa pertama dengan bapa ‗bapak‘ pada klausa kedua. Kedua satuan lingual tersebut bersifat saling melengkapi, karena kehadiran kata

biyung ‗ibu‘ akan bermakna jika dilengkapi dengan kata bapa ‗bapak‘. Selain

data (261) di atas, dalam wacana gempilan sejarah juga ditemukan penanda koherensi berupa simpulan yang mendukung terjadinya kekoherensian wacana.

Berikut contoh penanda koherensi berupa simpulan tersebut bisa dilihat pada data (295) berikut.

(295) Dadi jurnalis, ora mung akeh tepungane bae, ning uga bisa mlebu metu ngendi-endi papan, nganakake sesambungan karo sapa bae. (PS/2/10/18/4/05/2013).

‗Menjadi jurnalis, tidak hanya banyak kenalan saja, tetapi juga bisa keluar masuk mana saja, mengadakan hubungan dengan siapa saja.‘

(4)

Koherensi dadi ‗menjadi‘ pada tuturan (295) menunjukkan hubungan penyimpulan, karena satuan lingual tersebut berfungsi untuk memberikan keterangan hasil atau penyimpulan dari ora mung akeh tepungane bae, ning uga bisa mlebu metu ngendi-endi papan, nganakake sesambungan karo sapa bae ‗tidak hanya banyak kenalan saja, tetapi juga bisa keluar masuk mana saja, mengadakan hubungan dengan siapa saja‘. Kata dadi ‗jadi‘ pada tuturan (295) di atas memberikan kepaduan wacana sehingga wacana menjadi koheren.

Wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan yang menjadi objek kajian penelitian ini merupakan karya Soebagijo I. N. Soebagijo Ilham Notodidjojo lahir di Blitar pada 5 Juli 1924. Ia dikenal sebagai wartawan penulis biografi dan perjalanan sejumlah tokoh nasional. Biografi pertama yang ia tulis ialah mengenai Nyoman Idayu, ibunda Bung Karno, Pengoekir Djiwa Soekarno (1949). Ia juga menulis biografi Bung Karno dalam bahasa Jawa, Boeng Karno saka Soekamiskin tekan Istana Merdeka (cetakan ke-5, 1960). Buku lainnya kebanyakan mengenai pers, misalnya Lima Windu Antara, Sejarah dan Perjuangannya (1978), atau biografi singkat para pelopor pers nasional, Jagat Wartawan Indonesia (1981), yang pernah diresensi di harian Asahi Shimbun, Tokyo, edisi 23 Juli 1981. (Budimanshartoyo.wordpress.com).

Sejak tahun 1950-an, Soebagijo I. N. terkenal sebagai penulis kisah serial di majalah Minggoe Pagi, Yogyakarta. Selain menggunakan nama asli, Pak Bagijo juga menggunakan nama samaran, seperti Pak SIN, Haji SIN, Satrio Wibowo, Anggajali, Damajanti, dan Endang Moerdiningsih. Sejumlah media yang memuat tulisan Soebagijo I.N., baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa

(5)

Jawa, antara lain, Menara Merdeka (Kediri), Djaja Baja, Soerabaja Post, Soeara Oemoem (Surabaya), Kedaulatan Rakyat, Nasional, Mekarsari, Minggu Pagi (Yogyakarta), Suara Merdeka (Semarang), Kompas, Berita Buana, Warna Sari (Jakarta), Panjebar Semangat. (Budimanshartoyo.wordpress.com diakses Senin, 29-02-2016 11.03 WIB).

Panjebar Semangat adalah majalah mingguan berbahasa Jawa yang terbit di Surabaya. Majalah ini pertama kali terbit pada 2 September 1933. Panjebar Semangat didirikan oleh Dr. Soetomo, tokoh pendiri Budi Utomo, sebagai salah satu media yang digunakan untuk perjuangan kemerdekaan Indonesia. (Wikipedia.org diakses Senin, 29-02-2016 09.47 WIB). Majalah Panjebar Semangat ini memuat berbagai kolom wacana, yaitu; Gempilan Sejarah, Cerita Rakyat, Layang saka warga, Pangudarasa, Sariwarta, Pethilan, Guntingan PS 10 taun kepungkur, Yok apa rek kabare... Surabaya, Olahraga, Obrolan Banyumasan dan Rujak Cingur, Cerkak (cerita cekak), Padhalangan, Kok Rena-rena, Pitakon dan Jawaban Kawruh Agama Islam, Kasarasan, Apa Tumon, Taman Geguritan, Alaming Lelembut, Glanggang Remaja, dan Cangkriman Prapatan PS.

Bertepatan dengan usianya yang ke-80, majalah Panjebar Semangat memecahkan rekor Museum Rekor Indonesia sebagai majalah berbahasa Jawa tertua di Indonesia. Penghargaan itu diberikan oleh Senior Manager MURI Paulus Pangka di Rumah Makan Taman Sari, Surabaya, Senin malam, 2 September 2013. "Majalah ini konsisten menjaga kearifan lokal sejak 1933," kata Paulus dalam sambutannya. Sabtu Wage, 2 September 1933, Panjebar Semangat pertama kali diterbitkan oleh dr Soetomo yang juga pendiri organisasi Boedi Oetomo.

(6)

Penerbitan pertama ini masih berbentuk tabloid serba-sederhana. Dr Soetomo, yang dibantu oleh wartawan Imam Soepardi, kala itu hanya bermodal nekat. Majalah ini digunakan untuk mengobarkan semangat merebut kemerdekaan. Alih-alih memakai bahasa Indonesia yang baru dideklarasikan pada 1928, Panjebar Semangat justru eksis dengan bahasa Jawa hingga sekarang. Panjebar Semangat bahkan menjadi satu-satunya majalah yang dianugerahi rekor MURI sebagai majalah tertua. (Tempo.co/read/news/2013/09/03/ diakses Senin, 29-02-2016 09.52 WIB).

Wacana gempilan sejarah merupakan salah satu wacana yang terdapat di dalam majalah Panjebar Semangat pada halaman 9 dan 10. Wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. ini berisi tentang kisah perjalanan seorang tokoh komponis yaitu kisah WR. Soepratman. Wacana ini tersusun dalam kalimat-kalimat berbahasa Jawa. Llamzon (dalam Sumarlam, 2013: 37), menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik, dan deskriptif. Berdasarkan klasifikasi tersebut, wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat digolongkan ke dalam wacana naratif/narasi.

Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur pergeseran waktu itu sangat penting. Unsur pelaku atau tokoh merupakan pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa adalah hal-hal yang dialami oleh sang pelaku (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006: 37).

(7)

Penelitian yang sudah pernah dilakukan dengan menggunakan pendekatan wacana serta memiliki hubungan dengan penelitian ini, antara lain:

―Analisis Wacana Obrolan Rujak Cingur dan Warung Tegal dalam Majalah Panjebar Semangat (Suatu Tinjauan Kohesi)‖ oleh Marningsih (2009), penelitian ini membahas tentang penanda kohesi gramatikal dan kohesi leksikal serta kekhasan obrolan rujak cingur dan warung tegal dalam majalah Panjebar Semangat.

Skripsi yang berjudul ―Wacana Glanggang Remaja Rubrik Tekno dalam Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi dan Koherensi)‖ oleh Siti Marfuah Nur Khasanah Ariyani (2010), skripsi ini membahas mengenai kohesi dan koherensi serta karakakteristik wacana glanggang remaja rubrik tekno dalam majalah Panjebar Semangat.

Penelitian yang berjudul ―Kohesi dan Koherensi antarkalimat dalam wacana berita di majalah Panjebar Semangat‖ oleh Hany Uswatun Nisa (2011), penelitian ini mendeskripsikan mengenai kohesi dan koherensi antarkalimat dalam wacana berita di majalah Panjebar Semangat. Dengan melihat penelitian Hany Uswatun Nisa, terutama pada kajian pustakanya dapat dijadikan masukan pada penelitian ini untuk meneliti sarana kohesi dan koherensi.

Penelitian tentang kohesi dan koherensi juga pernah dilakukan oleh Puji Utami (2012) dalam skripsinya yang berjudul ―Wacana Novel Jaring Kalamangga Karya Suparto Brata (Suatu Tinjauan Kohesi dan Koherensi)‖, skripsi ini membahas tentang analisis terhadap novel Jaring Kalamangga karya Suparto Brata yang dikaji dari segi kohesi dan koherensi. Dari hasil penelitian

(8)

Puji Utami, yang dijadikan masukan pada penelitian ini adalah pembahasan mengenai hasil analisis sarana kohesi dan koherensi wacana.

Dyah Kartika Sari (2013) meneliti tentang kohesi dan koherensi dalam penelitiannya yang berjudul ―Wacana Hortatorik Rubrik Sumber Semangat pada Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi dan Koherensi)‖. Penelitian ini membahas tentang kohesi dan koherensi serta kekhasan wacana rubrik Sumber Semangat majalah Panjebar Semangat.

Pada tahun 2014, Putri Herwinda Anggun Tyas menulis skripsi yang berjudul ―Wacana Deskriptif Rubrik Klik dalam Majalah Panjebar Semangat (Kajian Kohesi dan Koherensi)‖, skripsi ini membahas mengenai penanda kohesi dan koherensi serta kekhasan wacana deskriptif yang terdapat pada wacana rubrik Klik. Pada metode analisis yang digunakan adalah metode distribusional dan metode padan. Dengan melihat metode yang digunakan dapat dijadikan masukan bagi peneliti ini untuk menganalisis data dalam mengkaji sarana kohesi dan koherensi wacana gempilan sejarah.

Persamaan keenam penelitian di atas dengan penelitian ini adalah sama-sama mengkaji mengenai sarana keutuhan wacana, sedangkan perbedaannya terletak pada objek kajian serta penanda yang ditemukan. Adapun yang penulis tekankan pada penelitian ini adalah penulis menganalisis penanda kohesi gramatikal, kohesi leksikal, dan penanda koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat melengkapi penelitian sebelumnya.

(9)

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilakukan di atas, penelitian terhadap penanda kohesi dan koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat belum pernah dilakukan. Hal ini mendorong penulis untuk mengkaji wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat. Alasan penulis tertarik untuk melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat menggunakan bahasa Jawa sebagai pengantar. Hal ini sesuai dengan objek penelitian penulis, terutama yang berkaitan dengan kohesi dan koherensi yang terdapat pada wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat.

2. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pesan, isi serta makna wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat.

3. Wacana ini mempunyai kelebihan/manfaat, terutama sebagai sarana pendidikan untuk menambah pengetahuan dan wawasan. Dengan adanya wacana gempilan sejarah ini, membantu para pembaca untuk mengingat kembali mengenai suatu peristiwa yang terjadi di zaman sejarah. Selain itu wacana ini juga membantu pembaca untuk mengetahui sekilas cerita sejarah, terutama mengenai tokoh-tokoh nasional.

(10)

4. Di dalam wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. ini banyak ditemukan variasi penggunaan penanda kohesi dan koherensi yang mendukung keterkaitan serta kepaduan bentuk dan makna. Hal ini menunjukkan bahwa wacana gempilan sejarah mempunyai tingkat kekohesifan dan kekoherensian yang tinggi.

Adapun judul penelitian ini yaitu Penanda Kohesi dan Koherensi Wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan Karya Soebagijo I. N. dalam Majalah Panjebar Semangat.

B. Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah diperlukan supaya penelitian tidak meluas, maka perlu dijelaskan batas objek kajiannya. Wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat dapat dikaji dari beberapa aspek seperti penggunaan bahasa, wacana, stilistika, sintaksis maupun morfologi, maka penelitian ini perlu dilakukan pembatasan masalah.

Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah penanda kohesi dan koherensi yang terdapat pada wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat (Edisi 27 April 2013 – 15 Juni 2013).

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, maka masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penanda kohesi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar

(11)

Semangat? (Masalah ini dikaji untuk mendeskripsikan bentuk penanda kohesi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat yang berupa kohesi gramatikal (pengacuan, penyulihan, pelesapan, dan perangkaian) dan kohesi leksikal (repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi, hiponimi, dan ekuivalensi).

2. Bagaimanakah penanda koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat? (Masalah ini dikaji untuk mendeskripsikan makna penanda koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat yang berupa penekanan, simpulan, dan contoh).

D. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian penanda kohesi dan koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat ini adalah:

1. Mendeskripsikan penanda kohesi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat.

2. Mendeskripsikan penanda koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat.

(12)

E. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini dibedakan menjadi dua, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan yang bermanfaat bagi teori-teori linguistik, khususnya teori yang berkaitan dengan analisis wacana berbahasa Jawa.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dalam memahami isi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat. Selain itu agar pembaca dapat mengetahui penanda kohesi dan koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I.N. dalam majalah Panjebar Semangat, dapat menambah koleksi penelitian yang sudah ada serta dapat dijadikan model penelitian selanjutnya.

F. Landasan Teori 1. Pengertian Wacana

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu (Sumarlam, 2013: 30). Selanjutnya,

(13)

menurut Poerwadarminta (1976: 1144) dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, wacana adalah 1 ucapan; percakapan; 2 kuliah.

Harimurti Kridalaksana dalam Kamus Linguitik (2008: 259) menyatakan bahwa wacana (discourse): satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb.), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap; teks dalam wacana.

Wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan yang mempunyai awal dan akhir nyata disampaikan secara lisan atau tertulis (Tarigan, 1987: 27).

Wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukungnya meliputi fonem, morfem, kata, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh (Mulyana, 2005: 1). Wacana yang utuh adalah wacana yang lengkap, yaitu mengandung aspek-aspek yang terpadu dan menyatu. Aspek-aspek yang dimaksud, antara lain, adalah kohesi, koherensi, topik wacana, aspek leksikal, aspek gramatikal, aspek fonologis, dan aspek semantis (Mulyana, 2005: 25).

Eriyanto dalam buku berjudul Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media (2006: 3 dan 6) menyatakankan wacana sebagai berikut. Wacana adalah unit bahasa yang lebih besar dari kalimat; atau wacana adalah suatu upaya pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Pengungkapan itu dilakukan di antaranya

(14)

dengan menempatkan diri pada posisi sang pembicara dengan penafsiran mengikuti struktur makna dari sang pembicara.

Wacana merupakan tataran tertinggi dalam hierarki kebahasaan. Pembicaraan tentang wacana tidak akan terlepas dari masalah kekohesifan karena kohesi merupakan bagian dari sebuah wacana. Sebagai sebuah tuturan tataran tertinggi, wacana bukanlah suatu satuan bahasa yang merupakan susunan kalimat semata, melainkan suatu susunan satuan bahasa yang berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan (Indiyastini, 2001: 81).

Wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuk makna yang serasi di antara kalimat itu (Moeliono, 1988: 34). Ditinjau dari posisinya dalam tataran kebahasaan, wacana merupakan wujud pemakaian bahasa yang berada di atas tataran kalimat. Jika ditinjau dari keutuhannya, wacana merupakan satuan kebahasaan (satuan lingual) terlengkap yang menyatakan gagasan yang utuh (Sumadi, 2004: 61). Banyak dan berbagai macam definisi tentang wacana telah dibuat orang. Namun, dari sekian banyak definisi dan yang berbeda-beda itu, pada dasarnya menekankan bahwa wacana adalah satuan gramatikal tertinggi atau terbesar (Chaer, 1994: 267).

Dari beberapa definisi para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa wacana merupakan satuan bahasa terlengkap, tertinggi, dan terbesar di atas kalimat atau klausa, yang dilihat dari segi hubungan bentuk atau struktur lahir bersifat kohesif, dan dilihat dari segi hubungan makna atau struktur batinnya bersifat koheren, yang disampaikan secara lisan (pidato, ceramah, khotbah, dialog, pambiwara, tembang bahasa Jawa, siaran berita berbahasa Jawa, dan tuturan dalam rekaman) maupun secara tulis (cerkak ‗cerpen‘, cerbung ‗cerita

(15)

sambung‘, novel, artikel, wacana gempilan sejarah, buku-buku teks, surat, majalah, koran, dan dokumen tertulis seperti; skripsi, tesis, dan disertasi). 2. Jenis-Jenis Wacana

Wacana dapat diklasifikasikan berdasarkan cara penyusunan, isi, dan sifatnya. Misalnya Llamzon (1984) dalam Sumarlam (2013: 37), menyebutkan wacana ada yang bersifat naratif, prosedural, hortatorik, ekspositorik, dan deskriptif. Berdasarkan klasifikasi tersebut, wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat digolongkan ke dalam wacana naratif/narasi.

Digolongkan ke dalam wacana narasi karena wacana tersebut berisi rangkaian tuturan yang menceritakan suatu kisah atau peristiwa melalui penonjolan tokoh (WR. Soepratman sebagai pelaku), yang dituturkan oleh orang ketiga (Soebagijo I.N. selaku pengarang karya tersebut) dalam waktu tertentu, dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis, dengan tujuan menambah dan memperluas wawasan pembaca atau pendengar.

Wacana naratif adalah rangkaian tuturan yang menceritakan atau menyajikan suatu hal atau kejadian melalui penonjolan tokoh atau pelaku (orang pertama atau ketiga) dengan maksud memperluas pengetahuan pendengar atau pembaca (Llamzon dalam Sumarlam (2013: 37). Mulyana dalam buku Kajian Wacana (2005: 48) menyatakan bahwa, wacana naratif adalah bentuk wacana yang banyak dipergunakan untuk menceritakan suatu kisah. Uraiannya cenderung ringkas. Bagian-bagian yang dianggap penting sering diberi tekanan atau diulang.

(16)

Wacana narasi bersifat menceritakan sesuatu topik atau hal (Chaer, 1994: 272). Sumarlam dalam Teori dan Praktik Analisis Wacana (2013: 30), mendefinisikan wacana narasi sebagai berikut. Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan ialah wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi berorientasi pada pelaku dan seluruh bagiannya diikat secara kronologis.

Wacana narasi adalah suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindakan yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam kesatuan waktu; atau suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca mengenai suatu peristiwa yang telah terjadi (Widada, 2001: 28).

Wacana narasi merupakan satu jenis wacana yang berisi cerita. Dalam narasi terdapat unsur-unsur cerita yang penting misalnya unsur waktu, pelaku, dan peristiwa. Dalam wacana narasi harus ada unsur waktu, bahkan unsur pergeseran waktu itu sangat penting. Unsur pelaku atau tokoh merupakan pokok yang dibicarakan, sedangkan unsur peristiwa adalah hal-hal yang dialami oleh sang pelaku (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006: 37).

Berdasarkan pemaparan beberapa ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa wacana narasi ialah suatu wacana yang berisi rangkaian cerita (waktu, pelaku, peristiwa) yang bersifat menceritakan sesuatu kisah atau topik dengan tujuan menambah dan memperluas wawasan pembaca atau pendengar.

(17)

3. Kohesi

Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang apik atau koheren (Moeliono, 1988: 343). Kohesi merupakan salah satu konsep ikatan di dalam proses penyusunan karangan atau tulisan sebagai suatu wacana (Wedhawati et.al., 2007: 12 dalam Sumadi, 2010: 36). Kohesi berkenaan dengan hubungan bentuk antara bagian wacana yang satu dengan bagian wacana yang lain (Baryadi, 2001: 10).

Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai oleh pengguna unsur bahasa (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006: 88). Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk yang secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal struktur wacana (Mulyana, 2005: 26). Kohesi merupakan keserasian hubungan antara unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang padu (Indiyastini, 2001: 82). Menurut Sumadi (2004: 62) kohesi adalah perpautan bentuk antara kalimat-kalimat yang membangun keutuhan (kekohesifan) wacana.

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan demikian jelaslah bagi kita bahwa kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan, 1987: 96). Hal ini berarti pula bahwa kohesi

(18)

adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana baik dalam strata gramatikal maupun strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan, 1987: 96).

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, kohesi adalah keserasian hubungan bentuk atau struktur lahir suatu wacana. Kohesi wacana dapat dibagi menjadi dua, yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

a. Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah perpaduan bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem gramatikal (Indiyastini, 2001: 83). Menurut Baryadi (2001: 10) kohesi gramatikal ialah keterkaitan gramatikal antara bagian-bagian wacana. Selanjutnya, Sumadi menyatakan bahwa kohesi gramatikal adalah perpautan bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem gramatikal (2004: 62). Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana (Sumarlam, 2013: 40). Aspek gramatikal atau kohesi gramatikal wacana meliputi: (1) pengacuan (referensi), (2) penyulihan (substitusi), (3) pelesapan (elipsis), dan (4) perangkaian (konjungsi). Berikut ini adalah penjelasan keempat kohesi gramatikal tersebut.

1) Pengacuan (Referensi)

Secara tradisional, referensi adalah hubungan antara kata dengan benda orang, tumbuhan, sesuatu lainnya) yang dirujuknya (Mulyana, 2005: 15). Penunjukan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang menunjuk satuan lingual yang mendahului atau mengikuti (Baryadi, 2001: 10). Menurut

(19)

Kridalaksana (2008: 208) referensi ialah hubungan antar referen (unsur luar bahasa yang ditunjuk oleh unsur bahasa) dengan lambang yang dipakai untuk mewakilinya. Selanjutnya, Sumarlam dalam Teori dan Praktik Analisis Wacana (2013: 41) menyatakan bahwa pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikuti.

Berdasarkan tempatnya, pengacuan dibedakan menjadi dua yaitu: (1) pengacuan endofora (satuan lingual yang diacu berada di dalam teks wacana), dan (2) pengacuan eksofora (satuan lingual yang diacu berada di luar teks wacana). Pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya terbagi menjadi: (1) pengacuan anaforis (mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu) dan (2) pengacuan kataforis (mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian atau antesedennya berada di sebelah kanan).

Jenis kohesi gramatikal pengacuan diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu (1) pengacuan persona, (2) pengacuan demonstratif, dan (3) pengacuan komparatif. Ketiga macam pengacuan itu akan diuraikan sebagai berikut.

1.1 Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak (Sumarlam, 2013: 42). Pronomina persona adalah pronomina yang

(20)

mengacu pada manusia. Pronomina persona dapat mengacu pada diri sendiri (pronomina persona pertama), orang yang diajak bicara (pronomina persona kedua), atau mengacu pada orang yang dibicarakan (pronomina persona ketiga) (Wedhawati, et al. 2001: 236 dalam Indiyastini, 2006: 39). Pronomina persona sebagai pembentuk kekohesifan paragraf itu dapat direalisasikan dalam bentuk bebas ataupun bentuk terikat (Indiyastini, 2006: 39).

Bagan 1

Klasifikasi Pengacuan Pronomina Persona

Data (6) di bawah merupakan contoh pengacuan persona yang terdapat dalam penelitian.

(6) Iya aku dhewe iki, sing miturut ngendikane Ibuku, lair ing kampung Kentadhan, Tulungagung. (PS/3/9/17/27/04/2013). ‗Ya saya sendiri ini, yang menurut Ibuku, lahir di desa Kentadhan, Tulungagung.‘

Tampak pada tuturan (6) terdapat pronomina persona I tunggal bentuk bebas aku ‗saya‘ mengacu pada unsur lain yang berada di luar wacana gempilan sejarah, yaitu mengacu pada

PERSON A

I

tg : aku, kula, kawula, dalem, ingsun terikat lekat kiri : dak-/tak-

lekat kanan : -ku jm : aku kabeh, kula sedaya, awake

dhewe

II

tg : kowe, sampeyan, panjenengan, sliramu

terikat lekat kiri : kok-/ko- lekat kanan : -mu jm : kowe kabeh, sampeyan kabeh,

panjenengan sedaya

III

tg : dheweke/dheke, piyambakipun, panjenenganipun terikat lekat kiri : dipun- lekat kanan : -e/-ne, -ipun/-nipun jm : dheweke kabeh/dheke kabeh,

piyambakipun sedaya, panjenenganipun sedaya

(21)

pengarang ‗Soebagijo I.N.‘ ini merupakan kohesi gramatikal pengacuan eksofora.

1.2 Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demontratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional) (Sumarlam, 2013: 44).

Bagan 2

Klasifikasi Pengacuan Pronomina Demonstratif

Data yang menunjukkan pengacuan demonstratif tempat tampak pada data (65) berikut:

(65) Ning, bareng mlebu sekolah ing HIS (Hollands Inlandse School), Sek. Dasar 7 taun mawa wulangan basa Landa, ing

Blitar, anggone ndaftarake, lair ing Blitar. (PS/3/9/17/27/04/2013).

‗Tapi, setelah masuk sekolah di HIS (Hollands Inlandse School), Sek. Dasar 7 tahun menggunakan pelajaran bahasa Belanda, di Blitar, mendaftarkan, lahir di Blitar.‘

(22)

Data (65) di atas terlihat adanya pronomina demonstratif tempat menunjuk secara eksplisit pada nama kota yaitu kota Blitar. 1.3 Pengacuan Komparatif (Perbandingan)

Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam, 2013: 46). Kata-kata yang biasa digunakan misalnya lir, kaya, kadya, kadi, kadi dene, lir pendah, prasasat, padha karo, beda karo.

Tuturan yang mengandung penanda kohesi berupa pengacuan komparatif adalah data (77) berikut.

(77) Mung bae, dhek samana sajake peraturan isih durung keras

kaya saiki. (PS/3/9/17/27/04/2013).

‗Hanya saja, peraturan zaman dulu masih belum keras seperti sekarang.‘

Satuan lingual kaya ‗seperti‘ pada tuturan (77) merupakan pengacuan komparatif yang berfungsi membandingkan antara peraturan zaman dulu dengan sekarang.

2) Penyulihan (Substitusi)

Substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu (Kridalaksana, 2008: 229). Menurut Mulyana, substitusi (penggantian) adalah proses dan hasil peggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar (2005: 28).

(23)

Penyulihan atau substitusi ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu (yang telah disebut) dengan satuan lingual lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda. Selain mendukung kepaduan wacana, substitusi juga berfungsi untuk (1) menghadirkan variasi bentuk, (2) menciptakan dinamisasi narasi, (3) menghilangkan kemonotonan, serta (4) memperoleh unsur pembeda. Berdasarkan satuan lingualnya, substitusi dibedakan menjadi empat yaitu sebagai berikut (Sumarlam, 2013: 47-49).

a) Substitusi nominal, adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina.

b) Substitusi verbal, ialah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori verba.

c) Substitusi frasal, merupakan penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa.

d) Substitusi klausal, yaitu penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa.

Data yang menunjukkan salah satu jenis substitusi tampak pada data (92) berikut.

(92) Krungu andharan mitrane mau katon praupane Soepratman dadi sumringah, seger, bungah. Imam Soepardi dhewe babarpisan uga ora ngira yen pertemuane kuwi mau mujudake pertemuan sing pungkasan karo komponis agung kuwi. (PS/1/10/22/1/16/2013).

(24)

‗Mendengar penjelasan sahabatnya tadi terlihat wajahnya Soepratman menjadi bersemangat, segar, senang. Imam Soepardi sendiri sama sekali juga tidak menyangka jika pertemuan tersebut merupakan mewujudkan pertemuan yang terakhir dengan komponis besar itu.‘

Wacana (92) di atas terdapat substitusi nominal terlihat pada kata

Soepratman ‗Soepratman‘ yang disubstitusi dengan frasa komponis agung ‗komponis besar‘. Substitusi tersebut berfungsi memunculkan

variasi bentuk untuk memperoleh unsur pembeda. 3) Pelesapan (Elipsis)

Elipsis (penghilangan/pelesapan) adalah proses penghilangan kata atau satuan-satuan kebahasaan lain (Mulyana, 2005: 28). Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2008: 57) mengatakan bahwa elipsis adalah peniadaan kata atau satuan lain yang ujud asalnya dapat diramalkan dari konteks bahasa atau konteks luar bahasa. Menurut Abdul Chaer (1994: 270) elipsis yaitu penghilangan bagian kalimat yang sama yang terdapat kalimat yang lain. Selanjutnya, Sumarlam dalam Teori dan Praktik Analisis Wacana (2013: 49) mendefinisikan pelesapan (elipsis) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Unsur atau satuan lingual yang dilesapkan, dapat berupa kata, frasa, klausa, atau kalimat.

Pelesapan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa pelesapan (zero) konstituen tertentu yang telah disebutkan (Baryadi, 2001: 12). Elipsis dapat pula dikatakan penggantian nol (zero); sesuatu yang ada tetapi tidak diucapkan atau tidak dituliskan. Hal ini dilakukan

(25)

demi kepraktisan. Elipsis pun dapat pula dibedakan atas elipsis nominal, elipsis verbal, elipsis klausal (Tarigan, 1987: 101). Adapun fungsi pelesapan dalam wacana antara lain ialah untuk (1) menghasilkan kalimat yang efektif (untuk efektivitas kalimat), (2) efisiensi, yaitu untuk mencapai nilai ekonomis dalam pemakaian bahasa, (3) mencapai aspek kepaduan wacana, (4) bagi pembaca/pendengar berfungsi untuk mengaktifkan pikirannya terhadap hal-hal yang tidak diungkapkan dalam satuan bahasa, dan (5) untuk kepraktisan berbahasa terutama dalam berkomunikasi secara lisan (Sumarlam, 2013: 50).

Contoh elipsis dapat dilihat pada data (114) sebagai berikut. (114) Sing disebut koran Tionghoa-Melayu kuwi, anane dhek jaman

penjajahan Landa mbiyen; Ø migunakake basa Melayu pasaran, dudu basa Indonesia. (PS/3/9/18/4/05/2013).

‗Yang disebut koran Tionghoa-Melayu itu, adanya waktu zaman penjajahan Belanda dulu, Ø menggunakan bahasa Melayu pasaran, bukan bahasa Indonesia.‘

Terlihat pada tuturan (114) di atas, dapat diketahui adanya pelesapan yaitu satuan lingual koran Tionghoa-Melayu yang dilesapkan. Analisis wacana yang dilesapkan bisa ditandai dengan konstituen nol atau zero (dengan lambang Ø pada tempat terjadinya pelesapan).

4) Perangkaian (Konjungsi)

Perangkaian adalah kohesi gramatikal yang berwujud konjungsi (Baryadi, 2001: 12). Konjungsi yakni alat untuk menghubung-hubungkan bagian-bagian kalimat; atau menghubungkan paragraf dengan paragraf (Chaer, 1994: 269). Konjungsi adalah yang dipergunakan untuk menggabungkan kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, atau paragraf dengan paragraf

(26)

(Kridalaksana, 1984: 105 dalam Tarigan, 1987: 101). Konjungsi merupakan kata perangkai yang menghubungkan antara kalimat satu dengan kalimat yang lainnya (Syamsuddin, 1998: 80) (dalam rafikoh.blogspot.com. diakses Jumat, 11-12-2015 04.00 WIB). Berdasarkan pengertian dari beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa konjungsi merupakan jenis kohesi gramatikal yang berwujud kata perangkai yang menghubungkan satuan lingual satu dengan satuan lingual lain dalam wacana.

Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Dilihat dari segi maknanya, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi antara lain sebagai berikut (Sumarlam, 2013: 52).

a) Sebab-akibat (kausalitas): sebab ‗sebab‘, awit, jalaran, amarga ‗karena‘, mula ‗maka‘, mulane ‗makanya‘

b) Pertentangan : nanging ‗tetapi, namun‘ c) Kelebihan (eksesif) : malah ‗malah‘

d) Perkecualian (ekseptif) : kajaba, kajawi ‗kecuali‘

e) Konsesif : nadyan ‗walaupun‘, sanadyan ‗meskipun‘ f) Tujuan : supaya, supados, amrih ‗agar, supaya‘ g) Penambahan (aditif) : lan ‗dan‘, uga ‗juga‘, ugi ‗juga‘, sarta

‗serta‘

(27)

i) Harapan (optatif) : muga-muga, mugi-mugi ‗semoga‘

j) Urutan (sekuensial) : banjur ‗lalu‘, terus ‗terus‘, lajeng ‗kemudian‘

k) Perlawanan : kosok baline, sewalike ‗sebaliknya‘

l) Waktu (temporal) : bubar, sawise ‗setelah, sesudah, usai, selesai‘, sadurunge ‗sebelumnya‘

m) Syarat : yen, manawa (mangkono) ‗apabila, jika (demikian)‘

n) Cara : kanthi (cara) mangkono ‗dengan (cara) begitu‘

o) Makna lainnya : (yang ditemukan dalam tuturan)

Data yang menunjukkan konjungsi yang berupa sebab-akibat (kausalitas) tampak pada data (128) berikut.

(128) Dijenengake Wage, laras karo adat Jawa (dhek samana), merga laire pas pasaran Wage. (PS/1/10/17/27/04/2013).

‗Dinamakan Wage, serasi dengan adat Jawa (zaman dulu), karena lahirnya bertepatan dengan pasaran Wage.‘

Konjungsi merga ‗karena‘ pada tuturan (128) di atas, menyatakan hubungan sebab-akibat antara klausa laire pas pasaran Wage ‗lahirnya bertepatan dengan pasaran Wage‘ sebagai sebab, dengan klausa Dijenengake Wage, laras karo adat Jawa (dhek samana) ‗Dinamakan Wage, serasi dengan adat Jawa (zaman dulu)‘ sebagai akibat.

b. Kohesi Leksikal

Kohesi Leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal diantaranya ialah untuk

(28)

mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya (Mulyana, 2005: 29). Kohesi leksikal merupakan perpautan bentuk antara kalimat-kalimat yang diwujudkan dalam sistem leksikal (Sumadi, 2004: 62). Menurut Tarigan dalam Pengajaran Wacana (1987: 102), kohesi leksikal diperoleh dengan cara memilih kosa kata yang serasi. Baryadi (2001: 10) menyatakan bahwa kohesi leksikal adalah keterkaitan leksikal antara bagian-bagian wacana. Selanjutnya, Sumarlam dalam buku yang berjudul Teori dan Praktik Analisis Wacana (2013: 55), mendefinisikan kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis.

Kohesi leksikal dalam wacana dapat diklasifikasikan menjadi enam macam yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi (padan kata), (3) antonimi (oposisi makna), (4) kolokasi (sanding kata), (5) hiponimi (hubungan atas-bawah), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan) (Sumarlam, 2013: 55 lihat pula Tarigan, 1987: 102). Berikut penjelasan keenam kohesi leksikal tersebut.

1) Repetisi (Pengulangan)

Repetisi atau ulangan merupakan salah satu cara untuk mempertahankan hubungan kohesif antarkalimat (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006: 130). Repetisi sebagai jenis kohesi leksikal adalah pengulangan atau penyebutan ulang konstituen pada kalimat-kalimat pembangun wacana, yang berfungsi sebagai pembentuk keutuhan atau kekohesifan wacana itu (Sumadi, 2004: 68). Repetisi berarti salah

(29)

satu jenis kohesi leksikal yang berupa pengulangan satuan lingual yang dianggap penting secara berturut-turut dalam sebuah konstruksi.

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang, repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, dan repetisi utuh/penuh. Berikut penjelasan mengenai kesembilan jenis repetisi tersebut (Sumarlam, 2013: 55-60). a) Repetisi epizeuksis, ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang

dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.

b) Repetisi tautotes, adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi.

c) Repetisi anafora, merupakan pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.

d) Repetisi epistrofa, yaitu pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut.

e) Repetisi simploke, ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.

f) Repetisi mesodiplosis, adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat berturut-turut.

(30)

g) Repetisi epanalepsis, merupakan pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.

h) Repetisi anadiplosis, yaitu pengulangan satuan lingual kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.

i) Repetisi utuh/penuh, ialah pengulangan satuan lingual secara atau secara penuh.

Berikut ini data yang menunjukkan salah satu jenis repetisi terdapat dalam data (215) berikut.

(215) Sing bakal nyanyekake, sawijining kenya, udakara umur 15 taunan. Karuwan bae, para hadirin padha kaget sajak gawok, kepengin weruh sapa baya kenya sing wani ngumandhangake “Indonesia Raya” iki ing ndalem tetembungan. (PS/3/9/20/18/05/2013).

‗Yang akan menyanyikan, salah satu gadis, kurang lebih berumur 15 tahun. Tentu saja, para hadirin terkejut agak keheranan, ingin tahu siapa gadis yang berani menyanyikan ―Indonesia Raya‖ ini yang dalam nyanyian.‘

Data (215) terdapat repetisi epizeuksis yaitu satuan lingual kenya ‗gadis‘ yang diulang secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya satuan lingual tersebut dalam konteks tuturan itu.

2) Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi atau sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 1994: 297). Sinonimi adalah kohesi leksikal yang berupa relasi makna leksikal yang mirip antara konstituen yang satu dengan konstituen yang lain (Baryadi, 2001: 14). Sinonimi

(31)

sebagai pembentuk kekohesifan wacana ditunjukkan oleh adanya hubungan antara konstituen-konstituen yang sama atau mirip maknanya dengan bentuk berbeda yang terdapat pada kalimat-kalimat pembangun wacana itu (Sumadi, 2004: 65).

Kridalaksana dalam Kamus Linguistik menyatakan bahwa, sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain; kesamaan itu berlaku bagi kata, kelompok kata, atau kalimat, walaupun umumnya yang dianggap sinonim hanyalah kata-kata saja (2008: 222). Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu (1) sinonimi antara morfem (bebas) dan morfem (terikat), (2) kata dengan kata, (3) kata dengan frasa atau sebaliknya, (4) frasa dengan frasa, dan (5) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat (Sumarlam, 2013: 61).

Kohesi leksikal sinonimi, misalnya tampak pada data (242) berikut:

(242) Kelakon dicathet lan ditulis ing rapor, ing ijazah. (PS/1/10/17/27/04/2013).

‗Pasti akan dicatat dan ditulis di raport, di ijazah.‘

Pada data (242) di atas terdapat penanda kohesi leksikal berupa sinonim frasa dengan frasa, yaitu frasa dicathet ‗dicatat‘ bersinonimi dengan frasa ditulis ‗ditulis‘. Kedua satuan lingual tersebut mempunyai makna yang sama atau sepadan.

(32)

3) Antonimi (Oposisi Makna)

Antonimi atau antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan yang lain (Chaer, 1994: 299). Antonimi adalah kohesi leksikal yang berupa relasi makna leksikal yang bersifat kontras atau berlawanan antara konstituen yang satu dengan konstituen yang lain (Baryadi, 2001: 14). Antonimi yang merupakan jenis kohesi leksikal dapat diartikan sebagai relasi atau hubungan antara konstituen-konstituen yang memiliki makna leksikal bertentangan/berlawanan (Sumadi, 2004: 67).

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat diklasifikasikan menjadi lima, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3) oposisi hubungan, (4) oposisi hirarkial, dan (5) oposisi majemuk. Oposisi makna atau antonimi juga merupakan salah satu aspek leksikal yang mampu mendukung kepaduan makna wacana secara semantis. Berikut penjelasan mengenai kelima jenis oposisi makna tersebut (Sumarlam, 2013: 62-66).

a) Oposisi mutlak, adalah pertentangan makna secara mutlak, misalnya oposisi antara kata hidup dengan kata mati, dan oposisi antara bergerak dengan diam.

b) Oposisi kutub, ialah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi (ada tingkatan makna).

(33)

c) Oposisi hubungan, merupakan oposisi makna yang bersifat saling melengkapi.

d) Oposisi hirarkial, yaitu oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan.

e) Oposisi majemuk, artinya oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua).

Contah oposisi hubungan terdapat pada data (258) berikut.

(258) Sedulure WR Soepratman ana lima, dadi putrane pak sersan sing nunggal bapa-ibu karo Soepratman, ana enem. (PS/1/10/17/27/04/2013).

‗Saudaranya WR Soepratman ada lima, jadi putranya pak sersan yang sama bapak-ibunya dengan Soepratman, ada enam.‘

Data (258) menunjukkan adanya penanda kohesi leksikal oposisi hubungan antara kata bapa ‗bapak‘ dan kata ibu ‗ibu‘, kedua kata tersebut merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi.

4) Kolokasi (Sanding Kata)

Kolokasi ialah asosiasi yang tetap antara kata dengan kata lain yang berdampingan dalam kalimat (Kridalaksana, 2006: 127). Kolokasi adalah perpautan makna leksikal yang tetap antara konstituen yang satu dengan konstituen lain yang berdampingan (Sumadi, 2004: 70). Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu. Kata-kata seperti sawah/sabin ‗sawah‘, tani ‗petani‘, winih ‗benih‘, pari ‗padi‘, dan panen ‗panen‘, dipakai dalam jaringan pertanian (Sumarlam, 2013: 67).

(34)

Data (264) berikut merupakan contoh kolokasi:

(264) “Publicist” mono tembung mbiwarakake, merga tembung

wartawan utawa jurnalis rikala kuwi mula uga isih arang

kanggone. Lha Soepratman saikine lagi ngrasa, yen mula bingung

jurnalistik iki sing mujudake “duniane”. (PS/1-2/10/18/4/05/2013).

‗‖Wartawan‖ memang kata memberitakan, karena kata wartawan utawa jurnalis ketika itu juga masih jarang gunanya. Lha Soepratman sekarang ini baru merasakan, maka bingung jurnalistik ini yang mewujudkan ‖dunianya‖.‘

Tuturan (264) di atas tampak adanya penggunaan kata wartawan, kata jurnalis, kata jurnalistik yang saling berkolokasi serta mendukung kepaduan wacana tersebut.

5) Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran yang lain (Chaer, 1994: 305). Menurut Kridalaksana dalam Kamus Linguistik (2008: 83) mendefinisikan hiponimi ialah hubungan dalam semantik antara makna spesifik dan makna generik, atau antara anggota taksonomi dan nama taksonomi. Selanjutnya, Sumadi (2004: 63) mendefinisikan hiponimi sebagai berikut. Hiponimi sebagai salah satu jenis kohesi leksikal adalah relasi antara konstituen yang bermakna umum (generik) dan konstituen yang bermakna khusus (spesifik). Konstituen yang bermakna umum disebut superordinat (hipernim) dan konstituen yang bermakna khusus disebut hiponim.

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Unsur atau satuan lingual yang mencakupi beberapa

(35)

unsur atau satuan lingual yang berhiponim itu disebut ―hipernim‖ atau ―superordinat‖, sedangkan hubungan antarunsur bawahan atau antarkata yang menjadi anggota hiponim itu disebut ―kohiponim‖. Fungsi hiponimi adalah untuk mengikat hubungan antarunsur atau antarsatuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna atasan dan bawahan, atau antara unsur yang mencakupi dan unsur yang dicakupi (Sumarlam, 2013: 68-69). Dilihat dari segi lain, masalah hiponimi dan hipernimi ini, sebenarnya tidak lain dari usaha untuk membuat klasifikasi terhadap konsep akan adanya kelas-kelas generik dan spesifik (Chaer, 1994: 306).

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi ialah makna yang sangat berdekatatan; lawan dari kesamaan bentuk (Kridalaksana, 2008: 56). Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam satu paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata nuku ‗membeli‘, dituku ‗dibeli‘, nukokake ‗membelikan‘, ditukokake ‗dibelikan‘, dan nukoni (tuku) ‗pembeli‘, semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu ‗beli‘ (Sumarlam, 2013: 69).

Data (270) di bawah merupakan contoh penanda ekuivalensi atau kesepadanan.

(270) Embuh iki Dichtung (dongengan) bae, apa Wahrheit (kenyataan), kacarita saka kuwasaning GUSTI Sing Maha Agung, si biyung sing banget ditresnani lan sing anresnani anak lanang mau, banjur

(36)

mbukak socane sedhela, mandeng marang Soepratman, sedhela bae. (PS/2/10/17/27/04/2013).

‗Entah ini dongengan saja, apa kenyataan, diceritakan dari kuasaNya Allah Yang Maha Kuasa, si ibu yang sangat dicintai dan yang mencintai anak putranya tadi, kemudian membuka matanya sebentar, melihat Soepratman, sebentar saja.‘

Pada tuturan (270) menunjukkan adanya hubungan kesepadanan atau ekuivalensi yaitu antara satuan lingual ditresnani ‗dicintai‘ dan satuan lingual anresnani ‗mencintai‘, yang menunjukkan adanya kesepadanan karena proses afiksasi dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu tresna ‗cinta‘.

4. Koherensi

Koherensi adalah keterkaitan semantis antara bagian-bagian wacana (Baryadi, 2001: 15). Istilah ‗koherensi‘ mengandung makna ‗pertalian‘. Dalam konsep kewacanan, berarti pertalian makna atau isi kalimat (Tarigan, 1987: 32 dalam Mulyana, 2005: 135). Jadi koherensi pada dasarnya adalah memberi ukuran tentang seberapa jauh kebermaknaan suatu teks. Pada dasarnya, hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis (Mulyana, 2005: 136).

Koherensi adalah kepaduan hubungan maknawi antara bagian-bagian dalam wacana (Abdul Rani, Bustanul Arifin, dan Martutik, 2006: 89). Koherensi atau kepaduan yang baik dan kompak adalah hubungan timbal balik yang baik dan jelas antara unsur-unsur (kata atau kelompok kata) yang membentuk kalimat itu (Keraf, 2001: 38). Eriyanto (2006: 242) menyatakan bahwa koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata, atau kalimat dalam teks. Koherensi merupakan elemen wacana untuk melihat bagaimana seseorang

(37)

secara strategi menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, koherensi ialah kepaduan hubungan makna atau struktur batin suatu wacana. Sarana koherensi yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini antara lain: a. Penanda Koherensi Penekanan

Penanda koherensi berupa penekanan berfungsi untuk menyatakan penekanan terhadap suatu maksud yang telah dinyatakan dalam sebuah kalimat. Penanda koherensi berupa penekanan ditandai dengan penggunaan kata saya ‗semakin‘, mesthine ‗pastinya‘, dan mesthi ‗pasti‘.

Data (280) di bawah merupakan contoh koherensi penekanan yang terdapat dalam penelitian.

(280) Ha hiya iki sing njalari saya tambah nggrantesing atine sang komponis.

‗Lha iya ini yang membuat semakin tambah sedih sekali hatinya sang komponis.‘ (PS/3/9/21/25/05/2013).

Koherensi saya ‗semakin‘ pada tuturan (280) merupakan penanda koherensi penekanan, karena satuan lingual tersebut berfungsi untuk menyatakan makna penekanan terhadap tambah nggrantesing atine sang komponis ‗tambah sedih sekali hatinya sang komponis‘.

b. Penanda Koherensi Simpulan

Penanda koherensi berupa simpulan berfungsi untuk memberikan keterangan hasil dari suatu proses atau penyimpulan sebuah penelitian. Kata-kata yang biasa digunakan misalnya asil ‗hasil‘, asiling ‗hasilnya‘, ngono mau ‗itu tadi‘, dan dadi ‗jadi‘.

(38)

Contoh penanda koherensi berupa simpulan tampak pada data (295) berikut.

(295) Ha wong Si Wage anak Lanang siji-sijine, dadi apa sapanjaluke dituruti, apa pepenginane ditekakake. (PS/1/10/17/27/04/2013). ‗Lha Si Wage anak laki-laki satu-satunya, jadi apapun permintaannya dituruti, apapun keinginannya didatangkan.‘

Data (295) di atas menunjukkan adanya penanda koherensi berupa simpulan pada kata dadi ‗jadi‘ berfungsi untuk memberikan keterangan proses hasil dari Si Wage anak laki-laki sata-satunya menyebabkan apapun permintaanya dituruti, apapun keinginannya didatangkan.

c. Penanda Koherensi Contoh

Penanda koherensi berupa contoh untuk memberikan keterangan atau memberi penjelasan dari sebuah kalimat sehingga kalimat tersebut jelas maksudnya. Penanda koherensi berupa contoh ditandai dengan penggunaan kata kayadene ‗seperti‘, antara liya ‗antara lain‘, dan antarane ‗antara lain‘.

Koherensi contoh terdapat dalam data (309) berikut.

(309) Ing ngarepe, ora mung ana pulisi sandi (reserse) Landa bae, ning uga tokoh-tokoh pergerakan, kayadene Mohammad Husni Thamrin, Mr. Raden Mas Sartono sing Ketua Partai Nasional Indonesia lan liyane maneh. (PS/3/10/19/11/05/2013).

‗Di depannya, tidak hanya ada polisi reserse Belanda saja, tetapi juga ada tokoh-tokoh pergerakan, seperti Mohammad Husni Thamrin, Mr. Raden Mas Sartono Ketua Partai Nasional Indonesia dan lain-lain.‘ Tampak pada data (309) di atas terdapat penanda koherensi berupa contoh pada satuan lingual kayadene ‗seperti‘ berfungsi untuk memberikan keterangan atau penjelasan kepada pembaca mengenai tokoh pergerakan.

G. Data dan Sumber Data

Secara umum dapat dinyatakan bahwa data adalah semua informasi atau bahan yang disediakan oleh alam (dalam arti luas), yang harus dicari/dikumpulkan

(39)

dan dipilah oleh peneliti (Subroto, 1992: 34). Dengan demikian data itu dapat berwujud angka-angka, perkataan-perkataan, kalimat-kalimat, wacana-wacana, gambar-gambar atau foto-foto, rekaman-rekaman, catatan-catatan ataupun arsip-arsip, dokumen-dokumen, buku-buku (Subroto, 1992: 34). Data dalam penelitian ini adalah data tulis berupa wacana (alinea) yang mengandung penanda kohesi dan koherensi pada wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. dalam majalah Panjebar Semangat. Sumber data dalam penelitian ini adalah naskah wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. yang terdapat dalam majalah Panjebar Semangat.

H. Metode Penelitian

Istilah ―metode‖ dalam penelitian linguistik mencakup kesatuan dari serangkaian proses: penentuan kerangka pikiran, perumusan hipotesis atau perumusan masalah, penentuan populasi, penentuan sampel, data, teknik pemerolehan data, dan analisis data (Subroto, 1992: 31).

Dalam metode penelitian ini akan dibahas beberapa hal, yaitu: (1) Jenis Penelitian, (2) Alat Penelitian, (3) Sampel, (4) Metode dan Teknik Pengumpulan Data, (5) Metode dan Teknik Analisis Data, dan (6) Metode Penyajian Analisis Data.

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian mengenai penanda kohesi dan koherensi wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I.N. dalam majalah Panjebar Semangat adalah deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang studi kasusnya mengarah pada

(40)

pendeskripsian secara rinci dan mendalam mengenai potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya (Sutopo, 2002: 111).

Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang penentuan sampelnya dengan cara cuplikan atau nukilan yang juga disebut purposive sampling, artinya sampel ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan kepada sumber data yang menghasikan data secara produktif, sesuai dengan permasalahan yang ditentukan dalam tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002: 36). Penelitian deskriptif kualitatif ialah penelitian yang mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya terjadi di lapangan dengan penentuan sampelnya menggunakan cara cuplikan atau nukilan yang juga disebut purposive sampling.

Penelitian kualitatif itu bersifat deskriptif. Peneliti mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar/foto, catatan harian, memorandum, video-tipe (Subroto, 1992: 7). Oleh karena itu, penelitian ini mendeskripsikan data kebahasaan yang diperoleh dari sumber data tulis yang berupa satuan lingual (kata, frasa, klausa, maupun kalimat) pada teks wacana. Data yang terkumpul berupa kata-kata bukan angka, yang dikerjakan secara cermat serta hasil analisis disampaikan dengan kata-kata.

2. Alat Penelitian

Alat penelitian meliputi alat utama dan alat bantu. Alat utama dalam penelitian ini yaitu peneliti itu sendiri artinya ketentuan sikap peneliti mampu menggapai dan menilai makna dari berbagai interaksi (Sutopo, 2002: 35-36).

(41)

Peneliti merupakan komponen yang harus ada dalam penelitian. Dengan ketajaman intuisi kebahasaan/lingual peneliti mampu membagi data secara baik menjadi beberapa unsur (Sudaryanto, 1993: 31-32). Selanjutnya, alat bantu merupakan alat yang digunakan untuk membantu memperlancar jalannya penelitian tersebut. Alat bantu dalam penelitian ini meliputi; buku, bolpoint, pensil, notebook, flasdisk, print, dan alat lainnya yang dapat membantu jalannya penelitian ini.

3. Sampel

Sampel adalah data penelitian yang sudah disahkan berdasar atas rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian, dan landasan teori atau kerangka teori penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut. Sampel dalam penelitian ini adalah penanda kohesi dan koherensi yang terdapat pada teks wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I.N. dalam majalah Panjebar Semangat. Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling, yaitu pengambilan ditentukan secara selektif, sumber datanya diarahkan pada sumber data yang menghasikan data secara produktif, sesuai dengan permasalahan yang ditentukan dalam tujuan penelitian, dan teori yang digunakan (Sutopo, 2002: 36). Adapun sampel yang dimaksud adalah wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I.N. dalam majalah Panjebar Semangat yang terbit pada 27 April 2013 sampai dengan 15 Juni 2013.

(42)

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah menggunakan metode simak dan dilanjutkan dengan teknik catat. Disebut ―metode simak‖ atau ―penyimakan‖ karena memang berupa penyimakan: dilakukan dengan menyimak, yaitu menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Teknik catat adalah mencatat data yang sesuai dengan objek penelitian.

Data terkumpul dan diseleksi, selanjutnya diklasifikasi. Diklasifikasi tujuan memilih dan memilah data agar mudah dianalisis. Mengklasifikasikan data berdasarkan bentuk penanda kohesi, makna penanda koherensi. Adapun langkah-langkah pengumpulan data adalah sebagai berikut:

1. Mengumpulkan majalah Panjebar Semangat yang terdapat wacana Gempilan Sejarah: Sang Komponis sing Ora Kapatedhan ing Katresnan karya Soebagijo I. N. (Edisi 27 April 2013 – 15 Juni 2013).

2. Menyimak (membaca, mempelajari, memperhatikan) penggunaan bahasa pada teks wacana gempilan sejarah dalam majalah Panjebar Semangat. 3. Mengidentifikasi atau menandai data dengan menggaris bawahi kalimat

yang mengandung penanda kohesi dan koherensi.

4. Mencatat data yang terdapat penanda kohesi dan koherensi serta terjemahannya.

5. Mengklasifikasikan data berdasarkan bentuk penanda kohesi dan makna penanda koherensi.

6. Setelah mengklasifikasikan data, dilanjutkan dengan deskripsi dan analisis data.

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Univariat dalam penelitian ini dengan melihat persentase dari penggunaan ovitrap pada jenis tutup datar dan jenis tutup lengkung yang dilihat dari jumlah jentik nyamuk

Hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan terdapat pengaruh nyata varietas tanaman yang diuji terhadap tinggi tanaman, namun tidak terdapat pengaruh nyata

Ipal biofilter elah dilengkapi dengan air blower yang mampu memecahkan partikel sabun dan senyawa kimia yang lainnya sehingga hasil air limbah buangan (effluent) menjadi

Makna dari norma tersebut berkaitan den- gan adaptasi bencana longsor lahan adalah untuk menjaga kestabilan lereng yang terjal, temuan di Perumahan PA 4 Kelurahan Pudakpayung jika

Pada kegiatan tahun 2017 ini, Hibah penguatan kelembagaan penelitian ini difokuskan untuk menginisiasi terbentuknya PUI (Pusat Unggulan Iptek) Nasional, Insitut

Kode etik profesi merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika profesi pedoman

Da Dalam lam ran rangk gkaa mendukung akuntabilitas pengaturan tata kelola klinik, organisasi harus memastikan bahwa ada mendukung akuntabilitas pengaturan tata kelola

Pelaksana harus menyediakan seluruh alat produksi dan material yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pekerjaan kecuali bila disebutkan tersendiri di dalam Kontrak. Jika