PENGARUH SUHU LINGKUNGAN DAN MACAM STRAIN TERHADAP JUMLAH
KETURUNAN
Drosophila melanogaster
Ika Sukmawati
1), Aloysius Duran Corebima
2), Siti Zubaidah
2)1)
Pascasarjana Pendidikan Biologi Universitas Negeri Malang
2)Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang ikasukma06@gmail.com
ABSTRAK
Suhu lingkungan merupakan salah satu faktor abiotik yang berpengaruh besar terhadap kehidupan serangga, termasuk Drosophila melanogaster. Suhu lingkungan ekstrem merupakan potential stressor
yang dapat berpengaruh menurunkan fekunditas D. melanogaster. Sebagai organisme model genetika, D.
melanogaster diketahui memiliki berbagai mutan, yang salah satunya adalah mutan mata putih (white). Penelitian ini dilakukan dengan tujuan membandingkan jumlah keturunan D. melanogaster wild type
dengan strain white pada kondisi lingkungan bersuhu normal dan suhu lingkungan ekstrem. Penelitian dilakukan dengan desain eksperimen. D. melanogaster pada kelompok kontrol dipelihara pada kondisi
bersuhu sesuai lingkungan alami (pada rentangan 25-30oC) sedangkan kelompok eksperimen dipaparkan
pada suhu tinggi konstan 30oC. Pada kedua kelompok, jumlah keturunan dihitung dan dianalisis dengan
analisis varian dua jalur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada perbedaan jumlah keturunan yang signifikan antara D. melanogaster wild type dan strain white. Jumlah keturunan D. melanogaster pada suhu normal dan tinggi juga berbeda signifikan. Sedangkan interaksi antara macam strain dan suhu lingkungan tidak signifikan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat disimpulkan bahwa suhu lingkungan tinggi berpengaruh pada jumlah keturunan D. melanogaster pada strain wild type maupun white. Macam strain juga berpengaruh terhadap jumlah keturunan yang dapat dihasilkan, dengan wild type sebagai strain yang memiliki rerata jumlah keturunan lebih banyak.
Kata Kunci: Drosophila melanogaster, fekunditas, strain, suhu lingkungan
PENDAHULUAN
Kehidupan banyak spesies di bumi terlihat selalu mengikuti pola yang berhimpitan dengan perubahan temperatur (Feldmeyer, 2009). Suhu lingkungan telah lama diketahui sebagai salah satu faktor abiotik yang berperan besar dalam kehidupan serangga, termasuk D. melanogaster. Selain kepadatan populasi dan sejumlah bahan kimia, suhu lingkungan ekstrem berperan sebagai salah satu potential stressor bagi D. melanogaster (Fox dan Reed, 2010). Suhu lingkungan berpengaruh pada perkembangan dan morfogenesis, serta merupakan faktor penyeleksi terhadap variasi genetik pada populasi alami yang mencakup variasi musiman dan geografis
Drosophila (Bouletreau-Merle dan Sillans, 1996). Sesuai dengan pernyataan tersebut, suhu lingkungan dinyatakan oleh Ayrinhac dkk. (2004) sebagai faktor lingkungan utama yang berkaitan dengan kelimpahan spesies dan distribusi geografis serangga.
Setiap serangga termasuk D. melanogaster
memiliki preferensi suhu tersendiri untuk dapat bertahan hidup. Menurut Dillon dkk. (2008), serangga melakukan perilaku termoregulasi yang bersifat adaptif selama hidupnya yang berguna untuk menghindari kerusakan dan keletalan. Sejumlah penelitian terdahulu juga telah
menunjukkan tingkat toleransi suhu tinggi pada D.
melanogaster. Salah satu dari hasil penelitian tersebut dikemukakan oleh Demerec dan Kaufman (1996), bahwa biakan D. melanogaster sebaiknya tidak dipelihara dalam suhu lebih tinggi dari 30oC. Sementara itu, penelitian lain menunjukkan bahwa suhu 29oC sudah bersifat stressful
bagi D. melanogaster (D’Avila dkk., 2008; Gilchrist dan
Huey, 2010; Sambucetti, dkk., 2013; Chen, dkk., 2015; Pedersen, dkk., 2011). Paparan pada suhu yang lebih ekstrem dapat memberikan efek negatif pada beberapa sifat terkait fitness, misalnya fekunditas atau kemampuan menghasilkan keturunan (Dillon dkk., 2007).
Fekunditas merupakan salah satu sifat yang
terekspresi pada D. melanogaster, dan merupakan
penentu utama fitness individu betina (Huey dkk., 1995). Fekunditas D. melanogaster ditunjukkan dari banyaknya telur yang dihasilkan individu betina yang dapat bertahan hidup hingga fase dewasa (Lazzaro dkk., 2008). Definisi yang serupa dikemukakan oleh Chen dan Wagner (2012) bahwa fekunditas adalah jumlah turunan dewasa yang menetas (eclosing adults) yang dihasilkan oleh seekor betina. Fekunditas bersama-sama dengan viabilitas dan longevitas merupakan aspek penting dalam karakter life history yang menentukan fitness makhluk hidup (Rose dan Charlesworth, 1980).
Hasil-hasil penelitian telah menunjukkan bahwa fekunditas yang ditunjukkan dengan banyaknya jumlah keturunan memiliki keterkaitan dengan variasi suhu
lingkungan. D. melanogaster yang hidup pada
lingkungan bersuhu berbeda memiliki potensi untuk memiliki perbedaan jumlah keturunan. Pernyataan ini didukung oleh hasil penelitian Ayrinhac dkk. (2004) yang
menunjukkan bahwa D. melanogaster yang hidup di
berbagai rentang ketinggian tempat dengan suhu berbeda memiliki kemampuan yang berbeda dalam memproduksi telur. Hasil yang serupa menunjukkan bahwa paparan suhu tinggi secara terus-menerus pada D. melanogaster
dapat menurunkan fekunditas, serta pada individu jantan dapat berpengaruh pada penurunan kemampuan kawin dan kemandulan (Demerec dan Kaufman, 1996; Pedersen dkk., 2011). Efek dari suhu lingkungan tinggi ternyata dapat mempengaruhi perbedaan jumlah keturunan pada level genetik melalui aktivitas gen-gen heat shock, khususnya yang berperan dalam fungsi reproduksi (Chen dan Wagner, 2012)
Pada kenyataannya, di alam beberapa hewan terpapar pada stress termal secara rutin dan berulang-ulang (Sinclair, 2001). Lebih lanjut dinyatakan bahwa pada kondisi alami, suhu yang merupakan faktor lingkungan abiotik dapat berfluktuasi dalam rentangan yang luas selama skala waktu tertentu. Ada atau tidaknya fluktuasi suhu lingkungan dapat berpengaruh terhadap individu Drosophila. Oleh karena itu, dapat dilakukan perbandingan pengaruh suhu lingkungan terhadap jumlah
D. melanogaster pada lingkungan yang bersuhu fluktuatif dan lingkungan yang bersuhu ekstrem secara konstan.
D. melanogaster sendiri merupakan organisme yang telah banyak dimanfaatkan dalam berbagai kajian penelitian khususnya dalam bidang genetika. Sebagai salah satu organisme model utama genetika (Markow dan
Grady, 2006), D. melanogaster diketahui memiliki
banyak strain mutan di samping strain wild type. Salah
satu mutan D. melanogaster yang banyak dikenal adalah
mutan mata putih (strain white). Strain white D. melanogaster merupakan strain mutan D. melanogaster
yang terjadi karena mutasi pada kromosom X dengan peta rekombinan 1-1.5. Secara morfologis, mata majemuk dan mata tunggal strain white berwarna putih seluruhnya. Warna mata yang putih pada strain white
tidak berubah-ubah oleh pengaruh suhu maupun usia individu (Chyb dan Gompel, 2013). Dengan demikian, strain white merupakan salah satu strain yang cocok digunakan dalam penelitian yang melibatkan variasi suhu lingkungan. Berdasarkan paparan tersebut, dilakukan penelitian yang mengkaji pengaruh suhu lingkungan dan
macam strain terhadap jumlah keturunan D.
melanogaster.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan bahan yang meliputi biakan murni D. melanogaster strain wild type (N) dan
white (w) dalam medium biakan yang terbuat dari pisang rajamala, tape singkong, dan gula merah. Alat-alat dalam penelitian meliputi alat-alat untuk pembuatan medium, botol pemeliharaan stok, beberapa alat untuk mengisolasi pupa hitam, dan sebuah inkubator bersuhu
konstan 30oC. Penelitian dilaksanakan pada bulan
November-Desember 2015 di laboratorium genetika Jurusan Biologi Universitas Negeri Malang, Gedung O5 310. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang terbagi menjadi tahap persiapan stok, persilangan, dan pengambilan data.
Persiapan stok dilakukan dengan memperbanyak biakan D. melanogaster strain wild type (N) dan white
(w) dan memisahkannya menjadi stok untuk kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Stok kelompok kontrol dipelihara di ruang laboratorium yang bersuhu sesuai dengan lingkungan alami (berkisar pada rentangan 25-30oC) sedangkan stok kelompok perlakuan dipelihara
dalam inkubator bersuhu konstan 30oC. Setelah
dihasilkan pupa hitam dari stok, pupa hitam tersebut diisolasi dalam selang plastik berisi irisan pisang yang ditutup spons.
Setelah pupa menetas, individu dewasa D.
melanogaster pada kelompok kontrol maupun perlakuan
disilangkan dengan persilangan tipe persilangan
homogami (♂N >< ♀N dan ♂w >< ♀w) pada suatu botol berisi medium sebanyak 4 ulangan. Persilangan kelompok kontrol dilakukan pada lingkungan bersuhu normal (25-30oC), sedangkan pada kelompok perlakuan dilakukan pada suhu konstan 30oC. Setelah 2 hari persilangan, individu jantan dari masing-masing botol persilangan dilepaskan. Individu betina dari masing-masing persilangan dipindahkan ke botol lain berisi medium jika pada medium persilangan telah terbentuk larva yang merupakan turunan pertama (F1).
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data jumlah F1 dari masing-masing persilangan. Setelah larva berkembang menjadi pupa dan menetas menjadi serangga dewasa, jumlah individu F1 tersebut dihitung dan dicatat. Data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis varian dua jalur melalui program IBM SPSS Statistics Version 22.00. Pengujian hipotesis dilakukan dengan kriteria signifikansi 0,05.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis data jumlah keturunan D.
melanogaster strain wild type dan white pada suhu lingkungan normal dan suhu panas (30oC) dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Ringkasan Anava Data Jumlah Keturunan D. melanogaster Strain wild type dan white pada Suhu Lingkungan yang Berbeda
Source Type III Sum of Squares df Mean Square F Sig. Corrected Model 180042,688 a 3 60014,229 7,247 ,005 Intercept 462740,063 1 462740,063 55,875 ,000 Strain 47197,563 1 47197,563 5,699 ,034 Suhu 131225,063 1 131225,063 15,845 ,002 Strain * Suhu 1620,063 1 1620,063 ,196 ,666 Error 99380,250 12 8281,688 Total 742163,000 16 Corrected Total 279422,938 15
R Squared = ,644 (Adjusted R Squared = ,555)
Berdasarkan Tabel 1, nilai p pada variabel suhu lingkungan bernilai 0,02<0,05. Dengan demikian, H0
ditolak dan H1 diterima. Suhu lingkungan berpengaruh
signifikan terhadap jumlah keturunan yang dihasilkan. Rerata jumlah keturunan yang dihasilkan lebih banyak
227,80% pada suhu normal (25-30oC) yaitu sebesar
260,625 dibandingkan pada suhu panas (30oC) sebesar 79,500. Nilai p pada variabel macam strain bernilai 0,034<0,05. Dengan demikian, H0 ditolak dan H1
diterima. Macam strain D. melanogaster juga
berpengaruh signifikan terhadap jumlah keturunan yang dihasilkan. Rerata jumlah keturunan yang dihasilkan pada strain wild type lebih banyak 93,84% dibandingkan strain
white, berturut-turut sebesar 224,375 dan 115,750. Nilai p untuk interaksi variabel macam strain dan suhu lingkungan bernilai 0,666>0,05. Dengan demikian, H0
diterima dan H1 ditolak. Interaksi antara macam strain D. melanogaster dan suhu lingkungan tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah keturunan yang dihasilkan.
Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa suhu lingkungan dan macam strain berpengaruh terhadap jumlah keturunan D. melanogaster.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa D. melanogaster
yang dipelihara pada lingkungan bersuhu normal (berfluktuasi secara alami pada rentangan 25-30oC setiap harinya) memiliki jumlah keturunan yang lebih banyak
dibandingkan D. melanogaster yang dipelihara pada
lingkungan bersuhu panas konstan 30oC. Hal ini dapat terjadi karena beberapa hal yang dipengaruhi oleh suhu
lingkungan panas. Faktor pertama yang dapat
menjelaskan penurunan jumlah keturunan D.
melanogaster di lingkungan bersuhu tinggi adalah karena adanya gangguan perkembangan telur yang dihasilkan individu betina pada lingkungan bersuhu panas ekstrem.
Pematangan telur serangga memiliki
ketergantungan pada temperatur, begitu juga dengan peletakan telur oleh betina yang memperhatikan rentang
suhu tertentu (Berger dkk., 2008). Pada lingkungan bersuhu panas, kerusakan dapat terjadi pada individu yang sedang berkembang. Kerusakan tersebut berkaitan dengan kejadian denaturasi protein, perubahan transisi fase membran, hipoksia, dan hilangnya potensial membran pada telur serangga (Marshall dan Sinclair, 2009). Terjadinya kerusakan tersebut bahkan dapat sampai mengarahkan pada keletalan (Dillon dkk., 2009). Keletalan pada individu D. melanogaster menyebabkan perkembangan telur terhenti dan mati sebelum dapat berkembang menjadi dewasa. Oleh karena itulah jumlah
keturunan yang dihasilkan D. melanogaster pada
lingkungan bersuhu panas jauh lebih sedikit
dibandingkan pada lingkungan bersuhu normal.
Faktor ke dua yang menjelaskan tentang pengaruh
suhu tinggi pada penurunan jumlah keturunan D.
melanogaster berkaitan dengan fekunditas individu
betina. D. melanogaster kelompok perlakuan yang
digunakan dalam penelitian ini berkembang sejak telur hingga dewasa dan melakukan perkawinan pada
lingkungan bersuhu panas. Huey dkk. (1995)
mengemukakan bahwa tingkat fekunditas calon
Drosophila betina dapat dipengaruhi sejak awal perkembangannya oleh suhu, yaitu sejak fase telur diletakkan oleh induk. Dengan demikian, betina yang berkembang dalam suhu ekstrem rendah atau tinggi biasanya lebih rendah fekunditasnya dibanding betina yang berkembang dalam lingkungan bersuhu normal. Ketika temperatur pada lingkungan mencapai batas ekstrem tinggi, fekunditas dapat jauh berkurang karena tingkat oogenesis yang rendah.
Suhu tinggi dapat berpengaruh pada penurunan tingkat oogenesis pada level genetik, yaitu melalui keberadaan gen heat shock. Suhu tinggi dapat memicu aktivitas dari gen tersebut. Salah satu dari gen heat shock
tersebut ada yang telah diketahui berkaitan dengan reproduksi dan fekunditas, yaitu Hsp83. Hsp83 telah diketahui terlibat dalam fungsi reproduktif, karena memainkan peran penting dalam proses oogenesis
maupun spermatogenesis. Gen Hsp83 mengatur jalur
molekuler oogenesis melalui protein yang dihasilkannya.
Selain itu, RNA Hsp83 merupakan komponen dari
posterior polar plasm. Sementara, gen heat shock yang lain yakni Hsp90 diperlukan untuk perkembangan germ cells embrio Drosophila (Chen dan Wagner, 2012).
Faktor ke tiga yang menjelaskan hasil penelitian ini berkaitan dengan kemampuan kawin pada individu jantan. Demerec dan Kaufman (1996) serta Pedersen, dkk. (2011) menyatakan bahwa pada individu jantan, suhu lingkungan ekstrem tinggi yang dipaparkan secara terus-menerus dapat berpengaruh pada penurunan kemampuan kawin dan kemandulan (sterilitas). Pengaruh suhu tinggi pada kemampuan kawin dan sterilitas jantan
juga dapat dikaitkan dengan penurunan spermatogenesis seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suhu lingkungan tinggi mempengaruhi penurunan jumlah
keturunan D. melanogaster hingga sebesar 227,83%.
Hasil analisis terhadap data jumlah keturunan D.
melanogaster pada masing-masing strain juga
memperlihatkan adanya perbedaan yang signifikan. Jumlah keturunan D. melanogaster strain wild type lebih
banyak 93,84% dibandingkan strain white pada
lingkungan bersuhu normal maupun bersuhu panas. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui bahwa pada umumnya fekunditas D. melanogaster strain wild type
lebih tinggi dibandingkan strain white. Selain itu, dapat
diketahui pula bahwa kemampuan strain wild type dalam
mempertahankan diri di lingkungan bersuhu ekstrem tinggi lebih baik dibandingkan strain white.
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa suhu lingkungan berpengaruh signifikan terhadap
jumlah keturunan D. melanogaster. D. melanogaster
pada lingkungan bersuhu normal memiliki rerata jumlah keturunan lebih tinggi dibandingkan pada lingkungan bersuhu panas, dengan selisih sebesar 227,83%. Macam strain D. melanogaster juga memiliki pengaruh signifikan terhadap jumlah keturunan yang dihasilkan, dengan strain
wild type memiliki rerata jumlah keturunan lebih banyak 93,84% dibandingkan strain white. Interaksi antara kedua faktor tersebut (suhu lingkungan dan macam strain) tidak berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah keturunan
D. melanogaster. DAFTAR PUSTAKA
Ayrinhac, A., Debat, V., Gilbert, P., Kister, A. G., Legout, H., Moreteau, B., Vergilino, R., dan David, J. R. 2004. Cold Adaptation in
Geographical Populations of Drosophila
melanogaster: Phenotypic Plasticity is More Important than Genetic Variability. Functional Ecology, 18: 700-706.
Berger, D., Walters, R., dan Gotthard, K. 2008. What Limits Insect Fecundity? Body Size and Temperature-Dependent Egg Maturation and Oviposition in a Butterfly. Functional Ecology,
22: 523-529.
Bouletreau-Merle, J. dan Sillans, D. 1996. Effects of
Interaction Between Temperature and CO2 on
Life-History Traits of Two Drosophila Species (Diptera: Drosophilidae). Eur. J. Entomol., 93: 451-459.
Chen, B. dan Wagner, A. 2012. Hsp90 is Important For Fecundity, Longevity, and Buffering of Cryptic
Deleterious Variation in Wild Fly Populations.
Evolutionary Biology, 12: 25.
Chen, J., Nolte, V., dan Schlotterer, C. 2015.
Temperature Related Reaction Norms of Gene
Expression: Regulatory Architecture and
Functional Implications.
http://mbe.oxfordjournals.org/. Diunduh tanggal 23 Juli 2015.
Chyb, S. dan Gompel, N. 2013. Atlas of Drosophila Morphology: Wild-type and Classical Mutants. London: Elsevier Inc.
D’Avila, M. F. D., Garcia, R. N., Loreto, E. L., dan da S. Valente, V. L. 2008. Analysis of Phenotypes
Altered by Temperature Stress and
Hypermutability in Drosophila willistoni.
Iheringia, Sér. Zool., Porto Alegre, 98(3):345-354.
Demerec, M. dan Kaufman, B. P. 1996. Drosophila
Guide: Introduction to The Genetics and Cytology of Drosophila melanogaster, Tenth Edition. Washington D. C: Carnegie Institution of Washington.
Dillon, M. E., Wang, G., Garrity, P. A., dan Huey, R. B. 2009. Thermal Preference in Drosophila. Journal of Thermal Biology, 34 (2009): 109-119.
Dillon, M. E., Cahn, L. R. Y, dan Huey, R. B. 2008. Life History Consequences of Temperature Transients
in Drosophila melanogaster. The Journal of
Experimental Biology, 210: 2897-2904.
Feldmeyer, B. V. 2009. The Effect of Temperature on Sex
Determination. PhD Thesis dipublikasikan
(Online).
http://www.rug.nl/research/institute-
evolutionary-life-sciences/tres/_pdf/thesis_feldmeyer_09.pdf. Diunduh tanggal 8 November 2015.
Fox, C. W. dan Reed, D. H. 2010. Inbreeding Depression
Increases With Environmental Stress: An
Experimental Study and Meta-Analysis.
Evolution, 65-1: 246-258.
Gilchrist, G. W., dan Huey, R. B. 2010. Parental and Developmental Temperature Effects on The Thermal Dependence of Fitness in Drosophila melanogaster. Evolution, 55 (1): 209-214.
Huey, R. B., Wakefield, T., Crill, W. D., dan Gilchrist, G. W. 1995. Within-and Between-Generation Effects of Temperature on Early Fecundity of Drosophila melanogaster. Heredity, 74 (1995): 216-223.
Lazzaro, B. P., Flores, H. A., Lorigan, J. G., dan Yourth,
C. P. 2008. Genotype-by-Environment
Interactions and Adaptation to Local Temperature Affect Immunity and Fecundity in Drosophila
melanogaster. PLoS Pathog 4(3): e1000025.
Markow, T.A. dan Grady, P. O. 2006. Drosophila: A Guide to Species Identification and Use. London: Elsevier Inc.
Marshall, K. E. dan Sinclair, B. J. 2009. Repeated Stress Exposure Results in a Survival-Reproduction
Trade-Off in Drosophila melanogaster.
Proceedings of The Royal Society B, 277: 963-969.
Pedersen, L. D., Pedersen, A. R., Bijlsma, R., dan Bundgaard, J. 2011. The Effects of Inbreeding and Heat Stress on Male Strerility in Drosophila melanogaster. Biological Journal of the Linnean Society, 104: 432-442.
Rose, M. R.dan Charlesworth, B. 1980. Genetics of Life History in Drosophila melanogaster, I. Sib Analysis of Adult Females. Genetics, 97: 173-186. Sambucetti, P., Scannapieco, A. C., Loeschcke, V., dan Norry, F. M. 2013. Heat-Stress Survival in The Pre-Adult Stage of The Life Cycle in an Intercontinental Set of Recombinant Inbred Lines
of Drosophila melanogaster. The Journal of
Experimental Biology, 216: 2953-2959.
Sinclair, B. J. 2001. Field Ecology of Freeze Tolerance: Inter Annual Variation in Cooling Rates, Freeze-thaw and Thermal Stress in the Microhabitat of
the Alpine Cockroach Celatoblatta