BAB II
LEGALITAS AKTA PELEPASAN HAK DENGAN GANTI RUGI YANG LAHIR AKIBAT WANPRESTASI HUTANG PIUTANG
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian
Defenisi perjanjian telah diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, yaitu bahwa perjanjian atau persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
lebih.69
Menurut Subekti, suatu perjanjian dinamakan juga persetujuan karena kedua
pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu, dapat dikatakan bahwa dua perkataan
(perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya. Subekti memberikan rumusan
perjanjian sebagai suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain
dimana dua orang tersebut saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal.70
Perjanjian merupakan terjemahan dari oveereenkomst sedangkan persetujuan
merupakan terjemahan dari toestemming yang ditafsirkan sebagai
wilsovereenstemming (persesuaian kehendak/kata sepakat). Perbedaan pandangan
dari para sarjana tersebut di atas, timbul karena adanya sudut pandang yang berbeda,
yaitu pihak yang satu melihat objeknya dari perbuatan yang dilakukan subjek hukum,
69
Pasal 1313 Kitab Undang Undang Hukum Perdata 70
sedangkan pihak yang lain meninjau dari hubungan hukumnya. Hal tersebut
menyebabkan banyak sarjana yang memberikan batasan sendiri mengenai istilah
perjanjian tersebut.
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, berpendapat bahwa perjanjian merupakan
perbuatan hukum dimana seseorang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seorang
lain atau lebih.71 Selain itu, Tan Kamello juga memberikan defenisi perjanjian yang
menyatakan bahwa, perjanjian adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau
lebih berdasarkan kata sepakat untuk saling mengikatkan diri mengenai sesuatu objek
dengan tujuan tertentu dan mengakibatkan akibat hukum 72Menurut R. Setiawan,
perjanjian adalah suatu perbuatan hukum dimana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. 73
Berdasarkan rumusan perjanjian tersebut diatas, maka dapat disimpulkan
bahwa unsur-unsur dari perjanjian adalah:
a. Ada pihak-pihak, sedikitnya dua orang;
b. Adanya persetujuan diantara para pihak;
c. Ada tujuan yang ingin dicapai;
d. Ada prestasi yang akan dilaksanakan;
e. Ada syarat-syarat tertentu sebagai isi dari perjanjian; dan
f. Ada bentuk tertentu, bisa berupa lisan atau tertulis.
71
Sri Soedewi Masjchoen,Hukum Jaminan di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan,(Yogyakarta: Liberty, 1980), hlm.1.
72
Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2006), hlm.4.
73
2. Syarat Syarat Sahnya Perjanjian
Perjanjian yang sah adalah perjanjian yang memenuhi syarat yang telah
ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum (legally concluded
contract).74
Menurut Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum Perdata, suatu
perjanjian itu sah apabila memenuhi 4 (empat) syarat, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya (toesteming)
Syarat yang pertama sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan
atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan
kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya, yang sesuai itu
dapat dilihat atau diketahui oleh orang lain.
Menurut Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa ada lima cara
terjadinya persesuaian pernyataan kehendak, yaitu:dengan bahasa yang
sempurna dan tertulis,bahasa yang sempurna secara lisan,bahasa yang tidak
sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan, danbahasa isyarat yang dapat
diterima oleh pihak lawan.75
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk
melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan
74
Abdul Kadir Muhammad,Hukum Perikatan,(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), hlm.88. 75
menimbulkan akibat hukum. Para pihak yang ingin mengadakan perjanjian
haruslah cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan
hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Orang yang cakap
atau mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang
yang sudah dewasa.76
Menurut aturan hukum perdata, orang yang sudah dewasa adalah yang
telah berumur 21 tahun dan atau sudah kawin, sedangkan orang yang tidak
berwenang untuk melakukan perbuatan hukum menurut Pasal 1330 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata adalah anak di bawah umur
(minderjarigheid), orang yang berada di bawah pengampuan (curatele),dan
istri. Istri dalam perkembangannya dapat melakukan perbuatan hukum
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang Undang Nomor Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan jo. SEMA No.3 Tahun 1963.
3. Suatu hal tertentu(onderwerp der overeenkomst).
Suatu hal tertentu yang dimaksudkan dalam hal ini adalah mengenai
isi prestasi sebagai objek dari suatu perjanjian. M. Yahya Harahap,
menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 1234 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, prestasi yang diperjanjikan itu ialah: untuk
menyerahkan sesuatu (te geven), untuk melakukan sesuatu (te doen), dan
untuk tidak melakukan sesuatu (of niet te doen).Menurut Yahya Harahap,
mengenai objek perjanjian harus dapat ditentukan adalah suatu hal yang logis
76
dan praktis. Tak akan ada arti perjanjian jika undang-undang tidak
menentukan hal demikian.77
Kitab Undang Undang Hukum Perdata mengatur tentang syarat-syarat
dari objek atau prestasi perjanjian, yaitu: obyeknya harus tertentu (een
bepaalde onderwerp), obyeknya harus diperbolehkan (geoorloofde oorzak),
obyeknya dapat dinilai dengan uang, dan obyeknya harus mungkin.78
4. Adanya kausa yang halal(geoorloofde oorzaak).
Menurut Purwahid Patrik, syarat adanya kausa yang halal ini
mempunyai dua fungsi yaitu: perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat
ini perjanjian batal dan kausa atau sebabnya harus halal, kalau tidak halal
perjanjian batal.79
Pasal 1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak menjelaskan
pengertian kausa yang halal (oorzaak). Pasal 1337 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata hanya menyebutkan kausa yang terlarang. Suatu sebab adalah
terlarang apabila bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan (goede
zeden), dan ketertiban umum(openbare orde) .80
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang digolongkan ke dalam dua jenis syaratperjanjian, yaitu: syarat subyektif
77
M.Yahya Harahap ,Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: PT. Alumni Bandung, 1986), hlm.10.
78
Purwahid Patrik, Hukum Perdata I (Asas-Asas Hukum Perikatan), (Semarang: Jurusan Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, 1986), hlm.4.
79
Ibid, hlm.21. 80
dan syarat obyektif. Syarat sahnya perjanjian yang pertama dan kedua digolongkan ke
dalam syarat subyektif karena menyangkut subyek atau pihak yang mengadakan
perjanjian, sedangkan syarat sahnya perjanjian yang ketiga dan keempat digolongkan
ke dalam syarat obyektif karena berhubungan langsung dengan obyek perjanjian.81
Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian itu dapat dibatalkan
(voidable). Salah satu pihak dapat mengajukan ke Pengadilan untuk membatalkan
perjanjian yang telah disepakatinya. Apabila para pihak tidak ada yang keberatan
maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Suatu perjanjian itu batal demi hukum (null
and void), apabila syarat obyektif tidak terpenuhi. Artinya, dari semula perjanjian itu
dianggap tidak pernah ada.82
3. Lahirnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1233 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
bahwa, Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian atau dari
undang-undang. Dengan demikian, perjanjian merupakan salah satu dari dua dasar hukum
yang ada selain dari undang-undang yang dapat menimbulkan perikatan. Bahkan
apabila diperhatikan dalam praktik masyarakat, perikatan yang bersumber dari
perjanjian begitu mendominasi.83
Suatu perikatan yang bersumber dari undang-undang dapat dibagi ke dalam
dua kategori sebagai berikut:
81
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian , (Jakarta: PT.Grafindo Persada, 2004), hlm.93.
82
Salim H.S,Perancangan Perjanjian dan Memorandum Of Understanding, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.11.
83
1. Perikatan semata-mata karena undang-undang, yang terdiri dari:
a. Perikatan yang menimbulkan kewajiban bagi penghuni pekarangan yang
berdampingan (Pasal 625 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
b. Perikatan yang menimbulkan kewajiban mendidik dan memelihara anak
(Pasal 104 Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
2. Perikatan karena undang-undang tapi melalui perbuatan manusia, yang terdiri
dari:
a. Perbuatan melawan hukum atau Onrechmatige daad (Pasal 1365 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata).
b. Perbuatan menurut hukum atauRechmatige daad, terdiri dari:
1) Perwakilan sukarela atau zaakwarneming (Pasal 1354 Kitab Undang
Undang Hukum Perdata).
2) Pembayaran tidak terutang (Pasal 1359 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata).
3) Perikatan wajar atau Naturlijke Verbintennissen (Pasal 1359 ayat (2)
Kitab Undang Undang Hukum Perdata).
Selain perikatan yang bersumber dari undang-undang, terdapat juga perikatan
yang bersumber dari perjanjian. Akan tetapi, Para ahli hukum perdata pada umumnya
sependapat bahwa sumber perikatan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1233 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata kurang lengkap.84
84
Berdasarkan sumber-sumber yang tersebut diatas, yang paling penting adalah
perjanjian. Melalui perjanjian itu pihak-pihak mempunyai kebebasan untuk
mengadakan segala jenis perikatan, dengan batasan yang tidak dilarang oleh
undang-undang, berlawanan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Dengan adanya
kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomie, contractvrijheid) maka
subjek-subjek perikatan tidak hanya terikat untuk mengadakan perikatan-perikatan yang
namanya ditentukan oleh undang-undang yaitu sebagaimana yang tercantum di dalam
Bab V sampai dengan Bab XVIII Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III,
tetapi berhak untuk mengadakan perjanjian-perjanjian yang namanya tidak ditentukan
oleh undang-undang, dengan istilah lain disebut juga perjanjian umum.85
Perikatan yang bersumber dari perjanjian ini pada prinsipnya mempunyai
kekuatan yang sama dengan perikatan yang bersumber dari undang-undang. Dasar
hukum dari kekuatan suatu perjanjian adalah Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang
Undang Hukum Perdata yang menyatakan bahwa, semua persetujuan yang dibuat
secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya . Para
pihak dapat mengatur apapun dalam perjanjian tersebut (catch all), sebutan yang
tidak dilarang oleh undang-undang, kebiasaan dan kepatutan.86
4. Asas-Asas dalam Perjanjian
Asas (principle) adalah sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai
dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan
85
Ibid.
86
sesuatu hal yang hendak dijelaskan.87 Hukum perjanjian terdapat beberapa asas, yaitu
sebagai berikut:88
1. Asas konsensualisme
Asas konsensualisme merupakan asasessensialdari hukum perjanjian.
Sepakat mereka mengikatkan diri telah dapat melahirkan perjanjian, asas ini
juga dinamakan asas otonomi konsensualisme , yang menentukan adanya
perjanjian.89 Asas konsensualisme menentukan bahwa suatu perjanjian yang
dibuat dua orang atau lebih telah mengikat sehingga telah melahirkan
kewajiban bagi salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut, segera
setelah orang-orang tersebut mencapai kesepakatan atau consensus,meskipun
kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan semata-mata.90
Asas konsensualisme ini ditemukan dalam Pasal 1320 ayat (1) Kitab
Undang Undang Hukum Perdata, sedangkan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab
Undang Undang Hukum Perdata ditemukan istilah semua . Kata-kata
semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk
menyatakan keinginannya (will), yang rasanya baik untuk menciptakan
87
Mahadi, Suatu Perbandingan Antara Penelitian Masa Lampau Dengan Sistem Metode Penelitian Dewasa Ini dalam Menemukan Asas-Asas Hukum, Makalah, Kuliah pada Pembinaan Tenaga Peneliti Hukum BPHN, Jakarta, 1980, hlm.52.
88
Mariam Darus Badrulzaman,Op.Cit,hlm.2-3. 89
Mariam Darus Badrulzaman,Aneka Hukum Bisnis,(Bandung: Alumni, 2005), hlm.109. 90
perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan
mengadakan perjanjian.91
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Berdasarkan asas kebebasan berkontrak atau asas kebebasan
mengadakan perjanjian, setiap orang pada asasnya dapat membuat perjanjian
dengan isi yang bagaimanapun juga, asal tidak bertentangan dengan
undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum. Undang-undang disini adalah
undang-undang yang bersifat memaksa.92
Asas kebebasan berkontrak ini merupakan konsekuensi dari dianutnya
sistem terbuka dalam hukum perjanjian apapun baik yang telah diatur secara
khusus dalam Kitab Undang Undang Perdata maupun yang belum diatur
dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata atau peraturan-peraturan
lainnya. Sebagai konsekuensi lain dari sistem terbuka, maka hukum perjanjian
mempunyai sifat sebagai hukum pelengkap. Hal ini berarti bahwa masyarakat
selain bebas mempunyai isi perjanjian apapun mereka pada umumnya juga
diperbolehkan untuk mengenyampingkan atau tidak mempergunakan
peraturan-peraturan yang terdapat dalam bagian khusus Buku III Kitab
Undang Undang Hukum Perdata. Dengan kata lain, para pihak dapat membuat
ketentuan-ketentuan yang akan berlaku diantara mereka. Undang-undang
91
Abdul Hakim, Pertanggungjawaban Pelaku Usaha Melalui Perjanjian Baku Dan Asas Kepatutan dalam Perlindungan Konsumen,Disertasi, Medan, 2013, hlm.53.
92
hanya melengkapi saja apabila ada hal-hal yang belum diatur diantara
mereka.93
Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang
Undang Hukum Perdata, semua perjanjian mengikat sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya , dapat disimpulkan lazimnya adagium
tersebut menganut asas kebebasan berperjanjian yang berasal dari dunia barat
pada saat berkembangnya liberalisme. Meskipun demikian pencantuman
adagium tersebut bertujuan untuk peningkatan kepastian hukum. Dalam
sistem terbuka hukum perjanjian atau asas kebebasan berperjanjian yang
penting adalah semua perjanjian (perjanjian dari macam apa saja), akan
tetapi tidak hanya itu yakni yang lebih penting lagi adalah bagian
mengikatnya perjanjian sebagai undang-undang.94
Kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting
di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak
bebas, pancaran hak asasi manusia.95 Asas kebebasan berkontrak itu
berpangkal pada kedudukan kedua belah pihak yang sama kuatnya, sedangkan
dalam kenyataannya seringkali tidaklah demikian. Hal ini mengakibatkan
kedudukan pihak yang lemah tidak dilindungi apabila berada dalam posisi
berat sebelah. Pencantuman syarat tidak boleh berisikan sesuatu yang
bertentangan dengan kesusilaan dan kepatutan bagi sahnya suatu perjanjian
93
Abdul Hakim,Op.Cit,hlm.55. 94
R. Subekti,Op.Cit,hlm.4-5. 95
adalah sudah merupakan alat pencegah terhadap pihak lawannya yang lemah.
Hal ini dipercayakan kepada hakim untuk menggunakannya, juga
pencantuman ketentuan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan
itikad baik memberikan kekuasaan kepada hakim untuk mengawasi agar tidak
terjadi penyalahgunaan kekuasaan (kedudukan) satu pihak terhadap pihak
lawannya (yang lemah) sepanjang mengenai tahap pelaksanaan perjanjian.96
3. Asas Kekuatan Mengikat
Asas ini juga disebut sebagai asas pengikatnya suatu perjanjian, yang
berarti pada pihak yang membuat perjanjian itu terikat pada kesepakatan
dalam perjanjian yang telah mereka perbuat. Dengan kata lain, perjanjian
yang diperbuat secara sah berlaku seperti berlakunya undang-undang bagi
para pihak yang membuatnya.
Asaspacta sunt servandaini terdapat dalam ketentuan Pasal 1338 ayat
(1) dan ayat (2) Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyatakan
bahwa, semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai
undang-undang bagi mereka yang membuatnya . Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat
ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
4. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik dalam bahasa hukumnya disebut de goede trouw.
Asas ini berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Mengenai asas itikad
96
baik ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang Undang Hukum
Perdata yang menentukan persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan
dengan itikad baik . Itikad baik dapat dibedakan dalam pengertian subjektif
dan objektif. Itikad baik dalam segi subjektif, berarti kejujuran. Hal ini
berhubungan erat dengan sikap batin seseorang pada saat dimulainya suatu
perjanjian itu seharusnya dapat membayangkan telah dipenuhinya
syarat-syarat yang diperlukan. Itikad baik objektif, berarti kepatutan, yang
berhubungan dengan pelaksanaan perjanjian atau pemenuhan prestasi dan cara
melaksanakan hak dan kewajiban haruslah mengindahkan norma-norma
kepatutan.97
5. Asas Keseimbangan
Asas ini menghendaki kedua pihak memenuhi dan melaksanakan
perjanjian itu. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas
persamaan hukum. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi
dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan
debitur. Namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian
itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang
kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik,
sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
97
6. Asas Kepastian Hukum
Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian
hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu
sebagai undang-undang bagi para pihak.
7. Asas Kepatutan
Asas ini dituangkan dalam Pasal 1339 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata yang menjelaskan bahwa, Persetujuan tidak hanya mengikat untuk
hal-hal yang secara tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala
sesuatu yang menurut sifat perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
dan undang-undang . Asas kepatutan harus dipertahankan, karena melalui
asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam
masyarakat.
5. Prestasi(performance)dalam Perjanjian
Prestasi dalam suatu perjanjian sangat penting keberadaannya. Hal ini
dikarenakan segala sesuatu yang menyangkut prestasi dalam perjanjian akan
mewujudkan asas-asas yang ada dalam perjanjian. Prestasi merupakan objek dari
suatu perikatan.98Berdasarkan Pasal 1234 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata,bahwa prestasi perikatan adalah berbuat sesuatu, memberikan sesuatu, dan
98
tidak berbuat sesuatu. Bentuk-bentuk prestasi tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:99
1. Prestasi perikatan untuk memberikan sesuatu
Prestasi untuk memberikan sesuatu dalam arti menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitur kepada kreditur. Hal ini berdasar pada Pasal 1235 Kitab Undang Undang Hukum Perdata yang menyebutkan bahwa kewajiban debitur untuk menyerahkan benda yang bersangkutan.
2. Prestasi perikatan untuk berbuat sesuatu
Prestasi perikatan untuk berbuat sesuatu artinya melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perjanjian. Wujud prestasi dalam hal ini adalah melakukan perbuatan tertentu. Para pihak dalam melakukan perbuatan itu harus mematuhi apa yang telah ditentukan dalam perikatan atau perjanjian. 3. Prestasi perikatan untuk tidak berbuat sesuatu
Prestasi perikatan untuk tidak berbuat sesuatu artinya tidak melakukan perbuatan seperti yang telah diperjanjikan. Wujud prestasi dalam hal ini adalah tidak melakukan perbuatan. Jika ada pihak yang berbuat berlawanan dengan perikatan ini, ia bertanggungjawab atas akibatnya.
6. Cidera Janji (wanprestasi) dalam Perjanjian
Wanprestasi (breach of contract) adalah tidak dilaksanakannya prestasi atau
kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh kontrak terhadap pihak-pihak
tertentu seperti yang disebutkan dalam kontrak yang bersangkutan.100
Wanprestasi terjadi apabila salah satu pihak dalam perjanjian tidak
melaksanakan atau lalai melaksanakan prestasi (kewajiban) yang menjadi objek
perikatan antara mereka dalam kontrak.101
99
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1992), hlm.19.
100
Munir Fuady,Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis),(Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), hlm.87.
101
Menurut Subekti, ingkar janji (wanprestasi) yang dilakukan seseorang dalam
pelaksanaan prestasi suatu kontrak ada empat bentuk. Bentuk-bentuk wanprestasi
tersebut adalah sebagai berikut:102
1. tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukan;
2. melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dengan yang
dijanjikan;
3. melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat; dan
4. melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Wanprestasi menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang melakukan
cidera janji (wanprestasi) terhadap isi kontrak, yaitu menimbulkan kerugian bagi
rekan kontraknya. Pihak yang dirugikan dapat menuntut pihak yang melakukan
wanprestasi dalam hal-hal sebagai berikut:103
1. Pihak yang dirugikan dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari pihak yang wanprestasi;
2. Pihak yang dirugikan dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada pihak yang wanprestasi;
3. Pihak yang dirugikan dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (HR 1 November 1918);
4. Pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian; dan
5. Pihak yang dirugikan dapat menuntut pembatalan perjanjian disertai ganti rugi kepada pihak yang wanprestasi. Ganti rugi itu berupa pembayaran uang denda.
102
Subekti,Hukum Perjanjian,(Jakarta: PT. Intermasa: 1979), hlm.45. 103
7. Berakhirnya Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1318 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
yang mengatur berbagai cara hapusnya perikatan untuk perjanjian dan perikatan yang
lahir dari undang serta cara-cara yang ditunjukkan oleh pembentuk
undang-undang itu tidaklah bersifat membatasi para pihak untuk menciptakan cara yang lain
untuk menghapuskan suatu perikatan. Hapusnya perikatan yang tersebut dalam Pasal
1381 Kitab Undang Undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut:104
1) Pembayaran; 2) Subrogasi;
3) Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan dan penitipan; 4) Pembaharuan Utang (novasi);
5) Kompensasi atau perjumpaan utang; 6) Percampuran utang;
7) Pembebasan utang;
8) Musnahnya barang yang terutang; 9) Kebatalan dan pembatalan perikatan; 10) Berlakunya suatu syarat batal; dan 11) Lewat waktu.
B. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Hutang Piutang 1. Pengertian Perjanjian Hutang Piutang
Hutang piutang adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dimana pihak
yang satu berjanji untuk memberikan pinjaman kepada pihak yang lain, dan pihak
yang lain berjanji untuk mengembalikan pinjaman yang diberikan tersebut dalam
jangka waktu yang telah ditentukan dan dengan persyaratan yang telah disepakati
bersama. Konsekuensi adanya perikatan yang dibuat oleh para pihak (kreditur dan
debitur), maka hak dan kewajiban sebagai hasil kesepakatan akan mengikat para
104
pihak, selama masing-masing pihak memenuhi hak dan kewajiban maka perikatan
akan berjalan dengan lancar, namun apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya,
maka dapat dikategorikan bahwa debitur telah wanprestasi/ingkar janji, yang mana
hal ini merugikan kepentingan pihak kreditur. Apabila terjadi wanprestasi
sebagaimana yang telah disebutkan.
Defenisi Perjanjian hutang piutang secara langsung di dalam Kitab Undang
Undang Hukum Perdata tidak ditemukan, namun demikian perjanjian pinjam
meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata sampai dengan Pasal 1769 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, dimana
pada pasal ini dijadikan landasan dari perjanjian hutang piutang.
Pinjam meminjam (verbruiklening)adalah persetujuan atau perjanjian dengan
mana pihak yang satu, yaitu yang meminjamkan (kreditur) memberikan kepada pihak
yang lain, yaitu yang meminjam (debitur) suatu jumlah tertentu dari benda yang dapat
habis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang meminjam mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula.
Berdasarkan Pasal 1755 Kitab Undang Undang HukumPerdata dalam
perjanjian pinjam meminjam pihak yang menerima pinjaman menjadi pemilik dari
barang yang dipinjam, dan jika barang itu musnah, maka kemusnahan itu adalah atas
tanggungannya. Karena si peminjam diberikan kekuasaan untuk menghabiskan
barangnya pinjaman, maka sudah setepatnya ia dijadikan pemilik dari barang itu,
Dalam hal peminjaman uang, utang yang terjadi karena hanya terdiriatas
jumlah uang disebutkan dalam perjanjian. Jika, sebelum saatpelunasan, terjadi suatu
kenaikan atau kemunduran harga (nilai) atau adaperubahan mengenai berlakunya
mata uang, maka pengembalian jumlahyang dipinjam harus dilakukan dalam mata
uang yang berlaku pada waktupelunasan, dihitung menurut harganya (nilainya) yang
berlaku pada saat itu.Dengan demikian maka untuk menetapkan jumlah uang yang
terutang, kitaharus berpangkal pada jumlah yang telah disebutkan dalam perjanjian.
2. Hak dan Kewajiban Pemberi Pinjaman
Menurut ketentuan Pasal 1759 Kitab Undang Undang Hukum Perdata
menyebutkan bahwa orang yang meminjamkan tidak boleh meminta kembali apa
yang telah dipinjamkannya, sebelum lewatnya waktu yang ditentukan dalam
perjanjian.
Jika tidak telah ditetapkan suatu waktu, hakim berkuasa, apabila orang yang
meminjamkan menurut pengembalian pinjamannya, menurut keadaan, memberikan
sekedar kelonggaran kepada si peminjam (Pasal 1760 Kitab Undang Undang Hukum
Perdata). Kelonggaran tersebut apabila diberikan oleh hakim, akan dicantumkan di
dalam putusan yang menghukum si peminjam untuk membayar pinjamannya, dengan
menetapkan suatu tanggal dilakukannya pembayaran itu, penghukuman membayar
bunga moratoir juga ditetapkan mulaitanggal tersebut dan tidak mulai dimasukkannya
surat gugatan, kalauorang yang meminjamkan, sebelum menggugat dimuka hakim,
sudahmemberikan waktu secukupnya kepada sipeminjam, maka tidak padatempatnya
Jika perjanjian pinjam uang itu dibuat dengan akta otentik (notaris), makajika
itu diminta oleh penggugat, hakim harus menyatakan putusannyadapat dijalankan
terlebih dahulu meskipun ada permohonan bandingatau kasasi.Jika telah diadakan
perjanjian, bahwa pihak yang telahmeminjankam sesuatu barang atau sejumlah uang,
akanmengembalikannya bilamana ia mampu untuk itu, maka hakimmengingat
keadaan, akan menetukan waktunya pengembalian (Pasal1761 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata).
3. Hak dan Kewajiban Penerima Pinjaman
Orang yang menerima pinjaman sesuatu diwajibkan mengembalikannya
dalam jumlah dan keadaan yang sama, dan pada waktuyang telah ditentukan (Pasal
1763 Kitab Undang Undang Hukum Perdata). Bila tidak telah ditetapkan sesuatu
waktu, maka hakim berkuasa memberikan kelonggaran, menurut ketentuan Pasal
1760 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Jika si peminjam tidak mampu
mengembalikan barang yang dipinjamnya dalam jumlah dan keadaan yang yang
sama, maka ia diwajibkan membayar harganya, dalam hal mana harus diperhatikan
waktu dan tempat dimana barangnya, menurut perjanjian, harusdikembalikan, jika
waktu dan tempat ini tidak telah ditetapkan, harusdiambil harga barang pada waktu
dan ditempat dimana pinjaman telahterjadi (Pasal 1764 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata).
Pada umumnya, barang pinjaman harus dikembalikanditempat dimana
pinjaman telah terjadi, yang adalah juga tempatdimana barang itu telah diterima oleh
Undang Hukum Perdata tersebutmenetapkan bahwa, dalam halnya tidak terdapat
penunjukan tempatpengembalian, harus diambil tempat di mana pinjaman telah
terjadi,dalam menetapkan harga barang harus dibayar oleh sipeminjam.
C. Tinjauan Umum Tentang Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi (PHGR) 1. Fungsi Akta PHGR oleh Notaris
Penelitian ini dilaksanakan sehubungan dengan pembuatan akta yang
dilakukan dihadapan Notaris yang disebut dengan Akta Notaril. Untuk hal tersebut
diteliti Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi, disingkat dengan PHGR yang
berisikan substansi tentang perjanjian jual beli hak atas tanah-tanah yang belum
bersertifikat yang ada bangunan dan atau tanaman diatasnya maupun tidak.
Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi merupakan salah satu akta otentik
yang pembuatannya dilakukan oleh Notaris dan mempunyai kekuatan pembuktian
formil, artinya para pihak benar-benar menerangkan bahwa apa yang telah ditulis
dalam akta itu mempunyai kekuatan pembuktian materiil, maksudnya semua
keterangan yang diberikan dan tertulis di dalam akta tersebut adalah benar dan
berlaku terhadap pihak ketiga.105
Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh Peraturan
Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan
Notaris dan/atau dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta
105
otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan
grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu
tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang
ditetapkan oleh Pasal 15 ayat (1) UUJN No.2 Tahun 2014.106
Notaris dalam hal ini berwenang untuk membuat akta otentik mengenai
pertanahan. Akta otentik adalah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan
oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berwenang
untuk itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.107
Peralihan hakatas tanah yang dilakukan oleh Notaris sebagai pejabat yang
berwenang adalah untuk memberikan kepastian hukum bagi pihak yang membuatnya.
Umumnya masyarakat akan membuat akta pelepasan hak dengan ganti rugi di kantor
Notaris bukan hanya untuk pendaftaran haknya, tetapi juga untuk kepentingan
tertentu, yakni untuk meminjam uang di Bank. Semua perbuatan hukum tersebut
dilakukan dihadapan Notaris/PPAT untuk dibuatkannya akta otentik.
Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi (PHGR) lazimnya untuk tanah yang
belum bersertifikat, karena tanah tersebut belum dilekati dengan hak tertentu oleh
seseorang dan status kepemilikan tanah tersebut merupakan tanah yang langsung
dikuasai oleh Negara. Tanah yang belum bersertifikat atau tanah yang dikuasai oleh
Negara, maka seseorang hanya boleh menguasainya untuk diusahakan sehingga
mendapatkan manfaat dari tanah tersebut. Apabila dilakukan jual beli terhadap tanah
106
Andiani R. Putri,Perlindungan Hukum Terhadap Notaris Indikator Tugas-Tugas Jabatan Notaris yang Berimplikasi Perbuatan Pidana,Softmedia, Medan, 2011, Hal.15.
107
tersebut berarti terjadi peralihan hak penguasaan dari penjual kepada pembeli yang
diikuti dengan pembayaran sejumlah uang sebagai bentuk ganti kerugian atas
peralihan hak yang dimaksud dalam jual beli ini adalah peralihan hak dalam arti hak
menguasai dan mengusahakan tanah tersebut.108
2. Syarat-Syarat Lahirnya Akta PHGR oleh Notaris
Pengalihan hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan seorang
Notaris/PPAT. Untuk akta-akta tanah yang dilekati hak sebenarnya kewenangan
khusus dari PPAT, karena untuk membuat akta otentik dalam perjanjian peralihan
hak atas tanah ini dimaksudkan untuk:
1) memindahkan hakatas tanah;
2) memberikan sesuatu hak baru atas tanah; 3) menggadaikan tanah; dan
4) meminjamkan uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan. 109
Dari keempat macam perjanjian tersebut yang penting berhubungan dengan
perjanjian peralihan hak atas tanah yang menurut ketentuan berupa:
1) jual beli; 2) hibah;
3) tukar menukar;
4) pemisahan dan pembagian biasa;
5) pemisahan dan pembagian harta warisan; dan 6) penyerahan dan pembagian harta warisan.110
108
GHS Lumban Tobing,Peraturan Jabatan Notaris,Erlangga, Jakarta, 1992, Hal.39 109
Effendi Perangin-angin , Praktek Permohonan Hak Atas Tanah, Rajawali Press, Jakarta, 1993, Hal. 34
110
Berdasarkan Ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997, peralihan hak atas tanah yang harus dilaksanakan dihadapan PPAT
adalah melalui jual beli, tukar menukar, hibah, perbuatan hukum pemindahan hak
(pembagian hak bersama), penggabungan atau peleburan yang didahului likuidasi.
Apabila seseorang hendak mengalihkan haknya dan membuat akta PHGR
dihadapan Notaris/PPAT, hendaknya terdapat beberapa syarat, yaitu:
1) KTP Penjual (suami dan isteri); 2) Kartu Keluarga Penjual;
3) Akta atau Surat Nikah penjual; 4) KTP Pembeli;
5) Kartu Keluarga Pembeli; 6) PBB Terbaru dan STTSnya; 7) Surat Keterangan Camat; dan
8) Surat Keterangan tidak silang sengketa dari Kelurahan.111
D. Legalitas Akta Pelepasan Hak Dengan Ganti Rugi (PHGR) yang Lahir Akibat Wanprestasi Hutang Piutang
Pada dasarnya sumber hukum perjanjian dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu sumber hukum materiil dan sumber hukum formil. Sumber hukum
materiil ialah tempat dari mana materi hukum itu diambil. Sumber hukum materil ini
merupakan faktor yang membantu pembentukan hukum, misalnya hubungan sosial,
kekuatan politik, situasi sosial ekonomi, tradisi (pandangan keagamaan dan
kesusilaan), hasil penelitian ilmiah, perkembangan internasional, dan keadaan
geografis.Sumber hukum formal merupakan tempat memperoleh kekuatan hukum. Ini
berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan hukum formal itu
111
berlaku. Yang diakui umum sebagai hukum formil ialah undang-undang, perjanjian
antar negara, yurisprudensi, dan kebiasaan. Keempat hukum formal ini juga
merupakan sumber hukum perjanjian. Sumber hukum perjanjian yang berasal dari
undang-undang merupakan sumber hukum yang berasal dari peraturan
perundang-undangan yang dibuat oleh Pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR).112
Menurut sumber hukum formil, kekuatan hukum dari perjanjian dapat dilihat
di dalam Buku III Kitab Undang Undang Hukum Perdata, antara lain dengan meneliti
ketentuan dari isi perjanjian atau perjanjian tersebut dari asas-asas hukum
perjanjiannya dan syarat sah perjanjiannya. Suatu perjanjian yang telah dibuat secara
sah oleh para pihak, maka akan menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak
yang membuatnya atau dengan kata lain akan terdapat akibat hukum atau memiliki
konsekuensi bagi para pihak yang telah membuatnya. Hal ini terkait dengan asas-asas
hukum perjanjian.
Objek penelitian dalam penelitian tesis ini adalah Akta PHGR yang lahir
akibat wanprestasi hutang piutang.Perjanjian hutang piutang yang diteliti dalam
penulisan ini merupakan perjanjian yang dibuat dibawah tangan dan disahkan
penandatanganannya dihadapan Notaris X. Pihak Peminjam dalam perjanjian ini
adalah Tuan Y dengan persetujuan isterinya yaitu Nyonya W. Pihak pemberi
112
pinjaman adalah Nyonya Z. Isi perjanjian hutang piutang tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1) Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman memberikan pinjaman uang sebesar Rp.150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada Pihak Pertama/Penerima Pinjaman dalam jangka waktu 4 (empat) bulan terhitung sejak tanggal 22 April 2015 sampai dengan tanggal 22 Juli 2015.
2) Pihak Pertama/Penerima Pinjaman menjaminkan kebun miliknya yang seluas kurang lebih 200.000 M2 (dua ratus ribu meter persegi) kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman.
3) Apabila Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat melunasi hutangnya kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati, maka jaminan yang berupa sebidang tanah kebun yang berukuran kurang lebih 200.000 M2(dua ratus ribu meter persegi) diserahkan kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman. Dengan demikian, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak berhak lagi atas kebun tersebut beserta pengelolaannya.
Seiring berjalannya waktu, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat
memenuhi prestasinya sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati di dalam
perjanjian. Maka berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, pihak pertama harus
menyerahkan objek jaminan kepada pihak kedua sesuai dengan poin keenam dalam
perjanjian hutang piutang tersebut yang menyatakan:
Apabila Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak dapat melunasi hutangnya tersebut kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman sampai dengan jangka waktu yang telah disepakati bersama, maka kedua belah pihak sepakat jaminan yang berupa tanah kebun yang luasnya kurang lebih 200.000 M2 (dua ratus ribu meter persegi) diserahkan kepada Pihak Kedua/Pemberi Pinjaman. Dengan demikian, Pihak Pertama/Penerima Pinjaman tidak berhak lagi atas kebun tersebut beserta pengelolaannya.
Akibat dari wanprestasi yang dilakukan oleh Pihak Pertama/Penerima
Pinjaman tersebut, maka kedua belah pihak sepakat ke kantor Notaris X untuk
berupa akta otentik. Berdasarkan poin keenam yang termaktub dalam Perjanjian
hutang piutang tersebut, Notaris X membuat Akta PHGR. Pihak Pertama dalam Akta
PHGR tersebut adalah Tuan Y dan isterinya Nyonya W. Pihak kedua adalah Nyonya
Z. Isi dari Akta PHGR tersebut dapat diuraikan secara singkat sebagai berikut:
1) Penghadap Pihak Pertama menerangkan dengan ini bahwa dengan tidak mengurangi izin dari yang berwajib melepaskan dan menyerahkan serta memindahkan haknya kepada Pihak Kedua yang dengan ini menerangkan menerima pengelepasan dan penyerahan serta pemindahan dari Pihak Pertama, yaitu hak atas: sebidang tanah yang berukuran kurang lebih 200.000 M2(dua ratus meter persegi).
2) Pihak Pertama menjamin Pihak Kedua, bahwa tanah yang dimaksud diatas berada dalam keadaan baik dan hanya pihak pertama yang berhak untuk melepaskan hak-haknya serta menanggung pihak kedua, bahwa baik sekarang maupun di kemudian hari pihak kedua tidak akan mendapat tuntutan dari pihak lain yang menyatakan mempunyai hak terlebih dahulu, atau turut mempunyai hak atas tanah tersebut yang dilepaskan haknya dengan akta ini dan tanah tersebut bebas dari perkara, sitaan, atau gangguan serta gugatan dari siapapun juga dan karenanya pihak pertama dengan ini membebaskan pihak kedua dari segala tuntutan perihal itu.
3) Atas kerelaan pihak pertama melepaskan haknya atas tanah tersebut guna kepentingan pihak kedua, maka pihak kedua memberi uang ganti kerugian kepada Pihak Pertama sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Legalitas Akta PHGR yang lahir akibat wanprestasi hutang piutang yang
penulis teliti dalam penelitian tesis ini dikaji berdasarkan sumber hukum perjanjian,
yakni berdasarkan sumber hukum formal, yang mana merupakan tempat memperoleh
kekuatan hukum. Ini berkaitan dengan bentuk atau cara yang menyebabkan peraturan
hukum formal itu berlaku, yakni: undang-undang, perjanjian antar negara,
yurisprudensi, dan kebiasaan. Keempat hukum formal ini juga merupakan sumber
Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan
Notaris X berdasarkan Ketentuan Hukum Perdata telah memenuhi syarat sahnya
suatu perjanjian. Perjanjian hutang piutang merupakan salah satu bentuk perjanjian
yang tunduk pada ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata dan jika
dikaitkan dengan ketentuan Pasal 1320 ayat (1) Kitab Undang Undang Hukum
Perdata (lex generalis) maka perjanjian hutang piutang memenuhi unsur-unsur
sebagai suatu perjanjian, yang dapat menimbulkan perikatan yang bersumber dari
perjanjian.
Meskipun Perjanjian hutang piutang tidak diatur dalam Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, akan tetapi Perjanjian hutang piutang tersebut sah sepanjang
memenuhi ketentuan sebagai berikut:113
a. memenuhi syarat sebagai suatu perjanjian; b. tidak dilarang oleh undang-undang;
c. sesuai dengan kebiasaan yang berlaku; dan
d. sepanjang perjanjian tersebut dilaksanakan dengan itikad baik.
Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan
Notaris X telah memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal
1320 Kitab Undang Undang Hukum Perdata. Akan tetapi, tidak serta merta
menjadikan perjanjian itu memiliki legalitas yang kuat. Isi dari perjanjian hutang
piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan Notaris X tersebut telah
melanggar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tanggal 6 Maret
1982, yaitu larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai dasar pemindahan hak atas
113
tanah. Pelanggaran terhadap larangan penggunaan kuasa mutlak tersebut ditemukan
pada poin keenam Perjanjian hutang piutang yang menyebutkan: Apabila pihak
peminjam tidak dapat melunasi hutangnya sesuai jangka waktu yang disepakati, maka
objek jaminan beralih menjadi milik si pemberi pinjaman.
Penggunaan kuasa mutlak untuk mengalihkan hak atas tanah dilarang
berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 Tentang
Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, yang
ditetapkan pada tanggal 6 Maret 1982, yaitu:
a. Kuasa mutlak yang didalamnya mengandung unsur yang tidak dapat ditarik kembali oleh penerima kuasa.
b. Kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah adalah kuasa mutlak yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.114
Perjanjian hutang piutang yang penulis teliti dalam tesis ini mengandung 3
(tiga) perbuatan hukum, yaitu: penyerahan barang jaminan, pengakuan hutang, dan
perbuatan hukum untuk pelepasan hak atas tanah agunan. Hal ini melanggar dalil
(adagium) yang termaktub dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor: 1440 K/Pdt/1996 tanggal 30 Juni 1998, yang menyatakan bahwa
suatu perjanjian hanya boleh berisi satu perbuatan hukum.
Mengenai larangan penggunaan kuasa mutlak dalam jual beli tanah juga
tampak dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2584 K/Pdt/1986 tanggal 14
114
April 1988, yang dalam putusannya menyatakan bahwa kuasa mutlak mengenai jual
beli tanah tidak bisa dibenarkan, terlebih pada praktiknya kerap disalahgunakan untuk
penyelundupan jual beli tanah.
Akan tetapi, apabila dihubungkan dengan syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya dan dipandang dari rasa
keadilan dan asas keseimbangan dalam berkontrak serta kebutuhan masyarakat dalam
praktek, maka kuasa mutlak pada hakikatnya dapat dilaksanakan asalkan merupakan
suatu kesatuan dengan perjanjian pengikatan jual beli. Apabila kuasa mutlak tersebut
dibuat secara terpisah, memungkinkan kuasa mutlak tersebut berdiri sendiri yang
pada akhirnya memberikan peluang terjadinya penyelundupan hukum, seperti
contohnya pembuatan kuasa menjual yang di dalamnya terdapat klausula kuasa yang
tidak dapat dicabut oleh sebab apapun. Kuasa mutlak ini memberikan keuntungan
bagi pihak pembeli dimana pembeli akan merasa aman dengan adanya pengikatan
jual beli dan kuasa mutlak ini karena pihak pembeli telah membayar lunas semua
pembayaran namun belum mendapatkan bukti pemilikan hak (sertifikat) yang dapat
dibalik nama ke atas namanya.115 Namun, sebaliknya pemberian kuasa mutlak
tersebut akan merugikan pihak penjual tanah apabila harga pembayaran tanah belum
terbayar lunas, namun pihak pembeli telah mendapat suatu kuasa untuk menjual yang
bersifat kuasa mutlak. Kepentingan penjual tanah dalam hal ini sangat dirugikan,
115
karena bisa saja penerima kuasa untuk menjual tersebut melaksanakan isi kuasa untuk
menjual atau mengalihkan kepemilikan tanah itu kepada pihak ketiga.
Perjanjian yang dibuat oleh para pihak harus memperhatikan asas-asas sesuai
dengan ketentuan Kitab Undang Undang Hukum Perdata sebagai pedoman atau
patokan, serta menjadi batas atau rambu dalam mengatur dan membentuk perjanjian
yang akan dibuat hingga pada akhirnya menjadi perikatan yang berlaku bagi para
pihak, yang dapat dipaksakan pelaksanaan atau pemenuhannya. Di dalam hukum
perjanjian terdapat asas-asas sebagai berikut: asas konsensualisme, asas kebebasan
berkontrak, asas kekuatan mengikat, asas itikad baik, asas keseimbangan, asas
kepastian hukum, dan asas kepatutan.116
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan pihak peminjam dalam
perjanjian hutang piutang tersebut, Pihak peminjam sesungguhnya tidak rela
memberikan sebidang tanah kebunnya tersebut sebagai jaminan dikarenakan
perjanjian pelepasan hak dengan ganti rugi yang ditandatanganinya terlalu
memberatkannya jika tidak dapat melunasi hutangnya sesuai tempo waktu
pembayarannya yang telah ditentukan. Hal ini dengan menginggat nilai jaminan
dalam perjanjian hutang piutang tersebut lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
hutang yang dipinjamnya dari pihak si pemberi pinjaman.117
Perjanjian hutang piutang yang disahkan penandatanganannya dihadapan
Notaris X ini tidak memenuhi asas keseimbangan; dimana kedudukan Tuan Y
116
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja,Op.Cit,hlm.14. 117
(Debitur) lemah daripada kedudukan Nyonya Z (Kreditur). Hal ini termaktub pada
poin keenam perjanjian hutang piutang tersebut, yang menyebutkan bahwaobjek
jaminan diserahkan kepada pihak kreditur apabila debitur tidak dapat melunasi
hutangnya sesuai jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian.Sebagaimana
dimaknai dalam bahasa sehari-hari, kata seimbang (evenwicht) menunjuk pada
pengertian suatu keadaan pembagian beban di kedua sisi berada dalam keadaan
seimbang.118
Perjanjian memiliki tiga tujuan dasar, sebagaimana diuraikan dibawah ini:
a. suatu perjanjian ialah memaksakan suatu janji dan melindungi harapan wajar yang muncul darinya.
b. suatu perjanjian ialah mencegah pengayaan (upaya memperkaya diri) yang dilakukan secara tidak adil atau tidak benar.
c. suatu perjanjian ialahto prevent certain kinds of harm.
d. suatu perjanjian ialah mencapai keseimbangan antara kepentingan sendiri dan kepentingan terkait dari pihak lawan.119
Kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak
memiliki kekuatan penawaran(bargaining power) yang seimbang. Jika bargaining
power tidak seimbang, maka suatu perjanjian dapat menjurus atau menjadi
unconscionable.120
Di samping itu, meskipun keseimbangan dan kesesuaian kedudukan para
pihak itu ada, namun dalam pelaksanaan yang tercapai suatu hasil yang tidak
seimbang dan tidak sesuai (tidak patut dan adil). Dasar bagi keseimbangan dan
118
Herlien Budiono, Azas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia,(Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006), hal.304
119
Ibid,hal.309-310 120
keserasian dalam perjanjian tersurat di dalam Pasal 1320 Kitab Undang Undang
Hukum Perdata, hanya dalam keadaan in concreto ada keseimbangan dan keserasian
maka tercapailah kesepakatan/konsensus yang sah antara para pihak. Kalau syarat ini
tidak dipenuhi, maka Pasal 1338 Kitab Undang Undang Hukum Perdata tidak berlaku
mutlak (kebebasan untuk mengambil putusan tidak ada bagi salah satu pihak).
Selanjutnya Sultan Remy Sjahdeini menjelaskan:
Bargaining Power yang tidak seimbang terjadi bila pihak yang kuat dapat memaksakan kehendaknya kepada pihak yang lemah, hingga pihak yang lemah mengikuti saja syarat-syarat perjanjian yang diajukan kepadanya. Syarat lain adalah kekuasaan tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak sehingga membawa keuntungan kepadanya. Akibatnya, perjanjian tersebut menjadi tidak masuk akal dan bertentangan dengan aturan-aturan yang adil.121
Profesi seorang Notaris harus berpedoman dan tunduk kepada Undang
Undang Jabatan Notaris dan Undang-Undang perubahan atas Undang Undang
Jabatan Notaris. Landasan filosofis dibentuknya Undang Undang Jabatan Notaris dan
Undang-Undang perubahan atas Undang Undang Jabatan Notaris adalah untuk
terwujudnya jaminan kepastian hukum, ketertiban dan perlindungan hukum yang
berintikan kebenaran dan keadilan. Melalui akta yang dibuatnya, maka Notaris harus
dapat memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada masyarakat yang
menggunakan jasa Notaris.
Kepastian hukum merupakan ciri yang tidak dapat dipisahkan dari hukum
terutama untuk hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan makna
121
karena tidak dapat lagi digunakan sebagai pedoman perilaku.122 Hukum bertugas
menciptakan kepastian hukum untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat.
Peralihan hak atas tanah adalah perubahan status kepemilikan, penguasaan,
peruntukan atas dasar jual beli, hibah, tukar menukar, pemasukan kedalam perseroan,
pemisahan dan pembagian atau karena warisan. Seseorang yang telah menjadi
pemegang hak atas tanah yang sudah bersertifikat tidak dapat memberikan haknya
tersebut kepada orang lain dengan begitu saja karena hak itu merupakan
kewenangannya. Akan tetapi, yang dapat dilakukannya adalah mengalihkan atau
melepaskan hakatas tanah yang dimilikinya dengan Akta Pelepasan Hak dengan
Ganti Rugi yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris ataupun Surat Pelepasan Hak
dengan Ganti Rugi yang dilegalisasi oleh Notaris.
Pelepasan hak atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan
hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah yang dikuasainya dengan
memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. Kegiatan melepaskan hak tersebut
menjadikan tanah yang terlibat menjadi tanah negara, yaitu dikuasai langsung oleh
negara. Langsung dikuasai artinya tidak ada pihak lain selain negara yang berhak atas
tanah itu.123
Sebagian masyarakat yang telah mengetahui teknis dan tata cara peralihan dan
pelepasan hak atas tanah tentu tidak akan melakukan transaksi dengan mudah,
122
Sulaiman Jajuli,Kepastian Hukum Gadai Tanah Dalam Islam,(Yogyakarta : Deepublish, 2015), hal.51
123
ataupun melalui prosedur yang tidak sesuai dengan aturan hukumnya, karena dapat
menimbulkan konflik di kemudian hari. Perbuatan hukum peralihan atau pelepasan
hak atas tanah harus dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang guna menjamin
kepastian hukum tentang peralihan atau pelepasan hak atas tanah tersebut. Akta yang
dibuat Notaris memberikan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya
karena undang-undang yang memberikan wewenang kepada Notaris untuk membuat
akta otentik yang fungsinya sebagai alat bukti di Pengadilan apabila di kemudian hari
terjadi sengketa diantara para pihak yang membuat akta itu.
Akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris merupakan suatu alat bukti,
sehingga dalam membuat suatu akta, seorang Notaris harus memperhatikan
norma-norma selain kode etik dan Ketentuan Perundang-undangan lainnya. Berdasarkan
ketentuan Pasal 1867 Kitab Undang Undang Hukum Perdata, maka akta dibuat
sebagai tanda bukti yang berfungsi untuk memastikan suatu peristiwa hukum dengan
tujuan menghindari sengketa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka pembuatan akta
harus sedemikian rupa sehingga apa yang diinginkan untuk dibuktikan itu dapat
diketahui dengan mudah dari akta yang dibuatnya.124
Kewenangan utama Notaris adalah membuat akta otentik, maka otensitas dari
akta Notaris tersebut bersumber dari Pasal 1 UUJN. Sepanjang mengenai wewenang
yang harus dipunyai oleh pejabat umum untuk membuat akta otentik, seorang Notaris
hanya boleh melakukan atau menjalankan jabatannya didalam seluruh daerah yang
124
ditentukan baginya dan hanya didalam daerah hukum itu ia berwenang. Oleh karena
itu, wewenang Notaris meliputi 4 (empat) hal, yaitu:
1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu; Seperti yang telah dikemukakan, tidak setiap pejabat umum dapat membuat semua akta. Akan tetapi, seorang pejabat umum hanya dapat membuat akta-akta tertentu, yaitu yang ditugaskan atau dikecualikan kepadanya berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.
2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk kepentingan siapa akta itu dibuat;
Notaris tidak berwenang membuat akta untuk kepentingan setiap orang. 3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu dibuat;
Bagi setiap Notaris ditentukan daerah hukumnya (daerah jabatannya) dan hanya di dalam daerah yang ditentukan baginya itu ia berwenang untuk membuat akta otentik. Akta yang dibuatnya diluar daerah jabatannya adalah tidak sah.
4) Notaris hanya berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta;
Notaris tidak boleh membuat akta selama ia masih cuti atau dipecat dari jabatannya, demikian juga Notaris tidak boleh membuat akta sebelum ia memangku jabatannya (sebelum diambil sumpahnya).125
Apabila salah satu dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta yang
dibuatnya menjadi tidak otentik dan hanya mempunyai kekuatan seperti akta yang
dibuat di bawah tangan, apabila akta ini ditandatangani oleh para penghadap.
Demikian juga halnya, apabila oleh undang-undang disebutkan untuk suatu perbuatan
atau perjanjian atau ketetapan diharuskan dengan adanya akta otentik, dan jika salah
satu dari persyaratan diatas tidak dipenuhi, maka akta untuk perbuatan atau perjanjian
atau ketetapan itu menjadi tidak sah.126
Tindakan Notaris tersebut bukanlah bertentangan dengan apa yang telah
digariskan dalam peraturan tersebut, namun hal ini harus disesuaikan dengan kondisi
125
Tan Thong Kie,Studi Notariat Serba-Serbi Praktek Notaris,PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000, hal.46
126
yang dihadapi Notaris saat itu, tentunya dengan segala bukti-bukti yang ada
dihadapannya. Menurut Pasal 7 UUJN, Notaris tidak dibolehkan untuk menolak
memberikan bantuannya, bila hal tersebut diminta kepadanya kecuali terdapat alaan
yang mendasar.127
Bila Notaris berpendapat bahwa terdapat alasan yang mendasar untuk
menolak, maka hal tersebut diberitahukan secara tertulis kepada yang meminta
bantuannya itu atau pihak penghadap. Namun, apabila si penghadap tetap
menghendaki bantuan dari Notaris tersebut, pihak penghadap dapat mengajukan
tuntutannya kepada Hakim Perdata, dengan menyampaikan surat dari Notaris tersebut
yang telah diserahkan kepada yang bersangkutan.
Notaris ada kalanya dapat menolak pembuatan akta, yaitu dalam hal-hal
sebagai berikut:
1) Apabila diminta kepada Notaris dibuatkan Berita Acara untuk keperluan atau maksudreklame.
2) Apabila Notaris mengetahui bahwa akta yang dikehendaki oleh para pihak itu bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku dan kenyataan yang sebenarnya.128
Demikian halnya juga dengan tanggung jawab Notaris terhadap pembuatan
akta PHGR, dimana akta tersebut dapat dijadikan sebagai bukti untuk memastikan
suatu peristiwa hukum dengan tujuan untuk menghindarkan suatu sengketa di
kemudian hari, maka pembuatan akta harus dibuat sedemikian rupa sehingga apa-apa
yang ingin dibuktikan itu dapat diketahui dengan mudah dari akta yang dibuat.
127
Bustami Chairani,Tesis Aspek-Aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan,Medan, 2002, hal.90
128
Seorang Notaris dalam membuat akta PHGR haruslah memeriksa keabsahan
dan kelengkapan alas hak maupun surat-surat yang berhubungan dengan pembuktian
kepemilikan tanah tersebut sehingga hal ini dapat dijadikan sebagai syarat untuk
membuat suatu akta.129Mengenai kebenaran isi dari surat-surat yang diperiksa,
Notaris tidak dapat mengujinya secara materiil dengan eksistensi keberadaan tanah
yang bersangkutan, dengan kata lain Notaris tidak pergi ke tempat dimana letak tanah
tersebut berada ataupun melihat batas-batas tanah sebagaimana yang dimaksudkan
dalam surat-surat tersebut. Notaris membuat keterangan dalam akta berdasarkan
bukti-bukti yang diberikan penghadap kepadanya.130
Sebelum Notaris membuat akta PHGR dan ditandatangani para pihak, maka
seorang Notaris wajib meminta dibuatkan Surat Keterangan Tidak Silang Sengketa
(biasa disebut SS) yang diterbitkan oleh Lurah dan diketahui oleh Camat dimana
letak tahah itu berada. Surat ini isinya menerangkan bahwa diatas tanah yang akan
dijual tersebut tidak bersengketa dengan pihak manapun juga. Hal ini dilakukan
Notaris sebagai bukti dan dasar bahwasanya atas tanah yang belum bersertifikat
tersebut memang benar kepunyaan si penjual, dan tanah tersebut tidak dalam
sengketa.131
129
Wawancara dengan Jonas Marolop Simarmata, Notaris/PPAT Kota Medan, pada tanggal 7 Juni 2016.
130
Ibid. 131
Pada saat para penghadap datang menghadap kepada Notaris dalam
pembuatan Akta Pelepasan Hak dengan Ganti Rugi, hendaklah memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Identitas para penghadap
Identitas berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami atau isteri
2) Surat Kuasa
Bagi pihak yang dikuasakan penjual dengan akta Notaris ataupun yang
dilegalisasi dan bagi pembeli diperbolehkan dengan kuasa lisan.
3) Asli tanda bukti hak atau alas hak atas tanah
4) Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB)
tahun berjalan.132
Akta PHGR yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris X lahir akibat
wanprestasi hutang piutang. Perjanjian hutang piutang tersebut bertentangan dengan
Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang larangan penggunaan
kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah dan Pasal 39 ayat 1 huruf d
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah. Mengingat pentingnya sebuah peralihan hak atas tanah yang
harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, maka sudah
sewajarnya Notaris/PPAT sebagai pejabat yang berwenang menerapkan asas
kecermatan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.
132
Notaris/PPAT wajib menerapkan asas kecermatan dalam melaksanakan
kewajibannya. Asas kecermatan adalah asas yang mengandung arti bahwa suatu
keputusan harus didasarkan pada informasi dan dokumen yang lengkap untuk
mendukung legalitas pengambilan keputusan sehingga keputusan yang bersangkutan
dipersiapkan dengan cermat sebelum keputusan tersebut diambil atau diucapkan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 Tentang
Pendaftaran Tanah pada Pasal 39 ayat (1) huruf d menyatakan PPAT berhak menolak
apabila salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu kuasa mutlak yang
pada hakekatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak. Oleh karena itu,
pembuatan akta PHGR berdasarkan perjanjian hutang piutang yang mengandung
kuasa mutlak pada poin keenam tersebut bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, yakni Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah.
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3438 K/Pdt/1985
Tanggal 9 Desember 1987 antara lain menyatakan bahwa: suatu perjanjian hutang
piutang dengan jaminan sebidang tanah tidak dapat begitu saja menjadi perbuatan
hukum jual beli tanah, manakala si debitur tidak melunasi hutangnya.
Lebih lanjut berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2817 K/Pdt/1994
menyatakan bahwa jual beli yang dilakukan dengan dasar kuasa mutlak maka tidak
sah dan batal demi hukum. Adapun yang menyebabkan batalnya jual beli tanah, yakni
tersurat dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 17 K/Sip/1959 yang
menyatakan bahwa jual beli yang ditinjau dalam keseluruhan mengandung
ketidakberesan, seperti orang-orangnya, tidak meyakinkan secara materil dan tidak