BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kasus gizi buruk saat ini merupakan masalah yang menjadi perhatian di
Indonesia, karena dapat menimbulkan generasi yang hilang. Kualitas bangsa di masa
depan akan sangat dipengaruhi keadaan atau status gizi saat ini, terutama balita
sehingga akan mempengaruhi kualitas kehidupannya kelak.
Gizi buruk itu adalah bentuk terparah (akut) dari proses terjadinya kekurangan
gizi menahun atau kekurangan gizi tingkat berat. Gizi buruk yang disertai dengan
tanda-tanda klinis disebut marasmus, kwashiorkor dan kombinasi marasmus
kwashiorkor (Soekirman, 2000).
Kasus gizi buruk dapat disebabkan oleh asupan makanan anak yang
kekurangan nutrisi bisa berupa protein, karbohidrat dan kalori. Sehingga tidak dapat
memenuhi kebutuhan gizi untuk melakukan aktifitas dan berkembang. Hal ini dapat
terjadi karena pola asuh yang salah seperti di daerah pedesaan ibu sibuk bekerja di
ladang sehingga anak tidak terawat. Keadaan ini ditambah dengan kebiasaan seperti
memberikan makanan padat sebelum usia 6 bulan dan kadang tidak higienis.
Ekonomi keluarga yang tidak memadai, faktor sosial budaya serta sanitasi
rumah tangga yang buruk sehingga anak tidak mendapat asupan gizi yang cukup dan
sehingga mudah terkena penyakit infeksi. Masalah gizi di Indonesia ini harus
ditanggulangi dengan usaha untuk meningkatkan pengetahuan orang tua akan gizi,
dan mampu membudidayakan sumber pangan bergizi, serta mengolahnya dengan
memperkecil kerusakan kandungan gizi dan bagaimana memberi makan pada anak.
Hal ini termasuk menanamkan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS) dengan sanitasi
rumah tangga. Budidaya sumber pangan selain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
gizi anak juga ditujukan untuk meningkatkan pendapatan keluarga.
Berdasarkan data WHO (2000) yang dikutip oleh Judarwanto (2012), pada
tahun 2000 diperkirakan bahwa anak-anak kurang gizi berjumlah 181.900.000 (32%)
di negara berkembang. Selain itu, 149.600.000 diperkirakan anak-anak muda dari 5
tahun kekurangan gizi ketika diukur dalam hal berat untuk usia. Di Selatan Asia
Tengah dan Timur Afrika, sekitar separuh anak-anak memiliki keterbelakangan
pertumbuhan karena kekurangan energi protein. Angka ini adalah 5 kali prevalensi di
dunia barat. Berdasarkan data WHO (2010) yang dikutip oleh Kemenkes (2011),
lebih dari 50% kematian bayi dan anak terkait dengan gizi kurang dan buruk, oleh
karena itu masalah gizi perlu ditangani secara cepat dan tepat
Indonesia sudah terjadi penurunan prevalensi gizi buruk yaitu 5,4 persen pada
tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Akan tetapi prevalensi gizi buruk untuk
Provinsi Aceh masih lebih tinggi dari angka nasional yaitu sebesar 7,1 % (Riskesdas,
2010). Pada tahun 2009 sampai tahun 2011 terjadi penurunan kasus gizi buruk dari
32 kasus menjadi 20 kasus. Kasus-kasus tersebut tersebar di 4 kecamatan di Kota
Lhokseumawe. Menurut penuturan Kepala Seksi Gizi Dinas Kesehatan Kota
Lhokseumawe dan posyandu, balita-balita gizi buruk tersebut memiliki status gizi
buruk dengan ambang batas z-score kurang dari 3 standar deviasi. Rata-rata balita
Retardasi Mental (RM), Spastic, Broncho Pneumonia, Down Syndrom, Patent Ductus
Arterious (PDA), dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dan faktor ekonomi
juga memengaruhi (Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, 2011).
Pada tahun 2012 kasus gizi buruk pada balita yang berumur 0-59 bulan
terdapat 43 kasus. Data tersebut didapat dari hasil survei awal pada Dinas Kesehatan
Kota Lhokseumawe pada Desember 2012. Untuk menilai status gizi balita gizi
buruk, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe memakai standar antropometri penilaian
status gizi anak Kemenkes Tahun 2010 berdasarkan indeks BB/TB.
Menurut penuturan Kepala Seksi Gizi dan Posyandu dalam upaya
memulihkan kesehatan balita gizi buruk, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe
mengundang orang tua balita untuk dilakukan konsultasi dan berobat dengan dokter
anak yang didatangkan oleh pihak dinas kesehatan kemudian diberikan bantuan PMT
(pemberian makanan tambahan) seperti susu formula, roti sun, vitamin A. Bagi
keluarga yang rumahnya jauh dari puskesmas, mereka membawa balitanya ke
puskesmas pembantu yang ditolong oleh bidan desa setempat.
Menurut (Bintarto dan Surastopo, 1987) yang dikutip oleh Hanum (2013) ,
data merupakan bahan pokok yang sangat penting dalam pembuatan peta. Data yang
digunakan juga menentukan kualitas peta yang dihasilkan. Data statistik merupakan
salah satu cara analisis dalam studi kesehatan, gejala-gejalanya disajikan dan
dipelajari dalam angka-angka. Data angka tersebut kurang dapat menggambarkan
situasi yang sebenarnya tanpa memperhatikan distribusi spasialnya. Bila akan
menyajikan data yang menunjukkan distribusi keruangan atau lokasi dan mengenai
Sistem informasi geografis merupakan suatu sistem informasi yang
menekankan pada unsur data spasial atau informasi geografis. Informasi geografis
yang terdapat dalam sistem informasi geografis dapat berupa informasi wilayah
administrasi suatu daerah, sebaran penduduk, sebaran kasus penyakit, dan
sebagainya. Informasi-informasi yang disajikan melalui peta tersebut merupakan
informasi yang sangat dibutuhkan dalam suatu penelitian. Sistem informasi geografis
memiliki peranan yang sangat penting terutama dalam penyajian data spasial, agar
mudah di pahami dan dianalisis oleh pihak lain.
Salah satu pekerjaan yang penting dalam sistem informasi geografis adalah
penggunaan data tabular, data koordinat sebaran kasus penyakit dan pengolahannya.
Data tabel dalam sistem informasi geografis dapat dimanfaatkan untuk menambahkan
informasi dan atribut pada fitur-fitur di dalam peta yang telah didigitasi, baik fitur,
point, line, maupun poligon. Data tabular yang memberikan atribut pada fitur-fitur
peta dapat ditampilkan pada peta dan diberikan pewarnaan untuk kepentingan
penyajian yang mudah dan menarik.
Penggunaan peta pada Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dalam analisis
kesehatan masih terbatas pada peta yang belum memenuhi kaidah kartografis seperti
peta wilayah Kota Lhokseumawe masih di buat menggunakan tangan, data statistik
kasus gizi buruk masih dalam bentuk tabular dan grafik. Berdasarkan uraian diatas,
maka penelitian ini mencoba untuk memetakan sebaran kasus gizi buruk. Diharapkan
dengan adanya peta tersebut pihak Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe dapat
memanfaatkan untuk menggambarkan data spasial kasus tersebut sebagai media
dengan adanya peta sebaran kasus gizi buruk ini kiranya dapat menampilkan
informasi lokasi pada tiap-tiap wilayah administrasi di Kota Lhokseumawe pada
tahun 2012 yang dulunya datanya hanya bisa ditampilkan dalam bentuk data statistik
seperti tabel dan grafik sekarang bisa ditampilkan dalam bentuk peta.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latarbelakang di atas, maka yang menjadi perumusan masalah
dalam penelitian ini adalah masih ditemukan kasus gizi buruk pada balita umur 0-59
bulan pada tahun 2012 di Kota Lhokseumawe dan belum pernah dilakukan pemetaan
kasus gizi buruk balita di Kota Lhokseumawe.
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Membuat peta sebaran kasus gizi buruk balita umur 0-59 bulan di Kota
Lhokseumawe tahun 2012.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Membuat peta sebaran kasus gizi buruk balita umur 059 bulan menurut
kecamatan di Kota Lhokseumawe bulan Januari-Desember tahun 2012
2. Membuat peta sebaran kasus gizi buruk balita umur 0-59 bulan di Kota
Lhokseumawe berdasarkan gejala klinis dan tanpa gejala klinis tahun 2012.
3. Membuat peta jarak tempat tinggal balita gizi buruk terhadap puskesmas di
4. Membuat peta jarak tempat tinggal balita gizi buruk terhadap rumah sakit di
Kota Lhokseumawe tahun 2012.
5. Membuat peta jarak kasus yang meninggal dengan rumah sakit dan
puskesmas di Kota Lhokseumawe tahun 2012.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe sebagai
salah satu pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan memperoleh
alternatif cara intervensi didalam integrasi program yang sesuai untuk
mengendalikan kasus gizi buruk balita berdasarkan hasil pemetaan
2. Dapat dijadikan sebagai dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut
tentang pemetaan yang berhubungan dengan kasus gizi buruk.
3. Sebagai bahan masukan kepada masyarakat umum dalam upaya kewaspadaan
terhadap sebaran kasus gizi buruk balita sehingga masyarakat dapat berperan