• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Komisaris Independen, Komite Audit, dan Kepemilikan Institusional Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Otomotif Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Keagenan (Agency Theory)

Dalam perekonomian modern, manajemen dan pengelolaan perusahaan

semakin banyak dipisahkan dari kepemilikan perusahaan. Hal ini sejalan dengan

teori agensi yang menekankan pentingnya pemilik perusahaan (pemegang saham)

menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para tenaga profesional yang lebih

mengerti dalam menjalankan bisnis. Teori keagenan mendeskripsikan hubungan

antara pemegang saham (shareholders) sebagai prinsipal dan manajemen sebagai

agen. Manajemen merupakan pihak yang dikontrak untuk bekerja demi

kepentingan pemegang saham dan memiliki keleluasaaan dalam menjalankan

manajemen perusahaan. Sementara, pemilik perusahaan (pemegang saham) hanya

bertugas mengawasi jalannya perusahaan yang dikelola oleh manajemen serta

mengembangkan sistem insentif bagi pengelola manajemen untuk memastikan

bahwa mereka bekerja demi kepentingan perusahaan.

Agency theory memiliki asumsi bahwa masing-masing individu

semata-mata termotivasi oleh kepentingan dirinya sendiri sehingga menimbulkan konflik

kepentingan antara prinsipal dan agen. Pihak prinsipal termotivasi mengadakan

kontrak untuk menyejahterakan dirinya dengan menginginkan return yang besar

dan cepat atas investasi mereka dan menilai prestasi manajer berdasarkan

(2)

termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan

psikologisnya, antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun

kontrak kompensasi. Untuk memenuhi tuntutan prinsipal dan memperoleh insentif

yang tinggi, manajer akan memainkan beberapa kondisi perusahaan sedemikian

rupa agar seolah-olah target perusahaan tercapai.

Teori agensi pertama sekali dipopulerkan oleh Jensen dan Meckling pada

tahun 1976. Definisi yang dibuat oleh Jensen dan Meckling (2012: 17) sebagai

berikut:

A contract under which one or more persons (the principal/s) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involve delegating some decisions making authority to the agent. If both partners to relationship are utility maximizers there is good reason to believe that the agent will not always act in the best interest of the principal.

Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen

mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja,

dan perusahaan secara keseluruhan. Hal inilah yang mengakibatkan adanya

ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen.

Ketidakseimbangan informasi inilah yang disebut dengan asimetri informasi.

Asimetri informasi dan konflik kepentingan yang terjadiantara prinsipaldan agen

mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada

prinsipal, terutama jika informasi tersebut berkaitan dengan pengukuran kinerja

agen. Asimetri informasi antara manajemen (agent) dengan pemilik (principal)

dapat memberikan kesempatan kepada manajer untukmelakukan manajemen laba

(earnings management) dalam rangka menyesatkan pemilik (pemegang saham)

(3)

2.1.2 Manajemen Laba

2.1.2.1Definisi Manajemen Laba

Manajemen laba didefinisikan sebagai upaya manajer perusahaan untuk

mengintervensi atau mempengaruhi informasi-informasi dalam laporan keuangan

dengan tujuan untuk mengelabui stakeholder yang ingin mengetahui kinerja dan

kondisi perusahaan. Scott (1997) mendefinisikan manajemen laba sebagai berikut:

“Given that managers can choose accounting policies from a set (for example,

GAAP), it is natural to expect that they will choose policies so as to maximize

their own utility and/or the market value of the firm”. Sedangkan menurut

Schipper (2011: 75) manajemen laba adalah “suatu intervensi yang disengaja pada

proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk mendapatkan beberapa

keuntungan pribadi”. Dari definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba

merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimumkan utilitas mereka.

Manajer melakukan manajemen laba dengan memilih metode atau kebijakan

akuntansi terlebih dahulu untuk menaikkan laba atau menurunkan laba. Manajer

dapat menaikkan laba dengan menggeser laba periode-periode yang akan datang

ke periode kini dan manajer dapat menurunkan laba dengan menggeser laba

periode kini ke periode-periode berikutnya.

Permasalahan manajemen laba merupakan masalah keagenan yang

seringkali dipicu oleh adanya pemisahan peran atau perbedaan kepentingan antara

pemilik (pemegang saham) dengan pengelola (manajemen) perusahaan. Healy dan

Wahlen (1998) mendefinisikan manajemen laba sebagai: “when managers use

(4)

reports to either mislead some stakeholder about the underlying economic

performance of the company, or to influence contractual outcomes that depend on

reported accounting numbers”.

Yang dapat diartikan bahwa manajemen laba terjadi ketika manajer

menggunakan pertimbangan dalam pelaporan keuangan dan transaksi penataan

untuk mengubah laporan keuangan baik menyesatkan beberapa stakeholder

tentang kinerja ekonomi yang mendasari perusahaan, atau untuk mempengaruhi

hasil kontrak yang tergantung pada laporan angka akuntansi. Sugiri dikutip dalam

widyaningdyah (2001) membagi definisi earnings management menjadi dua,

yaitu:

a. Definisi sempit

Earnings management dalam hal ini hanya berkaitan dengan pemilihan

metode akuntansi. Earnings management dalam artian sempit ini

didefinisikan sebagai perilaku manajer untuk “bermain” dengan komponen

discretionary accruals dalam menentukan besarnya earnings.

b. Definisi luas

Earnings management merupakan tindakan manajer untuk meningkatkan

(mengurangi) laba yang dilaporkan saat ini atas suatu unit dimana manajer

bertanggung jawab, tanpa mengakibatkan peningkatan (penurunan)

profitabilitas ekonomis jangka panjang unit tersebut.

Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa

(5)

mempengaruhi dalam pelaporan keuangan untuk memanipulasi laba yang

diperoleh selama periode berjalan untuk mendapatkan keuntungan pribadi.

2.1.2.2Motivasi Manajemen Laba

Watts dan Zimmmerman (2011: 31-36) secara umum terdapat beberapa

hal yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan tindakan manajemen

laba, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Motivasi Bonus.

Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer dalam menjalankan operasional perusahaan. Insentif ini diberikan dalam jumlah relatif tetap dan rutin. Sementara bonus yang relatif lebih besar nilainya hanya akan diberikan ketika kinerja manajer berada di area pencapaian bonus yang telah ditetapkan oleh pemegang saham.Kinerja manajemen salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha.

2. Motivasi Utang.

Selain melakukan kontrak bisnis dengan pemegang saham, untuk kepentingan ekspansi perusahaan, manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini adalah kreditor. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya diperusahaan, tentunya manajer harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Dan untuk memperoleh hasil maksimal, yaitu pinjaman dalam jumlah besar, manajer menampilkan performa yang baik dari laporan keuangannya.

3. Motivasi Pajak.

Kepentingan ini didominasi oleh perusahan yang belum go public. Perusahaan yang belum go public cenderung melaporkan dan menginginkan untuk menyajikan laporan laba fiskal yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Kecenderungan ini memotivasi manajer untuk melakukan tindakan manajemen laba agar seolah-olah laba fiskal yang dilaporkan memang lebih rendah tanpa melanggar aturan dan kebijakan akuntansi perpajakan.

4. Motivasi Penjualan Saham.

(6)

dengan istilah Initial Public Offerings (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Demikian juga dengan perusahaan yang sudah go public untuk kelanjutan dan ekspansi usahanya.

5. Motivasi Pergantian Direksi.

Praktik manajemen laba biasanya terjadi pada sekitar periode pergantian direksi atau chief executive officer (CEO). Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Perilaku ini ditunjukkan dengan terjadinya peningkatan laba yang cukup signifikan pada periode berakhirnya masa jabatan.

6. Motivasi Politis

Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas, seperti perusahaan-perusahaan industri strategis perminyakan, gas, listrik, dan air. Pada aspek politis ini, manajer cenderung menyajikan laba yang lebih rendah dari nilai yang sebenarnya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi visibilitas perusahaan sehingga tiak menarik perhatian pemerintah, media, atau konsumen yang dapat menyebabkan meningkatnya biaya politis perusahaan.

2.1.2.3Pola Manajemen Laba

Dalam melakukan manajemen laba, terdapat beberapa pola yang dilakukan

oleh manajer. Scott (2011: 40-43) merangkum pola umum yang banyak dilakukan

dalam praktik manajemen laba yaitu sebagai berikut :

1. Pola Taking a Bath

Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini biasa dipakai pada perusahaan yang mengalami masalah organisasi (organization stress) atau sedang dalam proses pergantian pimpinan manajemen perusahaan.

2. Pola Income Minimization

(7)

periode tahun berjalan, baik melalui penghapusan aset tetap maupun melaui pengakuan biaya - biaya periode mendatang ke periode tahun berjalan.

3. Pola Income Maximization

Menurut pola ini, manajemen laba dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan beragam, mulai dari menunda pelaporan biaya – biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang, pemilihan metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan jumlah penjualan dan produksi.

4. Pola Income Smoothing

Pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba yang dilaporkan relatif stabil. Untuk investor dan kreditur yang memiliki sifat risk adverse, kestabilan laba merupakan hal penting dalam pengambilan keputusan. Stabilitas laba ini dapat diperoleh dengan mengombinasikan dua pola, yaitu meminimalkan atau memaksimalkan laba.

2.1.3 Good Corporate Governance

Istilah corporate governance oleh Cadbury Committee tahun 1992 dalam

laporannya yang dikenal sebagai Cadbury Report. Definisi corporate governance

menurut Cadbury (1992) adalah “A set of rules that define the relationship

between shareholder,managers, creditors, the government, employees, and other

internal and external stakeholders in respect to their rights and responsibilities,

or the system by which companies are directed and controlled”. Yang

didefinisikan sebagai seperangkat aturan yang mengatur hubungan antara para

pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan, dan pihak-pihak yang

berkepentingan lainnya baik internal maupun eksternal lainnya yang berkaitan

dengan hak-hak dan kewajiban mereka.

Good corporate governance merupakan konsep yang didasarkan pada

(8)

keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan mendapatkan return atas dana

yang telah mereka investasikan. Penerapan prinsip good corporate governance ke

seluruh aspek kegiatan perusahaan sangat diperlukan karena prinsip utama dari

good corporate governance adalah keadilan bagi seluruh pemegang saham,

keterbukaan melalui laporan keuangan yang akurat dan informasi tepat waktu atas

kinerja perusahaan.

Adapun pengertian corporate governance menurut Forum for Corporate

Governance in Indonesia (FCGI) yaitu seperangkat peraturan yang menetapkan

hubungan antara pemegang saham, pengurus, pihak kreditur, pemerintah,

karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ektern lainnya sehubungan

dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain sistem yang

mengarahkan dan mengendalikan perusahaan. Adapun Center for European

Policy Study (CEPS), memformulasikan GCG adalah seluruh sistem yang

dibentuk mulai dari hak (right), proses, dan pengendalian baik yang ada di dalam

maupun diluar manajemen perusahaan. Sebagai pengertian, hak di sini adalah hak

seluruh stakeholder, bukan terbatas kepada shareholder saja. Hak adalah berbagai

kekuatan yang dimiliki stakeholder secara individual untuk mempengaruhi

manajemen. Proses, maksudnya adalah mekanisme dari hak-hak tersebut. Adapun

pengendalian merupakan mekanisme yang memungkinkan stakeholder menerima

informasi yang diperlukan seputar kegiatan perusahaan.

Good Corporate Governance secara definitif merupakan sistem yang

mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah (value

(9)

pertama, pentingnya hak pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan

benar (akurat) dan tepat pada waktunya, dan kedua, kewajiban perusahaan untuk

melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat, tepat waktu, dan transparan

terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan stakeholder.

Praktik good corporate governance dapat berjalan dengan baik apabila

menerapkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate

governance). Komite Nasional Kebijakan Governance (2006), mengemukakan

prinsip-prinsip dasar good corporate governance sebagai berikut :

1. Transparansi (Transparency), untuk menjaga obyektivitas dalam menjalankan bisnis, perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah diakses dan dipahami oleh pemangku kepentingan. Perushaan harus mengambil inisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditur dan pemangku kepentingan lainnya.

2. Akuntabilitas (Accountability), perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerjanya secara transparan dan wajar. Untuk itu perusahaan harus dikelola secara benar, terukur dan sesuai dengan kepentingan perusahaan dengan tetap memperhitungkan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lain.

3. Responsibity (Responsibility), perusahaan harus mematuhi peraturan perundang-undangan serta melaksanakan tanggung jawab terhadap masyarakat dan lingkungan sehingga dapat terpelihara kesinambungan usaha dalam jangka panjang dan mendapat pengakuan sebagai good corporate citizen.

4. Independensi (Independency), untuk melancarkan pelaksanaan asas GCG, perusahaan harus dikelola secara independen sehingga masing-masing organ perusahaan tidak saling mendominasi dan tidak dapat diintervensi oleh pihak lain.

(10)

2.1.4 Komisaris Independen

Komisaris independen merupakan sebuah badan dalam perusahaan yang

biasanya beranggotakan dewan komisaris yang independen yang berasal dari luar

perusahaan yang berfungsi untuk menilai kinerja perusahaan secara luas dan

keseluruhan (Emirzon, 2007 dalam Rivaldo, 2013). Adanya komisaris independen

dalam suatu perusahaan dapat menyeimbangkan dalam pengambilan keputusan

khususnya dalam rangka perlindungan terhadap pemegang saham minoritas dan

pihak – pihak lain yang terkait.

Komisaris independen memiliki peran penting dalam aktivitas pengawasan

dalam perusahaan. Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa komisaris

independen dapat bertindak sebagai penengah dalam perselisihan yang terjadi

diantara para manajer internal dan mengawasi kebijakan manajemen serta

memberikan nasihat kepada manajemen. Komisaris independen merupakan posisi

terbaik untuk melaksanakan fungsi monitoring agar terciptanya perusahaan good

corporate governance. Komisaris independen diangkat karena pengalamannya

dianggap berguna bagi organisasi tersebut. Mereka bisa mengawasi dewan

komisaris dan mengawasi bagaimana dewan direksi menjalankan perusahaan

tersebut. Komisaris independen biasanya berguna dalam melerai sengketa antara

dewan direksi, atau antara pemegang saham dan dewan komisaris. Komisaris

independen dianggap berguna karena mereka bisa bersikap objektif dan memiliki

resiko kecil dalam conflict of interest.

Dalam peraturan Bapepam-LK, emiten atau perusahaan publik wajib

(11)

Efek Indonesia mewajibkan sekurang-kurangnya 30% dari dewan komisaris

adalah komisaris independen. Komisaris independen wajib memenuhi persyaratan

yang diatur dalam peraturan Bapepam-LK No.IX.1.5 Kep-643/BL/2012 sebagai

berikut:

1. Bukan merupakan orang yang bekerja atau mempunyai wewenang dan tanggungjawab untuk merencanakan, memimpin, mengendalikan, atau mengawasi kegiatan emiten atau perusahaan publik tersebut dalam waktu 6 (enam) bulan terakhir.

2. Tidak mempunyai saham baik langsung maupun tidak langsung pada emiten atau perusahaan publik tersebut.

3. Tidak mempunyai hubungan afiliasi dengan emiten atau perusahaan publik, anggota dewan komisaris, anggota direksi, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan publik tersebut.

4. Tidak mempunyai hubungan usaha baik langsung maupun tidak langsung yang berkaitan dengan kegiatan usaha emiten atau perusahaan publik tersebut.

Dengan demikian, terlihat bahwa pada dasarnya komisaris independen

merupakan sebuah badan yang bersifat independen dalam perusahaan yang

memiliki peranan yaitu menjamin pelaksanaan strategis perusahaan, mengawasi

manajemen perusahaan dalam mengelola perusahaan, serta terlaksananya

akuntabilitas. Pada intinya komisaris independen merupakan suatu mekanisme

independen (netral) mengawasi dan mekanisme untuk memberikan petunjuk dan

arahan pada pengelola perusahaan.

2.1.5 Komite Audit

Komite audit merupakan sekelompok orang yang dipilih dari dewan

komisaris perusahaan yang bertanggung jawab untuk membantu auditor dalam

mempertahankan independensinya dari manajemen. Keberadaan komite audit

(12)

baru dalam sistem pengendalian perusahaan. Selain itu komite audit dianggap

sebagai penghubung antara pemegang saham dan dewan komisaris dengan pihak

manajemen dalam menanggung masalah pengendalian.

Ikatan Komite Audit Indonesia (IKAI) mendefinisikan komite audit

sebagai suatu komite yang bekerja secara profesional dan independen yang

dibentuk oleh dewan komisaris dan, dengan demikian, tugasnya adalah membantu

dan memperkuat fungsi dewan komisaris (atau dewan pengawas) dalam

menjalankan fungsi pengawasan (oversight) atas proses pelaporan keuangan,

manajemen risiko, pelaksanaan audit dan implementasi dari corporate governance

di perusahaan-perusahaan.

Menurut Alijoyo dikutip dalam Rivaldo (2013: 35),

Komite audit mempunyai fungsi membantu dewan komisaris untuk meningkatkan kualitas laporan keuangan, menciptakan iklim disiplin dan pengendalian yang dapat mengurangi kesempatan terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan perusahaan, meningkatkan efektifitas internal audit maupun eksternal audit dan mengidentifikasi hal – hal yang memerlukan perhatian dewan komisaris.

Dengan demikian, hasil pengungkapan laporan keuangan yang disajikan

oleh perusahaan dapat memiliki tingkat kehandalan atau reliabilitas yang tinggi.

Adapun tugas dan tanggungjawab komite audit yang diatur dalam peraturan

Bapepam-LK No.IX.1.5 Kep-643/BL/2012 tentang Pembentukan dan Pedoman

Pelaksanaan Kerja Komite Audit antara lain:

1. Melakukan penelaahan atas informasi keuangan yang akan dikeluarkan perusahaan, seperti laporan keuangan, proyeksi, dan informasi keuangan lainnya.

(13)

3. Memberikan pendapat independen dalam hal terjadi perbedaan pendapat antara manajemen dan akuntan atas jasa yang diberikannya.

4. Memberikan rekomendasi kepada dewan komisaris mengenai penunjukan akuntan yang didasarkan pad independensi, ruang lingkup penugasan, dan fee.

5. Melakukan penelaahan atas pelaksanaan pemeriksaan oleh auditor internal dan mengawasi pelaksanaan tindak lanjut oleh direksi atas temuan auditor internal.

6. Melakukan penelaahan terhadap aktivitas pelaksanaan manajemen risiko yang dilakukan oleh direksi jika emiten atau perusahaan publik tidak memiliki fungsi pemantau risiko dibawah dewan komisaris.

7. Menelaah pengaduan yang berkaitan dengan proses akuntansi dan pelaporan keuangan emiten atau perusahaan publik.

8. Menelaah dan memberikan saran kepada dewan komisaris terkait dengan adanya potensi benturan kepentingan emiten atau perusahaan publik.

9. Menjaga kerahasiaan dokumen, data dan informasi emiten atau perusahaan publik.

Berdasarkan Keputusan Ketua Bapepam dan LK Kep-643/BL/2012,

“keanggotaan komite audit paling kurang terdiri dari 3 (tiga) orang anggota yang

berasal dari komisaris independen dan pihak dari luar emiten atau perusahaan

publik, lomite audit diketuai oleh komisaris independen”.

Tujuan pembentukan komite audit dalam perusahaan adalah untuk

meningkatkan efektifitas, akuntabilitas, transparansi, dan obyektivitas dewan

komisaris dan dewan direksi. Tujuan komite audit adalah memungkinkan dewan

komisaris untuk memberikan penilaian independen atas kinerja keuangan

perusahaan, memperkuat posisi auditor eksternal, membuat independensi serta

obyektivitas auditor internal dalam memberikan rekomendasi perbaikan,

memperbaiki kualitas pelaporan keuangan yang mengakibatkan meningkatnya

(14)

2.1.6 Kepemilikan Institusional

Kepemilikan institusional merupakan saham perusahaan yang dimiliki

oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan

investasi dan kepemilikan institusi lain. Kepemilikan institusional memiliki arti

penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh

institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal.

Pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui

investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal. Para investor institusional

mempunyai kesempatan, sumber daya dan kemampuan untuk melakukan

pengawasan, menertibkan dan mempengaruhi para manajer perusahaan dalam hal

tindakan oportunistik manajemen.

Kepemilikan institusional memiliki kemampuan untuk mengurangi

insentif para manajer yang oportunis melalui pengawasan intensif. Kepemilikan

institusional dapat menekan kecenderungan pemanfaatan diskresionari dalam

laporan keuangan sehingga memberikan kualitas yang baik pada laba yang

dilaporkan. Adanya pengawasan investor institusional secara optimal terhadap

kinerja manajer, maka manajer akan memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja

perusahan dan akan lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan.. Monitoring

tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran untuk pemegang saham. Hal ini

didukung oleh penelitian dari Cruthley et al dikutip dalam septiyanto (2012: 32)

yang menemukan bahwa “monitoring yang dilakukan oleh institusi mampu

(15)

sehingga biaya keagenan menurun dan nilai perusahaan meningkatkan

kepercayaan pemegang saham”.

Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan institusional

memiliki peranan yang sangat penting dalam meminimalisasi konflik keagenan

yang terjadi antara pemilik (principal) dan manajer (agent). Keberadaan investor

institusional dianggap mampu menjadi mekanisme monitoring yang efektif dalam

setiap keputusan yang diambil oleh manajer. Hal ini disebabkan investor

institusional terlibat dalam pengambilan keputusan strategis sehingga tidak mudah

percaya pada tindakan manipulasi laba.

2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Beberapa hasil pengujian dari penelitian terdahulu dapat dilihat dari tabel

2.1 sebagai berikut :

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu

No. Nama Peneliti Terdahulu

Variabel Penelitian

Hasil Penelitian 1. Aji (2012) Variabel

independennya adalah ukuran dewan direksi, dewan komisaris independen, reputasi auditor, komite audit, dan ukuran perusahan.

Variabel dependennya adalah manajemen laba.

Ukuran dewan direksi dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

(16)

2. Nasution dan Setiawan (2007) Variabel Independennya adalah komposisi dewan komisaris, ukuran dewan komisaris, dan komite audit. Variabel dependennya adalah manajemen laba.

Komposisi dewan komisaris tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Komite audit berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

3. Simamora (2011) Variabel independennya adalah kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit. Variabel dependennya adalah manajemen laba. Kepemilikan institusional berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Ukuran dewan komisaris, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

4. Praditia (2010) Variabel indepedennya adalah kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, kualitas auditor. Variabel dependennya adalah manajamen laba Kepemilikan Institusional, kepemilikan manajerial, komisaris independen, dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap

manajemen laba. Kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial, dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan, sedangkan komisaris independen

berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan.

5. Wahyuningsih (2009)

Variabel independennya adalah struktur

(17)

kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris

independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan.

Variabel dependennya adalah manajemen laba.

independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.

Aji (2012) melakukan penelitian mengenai Pengaruh Corporate

Governance terhadap Manajemen Laba pada Perusahaan Manufaktur di Bursa

Efek Indonesia. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah

ukuran dewan direksi, dewan komisaris independen, reputasi auditor, komite

audit, dan ukuran perusahan. Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian

ini adalah manajemen laba. Penelitian ini dilakukan terhadap 94 sampel

perusahaan manufaktur. Hasil penelitian ini menemukan bahwa ukuran dewan

direksi dan komite audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba,

sedangkan dewan komisaris independen, reputasi auditor, dan ukuran perusahaan

berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.

Hasil penelitian yang dilakukan Nasution dan Setiawan (2007) pada

industri perbankan selama tahun pengamatan 2000-2004 menunjukkan bahwa

komposisi dewan komisaris dan ukuran perusahaan tidak berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba, sedangkan komite audit berpengaruh signifikan

(18)

Simamora (2011) meneliti pengaruh mekanisme good corporate

governance yang diproksikan dengan kepemilikan institusional, ukuran dewan

komisaris, proporsi dewan komisaris independen, dan komite audit terhadap

manajemen laba. Hasilnya menujukkan bahwa kepemilikan institusional

berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sedangkan ukuran dewan

komisaris, proporsi dewan komisaris independen dan komite audit tidak

berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba secara parsial. Secara simultan

mekanisme corporate governance juga terbukti tidak berpengaruh signifikan

terhadap manajemen laba.

Praditia (2010) meneliti pengaruh mekanisme good corporate governance

yang diproksikan dengan komisaris independen, kepemilikan institusional,

kepemilikan manajerial, dan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Hasilnya

menunjukkan bahwa konsentrasi kepemilikan institusional, kepemilikan

manajerial, komisaris independen dan kualitas auditor tidak berpengaruh terhadap

manajemen laba.

Wahyuningsih (2009) meneliti pengaruh struktur kepemilikan institusional

dan corporate governance terhadap manajemen laba. Hasilnya menunjukkan

bahwa semua variabel yaitu kepemilikan institusional, proporsi dewan komisaris

independen, ukuran dewan komisaris, keberadaan komite audit, dan ukuran

(19)

2.3 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan suatu model yang menjelaskan

bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah

diketahui dalam suatu masalah tertentu. Berdasarkan latar belakang dan tinjauan

teoritis yang telah dijabarkan sebelumnya, kerangka konseptual dalam penelitian

ini dapat dilihat pada gambar 2.1 sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Fama dan Jensen (1983) menyatakan bahwa “komisaris independen

bertindak untuk melindungi pemilik kepentingan dari tindakan oportunis

manajer”. Komisaris independen yang merupakan bagian dari dewan komisaris

setiap perusahaan diharapkan dapat bertindak independen dan kritis, baik antara

dewan komisaris, maupun terhadap direksi. Independen bukan hanya sekedar

penghapus kesalahan dewan direksi, namun juga aktif mempertimbangkan,

mengkritisi, memberikan arahan kepada strategi direksi sehingga mampu MANAJEMEN

LABA (Y) KOMISARIS

INDEPENDEN (X1)

KOMITE

AUDIT (X2)

KEPEMILIKAN

INSTITUSIONAL (X3)

H1

H3

(20)

meningkatkan kinerja perusahaan. Haniffa dan Cooke (2002) menyatakan bahwa

apabila jumlah komisaris independen (proporsinya dalam dewan komisaris)

semakin besar atau dominan hal ini dapat memberikan power kepada dewan

komisaris untuk menekan manajemen untuk meningkatkan kualitas pengungkapan

perusahaan sehingga dapat membatasi kecenderungan manajer untuk melakukan

praktik manajemen laba.

Menurut Anderson et al. (2004), “komite audit yang dimiliki oleh suatu

perusahaan akan memberikan perlindungan dan kontrol yang lebih baik terhadap

proses akuntansi dan keuangan dan pada akhirnya akan memberikan pengaruh

positif terhadap kinerja keuangan perusahaan”. Komite audit merupakan organ

pendukung dewan komisaris yang bekerja secara kolektif dan berfungsi

membantu dewan komisaris dalam melaksanakan tugasnya. Peranan komite audit

yang berjalan secara baik dapat memberikan pengaruh positif terhadap kinerja

perusahaan dan membuat citra perusahaan baik di mata para investor sehingga

meningkatkan kepercayaan investor bahwa mereka akan menerima return atas

dana yang telah mereka investasikan. Menurut Xie (2001) jumlah pertemuan

komite audit dan ukuran komite audit memiliki hubungan yang negatif terhadap

manajemen laba, artinya bahwa komite audit yang melakukan pertemuan secara

teratur secara efektif menjadi pengawas dalam mengurangi kemungkinan

terjadinya manajemen laba.

Schleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa investor institusional

memiliki peran yang cukup penting dalam penegakan praktek good corporate

(21)

independen mengawasi tindakan manajemen dan memiliki voting power untuk

mengadakan perubahan pada saat manajemen sudah dianggap tidak efektif lagi

dalam hal pengelolaan perusahaan.

Investor institusional merupakan pihak yang dapat memonitor perusahaan

dengan kepemilikannya yang besar, sehingga motivasi manejer untuk mengatur

laba menjadi berkurang. Penelitian yang dilakukan oleh Nikmah dan Suranta

(2005) dalam Martina (2009) menunjukkan bahwa institusional selaku pemilik

perusahaan memiliki insentif untuk membatasi perilaku manajemen laba yang

dilakukan manajer atas investasi yang telah dilakukannya, sehingga kepemilikan

institusional yang lebih besar mampu melakukan mekanisme monitoring atas

tindakan pengelolaan yang dilakukan oleh manajer perusahaan.

2.4 Perumusan Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara yang masih harus diuji. Hipotesis

menyatakan hubungan yang diduga secara logis antara dua variabel atau lebih

dalam rumusan proporsi yang dapat diuji secara empiris. Berdasarkan rumusan

masalah dan kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka

hipotesis penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

H1 : Komisaris Independen memiliki pengaruh secara parsial terhadap

Manajemen Laba.

H2 : Komite Audit memiliki pengaruh secara parsial terhadap

(22)

H3 : Kepemilikan Institusional memiliki pengaruh secara parsial

terhadap Manajemen Laba.

H4 : Komisaris Independen, Komite Audit, dan Kepemilikan

Institusional secara simultan memiliki pengaruh terhadap

Gambar

Tabel 2.1 Penelitian terdahulu
Gambar 2.1 Kerangka Konseptual

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah komisaris independen, komite audit, dan kepemilikan institusional

Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah komisaris independen, komite audit, dan kepemilikan institusional

Penelitian ini bertujuan untuk memberikan bukti empiris di Indonesia mengenai manajemen laba dan pengaruh komisaris independen, komite audit audit dan

Analisis Pengaruh Mekanisme Good Corporate Governance Terhadap Manajemen Laba Pada Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Variabel independennya adalah kepemilikan

terhadap manajemen laba pada perusahaan otomotif yang terdaftar di. Bursa

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengaruh komisaris independen, komite audit, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional

“PENGARUH KEPEMILIKAN MANAJERIAL,KEPEMILIKAN INSTITUSIONAL, PROPORSI DEWAN KOMISARIS INDEPENDEN DAN KEBERADAAN KOMITE AUDIT TERHADAP MANAJEMEN LABA ”. Skripsi ini disusun

Sulistyanto 2018, 43 menyatakan bahwa manajemen laba akan timbul jika pihak manajemen melakukan suatu kebijakan didalam melaporkan laporan perusahaan dan merekayasa transaksi untuk