• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perkembangan negara tidak terlepas dari kualitas sumber daya manusia.

Menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang baik membutuhkan proses

yang panjang, yakni membenahi manusia sejak usia dini sampai usia produktif.

Proses pembenahan manusia dalam konteks kehidupan bernegara merupakan

tanggungjawab bersama antara keluarga, pemerintah, masyarakat dan secara

khusus orang tua sebagai tokoh utama yang menentukan perkembangan anak.

Memahami permasalahan kualitas sumber daya manusia Indonesia, harus

didasari pemahaman bahwa Indonesia saat ini merupakan negara berkembang

dengan jumlah penduduk urutan ke-empat terbesar di dunia. Selain itu,

dibutuhkan juga pemahaman bahwa Indonesia merupakan Negara dengan tingkat

heterogenitas yang tinggi. Setiap permasalahan pada dasarnya saling

mempengaruhi, termasuk permasalahan bidang sumber daya manusia. Kondisi

tersebut menjadikan Indonesia menghadapi permasalahan sosial yang sangat berat

dan kompleks sehingga produk pemerintah dalam bentuk kebijakan, program dan

aktifitas diharapkan terikat dengan peraturan yang ketat dan transparan untuk

menghindari penyalahgunaan status. Dengan demikian segala bentuk upaya

penanganan yang dilakukan akan mendapatkan hasil yang diharapkan.

Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan mencapai 305,6 juta jiwa pada

2035. Pada saat itu Indonesia akan menjadi negara dengan populasi terbesar ke 5

(2)

Indonesia 2010—2035 yang disusun bersama oleh Kementerian Perencanaan

Pembangunan/Bappenas, Badan Pusat Statistik, dan Organisasi Dana PBB untuk

Populasi (UNFPA). Laporan tersebut menyatakan populasi Indonesia akan

meningkat 28,6% dari 237,7 juta jiwa pada sensus 2010 menjadi sekitar 305,6 juta

jiwa pada 2035

(http://kabar24.bisnis.com/read/20140129/79/200088/wow-jumlah-penduduk-indonesia-tembus-305-juta-pada-2035 diakses 20 april pukul

20:25 WIB).

Permasalahan sumber daya manusia yang disusun dalam sistematika

permasalahan, menjelaskan bahwa permasalahan anak adalah salah satu

permasalahan yang sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia.

Permasalahan anak tidak terlepas dari minimnya tanggungjawab terhadap anak.

Menurut aturan penyelenggaraan kehidupan bernegara, Indonesia sebagai negara

dengan ideologi Pancasila yang menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dalam

konsep keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya, serta isi pembukaan UUD 1945

alinea IV yang menyatakan bahwa negara memiliki tanggungjawab untuk

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,

memajukan kesejahteraan umum, serta mencerdaskan kehidupan bangsa.

Pemerintah seharusnya memberikan upaya maksimal terhadap penanganan

masalah pemenuhan tanggung jawab anak berdasarkan undang-undang yang

ditetapkan melalui kebijakan, program, dan aktifitas yang efektif dan efisien.

Salah satu permasalahan anak yang akut adalah masalah anak jalanan.

Anak jalanan rentan terhadap berbagai bentuk penyimpangan sosial, dapat

disebabkan intimidasi ataupun keinginan mereka sendiri akibat pengaruh

(3)

pengaruh negatif akan suram, bahkan anak jalanan sangat memungkinkan menjadi

pelaku pelanggaran hukum di masyarakat semasa berstatus anak jalanan juga

setelah dewasa.

Berita terkait kriminalitas di dalam angkot yang berjudul ― Pelaku

Kejahatan Keras Merambah di Kalangan Remaja‖ Diposting pada kamis, 29

desember 2011 sebagai contoh suramnya masa depan anak-anak jalanan.

Diungkapkan bahwa saat memburu tersangka MSD (19) di Medan, Sumatera

Utara, polisi menangkap tiga tersangka dalam kasus lain yang serupa. Prestasi ini

mengungkap meluasnya kejahatan keras yang dilakukan kalangan remaja. MSD

adalah satu dari empat tersangka pemerkosa dan perampok penumpang angkutan

kota, R (35), di Depok, Rabu (14/12). Tiga tersangka lain yang ditangkap adalah

YBR (18), DR (18), dan A (19). YBR adalah tersangka utama kasus ini.

YBR, MSD, dan DR adalah anggota komplotan pencuri dan perampas

sepeda motor yang sering melukai, bahkan tak jarang memerkosa, korbannya.

Saat MSD ditangkap di Medan, Selasa (27/12) siang, tiga kawannya, yaitu R (19),

K (21), dan C (19), ikut terjaring. Ketiga kawan MSD ditangkap di Pematang

Siantar. Saat R, K, dan C diperiksa, terungkap mereka berkawan dengan empat

orang lainnya yang kini buron. Kejahatan yang mereka lakukan sama dengan

kejahatan yang dilakukan YBR, MSD, dan DR. ‖Sehari-hari para tersangka dan

buron ini bekerja sebagai sopir tembak angkot di Jakarta. Mereka adalah

anak-anak jalanan,‖ ungkap Kepala Subdit Umum Direktorat Reserse Kriminal Umum

Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Helmy Santika, Rabu (28/12).

Penegasan Helmy memperkuat dugaan beberapa pengamat sebelumnya

(4)

jalanan yang dibayar murah para sopir resmi angkot. Yang fenomenal dari

pengungkapan para tersangka kali ini adalah sembilan dari 10 tersangka kejahatan

keras mulai melakukan kejahatan sebelum berusia 18 tahun. Pengamatan Kompas,

para pelaku kejahatan keras seperti pemerkosaan sadis, penganiayaan berat, dan

pembunuhan di Jakarta selama ini dilakukan oleh pelaku yang berusia 25 tahun ke

atas. Baru kali ini polisi mengungkap serangkaian kejahatan keras di Jakarta

dilakukan para pelaku berusia 20 tahun ke bawah.

‖Pengalaman saya, para pelaku yang terungkap melakukan kejahatan keras

umumnya telah melakukan kejahatan lain dua sampai tiga tahun sebelum ia

ditangkap. Kejahatan yang dilakukan berkembang secara bertahap baik kualitatif

maupun kuantitatif sampai akhirnya pelaku melakukan kejahatan keras,‖ papar

Helmy. Helmy menduga, para pelaku melakukan tindak kriminal saat usianya

lebih muda lagi. ‖Kalau pada umur 20 tahun dia sudah melakukan pemerkosaan

dan penganiayaan berat, perampokan, serta pembunuhan, sekurang-kurangnya dia

pada usia di bawah 18 tahun sudah melakukan kejahatan,‖ ujarnya. Ia

mengingatkan, kejahatan berbeda dengan kenakalan.

‖Kejahatan yang saya maksud adalah kejahatan seperti disebutkan dalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,‖ ujar Helmy. Oleh sebab itu, terungkapnya

kejahatan yang diduga dilakukan 10 tersangka (tidak termasuk tersangka A,

perempuan) adalah bukti telah terjadi ‖metamorfosis‖ para pelaku baru kejahatan

secara lebih dini. Helmy mengungkapkan, kejahatan keras di wilayah hukum

Polda Metro Jaya umumnya dilakukan mereka yang berusia 25 tahun ke atas.

Wakil Direktur Reserse Kriminal Umum Komisaris Besar Nico Afinta pun

(5)

Kekerasan (sekarang kepala subdit umum), para pelaku kejahatan keras memang

umumnya berusia 28 tahun ke atas. Paling muda berusia 25 tahun,‖ ucapnya.

Menurut Helmy, metamorfosis penjahat baru yang berusia lebih muda ini

menunjukkan semakin banyaknya remaja yang tumbuh di jalanan karena

persoalan keluarga dan sekolah. ‖Kedua persoalan itu masih seputar belitan

masalah kemiskinan,‖ ucapnya. Ia menambahkan, sebagian anak-anak jalanan ini

umumnya ‖main‖ di terminal. Sebagian di antara mereka ditampung menjadi

sopir tembak. Helmy menduga, karier kenakalan yang berubah menjadi karier

kejahatan anak-anak jalanan ini bermula dari sana

(http://regional.kompas.com/read/2011/12/29/04370072/Pelaku.Kejahatan.Keras.

Merambah.Kalangan.Remaja Diakses pada 28 Juli 2015 Pukul 11:58 WIB).

Negara dan semua pihak terkait harus bekerja lebih keras untuk

menyelamatkan anak-anak telantar atau menghadapi berbagai persoalan lain.

Sebab, ternyata jumlah anak yang tertimpa masalah pola asuh jumlahnya sangat

besar, mencapai 4,1 juta orang. Fakta tersebut disampaikan Menteri Sosial

Khofifah Indar Parawansa berdasarkan data Pusat Data dan Informasi (Pusdatin)

Kemensos. Khofifah mengungkapkan, dari 4,1 juta anak bermasalah itu, 5.900

anak menjadi korban kekerasan, 34.000 di antaranya anak jalanan, 3.600 anak

berhadapan dengan hukum (ABH). Adapun pihak kementerian dan lembaga

terkait anak berada di BKKBN, Kemendikbud, Kemensos, dan Kemenag.

Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohanna

Susana Yembise mengaku banyak kendala yang harus dihadapi dalam melakukan

(6)

kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/ kota masih lemah. Dia

bahkan menemukan kasus di mana pihak kepolisian masih kurang serius dalam

menangani kasus yang menyangkut anak dengan alasan karena masalah keluarga.

Yohana juga menengarai Tim Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan

Perempuan dan Anak (TP2TP2A) di beberapa daerah belum berjalan maksimal.

Bahkan ada di beberapa kabupaten/ kota belum dibentuk TP2TP2A. Selain itu

Yohana menekankan perlunya digalakkan sosialisasi UU Perlindungan Anak

dengan target sampai ke desa-desa. Lebih jauh dia mengaku tengah mengkaji

sanksi dengan mencabut hak asuh. Hal ini dimaksudkan agar ada efek jera bagi

orang tua yang memperlakukan anaknya secara tidak layak

(http://www.kpai.go.id/berita/kpai-jutaan-anak-alami-masalah-sosial/ ditayangkan

oleh Davit Setyawan pada 19 mei 2015, diakses pada 09 juni 2015 22:28 WIB.)

Pada pasal 28 B ayat 2 UUD 1945, menyatakan bahwa setiap anak berhak

atas kelangsungan hidup, tumbuh kembang, serta berhak atas perlindungan dari

segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia, dan Keputusan Presiden RI No. 36 Tahun 1990 tentang

Pengesahan Convension on the Right of the Child (konvensi tentang hak-hak

anak), dinyatakan bahwa anak harus mendapatkan hak-haknya secara normal

sebagaimana layaknya anak yang pada dasarnya masih memiliki

kebutuhan-kebutuhan khusus karena ketidakberdayaan untuk mandiri.

Perkembangan Undang-Undang perlindungan anak selanjutnya adalah

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002. Pada pasal 13 ayat 1 Undang-Undang

Nomor 32 dinyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua,

(7)

mendapat perlindungan dari perlakuan diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi

maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,

ketidakadilan dan perlakuan salah lainnya. Kemudian yang mempertegas

pernyataan pihak-pihak yang bertanggung jawab pada anak terdapat pada pasal 20

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 dinyatakan bahwa negara, pemerintah,

masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggungjawab

terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Undang-Undang Nomor 35 tahun

2014 merupakan Undang-Undang perlindungan anak terbaru saat ini sebagai

bentuk perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, yang semakin

mempertegas perlindungan atas hak anak dengan penegasan tanggungjawab

pemerintah daerah. Pentingnya generasi penerus menjadi alasan peneliti

melakukan penelitian tentang anak, secara khusus anak jalanan.

Penelitian ini dilakukan di Kota Medan. Kota Medan merupakan ibukota

provinsi Sumatera Utara sekaligus sebagai kota metropolitan terbesar di luar

Pulau Jawa dan Kota terbesar ketiga di Indonesia setelah Jakarta dan Surabaya.

Kota Medan memiliki luas 26.510 hektare (265,10 km²) atau 3,6% dari

keseluruhan wilayah Sumatera Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan

kota/kabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan

jumlah penduduk yang relatif besar. Secara geografis kota Medan terletak pada 3°

30' – 3° 43' Lintang Utara dan 98° 35' - 98° 44' Bujur Timur. Untuk itu topografi

kota Medan cenderung miring ke utara dan berada pada ketinggian 2,5 - 37,5

meter di atas permukaan laut (http://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Medan diakses

(8)

Sebagai kota metropolitan, Medan tidak terlepas dari kompleksitas

masalah anak, masih adanya anak jalanan, prostitusi yang melibatkan anak-anak,

kekerasan terhadap anak, kriminalitas di kalangan anak-anak dan

persoalan-persoalan lainnya yang melibatkan anak-anak, ini semua menjadi tanggungjawab

kita bersama untuk menyelesaikannya, khusunya yang berhubungan dengan

eksploitasi anak di bawah umur.

Deputi Direktur Yayasan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PKPA) Medan

Misran Lubis sebagai nara sumber mengatakan, anak jalanan menjadi fenomena

klasik dan keberadaannya tetap eksis, populasinya terus berkembang setiap

tahunnya, data dari Dinas Sosial Provinsi Sumatera Utara tahun 2008

mengidentifikasi jumlahnya mencapai 2.867 anak, jumlah terbesar ada di lima

kota yakni Medan (663 anak), Dairi (530 anak), Tapanuli Tengah (225 anak),

Nias Selatan (224 anak) dan Tanah Karo (157 anak).

Dikatakannya, pada 2010 PKPA melakukan pemetaan ulang terhadap

situasi anak jalanan di Kota Medan, dari pemetaan tersebut ditemukan data

statistik populasi anak jalanan yang berbeda, PKPA melakukan identifikasi di 7

kecamatan populasi anak jalananan sebanyak 420 anak, mereka tersebar di 18

lokasi yakni pada umumnya dipersimpangan lampu merah diantaranya simpang

Gelugur, Bundaran Majestik, Pasar Petisah, Simpang Pulo Brayan, Simpang Sei

Sikambing, dan terminal

(http://pemkomedan.go.id/new/berita-kota-medan-tidak-terlepas-dari- kompleksitas-masalah.html diakses 20 april pukul 20:03 WIB).

Anak jalanan sampai saat ini masih saja menjadi korban kebijakan yang

tak menguntungkan bagi tumbuh dan kembang mereka. Di Medan misalnya, ada

(9)

Pengemisan, dan Perda Sumatera Utara Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penanganan

Gelandangan dan Pengemis yang seharusnya menjadi pijakan untuk meningkat

martabat kehidupan anak jalanan. Tapi alih-alih meningkatkan martabat mereka,

anak jalanan yang perdefenisi masuk menjadi salah satu kegiatan gelandangan

malah dikriminalisasi.

Sewaktu-waktu anak jalanan bisa saja mendapat tindakan represif dari

Negara, ditangkap, ditahan, dan berdasarkan pengalaman selama ini, karena tidak

ada program yang jelas setelah mereka dirazia, mereka dilepaskan lagi. Setelah itu

tentu saja mereka kembali beraktifitas sebagai anak jalanan. Hal ini diungkapkan

oleh M. Jailani, S.Sos, M.A, Direktur Eksekutif Yayasan Kelompok Kerja Sosial

Perkotaan (KKSP) ketika memberikan pengantar dalam kegiatan Working Group

Sosialisasi Program Peduli Dan Pemetaan Peran Pemangku Kepentingan di Kota

Medan di Kantor Walikota Medan, Selasa (7/4/2015).

Jailani menambahkan bahwa anak jalanan di Kota Medan juga sulit

mendapatkan pelayanan publik seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan.

Anak-anak jalanan tidak dapat mengakses pelayanan kesehatan gratis bila tidak

memiliki kartu BPJS. Ditambah lagi, persoalan identitas juga sulit mereka

dapatkan sehingga pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis seperti hanya

mimpi bagi mereka.

Di sisi lain, masyarakat juga belum dapat menerima anak jalanan sebagai

bagian dari kelompok masyarakat, masih saja ada kecurigaan terhadap keberadaan

mereka, sehingga tidak terbangun solidaritas sebagai sesama masyarakat dan tidak

(10)

(http://kksp.or.id/home/2015/04/08/penanganan-anak-jalanan-di-kota-medan- harus-secara-inklusif/ diakses pada 18 agustus 2015 pukul 13 52

WIB).

Hasil pemetaan yang dilakukan pihak pusat kajian dan perlindungan anak

(PKPA) dalam uraian sebelumnya, mempermudah peneliti untuk menentukan

lokasi penelitian dengan populasi anak jalanan yang cukup besar di Kota Medan.

Peneliti memilih Terminal Amplas Kota Medan sebagai lokasi penelitian.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk

mengetahui permasalahan anak jalanan melalui penelitian yang berjudul Faktor-Faktor Penyebab Anak Menjadi Anak Jalanan (Studi Kasus di Terminal Amplas Kota Medan)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka masalah penelitian ini

dapat di rumuskan sebagai berikut ―Faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab

anak menjadi anak jalanan di Terminal Amplas Kota Medan?‖.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab anak

(11)

1.3.2 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat di gunakan sebagai referensi dalam rangka :

a. Sebagai referensi untuk akademisi dalam rangka penelitian tentang

masalah kesejahteraan sosial, secara khusus masalah anak jalanan.

b. Pengembangan teori-teori tentang pengaruh karakter individu, orang

tua, keluarga/kerabat dekat, teman serta masyarakat terhadap

permasalahan anak jalanan.

c. Pengembangan model penanganan masalah anak jalanan.

1.4 Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan penelitian ini secara garis besar dikelompokkan

menjadi enam bab, antara lain :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini berisi latar belakang masalah, perumusan masalah,

tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan

penelitian.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini berisi tentang uraian yang berkaitan dengan masalah

dan objek penelitian, kerangka pemikiran, definisi konsep

(12)

BAB III : METODE PENELITIAN

Bab ini berisi tentang tipe penelitian, lokasi penelitian,

informan penelitian, teknik pengumpulan data serta teknik

analisis data.

BAB IV : DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Bab ini berisi tentang sejarah singkat dan gambaran umum

lokasi penelitian serta data-data yang berkaitan dengan

penelitian.

BAB V : ANALISIS DATA

Bab ini tentang uraian data penelitian serta analisisnya.

BAB VI : PENUTUP

Bab ini berisi tentang hasil penelitian berupa kesimpulan

dan saran yang ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki

peranan dan tanggung jawab terhadap permasalahan yang

Referensi

Dokumen terkait

Di kota Bukittinggi pada bulan Agustus 2014 6 (enam) kelompok pengeluaran memberikan andil/sumbangan inflasi antara lain: kelompok bahan makanan sebesar 0,78

Meningkatnya nilai It diakibatkan oleh menaiknya nilai It pada empat subsektor, yaitu Subsektor Tanaman Pangan sebesar 1,79 persen, Subsektor Hortikultura sebesar

SUSILO BAMBANG YUDHOYONO Salinan sesuai dengan aslinya. Deputi Sekretaris Kabinet

pelaksana BPK yang melakukan Pelanggaran Tata Tertib Kerja Pegawai dapat dikenakan sanksi berupa Pemotongan Tunjangan Kegiatan dan Pembinaan Khusus (TKPK-BPK) sebagaimana

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI

PREFEITURA MUNICIPAL DE PORTEIRINHA/MG - Aviso de Revogação de Licitação - Pregão Presencial nº.. Silvanei Batista Santos –

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PARTAI