BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penerjemahan
Penerjemahan merupakan proses pengalihan bahasa dalam suatu teks dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa) yang dilakukan melalui tulisan. Pernyataan ini senada dengan Newmark (1981:7) yang mendefenisikan bahwa penerjemahan adalah suatu upaya mengalihkan pesan yang tertulis dalam bahasa sumber (BSu) ke dalam bahasa Sasaran (BSa) dengan mengutamakan kesepadan makna. Sebuah naskah terjemahan dari BSu ke BSa dapat mencapai kesepadanan makna sangat dipengaruhi oleh kemampuan penerjemah dalam memahami teks sumber (TSu) dan menyampaikan makna yang ada dalam teks sasaran (TSa). Hasil penerjemahan ke TSa sangat ditentukan oleh kemampuan tata bahasa (grammatical skill), keterampilan membaca (reading skill) dan analisa wacana (discourse analysis) yang dimiliki penerjemah. Apabila penerjemah memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan mempengaruhi kualitas terjemahan yang dihasilkan demikian juga sebaliknya apabila penerjemah tidak memiliki ketiga kemampuan tersebut maka akan berpengaruh besar dalam kualitas hasil terjemahan.
dengan BSu sepanjang keduanya menyampaikan makna yang sama. Dengan kata lain, seseorang yang membaca suatu teks terjemahan akan sampai kepada pemahaman yang sama ketika membaca teks tersebut baik dalam BSu maupun dalam BSa. Proses pengalihan makna dalam penerjemahan dapat diilustrasikan seperti yang terdapat pada Bagan 1.
Bagan 2.1 Proses penerjemahan (Larson, 1984:4)
Bagan 2.1 menjelaskan bahwa penerjemahan harus dimulai dari penemuan makna yang terdapat pada BSu. Selanjutnya, makna tersebut diungkapkan kembali dengan menggunakan ungkapan yang berterima dalam BSa. Dengan demikian, ungkapan yang disampaikan dalam BSa inilah yang disebut dengan produk terjemahan.
Selanjutnya, pemertahanan makna yang dimaksud dalam penerjemahan dapat disebut juga dengan usaha untuk mempertahankan „kesepadanan‟
keterhubungan, dan ketepatan makna yang terdapat dalam BSu dan BSa. Meskipun demikian, dalam penerjemahan tidak ada kesepadanan makna penuh atau utuh yang terdapat dalam BSu dan BSa (Jakobson, 2000:114). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa penerjemahan merupakan proses mencari kesepadanan makna yang terdapat dalam dua bahasa yang berbeda.
Berbicara tentang penerjemahan – yang melibatkan bahasa – tentunya juga tidak terlepas dari unsur budaya; oleh karena itu, pemahaman budaya yang memadai sangat diperlukan dalam penerjemahan. Bahasa dan budaya ibarat dua sisi koin mata uang yang tak terpisahkan: mengganti unsur salah satu sisi koin berarti mengubah nilai mata uang tersebut. Dengan kata lain, menerjemahkan bahasa ke dalam bahasa yang berbeda berarti juga menerjemahkan budaya ke budaya yang berbeda pula. Begitu pentingnya unsur budaya dalam penerjemahan ditegaskan oleh Torop (2002:593) yang menyatakan bahwa penerjemahan tidak dapat terpisahkan dari konsep budaya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerjemahan merupakan suatu proses pengalihan bahasa yang terdapat dalam teks dari BSu ke BSa dengan mempertahankan kesepadanan makna dalam kedua bahasa tersebut. Dengan demikian, seorang penerjemah harus mampu memilih makna yag sepadan yang dapat mengimbangi bobot makna sebuah kata pada teks sumber ke dalam teks sasaran.
Dalam penelitian ini, teori kesepadanan yang diusung oleh Larson (1984) digunakan untuk menganalisis penerjemahan modal, dan secara spesifik, penelitian ini menggunakan “kerangka padanan” yang diusung oleh Koller (1995). Larson (1984:17) menyatakan bahwa ketika seorang penerjemah ingin menerjemahkan sebuah teks bahasa, maka tujuan utamanya adalah berusaha memadankan makna teks yang terdapat pada BSa ke dalam bentuk yang lebih alami pada BSa. Hal ini menyebabkan penerjemahan memiliki keterkaitan terhadap leksikon, struktur tata bahasa, situasi komunikasi dan konteks budaya teks BSu yang dianalisis guna menemukan makna sepadan.
pertama pada teks sumber, dan kedua pada situasi komunikasi bagi pihak penerima. Satuan-satuan teks sumber dilihat dari „kerangka-kerangka padanan‟.
Sejalan dengan konsep tersebut, Koller (1995:193) merumuskan “kerangka padanan” dan menyatakan bahwa padanan terjemahan dapat dicapai melalui salah
satu tataran berikut:
a. Kata-kata BSu dan BSa memiliki fitur ortografis dan fonologis yang serupa (padanan formal)
b. Kata-kata BSu dan BSa mengacu pada entitas atau konsep yang sama (padanan referensial/denotatif)
c. Kata-kata BSu dan BSa mengandung asosiasi yang sama atau mirip dalam pikiran para penutur kedua bahasa itu (padanan konotatif). d. Kata-kata BSu dan BSa digunakan dalam konteks yang sama atau
serupa pada masing-masing bahasa (padanan tekstual-normatif).
e. Kata-kata BSu dan BSa memiliki efek yang sama terhadap masing-masing pembaca dalam kedua bahasa itu (padanan pragmatik/dinamik).
2.2 Pengambilan Keputusan dalam Penerjemahan
dapat dihubungkan dengan siapa yang akan membaca teks terjemahan maupun topik teks yang sedang diterjemahkan. Hal senada disampaikan oleh Levy (2000:148) yang menyatakan bahwa penerjemahan merupakan proses pengambilan keputusan dimana seorang penerjemah harus mampu memilih ungkapan tertentu dari beberapa alternatif. Sementara itu, Pym (2004:27) mengusulkan suatu model yang menerangkan bagaimana bagaimana penerjemah membuat keputusan ketika menerjemahkan. Ide utamanya adalah bahwa pengambilan keputusan merupakan pengambilan risiko; dengan kata lain, penerjemah harus berani mengambil risiko ketika menerjemahkan elemen tekstual yang berbeda.
Meskipun memiliki kebebasan yang luas dalam memutuskan ungkapan apa yang akan digunakan, seorang penerjemah tidak boleh mengambil keputusan atas dasar „suka-suka‟, akan tetapi harus berdasarkan pengetahuannya yang
Selanjutnya, Darwish (2008:206-207) merumuskan lima jenis keputusan
yang diambil oleh seorang penerjemah dalam proses penerjemahan: (i) meta-keputusan (meta-decision), (ii) keputusan terencana (programmed decision),
(iii) keputusan tak terencana (unprogrammed decision), (iv) keputusan taktis (tactical decision), dan (v) keputusan strategis (strategic decision). Pertama, meta-keputusan adalah keputusan tentang keputusan. Karena penerjemahan itu pada hakikatnya bersifat mengulang sesuatu, maka beberapa keputusan tertentu perlu dipertimbangkan kembali. Meta-keputusan pertama yang biasanya dilakukan oleh seorang penerjemah adalah apakah dia harus menerjemahkan teks dengan segera atau tidak. Kedua, keputusan terencana berhubungan dengan keputusan yang umum dilakukan oleh seorang penerjemah. Ketiga, keputusan tak terencana adalah keputusan yang harus diambil oleh seorang penerjemah ketika terdapat suatu kasus penerjemahan di luar kebiasaan. Keempat, keputusan taktis merupakan keputusan yang diambil di tahap-tahap awal penerjemahan yang bekerja pada level leksikal dan kalimat. Keputusan taktis ini dapat bersifat linear (ketika pola informasi yang terdapat dalam BSu itu sederhana) dan kursif (ketika pola informasi itu kompleks). Kelima, keputusan strategis merupakan keputusan yang di ambil pada tahapan akhir dari penerjemahan yang berkenaan dengan keterwakilan teks BSu dalam teks BSa.
keputusan apa yang harus diambilnya pada keadaan tertentu ketika sedang menerjemahkan.
2.3 Kompetensi Penerjemahan
Hasil terjemahan yang berkualitas akan dihasilkan jika dikerjakan oleh penerjemah yang memiliki kompetensi penerjemahan yang baik. Salah satu indikator baik tidaknya kompetensi penerjemahan yang dimiliki seorang penerjemah adalah pengambilan keputusan tentang strategi yang sesuai untuk mengatasi permasalahan yang muncul dalam proses penerjemahan (PACTE, 2009:209). Bell (1991:35) mendefinisikan kompetensi sebagai pengetahuan dan keahlian yang harus dimiliki oleh seorang penerjemah. Sementara itu, Lorshcher (2012:5) menyatakan kompetensi merupakan suatu proses perkembangan keahlian yang tidak ada akhirnya. Hal ini bermakna bahwa kompetensi penerjemahan merupakan suatu pengetahuan dan keahlian dalam penerjemahan yang terus berkembang dari masa ke masa.
seorang penerjemah harus berpikiran terbuka sehingga selalu mau untuk memperbaharui pengetahuannya. Di samping itu, seorang penerjemah juga harus kreatif yang selalu mempunyai kata-kata untuk menyampaikan sesuatu yang diterjemahkannya. Berikutnya, pemahaman situasi dan sejarah juga memudahkan seorang penerjemah dalam pekerjaannya.
Sementara itu, Presas (2000:20) membuat istilah yang dia sebut dengan kompetensi bilingual dan kompetensi penerjemahan. Pernyataan ini bermakna bahwa, di samping memiliki kompetensi dalam penerjemahan, seorang penerjemah harus bilingual, memiliki kompetensi pada dua bahasa yang berbeda. Bilingual tidak hanya mampu menggunakan dua bahasa yang berbeda, akan tetapi juga memiliki pengetahuan tentang tatabahasa kedua bahasa tersebut. Penguasaan terhadap BSu dan BSa (kompetensi kebahasaan) merupakan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang agar dia dapat menerjemahkan. Penguasaan yang dimaksud di sini menyangkut penguasaan sistem morfologi, leksikal dan gramatikal kedua bahasa tersebut (Nababan, 2008:12).
wacana, yaitu kemampuan untuk menggabungkan bentuk dan makna untuk menghasilkan teks lisan dan tulis yang padu; dan (iv) Kompetensi strategik, yaitu kemampuan dalam menguasai strategi berkomunikasi.
Selanjutnya, Nababan (2008:11) menyatakan bahwa menerjemahkan merupakan kegiatan yang kompleks, sulit dan rumit. Agar pengambilan keputusan dapat dilakukan secara efektif, cepat dan tepat dalam setiap proses penerjemahan, penerjemah memerlukan beberapa kompetensi, yang tidak hanya sekadar kompetensi bilingual. Kompetensi merupakan sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang membuat sesorang dapat melakukan hal-hal khusus. Jadi, kompetensi penerjemahan dapat didefinisikan sebagai sistem yang mendasari pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan agar seseorang dapat menerjemahkan (PACTE, 2000:100).
Kompetensi yang dipaparkan ini mengimplikasikan bahwa penerjemahan yang dilakukan seorang penerjemah yang tidak memiliki kompetensi seperti tersebut di atas akan menghasilkan terjemahan yang tidak atau kurang berkualitas. Kompetensi terjemahan bersifat mutlak untuk dimiliki setiap penerjemah, sehingga kajian-kajian yang melibatkan produk terjemahan harus mencari tahu siapa orang dibalik produk atau teks terjemahan tersebut.
2.4 Teknik Penerjemahan
pertanyaan-pertanyaan yang timbul setelah mereka melakukan penerjemahan. “Bagaimana makna yang terdapat dalam teks BSu terwakili dalam teks BSa?”, “Metode apa yang tepat untuk menerjemahkan teks ini?”, atau “Strategi atau teknik apa yang tepat untuk memecahkan masalah penerjemahan pada suatu teks?” adalah beberapa pertanyaan yang mungkin timbul dalam rangka upaya
menemukan teknik yang tepat dalam penerjemahan.
Molina dan Albir (2002:499) memberikan definisi tentang teknik penerjemahan sebagai prosedur untuk menganalisis dan mengelompokkan bagaimana padanan penerjemahan bekerja. Menurut mereka, teknik penerjemahan memiliki lima karakteristik dasar yaitu: (i) berdampak pada hasil terjemahan; (ii) diklasifikasikan oleh perbandingan dengan teks aslinya; (iii) berdampak pada unit mikro dari teks; (iv) bersifat diskursif dan kontekstual; dan (v) bersifat fungsional.
Selanjutnya, berdasarkan lima karakteristik teknik penerjemahan tersebut, Molina dan Albir (2002:501) mengklasifikasikan teknik penerjemahan kepada 18 jenis.
1. Adaptasi (Adaptation)
Teknik ini mengganti istilah-istilah khas teks BSu dengan istilah lain yang diterima dan dikenal dalam BSa. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris (BSu) kata “snow” dalam ungkapan “as white as snow” diterjemahkan menjadi “kapas” dalam bahasa Indonesia (BSa).
Teknik ini memperkenalkan/menambahkan detail informasi yang tidak terdapat dalam teks BSu yakni parafrase eksplisit atau eksplisitasi. Sebagai contoh, frasa “valentine day” dalam BSu diterjemahkan melalui parafrase “hari kasih sayang” dalam BSa. Demikian juga halnya dengan kalimat “Be careful!” yang diterjemahkan dengan “Hati-hati di jalan ya!”
3. Peminjaman (Borrowing)
Teknik ini mengambil sebuah kata atau ungkapan secara langsung dari BSu. Peminjaman langsung ini disebut peminjaman murni, sedangkan peminjaman yang menggunakan penyesuaian sistem fonetik dan morfologis BSa adalah peminjaman naturalisasi. Kata “blog” dalam BSu yang diterjemahkan dengan kata “blog” dalam BSa merupakan contoh peminjaman murni, sedangkan kata “existence” yang diterjemahkan dengan kata “eksistensi” merupakan contoh peminjaman naturalisasi.
4. Kalke (Calque)
Teknik penerjemahan ini melibatkan penerjemahan harfiah sebuah kata atau frase BSu secara langsung ke dalam BSa, bisa dalam tataran leksikal atau struktural. Sebagai contoh, kata majemuk “Directorate General” dalam BSu yang diterjemahkan menjadi “Direktorat Jenderal” dalam BSa
tidak mengubah makna dan letak strukturnya pada BSa. Contoh lainnya adalah kata “Assistant Manager” dalam BSu yang diterjemahkan menjadi kata “Asisten Manejer” dalam BSa.
Teknik penerjemahan yang memperkenalkan elemen informasi teks BSu atau efek stilistik yang terdapat pada posisi lain dalam teks BSa karena hal tersebut tidak bisa tercermin pada posisi yang sama dalam teks BSu. Sebagai contoh, frasa “a pair of scissors” diterjemahkan menjadi “sebuah gunting” dalam BSa. Begitu juga halnya dengan kalimat “She stole my heart” yang diterjemahkan “Dia mencuri hati saya”.
6. Deskripsi (Description)
Teknik penerjemahan yang diterapkan dengan menggantikan istilah atau ungkapan dengan deskripsi bentuk dan fungsinya. Sebagai contoh, kalimat “He ate farinha” dalam BSu diterjemahkan “Dia memakan farinha, makanan tradisional dari Nigeria yang terbuat dari ubi kayu” dalam BSa. Demikian juga halnya dengan kalimat “Simon likes panettone” yang diterjemahkan “Simon menyukai panettone, kue tradisional Italia yang dimakan pada saat Tahun Baru”.
7. Kreasi Diskursif (Discursive Creation)
Teknik penerjemahan yang digunakan dengan menentukan padanan sementara yang tidak terduga atau di luar konteks. Contohnya, ungkapan “The mouse deer” dalam BSu diterjemahkan dengan “Sang kancil”. Demikian juga halnya dengan ungkapan “Great Alexandre” yang diterjemahkan “Aleksander yang Agung”.
8. Padanan Lazim (Established Equivalent)
“Great Britain” diterjemahkan ke dalam BSa menjadi “Britania Raya” dan “You’re welcome” diterjemahkan dengan ungkapan “Sama-sama”.
9. Generalisasi (Generalization)
Teknik ini menggunakan istilah-istilah yang lebih umum atau netral dalam BSa. Hal tersebut dilakukan karena BSa tidak memiliki padanan yang spesifik. Kata “flat” dalam bahasa Inggris (BSu) tidak memiliki
kesepadanan yang spesifik dalam bahasa Indonesia (BSa) sehingga dapat diterjemahkan dengan kata “apartemen”. Contoh lainnya adalah “2 pounds” yang diterjemahkan dengan “900 gram”.
10. Amplipikasi Linguistik (Linguistic Amplification)
Teknik penerjemahan yang dilakukan dengan menambah elemen-elemen linguistik. Teknik ini sering digunakan dalam penerjemahan lisan secara konsekutif dan dubbing. Sebagai contoh dapat dilihat pada ungkapan “Not at all” yang diterjemahkan “Tidak, sama sekali tidak”, begitu juga halnya dengan ungkapan “Speaking” dalam menerima telepon yang diterjemahkan “Saya sendiri”.
11. Kompresi Linguistik (Linguistic Compression)
Teknik penerjemahan yang mengumpulkan dan menjadikan satu elemen-elemen linguistik dalam teks. Ungkapan-ungkapan “I want you to know” yang diterjemahkan “Ketahuilah” dan “Yes, so what?” yang diterjemahkan “Jadi, kenapa?” merupakan contoh penerapan teknik kompresi linguistik.
12. Terjemahan Harfiah (Literal Translation)
teknik ini adalah “I bought some books” yang diterjemahkan dengan “Saya membeli beberapa buku” dan “You are an angel” yang diterjemahkan “Kamu adalah seorang malaikat”.
13. Modulasi (Modulation)
Teknik terjemahan ini mengganti sudut pandang, fokus atau kategori kognitif dalam hubungannya dengan teks BSu; bisa dalam tataran leksikal atau struktural. Sebagai contoh, kalimat “I left my pen” diterjemahkan “Pena saya ketinggalan” dan “No one is smarter than him in this class” diterjemahkan “Dia yang paling pintar di kelas ini”.
14. Partikularisasi (Particularization)
Teknik terjemahan ini menggunakan istilah yang lebih kongkret atau khusus. Teknik ini bertolak belakang dengan teknik generalisasi. Frasa “air transportation” yang diterjemahkan dengan “pesawat” merupakan
bentuk penerapan partikularisasi karena sebenarnya masih ada beberapa kata lain yang termasuk ke dalam kategori ini seperti helikopter dan jet. Begiu juga halnya pada kata “jewelry” yang diterjemahkan “kalung emas”.
15. Reduksi (Reduction)
Teknik ini menekan/memadatkan fitur informasi teks BSu ke dalam teks BSa. Teknik ini juga dapat disebut sebagai kebalikan dari teknik amplifikasi. Beberapa contoh penerapan teknik ini adalah “Jakarta,
16. Subtitusi (Subtitution)
Teknik penerjemahan ini menggantikan elemen linguistik ke dalam elemen paralinguistik atau sebaliknya. Elemen paralinguistik “shaking
head” dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan elemen linguistik “iya” dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya, “thumb up” diterjemahkan “bagus”. 17. Transposisi (Transposition)
Teknik terjemahan ini mengganti kategori gramatikal. Teknik ini juga disebut dengan teknik pergeseran kategori, struktur ataupun unit. Contohnya, frasa “His success to win the contest” diterjemahkan ke dalam bentuk klausa “Dia berhasil menjuarai lomba itu”. Contoh lainnya adalah perubahan nomina “in doubt” pada klausa “he is in doubt” menjadi adjektiva “ragu-ragu”.
18. Variasi (Variation)
Teknik penerjemahan ini mengubah elemen linguistik atau paralinguistik (intonasi, gesture) yang berdampak pada variasi linguistik seperti perubahan tona secara tekstual, gaya bahasa, dialek sosial dan juga dialek geografis. Teknik ini lazim diterapkan dalam menerjemahkan naskah drama. Sebagai contoh, ungkapan “hi chick” diterjemahkan “hai cewek” dan ungkapan “Stay away from me!” diterjemahkan “Jauhi aku!”
2.5 Penilaian Kualitas Terjemahan
Tujuan setiap penerjemahan tentunya adalah hasil terjemahan yang berkualitas, akan tetapi pengukuran tentang terjemahan yang mana yang berkualitas dan yang tidak berkualitas masih merupakan isu yang terus menerus menjadi perdebatan para ahli di bidang penerjemahan. Nida (1964: 182) menyatakan bahwa penerjemahan harus menghasilkan tanggapan yang sepadan dalam BSa. Berkenaan dengan kesepadanan, Nida dan Taber (1969: 173) mengusulkan tiga kriteria kualitas terjemahan: ketepatan, kemudahan dalam pemahaman, dan keterlibatan ahli yang berpengalaman dalam penerjemahan.
Sementara itu, Larson (1984:529) menyatakan bahwa kualitas penerjemahan dapat dilihat dari tiga aspek: keakuratan (accuracy), kejelasan (clarity), dan kealamiahan (naturalness). Keakuratan bermakna bahwa teks terjemahan pada BSa harus mewakili makna keseluruhan yang terdapat pada BSu – tidak bertambah dan tidak berkurang. Selanjutnya, kejelasan berhubungan dengan keterbacaan teks terjemahan oleh pembacanya sehingga teks tersebut dapat dipahami dengan mudah. Berikutnya, kealamiahan berhubungan dengan struktur tata bahasa pada BSa. Terkadang suatu teks terjemahan mengandung struktur kalimat yang asing digunakan dalam BSa meskipun memiliki akurasi dan kejelasan yang baik. Kealamiahan ini bertujuan agar pembaca dapat membaca teks terjemahan seperti membaca teks pada bahasa mereka sendiri.
dengan teks sasaran (TSa); (2) menerjemahkan kembali TSa ke TSu; (3) mengecek pemahaman; (4) menguji kealamiahan dan keterbacaan TSa; dan (5) mengecek konsistensi. Pertama, membandingkan TSu dan TSa untuk
mengukur apakah makna yang terdapat dalam TSu telah terwakili dalam TSa. Kedua, meminta orang lain menerjemahkan kembali TSa ke TSu tanpa melihat TSu, selanjutnya, hasil terjemahan tersebut dibandingkan dengan TSu yang sebenarnya. Ketiga, meminta orang lain untuk membaca TSa tanpa
memperlihatkan kepadanya TSu untuk mengecek pemahamannya terhadap TSa tersebut. Keempat, menguji kealamiahan dapat dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi BSa yang baik, biasanya orang tersebut disebut dengan pereview. Kompetensi inilah yang dapat mengukur apakah tata bahasa yang digunakan dalam TSa sudah sesuai dengan tata bahasa pada BSa. Kelima, menguji konsistensi dapat melibatkan konsistensi penggunaan kata, istilah, nama, dan lain sebagainya.
Secara khusus, penelitian ini menggunakan tiga instrumen penilaian
kualitas penerjemahan (Larson, 1984; Machali, 2000; Nagao dkk., 1988): (i) instrumen pengukur keakuratan (accuracy rating instrument), (ii) instrumen
2.5.1 Instrumen Pengukur Keakuratan (Accuracy Rating Instrument)
Instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat akurasi pada penelitian ini mengacu pada instrumen pengukur keakuratan yang diadapatasi dari Larson (1984), Nagao dkk. (1988), dan Nababan (2004) berdasarkan skala 1 sampai 4 dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Kalimat BSa jelas dan tidak perlu ditulis ulang atau drevisi.
2. Pesan dalam kalimat BSu tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Kalimat BSa dapat dipahami, namun susunan kata perlu ditulis ulang revisi.
3. Pesan dalam kalimat BSu belum tersampaikan secara akurat ke dalam BSa. Terdapat beberapa masalah dengan pilihan kata dan hubungan antar frasa, klausa dan unsur kalimat.
4. Pesan dalam kalimat BSu tidak diterjemahkan sama sekali ke dalam BSa, misalnya, dihilangkan.
Lebih lanjut, dalam penelitian ini kriteria penilaian untuk mengukur keakuratan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria seperti yang terdapat pada Lampiran 1.
1. Terjemahan hampir sempurna dengan indikator; penyampaian wajar, hampir tidak terasa seperti terjemahan, tidak ada kesalahan ejaan, tidak ada kesalahan/penyimpangan tata bahasa dan tak ada kekeliruan penggunaan istilah,
2. Terjemahan sangat bagus dengan indikator; tidak ada distorsi makna, tidak ada terjemahan harfiah yang kaku, tidak ada kekeliruan penggunaan istilah, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan
3. Terjemahan baik dengan indikator; tidak ada distorsi makna, ada terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks sehingga tidak terlalu terasa seperti terjemahan, kesalahan tata bahasa dan idiom relatif tidak lebih dari 15% dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku umum, ada satu dua kesalahan tata bahasa/ejaan
4. Terjemahan cukup dengan indikator; terasa sebagai terjemahan, ada beberapa terjemahan harfiah yang kaku, tetapi relatif tidak lebih
dari 25%, ada beberapa kesalahan idiom dan/tata bahasa, tetapi relatif tidak lebih dari 25% dari keseluruhan teks, ada satu dua penggunaan istilah yang tidak baku umum dan/atau kurang jelas.
Mengusung kriteria yang diusulkan oleh Machali (2000), kriteria penilaian untuk mengukur keberterimaan teks BSa telah dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan penelitian ini. Penilaian keakuratan menggunakan skala 1 sampai 3 dengan kriteria seperti yang terdapat pada Lampiran 2.
2.5.3 Instrumen Pengukur Keterbacaan (Readibility Rating Instrument) Pengukur keterbacaan berhubungan dengan sulit atau mudahnya teks BSa dibaca oleh seseorang. Pada penelitian ini, penulis menambahkan satu kategori lagi yang berada di antara keduanya, yaitu „sedang‟ Dalam hal ini, lima cara
pengukur kualitas yang diusung oleh Larson (1984) akan digunakan, yang salah satunya adalah dengan meminta orang lain untuk membaca teks BSa tanpa memperlihatkan teks BSu. Instrumen penilaian keterbacaan juga dimodifikasi dengan membuat skala nilai 1-3 yang disertai indikator untuk masing-masing skala penilaian (Lihat Lampiran 3).
2.6 Pengertian Modal dan Modalitas
Menurut Lyons (1977:747), modal merupakan alat yang digunakan oleh seseorang dalam menggambarkan sikapnya yang dihubungkan dengan isi ungkapannya dengan apa yang disampaikannya.
Sementara itu, Chaer (1994:262) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan modalitas adalah keterangan dalam kalimat yang menyatakan sikap pengguna bahasa terhadap hal yang disampaikan, yaitu mengenai perbuatan, keadaan, peristiwa, atau sikap terhadap lawan bicaranya. Sikap ini dapat berupa pernyataan kemungkinan, keinginan, atau keizinan. Dalam bahasa Indonesia, modalitas dinyatakan secara leksikal, yaitu berupa sebuah modal.
Selanjutnya, Hasanuddin (2009:772) menjelaskan tiga pengertian modalitas, yaitu: (1) klasifikasi proposisi menurut hal menyuguhkan atau mengingkari kemungkinan atau keharusan; (2) cara pembicara menyatakan sikap terhadap situasi dalam suatu komunikasi antarpribadi; dan (3) makna kemungkinan, keharusan, kenyataan, yang dinyatakan dalam kalimat; dalam bahasa Indonesia modalitas dinyatakan dengan kata-kata seperti barangkali, harus, akan atau dengan adverbial kalimat seperti pada hakikatnya, menurut hemat saya, dan sebagainya.
sikap pembicara yang dihubungkan dengan isi ungkapannya dengan apa yang disampaikannya. Selanjutnya, Alwi (1990) menjelaskan bahwa modus merupakan kategori gramatikal sedangkan modalitas termasuk ke dalam kategori semantis. Selanjutnya dengan mengutip pandangan Blomfield (1933), dia menjelaskan bahwa kategori semantis itu merupakan salah satu fenomena kesemestaan bahasa (language universal). Pandangan ini memberi petunjuk bahwa setiap bahasa memiliki unsur yang dapat digunakan untuk menggambarkan sikap pembicara dalam tuturannya tanpa selalu berbentuk modus (Abdurrahman, 2011:4).
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa modalitas merupakan ungkapan yang digunakan untuk menyatakan sikap seseorang yang menggunakannya. Alat leksikal yang digunakan dalam modalitas disebut dengan modal – kata kerja bantu yang memberikan makna modalitas pada kalimat yang dimasukinya. Pembahasn selanjutnya berkenaan dengan jenis-jenis modal atau klasifikasi modal.
2.7 Klasifikasi Modal
Modal diklasifikasikan berdasarkan makna modalitas yang dibawanya, dan makna ini sangat bergantung kepada konteks di mana modal tersebut digunakan. Dengan kata lain, modal yang sama dapat membawa makna modalitas yang berbeda ketika terletak dalam konteks yang berbeda. Coates dan Leech (1980:25) mengilustrasikan makna modalitas yang dibawa oleh modal „can‟ seperti yang
(a) We can’t expect him to leave his customers.
Kita tidak dapat mengharapkannya untuk meninggalkan pelanggannya. (b) You can‟t leave the office before 12.
Kamu tidak boleh meninggalkan kantor sebelum jam 12.
Kedua kalimat yang terdapat dalam (a) dan (b) sama-sama menggunakan modal yang sama, yaitu can’t. Akan tetapi, makna modalitas yang dibawa oleh kedua modal tersebut berbeda; kalimat yang terdapat pada (a) menyatakan makna modalitas kemampuan, sedangkan kalimat yang terdapat pada (b) menyatakan makna kebolehan atau izin.
Berkaitan dengan makna modalitas yang dibawa oleh modal, Warnsby (2006:10-21) membagi modalitas kepada dua kelompok yang luas: modalitas epistemik dan modalitas non-epistemik. Selanjutnya, epistemik itu sendiri dibagi lagi menjadi tiga jenis, yaitu modalitas deontik, modalitas dinamik, dan modalitas eksistensial. Dengan demikian, secara umum, modalitas dapat diklasifikasikan ke dalam empat jenis: epistemik, deontik, dinamik, dan eksistensial (Alwi, 1992; Brewer, 1987; Downing and Locke, 1992; Lyons, 1977; Warnsby, 2006).
Modalitas epistemik berhubungan dengan istilah „pengetahuan‟. Perkins (1983:6) menyatakan bahwa istilah epistemik diartikan sebagai „kekurangtahuan‟
(lack of knowledge), sedangkan Coates (1983:131) mengartikannya sebagai „kekurangyakinan‟ (lack of confidence). Selanjutnya, modalitas epistemik
Makna yang terkandung di dalam „kemungkinan‟, „keteramalan‟, „keperluan‟, dan „kepastian‟ ini secara berturut-turut menggambarkan gradasi keepistemikan sikap pembicara terhadap kebenaran proposisi. Contoh kalimat-kalimat di bawah ini menggambarkan gradasi keepistemikan modalitas.
(a) Dia pasti tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kepastian) (b) Dia tidak perlu datang pada acara pernikahanmu. (Keperluan)
(c) Rasanya dia tidak datang pada acara pernikahanmu karena kesibukannya. (Keteramalan)
(d) Dia mungkin tidak datang pada acara pernikahanmu. (Kemungkinan) Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa „kedatangannya‟ merupakan suatu hal yang dipastikan tidak akan terjadi. Selanjutnya pada kalimat (b), „kedatangannya‟ diharapkan tidak terjadi, akan tetapi masih memungkinkan untuk terjadi. Berikutnya pada kalimat (c), „kedatangannya‟ diramalkan tidak akan terjadi, akan tetapi masih memungkinkan untuk terjadi. Sementara itu, pada kalimat (d), „kedatangannya‟ mungkin terjadi, akan tetapi tingkatan kemungkinan
itu rendah.
Selain kata-kata yang terdapat pada (d), modalitas epistemik „kemungkinan‟ dapat dipaparkan melalui kata dan frasa lainnya. Yang berupa kata
Sementara itu, kata harus, mesti, wajib, perlu, patut, seharusnya, semestinya, sebaiknya, selayaknya, sepantasnya dan seyogianya serta frasa mau tak mau dibahas sebagai pengungkap modalitas „keharusan‟. Paparan makna „kepastian‟
yang dipaparkan dengan bentuk kata ialah pasti, tentu, niscaya, tentunya, sementara yang berbentuk frasa ialah tentu saja, sudah barang tentu, dan tak salah/pelak lagi, serta yang berbentuk klausa ialah saya yakin/percaya atau saya (merasa) pasti (Alwi, 1992:92).
Selanjutnya, modalitas deontik berhubungan dengan izin dan keharusan (Coates dan Leech, 1980:23) yang selanjutnya dikembangkan oleh Alwi (1992:20) menjadi izin, perintah, dan larangan. Coates dan Leech (1980:24) mengilustrasikan keterhubungan makna antara modalitas epistemik dan modalitas deontik seperti yang terdapat pada Bagan 2.2 berikut ini.
Bagan 2.2 Makna modalitas deontik dan epistemik (Coates dan Leech, 1980:24)
Modal „may‟ pada contoh di atas menyatakan makna bahwa subjek
mungkin saja tidak melakukan aksinya karena ada suatu kondisi yang tidak memungkinkan dia untuk melakukannya. Pada konteks ini, modal „may‟ tidak dapat digantikan dengan modal „can‟ meskipun „can‟ dapat digunakan untuk menyatakan kemungkinan. Akan tetapi, dengan menghilangkan klausa „it depends
on the work here‟, maka modal „may‟ dapat digantikan dengan modal „can‟ seperti pada contoh kalimat berikut ini.
I cannot get back there today.
Meskipun demikian, penggantian „may‟ dengan „can‟ pada konteks
kalimat ini mengakibatkan pergeseran makna modalitas yang terdapat di dalamnya. Kalimat di atas tidak lagi menyatakan makna modalitas epistemik kemungkinan, melainkan modalitas dinamik kemampuan.
Sementara itu, dalam bahasa Indonesia, modalitas deontik „izin‟ dapat diungkapkan melalui kata boleh, dapat, bisa, perkenankan, memperkenankan, diperkenankan, izinkan, mengizinkan, diizinkan, perbolehkan, memperbolehkan, dan diperbolehkan. Sementara untuk pengungkap modalitas deontik „perintah‟
dapat dipaparkan melalui kata wajib, mesti, harus, haruskan, mengharuskan, diharuskan, perintahkan, memerintahkan, diperintahkan, larang, melarang, dilarang, tidak boleh, dan jangan (Alwi, 1992:251). Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan contoh penggunaan modalitas deontik.
(a) Para hadirin diperkenankan duduk kembali. (Izin)
Proposisi yang terdapat pada kalimat (a) adalah bahwa „duduk kembali‟
merupakan suatu hal yang diperbolehkan kepada para hadirin untuk melakukannya; dengan kata lain, para hadirin diberi izin untuk duduk. Selanjutnya pada kalimat (b), „meninggalkan ruangan ini secepatnya‟ merupakan aksi yang wajib dilakukan „anak itu‟; dengan kata lain, jika aksi tersebut tidak dilakukan anak itu,
maka akan mendapat suatu konsekuensi yang diberikan oleh si pembicara. Berikutnya proposisi pada kalimat (c) memiliki makna yang bertolak belakang dengan proposisi pada kalimat (b), di mana „mengatakan fakta yang sebenarnya‟
merupakan larangan yang tidak boleh dilakukan oleh „Dia‟.
Berikutnya, Alwi (1992:233) menyatakan bahwa modalitas dinamik sama dengan modalitas deontik yang mempersoalkan sikap pembicara terhadap aktualisasi peristiwa. Modalitas dinamik ini mencakup modalitas kemampuan yang diungkapkan melalui dapat, sanggup, bisa, dan mampu. Pandangan pembicara dalam modalitas dinamik terhadap peristiwa bersifat objektif karena keberlangsungan peristiwa tidak bergantung pada pembicara, tetapi pada subjek yang berperan sebagai pelaku dalam hal ini terlihat pada makna kemampuan (ability) seperti yang disebutkan di atas. Kalimat-kalimat di bawah ini merupakan contoh penggunaan modalitas dinamik.
(a) Anak itu dapat menjawab soal ujian dengan benar. (b) Anak itu sanggup memikul satu karung beras. (c) Anak itu bisa berjalan dengan satu kaki.
ditandai dengan penggunaan modalitas „dapat‟ seperti yang terdapat pada (a), „memikul satu karung beras‟ yang ditandai dengan penggunaan modalitas
„sanggup‟ pada (b), dan „berjalan dengan satu kaki‟ yang ditandai dengan
penggunaan modalitas „bisa‟ pada (c).
Klasifikasi terakhir dari modalitas, yaitu eksistensial atau intensional, mencakup „keinginan‟, „harapan‟, „ajakan‟, „pembiaran‟ dan „permintaan‟.
Faktor keterlibatan pembicara dalam keberlangsungan atau aktualisasi peristiwa merupakan tolak ukur yang membedakan „keinginan‟ dari „harapan‟. Sementara itu, „ajakan‟ dan „pembiaran‟ dibedakan dari „permintaan‟ berdasarkan siapa di antara pembicara dan teman pembicara yang akan menjadi pelaku aktualisasi peristiwa (Alwi, 1992:52-52). Penggunaan modalitas intensional dapat dilihat pada kalimat-kalimat di bawah ini.
(a) Saya ingin segera menyelesaikan tugas saya. (b) Saya berharap segera menyelesaikan tugas saya. (c) Ayo kita berlari sekencang-kencangnya.
(d) Biarkan dia berlari sekencang-kencangnya.
Proposisi pada kalimat (a) dan (b) dibedakan berdasarkan atas keinginan dan harapan. „Keinginan‟ sebenarnya juga mengandung makna „harapan‟, akan
tetapi, „keinginan‟ merupakan perwujudan „harapan‟ yang diikuti oleh aksi-aksi yang menunjang untuk mencapai keinginan tersebut. Sementara „harapan‟ juga
menunjukkan aksi-aksi yang relevan untuk mencapainya. Sementara proposisi pada kalimat (c) dan (d) adalah „ajakan‟ dan „pembiaran‟ atas permintaan si
pembicara.
Lebih jauh lagi, menurut Alwi (1992:54), „keinginan‟ terbagi atas dua gradasi yakni keinginan yang kuat dan keinginan yang lemah. Keinginan yang kuat berkadar „keinginan‟, sementara keinginan yang lemah berkadar „kemauan‟,
„maksud‟ dan „keakanan‟. Pengungkap modalitas menyatakan „maksud‟ karena
pemfokusan terletak pada kalimat. Akan tetapi, pengungkap modalitas menyatakan kadar „kemauan‟ karena pemfokusan terletak pada pengungkap
modalitas. Pengungkap modalitas mengandung kadar „keakanan‟ karena
menyiratkan adanya unsur ramalan. Dalam bahasa Inggris, gradasi ini dapat dilihat pada penggunaan modalitas „be going to‟ dan „will‟ seperti yang terdapat
pada kalimat-kalimat di bawah ini.
(a) I am going to take an English course.
Saya ingin mengikuti kursus Bahasa Inggris. (b) I will take an English course.
Saya akan mengikuti kursus Bahasa Inggris.
2.8 Sejarah UNCLOS 1982
United Nations Convention on the Law of the Sea atau yang dikenal dengan UNCLOS, merupakan perjanjian hukum laut yang dihasilkan dari konferensi PBB yang berlangsung dari tahun 1973 sampai dengan tahun 1982. UNCLOS sendiri sebelumnya sudah dilaksanakan sejak tahun 1958 yang kemudian dirasa perlu adanya penyempurnaan hingga akhirnya dilaksanakanlah UNCLOS 1982 yang sudah diakui oleh lebih dari 150 negara termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Setahun sebelum diadakan UNCLOS untuk pertama kalinya, sebenarnya Indonesia sudah mulai memperjuangkan hukum laut demi memperkokoh Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Deklarasi Djuanda pada tanggal 13 Desember 1957. Isi dari Deklarasi Djuanda tersebut antara lain yaitu ditegaskan bahwa demi keutuhan territorial dan melindungi kekayaan Negara Indonesia, semua kepulauan serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai kesatuan yang bulat. Selain itu, dalam deklarasi ini juga disebutkan bahwa penentuan batas territorial yang lebarnya 12 mil, diukur dengan garis-garis yang menghubungkan titik-titik ujung terluar pada pulau-pulau Negara Indonesia.
Namun seiring berjalannya waktu kesadaran masyarakat dunia akan pentingnya mengatur batas-batas perairan, akhirnya pada UNCLOS ketiga yang berlangsung pada tahun 1973 sampai dengan 1982, ditetapkan beberapa kesepakatan diantaranya yaitu ditetapkannya Indonesia sebagai Negara Kepulauan, selain itu dinyatakan bahwa Negara pantai seperti Indonesia berhak atas Laut Teritorial sejauh 12 mil laut, Zona Tambahan sejauh 24 mil laut, Zona Ekonomi Ekslusif sejauh 200 mil laut dan landas kontinen sejauh 350 mil atau lebih yang lebar masing-masing zona tersebut diukur dari referensi yang disebut garis pangkal. Laut territorial sendiri yaitu suatu kedaulatan yang diberikan kepada Negara pantai termasuk ruang udara, dasar laut dan tanah dibawahnya. Sedangkan yang dimaksud Zona Tambahan yaitu zona yang lebarnya tidak melebihi 24 mil yang diukur dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur. Selain itu yang dimaksud dengan Zona Ekonomi Ekslusif yaitu zona yang luasnya 200 mil dari garis pantai, dimana dalam zona tersebut sebuah negara pantai mempunyai hak atas kekayaan alam di dalamnya, berhak menggunakan kebijakan hukumnya, kebebasan bernavigasi, terbang di atasnya, ataupun melakukan penanaman kabel atau pipa.
2.8.1 Manfaat UNCLOS 1982 Bagi Bangsa Indonesia
terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan Pasal 63 dan Pasal 64 UNCLOS 1982 (Penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2009). Yang dimaksud dengan „beruaya‟ di sini adalah
perpindahan atau migrasi yang dilakukan ikan untuk keperluan berkembangbiak (KBBI, 2002). Sebagian ikan ada yang bermigrasi ke laut yang dekat dengan tempat asalnya (beruaya terbatas), dan ada yang bermigrasi jauh bahkan sampai ribuan kilometer (beruaya jauh) dari tempat asalnya.
Adapun manfaat pengesahan UNIA 1995 bagi Indonesia adalah: (1) memantapkan kebijakan Pemerintah Indonesia dalam memberantas penangkapan
ikan secara melanggar hukum di Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia oleh kapal perikanan asing dan membuka kesempatan bagi kapal
Indonesia untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan di Laut Lepas; (2) mendapatkan data dan informasi perikanan yang akurat secara mudah dan
tepat waktu melalui mekanisme pertukaran data dan informasi di antara negara pihak; (3) mendapatkan alokasi sumber daya ikan untuk jenis ikan yang beruaya terbatas dan jenis ikan yang beruaya jauh melalui penetapan kuota internasional; (4) mendapatkan hak akses dan kesempatan untuk turut memanfaatkan potensi perikanan di Laut Lepas; (5) memperoleh perlakuan khusus sebagai negara berkembang, antara lain untuk mendapatkan bantuan keuangan, bantuan teknis, bantuan alih teknologi, bantuan penelitian ilmiah, bantuan pengawasan, dan bantuan penegakan hukum; (6) memperoleh bantuan dana untuk penerapan Persetujuan ini, termasuk bantuan dana untuk penyelesaian sengketa yang
(7) memperkuat posisi Indonesia dalam forum organisasi perikanan internasional; (8). mempertegas hak berdaulat Indonesia berkaitan dengan pengelolaan sumber daya ikan di ZEE Indonesia; dan (9) memperkuat penerapan persetujuan regional di bidang pengelolaan sumber daya ikan.
2.9 Penelitian Terdahulu yang Relevan
6,70% tidak berterima. Sementara itu, dari aspek keterbacaan, 96,29% isi teks mempunyai tingkat keterbacaan tinggi dan 3,71% mempunyai tingkat keterbacaan sedang. Di samping itu, penelitian ini mengadopsi teori menganalisis teknik penerjemahan dan juga parameter penilaian kulitas terjemahan baik dari segi keakuratan, keberterimaan, dan keterbacaan.
Al Mukhaini (2008) melakukan penelitian tentang penterjemahan ungkapan-ungkapan modal yang terdapat dalam teks undang-undang dari bahasa Inggris ke bahasa Arab dan sebaliknya. Hasil temuannya mengungkapkan bahwa kedua bahasa itu menjelaskan ungkapan-ungkapan modal dalam bentuk yang berlainan, meskipun demikian, kedua bahasa tersebut dapat juga menjelaskannya melalui sintaksis dan semantik. Penelitian yang dilakukan oleh Al Mukhaini memiliki kemiripan dalam objek penelitian – yaitu modalitas – dan sumber data – yaitu undang-undang – akan tetapi, penelitian ini mangambil data dari Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut. Perbedaannya adalah bahwa penelitian yang dilakukan oleh Al Mukhaini memfokuskan analisis pada level sintaksis dan semantis, sementara penelitian ini memfokuskan pada analisis kesepadanan makna dan kualitas terjemahan.
tetap tersampaikan. Penelitian yang dilakukan oleh Susanti memberi kontribusi secara teoritis yang berkenaan dengan jenis-jenis modalitas.
Berikutnya, Susiati (2008), melalui artikelnya pada jurnal Langue Volume 2 Nomor 2 yang berjudul “Kesepadanan Makna dalam Penerjemahan Modalitas Bahasa Inggris ke dalam Bahasa”, mengungkapkan tingginya tingkatan
kesepadanan makna yang terdapat pada penerjemahan modalitas yang terdapat pada terjemahan novel “Harry Potter and the Chamber of Secrets (Harry Potter dan Kamar Rahasia)”, yaitu 73,38%. Selanjutnya, sebanyak 13,70% modalitas
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan makna yang wajar, dan 12,92% sisanya diterjemahkan dengan makna yang tidak sepadan. Dia menyarankan bahwa penerjemahan modal bahasa Inggris ke dalam pengungkap modalitas bahasa Indonesia sebaiknya dilakukan tidak hanya dengan memerhatikan konteks linguistiknya tetapi juga konteks situasi yang menyertai peristiwa yang diungkapkan oleh kalimat yang ingin diterjemahkan, seperti bentuk tenses dalam bahasa Inggris apakah bentuk kala kini, lampau, atau kala akan. Penelitian yang dilakukan oleh Susiati sangat berkontribusi kepada penelitian ini karena menyangkut salah satu tujuan penelitian ini, yaitu analisis kesepadanan makna dari penggunaan modalitas. Dengan demikian, penelitian ini akan dapat melengkapi keterbatasan yang terdapat pada penelitian Susiati ataupun mempertajam analisis kesepadanan makna pada terjemahan.
Sementara itu, Lian dan Jiang (2014) melalui artikelnya pada jurnal Theory and Practice in Language Studies Volume 4 Nomor 3 yang berjudul “A Study of Modality System in Chinese-English Legal Translation from the
Dalam artikelnya, dia menggunakan pendekatan Tata Bahasa Sistemik Fungsional. Dia menemukan ada tiga fitur anomie (kurangnya standar sosial atau etika yang biasa dalam sebuah individu atau kelompok) yang menonjol dalam terjemahan operator modal bahasa Inggris ke bahasa Cina dalam teks salah satu undang-undang yang ada di Cina. Pertama, penerjemah terlalu banyak menggunakan modalitas „shall‟ yang dapat melemahkan tingkatan proposisi
modalitas pada undang-undang tersebut. Kedua, Penerjemah cenderung salah menemukan bentuk padanan modalitas bahasa Inggris dalam bahasa Cina. Ketiga, penerjemah salah dalam penggunaan rumusan “shall/should + predicate expansion form” yang mengubah nilai obligasi yang terdapat di dalam undang-undang tersebut.
Kajian selanjutnya dilakukan oleh Knezevic dan Brdar (2011) yang dipublikasikan pada jurnal Jezikoslovlje Volume 12 Nomor 2 dengan judul “Modals and modality in translation: a case study based approach”. Mereka
menemukan terdapatnya peluang untuk melakukan teknik shift (pengalihan) dalam menerjemahkan modalitas bahasa Kroasia ke dalam bahasa Inggris. Hal ini dibuktikan dari keterbacaan teks yang diterjemahkan tersebut meskipun mengandung terjemahan modalitas dengan teknik pengalihan makna modalitas yang disesuaikan dengan kaidah yang terdapat dalam BSa.
Pada kajian ini, mereka melibatkan mesin penerjemah dalam menganalisis terjemahan modalitas dan negasi secara semantis dan sintaksis. Mereka menemukan bahwa informasi semantis dan sintaksis dapat meningkatkan mutu terjemahan.
Kajian berikutnya dilakukan oleh Badran (2001) yang dipublikasikan pada jurnal Nottingham Linguistic Circular Volume 16 dengan judul “Modality and Ideology in Translated Political Texts”. Dia menemukan bahwa penerjemahan
modalitas dari teks bahasa Arab ke bahasa Inggris memiliki beberapa pola perbedaan yang dimasukkan ke dalam tiga kategori. Pola perbedaan ini berpengaruh pada pemahaman pembaca pada BSa sehingga juga menyebabkan perbedaan ideologi dalam teks terjemahan tersebut.
2.10 Kerangka Teoritis
Penelitian ini merupakan penelitian yang berbasis kepada produk terjemahan, yaitu teks terjemahan United Nations Convention on the Law of the Sea yang dalam TSa berjudul Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (KPBB-HL). Kerangka teoritis penelitian ini dapat dilihat pada Bagan 2.3 berikut ini.
.
Bagan 2.3 Kerangka Teoritis Penelitian
Seperti yang terdapat pada Bagan 2.3, penelitian ini didasari atas teori kesepadanan antara makna modalitas yang terdapat di dalam BSu dengan yang terdapat di dalam BSa dengan menggunakan teori Larson (1984) dan Koller (1995). Selanjutnya, penerjemahan modal yang terdapat di dalam teks UNCLOS
UNCLOS 1982
Bahasa Inggris (TSu)
Bahasa Indonesia (TSa)
Teks yang mengandung Modal (Alwi, 1992)
Teknik Penerjemahan (Molina dan Albir, 2002)
Kualitas Terjemahan (Silalahi, 2009)
Keakuratan Keberterimaan Keterbacaan