• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Work-Family Conflict Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal Pada Karyawan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan Work-Family Conflict Ditinjau dari Locus of Control Internal dan Locus of Control Eksternal Pada Karyawan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A.Work-family conflict

1. Definisi work-family conflict

Work-family conflict didefinisikan oleh Kahn, dkk (1964) (dalam Ahmad, 2008) sebagai suatu bentuk konflik antar peran tekanan dari peran di pekerjaan dan peran di keluarga saling bertentangan satu sama lain. Selanjutnya Greenhaus & Beutell (1985) mendefinisikan work-family conflict sebagai suatu bentuk konflik antar peran dimana tuntutan peran pekerjaan dan keluarga saling bertentangan dalam beberapa hal sehingga partisipasi dalam satu peran (pekerjaan atau keluarga) lebih sulit karena partisipasi dalam peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Menurut Netemeyer, Boles, & McMurrian (1996) work-family conflict adalah suatu bentuk konflik antar peran yang terjadi akibat dari suatu tuntutan umum dan ketegangan yang dihasilkan oleh pekerjaan mengganggu kemampuan seseorang untuk melakukan tanggung jawab yang berkaitan dengan keluarga (Esson, 2004). Howard (2008) mendefinisikan work-family conflict sebagai konflik antar peran yang dihasilkan oleh tekanan dari tuntutan di pekerjaan dan tuntutan di keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985; Boyar, Maertz, Pearson, & Keough, 2003; Razak, Yunus, & Nasurdin, 2011).

(2)

2. Dimensi work-family conflict

Menurut Greenhaus & Beutell (1985) work-family conflict terdiri dari tiga dimensi, yaitu :

a. Time-Based Conflict

Dimensi time-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika waktu yang diperlukan untuk memenuhi salah satu satu peran (pekerjaan atau keluarga) membuat individu kesulitan untuk memenuhi tuntutan peran lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya seseorang yang menghabiskan waktunya untuk bekerja lembur menimbulkan konflik dalam keluarganya kerena ia tidak dapat hadir dalam jadwal makan malam bersama keluarga.

b. Strain-Based Conflict

Dimensi strain-based conflict mengacu kepada konflik yang muncul ketika ketegangan yang dihasilkan dari tuntutan salah satu peran (pekerjaan atau keluarga) mempengaruhi kinerja individu dalam memenuhi tuntutan peran yang lainnya (keluarga atau pekerjaan). Misalnya seseorang yang mengalami kelelalahan, cepat marah, depresi dan kecemasan karena tuntutan yang tinggi dalam pekerjaannya membuat individu kesulitan untuk menjadi orangtua yang penuh perhatian dan penyayang bagi keluarga.

c. Behavior-Based Conflict

(3)

mandiri, obyektif dan tidak memihak serta agresif. Tetapi para anggota keluarga mungkin mengharapkannya untuk bersikap lembut, hangat, tidak emosional, dan manusiawi dalam hubungan dengan mereka.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi work-family conflict

Menurut Ahmad (2008) terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi work-family conflict, yaitu :

a. Job-Related Factors

Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup pekerjaan. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam job-related factors, yaitu :

1. Job type

Tipe pekerjaan yang dimiliki oleh seseorang dapat mempengaruhinya untuk mengalami work-family conflict. Karyawan yang berada di posisi manajerial dan profesional melaporkan lebih banyak mengalami work-famili conflict daripada karyawan yang bekerja di posisi non-manajerial dan non-profesional (Duxbury & Higgins, 2003).

2. Work time commitment

(4)

3. Job involvement

Individu dengan tingkat keterlibatan psikologis yang tinggi dalam peran pekerjaan mereka mungkin lebih sibuk dengan pekerjaan mereka dan membuat mereka dapat mencurahkan energi dalam jumlah yang berlebihan untuk peran pekerjaan mereka dengan mengorbankan peran keluarga mereka, sehingga mereka mengalami work-family conflict (Hammer, dkk, 1997; Darcy & Carthy, 2007). 4. Role overload

Adanya beban kerja yang berlebihan dapat membuat individu mengalami konflik dengan peran mereka dalam keluarga (Deery, 2008; Salam, 2014). Individu yang merasa bahwa beban kerja mereka lebih dari yang dapat mereka tangani, akan mengalami emosi negatif, kelelahan dan ketegangan, sehingga mereka dapat mengalami work-family conflict.

5. Job flexibility

Pengaturan kerja yang tidak fleksibel dapat membuat karyawan mengalami work-family conflict. Saat ini banyak dari para pemimpin perusahaan yang menerapkan program pengaturan kerja yang fleksibel bagi karyawan yang kesulitan untuk menyeimbangkan perannya di pekerjaan dan keluarga (Masuda, dkk, 2012; Salam, 2014).

b. Family-Related Factors

(5)

1. Number of children

Kehadiran anak dalam rumah tangga bisa menyebabkan individu mengalami work-family conflict (Carnicer, dkk, 2004). Karyawan yang sudah mempunyai anak dan bertanggung jawab sebagai orang tua lebih mungkin untuk memiliki komitmen yang tidak fleksibel di rumah, sehingga hal ini dapat bertentangan dengan harapan atau tuntutan di pekerjaan.

2. Life-cycle stage

Tuntutan peran kerja dan keluarga yang ditemui selama masa dewasa bervariasi dengan tahap siklus hidup orang dewasa. Ibu yang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda akan mengalami lebih banyak work-family conflict dibandingkan dengan anak-anak yang lebih tua. Hal ini disebabkan karena ibu yang bekerja dengan anak-anak yang lebih muda sering memiliki tuntutan yang tak terduga, seperti pengaturan perawatan anak dan perawatan anak yang sakit, akan menghasilkan tingkat kontrol yang lebih rendah atas pekerjaan mereka dan membuat mereka lebih sering berhadapan dengan keluarga sehingga meningkatkan potensi munculnya work-family conflict.

3. Family involvement

(6)

penelitian Greenhaus, Parasuraman, Collins (2001) yang mengungkapkan bahwa keterlibatan dalam keluarga memiliki hubungan yang positif dengan work-family conflict.

4. Child care arrangements

Pengaturan tentang perawatan anak pada orang tua yang sama-sama bekerja dapat mempengaruhi kondisi dalam pekerjaannya (Greenberger & O’Neal, 1990).

Pada pasangan dual-earner, wanita yang bekerja lebih cenderung untuk mengambil cuti dari pekerjaan untuk merawat anak yang sakit daripada pasangan mereka yang juga bekerja. Selain itu, wanita mengalami lebih banyak konflik keluarga-pekerjaan ketika pasangan mereka tidak membantu mereka dalam hal merawat dan membesarkan anak (King, 2005).

c. Individual-Related Factors

Faktor ini merupakan faktor penyebab terjadinya work-family conflict yang berasal dari ruang lingkup indvidu. Terdapat beberapa hal yang masuk ke dalam individual-related factors, yaitu :

1. Life role values

(7)

dengan bagaimana pentingnya pekerjaan atau keluarga dalam kehidupan mereka jika dibandingkan dengan peran kehidupan lainnya, prioritas mengacu pada ekspresi nilai individu yang berkaitan dengan bagaimana individu memprioritaskan peran hidup mereka, sedangkan kepentingan mengacu pada pentingnya ekspresi nilai diwujudkan dalam suatu peran yang diberikan kepada individu.

2. Gender role orientation

Orientasi peran gender mengacu pada keyakinan individu mengenai peran normal pria dan wanita dalam memenuhi tanggung jawab keluarga dan pekerjaan (Harris & Firestone, 1998). Pria cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika terjadi pertukaran peran dengan istri mereka yang membuat mereka menerima tanggung jawab lebih untuk tugas-tugas yang berhubungan dengan perawatan anak, menyiapkan makanan dan bersih-bersih. Sedangkan pada wanita cenderung lebih banyak mengalami work-family conflict jika mereka memegang keyakinan yang kuat terhadap peran gender tradisional yang mengharuskan mereka untuk lebih menerima tanggung jawab dan tugas-tugas dalam keluarga (Carnicer, dkk, 2004).

3. Personality

(8)

mengalami work-family conflict (Wayne, dkk, 2004; Ratanen, Pulkkinen, & Kinnunen, 2005). Selain itu, individu yang workaholics cenderung lebih tinggi mengalami work-family conflict daripada individu yang tidak workaholics (Bonebright, Clay & Ankenmann, 2000). Selanjutnya diungkapkan bahwa individu yang memiliki locus of control internal cenderung lebih rendah untuk mengalami work-family conflict (Noor, 2002; Andreassi & Thompson, 2007). 4. Self-evaluations

Evaluasi diri dapat mempengaruhi persepsi individu tentang pekerjaan dan keluarga mereka (Fride & Ryan, 2005). Individu dengan evaluasi diri yang positif, seperti harga diri yang tinggi dan perfeksionisme, akan memilih situasi yang dapat menjadikan diri mereka berharga dan menghindari situasi yang menjadikan diri mereka tidak berharga. Sedangkan individu dengan evaluasi diri yang negatif mengalami lebih banyak situasi yang penuh dengan tekanan baik di pekerjaan maupun di rumah (Fride & Ryan, 2005; Beauregard, 2006).

B.Locus of control

1. Definisi locus of control

Istilah locus of control pertama kali dikemukakan oleh Rotter pada tahun 1966 (Engko & Gudono, 2007). Locus of control didefinisikan oleh Rotter (1966) sebagai cara pandang seseorang bahwa ia dapat mengendalikan atau tidak sebuah peristiwa yang sedang terjadi.

(9)

Sejalan dengan pernyataan Larsen & Buss (2002) yang mendefinisikan locus of control sebagai suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai sumber kendali akan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya.

Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan hasilnya (outcome). Hjele & Ziegler (1981) mengungkapkan bahwa locus of control adalah persepsi seseorang tentang penyebab kesuksesan atau kegagalan dalam melaksanakan pekerjaanya (Engko & Gudono, 2007).

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah cara pandang seseorang mengenai kemampuan dirinya dalam mengontrol peristiwa yang dialaminya.

2. Konsep dasar locus of control

(10)

Selain itu, locus of control tidak bersifat statis, tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi locus of control internal dapat berubah menjadi individu yang berorientasi locus of control eksternal dan begitu juga sebaliknya. Locus of control yang dimiliki seseorang dapat berubah dan berkembang seseuai dengan usia. Anak-anak muda seringkali lebih rentan untuk bertindak sesuai dengan locus of control eksternal, sedangkan orang tua lebih cenderung untuk bertindak ke arah locus of control internal (Hopkins, 1983; Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010).

3. Orientasi locus of control

Menurut Rotter (1966) locus of control memiliki dua orientasi sebagai unidimensional, yaitu :

a. Locus of control internal

Individu dengan orientasi locus of control internal menganggap bahwa kejadian yang mereka alami dan apa yang mereka peroleh dalam hidup lebih ditentukan oleh keterampilan, kemampuan, dan usaha dari diri mereka sendiri. b. Locus of control eksternal

Individu dengan orientasi locus of control eksternal menganggap bahwa kejadian yang mereka alami dan apa yang mereka peroleh dalam hidup lebih ditentukan oleh kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan orang lain yang berkuasa.

(11)

dan chance (Zamawi, 2009). Levenson mengungkapkan bahwa individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control internal, dalam hal ini internality, akan memiliki keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh usaha dan kemampuannya sendiri. Sedangkan individu yang memiliki orientasi ke arah locus of control eksternal dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu individu yang memiliki keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh orang lain yang berkuasa (powerful-other), dan individu yang memiliki keyakinan bahwa kejadian atau peristiwa yang terjadi dalam hidupnya ditentukan oleh nasib, peluang, dan keberuntungan (chance). Dengan kata lain, aspek internality merupakan orientasi locus of control internal, sedangkan aspek Powerful-Others dan Chance merupakan orientasi locus of control eksternal.

4. Karakteristik locus of control

Terdapat beberapa karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan locus of control internal dan locus of control eksternal, yaitu :

a. Locus of control internal

(12)

menggunakan strategi pemecahan masalah (Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010). Selain itu, individu dengan locus of control internal cenderung lebih mampu menunda pemuasan, tidak mudah terpengaruh, dan lebih mampu menghadapi kegagalan (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997).

b. Locus of control eksternal

Individu dengan locus of control eksternal memiliki kecenderungan untuk lebih pasif dalam mengontrol keadaan lingkungannya (Phares, 1976). Ketika mengalami situasi yang penuh dengan tekanan, individu dengan locus of control eksternal cenderung lebih tinggi dalam merasakan suasana hati yang negatif (Darshani, 2014). Individu dengan locus of control eksternal menganggap bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah hasil dari nasib, kebetulan, dan kekuatan eksternal, sehingga cenderung lebih mudah mengalami depresi, marah, frustrasi, dan agressi (Perlow & Latham, 1993; Stevens, 2002; Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010). Selain itu, individu dengan locus of control eksternal cenderung memiliki sikap patuh, lebih conform terhadap otoritas atau pengaruh-pengaruh yang ada, lebih mudah dipengaruh-pengaruhi dan tergantung pada petunjuk orang lain (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997).

C.Perbedaan work-family conflict ditinjau dari locus of control internal dan

locus of control eksternal pada karyawan

(13)

keluarga (Greenhaus & Beutell, 1985). Dalam menghadapi situasi tersebut, tentunya individu memiliki keyakinan atau persepsi sendiri terhadap apa yang menjadi penyebab dari situasi yang terjadi padanya, hal ini dikenal dengan istilah locus of control. Menurut Rotter (1966) locus of control adalah suatu konsep yang mengacu pada keyakinan seseorang tentang apa yang menyebabkan hasil yang baik atau buruk dalam hidupnya, apakah itu berasal dari dirinya sendiri (internal) yang berupa kemampuan dan usahanya sendiri atau berasal dari luar dirinya (eksternal) yang berupa faktor keberuntungan, nasib ataupun orang lain yang berkuasa.

Dalam kaitannya dengan work-family conflict, dikatakan bahwa locus of control merupakan salah satu faktor yang turut mempengaruhinya. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Ahmad (2008) bahwa karakteristik kepribadian locus of control mempengaruhi kecenderungan seseorang mengalami work-family conflict. Locus of control merupakan suatu karakteristik kepribadian yang dimiliki oleh setiap orang, termasuk juga pada karyawan. Berdasarkan hasil penelitian Noor (2002) mengungkapkan bahwa locus of control internal pada karyawan berkorelasi negatif dengan work-family conflict. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Andreassi & Thompson (2007) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara locus of control internal dengan work-family conflict pada karyawan. Hal ini diperkuat oleh hasil penelitian meta analisis

(14)

semakin rendah kecenderungan work-family conflict yang dialaminya. Begitu juga sebaliknya, semakin rendah skor locus of control internal pada karyawan, maka semakin tinggi kecenderungan work-family conflict yang dialaminya.

Individu dengan locus of control internal memiliki karakteristik berupa usaha yang lebih besar untuk mengontrol lingkungan (Phares, 1976), dapat mengelola emosi dan stres secara efektif (Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010), tidak mudah terpengaruh, mampu menunda pemuasan, lebih mampu mengahadapi kegagalan (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997), dan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengontrol situasi yang penuh dengan tekanan (Arsenault, Dolan, &Ameringen, 1991). Sedangkan individu dengan locus of control eksternal memiliki karakteristik berupa usaha yang lebih pasif dalam mengontrol lingkungan (Phares, 1976), mudah dipengaruhi (Lina, Haryanto, & Rosyid, 1997), mudah mengalami depresi (Perlow & Latham, 1993; Stevens, 2002; Breet, Myburgh, & Poggenpoel, 2010), dan cenderung merasakan suasana hati negatif ketika mengalami situasi yang penuh dengan tekanan (Dharsani, 2014).

(15)

menjadikan karyawan dengan locus of control internal mengalami work-family conflict yang lebih rendah.

Lain halnya pada karyawan yang berorientasi locus of control eksternal, apabila dihadapkan pada situasi konflik antara perannya di pekerjaan dan keluarga, maka ia memiliki kemampuan yang rendah untuk mengontrol situasi yang terjadi padanya karena ia tidak dapat mengelola emosi negatif yang dirasakannya dengan baik, sehingga ia mengalami kesulitan dalam menentukan strategi pemecahan masalah yang efektif atas konflik yang dialaminya. Hal ini bisa menjadikan karyawan dengan locus of control eksternal mengalami work-family conflict yang lebih tinggi.

D.Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian teoritis di atas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah “ada perbedaan work-family conflict ditinjau dari locus of

Referensi

Dokumen terkait

Menetapkan : PERATURAN DESA JATILOR KECAMATAN GODONG KABUPATEN GROBOGAN TENTANG PERTANGGUNG JAWABAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA DESA (APBDesa)

Dalam rangka Program Mobilisasi Dosen Pakar/Ahli Tahun 2016, kami yang bertanda tangan di bawah ini sepakat untuk melaksanakan kerjasama pelaksanaan program kerja

c.' S eleksi protokorm setelah transform asi, dan d. P em buktian transform an dan transgenik anggrek. M etode transform asi genetik ke tanam an anggrek P. amabilis sesuai klaim 1,

Puji Syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karuniaNya kepada kita semua, dan tidak lupa pula shalawat serta salam kita haturkan kepada

It means that there was a significant difference of students‟ achievement after implementation was better than before, the questionnaire result showed that the students gave the

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai penambahan ilmu dalam disiplin manajemen konstruksi teknik sipil untuk mengetahui pentingnya pengaruh gaya

Berdasarkan paparan dan pembahasan menyimpulkan bahwa: 1) makna denotasi yang ada pada iklan adalah adanya hubungan keluarga antara anak dan orang tua khususnya anak dan ayah,

Oleh karena itu untuk mengurangi impor beras kita perlu juga menekan konsumsi beras per kapita dengan menganekaragamkan makanan yang kita konsumsi bukan menitikberatkan pada