BAB II
UPAYA HUKUM DALAM PERKARA KEPAILITAN
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pada tanggal 22 April 1998 telah
ditetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-Undang tentang Kepailitan. Perpu tersebut mulai berlaku
120 hari sejak diundangkan yaitu pada tanggal 20 Agustus 1998 dan selanjutnya dikenal
dengan UUK.70
UUK merupakan penyempurnaan dari peraturan kepailitan yang lama yaitu
Faillissement Verordening (FV). Penyempurnaan tersebut dilakukan dengan menambah dan mengubah aturan kepailitan yang sebelumnya diatur dalam FV. Salah satu perubahan
antara UUK dengan FV adalah proses penyelesaian perkara permohonan kepailitan yang
cepat dengan menentukan kerangka waktu yang pasti dalam penyelesaian perkara
kepailitan.71
UUK juga telah membentuk peradilan khusus yang akan menyelesaikan masalah
kepailitan yaitu pembentukan pengadilan niaga.72 Pembentukan pengadilan niaga sebagai
pengadilan yang berwenang memeriksa dan memutus perkara kepailitan semata-mata
70
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 14 71
Elijana, Pengadilan Niaga Pelaksanaan Dan Dampaknya, Jakarta 14 Mei 1998, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Editor Rudhy A Lontoh, Denny Kailimang, Benny Ponto, (Bandung : Alumni, 2001), hal. 13
72
bertujuan untuk mendukung kerangka waktu yang telah diatur dalam UUK.73 Pengadilan
niaga diharapkan akan mengefisienkan prosedur pemeriksaan perkara kepailitan.
Hukum acara yang berlaku dalam proses pemeriksaan perkara kepailitan di
pengadilan niaga adalah hukum acara perdata sebagaimana hukum acara yang berlaku pada
pengadilan negeri.74 Penyelesaian perkara kepailitan di pengadilan niaga juga menyediakan
upaya hukum bagi pihak yang keberatan dengan putusan hakim layaknya pada perkara
perdata. Upaya hukum yang disediakan dalam perkara kepailitan merupakan bentuk upaya
hukum yang diatur dalam perkara perdata, hanya saja upaya hukum pada perkara kepailitan
disesuaikan dengan prinsip penyelesaian perkara kepailitan yang cepat, efisien dan adil,
sehingga upaya hukum pada perkara kepailitan memiliki kekhususan tersendiri dalam
prosesnya.
A. Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata
1. Pengertian Upaya Hukum
Upaya hukum adalah suatu upaya yang diberikan kepada seseorang untuk dalam hal
tertentu melawan keputusan hakim.75 Seseorang yang merasa keputusan yang diberikan
oleh hakim merugikan haknya untuk memperoleh keadilan, perlindungan, dan kepastian
73
J. Djohansjah, Pengadilan Niaga, Jakarta 7 Juli 1998, Dalam Buku Kumpulan Makalah Tentang Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal. 29
74
Pasal 284 UUK menyebutkan bahwa ''kecuali ditentukan lain dengan undang-undang, hukum acara perdata yang berlaku diterapkan pula terhadap pengadilan niaga''
75
hukum dapat melakukan cara-cara upaya hukum yang telah ditetapkan oleh
undang-undang.76
Undang-undang memberikan upaya hukum kepada seseorang terhadap keputusan
yang diberikan hakim bertujuan untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan yang telah
dilakukan hakim dalam membuat keputusan.77 Pada dasarnya hakim juga merupakan
manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan sehingga berpotensi melakukan kekeliruan
dan kekhilafan dalam membuat keputusan atas pekara yang diajukan kehadapannya, maka
demi kebenaran dan keadilan terhadap perkara tersebut diberikan kesempatan untuk
melakukan upaya hukum.
2. Bentuk-bentuk Upaya Hukum
Dalam hukum acara perdata dikenal dua macam upaya hukum, yaitu upaya hukum
biasa dan upaya hukum luar biasa.78 Upaya hukum biasa adalah perlawanan terhadap
keputusan hakim yang bersifat menangguhkan pelaksanaan putusan untuk sementara,
kecuali apabila putusan tersebut dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu, seperti yang tercantum dalam Pasal 180 ayat (1) Herziene Inlandsch Reglement
(HIR). Bentuk upaya hukum biasa terdiri dari verzet, banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa adalah perlawanan terhadap keputusan hakim yang telah memiliki kekuatan
hukum tetap yang bersifat tidak dapat menangguhkan pelaksanaan putusan hakim. Bentuk
76
H.A. Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), hal. 279
77
Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 208 78
upaya hukum luar biasa terdiri dari peninjauan kembali dan perlawanan pihak ketiga
(derden verzet).
1. Upaya Hukum Verzet
Verzet adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan di luar hadirnya tergugat atau putusan verstek.79 Pada dasarnya verzet disediakan bagi pihak tergugat yang kalah. Oleh karena itu, pihak lain yang tidak sesuai dengan ketentuan ini tidak
diperkenankan untuk menggunakan upaya hukum verzet. Maka bagi penggugat yang dikalahkan melalui putusan verstek dapat menggunakan upaya hukum lain yaitu upaya hukum banding.80
Dalam praktik peradilan, verzet diajukan kepada pengadilan negeri yang menjatuhkan putusan verstek dan kedua perkara tersebut yaitu verstek dan verzet dijadikan satu dalam register nomor perkara.81 Oleh karena itu perkara verzet terhadap putusan
verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru yang berdiri sendiri.
2. Upaya Hukum Banding
Banding adalah upaya hukum terhadap keputusan hakim pada persidangan tingkat
pertama di pengadilan negeri, agar diperiksa ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi yaitu
pengadilan tinggi.82 Pengadilan tinggi yang berwenang adalah pengadilan tinggi yang
79
Pasal 125 ayat (3) dan 129 HIR serta Pasal 149 ayat (3) dan 153 RBg 80
Pasal 200 RBg 81
Muhammad Nasir, Op. Cit., hal. 210 82
wilayah hukumnya meliputi wilayah hukum pengadilan negeri yang telah memutus perkara
tersebut dalam tingkat pertama.83 Upaya hukum banding adalah salah satu bentuk upaya
hukum yang disediakan bagi pihak yang kalah untuk mendapatkan perbaikan terhadap
putusan hakim pada persidangan tingkat pertama.84
Secara garis besar isi putusan banding adalah :85
a. Menguatkan putusan pengadilan negeri b. Memperbaiki putusan pengadilan negeri
c. Membatalkan putusan pengadilan negeri dan mengadili sendiri, termasuk pula putusan-putusan yang :
1) Menyatakan bahwa pengadilan negeri tidak berwenang mengadili
2) Memerintahkan agar pengadilan negeri yang berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara yang bersangkutan
3. Upaya Hukum Kasasi
Kasasi berasal dari kata casser dalam bahasa Perancis yang artinya memecahkan atau membatalkan.86 Upaya hukum kasasi ini asal muasalnya timbul di Perancis. Kemudian
setelah Belanda dijajah Perancis, upaya hukum kasasi diterapkan di Belanda dan
selanjutnya oleh Pemerintah Belanda di bawa dan diterapkan di Indonesia.
Upaya hukum kasasi adalah tindakan yang dapat digunakan oleh pihak yang tidak
puas terhadap putusan pengadilan tinggi yang telah memeriksa perkara pada tingkat
83
H.M. Abdurrachman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Universitas Trisakti, 2003), hal. 109 84
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947, Pasal 199 RBg dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970
85
R. Soeparmono, Hukum Acara Perdata Dan Yurisprudensi, (Bandung : Mandar Maju, 2005), hal. 210
86
banding dengan cara mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung.87 Pada
tingkat kasasi ini Mahkamah Agung (judex juris) bertugas menguji dan meneliti kesalahan penerapan hukum yang berlaku terhadap putusan pengadilan dibawahnya (judex factie) dan dapat melakukan pembatalan terhadap putusan tersebut, jika :88
a. Pengadilan yang lebih rendah lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan, misalnya apabila dalam putusan tidak memuat kalimat kepala putusan ''Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa'' b. Pengadilan yang lebih rendah melampaui batas wewenangnya apabila yang
dilanggar wewenang pengadilan secara absolut
c. Pengadilan yang lebih rendah salah menerapkan atau melanggar peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Dan hal ini yang sering terjadi dalam praktik karena perkembangan hukum terus meningkat sedangkan buku-buku hukum dan yurisprudensi masih jarang diterbitkan
4. Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Dalam Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordening (R.V) untuk memenuhi rasa keadilan bagi pencari keadilan dibuka upaya hukum terhadap putusan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap yang disebut dengan request civil.89 Kemudian dalam perundang-undangan nasional istilah request civil diganti dengan peninjauan kembali.
Istilah peninjauan kembali dapat dijumpai pada Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung) dalam Pasal 66 sampai dengan
Pasal 77. Namun upaya hukum peninjauan kembali tidak dapat digunakan hanya karena
87
Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2004), hal. 150
88
Sophar Maru Hutagalung, Praktik Peradilan Perdata- Teknis Menangani Perkara Di Pengadilan,
(Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal. 100 89
ada pihak yang keberatan dengan putusan hakim yang telah memiliki kekuatan hukum
tetap. Ada alasan-alasan tertentu yang harus dipenuhi pemohon upaya hukum peninjauan
kembali sehingga dapat mengajukan upaya hukum peninjauan kembali kepada Mahkamah
Agung, yaitu :90
a. Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu
b. Apabila setelah perkara diputus kemudian ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan
c. Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang dituntut
d. Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya
e. Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lainnya
f. Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan Hakim atau suatu kekeliruan yang nyata
Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung juga memberi batasan dalam penggunaan
upaya hukum peninjauan kembali sehingga permohonan peninjauan kembali hanya dapat
dilakukan satu kali saja. Pembatasan upaya hukum kasasi hanya satu kali dan alasan-alasan
yang telah disebutkan dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung tersebut merupakan
batasan-batasan yang diberikan hukum untuk menghormati dan menjamin kepastian hukum dari
putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan hukum tetap.
Pada undang-undang kekuasaan kehakiman terbaru yaitu Undang-Undang Nomor
48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman) juga diatur
ketentuan upaya hukum peninjauan kembali hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal
90
tersebut diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan
bahwa terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.
Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 10 Tahun
2009 juga memberi petunjuk kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama untuk tidak
menerima dan tidak mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung terkait upaya
hukum peninjauan kembali terhadap perkara yang sama yang diajukan lebih dari satu kali
baik dalam perkara perdata maupun perkara pidana, kecuali permohonan peninjauan
kembali diajukan terhadap suatu objek perkara yang memiliki dua atau lebih putusan
peninjauan kembali yang saling bertentangan dan diantaranya ada yang diajukan
peninjauan kembali maka SEMA Nomor 10 Tahun 2009 memberi petunjuk agar berkas
permohonan peninjauan kembali diterima dan tetap dikirimkan ke Mahkamah Agung.
Pada tahun 2010, Herry Wijaya yang mewakili PT. Harangganjang memohon ke
Mahkamah Konstitusi agar peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur
dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan
Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, karena ketentuan
tersebut telah menghalangi hak konstitusionalnya untuk dapat mengajukan kembali upaya
hukum peninjauan kembali terhadap sengketa hak milik atas tanah yang telah ditolak oleh
Mahkamah Agung dengan Putusan Nomor : 1PK/Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2004.
Mahkamah Konstitusi dengan Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 menolak
permohonan Herry Wijaya dengan pertimbangan ketentuan upaya hukum peninjauan
apabila ketentuan permohonan peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa tidak
dibatasi maka akan terjadi ketidakjelasan dan ketidakpastian hukum sampai berapa kali
peninjauan kembali dapat dilakukan. Keadaan demikian akan menimbulkan ketidakpastian
hukum yang adil kapan suatu perkara akan berakhir yang justru bertentangan dengan
ketentuan UUD 1945 yang harus memberikan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil terhadap setiap orang. 91
Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang selaku Direktur CV. Kurnia Abadi juga
mengajukan permohonan yang sama ke Mahkamah Konstitusi yaitu memohon agar
peninjauan kembali yang hanya satu kali sebagaimana diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU
Mahkamah agung, Pasal 24 ayat (2) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 268 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak
memiliki kekuatan hukum mengikat. Permohonan ini diajukan karena Mahkamah Agung
dengan putusan Nomor : 33PK/Pid.Sus/2009 tanggal 2 Juni 2009 telah menolak upaya
hukum peninjauan kembalinya atas sengketa merek. Kemudian Mahkamah Konstitusi
dengan Putusan Nomor : 64/PUU-VIII/2010 menolak permohonan Sigit Soegiarto bin Ong
Ting Kang dengan pertimbangan bahwa terhadap permohonannya Mahkamah Konstitusi
telah memberikan putusan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, sehingga
pertimbangan dalam Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010 secara mutatis mutandis berlaku juga kepada permohonan Sigit Soegiarto bin Ong Ting Kang.92
91
Putusan Nomor : 16/PUU-VIII/2010, Mahkamah Konstitusi 92
Pada tahun 2013, ketentuan upaya hukum peninjauan kembali yang hanya dapat
dilakukan sekali saja kembali diajukan ke Mahkamah Konstitusi. Namun ketentuan batasan
peninjauan kembali yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi khusus hanya Pasal 268 ayat
(3) KUHAP. Pemohon juga tidak memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar
menghilangkan batasan satu kali pada peninjauan kembali melainkan memohon agar
ditambahkan ketentuan peninjauan kembali dapat diajukan kembali apabila ditemukan
keadaan baru berdasarkan ilmu pengetahuan dan tehnologi.93
Permohonan tersebut diajukan oleh Antasari Azhar, Ida Laksmiwaty (isteri dari
Antasari Azhar) dan Ajeng Oktarifka Antasariputri (puteri dari Antasari Azhar). Antasari
Azhar merupakan terpidana pada perkara pidana di Pengadilan Negeri Jakarta selatan
Nomor : 1532/Pid.B/2009/PN.Jkt.Sel atas kasus pembunuhan alm. Nasrudin Zulkarnaen
yang telah diputus pada tanggal 11 Februari 2010. Putusan tersebut telah memiliki
kekuatan hukum tetap dengan putusan Mahkamah Agung Nomor : 1429K/Pid/2010 pada
tanggal 21 September 2010. Kemudian Antasari Azhar mengajukan upaya hukum
peninjauan kembali dan diputus oleh Mahkamah Agung Nomor : 117PK/Pid/2011 tanggal
13 Februari 2012 yang pada intinya menolak upaya hukum peninjauan kembali.
Berdasarkan ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP, Antasari Azhar tidak memiliki upaya
hukum lain untuk membersihkan namanya jika suatu saat terdapat bukti baru yang dapat
memberikan putusan berbeda dengan putusan hakim sebelumnya.94
93
Putusan Nomor : 34/PUU-XI/2013, Mahkamah Konstitusi 94
Mahkamah Konstitusi kemudian mengabulkan permohonan Antasari Azhar dan
memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat apabila peninjauan kembali yang hanya dapat
dilakukan sekali dimaknai dengan mengecualikan ditemukannya keadaan baru. Mahkamah
Konstitusi memutuskan Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjadi berbunyi ''Permintaan
peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja, kecuali
terhadap alasan ditemukannya keadaan baru (novum) dapat diajukan lebih dari sekali.''95
Pada Tahun 2014 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2014
sebagai petunjuk bagi Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dan Ketua Pengadilan Tingkat
Banding atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 34/PUU-XI/2013. SEMA tersebut
mengatur bahwa ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP yang telah tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat, tidak serta merta menghapus norma hukum batasan peninjauan kembali
yang telah diatur dalam Pasal 66 ayat (1) UU Mahkamah Agung dan Pasal 24 ayat (2) UU
Kekuasaan Kehakiman. Dan permohonan peninjauan kembali yang diajukan lebih dari satu
kali terbatas pada alasan yang telah diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Peninjauan Kembali.
Pada penyelesaian perkara perdata maka peninjauan kembali hanya dapat dilakukan
satu kali saja namun terbuka kemungkinan untuk diajukan lebih dari satu kali apabila
permohonan peninjauan kembali terjadi dengan kondisi terdapat dua atau lebih putusan
peninjauan kembali yang saling bertentangan terhadap suatu objek perkara yang sama dan
95
terhadap salah satu putusan peninjauan kembali tersebut diajukan peninjauan kembali. Hal
tersebut berlaku sebagaimana diatur dalam SEMA Nomor 10 Tahun 2009.
5. Upaya Hukum Perlawanan Pihak Ketiga (Derden Verzet)
Berdasarkan Pasal 1917 KUHPerdata suatu putusan hakim yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap hanya mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat
pihak ketiga. Namun jika hak-hak pihak ketiga dirugikan oleh suatu putusan hakim, maka
pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut.96
Perlawanan oleh pihak ketiga ini disebut Derden verzet yaitu tindakan perlawanan dari pihak ketiga yang bukan merupakan pihak dalam perkara yang diperiksa oleh hakim.97
Biasanya, Derden verzet digunakan sebagai upaya hukum oleh pihak ketiga atas penyitaan
benda yang merupakan miliknya.98
Derden verzet ini diajukan kepada hakim yang memutuskan perkara dengan menggugat para pihak yang bersangkutan karena nyata-nyata hak perdatanya telah
dirugikan dengan keputusan hakim tersebut.99 Derden verzet yang diajukan atas sita jaminan yang diletakkan pengadilan negeri dalam suatu perkara perdata hanya dapat
dilakukan selama putusan perkara yang dilawan (perkara pokok) belum mempunyai
kekuatan hukum tetap serta sita jaminan tersebut belum diangkat.100 Apabila perlawanan
96
Pasal 378 R.V 97
Riduan Syahrani, Op. Cit., hal. 158 98
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal. 299 99
Sophar Maru Hutagalung, Op. Cit., hal. 102 100
tersebut dikabulkan, maka putusan yang dilawan itu diperbaiki sepanjang merugikan pihak
ketiga.101
Bentuk-bentuk upaya hukum dalam perkara perdata apabila dibuat dalam suatu alur,
maka penyelesaian satu perkara perdata dapat melalui beberapa tahapan seperti berikut :
Gambar 1.
Alur Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata
Sumber : HIR dan RBg
Alur upaya hukum dalam penyelesaian perkara perdata sebagaimana telah
digambarkan di atas terlihat bahwa satu perkara perdata dapat menempuh beberapa tahapan
upaya hukum untuk dapat mencapai suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.
Tahapan upaya hukum tersebut jika dihubungkan dengan konsep keadilan John Rawls yang
menyatakan bahwa apabila hukum tidak memberikan jaminan keadilan yang sama bagi
semua pihak maka terhadap hukum tersebut harus diperbaiki dengan hukum yang
101
Pasal 382 R.V
Upaya hukum yang dilakukan oleh
salah satu pihak yang berperkara
pada pengadilan tingkat pertama
Verzet
Banding
Kasasi
Peninjauan Kembali
Derden Verzet
Upaya hukum yang dilakukan oleh
pihak ketiga yang bukan
memberikan keadilan bagi semua pihak.102 Maka bentuk upaya hukum yang disediakan
dalam hukum perdata adalah upaya untuk mewujudkan keadilan yang seadil-adilnya bagi
masyarakat dengan menyediakan berbagai upaya hukum tersebut guna memperbaiki
putusan-putusan hakim yang belum memberikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
Namun suatu putusan baru dapat dilaksanakan apabila telah memperoleh kekuatan
hukum yang pasti. Kekuatan hukum yang pasti disini maksudnya adalah terhadap putusan
tersebut tidak dapat lagi dilakukan upaya hukum untuk melawannya, sehingga harus
dilaksanakan oleh para pihak dengan sukarela.103 Sebagaimana disebutkan dalam
penjelasan Pasal 195 HIR bahwa pihak yang menang dengan perantara hakim dapat
menggunakan haknya untuk memaksa pihak lawan guna melaksanakan putusan hakim,
akan tetapi putusan tersebut harus benar-benar telah dapat dijalankan karena telah
memperoleh kepastian hukum yang artinya semua upaya hukum untuk melawan putusan itu
sudah digunakan atau tidak dipergunakan karena telah lewat waktunya.
Tahapan upaya hukum yang sangat banyak tersebut diperlukan prosedur
pelaksanaan yang jelas. Prosedur tersebut bertujuan untuk menjamin kepastian hukum
dalam penyelesaian perkara perdata. Sebagaimana pendapat dari Gustav Radbruch bahwa
''kepastian hukum hanya dapat dicapai apabila hukum dirumuskan dengan aturan yang jelas
dan mudah dilaksanakan.''104 Dengan demikian tujuan hukum perdata untuk memberi
keadilan kepada masyarakat dengan menyediakan upaya hukum dalam proses
berperkaranya dapat terwujud dengan pasti.
102
John Rawls, Loc. Cit. 103
Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 234 104
3. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara Perdata
Pada prinsipnya, putusan hakim dalam perkara perdata bersifat memaksa sehingga
harus dilaksanakan oleh pihak yang kalah. Sebagaimana telah dijelaskan dalam penjelasan
Pasal 195 HIR. Namun putusan hakim tersebut bisa saja belum dapat dilaksanakan apabila
pihak yang kalah merasa tidak puas atau ada pihak ketiga yang juga merasa keberatan
dengan putusan hakim tersebut. Sehingga pihak-pihak tersebut melakukan upaya hukum
untuk mempertahankan kepentingannya.
Dalam mengajukan upaya hukum, ada prosedur-prosedur yang harus diperhatikan
oleh pihak-pihak tersebut agar pelaksanaan upaya hukum berjalan tertib, prosedur tersebut
adalah :
1. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Verzet
Pihak tergugat yang keberatan dengan putusan verstek dapat mengajukan upaya hukum verzet dalam batas waktu yang telah ditentukan, yaitu :105
a. Dalam tenggang waktu 14 hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan putusan verstek
diberitahukan kepada tergugat secara sah dan patut
b. Sampai dengan hari ke-8 setelah dilakukan peringatan pelaksanaan putusan sebagaimana ketentuan Pasal 196 HIR dan 207 RBg dalam hal pemberitahuan putusan verstek tidak diberitahukan kepada tergugat itu sendiri
c. Sampai hari ke-8 setelah sita eksekusi dilaksanakan menurut ketentuan Pasal 129 ayat (2) HIR dan 153 ayat (2) RBg apabila tergugat tidak datang pada waktu peringatan
Perlawanan terhadap putusan verstek diajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa dan hanya dapat diajukan sekali saja.106 Apabila tergugat tetap mengajukan
perlawanan verzet untuk kedua kalinya, berdasarkan Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 53 ayat (6) RBg maka hakim harus menyatakan tidak dapat menerima perlawanan verzet.
105
Pasal 129 ayat (1) HIR dan Pasal 153 ayat (1) Reglement Buitengewesten (RBg) 106
Berdasarkan Pasal 200 RBg upaya hukum yang tersedia bagi tergugat yang memperoleh
putusan verstek untuk kedua kalinya adalah upaya hukum banding.
2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Banding
Upaya hukum banding dapat diajukan ke kepaniteraan pengadilan negeri dalam
waktu 14 hari setelah putusan dari persidangan tingkat pertama diucapkan atau
diberitahukan kepada pihak yang kalah, dengan prosedur sebagai berikut :107
a. Apabila permohonan banding diajukan melampaui tenggang waktu 14 hari sebagaimana tersebut di atas maka terhadap permohonan tersebut tetap diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan panitera bahwa permohonan banding telah lampau waktu b. Menuangkan panjar biaya banding dalam Surat Kuasa Untuk Membayar (SKUM)
c. Menyerahkan berkas permohonan banding yang dilengkapi dengan SKUM kepada pemegang kas pengadilan negeri
d. Setelah panjar biaya banding dibayar lunas maka pengadilan membuat akta pernyataan banding dan mencatat permohonan banding dalam register induk perkara perdata dan register permohonan banding
e. Setelah permohonan banding dalam waktu 7 hari kalender disampaikan kepada terbanding, kepada para pihak pembanding dan terbanding diberikan kesempatan untuk mempelajari dan memeriksa berkas perkara sebelum berkas perkara dikirim ke pengadilan tinggi
f. Berkas banding sudah harus dikirim ke pengadilan tinggi dalam waktu 30 hari sejak permohonan banding diajukan
g. Pencabutan permohonan banding diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pembanding dengan menyertakan akta panitera
3. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Kasasi
Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan melalui Panitera
Pengadilan Negeri yang telah memutus perkara, dengan prosedur sebagai berikut :108
107
Buku II Pedoman Teknis Administrasi Dan Teknis Peradilan Perdata Umum Dan Perdata Khusus, Edisi 2007, (Jakarta : Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2008), hal. 4-7
108
a. Permohonan kasasi diajukan dalam tenggang waktu 14 hari sesudah putusan atau penetapan pengadilan yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon
b. Apabila tenggang waktu 14 hari tersebut telah lewat tanpa ada permohonan kasasi yang diajukan oleh pihak berperkara, maka pihak yang berperkara dianggap telah menerima putusan
c. Setelah pemohon membayar biaya perkara, panitera mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar dan pada hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas perkara
d. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah permohonan kasasi terdaftar, Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut memberitahukan secara tertulis mengenai permohonan itu kepada pihak lawan
e. Pemohon wajib menyampaikan memori kasasi yang memuat alasan-alasan menggunakan upaya hukum kasasi dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan yang dimaksud dicatat dalam buku daftar
f. Panitera Pengadilan Negeri memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
g. Pihak lawan berhak mengajukan surat jawaban terhadap .memori kasasi kepada panitera dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi
h. Setelah menerima memori kasasi dan jawaban terhadap memori kasasi, Panitera Pengadilan Negeri mengirimkan permohonan kasasi, memori kasasi, jawaban atas memori kasasi, beserta berkas perkaranya kepada Mahkamah Agung dalam waktu selambat-lambatnya 30 hari
i. Panitera Mahkamah Agung mencatat permohonan kasasi tersebut dalam buku daftar dengan membubuhkan nomor urut menurut tanggal penerimaannya, membuat catatan singkat tentang isinya, dan melaporkan semua itu kepada Ketua Mahkamah Agung j. Sebelum permohonan kasasi diputus oleh Mahkamah Agung, maka permohonan
tersebut dapat dicabut kembali oleh pemohon dan apabila telah dicabut, pemohon tidak dapat lagi mengajukan permohonan kasasi dalam perkara itu meskipun tenggang waktu kasasi belum lampau
4. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Permohonan peninjauan kembali diajukan pemohon ke Mahkamah Agung melalui
Ketua Pengadilan Negeri dengan membayar biaya perkara yang diperlukan, dengan
ketentuan sebagai berikut :109
a. Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dalam waktu 180 hari, dalam hal : 1) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan
yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berpekara
2) Apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang
3) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut atau apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya dan apabila antara pihak-pihak yang sama serta mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan yang lain, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara
4) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata, maka titik perhitungan 180 hari adalah sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara
b. Permohonan peninjauan kembali yang melampaui tenggang waktu tidak dapat diterima dan berkas perkara tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung dengan Penetapan Ketua Pengadilan Negeri
c. Permohonan peninjauan kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan sejelas-jelasnya alasan yang dijadikan dasar permohonan itu dan dimasukkan di kepaniteraan pengadilan negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama dan apabila pemohon tidak dapat menulis, maka ia menguraikan permohonannya secara lisan di hadapan Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama atau hakim yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Negeri yang akan membuat catatan tentang permohonan tersebut
109
d. Setelah Ketua Pengadilan Negeri yang memutus perkara dalam tingkat pertama menerima permohonan peninjauan kembali, maka panitera berkewajiban untuk selambat-lambatnya dalam waktu 14 hari memberikan atau mengirimkan salinan permohonan tersebut kepada pihak lawan, dengan maksud :
1) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas alasan sebagaimana dimaksudkan Pasal 67 huruf a atau huruf b UU Mahkamah Agung agar pihak lawan mempunyai kesempatan untuk mengajukan jawabannya
2) Dalam hal permohonan peninjauan kembali didasarkan atas salah satu alasan yang tersebut dalam Pasal 67 huruf c sampai dengan huruf f UU Mahkamah Agung agar dapat diketahui oleh pihak lawan
e. Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya sebagaimana dimaksudkan huruf d bagian (1) diatas adalah 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan peninjauan kembali. Kemudian surat jawaban diserahkan atau dikirimkan kepada pengadilan negeri yang memutus perkara dan pada surat jawaban itu oleh panitera dibubuhi cap, hari serta tanggal diterimanya jawaban tersebut dan salinannya disampaikan atau dikirimkan kepada pihak pemohon untuk diketahui
f. Permohonan tersebut lengkap dengan berkas perkara beserta biayanya oleh panitera dikirimkan kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya dalam jangka waktu 30 hari g. Pencabutan permohonan peninjauan kembali diajukan kepada Ketua Mahkamah Agung
melalui Ketua Pengadilan Negeri yang ditandatangani oleh pemohon peninjauan kembali. Kemudian panitera mengirimkan pencabutan permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung disertai akta pencabutan yang ditandatangani oleh panitera
Secara keseluruhan, prosedur mengajukan upaya hukum pada perkara perdata
sebagaimana yang diterangkan di atas, telah memberikan aturan yang jelas mengenai tata
cara mengajukan upaya hukum. Prosedur tersebut sudah menyebutkan batas waktu yang
disediakan oleh hukum untuk dapat menggunakan upaya hukum tersebut. Dengan adanya
batas waktu dalam pengajuan upaya hukum maka pelaksanaan putusan hakim terdahulu
memiliki kepastian hukum. Apabila upaya hukum yang diajukan telah melewati waktu
putusan hakim terdahulu harus dilaksanakan karena telah memiliki kekuatan hukum
tetap.110
Prosedur upaya hukum pada perkara perdata tidak mengatur kerangka waktu dalam
proses pemeriksaan dan putusan hakim. Akibatnya, upaya hukum yang disediakan justru
akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang menggunakannya. Karena
hukum tidak menjamin kepastian waktu bagi pihak-pihak yang berperkara untuk
mengetahui waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan suatu keputusan yang berkekuatan
hukum tetap dan dapat dilaksanakan. Hal ini juga mengakibatkan proses beracara di
pengadilan perdata menjadi tidak sederhana dan membutuhkan biaya besar karena waktu
penyelesaian perkara tidak dapat dipastikan.
Dengan demikian prosedur upaya hukum pada perkara perdata kurang tepat untuk
diimplementasikan pada perkara-perkara kepailitan, meskipun hukum acara yang berlaku
dalam penyelesaian perkara kepailitan adalah hukum acara perdata. Perkara kepailitan
menuntut penyelesaian perkara yang cepat, adil dan efisien. Maka upaya hukum pada
perkara kepailitan membutuhkan prosedur khusus yang berbeda dengan prosedur upaya
hukum yang berlaku pada perkara perdata.
110
B. Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan
Gejolak moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 telah menimbulkan
kesulitan yang sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Salah satu dampaknya
adalah ketidakmampuan dunia usaha untuk memenuhi kewajibannya kepada kreditur
bahkan untuk mempertahankan kelangsungan usahanya. Setelah perjanjian kredit
ditandatangani atau surat utang dikeluarkan ternyata rupiah melemah drastis. Akibatnya
debitur mengalami keadaan yang tidak mampu diduga karena nilai tukar rupiah yang
sebelumnya bernilai Rp 2.300 per-dollar Amerika Serikat menjadi bernilai sampai Rp
15.000 per-dollar Amerika Serikat dalam tempo satu tahun.111
Dunia usaha memerlukan kerangka hukum yang cepat dan efektif untuk
menyelesaikan masalah utang-piutang yang sudah terjadi. Kebijaksanaan dalam
menyelesaikan masalah utang-piutang tersebut pada gilirannya diharapkan dapat
memberikan kepercayaan dan rasa aman kepada para investor baik nasional maupun asing
untuk menanamkan modal atau mengembangkan usaha di Indonesia. Maka peraturan
kepailitan yang sudah ada harus disesuaikan dengan keadaan tersebut.112
Peraturan kepailitan harus menyelesaikan masalah utang-piutang dengan cepat dan
efektif untuk mendukung pembangunan perekonomian nasional.113 Sehingga kegiatan
perekonomian nasional akan berjalan kembali dan dapat mengurangi tekanan sosial yang
111
Erman Rajagukguk, Latar Belakang Ruang Lingkup Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Dalam Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal. 180
112
Retnowulan Sutantio, Kesiapan Dunia Usaha Menghadapi Berlakunya Perpu No.1 Tahun 1998 Tentang Kepailitan, Dalam Buku Penyelesaian Utang-Piutang Melalui Pailit Atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Op. Cit., hal. 210
113
disebabkan hilangnya banyak lapangan kerja. Hal inilah yang menyebabkan lahirnya UUK
sebagai perbaikan dari FV yang dinilai sangat lama dalam menyelesaikan perkara
kepailitan.
Bagian dari perbaikan peraturan kepailitan tersebut salah satunya adalah bagian
upaya hukum. Upaya hukum juga termasuk mekanisme penyelesaian perkara kepailitan
sehingga perlu diperbaiki agar dapat mendukung penyelesaian perkara kepailitan secara
cepat dan efektif.
1. Bentuk-bentuk Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan
Pada awalnya, peraturan kepailitan di Indonesia diatur dalam FV yaitu peraturan
kepailitan warisan Belanda. Berdasarkan Pasal 8 FV, upaya hukum yang dapat digunakan
oleh debitur jika keberatan dengan keputusan hakim yaitu :
a. Jika debitur hadir dalam persidangan maka upaya hukum yang dapat digunakan adalah upaya hukum banding.
b. Jika debitur tidak hadir dalam persidangan maka upaya hukum yang dapat digunakan adalah perlawanan.
c. Dan terhadap putusan yang dijatuhkan setelah dilakukan upaya hukum perlawanan, jika debitur tetap tidak menerima keputusan hakim maka debitur dapat mengajukan banding
Berdasarkan Pasal 10 FV kreditur yang tidak mengajukan permohonan kepailitan
maupun pihak ketiga yang keberatan dengan keputusan hakim dapat mengajukan upaya
hukum perlawanan. Berdasarkan Pasal 11 FV apabila perlawanan dari kreditur yang tidak
mengajukan permohonan kepailitan maupun pihak ketiga ditolak oleh pengadilan negeri
Kreditur dan jaksa yang mengajukan permohonan kepailitan atas diri debitur juga
dapat mengajukan upaya hukum banding apabila pengajuan permohonan kepailitan ditolak
oleh pengadilan negeri atau apabila putusan kepailitan dibatalkan oleh pengadilan negeri
akibat adanya perlawanan dari debitur.114 Apabila pihak-pihak yang berkepentingan dalam
perkara kepailitan masih belum puas dengan keputusan yang telah dijatuhkan pengadilan
tinggi maka pihak yang keberatan dapat mengajukan upaya hukum kasasi.115
Seiring dengan perkembangan perekonomian Indonesia dan semakin banyak
perusahaan yang mengalami permasalahan finansial sehingga tidak bisa membayar
utangnya, akhirnya FV yang dianggap tidak mampu memenuhi tuntutan pelaku ekonomi
diganti dengan UUK. Dengan berlakunya UUK maka terjadi perubahan dalam bentuk
upaya hukum yang dapat digunakan jika ada pihak yang keberatan terhadap putusan hakim
dalam perkara kepailitan. Berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UUK, upaya hukum yang dapat
dilakukan terhadap putusan hakim pengadilan niaga adalah kasasi ke Mahkamah Agung.
Upaya hukum banding dihapuskan dan diganti dengan langsung melakukan upaya hukum
kasasi ke Mahkamah Agung. Pasal 11 UUK terhadap putusan atas permohonan pernyataan
pailit yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum
peninjauan kembali ke Mahkamah Agung.
UUK ternyata dinilai masih belum mampu menampung kebutuhan hukum
masyarakat. Maka pada tanggal 18 Oktober 2004 lahirlah UUKPKPU yang hingga saat ini
114
Zainal Asikin, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Pembayaran Di Indonesia, (Jakarta : Rajawali Pers, 2002), hal. 43
115
masih berlaku sebagai pembaharuan dari UUK.116 Upaya hukum yang diatur dalam
UUKPKU pada dasarnya sama dengan pengaturan yang ada dalam UUK yaitu upaya
hukum kasasi dan peninjauan kembali. Sehingga UUKPKPU tetap menghilangkan upaya
hukum banding.
Secara sederhana perubahan bentuk upaya hukum dalam undang-undang tentang
kepailitan dapat dilihat pada bagan berikut ini :
Gambar 2.
Upaya Hukum Dalam Undang-Undang Tentang Kepailitan
Sumber : Pasal 8, Pasal 10, Pasal 11 FV, Pasal 8 ayat (1), Pasal 11 UUK dan Pasal 11, Pasal 14 UUKPKPU
Pada hakikatnya, pengadilan tingkat banding adalah sama dengan pengadilan
tingkat pertama. Keduanya sama-sama sebagai pengadilan judex factie. Dengan demikian cenderung terjadi tumpang tindih antara pengadilan tingkat pertama dengan pengadilan
116
tingkat banding.117 Keberadaan pengadilan tingkat banding tidak memberi nilai tambah
bagi pencari keadilan dan tidak efektif untuk mendukung penyelesaian perkara kepailitan
yang cepat. Oleh karena itu penghapusan upaya hukum banding dalam penyelesaian
perkara kepailitan adalah keputusan yang tepat.
Perlindungan hukum bagi pihak yang bukan merupakan para pihak pada
persidangan tingkat pertama atau kreditur lain juga kembali diakomodir dalam UUKPKPU
yang mana sebelumnya pernah diatur dalam FV. Hanya saja perlindungan hukum yang
diberikan UUKPKPU lebih baik dari perlindungan hukum yang pernah diatur dalam FV.
Pada FV, perlindungan hukum yang diberikan kepada kreditur lain sama seperti
perlindungan hukum yang diberikan hukum acara perdata terhadap pihak ketiga yaitu
melalui upaya hukum perlawanan ke pengadilan tingkat pertama yang memutus perkara
kepailitan.
Pada UUKPKPU, kreditur lain meskipun bukan para pihak pada persidangan
tingkat pertama dapat langsung menggunakan upaya hukum kasasi atas keberatannya
terhadap putusan kepailitan debitur yang telah merugikan kepentinganya. Hal ini diatur
dalam Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang menyebutkan bahwa kreditur lain yang bukan
merupakan pihak dalam perkara kepailitan dapat mengajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit.
Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU yang telah memberikan hak kepada
kreditur lain untuk dapat mengajukan upaya hukum kasasi merupakan terobosan baru
dalam hukum acara. Dalam hukum acara peradilan apa pun yang ada di Indonesia, pihak
117
lain diluar para pihak yang berperkara pada persidangan tingkat pertama tidak bisa
langsung mengajukan upaya hukum kasasi.118 Pihak lain tersebut terlebih dahulu harus
melalui perlawanan di pengadilan tingkat pertama dan banding di tingkat pengadilan
tinggi. Namun dalam perkara kepailitan, kreditur lain yang bukan para pihak pada
pengadilan tingkat pertama dapat langsung mengajukan upaya hukum kasasi terhadap
putusan pengadilan tingkat pertama.
Terobosan tersebut merupakan perbaikan yang baik dari upaya hukum dalam
perkara kepailitan karena telah memperhatikan perlindungan hukum yang adil terhadap
kreditur lain yang bukan merupakan pihak pada persidangan tingkat pertama. Sesuai
dengan asas keadilan yang dianut dalam UUKPKPU maka ketentuan Pasal 11 ayat (3)
UUKPKPU telah mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang
mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing tanpa memperdulikan kepentingan
kreditur lainnya.119
Ketentuan Pasal 11 ayat (3) UUKPKPU juga memberikan jaminan kepastian hukum
terhadap penyelesaian perkara kepailitan yang cepat dan efisien. Upaya hukum kasasi yang
dapat langsung digunakan kreditur lain dalam melawan putusan pengadilan niaga telah
mempersingkat proses beracara dalam perkara kepailitan. Sehingga suatu putusan dalam
perkara kepailitan yang mendapat penolakan dari kreditur lain tidak perlu mengulang
pemeriksaan perkara ke pengadilan tingkat pertama yang membutuhkan waktu lebih lama
untuk mencapai keputusan yang berkekuatan hukum tetap.
118
Ibid., hal. 379 119
Perubahan yang terjadi dalam peraturan-peraturan tentang kepailitan telah berupaya
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Perubahan bentuk-bentuk upaya hukum yang
disediakan pada perkara kepailitan telah disesuaikan dengan kebutuhan penyelesaian
perkara kepailitan dalam masyarakat yang membutuhkan penyelesaian perkara yang cepat,
efektif dan adil. Sehingga perubahan-perubahan tersebut sejalan dengan teori keadilan yang
disampaikan oleh John Rawls.
John Rawls berpendapat bahwa ''keadilan harus dirasakan oleh semua orang. Oleh
karena itu hukum yang tidak memberikan keadilan bagi semua orang sebaiknya
diperbaiki''.120 Penghapusan upaya hukum banding dalam bentuk-bentuk upaya hukum
pada perkara kepailitan merupakan salah satu perbaikan untuk memberikan kepastian
hukum terhadap keadilan yang ingin dicapai oleh para pihak yang berperkara dalam perkara
kepailitan melalui penyelesaian perkara yang lebih cepat, efektif dan tidak berlarut-larut.
2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Dalam Perkara Kepailitan
Prosedur mengajukan upaya hukum adalah hal penting yang perlu diperhatikan oleh
pihak-pihak yang berkepentingan dalam perkara kepailitan. Sama halnya dengan prosedur
mengajukan upaya hukum pada perkara perdata, prosedur mengajukan upaya hukum pada
perkara kepailitan juga mengatur berbagai pedoman tata cara dan batas waktu dalam
mengajukan upaya hukum.
120
1. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Kasasi
Pasal 11 ayat (2) UUKPKPU menerangkan bahwa permohonan kasasi dapat
diajukan ke Mahkamah Agung paling lambat 8 hari terhitung sejak tanggal putusan
pengadilan niaga dengan melakukan pendaftaran melalui panitera pengadilan niaga yang
telah memutuskan permohonan pernyataan pailit. Sedangkan permohonan kasasi yang
diajukan melebihi jangka waktu yang telah ditentukan oleh undang-undang dapat berakibat
pada dibatalkannya putusan kasasi.121
Setelah semua berkas terkumpul maka dalam waktu paling lambat 14 hari terhitung
sejak tanggal permohonan kasasi didaftarkan, panitera wajib menyampaikan permohonan
kasasi, memori kasasi dan kontra memori kasasi kepada Mahkamah Agung melalui panitera
Mahkamah Agung.122
Pasal 13 UUKPKPU mengatur bahwa kerangka waktu pemeriksaan dan putusan
upaya hukum kasasi adalah sebagai berikut :
a. Dalam waktu 2 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima dan dipelajari oleh Mahkamah Agung maka ditetapkan hari sidang
b. Sidang pemeriksaan atas permohonan kasasi dilakukan paling lambat 20 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung
c. Putusan atas permohonan kasasi harus diucapkan paling lambat 60 hari setelah tanggal permohonan kasasi diterima Mahkamah Agung
d. Putusan atas permohonan kasasi harus memuat secara lengkap pertimbangan hukum yang mendasari putusan dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat antara anggota dengan ketua majelis maka perbedaan pendapat tersebut wajib dimuat dalam putusan kasasi
121
Rahayu Hartini, Op. Cit., hal. 109 122
2. Prosedur Mengajukan Upaya Hukum Peninjauan Kembali
Pasal 295 ayat (2) UUKPKPU menentukan bahwa permohonan peninjauan kembali
dapat diajukan, apabila :
a. Setelah perkara diputus ditemukan bukti baru yang bersifat menentukan yang pada
waktu perkara diperiksa di pengadilan sudah ada tetapi belum ditemukan, atau
b. Terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan hakim
Selanjutnya Pasal 296 UUKPKPU telah memberikan batasan waktu dalam
mengajukan upaya hukum kasasi berdasarkan alasan yang disebutkan pada Pasal 295 ayat
(2) UUKPKPU, yaitu :
a. Pengajuan permohonan peninjauan kembali karena ditemukan bukti baru dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 180 hari setelah tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap
b. Pengajuan permohonan peninjauan kembali karena terdapat kekeliruan yang nyata dalam putusan hakim dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak tanggal putusan yang dimohonkan peninjauan kembali memperoleh kekuatan hukum tetap c. Permohonan peninjauan kembali disampaikan kepada panitera pengadilan
Selanjutnya, Pasal 297 UUKPKPU menyebutkan bahwa :
a. Pemohon peninjauan kembali wajib menyampaikan kepada panitera pengadilan, salinan peninjauan kembali dan salinan bukti pendukung yang menjadi dasar pengajuan permohonan peninjauan kembali pada tanggal permohonan didaftarkan untuk disampaikan oleh panitera pengadilan kepada termohon peninjauan kembali dalam jangka waktu paling lambat 2 hari setelah tanggal permohonan didaftarkan
b. Pihak termohon dapat mengajukan jawaban terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan dalam jangka waktu 10 hari sejak tanggal permohonan didaftarkan
Mahkamah Agung dalam jangka waktu 30 hari setelah tanggal permohonan
diterima panitera Mahkamah Agung segera memeriksa dan memberikan putusan atas
permohonan peninjauan kembali yang diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk
umum.123 Dengan demikian, uraian prosedur mengajukan upaya hukum dalam perkara
kepailitan tersebut di atas menjelaskan bahwa kerangka waktu upaya hukum pada perkara
kepailitan lebih singkat dibandingkan dengan kerangka waktu pada upaya hukum perkara
perdata. Secara sederhana perbedaan kerangka waktu dapat dilihat pada gambar tabel di
bawah ini :
123
Gambar 3.
Kerangka WaktuUpaya Hukum Pada Perkara Perdata Dan Perkara Kepailitan
PROSEDUR
* setelah tanggal permohonan kasasi diterima oleh Mahkamah Agung
Kekurangan dari kerangka waktu yang telah diatur dalam UUKPKPU adalah tidak
diaturnya sanksi hukum terhadap pelanggaran kerangka waktu. Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak124 yang menjabat sebagai Hakim Utama Muda pada Pengadilan
Negeri Medan mengungkapkan bahwa pada prakteknya kerangka waktu yang telah diatur
dengan sangat baik dalam UUKPKPU tersebut tidak berjalan sesuai aturan yang berlaku
karena tidak adanya sanksi yang tegas.
Hakim Johny Jonggi Hamonangan Simanjuntak menyebutkan salah satu contohnya
adalah keterlambatan pengiriman salinan putusan upaya hukum kasasi atau peninjauan
kembali yang membatalkan putusan pailit pada pengadilan niaga. Seharusnya salinan
putusan pada tingkat upaya hukum kasasi dikirimkan oleh Panitera Mahkamah Agung
kepada Panitera Pengadilan Niaga paling lambat tiga hari setelah tanggal putusan atas
permohonan kasasi diucapkan. Namun salinan putusan tersebut tiba di pengadilan niaga
setelah hampir satu tahun sejak tanggal putusan atas permohonan kasasi diucapkan.125
Pasal 16 ayat (1) UUKPKU menyebutkan bahwa putusan pada perkara kepailitan
bersifat dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun terhadap putusan tersebut diajukan
upaya hukum kasasi atau peninjauan kembali. Sehingga kurator sudah dapat bertugas untuk
mengurus dan membereskan harta pailit sejak tanggal putusan pailit diucapkan oleh
majelis hakim pengadilan niaga. Apabila pada tingkat kasasi atau peninjauan kembali
ternyata putusan kepailitan dibatalkan, maka segala tindakan kurator yang dilakukan
124
Wawancara dilakukan pada tanggal 9 Mei 2016 di Pengadilan Negeri Medan 125
sebelum diketahuinya putusan tingkat kasasi ataupun peninjauan kembali, tetap sah dan
mengikat bagi debitur.126
Pada dasarnya putusan kepailitan bersifat dapat dijalankan terlebih dahulu bertujuan
untuk menghindari tindakan debitur pailit melakukan perbuatan melawan hukum atas harta
kekayaan yang sudah menjadi boedel pailit. Debitur pailit dapat saja melakukan kecurangan untuk mengurangi jumlah boedel pailit dengan melarikan harta kekayaannya atau mengalihkan sebagian dari hartanya dengan cara jual beli.127
Ketentuan Pasal 16 ayat (1) dan ayat (2) UUKPKPU tersebut jika dikaitkan dengan
tidak adanya sanksi hukum yang tegas atas pelanggaran kerangka waktu dalam prosedur
upaya hukum maka dapat menimbulkan kerugian bagi pihak-pihak yang terlibat dalam
perkara kepailitan. Salah satu pihak yang akan merasakan kerugian tersebut adalah kreditur
lain yang telah memenangkan upaya hukum yang diajukannya. Upaya hukum yang
dilakukan kreditur lain akan sia-sia apabila kurator sudah terlanjur membereskan harta
kekayaan debitur, karena alasan salinan putusan pembatalan kepailitan belum diterima oleh
kurator akibat pengiriman salinan putusan pembatalan kepailitan tidak sesuai dengan
ketentuan waktu yang berlaku.
Kerugian juga akan dialami oleh debitur yang berkedudukan sebagai badan hukum
perseroan terbatas. Ketidakpatuhan terhadap kerangka waktu dalam penyelesaian perkara
kepailitan yang melibatkan perseroan terbatas akan mempengaruhi perdagangan sahamnya
di bursa efek. Saham perseroan terbatas yang dipailitkan tersebut sampai saat jatuhnya
126
Pasal 16 ayat (2) UUKPKPU 127
putusan masih diperdagangkan di kedua bursa efek yaitu Bursa Efek Jakarta dan Bursa
Efek Surabaya.128
Sanksi hukum yang tidak diatur dengan tegas terhadap pelanggaran kerangka waktu
dalam upaya hukum perkara kepailitan akhirnya menimbulkan ketidapastian hukum dalam
undang-undang itu sendiri.129 Padahal kepastian hukum hanya dapat terwujud apabila
aturan-aturan hukumnya jelas dan tegas. Apabila aturan-aturan hukumnya jelas dan tegas
maka pelaksana dari aturan tersebut dapat menerapkannya secara konsisten serta patuh
kepada aturan tersebut.130
Sanksi hukum yang jelas atas pelanggaran kerangka waktu diperlukan untuk
mengontrol secara tegas perilaku pejabat penegak hukum. Hal ini bertujuan agar fungsi dan
peranan peraturan kepailitan dapat dilaksanakan secara optimal. Hukum harus dipandang
sebagai norma dan juga sebagai sarana untuk merubah sikap dan perilaku para pejabat yang
berada dalam lingkungan peradilan.131 Dengan demikian peraturan kepailitan akan dapat
menjamin kepastian hukum terhadap penyelesaian perkara yang cepat, efisien dan adil.
128
Andriani Nurdin, Op. Cit., hal. 179 129
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, Op. Cit., hal. 71 130
Sulaeman Jajuli, Loc. Cit. 131