• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Dukungan Spiritualitas dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien yang Menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Dukungan Spiritualitas dengan Tingkat Kecemasan Pada Pasien yang Menjalani Kemoterapi di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Pirngadi Medan"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dukungan Spiritualitas

2.1.1 Spiritualitas

2.1.1.1 Definisi Spiritualitas

Spiritualitas berasal dari bahasa latin spiritus, yang berarti bernapas atau

angin (McEwan, 2005; Potter dan Perry, 2010). Menurut Dossey, et al. (2000,

dalam Young, 2008) spiritualitas merupakan hakikat dari siapa dan bagaimana

manusia hidup di dunia dan seperti nafas, spiritualitas amat penting bagi

keberadaan manusia. Spiritualitas dapat membuat seseorang merasa dicintai atau

dihargai, memiliki kepercayaan dan harapan, mencari arti dalam hidup, dan

memelihara hubungannya dengan orang lain (Potter dan Perry, 2010). Spiritualitas

memberikan individu energi yang dibutuhkan untuk menemukan diri mereka,

untuk beradaptasi dengan situasi yang sulit, dan untuk memelihara kesehatan.

Energi yang berasal dari spiritualitas membantu klien merasa sehat dan membantu

dalam membuat pilihan sepanjang kehidupan (Chiu et al., 2004; Potter & Perry,

2010).

Sementara itu Potter & Perry (2010) menyatakan bahwa spiritualitas

merupakan faktor penting yang membantu individu mencapai keseimbangan yang

diperlukan untuk memelihara kesehatan dan kesejahteraan, serta untuk berdaptasi

(2)

2.1.1.2 Fungsi Spiritualitas

Spiritualitas mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan hidup pada

individu. Spiritualitas berperan sebagai sumber dukungan dan kekuatan bagi

individu. Pada saat stress individu akan mencari dukungan dari keyakinan

agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan untuk menerima keadaan sakit yang

dialami, khususnya jika penyakit tersebut memerlukan proses penyembuhan yang

lama dan hasilnya belum pasti. Melaksanakan ibadah, berdoa, membaca kitab suci

dan praktek keagamaan lainnya sering membantu memenuhi kebutuhan

spiritualitas dan merupakan suatu perlindungan bagi individu (Taylor, et al, 1997,

dalamYoung, 2007).

National Institute for Healthcare Research telah memeriksa studi yang

membahas pengaruh spiritualitas terhadap kesehatan (Larso, dkk., 1998, dalam

Young, 2007). Studi-studi ini memusatkan perhatian pada dampak spiritualitas

terhadap kemungkinan kematian karena kondisi penyakit parah seperti penyakit

pernafasan, kanker, dan jantung. Dari studi-studi tersebut memberi bukti bahwa

mereka yang menghayati hidup spiritual secara mendalam hidup lebih lama.

Menurut Skokan dan Bader (2000 dalam Young, 2007) pasien yang memiliki

penyakit mendapatkan tiga manfaat dari spiritualitas, yaitu harapan, kekuatan, dan

dukungan emosional. Dampaknya adalah orang yang menghayati spiritualitas

dapat mengalami rasa puas dalam hidup walau mereka menghadapi penyakit.

Sementara itu Koenig (1999 dalam Young, 2007) menyatakan manfaat

dari spiritualitas yaitu suka cita rohani. Suka cita rohani merupakan pengalaman

(3)

persahabatan yang penuh kasih hingga pengalaman transedental. Suka cita ini

mendatangkan pengaruh kuat pada seseorang untuk melibatkan diri dalam

kegiatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup. Dalam hal ini dapat

disimpulkan bahwa spiritualitas berperan penting dalam penyembuhan (Young,

2007).

2.1.1.3 Dimensi Spiritualitas

Dalam perspektif perawatan kesehatan holistik, jiwa, tubuh, dan roh/spirit

saling berhubungan dan berinteraksi dengan cara sangat dinamis di dalam seluruh

“pribadi manusia”. Maka sangatlah sulit dan terkesan dibuat-buat apabila kita

mencoba memisahkan ketiga dimensi ini. Akan tetapi, hal tersebut sangat berguna

bagi penyedia perawatan kesehatan untuk membedakan ketiganya agar mereka

dapat menilai dan memperlakukan pasien dengan tepat. Salah satu cara

membedakan ketiga dimensi tersebut adalah sebagai berikut (Mansen, 1993;

Taylor, 2002, dalamYoung, 2007) :

1. Dimensi psikologis (jiwa) mencakup kesadaran diri (self-consciousness)

dan identitas diri (self identity). Inilah aspek kepribadian yang

berhubungan dengan masalah interaksi antarmanusia (berkaitan dengan

emosi seperti rasa duka cita, rasa kehilangan, dan rasa bersalah) dan

dialami jauh di lubuk jiwa.

2. Dimensi fisik (tubuh) merupakan kesadaran akan alam (

wold-consciousness). Aspek inilah yang memungkinkan seseorang merasa,

(4)

3. Dimensi rohani (spirit) dideskripsikan sebagai daya yang menyatukan

dalam diri manusia, mengintegrasikan, dan mengatasi dimensi lainnya.

Dimensi ini juga diberikan sebagai kesadaran akan Tuhan (God

consciousness) atau berkaitan dengan kedewaan atau nilai-nilai mutlak.

Dimensi ini menyangkut makna hidup, pemahaman manusia akan iman,

dan hubungan intim pribadi manusia dengan Tuhan.

Sementara itu menurut Stoll (1989, dalam Hamid, 2008) spiritualitas

diuraikan menjadi dua konsep dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi

horizontal. Dimensi vertikal adalah hubungan dengan Tuhan atau Yang Maha

Tinggi yang menuntun kehidupan seseorang. Sedangkan dimensi horizontal

adalah hubungan seseorang dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan

lingkungan. Dan kedua dimensi tersebut saling berhubungan satu sama lain.

2.1.1.4 Karakteristik Spiritualitas

Menurut Hamid (2008) dalam upaya memudahkan pemberian asuhan

keperawatan dengan memperhatikan kebutuhan spiritual penerima pelayanan

keperawatan, perawat mutlak perlu memiliki kemampuan mengidentifikasi atau

mengenal karakteristik spiritualitas yang disajikan sebagai berikut.

1. Hubungan dengan diri sendiri. Kekuatan dalam atau/dan self-reliance:

a. Pengetahuan diri (siapa dirinya, apa yang dapat dilakukannya);

b. Sikap (percaya pada diri sendiri, percaya pada kehidupan masa

depan, ketenangan pikiran, harmoni/keselarasan dengan diri

(5)

2. Hubungan dengan alam harmonis:

a. Mengetahui tentang tanaman, pohon, margasatwa, dan iklim;

b. Berkomunikasi dengan alam (bertanam dan berjalan kaki),

mengabadikan, dan melindungi alam.

3. Hubungan dengan orang lain harmonis/suportif:

a. Berbagi waktu, pengetahuan, dan sumber secara timbal balik;

b. Mengasuh anak, orangtua, dan orang sakit;

c. Meyakini kehidupan dan kematian (mengunjungi, melayat, dan

lain-lain).

Bila tidak harmonis akan terjadi:

a. Konflik dengan orang lain;

b. Resolusi yang menimbulkan ketidakharmonisan dan friksi.

4. Hubungan dengan ketuhanan. Agamis atau tidak agama:

a. Sembahyang/berdoa/meditasi;

b. Perlengkapan keagamaan;

c. Bersatu dengan alam.

Secara ringkas, dapat dinyatakan bahwa seseorang terpenuhi kebutuhan

spiritualnya jika mampu:

1. Merumuskan arti personal yang positif tentang tujuan keberadaannya

di dunia/kehidupan.

2. Mengembangkan arti penderitaan dan meyakini hikmah dari suatu

(6)

3. Menjalin hubungan positif dan dinamis melalui keyakinan, rasa

percaya, dan rasa cinta;

4. Membina integritas personal dan merasa diri berharga;

5. Merasakan kehidupan yang terarah terlihat melalui harapan;

6. Mengembangkan hubungan antar-manusia yang positif.

2.1.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Spiritualitas

Menurut Taylor, Lillis & Le Mone (1997), dan Craven & Himle (1996),

dikutip oleh Hamid (2008:7), faktor penting yang dapat mempengaruhi

spiritualitas seseorang adalah sebagai berikut :

1. Tahap Perkembangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap anak-anak

dengan empat agama yang berbeda ditemukan bahwa mereka

mempunyai persepsi tentang Tuhan dan bentuk sembahyang yang

berbeda menurut usia, seks, agama, dan kepribadian anak. tema utama

yang diuraikan oleh semua anak tentang Tuhan, mencakup hal-hal

berikut ini :

a. Gambaran tentang Tuhan yang bekerja melalui kedekatan dengan

manusia dan saling keterikatan dengan kehidupan.

b. Mempercayai bahwa Tuhan terlibat dalam perubahan dan

pertumbuhan diri serta transformasi yang membuat dunia tetap segar.

c. Meyakini Tuhan mempunyai kekuatan dan selanjutnya merasa takut

menghadapi kekuasaan Tuhan.

(7)

2. Keluarga. Peran orangtua sangat menentukan perkembangan

spiritualitas anak. yang penting bukan apa yang diajarkan oleh orangtua

kepada anaknya tentang Tuhan, tetapi apa yang anak pelajari mengenai

Tuhan, kehidupan, dan diri sendiri dari perilaku orangtua mereka. Oleh

karena keluarga merupakan lingkungan terdekat dan pengalaman

pertama anak dalam mempersepsikan kehidupan kehidupan di dunia,

pandangan anak pada umumnya diwarnai oleh pengalaman mereka

dalam berhubungan dengan orangtua dan saudaranya.

3. Budaya. Setiap budaya memiliki bentuk pemenuhan spiritualitas yang

berbeda-beda. Budaya dan spiritualitas menjadi dasar seseorang dalam

melakukan sesuatu dan menjalani cobaan atau masalah dalam hidup

dengan seimbang.

4. Pengalaman hidup sebelumnya. Pengalaman hidup baik positif maupun

negatif mempengaruhi spiritualitas seseorang. Pengalaman hidup

mempengaruhi seseorang dalam mengartikan secara spiritual terhadap

kejadian yang dialaminya.

5. Krisis dan perubahan. Krisis dan perubahan dapat menguatkan

kedalaman spiritual seseorang. Krisis sering dialami ketika seseorang

menghadapi penyakit, penderitaan, proses penuaan, kehilangan, dan

bahkan kematian, khususnya pada klien dengan penyakit terminal atau

dengan prognosis yang buruk. Krisis juga dapat berhubungan dengan

perubahan patofisiologi, terapi/pengobatan yang diperlukan, atau situasi

(8)

kematian, keyakinan spiritual dan keinginan untuk beribadah lebih

tinggi dibandingkan dengan pasien yang berpenyakit bukan terminal.

6. Terpisah dari ikatan spiritual. Menderita sakit terutama yang bersifat

akut, sering kali membuat individu merasa terisolasi dan kehilangan

kebebasan pribadi dan sistem dukungan sosial. Terpisahnya klien dari

ikatan spiritual dapat bersiko terjadinya perubahan fungsi spiritual.

7. Isu moral terkait dengan terapi. Pada kebanyakan agama, proses

penyembuhan dianggap sebagai cara Tuhan untuk menunjukkan

kebesarannya walaupun ada juga yang menolak intervensi pengobatan.

Prosedur medik sering kali dapat dipengaruhi oleh pengajaran agama

sehingga tidak jarang sering terjadi konflik antara pemilihan jenis terapi

dengan keyakinan agama yang dimiliki oleh klien.

8. Asuhan keperawatan yang kurang sesuai. Ketika memberikan asuhan

keperawatan kepada klien, perawat diharapkan peka terhadap

kebutuhan spiritual klien, tetapi dengan berbagai alasan ada

kemungkinan perawat justru menghindar untuk memberi asuhan

spiritual. Alasan tersebut, antara lain karena perawat merasa kurang

nyaman dengan kehidupan spiritualnya, kurang menganggap penting

kebutuhan spiritual, tidak mendapatkan pendidikan tentang aspek

spiritual dalam keperawatan, atau merasa bahwa pemenuhan kebutuhan

spiritual klien bukan menjadi tugasnya, tetapi tanggung jawab pemuka

(9)

Lima isu nilai yang mungkin timbul antara perawat dan klien adalah

sebagai berikut.

a. Pluralisme: perawat dan klien menganut kepercayaan dan iman

dengan spektrum yang luas.

b. Fear: berhubungan dengan ketidakmampuan mengatasi situasi,

melanggar privasi klien, atau merasa tidak pasti dengan sistem

kepercayaan dan nilai diri sendiri.

c. Kesadaran tentang pertanyaan spiritual: apa yang memberi arti dalam

kehidupan, tujuan, harapan, dan merasakan cinta dalam kehidupan

pribadi perawat.

d. Bingung: bingung terjadi karena adanya perbedaan antara agama dan

konsep spiritual.

2.1.2 Dukungan Spiritualitas

Pada saat mengalami stress, takut dan cemas individu akan berusaha

mencari dukungan dari keyakinan agamanya. Dukungan ini sangat diperlukan

untuk dapat menerima keadaan sakit yang dialami, khususnya jika penyakit

tersebut memerlukan proses penyembuhan yang lama dengan hasil yang belum

pasti (Hamid, 2008). Dukungan spiritual berarti memberikan spirit, dalam hal ini

diberikan melalui suatu sistem yang berfungsi sebagai penghubung klien dengan

perawat (Bambang, 2000).

Menurut Yahnke (2008) dukungan spiritual adalah suatu sistem yang

(10)

dipercaya bersumber dari Tuhan yang dapat menyembuhkan penyakit dengan

menyelaraskan fungsi dari tubuh, pikiran dan jiwa manusia. Sementara itu,

definisi dari spiritualitas adalah daya semangat, prinsip hidup atau hakikat

ekstensi manusia, yang meresapi hidup dan diungkapkan serta dialami dalam

tali-temali hubungan antara diri sendiri, sesama, alam, dan Tuhan atau sumber hidup

(Miller, 1995, dalam Young, 2007).

Dukungan spiritualitas dapat diberikan oleh banyak sumber. Menurut

Taylor (2002 dalam Young, 2007) dukungan spiritualitas terbagi menjadi dua

bagian yaitu : dukungan spiritualitas umum (generalis) yang terdiri dari perawat,

dokter, dan pekerja sosial dan dukungan spiritualitas spesialis yang terdiri dari

pemuka agama, guru spiritual, keluarga dan sahabat.

2.1.2.1 Dukungan Spiritualitas Umum

Para profesional perawatan kesehatan yang menyelenggarakan pelbagai

jenis perawatan, termasuk perawatan spiritual digambarkan sebagai perawat

spiritual umum atau sumber dukungan spiritual umum (Young, 2008).

a. Perawat. Secara historis, profesi keperawatan memiliki hubungan dan

keterkaitan erat dengan tradisi keagamaan dan spiritual. Dalam konteks

ini, keperawatan merupakan pengungkapan cinta Tuhan melalui

perhatian, bela rasa, dan kasih kepada yang sakit dan miskin (McSherry

dan Draper, 1998, dalam Young, 2008). Keperawatan memandang

pasien sebagai manusia “utuh” dan merawatnya secara holistik.

Nightingale merupakan pendukung perawatan holistik dan tidak pernah

(11)

menyembuhkan dan daya itu lebih kuat dari dirinya sendiri (Dossey,

2000, dalam Young, 2008). Banyak perawat tidak memiliki pendidikan

formal dalam keterampilan perawatan spiritual kecuali informasi dasar

tertentu yang diperoleh dalam pelatihan. Akan tetapi, makin lama

makin banyak perawat yang memperoleh pendidikan di bidang ini

melalui pelbagai macam program, baik formal atau informal, pelatihan

keahlian, atau program sarjana dalam konseling atau pelayanan

pastoral. Perawat yang terlatih mampu menyelenggarakan perawatan

spiritual dan secara tepat mampu merujuk pasien pada penyelenggara

perawatan spiritual yang lain.

b. Dokter. Hubungan dokter-pasien, seperti para penyelenggara perawatan

lainnya dengan pasien, pada hakikatnya merupakan hubungan spiritual

(Boudreaux, dkk., 2002, dalam Young, 2008). Banyak pasien

mengharapkan para dokter mereka membicarakan hal-hal spiritual

bersama mereka, berdoa bersama mereka, atau menggali daya spiritual

selama masa krisis (Larson daan Koenig, 2000; Miller, 1999, dalam

Young, 2008). Akan tetapi kebanyakan para dokter jarang

mendiskusikan masalah spiritual dengan pasien mereka, walau

mayoritas pasien menyatakan bahwa mereka ingin mendiskusikan

masalah spiritual bersama dokter mereka (Larson dan Koenig, 2000,

dalam Young, 2007). Beberapa penyelenggara perawatan kesehatan

merekomendasikan bahwa dokter tidak menangani kebutuhan spiritual

(12)

bidang ini dan sepenuhnya tidak memahami relasi antara agama

spiritualitas dan kesehatan; terlebih mereka mungkin mengganggap hal

tersebut adalah sebagai suatu pemaksaan (Koenig, 2001, dalam Young,

2008). Akan tetapi sekarang semakin banyak dokter yang mendapatkan

pelatihan di bidang ini, diasumsikan mereka menjadi lebih aktif dalam

proses perawatan spiritual.

c. Pekerja Sosial. Pekerja sosial berperan penting dalam menjembatani

gap perawatan fisik dan psikososial dari pasien dan keluarga. Pekerja

social dengan team lain, bekerja sama dalam mengidentifikasi

pengalaman akan penderitaan yang dialami pasien dan keluarga, dan

mengembangkan strategi untuk mengatasinya (Kuebler, 2002, dalam

Young, 2008). Pekerja sosial dapat membantu dalam proses perawatan

spiritual melalui pelbagai cara, termasuk membantu keluarga dalam

menyelenggarakan sistem pendukung perawatan dan membimbing

pasien dan keluarganya dalam menghadapi masalah emosional,

psikologis, dan perasaan kehilangan karena kematian.

2.1.2.2 Dukungan Spiritualitas Khusus

Ketika penanganan khusus dibutuhkan, perawat spiritual umum sering

merujuk pasien pada perawat spesialis spiritual yang memperoleh pelatihan

khusus dan pendidikan formal di bidang perawatan spiritual, konseling pastoral,

(13)

a. Pembimbing Rohani Rumah Sakit. Pembimbing rohani merupakan

profesional yang mewakili “perpaduan teologi dan psikologi” (Taylor,

2002, dalam Young, 2008). Pembimbing rohani mampu

menyelenggarakan perawatan spiritual dalam pelbagai jenis latar

perawatan kesehatan, seperti :

1. Perawatan penyakit berat/akut

2. Perawatan jangka panjang

3. Perawatan dengan alat bantu hidup

4. Rehabilitasi

5. Kesehatan mental

6. Unit rawat jalan

7. Fasilitas perawatan kecanduan

8. Perawatan menjelang maut

Pembimbing rohani profesional dapat memperoleh sertifikat dari

beberapa sumber. Mereka harus memiliki gelar sarjana dalam bidang

teologi atau pelayanan pastoral, menjadi anggota tarekat religius dan

didukung oleh jemaat yang mereka layani. Selanjutnya, mereka

dinyatakan lulus setelah menempuh beberapa mata kuliah tentang

pendidikan pastoral klinis. Pelatihan tambahan selama satu tahun atau

melayani di suatu tempat sebagai pembimbing rohani harus ditempuh

untuk memperoleh sertifikat resmi (Association for Professional

(14)

Dalam Spiritual Care: Nursing Theory, Research, and Practice, Taylor

(2002, dalam Young, 2008) memberikan empat peran besar yang bisa

dilakukan oleh pembimbing rohani:

1. Melakukan penilaian spiritual

2. Menanggapi keprihatinan pasien dan membantu mereka dengan cara

tepat dalam menangani masalah keagamaan.

3. Mendukung staf professional.

4. Berfungsi sebagai perantara dengan komunitas keagamaan

(misalnya, perawat berkonsultasi dengan pembimbing rohani untuk

banyak alasan, termasuk mendukung keluarga pada masa kematian,

darurat, atau sulit mengambil keputusan menyelenggarakan upacara

agama di samping tempat tidur; membantu dengan penghentian alat

bantu hidup; atau membantu pasien yang cemas atau takut).

b. Juru Rawat Paroki (Komunitas). Perawat paroki merupakan perawat

yang berpengalaman dan terdaftar dengan pelatihan khusus di bidang

kesehatan holistik dan perawatan rohani. Ia memiliki “kematangan

rohani dan berkomitmen pada pelayanan penyembuhan” (Tuck, dkk.,

dalam Young, 2008). Sementara itu, latar belakang pendidikan mereka

beragam, kebanyakan perawat komunitas mendapatkan pelatihan dalam

perawatan spiritual; filsafat, penilaian kesehatan, dan masalah

psikososial; sumber daya komunitas; dan masalah profesional, hukum,

dan etis yang khusus untuk peran mereka (Ebersole, 2000, dalam

(15)

keagamaan, perawat komunitas sangat mudah mengenali populasi

berdasarkan pada “orientasi nilai mereka, arah spiritualitas, dan asosiasi

komunitas dan budaya (Hitchcock, Schubert, dan Thomas, 1999, dalam

Young, 2007). Perawat komunitas menyelenggarakan perawatan

holistik bagi anggota jemaat tertentu dan mereka mengenal dekat para

anggota jemaat itu. Perawat komunitas bekerja sama dengan para

rohaniawan dan stafnya dan mempromosikan kesehatan dan

pencegahan penyakit. Para perawat itu dapat bertindak sebagai :

1. Pengintegrasian iman dan kesehatan

2. Pendidik kesehatan

3. Teladan

4. Konselor kesehatan pribadi

5. Koordinator tenaga sukarela

6. Penasihat dan fasilitator

7. Pendukung pengembang kelompok

8. Tujuan rujukan atau penghubung komunitas

9. Penerjemah relasi antara iman dan kesehatan (Bolamd, 1998; Louis

dan Alpert, 2000; Tuck, et al., 2001, dalam Young, 2007).

c. Guru Spiritual. Pribadi-pribadi ini merupakan “Pembimbing rohani”

yang membantu sesama berkembang secara spiritual mereka dapat

berasal dari pelbagai denominasi gereja atau aliran agama/iman.

Mereka sering menyelenggarakan pertemuan dengan pasien untuk

(16)

spiritual mungkin mendapatkan pelatihan khusus atau menjadi

rohaniawan professional. Mereka dapat mendukung dan menghibur atau

bahkan, menantang seseorang untuk meningkatkan kesadaran dan

disiplin spiritual (Taylor, 2002, dalam Young, 2008).

d. Keluarga dan Sahabat. Mereka mungkin mendapat ataupun tidak

mendapatkan pelatihan spiritual, tetapi pasien sering menyebut mereka

ketika pasien itu memerlukan dukungan spiritual. Keluarga dan sahabat

berfungsi sebagai rekan yang mendukung dengan bantuan doa,

membacakan buku atau menumpahkan segenap empati. Karena teman

dan keluarga mempunyai ikatan sejarah hidup dengan pasien, mereka

mampu memberi dukungan tertentu yang tak mampu disediakan oleh

orang lain (Taylor, 2002, dalam Young, 2008).

Pemberi dukungan spiritualitas tidak hanya melibatkan melakukan

kegiatan spiritual, akan tetapi juga menghayati hidup rohani (Dossey et al., 2000,

dalam Young, 2008). Menghayati hidup rohani berarti membangun sifat-sifat

pribadi yang mempengaruhi kemampuan untuk menjadi sarana penyembuhan.

Menurut Taylor (2002, dalam Young, 2008) sifat-sifat ini mencakup:

a Menghargai penyembuhan diri sendiri sebagai proses terus menerus

b Terbuka pada penemuan jati diri

c Menjernihkan tujuan hidup

d Menyadari wilayah batin untuk mengembangkan pribadi sehingga jati

(17)

e Merawat diri sendiri dan mampu menjadi teladan akan perawatan diri

sendiri bagi pasien

f Berpandangan bahwa waktu bersama pasien merupakan kesempatan

untuk berbagi dan melayani.

Dukungan spiritualitas yang diberikan dalam suasana kasih, bela rasa,

hangat, dan murah hati pada pasien memungkinkan mereka merasa mendapatkan

tempat yang aman “menyerahkan diri, membangun kedekatan pribadi, dan

menjadi pribadi seperti yang mereka kehendaki (Leetun, 1996, dalam Young,

2008).

Dukungan spiritual merupakan pemberian bantuan pada pasien untuk

melaksanakan otonomi (McSherry dan Cash, 2000, dalam Young, 2008).

Otonomi dalam kaitan dengan dukungan spiritual berarti membantu pasien sesuai

dengan kebutuhan spiritual mereka tanpa mempengaruhi apa yang diyakini oleh

pasien. Otonomi berarti “mengatur diri sendiri” dan, jika dikaitkan dengan

perawatan kesehatan berarti bahwa tiap orang memiliki kemerdekaan untuk

menentukan hidup mereka sendiri (Burkhardt dan Nathaniel, 1998; Purtillo, 1999,

dalam Young, 2008). Penyelenggara perawatan spiritual yang merupakan

pendukung pasien harus mampu mengesampingkan agenda pribadinya dan

membantu pasien mencari makna hidup selama masa penderitaan, frustasi, dan

(18)

2.2 Kecemasan

2.2.1 Definisi Kecemasan

Ansietas atau kecemasan merupakan respon emosional dan penilaian

individu yang subjektif yang dipengaruhi oleh alam bawah sadar dan belum

diketahui secara khusus faktor penyebabnya (Ermawati, dkk., 2009, dalam Pieter,

dkk., 2011). Menurut Stuart dan Laraia (1998, dalam Pieter, dkk., 2011)

menyatakan bahwa ansietas adalah pengalaman emosi yang subjektif tanpa ada

objek yang spesifik sehingga orang merasakan suatu perasaan was-was (khawatir)

seolah-olah ada sesuatu yang buruk akan terjadi dan pada umumnya disertai

gejala-gejala otonomik yang berlangsung beberapa waktu. Safaria dan Saputra

(2012) mengatakan bahwa segala bentuk situasi yang mengancam kesejahteraan

organisme dapat menimbulkan kecemasan, adanya konflik, ancaman fisik,

ancaman terhadap harga diri, serta perasaan tertekan untuk melakukan sesuatu di

luar kemampuan juga menimbulkan kecemasan.

2.2.2 Proses Terjadinya Kecemasan

Secara tidak disadari timbulnya kecemasan yang dialami oleh individu

merupakan suatu keadaan yang selalu berkaitan dengan pikiran (Safaria dan

Saputra, 2012). Burns (1998, dalam Safaria dan Saputa, 2012) mengemukakan

emosi ataupun rasa cemas yang dirasakan oleh individu disebabkan oleh adanya

dialog internal dalam pikiran individu yang mengalami kecemasan ataupun

(19)

Saputra, 2012) menyatakan proses terjadinya kecemasan melalui model kognitif

kecemasan, yang dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 2.1 Proses terjadinya kecemasan

(adaptasi Blackburn dan Davidson, 1994)

Menurut Blackburn dan Davidson (1994, dalam Safaria dan Saputra,

2012), secara teoritis terjadinya kecemasan diawali oleh pertemuan individu

dengan stimulus yang berupa situasi yang berpengaruh dalam membentuk

kecemasan (situasi mengancam), yang secara langsung atau tidak langsung hasil

pengamatan/pengalaman tersebut diolah melalui proses kognitif dengan

menggunakan skemata (pengetahuan yang telah dimiliki individu terhadap situasi

tersebut yang sebenarnya mengancam/tidak mengancam dan pengetahuan tentang

kemampuan untuk mengendalikan dirinya dan situasi tersebut). Setiap

pengetahuan tersebut dapat terbentuk dari keyakinan pendapat orang lain, maupun

pendapat individu sendiri serta dunia luar. Pengetahuan (skemata) tersebut,

tentunya akan mempengaruhi individu untuk dapat membuat penilaian (hasil Stimulus Perantara (skemata) Respons

(situasi yang (pengalaman

Menimbulkan kecemasan

kecemasan) Proses Kognitif subjektif,

(20)

kognitif) sehingga respons yang akan ditimbulkan tergantung seberapa baik

penilaian individu untuk mengenali situasi tersebut, dan tergantung seberapa baik

individu tersebut dapat mengendalikan dirinya. Apabila pengetahuan (skemata)

subjek terhadap situasi yang mengancam tersebut tidak memadai tentunya

individu tersebut akan mengalami kecemasan (Safaria dan Saputra, 2012).

Praktisnya, terjadinya kecemasan melalui proses yang telah disebutkan

adalah tentang bagaimana individu dapat mengevaluasi tindakan apa saja yang

harus dilakukan apabila individu tersebut merasakan kecemasan. Selain harus

memahami tentang keadaan apa saja yang menyebabkan individu tersebut

merasakan cemas, tentunya individu tersebut harus mampu mengendalikan diri

untuk dapat mengelola emosi dan mengelola permasalahan yang menyebabkan

kecemasan tersebut (Safaria dan Saputra, 2012).

2.2.3 Tingkatan Kecemasan

Menurut Pieter, dkk (2011) tingkatan kecemasan terbagi atas tiga bagian

yaitu cemas ringan, cemas sedang, dan cemas berat. Untuk lebih jelas, tingkatan

kecemasan dapat dijabarkan sebagai berikut.

a. Cemas Ringan

Pada cemas ringan tingkat lapangan persepsi melebar dan orang akan

bersikap hati-hati dan waspada. Orang yang mengalami cemas ringan

akan terdorong untuk menghasilkan kreativitas. Respon-respons

fisiologis orang yang mengalami cemas ringan adalah sesekali

mengalami napas pendek, naiknya tekanan darah dan nadi, muka

(21)

kognitif orang yang yang mengalami cemas ringan adalah lapang

persepsi melebar, dapat menerima rangsangan yang kompleks,

konsentrasi pada masalah dan dapat menjelaskan masalah secara

efektif. Adapun respons perilaku dan emosi dari orang yang mengalami

cemas ringan adalah tidak dapat duduk tenang, tremor halus pada

tangan, dan suara kadang-kadang meninggi.

b. Cemas Sedang

Pada cemas sedang tingkat lapangan persepsi pada lingkungan menurun

dan memfokuskan diri pada hal-hal penting saat itu juga dan

menyampingkan hal-hal lain. Respons fisiologis dari orang yang

mengalami cemas sedang adalah sering napas pendek, nadi dan tekanan

darah naik, mulut kering, anoreksia, diare, konstipasi, dan gelisah.

Respons kognitif orang yang mengalami cemas sedang adalah lapang

persepsi yang menyempit, rangsangan luar sulit diterima, berfokus

terhadap apa yang menjadi perhatian. Adapun respons perilaku dan

emosi adalah gerakan yang tersentak-sentak, meremas tangan, sulit

tidur, dan perasaan tidak aman.

c. Cemas Berat

Pada cemas berat lapangan persepsinya menjadi sangat sempit, individu

cenderung memikirkan hal-hal yang kecil saja dan mengabaikan hal-hal

lain. Individu sulit berpikir realistis dan membutuhkan banyak

pengarahan untuk memusatkan perhatian pada area lain.

(22)

darah naik, banyak berkeringat, rasa sakit kepala, penglihatan kabur,

dan mengalami ketegangan. Respons kognitif orang yang mengalami

cemas berat adalah lapangan pesepsi yang sangat sempit dan tidak

mampu untuk menyelesaikan masalah, adapun respons perilaku dan

emosinya terlihat dari perasaan tidak aman, verbalisasi yang cepat, dan

blocking.

2.2.4 Penyebab Terjadinya Kecemasan

a. Faktor Predisposisi

Stressor predisposisi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang

dapat menyebabkan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005, dalam

Prabowo, 2014). Ketegangan dalam kehidupan tersebut dapat berupa :

1. Peristiwa traumatik, yang dapat memicu terjadinya kecemasan berkaitan

dengan krisis yang dialami individu baik krisis perkembangan atau

situasional.

2. Konflik emosional, yang dialami individu dan tidak terselesaikan

dengan baik. Konflik antara id dan superego atau antara keinginan dan

kenyataan dapat menimbulkan kecemasan pada individu.

3. Konsep diri terganggu akan menimbulkan ketidakmampuan individu

berpikir secara realistis sehingga akan menimbulkan kecemasan.

4. Frustasi akan menimbulkan rasa ketidakberdayaan untuk mengambil

(23)

5. Gangguan fisik akan menimbulkan kecemasan karena merupakan

ancaman terhadap integritas fisik yang dapat mempengaruhi konsep diri

individu.

6. Pola mekanisme koping keluarga atau pola keluarga dalam menangani

stress akan mempengaruhi individu dalam berespon terhadap konflik

yang dialami karena pola mekanisme koping individu banyak dipelajari

dalam keluarga.

7. Riwayat gangguan kecemasan dalam keluarga akan mempengaruhi

respons individu dalam berespons terhadap konflik dan mengatasi

kecemasannya.

8. Medikasi yang dapat memicu terjadinya kecemasan adalah pengobatan

yang mengandung benzodiazepin, karena benzodiazepin dapat menekan

neurotransmitter gamma amino butyric acid (GABA) yang mengontrol

aktivitas neuron di otak yang bertanggung jawab menghasilkan

kecemasan.

b. Faktor Presipitasi

Stressor presipitasi adalah semua ketegangan dalam kehidupan yang

dapat mencetuskan timbulnya kecemasan (Suliswati, 2005, dalam

Prabowo, 2014). Stressor presipitasi kecemasan dikelompokkan menjadi

dua bagian, yaitu:

1. Ancaman terhadap integritas fisik. Ketegangan yang mengancam

(24)

a. Sumber internal, meliputi kegagalan mekanisme fisiologis sistem

imun, regulasi suhu tubuh, perubahan biologis normal (misalnya :

hamil).

b. Sumber eksternal, meliputi paparan terhadap infeksi virus dan

bakteri, polutan lingkungan, kecelakaan, kekurangan nutrisi, tidak

adekuatnya tempat tinggal.

2. Ancaman terhadap harga diri meliputi sumber internl dan eksternal.

a. Sumber internal: kesulitan dalam berhubungan interpersonal di

rumah dan tempat kerja, penyesuaian terhadap peran baru.

Berbagai ancaman terhadap integritas fisik juga dapat mengancam

harga diri.

b. Sumber eksternal: kehilangan orang yang dicintai, perceraian,

perubahan status pekerjaan, tekanan kelompok, dan sosial budaya.

2.3 Kemoterapi

2.3.1 Definisi Kemoterapi

Kemoterapi adalah pemberian obat untuk membunuh sel kanker. Tidak

seperti radiasi atau operasi yang bersifat lokal, kemoterapi merupakan terapi

sistemik, yang berarti obat menyebar ke seluruh tubuh dan dapat mencapai sel

kanker yang telah menyebar jauh atau metastase ke tempat lain (Rasjidi, 2007).

Menurut Brunner & Suddarth (2002) menyatakan bahwa kemoterapi adalah terapi

yang menggunakan preparat antineoplastik yang bertujuan untuk membunuh

(25)

dikombinasi dengan pembedahan atau terapi radiasi, atau kedua-duanya, untuk

menurunkan ukuran tumor yang masih tertinggal pasca operasi, atau untuk

mengobati beberapa bentuk leukemia. Kemoterapi merupakan intervensi sistemis

dan cocok digunakan dalam kondisi : penyakit telah tersebar luas, risiko untuk

penyakit yang tidak terdeteksi tinggi, tumor tidak dapat direseksi dan resisten

terhadap terapi radiasi (Black & Hawks, 2014).

2.3.2 Tujuan Penggunaan Kemoterapi

Menurut Rasjidi (2007) bahwa tujuan dari penggunaan kemoterapi adalah

sebagai berikut :

a. Terapi adjuvan : kemoterapi yang diberikan sesudah operasi, dapat

sendiri atau bersamaan dengan radiasi, dan bertujuan untuk membunuh

sel yang telah bermetastase.

b. Terapi neoadjuvan : kemoterapi yang diberikan sebelum operasi untuk

mengecilkan massa tumor, biasanya dikombinasi dengan radioterapi.

c. Kemoterapi primer : digunakan sendiri dalam penatalaksanaan tumor,

yang kemungkinan kecil untuk diobati, dan kemoterapi digunakan

hanya untuk mengontrol gejalanya.

d. Kemoterapi induksi : digunakan sebagai terapi pertama dari beberapa

terapi berikutnya.

(26)

2.3.3 Cara Pemberian Kemoterapi

Menurut Rasjidi (2007) cara pemberian kemoterapi ada 5 cara antara lain

sebagai berikut :

a. Pemberian per oral

Beberapa jenis kemoterapi telah dikemas untuk pemberian peroral,

diantaranya adalah chlorambucil dan etoposide (VP-16).

b. Pemberian secara intra-muskular :

Pemberian cara ini relatif lebih mudah dan sebaiknya suntikan tidak

diberikan pada lokasi yang sama dengan pemberian dua-tiga kali

berturut-turut. yang dapat diberikan secara intra-muskular antara lain

bleomicin dan methotrexate.

c. Pemberian intravena :

Pemberian secara intravena dapat dengan bolus perlahan-lahan atau

diberikan secara infus (drip).

d. Pemberian secara intra arteri

Pemberian intra arteri jarang dilakukan karena membutuhkan sarana

yang cukup banyak.

e. Pemberian secara intraperitoneal

Cara ini jarang dilakukan karena membutuhkan alat khusus (kateter

intraperitoneal) serta kelengkapan kamar operasi karena pemasangan

(27)

2.3.4 Efek Samping Kemoterapi

Efek samping yang ditimbulkan dari kemoterapi disebabkan karena terapi

tersebut tidak hanya membunuh sel-sel kanker namun juga membunuh sel-sel

normal yang ada di sekitarnya (Sutandyo, 2007). Akan tetapi efek samping dari

terapi tersebut biasanya bersifat sementara, sel normal akan dengan segera

memperbaiki komposisinya sekitar 7-10 hari. Berbeda dengan terapi bedah dan

terapi radiasi, kemoterapi pada kanker merupakan pengobatan yang bersifat

sistemik, sehingga cenderung memiliki potensi efek samping yang lebih besar

(Sutandyo, 2007). Berikut ini adalah efek samping yang ditimbulkan dari

kemoterapi:

a. Efek pada sumsum tulang

Kemoterapi mempunyai efek toksik pada sumsum tulang dan dapat

mengakibatkan neutropenia, trombositopenia, dan anemia. Pemeriksaan

darah lengkap harus dilakukan sebelum kemoterapi dimulai dan pada

waktu tertentu selama kemoterapi dilaksanakan.

b. Efek gastrointestinal

Ada perubahan ringan pada pola defekasi, tetapi tidak memerlukan

intervensi. Walaupun ringan, diare perlu diawasi. Ada juga kemungkinan

terjadi perdarahan ulkus gastrointestinal. Oleh karena itu, tanda-tanda

perdarahan (melena, hematemesis) perlu dipantau. Selain itu obat

vinkristin dapat menyebabkan paralitik ileus. Maka dari itu, konstipasi,

(28)

c. Stomatitis

Inflamasi pada selaput lendir mulut (stomatitis) merupakan efek samping

yang lazim dari obat sitotoksik. Stomatitis data ringan (eritema pada

selaput lendir) dan dapat berat sampai timbulnya ulkus pada mulut.

d. Mual dan muntah

Banyak pasien yang mengakui bahwa mual dan muntah adalah efek

samping dari obat sitotoksik yang paling membuat mereka merasa tidak

nyaman. Muntah yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan

dehidrasi dan ketidakseimbangan elektrolit. Selain itu pasien ini dapat

melemah dan berat badan dapat menurun.

e. Alopesia

Obat sitotoksik mempunyai efek pada kulit. Alopesia dapat timbul sebagai

akibat dari atrofi pada akar rambut. Banyak rambut yang rontok secara

spontan atau ketika menyisir rambut. Alopesia adalah salah satu efek

samping dan kemoterapi yang menyebabkan trauma psikologis pada

pasien.

f. Sterilitas

Gangguan pad organ-organ reproduksi juga dipengaruhi oleh obat

kemoterapeutik. Ada pula beberapa obat kemoterapeutik yang dapat

meyebabkan perubahan genetik, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan

dan perkembangan. Ada pula obat-obat yang dapat mengakibatkan

kemandulan sementara atau permanen. Efek-efek samping ini perlu

(29)

dimulai. Dianjurkan agar ibu menunda kehamilan selama 2 tahun setelah

kemoterapi selesai. Dua tahun setelah selesai pengobatan kemoterapi, ibu

Gambar

Gambar 2.1 Proses terjadinya kecemasan

Referensi

Dokumen terkait

Pertanyaan penelitian dari perumusan masalah tersebut adalah apakah penerapan corporate governance, yang dalam penelitian ini mencakup indikator kepemilikan

Tulisan ini bertujuan untuk mengukur tekanan darah sebagai salah satu komponen alat pendeteksi stress dan untuk mendeteksi stres menggunakan logika fuzzy dengan masukan

[r]

Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Tingkat II Putri Hijau, peneliti mengobservasi 77 perawat dalam melakukan cuci tangan, ditemukan 24,7% perawat yang melaksakan cuci

Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa informan mengenai akomodasi dalam proses adaptasi sosial mahasiswa asli Papua dalam melanjutkan studi di UHO, ditemukan bahwa

56 The Politeness Strategies Used by Anne as The Ambitious Main Character in “The Other Boleyn Girl” Movie PDF 57 The Structure of Sentence Used in Headlines of

Select object to offset or <exit>:Pilih garis atas dari kotak sebelah bawah Specify point on side to offset: Klik bagian atas dari garis kotak sebelah atas Maka akan

Salah satu green inhibitor yang diteliti dalam penelitian ini adalah dengan memanfaatkan ekstrak kemenyan putih ( Styrax benzoin Dryand) sebagai inhibitor