• Tidak ada hasil yang ditemukan

Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Respon Pertumbuhan Populasi F1 Hasil Persilangan Beberapa Tetua Tanaman Jagung (Zea mays L.) terhadap Cekaman Besi (Fe) pada Media Kultur Hara"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Botani Tanaman Jagung (Zea mays L.)

Menurut Effendi (1985), sistematika tanaman jagung (Zea mays L.) diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom: Plantae, Divisio: Spermatophyta, Subdivisio: Angiospermae, Kelas: Monocotyledoneae, Ordo: Poales, Famili: Poacea, Genus: Zea, Spesies: Zea mays L.

Jagung (Poales) mempunyai akar serabut dengan tiga macam akar, yaitu (a) akar seminal, (b) akar adventif, dan (c) akar kait atau penyangga. Akar seminal adalah akar yang berkembang dari radikula dan embrio. Pertumbuhan akar seminal akan melambat setelah plumula muncul ke permukaan tanah . Akar adventif adalah akar yang semula berkembang dari buku di ujung mesokotil, kemudian setelah akar adventif berkembang dari tiap buku secara berurutan dan terus ke atas antara 7 - 10 buku, semuanya di bawah permukaan tanah. Akar adventif berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar adventif berperan dalam pengambilan air dan hara. Akar kait atau penyangga adalah akar adventif yang muncul pada dua atau tiga buku di atas permukaan tanah. Fungsi dari akar penyangga adalah menjaga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi rebah batang. Akar ini juga membantu penyerapan hara dan air (Subekti dkk., 2007).

(2)

monopodial. Batang jagung cukup kokoh namun tidak banyak mengandung lignin (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).

Daun jagung adalah daun sempurna, bentuknya memanjang, antara pelepah dan helai daun terdapat ligula, tulang daun sejajar dengan ibu tulang daun. Permukaan daun ada yang licin dan ada yang berambut. Stoma pada daun jagung berbentuk halter, yang khas dimiliki famili Poaceae. Setiap stoma dikelilingi sel-sel epidermis berbentuk kipas. Struktur ini berperan penting dalam respon tanaman menanggapi defisit air pada sel-sel daun (Muis dkk., 2008).

Jagung disebut tanaman berumah satu (monoeciuos) karena bunga jantan dan betinanya terdapat dalam satu tanaman. Tanaman jagung adalah protandri, di mana pada sebagian besar varietas, bunga jantannya muncul (anthesis) 1-3 hari sebelum rambut bunga betina muncul (silking). Penyerbukan pada jagung terjadi bila serbuk sari dari bunga jantan menempel pada rambut tongkol (putik). Hampir 95% dari persarian tersebut berasal dari serbuk sari tanaman lain (serbuk silang) dan hanya 5% yang berasal dari serbuk sari tanaman sendiri (serbuk sendiri), oleh karena itu, tanaman jagung disebut tanaman bersari silang (cross pollinated crop) (Sudaryono, 1998).

Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol, tergantung varietas. Tongkol jagung diselimuti oleh daun kelobot. Tongkol jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih besar dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas 10 - 16 baris biji yang jumlahnya selalu genap (Subekti dkk., 2007).

(3)

jagung terdapat rambut-rambut yang memanjang hingga keluar dari pembungkus. Pada setiap tanaman jagung terbentuk 1 - 2 tonggkol. Biji jagung memiliki bermacam-macam bentuk dan variasi. Perkembangan biji dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain varietas tanaman, tersedianya kebutuhan makanan di dalam tanah dan faktor lingkungan seperti sinar matahari, kelembaban udara. Angin panas dan kering dapat mengakibatkan tepung sari tidak keluar dari pembungkus atau tidak tumbuh sehingga penyerbukan terganggu (Irfan, 1999). Syarat Tumbuh

Iklim

Iklim yang dikehendaki oleh sebagian besar tanaman jagung adalah daerah beriklim sedang hingga sub-tropis/tropis yang basah. Jagung dapat tumbuh di daerah yang terletak antara 0-50 0LU hingga 0-40 0LS. Pada lahan yang tidak beririgasi, pertumbuhan tanaman ini memerlukan curah hujan ideal yakni sekitar 85-200 mm/bulan dan harus merata. Pada fase pembungaan dan pengisian biji, tanaman jagung perlu mendapatkan cukup air. Sebaiknya jagung ditanam diawal musim hujan dan menjelang musim kemarau (Muis dkk., 2008).

Suhu yang dikehendaki tanaman jagung antara 21 - 34 0C, akan tetapi bagi pertumbuhan tanaman yang ideal memerlukan suhu optimum antara 23 - 27 0C Pada proses perkecambahan benih jagung memerlukan suhu yang cocok sekitar 30 0C. Saat panen jagung yang jatuh pada musim kemarau akan lebih baik daripada musim hujan, karena berpengaruh terhadap waktu pemasakan biji dan pengeringan hasil (Prihatman, 2000).

(4)

cepatnya kemasakan biji dan proses pengeringan biji di bawah sinar matahari (Rukmana, 1997).

Tanah

Jagung di Indonesia umumnya ditanam di dataran rendah, baik di lahan tegalan, sawah tadah hujan, serta sebagian kecil ditanam didataran tinggi. Tanaman ini tidak dapat tumbuh dengan subur pada tanah basah atau tergenang, karena daun-daunnya akan menjadi kuning kemudian mati (Hardjowigeno, 1987).

Jagung termasuk tanaman yang tidak memerlukan persyaratan tanah yang khusus dalam penanamannya. Jagung dikenal sebagai tanaman yang dapat tumbuh di lahan kering, sawah, pasang surut asalkan syarat tumbuh diperlukan terpenuhi. Jenis tanah yang dapat ditanami jagung antara lain Andosol, Latosol dan Grumosol. Tanah bertekstur lempung atau liat berdebu (Latosol) merupakan jenis tanah yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman jagung. Tanaman jagung akan

tumbuh baik pada tanah yang subur, gembur, kaya humus (Purwono dan Hartono, 2005).

(5)

Lahan Sulfat Masam

Tanah sulfat masam merupakan bagian dari lahan pasang surut yang mempunyai lapisan pirit yang belum teroksidasi (lapisan sulfidik) dan yang sudah teroksidasi (horizon sulfurik) (Suriadikarta dan Setyorini, 2006). Salah satu masalah utama dalam pertanaman tanaman di lahan pasang surut sulfat masam potensial adalah keracunan besi, yang bersumber dari adanya lapisan pirit pada lapisan solum tanah. Pirit bersifat labil dalam keadaan aerob, apabila teroksidasi dapat meningkatkan kemasaman tanah. Hasil oksidasi pirit secara sempurna akan membebaskan 4 mol ion H+ dalam setiap mol pirit serta terbentuknya ferrihidroksida (Fe(OH)3 (Noor, 1996).

Berdasarkan identifikasi dan karakteristik tanah, tanah sulfat masam terbagi atas dua macam (Soil survey staff, 2010), yaitu (1) sulfat masam potensial, dimana pirit masih berupa bahan sulfidik dalam status reduksi pada ke dalaman 0 - 100 cm dan pH > 4.0, termasuk dalam klasifikasi tanah Entisol dan (2) Sulfat masam aktual, dimana memiliki horizon sulfurik atau pirit yang telah teroksidasi pada ke dalaman 0-50 cm dan pH < 3.5, termasuk dalam klasifikasi tanah Inceptisol. Kondisi tanah sulfat masam umumnya sangat merugikan pertumbuhan tanaman.

(6)

Beberapa prinsip utama yang menyebabkan keracunan Fe sebagai berikut: a), konsentrasi Fe2+ dalam larutan tanah karena kondisi reduksi atau pH rendah, b), status hara tanaman yang rendah dan tidak seimbang. Oksidasi akar jelek dan tenaga pengeluaran Fe2+ menyebabkan defisiensi P, Ca, Mg atau K. Defisiensi K sering berasosiasi dengan kandungan tanah dan pH tanah yang rendah, yang memacu konsentrasi Fe tinggi pada larutan tanah, c), tenaga oksidasi akar jelek karena akumulasi bahan yang menghambat respirasi (misalnya H2S, FeS, asam

organik), dan d), pemberian sejumlah besar bahan organik yang tidak mudah terdekomposisi (Fairhurstet dkk., 2002).

Toksisitas Besi (Fe)

Besi adalah salah satu mikronutrien untuk pertumbuhan tanaman. Meskipun Fe adalah unsur yang paling berlimpah keempat di kerak bumi, besi menjadi nutrisi faktor pembatas yang cukup tinggi pada pertumbuhan tanaman. Beberapa fungsi Fe adalah berperan penting sebagai senyawa dan proses fisiologis pada tanaman. Besi yang merupakan komponen dari berbagai enzim berperan sebagai (1) katalisator dalam berbagai proses metabolisme, (2) pembentukan klorofil dan (3) merupakan komponen enzim reduksi-oksidasi apabila bergabung dengan senyawa organik (Zuo dan Zhang, 2011).

Toksisitas besi (Fe) utamanya disebabkan karena efek toksik atau berlebihnya pengambilan Fe dalam konsentrasi besar pada larutan tanah. Akibatnya akan meningkatknya aktivitas polifenol pada tanaman, yang mengarah

(7)

Gejala visual yang khas berhubungan dengan proses toksisitas Fe, terutama terjadinya akumulasi polyphenol-teroksidasi yang disebut bronzing. Karena mobilitas Fe yang rendah dalam tanaman, gejala yang khas dimulai dengan bercak berwarna coklat kemerahan dari daun tua. Bercak berwarna tembaga kemudian meluas ke seluruh daun, perkembangan gejala selanjutnya

ujung daun menjadi kuning-jingga kemudian kering dari bagian atas (Peng dan Yamauchi, 1993).

Keracunan besi ditandai dengan bintik-bintik cokelat mulai dari ujung bawah daun kemudian naik ke daun atas sedangkan daun yang lebih rendah akhirnya berubah abu-abu atau putih (Tadano, 1975). Keracunan besi yang meningkat menyebabkan daun berwarna cokelat keungu-unguan yang diikuti mengeringnya daun (Sahrawat, 2004). Keracunan pada tahap vegetatif menyebabkan menurunnya tinggi dan berat kering tanaman, berkurangnya anakan, berkurangnya klorofil tanaman (Fageria et al., 2008).

Ujung akar pada tanaman yang kelebihan unsur besi umumnya lembek sementara ujung akar pada tanaman yang kelebihan unsur aluminium ialah rapuh. Akar dari tanaman yang terkena toksisitas besi berjumlah sedikit, kasar, pendek, dan berwarna cokelat gelap dan ketika terjadi pengurangan cekaman akar tanaman perlahan-lahan akan kembali berwarna putih (Sahrawat, 2004).

Mekanisme Cekaman Besi (Fe) pada Tanaman Jagung (Zea mays L.)

(8)

penarikan bibit dari persemaian (Amnal, 2009). Besi ferro yang sudah masuk ke dalam akar (epidermis, korteks, endodermis dan pembuluh xylem) kemudian dapat ditransportasikan ke tajuk/daun melalui aliran transfirasi menuju ruang-ruang antar sel. Di dalam sel daun Fe2+ bertindak sebagai katalisator pembentukan beberapa jenis oksigen aktif, seperti superoksida, radikal hidroksida, dan H2O2

(Marschner, 1995).

Tanaman dapat mengurangi keracunan besi berlebihan dengan mengoksidasi Fe2+ menjadi Fe3+ pada daerah perakaran dengan menggunakan oksigen yang ditranspormasi dari tajuk ke akar melalui aerenkima atau dengan penekanan melawan Fe pada endodermis akar. Species oksigen reaktif yang diinduksi oleh keracuan besi dapat ditawar-racunkan dalam tanaman melalui pengaktifan mekanisme antioksidatif. Akhirnya tanaman dapat mengakumulasi besi dalam bentuk tak-beracun dengan menempatkannya dalam vokoula dan apoplasma atau dengan menempatkannya dalam bentuk ferritin (Briat, 1996).

Senyawa pirit jika berada dalam kondisi teroksidasi maupun dalam kondisi reduktif memberikan dampak negatif bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pirit yang teroksidasi dapat menyebabkan tingginya konsentrasi ion H+ di dalam larutan tanah dan pH tanah menjadi sangat rendah, akibatnya terjadi peningkatan konsentrasi unsur-unsur yang bersifat racun bagi tanaman seperti Aluminium (Al), besi (Fe). Unsur ini dapat berikatan dengan unsur lain misalnya unsur P, sehingga menyebabkan P tidak tersedia dan akhirnya terjadi kahat hara (Priatmadi, 2008).

(9)

memiliki dua tipe mekanisme toleransi terhadap keracunan Fe2+ yaitu : 1) Tipe ekskluder yaitu tanaman mengakumulasi ion Fe2+ yang berlebihan di akar, ion Fe2+ yang berlebihan di dalam tanah dihambat masuk ke dalam zona perakaran. 2) Tipe inkluder yaitu akar tanaman menyerap unsur Fe2+ dan menahannya di daun. Mekanisme toleransi tipe ini adalah ion Fe2+ yang berlebihan diserap oleh akar dan kemudian dinetralisir oleh enzim SOD (Super Oksida Dismutase) menghasilkan H2O2. Selanjutnya H2O2 yang terbentuk tersebut dengan bantuan

enzim peroksidase dan/atau katalase menghasilkan H2O dan triplet oksigen yang

tidak berbahaya bagi tanaman. Kultur Hara

Seleksi toleransi tanaman terhadap cekaman besi didasarkan pada gejala bronzing daun dan produksi biji total tetapi tidak berdasarkan mekanisme

resistensi atau sifat toleransi padi. Varietas yang mengalami gangguan pertumbuhan secara fisiologi maupun morfologi pada percobaan kultur hara juga mengalami penghambatan yang sama terhadap pada percobaan dengan menggunakan media tanah. Selain lebih sederhana perlakuan dengan konsentrasi Fe yang cukup tinggi pada kultur hara dapat dilakukan untuk mempelajari tingkat keracunan besi dalam waktu yang singkat, biaya yang lebih rendah, serta dapat melakukan seleksi berbagai varietas dalam waktu bersama (Amnal, 2009).

(10)

berproduksi. Oleh karena itu perlu suatu metode yang efisien dan cepat yaitu pengamatan pada fase awal pertumbuhan tanaman atau fase kecambah. Metode yang biasa digunakan adalah metode kultur hara (Zhang dkk., 2004).

Metode kultur hara dapat dilakukan untuk mendapatkan banyak peubah yang digunakan sebagai parameter toleransi Al, seperti panjang akar relatif (PAR), pemanjangan akar relatif (relative root elongation = RRE), dan pertumbuhan kembali akar (root re-growth = RRG) setelah tanaman mendapat perlakuan cekaman Al. Peubah PAR dan RRE digunakan untuk mengevaluasi 20 varietas padi hasil penapisan di lapang. Hasil uji menggunakan metode kultur hara dengan peubah PAR ini menunjukkan bahwa beberapa varietas padi menampakan hasil yang berbeda antara hasil uji lapang dan kultur hara (Suparto, 1999).

Pertumbuhan tanaman dengan kultur hara dapat menjadi solusi deteksi dini terhadap cekaman abiotik, dibandingkan dengan budidaya tanaman di tanah. Hal ini dikarenakan tanaman tidak akan terkontaminasi dengan tanah, irigasi tanaman yang dapat di atur secara otomatis, akar dapat diamati dengan jelas, dan lingkungan zona akar mudah dipantau dan dikontrol (Hershey , 2008).

(11)

Upaya Mendapatkan Tanaman Toleran pada Cekaman Besi (Fe)

Tanaman jagung yang tumbuh pada lahan masam umumnya kerdil, dan sistem perakaran tidak sempurna. Penggunaan varietas jagung toleran kondisi masam merupakan cara budidaya yang efisien pada lahan masam. Namun hingga saat ini belum ada jagung hibrida yang adaptif pada lahan masam. Jagung komposit varietas Sukmaraga dan Antasena berturut-turut memiliki potensi hasil 8,5 ton/ha dan 6,0 ton/ha dan adaptif pada lahan masam (Puslitbangtan, 2010).

Perakitan varietas jagung yang adaptif pada lingkungan spesifik perlu dilakukan. Varietas/genotipe yang efisien hara memiliki kemampuan untuk berproduksi lebih tinggi pada kondisi tanah dengan kandungan hara terbatas dibandingkan dengan genotipe responsif pemupukan (Presterl dkk., 2003). Genotipe jagung ternyata mempunyai tanggapan yang berbeda terhadap kondisi

defisien hara berdasarkan sistem perakaran dan pertumbuhan tajuk (Hayati dkk. 2008).

Plasma nutfah jagung perlu dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk memperoleh genetik yang diperlukan. Evaluasi plasma nutfah jagung terhadap cekaman abiotik (kekeringan, lahan masam, dan pupuk rendah) telah dilakukan, namun pemanfaatan hasil evaluasi tersebut belum optimal dan belum berlanjut. Sumber daya genetik (plasma nutfah) yang digunakan untuk

merakit suatu varietas akan menentukan tingkat adaptabilitasnya (Made dkk., 2007).

(12)

seleksi masih dapat diperoleh bila perbedaan lingkungan seleksi dan lingkungan target tidak lebih dari 44%. Hal ini mengindikasikan bahwa varietas yang beradaptasi baik pada kondisi pupuk dosis rendah dapat diperoleh dari seleksi pada kondisi pemupukan dosis rendah atau sedang (Sutoro, 2007).

Penampilan jagung hibrida pada lingkungan dengan tingkat produktivitas rendah umumnya tidak lebih baik daripada jagung komposit. Jagung komposit memiliki latar belakang genetik yang lebih luas, sehingga daya adaptasinya lebih luas dibandingkan dengan varietas hibrida, termasuk pada kondisi masukan rendah (Jaradat dkk., 2010). Varietas jagung komposit dapat berupa varietas sintetik atau bersari bebas. Varietas sintetik dibentuk dengan rekombinasi galur/inbrida yang memiliki daya gabung umum yang baik dan dilanjutkan dengan seleksi, sedangkan jagung bersari bebas dibentuk dari rekombinasi, inbrida, populasi, dan seleksi (Made dkk., 2007).

Secara konvensional hibridisasi bisa juga di sebut perkawinan silang antara tanaman yang satu dan tanaman yang lain dalam satu spesis untuk mendapatkan genotype (sifat-sifat dalam) yang unggul, dan biasa disebut breeding. Cara mencari dan membuat galur unggul adalah melaluai seleksi.

Pertama-tama yang dilakukan adalah inventarisasi varietas/spesies suatu tanaman jagung (Hasan, 2014).

(13)

bertujuan untuk menggabungkan sifat-sifat baik dari keduanya, persilangan ini sering dilakukan dalam penciptaan varietas unggul jagung baik itu hibrida atau varietas bersari bebas. Oleh karenanya pengetahuan serta pemahaman cara penyerbukan yang tepat adalah hal yang sangat penting, jika penyerbukan dilakukan dengan baik maka proses pembuahan sampai terbentuknya biji akan berjalan dengan baik pula yang pada akhirnya diperoleh hasil biji yang tinggi. Biji ini yang akan digunakan sebagai benih untuk tahap pemuliaan selanjutnya (Maintang dan Maryam, 2013).

Takdir dkk., (2008) menyatakan bahwa varietas hibrida merupakan generasi pertama hasil persilangan antara tetua berupa galur inbrida sehingga berkualitas sangat baik. Varietas hibrida dapat dibentuk pada tanaman menyerbuk sendiri maupun menyerbuk silang. Tanaman jagung mempunyai komposisi genetik yang sangat dinamis Karena cara penyerbukan bunganya menyilang. Fiksasi gengen unggul (favorable genes) pada genotype yang homozigot justru akan berakibat depresi inbreeding yang menghasilkan tanaman kerdil dan daya hasilnya rendah. Tanaman yang vigor, tumbuh cepat, subur, dan hasilnya tinggi justru di peroleh dari tanaman yang komposisi genetiknya heterozigot.

Indeks Sensitivitas Cekaman (ISC)

(14)

normal. Oleh karenanya genotipe dengan nilai STI yang tinggi dapat dipilih sebagai genotipe yang toleran (Trustinah dan Kasno, 2015).

Indeks sensitivitas digunakan untuk mengukur tingkat sensitivitas genotipe terhadap cekaman pada karakter morfofisiologi. Semakin tinggi nilai indeks sensitivitas berarti semakin besar penurunan penampilan fenotipe pada lingkungan bercekaman tersebut, sebaliknya semakin kecil nilai indeks sensitivitas berarti semakin baik penampilan fenotipenya pada lingkungan bercekaman atau dengan kata lain semakin tinggi tingkat toleransinya. Nilai indeks sensitivitas bervariasi pada masing-masing karakter pada genotipe yang berbeda (Lubis, 2014).

Berdasarkan nilai ISC, Ridwan et.al., (2015) membagi tingkat ketahanannya menjadi 3 kelompok. Tanaman dikatakan toleran jika ISC < 0.5, agak toleran jika 0.5 < ISC < 1, dan rentan jika ISC > 1. Tingkat ketahanan nomor-nomor tanaman kentang hitam tersebut ditentukan berdasarkan nilai Indeks Sensitivitas Cekaman (ISC) dengan rumus : ISC = 1−�/��

Referensi

Dokumen terkait

Karena Indonesia adalah sebuah negara dan sebuah negara memerlukan sebuah ideologi untuk menjalankan sistem pemerintahan yang ada pada negara tersebut, dan masing-masing negara berhak

Sementara itu Andreasen menyebut pengetahuan ini ditujukan kepada target masyarakat melalui pendekatan pendidikan yang pada utamanya memfokuskan kepada pesan, saluran dan

Pembelajaran kontekstual dimulai dengan mengambil (mensimulasikan, menceritakan, berdialog, atau tanya jawab) kejadian pada dunia nyata kehidupan sehari- hari yang di

Ketidakadilan Dalam Peran dan Posisi Perempuan Pada Novel Xue Hua Mi Shan karya Lisa See Ditinjau Dari Pendekatan.. Fenomenologi.Universitas Sumatera

Suyanto, 2003, Strategi Periklanan pada E-Commerce. Perusahaan Top Dunia, Jogjakarta:

bahwa dia adalah seorang gadis, namun Shanbo tidak mengerti arti isyarat

Sistem ini dapat dikembangkan lebih luas lagi dengan. bahasa

Untuk mengetahui perbedaan peningkatan ditinjau dari kemampuan awal matematika (KAM) dan pembelajaran antara siswa yang dalam pembelajarannya menggunakan pembelajaran