BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Pertanian Organik
Ada dua pemahaman umum tentang pertanian organik menurut Las,dkk (2006) dalam Prayoga (2009), yang keduanya sama-sama penting dan patut
dipertimbangkan. Pertama pertanian organik absolut sebagai sistem pertanian yang sama sekali tidak menggunakan input kimia sintetis, hanya menggunakan
bahan alami berupa bahan organik atau pupuk organik. Sasaran utamanya adalah menghasilkan produk dan lingkungan yang bersih dan sehat. Kedua, Pertanian Organik rasional atau pertanian semi organik sebagai sistem pertanian yang
menggunakan bahan organik sebagai salah satu masukan yang berfungsi sebagai pembenah tanah dan suplemen pupuk kimia. Pestisida dan herbisida digunakan
secara selektif dan terbatas.
Menurut Standar Nasional Indonesia Sistem Pertanian dalam Ginting (2012), pertanian organik adalah sistem manajemen produksi pertanian holistik yang mampu meningkatkan dan memelihara agroekosistem, termasuk keragaman
hayati, siklus biologi, dan aktivitas biologi tanah untuk mencapai produktivitas yang berkelanjutan. Dari definisi ini dapat dinyatakan bahwa sistem pertanian
Pangan organik juga lebih sehat dan aman dikonsumsi karena kandungan residu
pestisidanya rendah. Hal ini antara lain sangat bergantung kepada lokasi pertanian dan berapa lama lahan pertanian tersebut telah dikonversi menjadi lahan organik.
Crinnon (1995) menyatakan, pada lokasi lahan yang belum pernah menggunakan sistem pertanian konvensional , residu pestisida tidak ditemukan pada hasil pertaniannya. Tingginya senyawa kimia dari pestisida pada produk tanaman
menyebabkan menurunnya kandungan vitamin pada produk tanaman tersebut. Vitamin yang paling peka terhadap zat kimia ini adalah vitamin C, beta karoten,
dan vitamin B.
Seiring dengan kesadaran masyarakat untuk membeli produk ramah lingkungan yang meningkat termasuk didalamnya produk-produk pertanian yang sehat dan
bebas bahan kimia, pertanian organik menjadi alternatif bagi bangsa Indonesia karena jika pola pertanian modern yang padat bahan kimia tetap dilakukan seperti
sekarang ini dikhawatirkan Indonesia tidak dapat lagi mengekspor prngoduk-produk pertaniannya. Selain itu, bertani secara organis dapat menjadi pilihan bagi petani ditengah tingginya harga pupuk dan pestisida kimia. Petani organik
menjadi petani yang mandiri dan merdeka, karena bahan-bahan bertani diperoleh dari alam sekitar. Selain itu, pertanian organik memberi ruang yang luas bagi
petani untuk mengembangkan kreativitas bertaninya, seperti memanfaatkan bahan-bahan disekitar menjadi pupuk (Susetya, 2006).
Kelebihan lainnya dari pertanian organik yaitu membantu mengurangi erosi.
Menurut Pracaya (2004 dalam Fardiaz 2008), sistem pertanian organik
mempunyai kelebihan dan kekurangan dibandingkan sistem pertanian non-organik. Kelebihan dari digunakannya sistem pertanian organik antara lain :
1) Tidak menggunakan pupuk maupun pestisida kimia sehingga tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, baik pencemaran tanah, air, maupun udara, serta produknya tidak mengandung racun
2) Produk tanaman organik lebih mahal.
Sistem pertanian organik juga mempunyai faktor kekurangan atau kelemahan,
yaitu sebagai berikut :
1) Kebutuhan tenaga kerja lebih banyak, terutama untuk pengendalian hama dan penyakit. Umumnya, pengendalian hama dan penyakit masih dilakukan secara
manual. Apabila menggunakan pestisida alami, perlu dibuat sendiri karena pestisida ini belum ada di pasaran.
2) Penampilan fisik tanaman organik kurang bagus (misalnya berukuran lebih
kecil dan daun berlubang-lubang) dibandingkan dengan tanaman yang dipelihara secara non-organik.
2.1.2 Pertanian Anorganik (Konvensional)
Sistem pertanian konvensional mampu membuktikan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, ini terbukti saat tahun 1984 disaat Indonesia mampu swasembada
pangan beras. Tetapi, sistem pertanian anorganik (konvensional) tersebut tidak terlepas dari resiko negatif yang ditimbulkan akibat penggunaan bahan kimia yang berlebihan. Meningkatnya kebutuhan pangan yang seiring pertambahan penduduk,
Schaller dan Winangun (2005) menyatakan beberapa dampak negatif yang
ditimbulkan dari sistem pertanian konvensional, sebagai berikut:
a. Pencemaran air tanah dan air permukaan oleh bahan kimia pertanian.
b. Pengaruh negatif aditif senyawa kimia pertanian tersebut pada mutu dan kesehatan makanan.
c. Peningkatan daya ketahanan organisme pengganggu terhadap pestisida.
d. Penurunan daya produktivitas lahan karena erosi, pemadatan lahan dan berkurangnya bahan organik.
e. Muncul resiko kesehatan dan keamanan manusia pelaku pertanian.
2.1.3 Pertanian Semi organik
Pertanian semi organik merupakan suatu langkah awal untuk kembali ke sistem
pertanian organik, hal ini karena perubahan yang ekstrim dari pola pertanian modern yang mengandalkan pupuk kimia menjadi pola pertanian organik yang
mengandalkan pupuk biomasa akan berakibat langsung terhadap penurunan hasil produksi yang cukup drastis yang semua itu harus ditanggung langsung oleh pelaku usaha tersebut. Selain itu penghapusan pestisida sebagai pengendali hama
dan penyakit yang sulit dihilangkan karena tingginya ketergantungan mayoritas pelaku usaha terhadap pestisida (Sutanto, 2002).
Oleh karena itu, pertanian semi organik merupakan langkah awal untuk perubahan secara gradual menuju pola pertanian organik. Khusus untuk tanaman pangan, pertanian semi organik akan memberi nilai tambah untuk pelaku usaha dengan
Sutanto (2002) dalam Ramadhani (2013), memberikan istilah membangun
kesuburan tanah. Swtrategi pertanian organik adalah memindahkan hara secepatnya dari sisa tanaman, kompos dan pupuk kandang menjadi biomassa
tanah yang selanjutnya setelah mengalami proses mineralisasi akan menjadi hara dalam larutan tanah. Hal ini berbeda dengan pertanian anorganik yang memberikan unsur hara secara cepat dan langsung dan langsung dalam bentuk
larutan sehingga segera diserap dengan takaran dan waktu pemberian yang sesuai dengan kebutuhan tanaman.
Pada beberapa daerah penerapan pertanian organik belum bisa dilakukan secara utuh dengan alasan daya adaptasi lahan yang masih harus disesuaikan jika harus menggunakan bahan organik sepenuhnya. Pada tahap awal banyak petani yang
mulai mencari jalan tengah dari persoalan tersebut yaitu menerapkan sistem pertanian yang mengurangi pemakaian pupuk kimia, kemudian mensubtitusikannya dengan menggunakan pupuk organik dan membebaskan
lahan pertanian mereka dari pemakaian pestisida kimia. Harapannya bahwa di masa mendatang pemakaian pupuk kimia dapat dihentikan (Ramadhani,2013).
2.1.4 Penelitian Terdahulu
Hasil penelitian Notarianto (2011) yang berjudul “Analisis Efisiensi Penggunaan Faktor-Faktor Produksi pada Usahatani Padi Organik dan Anorganik di Kecamatan Sambirejo, Kabupaten Sragen” bahwa Nilai efisiensi teknis dalam
penelitian padi organik ini sebesar 0,963, sedangkan untuk usahatani padi anorganik, nilai efisiensi teknis sebesar 0,814. Maka dapat disimpulkan bahwa
Dalam penelitian ini juga diketahui bahwa rasio R/C usahatani padi organik
sebesar 4,09, sementara rasio R/C untuk padi anorganik hanya 1,70. Hasil ini menunjukkan usahatani padi organik lebih menguntungkan jika dibandingkan
dengan usahatani padi anorganik.
Hasil penelitian Wulandari (2011) tentang “Analisis Perbandingan Pendapatan Usahatani Padi Organik dan Usahatani Padi Anorganik di Kelurahan Sindang
Barang dan Situ Gede”, bahwa biaya per hektar per musim tanam yang dikeluarkan oleh usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik. Biaya total per hektar dan per kg output per musim tanam yang dikeluarkan petani
penggarap usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik, namun dari sisi petani pemilik sebaliknya. Pendapatan atas biaya tunai dan biaya total
usahatani padi organik lebih besar dibandingkan anorganik. Hal ini disebabkan produktivitas dan harga gabah kering panen (GKP) organik lebih besar dibandingkan anorganik. Usahatani yang dijalankan petani padi organik dan
anorganik sama-sama menguntungkan, namun jika dilihat dari nilai R-C rasionya maka usahatani padi organik lebih menguntungkan dibandingkan usahatani padi anorganik.
Hasil penelitian Sagala (2010) mengenai “Analisis Komparatif Tingkat Sosial Ekonomi Petani Dampingan Bitra dan Petani Anorganik di Desa Lubuk Bayas”
menyatakan tingkat sosial ekonomi responden petani organik dan petani anorganik tidak menunjukkan adanya perbedaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
adanya pertanian organik di Desa Lubuk Bayas yang dampingan Bitra tidak memberi
pengaruh pada peningkatan sosial ekonomi para petani organik. Secara rata-rata biaya
Hal ini karena dalam pertanian organik, pupuk yang digunakan kebanyakan adalah
pupuk yang diolah petani sendiri. Biaya penggunaan pupuk pada usahatani padi
anorganik lebih tinggi yakni Rp 2.000.000 per musim tanam, sementara pada
usahatani padi organik biaya penggunaan pupuk senilai Rp 1.000.000 per musim
tanam. Biaya tenaga kerja pada usahatani padi anorganik Rp 1.600.000 per musim
tanam, sedangkan biaya tenaga kerja usahatani organik mencapai Rp 2.000.000 per
musim tanam. Hasil ini menunjukkan biaya tenaga kerja pada usahatani padi organik
lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani padi anorganik, karena usahatani padi
organik memerlukan pengawasan yang intensif sewaktu masa tanam.
2.2 Landasan Teori 2.2.1 Biaya
Biaya usahatani dapat dibedakan atas dua macam yaitu; biaya tetap (fixed cost)
dan biaya tidak tetap (variable cost). Biaya tetap merupakan biaya yang besar kecilnya tidak mempengaruhi pada hasil produksi. Yang termasuk biaya tetap antara lain : pajak, sewa tanah, dan penyusutan alat-alat pertanian yang tahan lam
atau modal tetap. Sedangkan biaya tidak tetap yaitu biaya yang besar kecilnya mempengaruhi pada hasil produksi. Antara lain : biaya sarana produksi, upah
tenaga kerja, pestisida (Prawirokusumo, 1990).
Menurut Sukirno (2004) biaya total merupakan keseluruhan jumlah biaya produksi yang dikeluarkan. Biaya total didapatkan dengan penjumlahan dari biaya
tetap total dan biaya berubah total. Biaya tetap total merupakan keseluruhan biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh faktor produksi (input) yang tidak dapat
merupakan nilai yang diperoleh dari biaya tetap total untuk memproduksi
sejumlah produk, dibagi dengan jumlah produksi tersebut.
Biaya variabel rata-rata adalah nilai yang diperoleh dari pembagian biaya berubah
total dengan jumlah produksi. Biaya total rata-rata merupakan nilai dari hasil pembagian biaya total dengan jumlah peroduksi. Biaya marginal merupakan kenaikan biaya produksi yang dikeluarkan untuk menambah produksi sebanyak
satu unit (Sukirno, 2004).
2.2.2 Penerimaan
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual Biaya usahatani adalah semua pengeluaran yang dipergunakan dalam
suatu usahatani (Soekartawi,1995).
Dalam Pindyck (2009), Penerimaan total atau total revenue : penerimaan yang diterima oleh produsen dari setiap penjualan outputnya. Total revenue merupakan
hasil kali antara harga dengan output. Penerimaan rata-rata atau average revenue : penerimaan produsen per unit output yang dijual. Penerimaan marjinal atau
marginal revenue : perubahan penerimaan yang disebabkan oleh tambahan penjualan 1 unit output .
2.2.3. Pendapatan
Menurut Hadisapoetro (1973 dalam buku Suratiyah 2009) ada beberapa
pengertian tentang pendapatan dalam usahatani, yaitu:
1. Pendapatan Petani meliputi upah tenaga kerja keluarga sendiri, upah petani
sebagai manajer, bunga modal sendiri, dan keuntungan.
2. Pendapatan tenaga keluarga merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan bunga modal sendiri.
3. Keuntungan atau kerugian petani merupakan selisih dari pendapatan petani dikurangi dengan upah keluarga dan bunga modal sendiri.
2.3 Kerangka Pemikiran
Usahatani padi organik merupakan sistem budidaya padi dengan mensubstitusi pupuk dan pestisida kimia menjadi pupuk dan pestisida organik. Usahatani padi semi organik merupakan budidaya padi dengan penggunaan pupuk organik dan
kimia.
Dalam setiap usahatani petani memerlukan input produksi seperti biaya bibit, pupuk, pestisida, tenaga kerja, biaya penyusutan, biaya tambahan (sewa tanah, perawatan mesin, iuran P3A, PBB, dan sebagainya) yang akan dihitung biaya
inputnya. Produksi dikalikan harga produk akan menghasilkan penerimaan petani. Dari penerimaan dikurangi total biaya didapatkan pendapatan.
Pendapatan petani organik akan dibandingkan dengan pendapatan petani padi
semi organik. Kemudian akan dilihat pada tahun berapa produksi dan pendapatan petani organik stabil. Secara skematis kerangka pemikiran digambarkan sebagai
Keterangan :
= Menyatakan hubungan TC = Total Biaya
= Perbandingan TR = Total Penerimaan Π = Pendapatan
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Organik
• 3 – 4 tahun • 5 – 6 tahun
• 8 – 9 tahun
• 23 – 24 tahun
TC
π
TR
Semi Organik
• 1 – 2 tahun • 4 – 5 tahun
• 6 – 7 tahun
• 10 – 11 tahun
π
2.4 Hipotesis Penelitian:
Adapun hipotesis penelitian ini adalah:
1. Perkembangan pendapatan petani padi organik akan meningkat dari waktu ke waktu.
2. Waktu optimal untuk produksi dan pendapatan petani padi organik stabil adalah tahun ke 4.
3. Perkembangan pendapatan petani padi semi organik meningkat dari waktu ke waktu.
4. Ada perbedaan perkembangan rata-rata produktivitas, rata-rata biaya, rata-rata pendapatan petani padi organik dengan petani padi semi organik.