• Tidak ada hasil yang ditemukan

Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Semen Portland Tipe I dan Abu Vulkanik dengan Pengujian Kuat Tekan Bebas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Stabilisasi Tanah Lempung dengan Menggunakan Semen Portland Tipe I dan Abu Vulkanik dengan Pengujian Kuat Tekan Bebas"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TINJAUAN UMUM 2.1.1 Tanah

Tanah penyusun kerak bumi secara garis besar menjadi dua kategori yaitu tanah (soil) dan batuan (rock). Batuan merupakan agregat mineral yang satu sama lainnya diikat oleh gaya-gaya kohesif yang permanen. Sedangkan tanah didefinisikan sebagai material yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan-bahan organik yang telah melapuk (yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-ruang kosong di antara partikel-partikel padat tersebut (Das,1991).

Berdasarkan sifat lekatnya tanah dapat dibedakan menjadi dua yaitu, tanah tak berkohesif dan tanah berkohesif. Tanah tak berkohesif adalah tanah yang tidak mempunyai atau sedikit sekali lekatan antara butir – butirnya seperti tanah berpasir. Tanah kohesif adalah tanah yang mempunyai sifat lekatan antara butir-butirnya, contohnya tanah lempung.

(2)

( a ) ( b )

Gambar 2.1 (a) Elemen Tanah Dalam Keadaan Asli; (b) Tiga Fase Elemen Tanah (Lambe dan Whitman, 1969)

Dari gambar tersebut diperoleh persamaan hubungan antara volume - berat dari tanah berikut:

(2.1)

(2.2)

Dimana :

: volume butiran padat (cm3) : volume pori (cm3)

: volume air di dalam pori (cm3)

: volume udara di dalam pori (cm3)

Apabila udara dianggap tidak mempunyai berat, maka berat total dari contoh tanah dapat dinyatakan dengan :

(2.3)

Dimana:

(3)

2.1.2 Sifat-Sifat Fisik Tanah 2.1.2.1 Angka Pori (Void Ratio)

Angka Pori atau Void Ratio (e) adalah perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume butiran ( ) dalam tanah. Angka Pori dinyatakan dalam bentuk desimal. Berikut adalah rumus dari Angka Pori:

(2.4)

Dimana:

: angka pori

: volume rongga (cm3) : volume butiran (cm3)

2.1.2.2 Porositas (Porosity)

Porositas atau Porosity (n) diartikan sebagai persentase perbandingan antara volume rongga ( ) dengan volume total ( ) dalam tanah. Porositas biasanya dikalikan dengan 100% dengan demikian Porositas dapat dinyatakan dalam bentuk persen, atau :

(2.5)

Dimana:

: porositas (%)

: volume rongga (cm3)

(4)

Hubungan antara Angka Pori dan Porositas adalah :

(2.6)

(2.7)

2.1.2.3 Derajat Kejenuhan (Degree of Saturation)

Derajat Kejenuhan atau Degree of Saturation (S) adalah perbandingan antara volume air ( ) dengan volume total rongga pori tanah ( ). S = 0 bila tanah dalam keadaan kering dan sebaliknya bila tanah dalam keadaan jenuh, maka = 100% atau 1. Derajat Kejenuhan suatu tanah ( ) dapat dinyatakan dalam

(5)

2.1.2.4 Kadar Air (Moisture Water Content)

Kadar Air atau Water Content (w) adalah persentase perbandingan berat air ( ) dengan berat butiran ( ) dalam tanah, atau :

(2.9)

Dimana:

(%)

(gr)

(gr)

2.1.2.5 Berat Volume (Unit weight)

Berat Volume (γ adalah berat tanah per satuan volume.

γ (2.10)

Para ahli tanah kadang-kadang menyebut Berat Volume (Unit Weight) sebagai Berat Volume Basah (Moist Unit Weight).

Dimana:

: berat volume basah (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.6 Berat Volume Kering (Dry Unit Weight)

Berat Volume Kering ( adalah perbandingan antara berat butiran tanah

(6)

(2.11)

Dimana:

: berat volume kering (gr/cm3) : berat butiran tanah (gr) : volume total tanah (cm3)

2.1.2.7 Berat Volume Butiran Padat (Soil Volume Weight)

Berat Volume Butiran Padat ( ) adalah perbandingan antara berat butiran

tanah ( ) dengan volume butiran tanah padat ( ). Berat Volume Butiran Padat ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan :

(2.12)

Dimana:

: berat volume padat (gr/cm3)

: berat butiran tanah (gr) : volume total padat (cm3)

2.1.2.8 Berat Jenis (Specific Gravity)

Berat Jenis atau Specific Gravity (Gs) didefinisikan sebagai perbandingan antara berat volume butiran tanah ( ) dengan berat volume air ( ) dengan isi

yang sama pada temperatur tertentu. Berat Jenis ( ) dapat dinyatakan dalam persamaan:

(7)

Dimana:

: berat volume padat (gr/cm3)

: berat volume air(gr/cm3)

: berat jenis tanah

Batas-batas besaran Berat Jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Berat Jenis Tanah Macam Tanah Berat Jenis

Kerikil 2,65 - 2,68 Pasir 2,65 - 2,68 Lanau tak organik 2,62 - 2,68 Lempung organik 2,58 - 2,65

Lempung tak organik 2,68 - 2,75

Humus 1,37

Gambut 1,25 - 1,80 Sumber : Hardiyatmo, 1992

Hasil-hasil penentuan Berat Jenis dari sebagian besar tanah menunjukan bahwa nilai-nilai dari 2,6 sampai 2,75 merupakan nilai yang paling banyak terdapat.

(8)

Tabel 2.3 Nilai n, e, w, d dan b Untuk Tanah Keadaan Asli Lapangan.

2.1.2.9 Batas-batas Atterberg (Atterberg Limit)

Atterberg adalah seorang peneliti tanah berkebangsaan Swedia yang telah menemukan batas-batas Atterberg pada tahun 1911. Atterberg mengusulkan ada lima keadaan konsistensi tanah. Batas-batas konsistensi tanah ini didasarkan pada kadar air, yaitu Batas Cair (Liquid Limit), Batas Plastis (Plastic Limit), Batas Susut (Shrinkage Limit), Batas Lengket (Sticky Limit) dan Batas Kohesi (Cohesion Limit). Tetapi pada umumnya Batas Lengket dan Batas Kohesi tidak digunakan (Bowles, 1991). Batas-batas konsistensi dapat dilihat pada Gambar 2.2.

(9)

2.1.2.9.1 Batas Cair (Liquid Limit)

Batas Cair (Liquid Limit) adalah kadar air tanah ketika tanah berada diantara keadaan cair dan keadaan plastis, yaitu pada batas atas dari daerah plastis. Batas Cair ditentukan dari pengujian Cassagrande (1948), yakni dengan meletakkan tanah ke cawan dan dibentuk sedemikian rupa, kemudian tanah tersebut dibelah oleh Grooving Tool dan dilakukan pemukulan dengan cara engkol dinaikkan dan sampai mangkuk menyentuh dasar, dilakukan juga perhitungan ketukan sampai tanah yang dibelah tadi berhimpit. Untuk lebih jelasnya, alat uji batas cair berupa cawan Cassagrande dan Grooving Tool dapat dilihat pada Gambar 2.3

(10)

Gambar 2.4 Kurva Pada Penentuan Batas Cair Tanah Lempung (Soedarmo, 1997)

2.1.2.9.2 Batas Plastis (Plastic Limit)

Batas Plastis (Plastic Limit) dapat didefinisikan sebagai kadar air pada tanah dimana pada batas bawah daerah plastis atau kadar air minimum. Untuk mengetahui Batas Plastis suatu tanah dilakukan dengan percobaan menggulung tanah berbentuk silinder dengan diameter sekitar 3,2 mm (1/8 inchi) dengan menggunakan telapak tangan di atas kaca datar. Apabila tanah mulai mengalami retak-retak atau pecah ketika digulung, maka kadar air dari sampel tersebut adalah Batas Plastis.

2.1.2.9.3 Batas Susut (Shrinkage Limit)

(11)

Percobaan Batas Susut dilakukan dengan cawan porselin diameter 44,4 mm dengan tinggi 12,7 mm. Pada bagian dalam cawan dilapisi oleh pelumas dan diisi dengan tanah jenuh sempurna yang kemudian dikeringkan dalam oven. Volume ditentukan dengan mencelupkannya dalam air raksa. Batas Susut dapat dinyatakan dalam persamaan :

{ } (2.14)

dengan :

= berat tanah basah dalam cawan percobaan (gr) = berat tanah kering oven (gr)

= volume tanah basah dalam cawan ( )

= volume tanah kering oven ( ) = berat jenis air

2.1.2.9.4 Indeks Plastisitas (Plasticity Index)

Indeks Plastisitas adalah selisih Batas Cair dan Batas Plastis. Indeks Plastisitas merupakan interval kadar air dimana tanah masih bersifat plastis. Indeks Plastisitas dapat menunjukkan sifat keplastisitasan tanah tersebut. Jika tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang kecil, maka tanah tersebut disebut tanah kurus, sedangkan apabila suatu tanah memiliki interval kadar air daerah plastis yang besar disebut tanah gemuk. Persamaan 2.15 dapat digunakan untuk menghitung besarnya nilai Indeks Plastisitas dari suatu tanah. Tabel 2.4 menunjukkan batasan nilai Indeks Plastisitas dari jenis-jenis tanah.

(12)

Dimana :

IP = Indeks Plastisitas (%)

LL = Batas Cair (%)

PL = Batas Plastis (%)

Tabel 2.4 Indeks Plastisitas Tanah

PI Sifat Macam Tanah Kohesi

0 Non-Plastis Pasir Non – Kohesif

< 7 Plastisitas Rendah Lanau Kohesif Sebagian 7-17 Plastisitas Sedang Lempung berlanau Kohesif > 17 Plastisitas Tinggi Lempung Kohesif Sumber : Hardiyatmo, 1992

2.1.2.9.5 Indeks Kecairan (Liquidity Index)

Kadar Air tanah asli relatif pada kedudukan plastis dan cair, dapat didefinisikan oleh Indeks Kecairan (Liquidity Index). Indeks Kecairan merupakan perbandingan antara selisih Kadar Air asli dengan Batas Plastis terhadap Indeks Plastisitasnya. Berikut persamaannya:

(2.16)

Dimana :

LI = Liquidity Index (%)

(13)

Gambar 2.5 Hubungan Antara WP, WL dan WN Dalam Menghitung LI atau IL (Bowles, 1991)

Dapat dilihat bahwa jika WN = LL, maka Indeks Kecairan akan sama dengan 1. Sedangkan, jika WN = PL, Indeks Kecairan akan sama dengan nol. Jadi, untuk lapisan tanah asli yang dalam kedudukan plastis, nilai LL > WN > PL. Nilai Indeks Kecairan akan bervariasi antara 0 dan 1. Lapisan tanah asli dengan WN > LL akan mempunyai LI > 1.

2.1.2.10 Klasifikasi Tanah

(14)

Beberapa Sistem Klasifikasi telah dikembangkan dan pengklasifikasian tersebut terbagi menjadi dua, yaitu :

1. Klasifikasi Tanah Sistem USCS 2. Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO

2.1.2.10.1 Sistem Klasifikasi Unified Soil Classification System (USCS)

Sistem ini pertama kali dikembangkan oleh Casagrande (1942) sebagai sebuah metode untuk pekerjaan pembuatan lapangan terbang oleh The Army Corps of Engineers pada Perang Dunia II. Pada saat ini sistem ini telah

dipergunakan secara luas oleh para ahli teknik. Sistem ini selain biasa digunakan untuk desain lapangan terbang juga untuk spesifikasi pekerjaan tanah untuk jalan. Pada tahun 1969 sistem ini diadopsi oleh American Society for Testing and Materials (ASTM) sebagai Metode Klasifikasi Tanah (ASTM D 2487).

Klasifikasi berdasarkan Unified System (Das, 1991), tanah dikelompokkan menjadi:

1. Tanah Butir Kasar (Coarse-Grained-Soil)

Merupakan tanah yang lebih dari 50% bahannya tertahan pada ayakan no.200 (0,075 mm). Simbol dari kelompok ini dimulai dengan huruf awal G atau S. G adalah untuk kerikil (gravel) atau tanah berkerikil, dan S adalah untuk pasir (sand) atau tanah berpasir.

2. Tanah Berbutir Halus (Fine-Grained-Soil)

(15)

O untuk lanau-organik dan lempung-organik. Simbol PT digunakan untuk tanah gambut (peat), dan tanah-tanah lain dengan kadar organik yang tinggi. Untuk klasifikasi yang benar, perlu memperhatikan faktor-faktor berikut ini: 1. Persentase butiran yang lolos ayakan no.200 (fraksi halus).

2. Persentase fraksi kasar yang lolos ayakan no.40.

3. Koefisien Keseragaman (Uniformity Coefficient, Cu) dan Koefisien Gradasi (Gradation Coefficient, Cc) untuk tanah dimana 0-12% lolos ayakan no.200. 4. Batas Cair (LL) dan Indeks Plastisitas (IP) bagian tanah yang lolos ayakan

no.40 (untuk tanah dimana 5% atau lebih lolos ayakan no.200).

Tabel 2.5 Simbol Klasifikasi Tanah Sistem USCS

Simbol Nama Klasifikasi Tanah

G Kerikil (gravel)

S Pasir (sand) C Lempung (clay) M Lanau (silt)

O Lanau atau lempung organik (organic silt or clay)

Pt Tanah gambut dan tanah organik tinggi (peat and highly organic clay) L Plastisitas rendah (low plasticity), (LL < 50)

H Plastisitas tinggi (high plasticity), ( LL > 50)

(16)

Gambar 2.6 Klasifikasi Tanah Sistem Unified (Das, 1991)

2.1.2.10.2 Sistem Klasifikasi AASHTO

Sistem klasifikasi tanah sistem AASHTO (American Association of State Highway Transportation Official) dikembangkan pada tahun 1929 sebagai Public

(17)

beberapa perbaikan, sampai saat ini versi yang berlaku adalah yang diajukan oleh Committee on Classification of Materials for Subgrade and Granular Type Road

of the Highway Research Board pada tahun 1945. Sistem ini mengklasifikasikan

tanah kedalam tujuh kelompok besar, yaitu A-1 sampai A-7. Tanah yang diklasifikasikan ke dalam A-1 sampai A-3 adalah tanah berbutir yang 35% atau kurang dari jumlah butiran tanah tersebut lolos ayakan no. 200. Sedangkan tanah A-4 sampai A-7 adalah tanah yang lebih dari 35% butirannya lolos ayakan no. 200.

Pengklasifikasian tanah dilakukan dengan cara memproses dari kiri ke kanan pada bagan tersebut sampai menemukan kelompok pertama yang data pengujian bagi tanah tersebut memenuhinya dan pada awalnya membutuhkan data-data sebagai berikut :

1. Analisis Ukuran Butiran.

2. Batas Cair, Batas Plastis dan Indeks Plastisitas yang dihitung. 3. Batas Susut.

(18)

Gambar 2.7 Klasifikasi Tanah Sistem AASHTO (Das, 1991)

2.1.3 Sifat-Sifat Mekanis Tanah

2.1.3.1 Pemadatan Tanah (Compaction)

Pemadatan Tanah (Compaction) adalah suatu proses dimana udara pada pori-pori tanah dikeluarkan dengan cara mekanis (digilas/ditumbuk) sehingga partikel-partikel tanah menjadi rapat. Dengan kata lain, Pemadatan adalah densifikasi tanah yang jenuh dengan penurunan volume rongga diisi dengan udara, sedangkan volume padatan dan kadar air tetap pada dasarnya sama. Hal ini merupakan cara yang paling jelas dan sederhana untuk memperbaiki stabilitas dan kekuatan dukung tanah.

Maksud pemadatan tanah menurut Hardiyatmo (1992), antara lain : 1. Mempertinggi kuat geser tanah

(19)

4. Mengurangi perubahan volume sebagai akibat perubahan kadar air dan lainnya.

Tanah granuler merupakan tanah yang paling mudah penanganannya untuk pekerjaan lapangan. Setelah dipadatkan tanah tersebut mampu memberikan kuat geser yang tinggi dengan sedikit perubahan volume. Hal ini dikarenakan permeabilitas tanah granuler yang tinggi. Berbeda dengan pada tanah lanau yang permeabilitasnya rendah sangat sulit dipadatkan bila dalam keadaan basah.

Tanah lempung mempunyai permeabilitas yang rendah dan tanah ini tidak dapat dipadatkan dengan baik dalam kondisi basah seperti halnya tanah lanau. Tanah lempung yang dipadatkan dengan cara yang benar akan memberikan kuat geser yang tinggi. Stabilitas terhadap sifat kembang-susut tergantung dari jenis kandungan mineralnya.

Pada tahun 1933, Proctor menemukan dasar-dasar pemadatan tanah, dimana terdapat 4 (empat) variabel yang digunakan dalam fungsi Compaction, yaitu:

- Usaha pemadatan - Jenis tanah - Kadar Air tanah

- Berat Isi Kering tanah (Bowles, 1991).

Hubungan berat volume kering ( ) dengan berat volume basah ( ) dan kadar air (%) dinyatakan dalam persamaan :

(2.17)

(20)

3 lapisan (Standard Proctor) dan 5 lapisan (Modified Proctor) dengan pukulan sebanyak 25 kali pukulan.

Perbedaan antara pengujian Pemadatan Standard Proctor dan pengujian Pemadatan Modified Proctor dapat dilihat dalam Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Pengujian Pemadatan Proctor

Standar (ASTM D698) Modifikasi (ASTM D1557)

Palu 24,5 N (5,5 lb) 44,5 N (10 lb)

Pengujian-pengujian tersebut dilakukan dengan pemadatan sampel tanah basah (pada kadar air terkontrol) dalam suatu cetakan dengan jumlah lapisan tertentu. Setiap lapisan dipadatkan dengan sejumlah tumbukan yang ditentukan dengan penumbuk dengan massa dan tinggi jatuh tertentu. Standar ASTM maupun AASHTO hendaknya digunakan sebagai acuan untuk rincian pengujian tersebut.

(21)

lebih tinggi. Hasil dari pengujian pemadatan berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara kadar air dan berat volume kering tanah yamg ditunjukkan Gambar 2.8.

Gambar 2.8 Hubungan Antara Kadar Air dan Berat Isi Kering Tanah (Hardiyatmo, 1992)

(22)

2.1.3.2Pengujian Unconfined Compression Test (UCT)

Nilai Kuat Geser Tanah perlu diketahui untuk mengukur kemampuan tanah menahan tekanan tanpa terjadi keruntuhan. Seperti material lainnya, tanah mengalami penyusutan volume jika mendapat tekanan merata di sekelilingnya. Apabila menerima tegangan geser, tanah akan mengalami distorsi dan apabila distorsi yang terjadi cukup besar, maka partikel-partikelnya akan terpeleset satu sama lain dan tanah akan dikatakan gagal dalam geser.

Hampir semua jenis tanah daya dukungnya terhadap tegangan tarik sangat kecil atau bahkan tidak mampu sama sekali. Tanah tidak berkohesi, kekuatan gesernya hanya terletak pada gesekan antara butir tanah saja (c = 0), sedangkan pada tanah berkohesi dalam kondisi jenuh, maka ø = 0 dan S = c. Parameter Kuat Geser tanah diperlukan untuk analisa-analisa daya dukung tanah (Bearing Capacity), tegangan tanah terhadap dinding penahan (Earth Preassure) dan

kestabilan lereng (Slope Stability).

Kuat Geser Tanah adalah gaya perlawanan yang dilakukan oleh butir-butir tanah terhadap desakan atau tarikan. Dengan dasar seperti ini, bila tanah mengalami pembebanan akan ditahan oleh :

 Kohesi tanah yang tergantung pada jenis tanah dan pemadatannya, tetapi

tidak tergantung dari tegangan vertikal yang bekerja pada gesernya.

 Gesekan antara butir-butir tanah yang besarnya berbanding lurus dengan

tegangan vertikal pada bidang gesernya.

Oleh karena itu kekuatan geser tanah dapat diukur dengan rumus :

(2.18)

(23)

: kekuatan geser tanah (kg/cm2) c : kohesi tanah efektif (kg/cm2)

: tegangan normal total (kg/cm2) u : tegangan air pori (kg/cm2)

: sudut perlawanan geser efektif (0)

Ada beberapa cara untuk menentukan kuat geser tanah, antara lain :

o Pengujian Geser Langsung (Direct Shear Test) o Pengujian Triaksial (Triaxial Test)

o Pengujian Tekan Bebas (Unconfined Compression Test) o Pengujian Baling-Baling (Vane Shear Test)

Dalam penelitian ini yang digunakan untuk menentukan kuat geser tanah adalah Pengujian Tekan Bebas (Unconfined Compression Test).

Uji Kuat Tekan Bebas (Unconfined Compression Test) mengukur kemampuan tanah untuk menerima kuat tekan yang diberikan sampai tanah terpisah dari butir-butirannya, pengujian ini juga mengukur regangan tanah akibat tekanan tersebut. Pada Gambar 2.9 menunjukkan skema pengujian Unconfined Compression Test.

(24)

Tegangan aksial yang diterapkan di atas benda uji berangsur-angsur ditambah sampai benda uji mengalami keruntuhan. Pada saat keruntuhannya, karena σ3 = 0, maka:

(2.19)

Dimana:

= Kuat geser (kg/cm2)

= Tegangan utama (kg/cm2) = kuat tekan bebas tanah (kg/cm2) = kohesi (kg/cm2)

Pada Gambar 2.10 menunjukkan Lingkaran Mohr untuk pengujian Unconfined Compression Test (UCT).

Gambar 2.10 Keruntuhan Geser Kondisi Air Termampatkan qu di Atas Sebagai Kekuatan Tanah Kondisi Tak Tersekap (Das, 1995)

(25)

Tabel 2.7 Hubungan Kuat Tekan Bebas Tanah Lempung Dengan Konsistensinya Konsistensi qu (kg/cm2)

Lempung keras >4,00

Lempung sangat kaku 2,00 – 4,00 Lempung kaku 1,00 – 2,00 Lempung sedang 0,50 – 1,00 Lempung lunak 0,25 – 0,50 Lempung sangat lunak < 0,25 Sumber : Hardiyatmo, 1992

2.1.3.3 Teori Keruntuhan Mohr-Coulomb

Teori keruntuhan berguna untuk menguji hubungan antara Tegangan Normal dengan Tegangan Geser Tanah, dimana keruntuhan (failure) adalah ketidakmampuan elemen tanah untuk menahan beban akibat pembebanan. Sekitar tahun 1776, Coulomb memperkenalkan hubungan linear yang terjadi antara tegangan normal dan tegangan geser.

( 2.20)

dimana : c = kohesi (kg/cm2) Ø = sudut geser internal (0)

(26)

2.1.3.4 Sensitivitas Tanah Lempung

Pengujian Kuat Tekan Bebas dilakukan pada contoh tanah asli (undisturbed) dan contoh tanah tidak asli (remoulded). Pada Uji Tekan Bebas yang diukur adalah kemampuan masing-masing contoh terhadap Kuat Tekan Bebas, sehingga didapat nilai kuat tekan maksimum. Dari nilai kuat tekan maksimum yang diperoleh maka akan didapat nilai sensitivitas tanah. Nilai Sensitivitas adalah ukuran bagaimana perilaku tanah apabila ada gangguan yang diberikan dari luar.

Gambar 2.12 Grafik Sensitifitas Tanah Asli dan Tanah Remoulded (Das, 1995)

(27)

Gambar 2.13 Kuat Tekan Tanah Asli dan Tanah Remoulded (Das, 1995)

Sifat berkurangnya kekuatan tanah akibat adanya kerusakan struktural tanah disebut Sensitivitas (Sensitivity). Tingkat Sensitivitas adalah rasio (perbandingan) antara kekuatan tanah yang masih asli dengan kekuatan tanah yang sama setelah terkena kerusakan (remoulded), bila kekuatan tanah tersebut diuji dengan cara tekanan tak tersekap. Jadi, Sensitivitas dinyatakan dalam persamaan:

(2.21)

Umumnya, nilai Rasio Sensitivitas tanah lempung berkisar antara 1 sampai 8, akan tetapi pada beberapa tanah-tanah lempung maritim yang mempunyai tingkat flokulasi yang sangat tinggi, nilai Sensitivitas berkisar antara 10 sampai 80.

(28)

Tabel 2.8 Sensitivitas Lempung

Syarat-syarat yang perlu diperhatikan pada pengujian kuat tekan: 1. Penekanan

Sr = Kecepatan regangan berkisar antara 0,5 –2% per menit 2. Kriteria keruntuhan suatu tanah :

a. Bacaan proving ring turun tiga kali berturut-turut.

b. Bacaan proving ring tiga kali berturut-turut hasilnya sama.

c. Ambil pada ε= 20% dari contoh tanah, Sr = 1% permenit, berarti waktu maksimum runtuh = 20 menit.

Untuk menghitung regangan axial dihitung dengan rumus :

(2.22)

Dimana :

ε = Regangan axial (%) ∆L = Perubahan panjang (cm)

Lo = Panjang mula-mula (cm)

Besarnya luas penampang rata-rata pada setiap saat :

(29)

Dimana :

A = Luas rata-rata pada setiap saat (cm2) Ao = Luas mula-mula (cm2)

Besarnya tegangan normal :

(2.24)

Dimana :

σ = Tegangan (kg/cm2)

P = Beban (kg)

k = Faktor kalibrasi proving ring N = Pembacaan proving ring (div)

Sensitifitas tanah dihitung dengan rumus :

(2.25) Dimana :

St = Nilai sensitivitas tanah

σ = Kuat tekan maks. tanah asli (kg/cm2) σ„ = Kuat tekan maks. tanah tidak asli (kg/cm2)

2.2 BAHAN-BAHAN PENELITIAN 2.2.1 Tanah Lempung (Clay)

(30)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagai tanah dengan ukuran mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan kering dan permeabilitas lempung sangat rendah. Sehingga bersifat plastis pada kadar air sedang. Sedangkan pada keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

2. Das (1991)

Mendefenisikan bahwa tanah lempung sebagian besar terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung sangat keras dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan sangat lunak.

3. Bowles (1991)

Mendefinisikan tanah lempung sebagai deposit yang mempunyai partikel berukuran lebih kecil atau sama dengan 0,002 mm dalam jumlah apabila lebih dari 50 %.

4. Hardiyatmo (1992)

(31)

Secara umum dalam klasifikasi tanah, partikel tanah lempung memiliki diameter 2µm atau sekitar 0,002 mm (AASHTO, USCS). Dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005 mm masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil (partikel-partikel-partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel-partikel dari mineral lempung umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu < 1 µm (2 µm merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.

2.2.1.1 Lempung dan Mineral Penyusun

Mineral lempung merupakan senyawa aluminium silikat yang kompleks. Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra. Setiap unit tetrahedra terdiri dari empat atom oksigen yang mengelilingi satu atom silikon dan unit oktahedra terdiri dari enam gugus ion hidroksil (OH) yang mengelilingi atom aluminium (Das, 1991).

(32)

merupakan sifat yang memungkinkan bentuk bahan itu diubah-ubah tanpa perubahan isi atau tanpa kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan-retakan atau terpecah-pecah.

Lempung merupakan mineral asli yang mempunyai sifat plastis saat basah, dengan ukuran butir yang sangat halus dan mempunyai komposisi berupa Hydrous Aluminium dan Magnesium Silikat dalam jumlah yang besar. Mineral

lempung sebagian besar mempunyai struktur berlapis dimana ukuran mineralnya sangat kecil yakni kurang dari 2 µm (1µm = 0,000001m), meskipun ada klasifikasi yang menyatakan bahwa batas atas lempung adalah 0,005 m (ASTM) dan merupakan partikel yang aktif secara elektrokimiawi yang hanya dapat dilihat dengan mikroskop elektron.

Bowles (1991) menyatakan bahwa sumber utama dari mineral lempung adalah pelapukan kimiawi dari batuan yang mengandung :

 Felspar Ortoklas

 Felspar Plagioklas

 Mika (Muskovit)

Dimana semuanya itu dapat disebut Silikat Aluminium Kompleks (Complex Aluminium Silicates). Lempung terdiri dari berbagai mineral penyusun, antara lain

mineral lempung (Kaolinite, Montmorillonite dan Illite) dan mineral-mineral lain yang mempunyai ukuran sesuai dengan batasan yang ada (Mika Group, Serpentinite Group). Satuan struktur dasar dari mineral lempung terdiri dari Silika

(33)

Unit-unit Silika Tetrahedra berkombinasi membentuk lembaran Silika (Silica Sheet) dan unit-unit Oktahedra berkombinasi membentuk lembaran Oktahedra (Gibbsite Sheet). Bila lembaran Silika itu ditumpuk di atas lembaran Oktahedra, atom-atom oksigen tersebut akan menggantikan posisi ion hidroksil pada oktahedra untuk memenuhi keseimbangan muatan mereka.

Gambar 2.14 Struktur Atom Mineral Lempung (a) dan (b) Silica Tetrahedra ; (c) Aluminium Oktahedra ; (d) Magnesium Oktahedra ; (e) Silika ; (f) Gibbsite ;

(34)

a. Kaolinite

Istilah “Kaolinite” dikembangkan dari kata “ Kauling” yang berasal dari

nama sebuah bukit yang tinggi di Jauchau Fu, China, dimana lempung kaolinite putih mula-mula diperoleh beberapa abad yang lalu (Bowles, 1991). Kaolinite merupakan hasil pelapukan sulfat atau air yang mengandung karbonat pada temperatur sedang dan umumnya berwarna putih, putih kelabu, kekuning-kuningan atau kecoklat-coklatan.

Struktur unit Kaolinite terdiri dari lembaran-lembaran Silika Tetrahedral yang digabung dengan lembaran Alumina Oktahedran (Gibbsite). Lembaran Silika dan Gibbsite ini sering disebut sebagai mineral lempung 1:1 dengan tebal kira-kira 7,2 Å (1 Å=10-10 m). Mineral Kaolinite berwujud seperti lempengan-lempengan tipis dengan diameter 1000 Å sampai 20000 Å dan ketebalan dari 100 Å sampai 1000 Å dengan luasan spesifik per unit massa ± 15 m2/gr yang memiliki rumus kimia:

(OH)8Al4Si4O10

Keluarga mineral Kaolinite 1:1 yang lainnya adalah Halloysite. Halloysite memiliki tumpukan yang lebih acak dibandingkan dengan Kaolinite sehingga molekul tunggal dari air dapat masuk. Halloysite memiliki rumus kimia sebagai berikut.

(OH)8Al4Si4O10 . 4H2O

(35)

(a)

(b)

Gambar 2.15 Struktur Kaolinite. (a) Struktur Atom ; (b) Simbol Struktur (Lambe dan Whitman, 1969)

b. Illite

Illite adalah mineral lempung yang pertama kali diidentifikasi di Illinois.

Mineral Illite bisa disebut pula dengan hidrat-mika karena Illite mempunyai hubungan dengan mika biasa (Bowles, 1991). Mineral Illite memiliki rumus kimia sebagai berikut:

(OH)4Ky(Si8-y . Aly)(Al4. Mg6 .Fe4 . Fe6)O20

Dimana y adalah antara 1 dan 1,5. Illite memiliki formasi struktur satuan kristal, tebal dan komposisi yang hampir sama dengan Montmorillonite. Perbedaannya ada pada :

Kalium (K) berfungsi sebagai pengikat antar unit kristal sekaligus sebagai

penyeimbang muatan.

Terdapat ± 20% pergantian Silikon (Si) oleh Aluminium (Al) pada lempeng

(36)

Struktur mineral Illite tidak mengembang sebagaimana Montmorillonite.

Pembentukan mineral lempung yang berbeda disebabkan oleh subtitusi kation-kation yang berbeda pada lembaran Oktahedral. Bila sebuah anion dari lembaran Oktahedral adalah hydroxil dan dua per tiga posisi kation diisi oleh aluminium maka mineral tersebut disebut Gibbsite dan bila magnesium disubstitusikan kedalam lembaran aluminium dan mengisi seluruh posisi kation, maka mineral tersebut disebut Brucite. Struktur mineral Illite dapat dilihat dalam Gambar 2.16.

(a)

(b)

(37)

c. Montmorillonite

Montmorillonite adalah nama yang diberikan pada mineral lempung yang

ditemukan di Montmorillon, Perancis pada tahun 1847 yang memiliki rumus kimia:

(OH)4Si8Al4O20 . nH2O

Dimana nH2O adalah banyaknya lembaran yang terabsorbsi air. Mineral Montmorillonite juga disebut mineral dua banding satu (2:1) karena satuan susunan kristalnya terbentuk dari susunan dua lempeng Silika Tetrahedral mengapit satu lempeng Alumina Oktahedral ditengahnya.

(38)

(a)

(b)

Gambar 2.17 Struktur Montmorillonite. (a) Struktur Atom ; (b) Simbol Struktur (Lambe dan Whitman, 1969)

2.2.1.2 Sifat Umum Tanah Lempung

Bowles (1991) menyatakan beberapa sifat umum mineral lempung adalah: 1. Hidrasi

(39)

2. Aktivitas

Aktivitas tanah lempung adalah perbandingan antara Indeks Plastisitas (IP) dengan persentase butiran lempung, dan dapat disederhanakan dalam persamaan:

(2.26)

Dimana persentase lempung diambil sebagai fraksi tanah yang < 2 µm untuk nilai A (Aktivitas),

A > 1,25 : tanah digolongkan aktif dan bersifat ekspansif 1,25 < A < 0,75 : tanah digolongkan normal

A < 0,75 : tanah digolongkan tidak aktif.

Nilai- nilai khas dari Aktivitas dapat dilihat pada Tabel 2.9. Tabel 2.9 Aktivitas Tanah Lempung Minerologi Tanah Lempung Nilai Aktivitas

Kaolinite 0,4 – 0,5

Illite 0,5 – 1,0

Montmorillonite 1,0 – 7,0 Sumber : Bowles, 1991

3 .Flokulasi dan Dispersi

(40)

dapat dengan mudah didispersikan kembali ke dalam larutan dengan menggoncangnya, menandakan bahwa tarikan antar partikel jauh lebih kecil dari gaya goncangan. Apabila lempung tersebut telah didiamkan beberapa waktu dispersi tidak dapat tercapai dengan mudah, yang menunjukkan adanya gejala tiksotropik, dimana kekuatan didapatkan dari lamanya waktu.

4 .Pengaruh Zat Cair

Air berfungsi sebagai penentu plastisitas tanah lempung. Molekul air merupakan molekul yang dipolar, yaitu atom hidrogen tidak tersusun simetri di sekitar atom-atom oksigen (Gambar 2.18a). Hal ini berarti bahwa satu molekul air merupakan batang yang mempunyai muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan atau dipolar (dobel kutub) (Gambar 2.18b).

Gambar 2.18 Sifat Dipolar Molekul Air (Hardiyatmo, 1992)

Molekul bersifat dipolar, yang berarti memiliki muatan positif dan negatif pada ujung yang berlawanan, sehingga dapat tertarik oleh lempung secara elektrik. Terdapat 3 mekanismenya, yaitu:

(41)

dengan ujung positif dari dipolar.

2. Tarikan antara kation-kation dalam lapisan ganda dengan muatan negatif dari ujung dipolar. Kation-kation ini tertarik oleh permukaan partikel lempung yang bermuatan negatif.

3. Andil atom-atom hidrogen dalam molekul air, yaitu dengan ikatan hidrogen antara atom oksigen dalam partikel lempung dan atom oksigen dalam molekul-molekul air (hydr ogen bonding).

Gambar 2.19 Molekul Air Dipolar Dalam Lapisan Ganda (Das,1991)

Mineral lempung yang berbeda memiliki defisiensi dan tendensi yang berbeda untuk menarik Exchangeable Cation. Exchangeable Cation adalah keadaan dimana kation dapat dengan mudah berpindah dengan ion yang bervalensi sama dengan kation asli. Montmorillonite memiliki defisiensi dan daya tarik Exchangeable Cation yang lebih besar daripada Kaolinite. Kalsium dan magnesium merupakan Exchangeable Cation yang paling dominan pada tanah, sedangkan potassium dan sodium merupakan yang paling tidak dominan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi Exchangeable Cation, yaitu valensi kation,

(42)

besarnya ion dan besarnya ion hidrasi. Kemampuan mendesak dari kation-kation dapat dilihat dari besarnya potensi mendesak sesuai urutan berikut:

Al+3>Ca+2>Mg+2>NH+4>K+>H+>Na+>Li+

Kation Li+ tidak dapat mendesak kation lain yang berada dikirinya (Das, 2008). Semakin luas permukaan spesifik tanah lempung, air yang tertarik secara elektrik disekitar partikel lempung yang disebut air lapisan ganda jumlahnya akan semakin besar. Air lapisan ganda inilah yang menyebabkan sifat plastis pada tanah lempung. Konsentrasi air resapan dalam mineral lempung memberi bentuk dasar dari susunan tanahnya sebagai berikut, tiap partikelnya terikat satu sama lain lewat lapisan air serapannya. Selain itu jarak antara partikel juga akan mempengaruhi hubungan tarik menarik atau tolak menolak antar partikel tanah lempung yang diakibatkan oleh pengaruh ikatan hidrogen, gaya Van der Walls serta macam ikatan kimia dan organiknya. Bertambahnya jarak akan mengurangi gaya antar partikel.

Sehingga ikatan antar partikel tanah yang disusun oleh mineral lempung akan sangat dipengaruhi oleh besarnya jaringan muatan negatif pada mineral, tipe, konsentrasi dan distribusi kation-kation yang berfungsi untuk mengimbangi muatannya.

(43)

Gambar 2.20 Kation dan Anion Pada Partikel (Das,1991)

Pada penelitian ini akan dilakukan usaha penggantian kation-kation yang terdapat pada lempung dengan kation-kation dari bahan semen yang dicampurkan dengan abu vulkanik dengan variasi yang berbeda-beda.

2.2.2 Semen 2.2.2.1 Umum

Semen adalah bahan yang mempunyai sifat adhesif maupun kohesif, yaitu bahan pengikat. Semen juga merupakan perekat hidrolis dimana senyawa-senyawa yang terkandung di dalam semen dapat bereaksi dengan air dan membentuk zat baru yang bersifat sebagai perekat terhadap batuan. Semen mimiliki susunan yang berbeda-beda, dan semen dapat dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Semen hidrolik

(44)

pozzolan, semen alumina, semen portland-pozzolan, semen terak, semen alam dan lain-lain.

2. Semen non-hidrolik.

Semen non hidrolik adalah semen yang tidak memiliki kemampuan untuk mengikat dan mengeras di dalam air, akan tetapi dapat mengeras di udara. Contoh dari semen non hidrolik adalah kapur.

2.2.2.2 Semen Portland

Semen Portland adalah perekat hidrolis yang dihasilkan dari penggilingan klinker dengan kandungan utamanya adalah kalsium silikat yang bersifat hidrolis dengan gips sebagai bahan tambahan.

Unsur penting dalam semen portland yaitu: a. Trikalsium Silikat (3CaO.SiO2) atau C3S b. Dikalsium Silikat (2CaO. SiO2) atau C2S c. Trikalsium Aluminat (3CaO.Al2O3) atau C3A

d. Tetrakalsium Aluminoferit (4CaO.Al2O3. Fe2O3) atau C4AF e. Kalsium Sulfat Dihidrat (Gypsum) (CaSO4.2H2O)

2.2.2.2.1 Hidrasi Semen

Ketika air ditambahkan ke dalam campuran semen, proses kimiawi yang disebut hidrasi akan berlangsung. Senyawa kimia dalam semen akan bereaksi dengan air dan membentuk komponen baru. Proses kimia untuk reaksi hidrasi dari unsur C2S dan C3S dapat ditulis sebagai berikut:

(45)

2 C2S + 4 H2O C3S2H3 + Ca (OH)2

Kekuatan semen yang telah mengeras tergantung pada jumlah air yang dapat dipakai waktu proses hidrasi berlangsung. Pada dasarnya jumlah air yang diperlukan untuk proses hidrasi sekitar 20 % dari berat semen (Nugraha, 2007).

2.2.2.2.2 Jenis-Jenis Semen Portland

Sesuai dengan kebutuhan pemakaian semen saat ini, dalam perkembangannya dikenal berbagai jenis semen portland antara lain:

1. Semen Portland Biasa

Semen ini digunakan dalam pelaksanaan konstruksi secara umum jika tidak diperlukan sifat-sifat khusus, seperti ketahanan terhadap sulfat, panas hidrasi rendah, kekuatan awal yang tinggi dan sebagainya. ASTM mengklasifikasikan semen ini sebagai Tipe I.

2. Semen Portland dengan Ketahanan Sedang Terhadap Sulfat

Semen ini digunakan pada konstruksi jika sifat ketahanan terhadap sulfat dengan tingkat sedang, yaitu dimana kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,8% - 0,17% dan 125 ppm, serta PH tidak kurang dari 6. ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai Tipe II.

3. Semen Portland dengan Kekuatan Awal Tinggi

(46)

4. Semen Portland dengan Panas Hidrasi Rendah

Semen jenis ini memiliki kandungan Trikalsium Silikat (C3S) dan Trikalsium Aluminat (C3A) yang lebih sedikit, tetapi memiliki kandungan C3S yang lebih banyak dibanding Semen Portland biasa dan memiliki sifat-sifat :

a. Panas hidrasi rendah

b. Kekuatan awal rendah, tetapi kekuatan tekan pada waktu lama sama dengan Semen Portland biasa

c. Susut akibat proses pengeringan rendah

d. Memiliki ketahanan terhadap bahan kimia, terutama sulfat ASTM mengklasifikasikan semen jenis ini sebagai Tipe IV. 5. Semen Portland dengan Ketahanan Tinggi Terhadap Sulfat

Semen jenis ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap sulfat. Semen ini diklasifikasikan sebagai Tipe V pada ASTM. Semen jenis ini digunakan pada konstruksi apabila dibutuhkan ketahanan yang tinggi terhadap sulfat, yaitu kandungan sulfat (SO3) pada air tanah dan tanah masing-masing 0,17% - 1,67% dan 125 ppm – 1250 ppm, seperti pada konstruksi pengolah limbah atau konstruksi dibawah permukaan air.

(47)

Tabel 2.10 Persyaratan Standar Komposisi Kimia Portland Cement

Sumber : ASTM Standart On Soil Stabilization With Admixure, 1992

2.2.3 Abu Gunung Vulkanik (AGV)

Ketika gunung meletus maka semua material akan keluar. Material vulkanik terdiri dari batuan yang berukuran besar hingga berukuran halus, yang berukuran besar biasanya jatuh disekitar kawah dalam radius 5-7 km, sedangkan yang berukuran halus sampai ratusan bahkan ribuan kilometer dari kawah disebabkan oleh adanya hembusan angin. Material yang paling sering menyebabkan bahaya dari peristiwa gunung meletus adalah seperti lahar, lava, abu vulkanik dan material batu.

(48)

disemburkan ke udara pada saat terjadi letusan. Abu vulkanik tidak larut dalam air, sangat kasar dan agak korosif.

Secara umum komposisi abu vulkanik terdiri atas Silika dan Kuarsa, sehingga abu vulkanik digolongkan kedalam bahan yang bersifat pozolan. Bahan pozolan didefinisikan bahan bukan semen yang mengandung silika dan alumina. Sementara klasifikasi bahan pozolan terbagi menjadi dua bagian, pozolan alam (natural) dan buatan (sintetis), contoh pozolan alam adalah: tufa, abu vulkanis, tanah diatomae dan trass adalah sebutan pozolan alam yang terkenal di Indonesia. Selanjutnya contoh pozolan buatan adalah hasil pembakaran tanah liat, abu sekam padi, abu ampas tebu dan hasil pembakaran batu bara (fly ash).

Abu vulkanik menjadi material yang paling bermanfaat untuk manusia. Abu vulkanik mengandung beberapa jenis mineral yang penting untuk mempengaruhi kesuburan tanah seperti magnesium, seng, mangan, zat besi dan selenium. Komponen ini akan menambah kesuburan tanah ketika bercampur dengan senyawa tanah. Beberapa kegunaan abu vulkanik yaitu:

- Dapat menyuburkan tanah, abu vulkanik yang keluar dari gunung berapi mengandung berbagai mineral yang sangat penting untuk tanah. mineral yang bercampur dengan tanah akan membentuk tanah yang lebih subur. Dampak ini dapat kita lihat secara langsung yaitu kawasan di sekitar pegunungan selalu subur.

(49)

Bahkan di beberapa daerah abu vulkanik sering dijadikan bahan campuran untuk membuat semen dan material beton.

Pada penelitian ini sebelum abu vulkanik digunakan untuk membuat benda uji, maka abu vulkanik tersebut perlu dilakukan pengujian komposisi kimianya. Pengujian dilakukan di Laboratorium Kimia Analitik, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara. Berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap abu vulkanik yang digunakan, diperoleh hasil seperti yang terlihat pada Tabel 2.11.

Tabel 2.11 Komposisi Kimia Abu Vulkanik

No. Parameter Hasil Metode

1. SiO2 84,0797 % Gravimetri

2. Fe2O3 0,0027 % Spektrofotometri

3. Al2O3 9,9338 % Gravimetri

4. CaO 0,1364 % Titrimetri

Sumber : Hasil Percobaan di Laboratorium Kimia Analitik FMIPA USU

Dari data di atas terlihat unsur Silika adalah unsur yang paling dominan (terbanyak). Seperti kita ketahui bahwa silika adalah unsur pembentuk utama dalam pembuatan semen.

2.3 STABILISASI TANAH

(50)

Tanah lempung merupakan salah satu jenis tanah yang sering dilakukan proses stabilisasi. Hal ini disebabkan sifat lunak plastis dan kohesif tanah lempung disaat basah. Sehingga menyebabkan perubahan volume yang besar karena pengaruh air dan menyebabkan tanah mengembang dan menyusut dalam jangka waktu yang relatif cepat. Stabilisasi tanah adalah pencampuran tanah dengan bahan tertentu, guna memperbaiki sifat-sifat teknis tanah, atau dapat pula, stabilisasi tanah adalah suatu usaha untuk merubah atau memperbaiki sifat-sifat teknis tanah agar memenuhi syarat teknis tertentu.

Bowles (1991) menyatakan bahwa stabilisasi tanah mungkin dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Meningkatkan kepadatan tanah.

2. Menambahkan bahan-bahan inert untuk meningkatkan kohesi dan/atau kekuatan geser dari tanah.

3. Menambahkan bahan-bahan yang mampu mengakibatkan perubahan secara kimiawi ataupun fisik dari tanah.

4. Merendahkan permukaan air tanah.

5. Memindahkan dan/atau mengganti tanah yang bersifat buruk tersebut. Proses stabilisasi tanah ada 3 cara yaitu :

1. Mekanis

Stabilisasi mekanis dilakukan dengan cara pemadatan yang dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis peralatan mekanis seperti: mesin gilas (roller), benda berat yang dijatuhkan, ledakan, tekanan statis, tekstur,

(51)

2. Fisis

Stabilisasi secara fisis dilakukan melalui perbaikan gradasi tanah dengan menambah butiran tanah pada fraksi tertentu yang dianggap kurang, guna mencapai gradasi yang rapat.

3. Kimiawi (Modification by Admixture)

Stabilisasi secara kimiawi dilakukan dengan cara menambahkan bahan kimia tertentu sehingga terjadi reaksi kimia. Bahan kimia tersebut dapat berupa Portland cement (PC), kapur, gypsum, abu terbang (fly ash), semen aspal, sodium dan kalsium klorida, ataupun limbah pabrik kertas dan bahan-bahan limbah lainnya yang memungkinkan untuk digunakan seperti abu sekam padi, abu ampas tebu, abu cangkang sawit dan lain-lain.

2.3.1 Stabilisasi Tanah dengan Semen

Stabilisasi tanah dengan semen adalah pencampuran antara tanah yang telah dihancurkan, semen dan air, kemudian dipadatkan dan menghasilkan suatu material baru yaitu tanah – semen dimana karakteristik deformasi, kekuatan, daya tahan terhadap air, cuaca dan sebagainya dapat disesuikan dengan kebutuhan.

Pada penelitian ini digunakan semen dengan jenis Portland Cement Tipe I. Kelebihan penggunaan semen sebagai bahan stabilisasi tanah adalah:

a. Meningkatkan kekuatan dan kekakuan (stiffness) b. Stabilitas volume yang lebih baik

(52)

2.3.2 Proses Kimia Pada Stabilisasi Tanah dengan Semen

Suardi (2005) mengatakan tahapan proses kimia pada stabilisasi tanah menggunakan semen adalah sebagai berikut:

a. Absorbsi air dan reaksi pertukaran ion;

Jika Semen Portland ditambahkan pada tanah, ion kalsium Ca++ dilepaskan melalui proses hidrolisa dan pertukaran ion berlanjut pada permukaan partikel-partikel lempung, Butiran lempung dalam kandungan tanah berbentuk halus dan bermuatan negatif. Ion positif seperti ion hidrogen (H+), ion sodium (Na+), ion kalsium (K+), serta air yang berpolarisasi. Sehingga membentuk Kalsium Silikat dan Kalsium Aluminat yang mengakibatkan kekuatan tanah meningkat. Reaksi pozolan; semuanya melekat pada permukaan butiran lempung. Dengan reaksi ini partikel-partikel lempung menggumpal sehingga mengakibatkan konsistensi tanah menjadi lebih baik. b. Reaksi pembentukan Kalsium Silikat dan Kalsium Aluminat;

Secara umum hidrasi adalah sebagai berikut:

2(3CaO.SiO2) + 6H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+3Ca(OH)2 2(2CaO.SiO2) + 4H2O 3CaO.2SiO2 . 3H2O+ Ca(OH)2

(53)

stabil. Jadi semen yang umum digunakan untuk stabilisai tanah dengan bahan semen adalah ordinary portland cement atau dikenal sebagai Semen Tipe I.

2.3.3 Stabilisasi Tanah dengan Abu Vulkanik

Gambar

Gambar 2.1 (a) Elemen Tanah Dalam Keadaan Asli; (b) Tiga Fase Elemen Tanah (Lambe dan Whitman, 1969)
Tabel 2.1 Derajat Kejenuhan dan Kondisi Tanah Keadaan Tanah Derajat Kejenuhan
Tabel 2.2 Berat Jenis Tanah Macam Tanah
Tabel 2.3 Nilai n, e, w, d  dan b  Untuk Tanah Keadaan Asli Lapangan.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada Tanah Lempung Ekspansif Di Bojonegoro Dengan Campurab 6% Abu.. Sekam Padi dan 4%

Penanganan yang sering dilakukan terhadap tanah lempung lunak adalah mengganti tanah tersebut dengan tanah yang lebih baik, yaitu tanah yang memiliki kuat dukung

Tipe I Sebagai Bahan Stabilisasi Pada Tanah Lempung Dengan Uji Kuat.

masalah yang serius yang terdapat pada daya dukung tanah rendah, penurunan.. yang terjadi besar, dan memiliki kadar air yang tinggi, sehingga

Batas Cair (LL) adalah kadar air tanah yang untuk nilai-nilai diatasnya,.. tanah akan berprilaku sebagai cairan kental (batas antara keadaan

pemadatan tanah di laboratorium yang digunakan untuk menentukan Kadar Air.. Optimum dan Berat Isi Kering maksimum adalah percobaan Pemadatan

Hasil uji Laboratorium pada kondisi tanah asli Kadar air tanah % 15,3 Berat jenis tanah Gs 2,22 Batas cair % 18,5 Batas plastis % 13,25 Indeks Plastistas % 5,25 Lolos saringan 200 %

Tanah lempung pada penelitian ini termasuk pada tanah lempung anorganik dengan kadar air 40,49 %, berat spesifik 2,66%, batas cair 51,92% dan indeks plastisitas 27,58%, dan untuk