• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Konversi Lahan Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Bagian ini akan menjelaskan mengenai acuan-acuan yang melandasi pemikiran terhadap permasalahan dalam penelitian. Beberapa acuan diperoleh dari laporan hasil penelitian, baik cetak maupun elektronik. Acuan tersebut memuat antara lain pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dampak konversi lahan terhadap kondisi sosial ekonomi petani, dan pengertian sikap, serta faktor yang mempengaruhi sikap.

Konversi Lahan

Konversi atau alih fungsi lahan memiliki pengertian perubahan penggunaan lahan oleh manusia (Utomo 1992). Perubahan ini biasa terjadi pada penggunaan lahan untuk pertanian menjadi lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan nonpertanian. Menurut Utomo (1992), alih fungsi lahan dapat bersifat permanen dan bersifat sementara. Konversi lahan bersifat permanen terjadi ketika lahan sawah beririgasi teknis berubah menjadi kawasan pemukiman atau industri. Tetapi jika perubahan tersebut menjadi perkebunan tebu, maka konversi lahan sawah bersifat sementara, karena suatu saat dapat digunakan menjadi sawah kembali.

Pengertian lain juga diungkapkan oleh Agus (2004) bahwa konversi lahan sawah merupakan suatu proses yang disengaja oleh manusia (anthropogenic), bukan suatu proses yang alami. Artinya, manusia memiliki peranan penting dalam aktivitas konversi lahan pertanian. Seiring dengan pesatnya pembangunan di berbagai aspek, kebutuhan manusia terhadap lahan pertanian menjadi berkurang. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan konversi lahan banyak dilakukan pada lahan sawah beririgasi teknis. Demikian halnya dengan penelitian Rusastra dan Budhi (1997) yang mengungkapkan bahwa konversi lahan banyak dilakukan terhadap wilayah pertanian. Lebih jauh, Rusastra dan Budhi (1997) menjelaskan bahwa konversi lahan pertanian terjadi akibat adanya rambatan spasial dari pertumbuhan industri di sekitar wilayah pertanian. Dengan demikian, luasan lahan pertanian akan semakin menyusut jika terjadi konversi lahan pertanian secara terus menerus.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian Irawan (2005) menunjukkan bahwa selama tahun 2000-2002 luas konversi lahan untuk kegiatan pembangunan nonpertanian sebesar 110,16 ribu hektar per tahun (58,68% dari total luas sawah yang dikonversi). Menurut Irawan (2005), konversi lahan pada dasarnya terjadi akibat adanya persaingan dalam pemanfaatan lahan oleh sektor pertanian dan sektor nonpertanian. Banyak faktor yang melatarbelakangi terjadinya persaingan terebut. Hal ini berkaitan dengan kepentingan dari masing-masing pihak secara sosial maupun ekonomi.

Pola Konversi dan Pemanfaatan Lahan yang Dikonversi

Merujuk pada Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek, dalam hal ini aspek menurut pelaku konversi dan aspek menurut prosesnya. Berdasarkan pelaku konversi, pola konversi lahan

(2)

8

dibedakan menjadi dua. Pertama, konversi lahan secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Pola ini didasari oleh motif tindakan untuk pemenuhan kebutuhan terhadap tempat tinggal, meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, maupun kombinasi dari keduanya. Kedua, konversi lahan yang diawali dengan alih penguasaan. Pada umumnya, pola konversi ini terjadi ketika pemilik lahan menjual lahannya kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha non sawah. Sedangkan jika ditinjau dari aspek menurut prosesnya, pola konversi lahan dapat dibedakan menjadi lambat dan cepat. Masih merujuk pada Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), alih fungsi secara lambat pada umumnya disebabkan oleh fungsi sawah yang tidak optimal. Sementara alih fungsi secara cepat disebabkan oleh perubahan fungsi lahan pertanian (sawah) menjadi kawasan pemukiman dan atau industri. Pola konversi lahan dapat ditemukan dalam beberapa penelitian yang dijelaskan melalui tabel berikut.

Tabel 1 Pola-pola konversi lahan berdasarkan hasil penelitian

Hasil penelitian

Aspek pola konversi lahan

Pelaku konversi lahan Proses konversi lahan Langsung oleh

pemilik lahan

Alih

penguasaan Cepat Lambat

Sihaloho (2004)    - Yunis (2001) -   - Hariyanto (2010)    - Ilham et al (2005) -   - Sumaryanto et al (1995) -   - Rusastra dan Budhi (1997) -   -

Pada penelitian Sihaloho (2004), pola konversi lahan dapat diuraikan menjadi konversi gradual berpola sporadis, konversi sistematik berpola „enclave‟ (secara serentak), konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk, konversi lahan yang disebabkan oleh masalah sosial, konversi “tanpa beban”, konversi adaptasi agraris, dan konversi multi bentuk atau tanpa pola. Pola ini kemudian diklasifikasikan ke dalam pola konversi lahan menurut pelaku dan menurut proses konversi lahan. Berdasarkan data penelitian Sihaloho (2004) menunjukkan bahwa pola konversi lahan menurut pelaku dilakukan secara langsung maupun beralih penguasaan. Secara langsung, dipengaruhi oleh kebutuhan tempat tinggal penduduk Kelurahan Mulyaharja sehingga pembangunan permukiman gempar dilakukan oleh penduduk setempat. Seiring dengan hal tersebut, masuknya pendatang dan para investor turut membantu penduduk setempat untuk melakukan konversi lahan dengan cara peralihan penguasaan lahan kepada pendatang maupun para investor tersebut. Perubahan fungsi lahan seperti ini dikategorikan sebagai pola konversi lahan yang berlangsung secara cepat. Pola yang sama ditunjukkan oleh hasil penelitian Hariyanto (2010) yang mengemukakan bahwa pola konversi lahan dikategorikan berdasarkan pelaku dan proses konversi lahan. Perbedaan kedua penelitian

(3)

9 tersebut terletak pada pola spesifik konversi lahan. Hariyanto (2010) menguraikan pola konversi lahan menjadi sawah-tegalan, sawah-tegalan-permukiman, empang-tanah kering, empang/rawa-empang-tanah kering-permukiman/industri, empang-sawah, tegalan-permukiman, dan perkebunan-tegalan. Sementara penelitian Sumaryanto et al (1995) menunjukkan bahwa konversi lahan terjadi secara cepat dan sporadis. Konversi terencana ke penggunaan nonpertanian umumnya terjadi secara cepat dan langsung. Sedangkan konversi secara sporadis terjadi akibat makin turunnya kualitas sawah atapun makin rendahnya opportunity lahan tersebut.

Adapun penelitian Yunis (2001), Ilham et al (2005), dan Rusastra dan Budhi (1997) yang secara implisit mengemukakan pola konversi lahan terbagi ke dalam aspek menurut pelaku, yaitu terjadi peralihan penguasaan lahan dan aspek menurut proses konversi lahan yaitu terjadi secara cepat. Pada umumnya, lahan pertanian yang berada di suatu wilayah dikuasai oleh para pendatang dan investor akibat penjualan oleh para pemilik lahan sebelumnya. Secara umum, hal ini terjadi karena keterdesakan ekonomi para pemilik lahan sebelumnya (petani) yang mendorong untuk menjual lahan mereka kepada pihak lain. Disisi lain, masyarakat (petani) ingin melakukan perubahan dari pekerjaan sebagai petani menjadi pekerja di sektor lain (luar pertanian). Pandangan ini pada umumnya didasari oleh adanya persepsi petani terhadap pekerjaan di sawah yang kotor dan tidak bergengsi.

Faktor-faktor Penyebab Konversi Lahan

Pembahasan mengenai konversi lahan di suatu wilayah tidak terlepas dari faktor-faktor yang menyebabkan proses terjadinya konversi lahan, khususnya lahan pertanian. Dibalik praktik-praktik konversi lahan terdapat berbagai faktor yang mempengaruhinya. Merujuk pada Manuwoto (1992), secara umum pengalihan fungsi lahan dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu sosial atau kependudukan, pembangunan ekonomi, penggunaan jenis teknologi, dan kebijakan pembangunan makro.

Adapun Winoto (2005) menyebutkan terdapat lima faktor yang mempengaruhi konversi lahan, antara lain faktor kependudukan faktor ekonomi, faktor sosial budaya, perilaku myopic (mencari keuntungan jangka pendek tanpa memperhatikan kepentingan jangka panjang), serta lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari peraturan-peraturan yang ada. Beberapa faktor inilah yang dapat mempengaruhi penggunaan lahan untuk memenuhi kebutuhan lain di luar sektor pertanian. Membahas mengenai faktor penyebab konversi lahan selalu berkaitan dengan manusia sebagai pelaku konversi lahan serta segala aktivitasnya.

Faktor Sosial atau Kependudukan

Pada beberapa penelitian dijelaskan bahwa faktor sosial atau kependudukan mempengaruhi terjadinya konversi lahan ketika dihadapkan pada persoalan pertambahan penduduk yang akan memicu peningkatan kebutuhan terhadap lahan. Penggunaan lahan tersebut sebagian besar dialokasikan untuk memenuhi

(4)

10

kebutuhan pembangunan tempat tinggal. Persoalan lain adalah aktivitas manusia yang memerlukan lahan sebagai modal dalam melakukan proses produksi. Jika dikalkulasikan menurut jumlah penduduk dan aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, maka kebutuhan terhadap lahan akan semakin meningkat.

Berdasarkan hasil penelitian, sebagian besar menjelaskan mengenai pertumbuhan penduduk menjadi faktor penyebab konversi lahan. Hasil penelitian Sihaloho (2004) menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan tempat tinggal yang semakin meningkat karena besaran keluarga di kelurahan ini meningkat paling tidak satu sampai dua rumah per KK (kepala keluarga) per satu generasi (misalnya 20 tahun). Sama halnya dengan hasil penelitian Sihaloho (2004), penelitian yang dilakukan oleh Irawan (2005), juga menunjukkan bahwa pertumbuhan penduduk mempengaruhi peningkatan laju konversi lahan karena kebutuhan terhadap pemukiman. Hasil yang berbeda ditunjukkan dalam penelitian Ruswandi (2005) bahwa semakin padat penduduk suatu desa, ternyata laju konversi lahan pertanian ke penggunaan nonpertanian semakin kecil. Sementara dalam penelitian Ilham et al. (2005), faktor sosial lainnya disebabkan oleh adanya persepsi bahwa profesi petani adalah pekerjaan yang kotor, sengsara, dan kurang bergengsi. Selain itu, sistem waris menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin sempit yang menyebabkan petani menjual lahannya dan mencari pendapatan baru di bidang nonpertanian.

Faktor Ekonomi dan Kegiatan Pembangunan Ekonomi

Kegiatan ekonomi dan pembangunan sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan finansial masyarakat pada umumnya. Namun dalam pelaksanaannya, kegiatan ekonomi dan pembangunan seringkali harus mengorbankan aspek lain terkait dengan penggunaan lahan. Aspek lain yang dimaksud adalah aspek pertanian. Aktivitas pertanian seringkali dipandang sebelah mata sebagai kegiatan yang kurang menguntungkan jika dibandingkan dengan aktivitas ekonomi lain yang berbasis industri. Hal ini pula yang mendasari pemerintah untuk melakukan pembangunan di bidang nonpertanian terutama industri. Kecenderungan ini menyebabkan kurangnya perhatian banyak pihak terhadap keberlanjutan kegiatan pertanian.

Manuwoto (1992) mengungkapkan bahwa kegiatan ekonomi adalah berbagai kegiatan pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat. Diungkapkan pula bahwa proyek-proyek kegiatan pembangunan sesungguhnya memerlukan lahan sebagai media utama penunjangnya. Selain kegiatan ekonomi dan pembangunan, faktor kondisi ekonomi masyarakat khususnya petani juga mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Faktor ini diperkuat oleh hasil penelitian Sihaloho (2004) yang mengungkapkan bahwa keterdesakan ekonomi yang mendorong perilaku untuk mencari solusi dalam berbagai aspek untuk meningkatkan kesejahteraan. Mereka yang ekonominya terdesak menginginkan perubahan memiliki usaha baru di luar sektor pertanian karena penghasilan dari usaha pertanian tidak mencukupi kebutuhan keluarga. Keterdesakan ekonomi mendorong masyarakat untuk menjual lahannya kepada PT-PT di kelurahan Mulyaharja.

(5)

11 Penelitian lain juga menjelaskan bahwa alasan petani di Jawa melakukan konversi lahan adalah karena kebutuhan ekonomi yang mendesak, harga lahan yang cukup menarik keinginan petani untuk menjual lahannya, dan kondisi lahan yang berada dalam kawasan industri. Sangat jelas bahwa kegiatan ekonomi memegang peranan penting sebagai penyebab terjadinya konversi lahan. Penelitian yang dilakukan oleh Sumaryanto et al (1995) memperkuat alasan tersebut, yaitu perubahan struktur perekonomian menyebabkan konversi lahan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya konversi lahan akibat usaha agribisnis seperti usaha tambak di kawasan Pantura. Selain itu, faktor harga tanah sawah juga mempengaruhi konversi lahan yang dapat ditunjukkan oleh hasil penelitian Syafa‟at et al (1994) dalam Sumaryanto et al (1995) bahwa harga jual lahan yang menarik merupakan alasan utama petani melepaskan lahan sawahnya.

Kebijaksanaan Pembangunan

Merujuk pada Manuwoto (1992), kebijaksanaan pembangunan makro yang diambil oleh suatu pemerintah akan mempengaruhi terhadap pemilihan investasi yang ditanam dan pada gilirannya keadaan tersebut dapat mempengaruhi pengalihan fungsi lahan. Inilah dilema dalam pembangunan, di satu sisi pembangunan sangat diperlukan namun disisi lain pembangunan pada akhirnya dapat merambat pada lahan pertanian produktif.

Beberapa penelitian telah berhasil menggambarkan bahwa kebijaksanaan pembangunan dapat mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Pada penelitian Sihaloho (2004) ditemukan bahwa kegiatan pembangunan yang dilakukan pemerintah ternyata memiliki andil dalam aktivitas konversi lahan. Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) tahun 2005, seluas 269,42 ha lahan Kelurahan Mulyaharja akan dialokasikan untuk pemukiman, yang terdiri dari 146,42 ha untuk permukiman penduduk dan 123 ha untuk real estate. Dijelaskan pula bahwa seiring dengan perubahan Kelurahan Mulyaharja dari Kabupaten menjadi wilayah Kota maka daerah ini menjadi prioritas pembangunan permukiman baru di Kota Bogor. Berdasarkan RTRW Kota Bogor Tahun 2009, alokasi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya agraria adalah 8.942,79 ha (75,47%) wilayah Kota dialokasikan menjadi daerah permukiman.

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yunis (2001) yang memperkuat kebijaksanaan pembangunan sebagai faktor penyebab konversi lahan adalah intervensi pemerintah yang merupakan kegiatan pembangunan mempengaruhi terjadinya konversi lahan. Pemerintah mengundang para investor untuk menanamkan modal di wilayah pertanian di Aceh sehingga mengganggu aktivitas pertanian yang pada akhirnya terjadi alih guna lahan pertanian menjadi kawasan industri. Semakin pesatnya pembangunan di suatu wilayah dapat merambat pada wilayah di sekitarnya yang masih memiliki potensi pertanian. Sejalan dengan hal tersebut, hasil penelitian Maftuchah (2005) menunjukkan bahwa pada bagian selatan dari Kota Surakarta hampir semua lahan pertanian yang ada berubah fungsi menjadi perumahan. Hal ini dikarenakan di bagian selatan berbatasan dengan bangunan-bangunan pusat perbelanjaan, industri, dan perumahan. Hasil yang sama diperoleh dalam penelitian Irawan (2005) yang menunjukkan data luas lahan yang terkonversi selama tahun 2000-2002 adalah sebesar 110,16 ribu hektar

(6)

12

per tahun (58,58% dari total luas sawah yang dikonversi). Diperoleh juga data bahwa secara nasional, alokasi terbesar konversi lahan digunakan untuk pembangunan perumahan sebesar 48,58%. Sementara alokasi untuk pembangunan jalan dan sarana publik lainnya sebesar 28,29%. Pada penelitiannya, ternyata di Pulau Jawa konversi lahan untuk pemukiman lebih besar daripada di luar Jawa. Tetapi konversi lahan untuk pembangunan sarana dan prasarana lainnya lebih banyak terjadi di luar Jawa. Sebagian besar, konversi lahan disebabkan oleh kebutuhan manusia terhadap pembangunan di berbagai sektor. Namun dalam hal ini, sektor non pertanian menjadi unggulan dalam setiap pembangunan. Seperti halnya dalam penelitian Sumaryanto et al [tidak ada tahun] yang menunjukkan lebih dari 50 persen konversi lahan sawah digunakan untuk perumahan, prasarana, dan kawasan industri. Adapun Keputusan Presiden No.33 Tahun 1990 dalam Taneko (1992) mengenai penyediaan tanah maupun pemberian lokasi industri. Pada intinya, Keppres tersebut menetapkan bahwa:

“kawasan indsustri harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah dan tidak mengurangi tanah pertanian. permohonan tanah untuk industri yang berupa sawah irigasi ditolak. Juga permohonan tanah untuk pemukiman akan ditolak jika berada di tengah sawah beririgasi atau lahan pertanian lain.”

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan, ternyata pembangunan dalam berbagai sektor nonpertanian memiliki andil yang cukup besar terhadap adanya konversi lahan pertanian. Peran pemerintah dalam kegiatan pembangunan sangat diperlukan dalam membuat kebijakan pembangunan yang disesuaikan dengan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) pada masing-masing wilayah.

Dampak Konversi Lahan Pertanian

Pada umumnya, aktivitas konversi lahan menghasilkan dampak negatif. Menurut Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), dampak negatif konversi lahan sawah adalah degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, pendapatan pertanian menurun dan meningkatnya kemiskinan, pemubaziran investasi, dan dampak negatif lainnya. Pada pembahasan degradasi daya dukung ketahanan pangan nasional, dijelaskan bahwa konversi lahan sawah menjadi nonsawah akan berpengaruh pada menurunnya tingkat produksi pangan. Kondisi ini lebih buruk ditunjukkan dengan sifat konversi lahan yang permanen, artinya lahan yang dulu digunakan untuk sawah memerlukan waktu yang cukup lama atau bahkan tidak dapat digunakan kembali sebagai lahan sawah setelah dikonversi. Hal ini akan berpengaruh pula pada produktivitas pangan yang semakin menurun karena hilangnya lahan produktif. Berdasarkan uraian dari Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), mayoritas pelaku usahatani padi adalah masyarakat pedesaan. Oleh karena itu, lahan pertanian merupakan sumber nafkah bagi para petani. Terkait dengan aktivitas konversi lahan yang menyebabkan hilangnya lahan produktif, hal ini akan menyebabkan pula pendapatan para petani yang semakin menurun. Menurunnya tingkat pendapatan ini akan berpengaruh pula pada semakin meningkatnya kemiskinan bagi para petani.

(7)

13 Sementara Firman (2005) mengungkapkan bahwa dampak konversi lahan terbagi atas dampak secara langsung dan tidak langsung. Dampak secara langsung dapat dilihat dari hilangnya lahan pertanian subur (prime agricultural land), hilangnya investasi dalam infrastruktur irigasi, kerusakan natural lansekap, dan masalah lingkungan (seperti eksploitasi air tanah dalam yang berlebihan). Sementara dampak tidak langsung dapat dilihat dari influx penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah tepi kota.

Adapun penelitian Sihaloho (2004) yang menjelaskan bahwa secara umum konversi lahan telah menyebabkan perubahan struktur agraria yang mempengaruhi terjadinya perubahan pada aspek lain. Perubahan tersebut ditunjukkan dengan adanya kesenjangan dalam masyarakat (aspek sosiologis), kesejahteraan masyarakat dalam kondisi „sulit‟ (aspek ekonomis), kondisi udara semakin panas (aspek ekologis), perluasan akumulasi modal oleh para pemodal (aspek politis), dan sosial budaya. Perubahan struktur agraria yang terjadi dapat dilihat dari pemilikan tanah yang semakin sempit, hilangnya akses terhadap lahan bagi petani, berkurangnya peluang berusaha di sektor pertanian (seiring dengan perubahan petani pemilik menjadi petani penggarap dan petani penggarap menjadi buruh tani dan buruh tani sebagian tidak dapat bekerja di sektor pertanian). Sedikit berbeda dengan penelitian lainnya, penelitian Maftuchah (2005) menjelaskan bahwa dampak konversi lahan di pinggiran Kota Surakarta dapat memicu potensi konflik yang melibatkan kota lain. Lebih jauh, pada penelitian ini dijelaskan bahwa pengurangan lahan pertanian secara terus menerus akan memiliki dampak jangka panjang yaitu hilangnya lahan pertanian akan menyebabkan hilangnya sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan.

Konversi Lahan dan Ketahanan Pangan

Telah diketahui bersama, bahwa konversi lahan yang terjadi pada umumnya bersifat permanen. Contoh yang umum ditemukan adalah konversi lahan sawah menjadi kawasan pemukiman. Lahan yang telah beralih fungsi menjadi pemukiman, tidak dapat mengembalikan kesuburan lahan seperti ketika lahan tersebut digunakan untuk sawah. Fenomena ini merupakan permasalahan yang serius, karena dalam jangka panjang dapat mengganggu ketahanan pangan bagi wilayah yang mengalami konversi lahan pertanian. Pada jangka panjang, konversi lahan pertanian yang terus menerus terjadi di berbagai wilayah akan berdampak pada terancamnya ketahanan pangan dalam skala nasional. Namun konteks ketahanan pangan dalam rumah tangga dan keluarga menjadi penting untuk ditelusuri sebelum beranjak pada skala nasional. Kondisi ketahanan pangan dalam rumah tangga dan keluarga akan mencerminkan kondisi ketahanan pangan secara nasional. Hasan dalam Sihite (2011) menjelaskan bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga tercermin oleh ketersediaan pangan yang cukup, merata pada setiap waktu, terjangkau secara fisik maupun ekonomi, serta tercapainya konsumsi sesuai dengan persyaratan gizi dalam suatu budaya. Indikator ketahanan pangan rumah tangga menurut Soetrisno dalam Sihite (2011) dapat dilihat dari kecukupan konsumsi, serta indikator sosial ekonomi dan demografi yang dapat diukur melalui pendapatan, pendidikan, struktur keluarga, harga pangan, pengeluaran pangan, dan sebagainya.

(8)

14

Terancamnya ketahanan pangan nasional dapat terlihat dari terpenuhinya ketahanan pangan di tingkat keluarga. Efek dari ketahanan pangan yang tidak tercukupi adalah bahaya kelaparan dan menyebabkan kerugian. Sumaryanto dan Sudaryanto (2005) menguraikan bahwa kerugian akibat konversi lahan sawah berupa hilangnya kesempatan kapasitas untuk memproduksi padi antara 4,5 – 12,5 ton hektar/ tahun, tergantung pada kualitas lahan yang bersangkutan.

Penelitian Irawan (2005) telah berhasil menggambarkan bahwa konversi lahan akan berdampak pada terganggunya ketahanan pangan nasional. Penelitian ini menjelaskan bahwa permasalahan substantif ketahanan pangan tidak hanya mencakup kuantitas ketersediaan pangan, tetapi meliputi ketersediaan pangan menurut waktu dan akses masyarakat terhadap pangan. Irawan et al (2003) dalam Irawan (2005) menguraikan konversi lahan sawah sangat berpengaruh pada kuantitias ketersediaan pangan karena sekitar 90 persen produksi nasional dihasilkan dari lahan sawah dan sisanya dari lahan kering. Secara singkat, Maftuchah (2005) juga menjelaskan mengenai hilangnya lahan pertanian akibat konversi lahan sawah sama dengan hilangnya sumberdaya lahan sebagai penghasil pangan. Sejalan dengan penelitian tersebut, Hariyanto (2010) mengungkapkan hal yang sama bahwa konversi lahan memiliki dampak terhadap pemerintah yaitu mengganggu program ketahanan pangan nasional. Hasil yang sama dapat tergambar pada penelitian Ilham et al (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) yang menjelaskan mengenai dampak negatif konversi lahan sawah terhadap ancaman ketersediaan pangan nasional karena adanya penurunan produksi padi.

Konversi Lahan dan Kesempatan Kerja Petani

Pada beberapa penelitian, dijelaskan bahwa hilangnya lahan pertanian akan berdampak pada subyek agraria. Subyek agraria yang dimaksud dalam hal ini adalah para petani yang semula memiliki lahan pertanian dengan luas yang berbeda-beda. Dampak yang dirasakan berkaitan dengan sumber nafkah dan pekerjaan mereka dalam sektor pertanian. Telah diketahui bersama bahwa pada umumnya, pekerjaan petani berkaitan erat dengan lahan sawah. Tidak banyak petani yang memiliki pekerjaan sampingan di luar sektor pertanian. Oleh karena itu, hilangnya lahan pertanian akibat konversi lahan khususnya konversi lahan yang bersifat permanen akan cenderung menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dalam sektor pertanian. Apalagi jika lahan pertanian telah di konversi menjadi lahan nonpertanian, para petani tersebut belum tentu mampu untuk bersaing jika diberi kesempatan untuk bekerja di luar sektor pertanian.

Suatu contoh kasus ditemukan dalam penelitian Sihaloho (2004) bahwa konversi lahan menyebabkan perubahan struktur agraria di Kelurahan Mulyaharja. Salah satu perubahan tersebut ditunjukkan dengan berkurangnya peluang berusaha di sektor pertanian. Perubahan ini menyebabkan pergeseran pekerjaan petani dari petani pemilik menjadi petani penggarap, petani penggarap menjadi buruh tani, dan buruh tani sebagian tidak dapat bekerja di sektor pertanian. Buruh tani inilah yang terkena dampak paling dirugikan karena hilangnya kesempatan untuk bekerja di sektor pertanian. Secara implisit, penelitian Yunis (2001) juga menunjukkan bahwa konversi lahan menyebabkan berkurangnya kesempatan petani untuk bekerja di sektor pertanian. Kondisi ini ditunjukkan dengan semakin

(9)

15 miskin masyarakat Aceh karena lahan garapan (pertanian) telah hilang dan berubah menjadi kawasan industri. Hasil yang sama ditunjukkan oleh penelitian Ruswandi (2005) dan Rusastra dan Budhi (1997) bahwa pemilikan luas lahan pertanian yang semakin sempit bahkan petani kehilangan lahan berakibat pada semakin banyak jumlah petani yang melakukan usaha di luar sektor pertanian. Lebih jauh Rusastra dan Budhi (1997) menjelaskan bahwa konversi lahan terjadi akibat petani berlahan luas melakukan ekspansi pembelian tanah dan menekan eksistensi petani gurem sehingga mereka (petani gurem) tidak dapat berkecimpung di sektor pertanian. Hasil yang sama ditemukan dalam penelitian Ruswandi (2005) bahwa berkurangnya lahan sawah irigasi dapat menyebabkan terjadinya penurunan kesempatan kerja buruh tani. Lebih jauh Irawan (2005) menjelaskan bahwa penurunan kesempatan kerja akan berdampak pada penurunan pendapatan petani. Penelitian lain yang dilakukan oleh Sumaryanto et al [tidak ada tahun] menunjukkan hal yang sama bahwa luasan lahan pertanian yang semakin berkurang di Jawa berdampak pada hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap dan buruh tani di wilayah Jawa. Pada penelitian ini, menjelaskan bahwa masyarakat lokal tidak dapat menikmati kesempatan kerja dari aktivitas ekonomi yang baru karena kalah bersaing dengan masyarakat pendatang.

Berdasarkan penelitian-penelitiaan yang ditemukan, secara umum petani sangat dirugikan oleh aktivitas konversi lahan. Hal ini bertentangan dengan pasal 18 UUPA yang berbunyi:

“Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.”

Dari undang-undang tersebut jelas bahwa seharusnya mereka (petani) mendapatkan ganti rugi yang layak atas hilangnya lahan-lahan pertanian yang mereka miliki sebelumnya. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu, sebagian besar dari mereka hanya sedikit atau bahkan tidak memperoleh timbal balik yang positif dari aktivitas konversi lahan.

Penurunan Tingkat Pendapatan Petani

Berbicara mengenai konversi lahan dan dampaknya, petani sawah merupakan pihak yang terkena dampak paling besar dari aktivitas konversi lahan sawah. Sebagian besar dari mereka mengandalkan lahan sawah sebagai sumber nafkah. Oleh karena itu, sangat logis jika lahan pertanian semakin sempit atau bahkan hilang, kondisi ekonomi para petani akan semakin buruk pula. Berdasarkan Sumaryanto dan Sudaryanto (2005), “pendapatan usahatani padi adalah sekitar Rp. 2,9 juta/hektar/musim dari nilai output sekitar Rp. 5,2 juta”. Apabila lahan sawah terus dikonversi ke penggunaan nonsawah, kerugian yang dialami petani akan semakin besar. Hal ini akan memungkinkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia akan semakin tinggi. Penelitian Ruswandi (2005) menguraikan bahwa konversi lahan menyebabkan terjadinya perubahan sosial

(10)

16

ekonomi pada rumah tangga petani. Data penelitian menunjukkan rata-rata pemilikan telah menurun sebesar 0,2 ha (53%) dibandingkan luas pemilikan tahun 1992 yang menyebabkan penurunan pendapatan usahatani tahun 2002 sebesar 21.738.965/Th (57,96%) dibanding pendapatan usahatani tahun 1992 .

Adapun penelitian yang dilakukan oleh Yunis (2001) mengenai pemisikinan masyarakat Aceh akibat konversi lahan. Kondisi masyarakat Aceh menjadi lebih miskin setelah para investor datang untuk melakukan penanaman modal dan melakukan konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri. Kehadiran para investor mampu mempercepat pemiskinan masyarakat Aceh yang saat itu sedang dilanda krisis moneter. Data mengenai penurunan tingkat pendapatan dapat diperoleh dari hasil penelitian Sumaryanto et al [tidak ada tahun] yang juga menjelaskan bahwa penyebab dari turunnya pendapatan petani adalah konversi lahan pertanian. Berdasarkan data tahun 1994 dan 1999 menunjukkan bahwa petani kehilangan kesempatan untuk memperoleh pendapatan sebesar Rp. 2,3 juta dan kelompok buruh tani sebesar Rp. 900.000/ musim. Data lainnya yang menunjukkan penurunan pendapatan usahatani ditemukan pada penelitian Ruswandi (2005) yang dilakukan di Kecamatan Lembang dan Parongpong yaitu sebesar 21.738.965 (57,96%) pada tahun 2002 dibanding pendapatan usahatani tahun 1992. Kondisi ini disebabkan oleh pemilikan lahan pertanian yang menurun sebesar 0,2 Ha (53%) dibandingkan luas pemilikan tahun 1992. Secara ringkas, Irawan (2005) dan Ilham et al (2005) juga menyebutkan pendapatan petani akan cenderung menurun ketika konversi lahan terus dilakukan, bahkan mereka (petani) akan kehilangan sumber mata pencahariannya (Hariyanto 2010). Sedangkan pada penelitian Rusastra dan Budhi (1997), konversi lahan memiliki dampak positif dan negatif terhadap para petani. Dampak negatif dirasakan oleh petani berlahan sempit karena luas dan pemilikan lahan menurun sehingga terjadi penurunan pekerjaan bagi petani, yaitu menjadi buruh atau di luar pertanian. Sedangkan dampak positif dirasakan oleh petani berlahan luas karena mereka dapat melakukan ekspansi pembelian tanah dan menekan eksistensi para petani gurem. Kedua dampak tersebut akan bermuara pada penurunan dan peningkatan pendapatan petani. Dampak negatif pada petani berlahan sempit cenderung menurunkan tingkat pendapatan mereka. Sedangkan dampak negatif pada petani berlahan luas cenderung meningkatkan pendapatan mereka.

Sikap dan Karakteristik Individu

Sikap merupakan kecenderungan seseorang untuk melakukan penilaian secara positif maupun negatif terhadap suatu obyek tertentu. Sikap seseorang terhadap suatu obyek merefleksikan tingkah laku atau tindakan individu. Menurut Pertiwi (2011: 15), sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi terhadap suatu objek yang didasarkan pada hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif, dan konatif. Sementara Ahmadi (2007) dalam Winarni (2012) mengartikan sikap sebagai kesadaran individu yang menentukannya melakukan perbuatan secara nyata dalam kegiatan-kegiatan sosial dalam masyarakat. Sikap menurut Warnaen (2002) dalam Winarni (2012) adalah kecenderungan seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu, sehingga sikap yang dibentuk oleh seseorang bukan hanya

(11)

17 berasal dari faktor internal individu melainkan sebagai proses kesadaran yang sifatnya individual. Sementara Newcomb et al (1978: 76) mengungkapkan bahwa sikap-sikap dilihat sebagai penentu dalam keseluruhan organisasi individu, beberapa konsekuensi sikap-sikap terhadap tingkah laku adalah tidak langsung karena diperantarai oleh proses-proses psikologis lainnya. Lebih jauh Newcomb et al (1978: 77) mengatakan bahwa afek terhadap suatu objek dapat digolongkan sebagai positif atau negatif. Sikap-sikap positif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan pendekatan terhadap objek, sementara sikap-sikap negatif memiliki kecenderungan bahwa orang yang bersangkutan melakukan penghindaran terhadap objek. Newcomb et al (1978: 77) juga menyebutkan bahwa ada derajat-derajat kebaikan atau keburukan yang dapat dikenakan kepada objek. Berkaitan dengan derajat kebaikan atau keburukan dalam sikap, Suchman (1950) dalam Newcomb et al (1978: 77) menggambarkan penempatan orang-orang tentara pada suatu skala sikap yang bergerak dari sikap-sikap sangat negatif ke sikap-sikap-sikap-sikap sangat positif terhadap Korps Tentara Wanita (WAC)x). Berikut ini adalah gambar yang dapat menjelaskan derajat sikap.

Gambar 1 Representation of an attitude continuum Sumber: Suchman (1950) dalam Newcomb (1978: 78)

Adapun penelitian Nurjanah (2011: 53) yang menjelaskan bahwa karakteristik individu dapat mempengaruhi sikap seseorang. Karakteristik individu tersebut meliputi karakteristik sosial ekonomi keluarga, usia, dan pendidikan. Karakteristik sosial ekonomi dilihat dari beberapa variabel antara lain pendapatan, luas lahan pekarangan, status rumah dan pekarangan, dan pengeluaran dalam keluarga. Sementara Pertiwi (2011) mengungkapkan bahwa sikap dibentuk oleh faktor eksternal dan internal individu. Faktor internal individu meliputi umur, tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, dan jumlah tanggungan dalam keluarga.

Kerangka Pemikiran

Konversi lahan adalah perubahan fungsi lahan akibat aktivitas manusia. Konversi lahan yang dikaji adalah perubahan fungsi lahan dari lahan pertanian (sawah) menjadi lahan non sawah. Lahan sawah pada umumnya terletak di wilayah pedesaan. Namun seiring dengan meningkatnya aktivitas manusia di sektor non pertanian, keberadaan lahan pertanian semakin tergeser akibat konversi lahan. Wilayah yang mengalami konversi lahan pada umumnya wilayah yang dekat dengan perkotaan. Istilah lain yang digunakan adalah rambatan spasial

Strongly positive Strongly negative

---

--

-

0

Neutral

(12)

18

wilayah pertanian yang diakibatkan oleh kebutuhan lahan yang semakin tinggi untuk pembangunan.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah menjadi lahan non sawah antara lain faktor sosial, ekonomi, dan kebijaksanaan pembangunan. Faktor sosial ditunjukkan dengan peningkatan jumlah penduduk yang mendorong kebutuhan lahan yang semakin tinggi. Jumlah penduduk yang semakin tinggi membutuhkan ruang untuk tempat tinggal yang semakin luas. Sementara faktor ekonomi ditunjukkan dengan keterdesakan ekonomi petani sehingga terpaksa menjual lahannya kepada pihak lain yang pada umumnya membutuhkan lahan untuk kegiatan pembangunan. Kebijaksanaan pembangunan ditunjukkan dengan adanya campur tangan pemerintah dalam hal penggunaan lahan untuk pembangunan wilayah.

Faktor-faktor tersebut dapat mendorong konversi lahan dengan berbagai pola konversi dan pemanfaatan lahan yang dikonversi. Pola konversi lahan dapat dikategorikan konversi lahan menurut pelaku dan prosesnya. Sementara pemanfaatan lahan yang dikonversi meliputi pemanfaatan untuk aktivitas pertanian lain (peternakan, perikanan, atau perkebunan) dan lahan untuk non pertanian (pemukiman, industri, pertambangan, atau pembangunan sarana dan prasarana).

Konversi lahan memiliki dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Dampak sosial ekonomi petani ditunjukkan dengan ancaman terhadap ketahanan pangan keluarga, kesempatan kerja petani yang semakin berkurang dalam sektor pertanian, semakin menurunnya pendapatan petani dan semakin sempitnya penguasaan lahan (sawah) oleh petani. Penguasaan lahan nampaknya berpengaruh terhadap kehidupan petani yang pada umumnya bertumpu pada lahan pertanian4. Pada umumnya petani menjadikan lahan pertanian sebagai sumber nafkah keluarga. Apalagi bagi petani yang tidak memiliki pekerjaan lain di luar sektor pertanian. Oleh karena itu, sebagian besar aktivitas mereka dihabiskan dengan bercocok tanam di sawah.

Berbicara mengenai kehidupan petani, maka karakteristik petani menjadi penting untuk diuji hubungannya dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian. Karakteristik petani yang diuji meliputi jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan, serta luas dan penguasaan sawah oleh petani. Sikap petani terhadap konversi lahan dapat menggambarkan tindakan mereka terhadap aktivitas konversi lahan pertanian. Namun demikian, sikap petani tidak dikaji sebagai penyebab dari konversi lahan pertanian. Sikap ini hanya menunjukkan penilaian positif atau negatif oleh petani terhadap konversi lahan pertanian. Sikap petani yang memiliki penilaian negatif terhadap konversi lahan pertanian menunjukkan bahwa tindakan yang mereka harapkan adalah menghentikan konversi lahan. Sebaliknya, sikap positif terhadap konversi lahan menunjukkan bahwa mereka setuju terhadap konversi lahan. Gambaran sikap petani merupakan suara atau pendapat dari mereka yang memiliki harapan terhadap pertanian. Pendapat mereka dapat digunakan sebagai kritik terhadap pemangku kebijakan untuk bertindak adil terhadap petani dan merencanakan kebijakan-kebijakan pembangunan sesuai dengan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat.

4

Pertanian yang dimaksud dalam hal ini adalah pertanian dalam arti sempit, yaitu pertanian sawah untuk menghasilkan pangan.

(13)

19 Pada penelitian ini, terdapat variabel yang dikaji secara kualitatif dan kuantitatif. Variabel yang dikaji secara kualitatif adalah pola-pola konversi lahan pertanian dan pemanfaatan lahan yang dikonversi, faktor penyebab konversi lahan, dan dampak konversi terhadap kondisi sosial ekonomi petani. Sedangkan variabel yang dikaji secara kuantitaif adalah karakteristik petani yang terdiri dari jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan, status pekerjaan bertani, jumlah tanggungan dalam keluarga, tingkat pendapatan petani, serta luas dan penguasaan lahan (sawah) oleh petani.

Gambar 2 Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian

Keterangan:

: Pengaruh/ Dampak : Terhadap

: Variabel yang dikaji secara kualitatif : Variabel yang dikaji secara kuantitatif

Faktor Penyebab Konversi Lahan: 1. Sosial 2. Ekonomi 3. Kebijakan pembangunan Konversi Lahan: 1. Pola-pola konversi lahan 2. Pemanfaatan lahan yang dikonversi

Dampak konversi lahan (Sosial Ekonomi): 1. Ketahanan pangan

keluarga

2. Kesempatan kerja petani dalam pertanian

3. Pendapatan petani 4. Penguasaan sawah oleh

petani

Karakteristik petani: 1. Jenis kelamin 2. Usia

3. Tingkat pendidikan 4. Status pekerjaan bertani

5. Jumlah tanggungan dalam keluarga 6. Tingkat pendapatan

7. Luas dan penguasaan lahan oleh petani

(14)

20

Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini meliputi hipotesis pengarah dan hipotesis uji. Hipotesis pengarah digunakan untuk variabel yang dikaji secara kualitatif. Sedangkan hipotesis uji digunakan untuk variabel yang diuji secara statistik (variabel kuantitatif).

Hipotesis pengarah dalam penelitian ini antara lain:

1. Faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebijakan pembangunan merupakan faktor penyebab konversi lahan

2. Konversi lahan yang terjadi dilihat melalui pola-pola konversi lahan dan pemanfaatan lahan yang dikonversi

3. Konversi lahan memiliki dampak terhadap kondisi sosial ekonomi petani seperti penurunan ketahanan pangan keluarga, penurunan kesempatan kerja dalam pertanian, penurunan pendapatan petani, dan perubahan pola penguasaan lahan oleh petani.

Sementara hipotesis uji dalam penelitian ini antara lain:

1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

2. Terdapat hubungan antara usia dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

3. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

4. Terdapat hubungan antara status pekerjaan bertani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

5. Terdapat hubungan antara jumlah tanggungan dalam keluarga dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

6. Terdapat perbedaan antara tingkat pendapatan dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian

7. Terdapat hubungan antara luas dan penguasaan lahan oleh petani dengan sikap petani terhadap konversi lahan pertanian.

Definisi Konseptual

Definisi konseptual untuk menjelaskan variabel yang diuji secara kualitatif antara lain:

1. Faktor penyebab konversi lahan adalah faktor-faktor yang menyebabkan lahan pertanian terkonversi menjadi lahan nonpertanian. Faktor tersebut antara lain faktor sosial, faktor ekonomi, dan faktor kebijaksanaan pembangunan.

2. Faktor sosial merupakan faktor penyebab konversi lahan akibat pertambahan jumlah penduduk yang memerlukan ruang gerak untuk hidup. 3. Faktor ekonomi merupakan keadaan ekonomi yang mendesak pelaku

konversi lahan untuk melakukan konversi.

4. Faktor kebijaksanaan pembangunan adalah faktor penyebab konversi lahan pertanian oleh adanya campur tangan pemerintah dalam penggunaan lahan untuk pembangunan wilayah.

(15)

21 5. Pola konversi lahan adalah motif yang mendasari tindakan untuk melakukan konversi lahan pertanian. Pola konversi lahan dapat dilihat dari aspek menurut pelaku konversi lahan dan aspek menurut prosesnya. 6. Penggunaan lahan yang dikonversi adalah cara memanfaatkan lahan

pertanian yang telah dikonversi. Penggunaan lahan yang dikonversi mencakup penggunaan untuk pemukiman, kawasan industri, dan kegiatan pembangunan seperti pembangunan infrastruktur, sarana, dan prasarana. 7. Dampak konversi lahan pertanian adalah dampak yang dirasakan oleh

petani, yaitu dalam kehidupan sosial ekonomi petani.

8. Kehidupan sosial ekonomi petani meliputi ketahanan pangan keluarga, pendapatan petani, dan kesempatan kerja bagi petani dalam sektor pertanian.

9. Pendapatan petani adalah penerimaan petani dalam bentuk uang yang diperoleh dari hasil pengolahan lahan pertanian.

10. Ketahanan pangan keluarga adalah strategi keluarga petani dalam mempertahankan ketersediaan pangan5 dalam keluarga.

11. Kesempatan kerja petani adalah peluang bagi responden untuk dapat bekerja di sawah (mengolah sawah mulai dari penanaman hingga pemanenan).

Definisi Operasional Definisi operasional dalam penelitian ini antara lain:

1. Jenis kelamin adalah karakteristik biologis yang dimiliki oleh responden sebagaimana yang tercantum dalam kartu identitas.

a. Laki-laki (1) b. Perempuan (2)

2. Usia adalah rentang hidup responden mulai dari masa kelahiran hingga penelitian ini dilakukan. Usia responden dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Kategori usia responden dapat dilihat sebagai berikut:

a. Kategori usia muda: < 45 tahun (skor 1) b. Kategori usia sedang: 45-62 tahun (skor 2) c. Kategori usia tua: > 62 tahun (skor 3)

3. Tingkat pendidikan adalah jenis pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti oleh responden. Kategori tingkat pendidikan dapat dilihat sebagai berikut:

a. Tingkat pendidikan tergolong tinggi: ≥ SMA (Skor 3) b. Tingkat pendidikan tergolong sedang: SMP (Skor 2) c. Tingkat pendidikan tergolong rendah: SD (Skor 1)

4. Status pekerjaan bertani adalah status pekerjaan yang dimiliki oleh responden dalam mengolah sawah. Status pekerjaan bertani dikategorikan menjadi bertani sebagai pekerjaan utama dan bertani sebagai pekerjaan sampingan. Kategori dan skor status pekerjaan bertani dapat dilihat sebagai berikut:

5

(16)

22

a. Skor 2 untuk status pekerjaan bertani sebagai pekerjaan utama b. Skor 1 untuk tatus pekerjaan bertani sebagai pekerjaan sampingan 5. Jumlah tanggungan dalam keluarga adalah jumlah individu yang ada

dalam keluarga responden yang masih ditanggung biaya hidupnya oleh responden. Keluarga responden meliputi anak, istri, saudara, orang tua, atau orang lain yang dianggap keluarga oleh responden. Biaya hidup adalah seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik secara biologis maupun sosial. Biaya hidup meliputi biaya sandang, pangan, pakan, pendidikan, kesehatan, dan hiburan. Jumlah tanggungan dalam keluarga dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Skor ditentukan berdasarkan jumlah tanggungan dalam keluarga responden. Semakin banyak jumlah tanggungan dalam keluarga responden, skor akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Kategori jumlah tanggungan dalam keluarga dapat dilihat sebagai berikut:

a. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong sedikit jika responden tidak memiliki tanggungan atau memiliki tanggungan sebanyak 1-2 (skor 1)

b. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong sedang jika responden memiliki tanggungan sebanyak 3-5 orang (skor 2)

c. Jumlah tanggungan dalam keluarga tergolong banyak jika responden memiliki tanggungan sebanyak 6-7 orang (skor 3).

6. Tingkat pendapatan adalah total pendapatan yang diterima oleh responden (petani) dari hasil pengolahan sawah yang ditambah dengan pendapatan lain (selain mengolah sawah) yang dihitung dalam satu tahun. Tingkat pendapatan dikategorikan berdasarkan sebaran data responden di lapangan. Skor ditentukan berdasarkan tingkat pendapatan responden. Semakin tinggi tingkat pendapatan responden, skor akan semakin tinggi, dan sebaliknya. Kategori tingkat pendapatan responden dapat dilihat sebagai berikut:

a. Tingkat pendapatan rendah: < Rp. 8.000.000 per tahun

b. Tingkat pendapatan sedang: Rp. 8.000.000 – Rp. 24.000.000 per tahun c. Tingkat pendapatan tinggi: > Rp. 24.000.000 per tahun.

7. Luas dan penguasaan sawah oleh petani adalah ukuran sawah yang dapat diakses oleh petani dan memiliki pola penguasaan didalamnya. Luas dan penguasaan sawah oleh petani dikategorikan menjadi petani berlahan luas, petani berlahan sempit, dan petani tak berlahan. Petani tak berlahan adalah orang yang tidak memiliki lahan sama sekali dan bekerja sebagai buruh di sawah milik orang lain. Penggarap dan penyewa adalah orang yang tidak memiliki lahan tetapi menggarap atau mengolah sawah milik orang lain. Ukuran sawah ditentukan berdasarkan data emik (data lapangan). Kategori luas dan penguasaan lahan oleh petani datap dilihat sebagai berikut:

a. Petani yang tidak memiliki lahan tergolong buruh tani

b. Petani yang memiliki lahan dengan luas < 0,5 ha tergolong petani berlahan sempit

c. Petani yang memiliki lahan dengan luas ≥ 0,5 ha tergolong petani berlahan luas.

(17)

23 8. Sikap petani adalah kecenderungan petani untuk melakukan penilaian positif atau negatif terhadap konversi lahan pertanian. Pengukuran sikap dilakukan dengan pemberian pernyataan yang mencakup pada tiga ranah sikap yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Pernyataan ini mengarah pada penggalian informasi yang meliputi faktor penyebab konversi lahan serta dampak yang terjadi setelah konversi lahan, khususnya terhadap kehidupan sosial ekonomi petani. Pernyataan yang diberikan dihadapkan pada empat pilihan jawaban, yaitu sangat setuju (skor 1), setuju (skor 2), tidak setuju (skor 3), dan sangat tidak setuju (skor 4).

Gambar

Gambar  2  Kerangka Analisis Konversi Lahan Pertanian

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Dampak Alih Fungsi Lahan Pertanian Terhadap Ketahanan Pangan Di Kabupaten Bekasi Jawa Barat. Institut

Terdapat tiga tipologi perubahan pemanfaatan lahan pertanian tanaman pangan, yakni Tipologi I (Kecenderungan dampak dan laju tinggi), Tipologi II (Kecenderungan dampak dan laju

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mendorong petani mengkonversikan lahan pertanian, dampak dari konversi lahan pertanian, pengendalian

Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisis dampak konversi lahan pertanian terhadap kondisi sosial ekonomi petani, megetahui dinamika sosial yang terjadi dalam konversi

Penguatan Ketahanan Pangan Daerah untuk Mendukung Ketahanan Pangan Nasional.(Jurnal) Pusat Analisis Sosial Ekonomi (PSE) dan Kebijakan Pertanian, Vol.. Perkembangan Beberapa

Lokakarya Ketahanan Pangan Rumah Tangga tahun 1996 merumuskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga adalah kemampuan untuk memenuhi pangan anggota keluarga dari waktu ke

Penelitian Irawan (2005) menegaskan bahwa dampak konversi lahan sawah terhadap masalah pangan yang tidak dapat segera dipulihkan, disebabkan oleh 4 alasan, yaitu: (a) lahan sawah

Yang dipermasalahkan Pemerintah kabupaten Indramayu bukan dampak pengalihan lahan pertanian menjadi jalan tol sehingga mengurangi produksi pangan di kabupaten tersebut,