• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Disiplin Kerja. seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Disiplin Kerja. seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Disiplin Kerja

1. Pengertian

Menurut Hasibuan (2016), kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin adalah sikap mental yang tercermin dalam perbuatan atau tingkah laku perorangan, kelompok, atau masyarakat, yang berupa ketaatan (obedience) terhadap peraturan yang ditetapkan pemerintah atau etik, norma, dan kaidah yang berlaku dalam masyarakat untuk tujuan tertentu. Disiplin dapat pula diartikan sebagai pengendalian diri agar tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan falsafah suatu bangsa/Negara (Sulistyanti, 2011). Definisi kerja menurut Supriyadi (2003) adalah beban, kewajiban, sumber penghasilan, kesenangan, gengsi, aktualisasi diri, dan lain lain. Pendapat lain dari Brown (dalam Anoraga, 1998) mengatakan bahwa kerja merupakan penggunaan proses mental dan fisik dalam mencapai beberapa tujuan yang produktif.

Menurut Hasibuan (2016), kedisiplinan kerja diartikan bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Pada hakikatnya, pendisiplinan merupakan tindakan yang dilakukan karyawan

(2)

dengan bersikap tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan, menekankan timbulnya masalah sekecil mungkin, dan mencegah berkembangnya kesalahan yang mungkin terjadi. Anoraga (2009) mendefinisikan disiplin kerja adalah sikap kejiwaan seseorang atau kelompok yang senantiasa berkehendak untuk mengikuti atau mematuhi segala peraturan yang telah ditentukan.

Menurut Rivai (2005), disiplin kerja adalah suatu alat yang digunakan para manajer untuk berkomunikasi dengan karyawan agar mereka bersedia untuk mengubah suatu perilaku serta sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Disiplin kerja dapat didefinisikan sebagai suatu sikap menghormati, menghargai patuh dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya (Sastrohadiwiryo, 2002).

Pengertian lain juga mengenai disiplin kerja menurut Sinambela (2012) menyatakan bahwa disiplin kerja adalah kemampuan kerja seseorang untuk secara teratur, tekun terus menerus dan bekerja sesuai dengan aturan-aturan berlaku dan tidak melanggar aturan yang sudah ditetapkan. Kemudian menurut Nitisemito (dalam Darmawan, 2013), disiplin kerja diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai peraturan dari organisasi dalam bentuk tertulis maupun tidak.

Berdasarkan perdapat-pendapat tersebut dapat disimpukan bahwa disiplin kerja adalah bilamana karyawan selalu datang dan pulang tepat pada waktunya,

(3)

mengerjakan semua pekerjaan dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Pada hakikatnya, pendisplinan merupakan tindakan yang dilakukan karyawan dengan sikap tanggung jawab atas pekerjaan yang dilakukan, menekankan timbulnya masalah sekecil mungkin, dan mencegah berkembangnya kesalahan yang mungkin terjadi.

2. Aspek-aspek Disiplin Kerja

Ukuran disiplin kerja bagi karyawan menurut Rivai (2005) memiliki beberapa aspek yaitu:

a) Kehadiran, hal ini mencakup kedatangan karyawan untuk bekerja, ketepatan waktu karyawan dating ketempat kerja setiap harinya, dan durasi kerja penuh sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.

b) Ketaatan pada peraturan kerja, hal ini mengenai pemahaman karyawan terhadap peraturan kerja serta mengikuti pedoman kerja yang ditetapkan oleh perusahaan. c) Ketaatan pada standar kerja, hal ini dapat dilihat melalui besarnya tanggung

jawab karyawan yang diamanahkan kepadanya, dan karyawan yang bekerja sesuai dengan fungsi serta tugasnya.

d) Tingkat kewaspadaan tinggi, karyawan yang memiliki tingkat kewaspadaan tinggi akan selalu berhati-hati, penuh perhitungan dan ketelitian dalam bekerja, serta selalu menggunakan sesuatu secara efektif dan efisien.

(4)

e) Bekerja etis, yaitu menunjukkan sikap dan perilaku yang baik dalam bekerja, kesopanan dan kejujuran karyawan serta saling menghargai antar sesame karyawan

Indikator disiplin kerja karyawan menurut Dharma (2003) adalah:

a. Kehadiran karyawan setiap hari: karyawan wajib hadir di perusahaannya sebelum jam kerja, dan pada biasanya digunakan saran kartu kehadiran pada mesin absensi. b. Ketepatan jam kerja: penetapan hari kerja dan jam kerja diatur atau ditentukan

oleh perusahaan. Karyawan diwajibkan untuk mengikuti aturan jam kerja, tidak melakukan pelanggaran jam isitirahat dan jadwal kerja lain, keterlambatan masuk kerja, dan wajib mengikuti aturan jam kerja per hari.

c. Mengenakan pakaian kerja dan tanda pengenal: seluruh karyawan wajib memakai pakaian yang rapi dan sopan, dan mengenakan tanda pengenal selama menjalankan tugas kedinasan. Bagi sebagian besar perusahaan biasanya menyediakan pakaian seragam yang sama untuk semua karyawannya sebagai bentuk simbol dari kebersamaan dan keakraban di sebuah perusahaan.

d. Ketaatan karyawan terhadap peraturan: adakalanya karyawan secara terang-terangan menunjukkan ketidakpatuhan, seperti menolak melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Jika tingkah laku karyawan menimbulkan dampak atas kinerjanya, para pemimpin harus siap melakukan tindakan pendisiplinan.

Beberapa aspek yang dijabarkan di atas, maka peneliti memilih untuk menggunakan aspek-aspek menurut Rivai (2005), sebagai acuan yang digunakan untuk mengukur disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan

(5)

Pelatihan (BKPP) Kabupaten X. Rivai (2005), menyebutkan lima aspek yaitu kehadiran, ketaatan pada peraturan kerja, ketaatan pada standar kerja, dan tingkat kewaspadaan tinggi, serta bekerja etis. Aspek dalam Rivai (2005) lebih sesuai dengan kondisi penelitian dan sesuai dengan aturan yang berlaku di tempat penelitian.

3. Faktor yang Mempengaruhi Disiplin Kerja

Pada dasarnya kedisiplinan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut Hasibuan (2016) yaitu:

a. Tujuan dan Kemampuan

Tujuan yang akan dicapai harus jelas dan ditetapkan secara ideal serta cukup menantang bagi kemampuan karyawan. Hal ini berarti bahwa tujuan (pekerjaan) yang dibebankan kepada seseorang karyawan harus sesuai dengan kemampuan karyawan bersangkutan. Tetapi jika pekerjaan itu di luar kemampuannya atau pekerjaannya itu jauh dibawah kemampuannya, maka kesungguhan dan kedisiplinan karyawan akan rendah. Di sini letak pentingnya asas the right man in the right place and the right man in the right job.

b. Kepemimpinan

Dalam menentukan disiplin kerja karyawan maka pimpinan dijadikan teladan dan panutan oleh para bawahannya. Pimpinan harus memberi contoh yang baik, berdisiplin baik, jujur, adil, serta sesuai kata dengan perbuatan. Pimpinan jangan mengharapkan kedisiplinan bawahannya baik, jika dia sendiri kurang berdisiplin. Pimpinan harus menyadari bahwa perilakunya akan dicontoh dan diteladani oleh para

(6)

bawahannya. Hal inilah yang mengharuskan agar pimpinan mempunyai kedisiplinan yang baik, supaya para bawahan pun berdisiplin baik.

c. Insentif (Tunjangan Dan Kesejahteraan)

Balas jasa (gaji dan kesejahteraan) ikut memengaruhi kedisplinan karyawan, karena akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan/pekerjaannya. Perusahaan harus memberikan balas jasa yang sesuai. Kedisiplinan karyawan tidak mungkin baik apabila balas jasa yang di terima kurang memuaskan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuannya beserta keluarganya. Karyawan sulit untuk berdisiplin baik jika selama kebutuhan-kebutuhan primernya tidak terpenuhi dengan baik.

d. Keadilan

Keadilan mendorong terwujudnya kedisiplinan karyawan, karena ego dan sifat manusia yang selalu merasa dirinya penting dan minta diperlakukan sama dengan manusia lainnya. Apabila keadilan yang dijadikan dasar kebijaksanaan dalam pemberian balas jasa (pengakuan) atau hukuman, akan merangsang terciptanya kedisiplinan karyawan yang baik. Pimpinan atau manajer yang cakap dalam kepemimpinannya selalu bersikap adil terhadap semua bawahannya, karena dia menyadari bahwa dengan keadilan yang baik akan menciptakan kedisplinan yang baik pula.

e. Pengawasan Melekat

Pengawasan melekat harus dijadikan suatu tindakan yang nyata dalam mewujudkan kedisplinan karyawan perusahaan, karena dengan pengawasan ini,

(7)

berarti atasan harus aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja, dan prestasi bawahan. Hal ini berarti atasan harus selalu ada/hadir di tempat kerjanya, supaya dia dapat mengawasi dan memberikan petunjuk, jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaannya.Handoko (2012) menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan perusahaan dan manajemen dapat tercapai.Menurut Mc. Farland dalam Handayaningrat (1996) mengemukakan bahwa pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan. Hal ini sejalan dengan pendapat Saydam (2005) yang menjelaskan bahwa adanya hubungan timbal balik antara disiplin kerja dan pengawasan yang mana dikatakan disiplin terbentuk dari sikap keryawan dalam menciptakan rasa tanggung jawab atas tugas yang di hadapi.Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Nurrahman (2014) yaitu pengawasan melekat berkorelasi dengan disiplin kerja pegawai.

f. Sanksi Hukuman

Sangsi hukuman berperan penting dalam memelihara kedisiplinan karyawan. Karena dengan adanya sanksi hukuman yang semakin berat, karyawan akan semakin takut melanggar peraturan-peraturan perusahaan, sikap dan perilaku yang indisipliner karyawan akan berkurang. Berat ringannya sangsi hukuman yang akan diterapkan ikut mempengaruhi baik buruknya kedisiplinan karyawan. Sangsi hukuman harus

(8)

ditetapkan berdasarkan pertimbangan logis, masuk akal dan diinformasikan secara jelas kepada semua karyawan.

g. Ketegasan

Pemimpin harus berani tegas bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indispliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Pimpinan yang berani bertindak tegas menerapkan hukuman bagi karyawan indisipliner akan disegani dan diakui kepemimpinanya. Tetapi bila seorang pimpinan kurang tegas atau tidak menghukum karyawan yang indisipliner, maka sulit baginya untuk memelihara kedisiplinan bawahannya, bahkan sikap indispliner karyawan tersebut akan semakin meningkat.

h. Hubungan Kemanusiaan

Hubungan kemanusiaan yang harmonis di antara sesama karyawan ikut menciptakan kedisiplinan yang baik pada suatu perusahaan. Hubungan-hubungan itu baik bersifat vertikal maupun horizontal yang hendaknya horizontal. Pimpinan atau manajer harus berusaha menciptakan suasana hubungan kemanusiaan yang serasi serta mengikat, vertikal maupun horizontal. Jika tercipta human relationship yang serasi, maka terwujud lingkungan dan suasana kerja yang nyaman. Hal ini akan memotivasi kedisiplinan yang baik pada perusahaan.

Menurut Saydam (2006), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tegak tidaknya suatu disiplin kerja dalam suatu perusahaan antara lain:

(9)

a) Besar kecilnya pemberian kompensasi

Kompensasi (balas jasa) mempengaruhi tingkat kedisiplinan karyawan, karena balas jasa akan memberikan kepuasan dan kecintaan karyawan terhadap perusahaan tempat ia bekerja. Semakin besar balas jasa yang diterima karyawan, semakin baik kedisiplinan karyawan karena dengan balas jasa yang besar akan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sebaliknya jika balas jasa yang diterima karyawan kecil, maka kedisiplinan karyawan akan rendah karena karyawan akan sulit memenuhi kebutuhan hidupnya.

b) Ada tidaknya keteladanan pimpinan dalam perusahaan

Teladan pimpinan sangat berperan dalam menentukan kedisiplinan karyawan, apabila tingkah laku pimpinan baik maka disiplin karyawan pun akan baik, sebaliknya jika tingkah laku pimpinan kurang baik maka disiplin karyawan pun akan kurang baik.

c) Ada tidaknya aturan pasti yang dapat dijadikan pegangan

Aturan sangat diperlukan dalam upaya meningkatkan disiplin karyawan, karena dengan adanya aturan, karyawan akan mengetahui aturan yang ada pada perusahaan itu serta sanksi apa yang akan didapat bila melanggar aturan tersebut. d) Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan

Keberanian pimpinan dalam mengambil tindakan akan mempengaruhi kedisiplinan karyawan. Pimpinan harus berani dan tegas bertindak untuk menghukum setiap karyawan yang indisipliner sesuai dengan sanksi hukuman yang telah ditetapkan. Pimpinan yang berani bertindak tegas menerapkan hukuman bagi

(10)

karyawan yang indisipliner akan disegani dan diakui kepepimpinannya oleh bawahannya, dengan demikian pimpinan tersebut akan dapat memelihara kedisiplinan karyawan.

e) Ada tidaknya pengawasan pimpinan

Pengawasan dari pimpinan sangat diperlukan oleh karyawan dalam meningkatkan kedisiplinan. Karena dengan pengawasan ini berarti atasan aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya. Hal ini berarti atasan selalu hadir di tempat kerja, supaya atasan dapat mengawasi dan memberikan petunjuk jika ada bawahannya yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan pekerjaannya dan juga dapat memberikan metode atau cara yang lebih efektif dalam melakukan pekerjaan sehingga dapat mengurangi kesalahan dan mendukung kedisiplinan dan moral kerja dari karyawan.

f) Ada tidaknya perhatian kepada pada karyawan.

Perhatian dari pimpinan sangat diperlukan karyawan dalam meningkatkan atau mewujudkan disiplin kerja, sebab dengan perhatian, karyawan akan merasa dihargai diri dan hasil kerjanya, dan dengan perhatian akan terwujud hubungan kerjasama yang baik dan harmonis antara atasan dengan bawahan dalam perusahaan yang akan mendukung terbinanya kedisiplinan karyawan yang baik.

Berdasarkan kedua faktor di atas, peneliti memilih faktor yang dipaparkan oleh Hasibuan (2016), yaitu tujuan dan kemampuan, kepemimpinan, balas jasa, keadilan, pengawasan melekat, sanksi hukuman, dan ketegasan, serta hubungan kemanusiaan. Hal ini dikarenakan teori dalam Hasibuan, (2016) lebih sesuai dengan

(11)

variabel yang peneliti gunakan. Kemudian teori dari Hasibuan (2001) telah banyak dijadikan sebagai acuan penelitian serta munculnya faktor mengenai pengawasan melekat dalam wawancara kepada subjek.

B. Persepsi Pengawasan Melekat

1. Pengertian

Menurut Robbins (2010), persepsi dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang ditempuh individu-individu untuk mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera agar memberi makna kepada lingkungan. Selanjutnya menurut Slameto (2010) persepsi yaitu proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus menerus mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu indera pengelihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium.

Menurut Rasimin (dalam Yudanto, 1999) persepsi merupakan tanggapan terhadap suatu objek yang ditangkap melalui panca indera. Mulyana (2005), mendefinisikan persepsi sebagai proses pemberian arti terhadap suatu kenyataan melalui alat indera. Individu mengatur dan menginterpretasikan kesan-kesan sensoris guna memberikan arti bagi lingkungan. Robbins (2002) menjelaskan bahwa persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan yang positif atau sesuai dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Sedangkan, persepsi negatif

(12)

merupakan persepsi individu terhadap objek atau informasi tertentu dengan pandangan yang negatif, berlawanan dengan yang diharapkan dari objek yang dipersepsikan atau dari aturan yang ada. Penyebab munculnya persepsi negatif seseorang dapat muncul karena adanya ketidakpuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya ketidaktahuan individu serta tidak adanya pengalaman inidvidu terhadap objek yang dipersepsikan dan sebaliknya, penyebab munculnya persepsi positif seseorang karena adanya kepuasan individu terhadap objek yang menjadi sumber persepsinya, adanya pengetahuan individu, serta adanya pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan.

Menurut Sutikno (2012), pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk mengumpulkan data dalam usaha mengetahui ketercapaian tujuan dan kesulitan apa yang ditemui dalam pelaksanaan itu. Menurut Mc. Farland (dalam Handayaningrat, 1996) mengemukakan bahwa pengawasan ialah suatu proses dimana pimpinan ingin mengetahui apakah hasil pelaksanaan pekerjaan dilakukan oleh bawahannya sesuai dengan rencana, perintah, tujuan, atau kebijaksanaan yang telah ditentukan.Siagian (2007) juga menambahkan bahwa pengawasan diperlukan bukan sebagai cermin ketidakpercayaan manajer pada bawahannya, melainkan karena manusia memang tidak sempurna dan oleh karenanya mungkin saja membuat kesalahan.

Menurut Manulang (2010) pengawasan adalah segala usaha dan kegiatan untuk mengetahui dan menilai kenyataan yang sebenarnya mengenai pelaksaan tugas

(13)

atau kegiatan apakah sesuai dengan yang semestinya atau tidak. Handoko (2008) menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses untuk menjamin bahwa tujuan-tujuan perusahaan dan manajemen dapat tercapai. Suhendra (2008) menambahkan bahwa pengawasan adalah proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan sesuai rencana yang telah ditetapkan.

Pengawasan melekat menurut Hasibuan (2016) yaitu atasan secara aktif dan langsung mengawasi perilaku, moral, sikap, gairah kerja dan prestasi kerja bawahannya. Menurut Nawawi (dalam Nurrahman, 2014), pengawasan melekat adalah proses pemantauan, pemeriksaan dan evaluasi atasan langsung terhadap pekerjaan dan hasil kerja bawahannya agar dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang dan penyimpangan dari ketentuan, ketentuan, peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Kemudian menurut Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1989 menjelaskan bahwa pengawasan melekat adalah serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai pengendalian yang terus-menerus, dilakukan oleh setiap atasan langsung terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (dalam Nurrahman, 2014).

Berdasarkan uraian mengenai persepsi pengawasan melekat dapat disimpulkan bahwa persepsi pengawasan melekat yaitu proses yang ditempuh karyawan untuk mengorganisasikan, menginterpretasikan mengenai proses

(14)

pengamatan oleh atasan mengenai pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi dalam pelaksaan pekerjaan agar memudahkan serta menjamin dalam tercapainya tujuan organisasi.

2. Pengukuran Persepsi Pengawasan Melekat

Sesuai dengan Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014), maka untuk mengukur variabel pengawasan melekat dapat dilakukan melalui berbagai cara, yaitu:

1) Sosialisasi pengawasan melekat (WASKAT)

Sosialisasi WASKAT yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang pengertian dan cara pelaksanaan WASKAT tanpa mengurangi pemahaman pentingnya pengawasan pimpinan kepada staf karena WASKAT merupakan sistem pengendalian yang melekat pada seluruh kegiatan organisasi. Sosialisasi dilakukan secara berjenjang dan bertahap kepada seluruh Pimpinan dan Pegawai di lingkungan instansi pemerintah.

2) Persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat

Sebelum WASKAT dilaksanakan, Pimpinan Instansi/unit kerja perlu menyiapkan unsur WASKAT yang meliputi pengorganisasian, personil, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, supervisi dan review intern. Yang perlu dilakukan dalam tahap penyiapan dan pelaksanaan WASKAT ini adalah: (a) melakukan identifikasi secara lengkap dan rinci terhadap dokumentasi masing-masing unsur WASKAT, (b) memperoleh pemahaman yang

(15)

cukup terhadap masing-masing unsur WASKAT, (c) membuat catatan resume untuk menentukan dugaan titik rawan kelemahan yang membutuhkan perbaikan atau perhatian lebih mendalam.

3) Pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat

Penilaian pegawai mengenai pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat. Pemantauan merupakan rangkaian tindakan mengikuti pelaksanaan suatu kegiatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mengetahui secara dini kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kebijakan maupun program yang telah ditetapkan. Untuk menjamin keandalan WASKAT, maka perlu adanya pemantauan WASKAT berkesinambungan yang terjadi pada saat operasi. Pemantauan tersebut mencakup aktivitas rutin manajemen, aktivitas pengawasan, perbandingan antara satu kegiatan dengan kegiatan lainnya, rekonsiliasi, konsolidasi dan tindakan-tindakan personil lainnya yang dapat diambil dalam menjalankan tugas mereka.

4) Evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat

Proses evaluasi pelaksanaan WASKAT dapat menggunakan beragam teknik evaluasi. Yang perlu diperhatikan oleh evaluator dalam melaksanakan evaluasi adalah: (a) memahami aktivitas organisasi dan unsur WASKAT yang ada, (b) mengetahui apakah WASKAT telah berfungsi, (c) mengetahui desain sistem pengendalian yang berlaku, (d) mengetahui cara kerja sistem tersebut, (e) mengkomunikasikan pelaksanaan WASKAT terhadap pihak-pihak terkait, (f) menganalisis desain sistem yang berlaku untuk mengetahui apakah sistem

(16)

tersebut dapat memberikan keyakinan yang tinggi bagi pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, (g) Menggunakan checklist (instrumen evaluasi) WASKAT untuk mengetahui apakah pengawasan melekat telah dilaksanakan dengan baik. 5) Tindak lanjut

Tindak lanjut dari hasil evaluasi pelaksanaan WASKAT berupa tindakan perbaikan dan penyempurnaan sistem dan prosedur operasi, dan pendalaman titik rawan penyimpangan melalui audit operasional atau investigasi.

Pegawai mempersepsikan pengawasan mempunyai ciri-ciri yang sesuai dengan teori Siagian (2003) yaitu:

a) Pengawasan bersifat fact finding yang berarti bahwa pelaksanaan fungsi pengawasan harus menemukan fakta-fakta tentang bagaimana tugas-tugas yang dijalankan dalam organisasi.

b) Pengawasan bersifat preventive yang berarti bahwa proses pengawasan itu dijalankan untuk mencegah timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan penyelewengan-penyelewengan dari rencana yang telah ditentukan.

c) Pengawasan diarahkan kepada masa sekarang yang berarti bahwa pengawasan hanya dapat ditujukan terhadap kegiatan-kegiatan yang kini sedang dilaksanakan. d) Pengawasan hanyalah sekedar alat untuk meningkatkan efisiensi. Pengawasan

tidak boleh dipandang sebagai tujuan.

e) Karena pengawasan hanya sekedar alat administrasi dan manajemen maka pelaksanaan pengawasan itu harus mempermudah tercapainya tujuan.

(17)

f) Proses pelaksanaan pengawasan harus efisiensi, jangan sampai terjadi pengawasan malah menghambat usaha peningkatan efisiensi.

g) Pengawasan tidak dimaksudkan untuk menentukan siapa yang salah jika ada ketidakberesan, akan tetapi untuk menemukan apa yang tidak benar.

h) Pengawasan harus bersifat membimbing agar para pelaksana meningkatkan kemampuannya untuk melakukan tugas yang ditentukan baginya.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti memilih pengukuran pengawasan melekat yang dipaparkan oleh Nurrahman (2014) yang merujuk pada Kepmen No. 46 tahun 2004 sebagai acuan dalam penelitian ini, yang menyebutkan lima aspek untuk mengukur pengawasan melekat yaitu Sosialisasi Pengawasan Melekat, Persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat, Pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, Evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan Tindak lanjut. Pengukuran persepsi pengawasan melekat meliputi penilain pegawai terhadap kegiatan sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut yang dilaksanakan oleh atasan. Penilaian tersebut bisa positif atau negatif. Apabila muncul penilaian secara positif berarti pegawai memahami dengan baik mengenai sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Kemudian apabila pegawai menilai secara negatif yang artinya pegawai tidak memahami dengan baik mengenai sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur

(18)

pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Peneliti menggunakan pengukuran ini karena banyak dijadikan acuan penelitian serta mudah dipahami.

C. Hubungan Antara Persepsi Pengawasan Melekatdengan Disiplin Kerja Pada Pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP)

Kabupaten X

Keberhasilan suatu organisasi tidak akan terlepas dari faktor sumber daya manusia yang memiliki andil besar dalam menentukan maju atau berkembangnya suatu organisasi. Kemajuan suatu organisasi ditentukan pula bagaimana kualitas SDM di dalamnya. Organisasi yang dimaksud tidak terkecuali organisasi pemerintahan. Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sama-sama memerlukan SDM yang berkualitas dan memiliki kapabilitas dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat dan memajukan daerahnya dengan meningkatkan daya saing daerah. Oleh karena itu SDM harus dikelola dengan baik untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi organisasi (Hariandja, 2002).

Berkaitan dengan pengelolaan SDM tidak akan terlepas dari proses pengawasan dalam mengelola sumber daya manusia tersebut. Hal ini dibutuhkan untuk mempermudah tercapainya tujuan suatu organisasi. Tidak menutup kemungkinan para bawahan memiliki persepsi tersendiri mengenai pengawasan yang dilakukan atasan dalam organisasi. Hal ini juga akan mempengaruhi perilaku pegawai

(19)

dalam organisasi yang memiliki persepsi positif atau negatif terhadap pengawasan (Sandi, 2013). Persepsi pengawasan mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Sutikno (2012) yaitu pengawasan merupakan proses pengamatan dari pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi untuk mengumpulkan data dalam usaha mngetahui ketercapaian tujuan dan kesulitan apa yang ditemui dalam pelaksanaan tersebut. Persepsi pengawasan melekat adalah penginterpretasian mengenai proses pengamatan atasan dari pelaksanaan kegiatan organisasi untuk mengetahui kesulitan yang dihadapi agar memudahkan dalam mencapai tujuan. Apabila pegawai meyakini bahwa proses pengamatan tersebut dilakukan untuk mempermudah pegawai dalam menghadapi pekerjaan maka pegawai memiki persepsi yang positif terhadap pengawasan. Sebaliknya, jika pegawai meyakini bahwa proses pengamatan yang dilakukan tidak mempermudah pegawai dalam bekerja maka karyawan memiliki persepsi yang negatif terhadap pengawasan (Olivia, 2015). Aspek-aspek yang mengukur persepsi pengawasan melekat menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014), yaitu sosialisasi pengawasan melekat, persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat, pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat, evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat, dan tindak lanjut. Aspek ini akan dibahas satu persatu dalam kaitannya dengan disiplin kerja.

Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang mengukur pengawasan melekat yaitu sosialisasi pengawasan melekat. Sosialisasi pengawasan melekat bertujuan untuk memberikan pemahaman yang tepat tentang pengertian dan cara pelaksanaan pengawasan melekat tanpa mengurangi pemahaman

(20)

pentingnya pengawasan pimpinan kepada staf karena pengawasan melekat merupakan sistem pengendalian yang melekat pada seluruh kegiatan organisasi. Duncan (dalam Harahap, 2001), mengatakan bahwa pengawasan harus dipahami sifat dan kegunaannya, sistem pengawasan harus dapat merefleksi sifat-sifat dan kebutuhan dari kegiatan yang harus diawasi, oleh karena itu harus ada komunikasi dan penjelasan mengenai setiap kegiatan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Robbins (2002), bahwa persepsi adalah penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan. Apabila penilain tersesbut bersifat negatif maka akan timbul pandangan yang negatif. Hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Pegawai yang merasa tidak puas atau tidak memahami tentang sosialisasi pengawasan melekat akan mengakibatkan pegawai memiliki persepsi negatif terhadap pengawasan melekat. Jika hal ini terjadi maka pegawai tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan karena stress yang dialami pegawai. Menurut Sarwono (1992), penjelasan yang tidak mudah dipahami akan mengakibatkan stress yang mengakibatkan individu tidak bisa menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Jika stress tersebut berlanjut maka akan mengakibatkan hal lebih parah seperti keputusasaan, kebosanan, perasaan tidak berdaya, dan penurunan prestasi sampai titik terendah. Pemimpin yang memberikan penjelasan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti bawahannya, maka pegawai akan melaksanakan instruksi dengan mudah (Hamzah, 2015).

Kemudian Robbins (2002), mengatakan persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi, munculnya persepsi positif karena

(21)

adanya kepuasan dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang mendapat pengetahuan mengenai sosialisasi pengawasan melekat makan akan menumbulkan persepsi positif pada dirinya, hal ini akan menjadikan pegawai memiliki tanggung jawab terhadap pekerjaannya. Sesuai dengan pendapat dari Hasibuan (2016) pegawai yang senantiasa menjalankan tanggung jawabnya dengan baik merupakan bagian dari bentuk kedisiplinan. Pegawai yang didisiplin akan menjalankan tugas dan tanggung jawab dengan baik, serta mentaati setiap aturan yang berlaku (Rivai, 2005). Sebaliknya jika pegawai tidak menjalakan tugas dan setiap kebijakan yang berlaku pada suatu organisasi maka akan mengakibatkan menurunnya kedisiplinan kerja pada pegawai (Ferianto, 2013).

Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang mengukur pengawasan melekat yaitu persiapan dan pelaksanaan unsur pengawasan melekat. Pimpinan Instansi/unit kerja perlu menyiapkan unsur pengawasan melekat yang meliputi pengorganisasian, personil, kebijakan, perencanaan, prosedur, pencatatan, pelaporan, supervisi dan review intern. Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 jika ada suatu kegiatan yang telah disepakati untuk dilaksanakan sesuai dengan kebijakan pimpinan tetapi kebijakan tersebut tidak tertulis, kegiatan tidak diorganisir dengan baik, tidak ditetapkan persyaratan personil yang akan melakukan, tidak dilakukan pencatatan atas aktivitas kegiatan dan tidak dilaporkan pelaksanaannya, tidak jelas prosedur kerja yang harus diikuti dalam melakukan kegiatan, serta tidak ada review atas pelaksanaan kegiatan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa hasil pelaksanaan kegiatan tersebut jauh dari sempurna dan sulit dipertanggungjawabkan.

(22)

Mengenai persepsi yang dijelaskan oleh Robbins (2002), yaitu persepsi adalah penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi. Apabila muncul persepsi positif karena adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang memiliki pengetahuan dalam aspek persiapan dan pelaksanaan pengawasan melekat maka akan memiliki persepsi yang positif. Penelitian Wulandari (2016) menunjukkan bahwa kemampuan yang dimiliki oleh pegawai dalam bekerja secara cepat dan tepat, menguasai metode-metode pekerjaan yang ada di kantor ditingkatkan dengan pengawasan melekat dengan cara pimpinan/atasan harus mengawasi secara langsung pegawai dalam mengecek laporan-laporan yang dikerjakan oleh pegawai. Pegawai yang memiliki persepsi positif terhadap pengawasan melekat akan memahami kegiatan dan aktifitas dalam pengawasan melekat dan menciptakan rasa tanggung jawab dalam dirinya. Sikap tanggung jawab yang diciptakan oleh pegawai mencerminkan sikap disiplin dalam bekerja, agar tingkat disiplin pegawai dapat tergolong tinggi maka perlu diberikan pengawasan kerja (Sandi, 2013). Selanjutnya mengenai persepsi negatif menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan negatif, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Apabila pegawai tidak memiliki kepuasan dan pengetahuan maka akan mengakibatkan pegawai memiliki persepsi negatif terhadap aspek persiapan dan pelaksanaan unsure pengawasan melekat. Pegawai yang memiliki persepsi negatif akan sulit memahami mengenai kegiatan dan aktivitas dalam pengawasan melekat, hal ini akan menyulitkan pegawai

(23)

dalam bekerja yang berdampak pada disiplin kerja pada pegawai akan ikut menurun (Agustina, dkk, 2013).

Menurut Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014) aspek yang mengukur pengawasan melekat yaitu pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat. Pemantauan merupakan rangkaian tindakan mengikuti pelaksanaan suatu kegiatan serta faktor-faktor yang mempengaruhinya untuk mengetahui secara dini kemungkinan terjadinya penyimpangan terhadap kebijakan maupun program yang telah ditetapkan. Pemantauan yang dijelaskan tersebut termasuk pada upaya preventif pelaksanaan pengawasan melekat, adapun upaya preventif adalah sebuah usaha yang dilakukan individu dalam mencegah terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan (Oktavia, 2013). Pelaksanaan upaya preventif mampu mempengaruhi pegawai untuk mentaati peraturan (Listyawati & Suharsono, 2012). Pegawai akan merasa didukung oleh atasan jika adanya upaya preventif dalam organisasi (Putra, 2015). Robbins (2002), mengatakan persepsi merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi. Apabila munculnya persepsi positif karena adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang memahami dengan baik mengenai pemantauan pelaksanaan pengawasan melekat maka akan timbul persepsi positif dalam diri pegawai serta pegawai akan merasa didukung oleh atasan. Menurut Lee dan Ashforth (1996), kurangnya perasaan dukungan dari atasan mampu mengakibatkan pegawai merasa emosional, kebosanan dan sinisme, kelelahan, merasa tidak dihargai juga curiga dengan alasan yang tidak jelas (Freudenberger & Rchelson, dalam Feri Farhati & Haryanto FR, 1996). Jika pegawai

(24)

merasa tidak didukung dan hubungan antara atasan dan bawahan yang terjadi kurang baik maka akan sulit tercipta kedisiplinan pada pegawai (Hasibuan, 2016).

Mengenai persepsi negatif menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan negatif, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Pegawai yang tidak memahami tentang pemantauan pelaksaan pengawasan melekat maka akan memiliki persepsi negative, hal ini akan mengakibatkan pegawai merasa tidak didukung. Hasibuan (2016), menjelaskan dukungan yang diperoleh pegawai dari atasan didasari pada hubungan timbal balik antara atasan dan bawahan, atasan harus berusaha menciptakan hubungan yang mengikat kepada semua pegawainya karena akan memotivasi kedisiplinan pada pegawai.

Aspek keempat mengenai evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat merujuk pada Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014). Pimpinan wajib melakukan evaluasi terhadap efektivitas pengawasan melekat secara terus menerus agar unsur pengawasan melekat dapat menjadi alat pengendali dalam mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai. Crawford (2000), menjelaskan bahwa evaluasi dilakukan untuk mengetahui apakah tujuan-tujuan yang telah ditetapkan telah tercapai dalam kegiatan. Menurut Tayibnapis (2008), evaluasi hendaknya memotivasi dan bersifat mendukung. Berdasarkan hasil penelitian Putra (2015), pegawai merasa atasan sulit untuk membagi waktu dalam melakukan evaluasi, oleh karena itu

(25)

pegawai merasa atasan perlu meluangkan waktu dari sekian banyak kegiatan untuk melakukan evaluasi. Dengan demikian pegawai akan merasa didukung.

Robbins (2002), menjelaskan persepsi merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi. Apabila muncul persepsi positif karena adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang memahami dengan baik mengenai evaluasi pengawasan melekat makan akan memiliki persepsi positif. Pegawai yang memiliki persepsi positif maka akan memiliki motivasi dalam bekerja dan merasa didukung oleh atasan atas kegiatan evaluasi tersebut. Selanjutnya mengenai persepsi negative menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi dengan pandangan negatif, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Pegawai yang tidak memahami dengan baik mengenai evaluasi pengawasan melekat maka akan menilai secara negatif terhadap kegiatan tersebut. Pegawai tidak akan mengetahui pentingnya kegiatan tersebut karena tidak memahami dengan baik kegiatan evaluasi pengawasan melekat yang dilakukan oleh atasan, hal ini mampu mengakibatkan pegawai merasa tidak dukungan. Dukungan yang rendah akan menciptakan suasana lingkungan kerja yang kurang nyaman dan menurunkan motivasi pegawai untuk bersikap disiplin (Hasibuan, 2016).

Aspek terakhir membahas mengenai tindak lanjut, sesuai dengan Kepmen No. 46 tahun 2004 (dalam Nurrahman, 2014), adalah hasil evaluasi pelaksanaan pengawasan melekat berupa tindakan perbaikan dan penyempurnaan sistem dan

(26)

prosedur operasi, dan pendalaman titik rawan penyimpangan melalui audit operasional atau investigasi. Menurut Hasibuan (2016), masalah harus dipecahkan untuk menjaga jangan sampai timbul masalah lain yang lebih besar dan lebih luas keputusan merupakan serangkaian aktivitas yang dilakukan oleh seseorang dalam usaha memecahkan permasalahan yang sedang dihadapai kemudian menetapkan berbagai

Berdasarkan hasil penelitian Diada (2013), pegawai merasa pemimpin yang mengambil keputusan harus memilih keputusan yang sesuai dengan permasalahan sehingga dapat menyelesaikan masalah serta mempertimbangkan kemampuan pegawai yang akan menjalankan keputusan itu. Jika pemimpin tidak memperhatikan hal ini maka mampu menimbulkan konflik dalam diri pegawai karena pegawai menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya atau melakukan pekerjaan lebih dari kemampuannya (Handoko, 2012). Konflik yang terjadi dalam diri pegawai dikarenakan perbedaan cara pandang serta pemahaman pegawai, mengakibatkan menurunnya sikap disiplin kerja pada pegawai (Rahma, 2012).

Mengenai persepsi menurut Robbins (2002), yaitu penilain individu terhadap suatu objek atau informasi. Kemudian apabila muncul persepsi negatif pada pegawai, hal ini terjadi karena adanya ketidakpuasan, pegalaman atau ketidaktahuan individu terhadap objek atau informasi tersebut. Jika pegawai tidak memahami dengan baik mengenai tindak lanjut yang dilakukan oleh atasan maka pegawai memiliki persepsi

(27)

negatif. Persepsi negatif pada pegawai akan mengakibatkan pegawai merasa pemimpin tidak mampu dalam menyelesaikan masalah yang terjadi dalam organissi yang akan mengakibatkan terjadinya konflik di dalam diri pegawai karena pegawai menghadapi ketidakpastian dalam pekerjaannya dan tidak sesuai dengan harapan pergawai. Konflik ini akan mengakibatkan menurunnya sikap disiplin kerja. Selanjutnya Robbins (2002), mengatakan persepsi positif merupakan penilaian individu terhadap suatu objek atau informasi, munculnya persepsi positif karena adanya kepuasan, pengalaman dan juga pengetahuan terhadap objek yang dipersepsikan. Pegawai yang memahami dengan baik mengenai tindak lanjut yang dilakukan oleh atasan maka akan memiliki persepsi yang positif terhadap kegiatan tindak lanjut. Jika pegawai memiliki persepsi positif maka pegawai akan merasa puas dengan tindakan yang dilakukan atasan mengenai tindakan perbaikan dan penyempurnaan system dan prosedur operasi, serta pendalaman titik rawan melalui investigasi. Hal ini sesuai dengan harapan pegawai maka akan memudahkan pegawai menjadi disiplin.

Dari uraian di atas dapat dikatakan persepsi pengawasan melekat terkait dengan disiplin kerja pada pegawai. Menyadari akan pentingnya disiplin kerja pegawai dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai penunjang suksesnya suatu organisasi dalam mencapai tujuan, maka peran pengawasan atasan sangat mempengaruhi disiplin kerja (Agustina, dkk, 2013). Robbins (2002), seorang pegawai yang memiliki persepsi positif terhadap pengawasan melekat maka akan memiliki pandangan yang positif terhadap pengawasan melekat, pegawai merasa puas

(28)

dengan adanya pengawasan melekat dan memahami pentingnya pengawasan melekat. Adanya perasaan puas dan pemahaman tersebut akan meningkatkan disiplin kerja pada pegawai karena pegawai akan bekerja dengan baik sesuai dengan prosedur dan instruksi dari atasan.

Sebaliknya menurunnya disiplin pegawai yang memiliki persepsi negatif terhadap pengawasan melekat. Faktor yang menyebabkan penyimpangan menurut Vitak et al (2011), yaitu persepsi dan sikap. Robbins (2002), mengatakan persepsi negatif dikarenakan oleh kurangnya pemahaman individu serta tidak adanya pengalaman individu terhadap objek yang dipersepsikan. Tidak adanya pengalama yang dimiliki pegawai mampu memunculkan perilaku menyimpang yang menurut Emmel (2003) perilaku menyimpang pada pegawai berhubungan dengan performa kerja maupun masalah hubungan/perilaku. Masalah performa kerja meliputi: kehadiran yang buruk dan absensi, hasil kerja yang buruk atau ceroboh, dan kegagalan untuk mengikuti aturan, seperti kesehatan dan keselamatan kerja. Masalah hubungan kerja adalah tentang penolakan untuk taat pada perintah yang logis dan perilaku yang merusak. Perilaku tersebut tergolong pada sikap tidak disiplin dalam bekerja (Rivai, 2005).

D. Hipotesis

Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang dapat diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara persepsi pengawasan melekat dan

(29)

disiplin kerjapada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X. Semakin positif persepsi pengawasan melekat maka akan semakin tinggi disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X, sebaliknya semakin negatif persepsi pengawasan melekat maka akan semakin rendah pula disiplin kerja pada pegawai di Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan (BKPP) Kabupaten X.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan lima skenario penilaian kerentanan, Desa Srigading memiliki tingkat kerentanan pada faktor fisik dan ekonomi terhadap bencana erosi pantai, Desa Gadingsari memiliki

Pidana denda lima ratus juta rupiah ini juga dikenakan kepada setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi

Diturunkan paksa, dirampas barang dagangannya, dan membayar denda, tidak membuat mereka berhenti berjualan. Sebab, selama bertahun-tahun mereka menggantungkan hidupnya dari gerbong

Dengan demikian penulis mengambil simpulan bahwa berdasarkan UUD RI Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan maka Mahkamah Agung sebagai salah satu kekuasaan kehakiman

Sedangkan, mengenai dari Objek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) kedua Desa Wisata dengan khas daerah Tatar Sunda ini memiliki ciri khas dan keunikan alamiah berupa

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kualitas pelayanan yang diberikan Bank Syariah Mandiri KCP Medan Petisah khususnya nasabah yang mengunakan jasa

tidak tahan dan kurang tahan yang proporsinya cukup besar mencapai 94%, maka kondisi sosial ekonomi rumah tangga petani, dengan umur yang relatif produktif, pendidikan petani

Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tugas dan wewenang Komisi Pemilihan Umum Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan Partisipasi pemilih pada pemilu dari tahun