• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejak Zaman Klasik Hingga Abad XX

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sejak Zaman Klasik Hingga Abad XX"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum0

Konstruksi Hukum Berdasarkan Sejarah Filsafat Hukum

Sejak Zaman Klasik Hingga Abad XX

MATA KULIAH : FILSAFAT HUKUM

DOSEN : Dr. L. Wira Pria Suhartana, SH., MH.

OLEH :

ACHMAD SYAUQI

NIM. 12B012003

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MATARAM

(2)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengetahuan adalah sesuatu yang berawal dari amat besarnya hasrat keingintahuan manusia, baik terhadap alam semesta maupun tentang dirinya sendiri. Hasrat tersebut membawa manusia pada perenungan-perenungan mendalam hingga sampai pada hakikat tentang sesuatu yang direnungkan. Pengetahuan yang lahir dari perenungan ini ada yang bersifat metodik, sistemik, dan antara kenyataan satu dan lainnya saling berhubungan hingga kemudian menjadi petunjuk bagi arah kegiatan manusia dalam kehidupannya. Proses yang demikian dikenal sebagai kegiatan berfilsafat.

Makna filsafat diakui berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” atau cinta kebijaksanaan. Dibangun dari dua kata “Philos” artinya cinta dan “shopia” berarti kebijaksanaan. Tetapi kata filsafat sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Arab “Falsafah”, yang secara etimologi memiliki arti gagasan dan sikap batin paling dasar yang dimiliki seseorang atau sekelompok masyarakat.

Dari kedua definisi tersebut dapat dikenali tiga sifat pokok yang menjadi ciri filsafat adalah; 1) menyeluruh, 2) mendasar, dan 3) spekulatif. Dari ketiga sifat pokok ini mengandung arti bahwa daam berfilsafat tidak boleh berpikir sempit, melainkan harus melihat setiap sisi yang ada dan berisikan pertanyaan-pertanyaan diluar dari jangkauan ilmu biasa, serta dalam melangkah tidak sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Hampir dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki filsafat, dan cenderung bertambah seiring bertambahnya ilmu-ilmu pengetahuan baru. Seorang ilmuwan filsafat Louis S. Kattsoff (1987) membagi filsafat dalam tiga belas bidang, yaitu :

1) Logika, mempelajari tentang tata cara penarikan kesimpulan yang benar, 2) Metodologi, mempelajari tentang teknik-teknik penelitian,

3) Metafisika, mempelajari tentang hakikat segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada, 4) Ontologi, mempelajari tentang asas-asas rasional dari kenyataan,

5) Kosmologi, mempelajari tentang keadaan sesuatu hal sehingga muncul asas-asas rasional dari kenyataan,

(3)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum2 6) Epistemologi, mempelajari tentang asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya

pengetahuan,

7) Biologi, mempelajari tentang hakikat jasad hidup, 8) Psikologi, mempelajari tentang jiwa,

9) Antropologi, mempelajari tentang hakikat manusia,

10) Sosiologi kemanusiaan, mempelajari tentang hakikat masyarakat dan negara, 11) Etika, mempelajari tentang hal-hal baik dan buruk dari perilaku manusia, 12) Estetika, mempelajari tentang keindahan; dan

13) Filsafat agama, yang mempelajari tentang hakikat keagamaan.

Filsafat hukum berdasarkan pembagian cabang filsafat tersebut dapat dikategorikan sebagai Ilmu Etika atau Filsafat Tingkah Laku, yaitu cabang filsafat yang mempelajari tentang hakikat hukum yang berangkat dari nilai-nilai baik dan buruk.

Sebagai cabang filsafat yang menyelidiki tentang hukum, tentunya obyek filsafat hukum adalah hukum itu sendiri, yang dibahas dan dikaji secara mendalam sampai pada inti atau hakikatnya. Pertanyaan yang mungkin tidak dapat dijawab oleh cabang ilmu hukum lainnya merupakan tugas dari filsafat hukum untuk menemukannya.

Untuk mempelajari filsafat hukum maka terlebih dahulu harus mempelajari hukum itu sendiri. Belum adanya definisi tunggal tentang hukum merupakan salah satu tugas filsafat hukum. Sebagai langkah awal (starting point) agar diperoleh pemahaman menyeluruh tentang definisi hukum menurut kajian filsafat hukum, maka tinjauan pertama dalam mempelajari filsafat hukum adalah mengetahui sejarah dan perkembangan filsafat hukum dari zaman ke zaman. Dikarenakan sejarah filsafat hukum dari abad Yunani sampai abad sekarang memiliki konstruksi hukum berbeda-beda. Dengan mengetahui sejarah dan perkembangan filsafat hukum maka akan diketahui berbagai pandangan para filsuf dari satu abad ke abad lainnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan mengupas permasalahan: “Bagaimanakah Konstruksi Hukum Berdasarkan Sejarah Filsafat Hukum Sejak Zaman Klasik Hingga Abad XX”?

(4)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum3 BAB II

PEMBAHASAN

A. Zaman Klasik (Abad VI SM – V M)

Zaman ini merupakan awal kebangkitan filsafat. Terbagi dalam dua era, yaitu Zaman Yunani pada abad 600 – 300 SM dan Zaman Romawi pada abad 200 SM – 400 M.

1. Zaman Yunani Kuno

Zaman Yunani Kuno disebut sebagai permulaan filsafat (era sophis) karena pada saat itulah para filsuf banyak dilahirkan. Kepercayaan pada kekuatan alam dan dewa-dewa membangun hukum pada masa itu tidak boleh bertentangan dengan konsepsi hukum alam. Manusia harus menaati apa yang telah digariskan oleh para dewa. Aturan masyarakat senantiasa terhubung dengan aturan alam. Alam adalah sesuatu yang suci dan sakral, wujud dari kekuasaan dewa-dewa. Karena itulah ketaatan pada aturan alam merupakan sarana mutlak terwujudnya keadilan dalam hidup bersama, dan terjaminnya keamanan dalam upaya mencapai kebahagiaan hidup.

Para filsuf Zaman Yunani Kuno terklasifikasi dalam dua masa, yaitu: a) Masa Pra Socrates (sekitar sebelum 500 SM)

Disebut Masa Pra Socrates karena pada masa ini filsafat belum banyak berkembang sebagaimana pada masa Socrates dan sesudahnya. Pada masa ini perhatian utama para filsuf hanya mengenai kejadian alam semesta. Tokoh-tokoh filsuf yang melatarbelakangi pemikiran masa ini diantaranya adalah Thales, Anaximenes, Pitagoras, dan Heraklitos. Thales mengemukakan bahwa alam semesta terjadi dari air. Anaximenes berpendapat lain bahwa sumber kejadian alam semesta adalah udara. Sedangkan filsuf lainnya, Heraklitos, mengungkapkan bahwa alam semesta terbentuk dari api. Pada masa ini juga telah dikenal istilah demokrasi oleh Protagoras, yang menyatakan bahwa undang-undang dibentuk oleh rakyat. Pitagoras yang ahli matematika menggunakan rumus angka-angka sebagai dasar dari gejala-gejala alam. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa manusia sebagai unsur eksistensi alam memiliki jiwa yang senantiasa berada dalam proses katharsis, yaitu pembersihan diri. Bahwa manusia harus membersihkan diri (jiwa)nya agar tercapai kebahagiaan. Jika proses tersebut tidak dilakukan maka jiwa itu akan berpindah pada tubuh manusia lain.

(5)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum4 b) Masa Socrates, Plato dan Aristoteles

Para ilmuwan filsafat meyakini bahwa Socrates merupakan filsuf Yunani Kuno peletak dasar pemikiran tentang manusia. Socrates hidup pada tahun 469-399 SM. Pemikirannya tentang manusia yang sangat detail dan menyeluruh, meletakkan filsafat di masa itu sekaligus ilmu yang membangun konstitusi negara. Menurut Socrates negara memiliki tugas utama mendidik untuk taat kepada hukum negara, baik tertulis maupun tidak tertulis.

Pemikiran tersebut dilanjutkan oleh Plato yang hidup pada 427-347 SM. Plato mengenalkan adanya sanksi sebagai unsur pembentuk hukum. Ia menyatakan bahwa siapa saja yang melanggar aturan harus dihukum. Ia juga mengenalkan teori (theoria) sebagai cara pendekatan terhadap sesuatu tidak kasat mata. Teori keadilan yang dia cetuskan, menjadi lebih konkrit oleh muridnya, Aristoteles yang hidup pada masa 384-322 SM. Aristoteles berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial (zoon politicon) yang saling membutuhkan satu dengan lainnya. Aristoteles juga mulai mengenalkan hukum positif, yaitu bahwa suatu hukum baru berlaku setelah isinya ditetapkan oleh institusi yang berwibawa, sebagai hukum yang harus ditaati disamping hukum alam sebagai satu kesatuan yang teratur. Sehingga ia hidup dimana-mana (lex universal), tidak pernah berubah, tidak pernah lenyap dan berlaku dengan sendirinya (lex naturalis).

Kedua filsuf, Plato dan Aristoteles pada prinsipnya sama-sama menempatkan keadilan sebagai tujuan negara, dan hukum yang adil sebagai titik tolak terwujudnya tatanan bernegara (politik) yang tertib.

2. Zaman Romawi (Abad II SM – IV M)

Pemikiran hukum pada masa ini lebih banyak terpusat pada permasalahan-permasalahan politik kenegaraan, yakni membantu Kaisar Romawi dalam mempertahankan ketertiban di seluruh wilayah kekuasaan kekaisaran Romawi yang membelah dunia. Para filsuf pada masa itu banyak melahirkan teori-teori hukum kenegaraan yang beberapa masih relevan hingga sekarang. Beberapa ahli pikir yang terkenal pada masa itu, diantaranya; Polibius, Cicereo, Seneca, Marcus, dan Aurelius.

(6)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum5 Cicero yang hidup pada masa 106 – 43 SM merupakan filsuf yang pemikirannya banyak mewarnai pada masa ini. Ia merupakan filsuf Kerajaan Romawi yang esensi pemikirannya masih banyak dipengaruhi pandangan-pandangan para filsuf masa Stoa, yakni masa antara sesudah Socrates dan sebelum Zaman Romawi. Menurutnya hukum berwujud dalam suatu hukum alamiah yang mengatur keseluruhan alam dan kehidupan di dalamnya, termasuk manusia. Karenanya Ia menolak hukum positif dari masyarakat, baik tertulis maupun tidak tertulis (berupa kebiasaan) menjadi standar keadilan. Sebaliknya Ia menyatakan bahwa, keadilan adalah hukum yang mengikat semua masyarakat manusia (semua manusia sama kedudukannya) dan bertumpu diatas satu hukum tunggal, yaitu hukum alam.

Filsuf lain adalah Seneca yang hidup pada permulaan abad pertama masehi, dan ajarannya berkembang hingga akhir kekaisaran Romawi pada abad keempat masehi. Seneca lebih banyak menjadikan ajaran kristiani, yakni Kristen Katolik sebagai doktrinasi dan konsepsi hukum pada masa itu. Bahwa hukum masyarakat tidak boleh bertentangan dengan kemauan-kemauan Tuhan yang berlaku alamiah dan universal, sebagaimana dalam ajaran-ajaran Injil.

B. Abad Pertengahan (Abad V – XV M)

Pemikiran-pemikiran filsuf pada masa ini memiliki kekhasan karakter, yakni bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa adanya Tuhan. Abad ini bermula seiring runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad V M. Pandangan-pandangan para filsuf pada abad ini banyak diwarnai oleh dua agama yang berkembang pesat ketika itu, Kristen sebagai agama yang telah berkembang dan hidup dalam doktrin-doktrin hukum Romawi, dan Islam sebagai agama baru yang ajaran-ajarannya berkembang dari Timur Tengah menyebar ke benua Asia, Afrika, dan Eropa Selatan.

Konsep dan gagasan-gagasab hukum yang bersumber dari dua agama tersebut pada prinsipnya memiliki kesamaan, yaitu pengakuan eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta dan seluruh isinya. Karenanya tolok ukur setiap pemikiran orang adalah satu kepercayaan bahwa hukum pada mulanya adalah suatu aturan yang berasal dari Tuhan. Sehingga semua hukum positif yang dibentuk manusia tidak boleh keluar dari aturan-aturan yang telah ditetapkan Tuhan, dan sifatnya hanya ikut mengatur hidup. Jika ajaran Kristiani,

(7)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum6 sebagaimana pemikiran filsuf Thomas Aquinas, memandang hukum berhubungan dengan wahyu secara tidak langsung, yaitu hukum yang dibuat manusia disusun di bawah inspirasi agama dan wahyu. Maka ajaran Islam, seperti banyak dikemukakan Asy Syafi’i dalam pandangan-pandangannya, memandang hukum memiliki hubungan langsung dengan wahyu, sehingga Hukum Islam merupakan bagian dari wahyu (Syari’ah).

C. Zaman Modern (1500 – 1850 M)

Pada zaman ini pemikiran-pemikiran hukum lebih berkembang dalam konsep-konsepnya, dan terstruktur. Pemikiran-pemikiran hukum pada zaman ini banyak dipengaruhi oleh gagasan-gagasan kebebasan manusia, baik dalam berpikir maupun berbudaya. Dominasi hukum alam dan hukum agama menjadi bergeser hidup dalam ruang konsep terpisah dari hukum positif, terutama ketika menyangkut permasalahan politik dan kenegaraan.

Filsafat pada zaman modern terbagi dalam 3 masa, yaitu Masa Renaissance, Masa Rasionalisme (Aufklarung), dan Masa Abad XIX.

1. Masa Renaissance (1500 – 1600 M).

Pada masa ini para filsuf umumnya melakukan pemisahan antara urusan yang berkaitan dengan agama dan urusan non-agama, atau dikenal sebagai dikotomi urusan dunia dengan urusan akhirat. Masa ini disebut sebagai masa Renaissance (era kelahiran kembali) sebagai bentuk protes para pelajar barat dari apa yang mereka temukan dalam konsepsi ajaran-ajaran Islam. Mereka memandang bahwa selama ribuan tahun gereja telah menempatkan posisinya sebagai penguasa absolut yang berhak mengatur keyakinan setiap individu (teokrasi). Masa kekuasaan gereja ini sering disebut sebagai masa kegelapan Eropa.

Pandangan-pandangan pada masa ini menempatkan manusia terlepas dari konsepsi Alam dan Tuhan (agama). Manusia dipandang sebagai tolok ukur kebaikan dan keburukan, penentu atas nasibnya sendiri, dikenal sebagai gerakan humanisme. Agama tergeser sebatas menjadi sandaran untuk mengusir kegelisahan batin dan kesendirian. Kegetiran atas kepercayaan yang terpasung oleh gereja pada abad pertengahan menyebabkan gerakan humanisme ini berkembang pesat menjelajah setiap jengkal tanah Eropa. Menurut humanisme, manusia adalah mahluk bebas yang independen dari Alam dan Tuhan, memiliki

(8)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum7 keunggulan sebagai pribadi diantara segala makhluk lainnya, khususnya dalam peranannya sebagai pencipta kebudayaan.

Dari gerakan protes ini lahirlah agama baru, yaitu Protestan. Protestan merupakan bentuk reformasi ajaran Kristen yang dikembangkan oleh Marthin Luther 1483-1546 M. Menurutnya gereja tidak boleh memiliki kekuasaan politik. Konsep hukum pada masa ini juga berkembang menjadi bersifat empirik. Mulai bermunculan pemikiran-pemikiran radikal tentang hubungan hukum dan kekuasaan negara oleh beberapa filsuf barat, diantaranya; Macchiavelli (1469-1527 M), Hugo Grotius (1583-1645 M), dan Thomas Hobbes (1588-1679 M). Konsep dasar pandangan mereka, adalah:

a. hukum bukan lagi sebagai tatanan yang ideal (hukum alam), melainkan terletak pada bagaimana hukum itu dibentuk oleh manusia sendiri, baik itu raja maupun rakyat, yaitu berupa hukum positif atau tata hukum negara, dan hukum memiliki keterkaitan erat dengan politik negara,

b. tata hukum negara diolah berdasarkan pemikiran para sarjana hukum (doktrin) secara Iebih ilmiah,

c. dalam membentuk tata hukum makin banyak dipikirkan tentang fakta-fakta empiris, yaitu kebudayaan bangsa-bangsa dan situasi sosio-ekonomis masyarakat dimana hukum itu hidup.

2. Masa Rasionalisme / Aufklarung (1650 – 1750 M).

Pada zaman ini pandangan dan konsep-konsep hukum lebih banyak didasarkan pada rasionalitas pemikiran manusia dan empirisme. Istilah rasionalisme sendiri menandakan pengutamaan akal budi manusia mengalahkan ajaran agama. Abad ini merupakan kejayaan rasionalisme, empirisme, dan positivisme mengalahkan dogmatis Agama. Perpaduan tiga aliran tersebut yang memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat dari agama melahirkan ajaran baru yakni sekulerisme, dengan metode penemuan kebenaran yang disebut Metode Ilmiah (scientific method).

Semua aliran tersebut sangat berpengaruh pada peradaban barat hingga sekarang. Penemuan kebenaran secara metode ilmiah hanya mengukur sesuatu dari sudut koherensi dan korespodensi. Sehingga segala pengetahuan di luar jangkauan indra dan rasio, serta tidak dapat diuji kenyataannya secara ilmah, maka tertolak kebenarannya, termasuk

(9)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum8 pengetahuan yang bersumber pada ajaran agama. Gagasan ini dirintis oleh filsuf barat, Rene Descartes yang hidup pada tahun 1596-1650 M. Falsafahnya yang amat terkenal adalah

"cogito ergo sum", yang berarti: karena berpikir maka aku ada.

Pasca Descartes filsafat di zaman ini menjurus pada pemikiran modern tentang konsep hukum dan negara ke dua arah, yakni:

a. Rasionalisme, yang mengunggulkan ide-ide akaI murni. Tokoh-tokohnya antara lain: Wolff (1679-1754), Montesqieu (1689-1755), Voltaire (1694-1778), J.J. Rousseau (1712-1778), dan Immanuel Kant (1724-1804).

b. Empirisme, yang menekankan perlunya basis empiris terhadap semua pengertian. Tokoh-tokohnya antara lain; John Locke (16321704), dan David Hume (1711-1776). Pada prinsipnya empirisme merupakan bentuk berpikir yang rasionalis. Hanya saja dalam empirisme lebih diutamakan penggunaan metode empiris, yaitu apa yang tidak dialami maka tidak diakui kebenarannya. Hukum pada masa ini dipandang sebagai bagian suatu sistem pikiran yang lengkap dan bersifat rasional, an sich. Konsep negara yang dipandang ideal adalah negara hukum.

Locke dalam pandangannya menyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak pembelaan terhadap pemerintahan yang berkuasa. Montesqieu memandang perlunya pemisahan kekuasaan negara dalam tiga bagian, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif (trias

politica). Rousseau menempatkan manusia sebagai subjek hukum. Ia menyatakan jika

hukum menjadi bagian dari suatu kehidupan bersama yang demokratis, maka raja sebagai pembuat hukum perlu diganti dengan rakyat sebagai pencipta hukum dan subjek hukum. Sedangkan Immanuel Kant menyatakan bahwa pembentukan hukum merupakan inisiatif manusia guna mengembangkan kehidupan bersama yang bermoral.

Puncak kegemilangan era ini adalah terwujudnya cita-cita negara hukum dengan berdirinya negara Amerika Serikat (1776) dan pasca terjadinya Revolusi Perancis (1789) yang dijiwai semboyan: liberte, egalite, fraternite, yang melahirkan tata hukum baru dengan dirumuskannya Code Civil (1804). Code Civil tersebut pada era berikutnya merupakan sumber kodeks negara-negara modern, antara lain Belanda yang produk-produk hukumnya banyak diterapkan di negara-negara jajahannya, diantaranya Indonesia.

(10)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum9 3. Masa Abad XIX (1800 – 1850 M).

Pemikiran-pemikiran filsafat pada masa ini memandang manusia sebagai suatu wujud dinamis yang makin berkembang dalam sejarah. Manusia dianggap subjek yang mampu mengubah keadaan dalam segala bidang. Abad ini menandai perkembangan atau evolusi manusia akan kesadarannya tentang kekuasaan sendiri.

Empirisme berkembang menjadi positivisme yang menggunakan metode pengolahan ilmiah. Tokoh filsuf pemikiran ini adalah August Comte (1789-I857), seorang filsuf Perancis, yang menyatakan bahwa sejarah kebudayaan manusia dibagi dalam tiga tahap; 1) tahap teologis, yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran dalam agama, 2) tahap metafisis, yaitu tahap dimana orang mencari kebenaran melalaui filsafat, dan 3) tahap positif, yaitu tahap dimana kebenaran dicari melalui ilmu-ilmu pengetahuan. Tahap terakhir inilah yang, menurut Comte, merupakan ikon zaman modern.

Berbagai perubahan besar dalam ilmu pengetahuan dan teknologi yang terjadi di abad ini, memunculkan berbagai permasalahan sosial yang kemudian memberi ruang kepada para sarjana untuk berpikir tentang gejala perkembangan itu sendiri. Hukum dipandang sebagai faktor yang mampu memberi pengaruh besar dalam perkembangan kebudayaan.

Pengertian tentang hukum pada abad ini merupakan pandangan baru atas hidup, yaitu hidup sebagai perkembangan manusia dan kebudayaan. Beberapa filsuf yang mewarnai pemikiran pada abad ini, antara lain; Hegel (1770-1831), F. Von Savigny (1779-1861), dan KarI Marx (1818-1883). Hegel menempatkan hukum dalam keseluruhan perwujudan roh yang objektif dalam kehidupan manusia. Von Savigny menentukan hukum sebagai unsur kebudayaan suatu bangsa yang berubah dalam Iintasan sejarah. Dan Karl Marx memandang hukum sebagai cermin situasi ekonomis masyarakat (Soetiksno, 1986:

Jika dalam konsep hukum negara Hegel menyatakan bahwa, hukum dalam suatu negara adalah ekspresi dari kemauan umum dan tidak mampu melihat bahwa sesungguhnya faktor-faktor utilitaristis lah yang menentukan eksistensi hukum, maka Rudolf von Jhering (1818) menolak teori tersebut. Menurut von Jhering, yang aliran filsafat hukumnya sering disebut sebagai positivisme, mendefinisikan hukum sebagai sejumlah aturan yang memaksa berlaku dalam suatu negara.

(11)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum10 D. Abad XX (1900 – 2000 M)

Pada dasarnya konstruksi hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat relatif memiliki kesamaan dalam pembentukan sistemnya. Akan tetapi pada abad ini terdapat dua arus besar pandangan tentang pengertian hukum yang hakiki, yaitu:

1. Neopositivisme, yang memandang hukum sebagai norma yang secara nyata berlaku. Hukum merupakan faktor penjamin hubungan antara rakyat dan pemerintah negara. Pandangan ini sangat dipengaruhi aliran sosiologi hukum dan realisme hukum.

2. Neokantianisme, Neohegelianisme, dan Neomarxixsme yang memandang hukum sebagai bagian kehidupan etis manusia di dunia. Hubungan antara hukum positif dengan pribadi manusia haruslah berpegang pada norma-norma keadilan. Tokoh ajaran ini salah satunya adalah Hans Kelsen, yang mendefinisikan hukum sebagai norma-norma yang mengatur bagaimana seseorang harus berperilaku (norma etis). Menurut Kelsen, hukum dapat dipandang dalam arti formal dan dalam arti material, yaitu disamping sebagai ilmu pengetahuan hukum dalam hukum juga terdapat politik hukum.

(12)

konstruksi hukum berdasarkan sejarah filsafat hukum11 BAB III

KESIMPULAN

Filsafat hukum dalam perkembangannya mempelajari sejak bagaimana hukum terbentuk hingga bagaimana hukum memiliki fungsi norma. Filsafat hukum ada dan hidup sejak Zaman Yunani Kuno hingga sekarang. Perkembangan filsafat hukum cenderung mengikuti perkembangan pemikiran manusia dan budaya masyarakat pada setiap zamannya.

Jika pada awal kemunculannya filsafat hukum banyak membicarakan konstruksi hukum yang sangat dipengaruhi oleh dongeng dan mitos-mitos, maka pada masa Sokrates dianggap merupakan era kebangkitan filsafat hukum karena kemenangan akal atas dongeng dan mitos-mitos dari kepercayaan masyarakat. Pemikiran-pemikiran hukum yang mulanya banyak dipengaruhi aturan-aturan alam, berkembang menjadi pemikiran pada tataran konsep bermasyarakat, yakni manusia sebagai makhluk sosial yang hidup bermasyarakat dan bernegara.

Diadopsinya ajaran-ajaran agama dalam kehidupan bernegara oleh Kerajaan Romawi di abad pertengahan, menempatkan dogma agama dan gereja ketika itu, pada kekuasaan absolut yang mengatur kehidupan negara dan individu (teokrasi). Namun setelah Kerajaan Romawi runtuh dan mulai berkembang agama baru, yakni agama Islam, mulai muncul gerakan-gerakan humanisme yang memisahkan ajaran agama dari konsep-konsep hukum dan negara. Gerakan ini melahirkan pandangan-pandangan baru tentang hukum yang lebih modern, berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan penggunaan akal sebagai penentuan kebenaran secara ilmiah, disamping masih mengakui adanya hak-hak alamiah yang melekat pada manusia dalam kedudukannya sebagai warga negara.

Terakhir, konstruksi hukum mengalami perkembangan progresif yang semakin mengarah pada tercapainya cita-cita hukum ideal pada abad XX. Sebenarnya pandangan-pandangan filsuf pada abad ini lebih banyak mengadopsi dan memadukan pemikiran-pemikiran filsuf pada abad pertengahan dan zaman modern, dengan beberapa teori-teori hukum baru seiring perkembangan budaya masyarakat dan hubungannya dalam berbangsa dan bernegara.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bisa menjadi masukan bagi Jurusan Psikologi Universitas Bina Nusantara bahwa ada kendala yang dialami oleh mahasiswa yaitu self-efficacy dan

Guru memberikan contoh-contoh soal cerita tentang penjumlahan bilangan bulat Tahap Elaborasi dengan kegiatan sebagai berikut :.. Guru mengelompokan siswa dalam 5 kelompok,

kebutuhan yang paling tinggi, dimana seseorang dapat memenuhi kebutuhan dan.. bisa juga tidak, seperti kebutuhan akan barang barang mahal atau pun kebutuhan. yang sudah

Menyimpang dari Pasal 277 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, dalam hal terjadi kerugian atau kerusakan atas harta benda dan atau kepentingan yang dipertanggungkan, di mana

Untuk melihat 7 3 % , klik tab 7 3 pada halaman Data Akademis yang berada di bagian atas. Riwayat Akademik dibagi menjadi 3 bagian yaitu Laporan per Term seperti Gambar 19, Laporan

Peserta didik mengajukan pertanyaan dari materi yang telah dicatat untuk acuan dalam mempraktekkan pembuatan desain berbasis gambar bitmap (raster).. Mendesain

Untuk melakukan penggolongan kategori pada variabel (X) tingkat pengetahuan siswa tentang makanan yang bergizi, dan variabel (Y) status gizi menggunakan tabulasi

Dalam kasus ini variabel lama tinggal tidak berpengaruh nyata terhadap keputusan rumah tangga untuk melakukan tindakan pencegahan. Hal ini dapat disebabkan karena penduduk