• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG. Inggris yang dikenal dengan istilah souveregnity yang kemudian berakar dari"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS SUATU ZONA LARANGAN TERBANG

A. PENGERTIAN KEDAULATAN

Hakikat dan fungsi kedaulatan dalam masyarakat internasional sangat penting peranannya. Menurut sejarah, asal kata kedaulatan berasal dari bahasa Inggris yang dikenal dengan istilah “souveregnity” yang kemudian berakar dari bahasa Latin, yaitu “supranus”, yang mempunyai pengertian “yang teratas”. Tiap negara mempunyai sifat kedaulatan yang melekat padanya, karena kedaulatan merupakan sifat atau ciri hakiki dari suatu negara. Bila dikatak suatu negara berdaulat, maka makna yang terkandung adalah, bahwa negara itu mempunyai suatu kekuasaan tertinggi dan secara de facto menguasai.1

1. Aspek internal, yaitu berupa kekuasaan tertinggi untuk mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di dalam batas-batas wilayahnya.

Kedaulatan pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu:

2. Aspek eksternal, yaitu kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan dengan anggota masyarakat internasional, maupun mengatur segala sesuatu yang ada atau terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang masih ada kaitannya dengan kepentingan negara itu.2

1

E. Suherman, SH. Wilayah Udara dan Wilayah Dirgantara, Penerbit Alumni, Bandung, 1984, hal 4.

2

I Wayan Parthiana, SH., MH, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal 294.

(2)

Ruang berlakunya kedaulatan ini terbatas oleh batas batas wilayah negara tersebut, artinya suatu negara hanya mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batasan wilayah negaranya saja. Adapun di luar wilayahnya, suatu negara tidak lagi memiliki kedaulatan sedemikian. Jadi, pengertian kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi, mengandung dua pembatasan penting dalam dirinya, yaitu : (1) kedaulatan itu terbatas pada wilayah negara yang memnpunyai kedaulatan tersebut, dan (2) kedaulatan tersebut berakhir sampai mana pada batas wilayah suatu negara lain dimulai. Suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusif ke luar wilayah negara tersebut, yang dapat menggangu kedaulatan wilayah negara lain.

Suatu negara hanya dapat melaksanakan secara eksklusif dan penuh hanya di dalam wilayahnya saja.

Kedaulatan wilayah atau teritorial ini mempunyai dua aspek, yaitu aspek positif dan aspek negatif. Aspek positif yang dimaksud adalah berkaitan dengan sifat hak eksklusif kompetensi suatu negara terhadap wilayahnya. Sedangkan aspek negatif kedaulatan teritorial ini adalah adanya kewajiban untuk tidak menggangu hak negara negara lain.

Huala Adolf berpendapat, kedaulatan teritorial berarti kedaulatan yang dimilki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusifnya.3

Sedangkan JG Starke, munculnya konsep kedaulatan teritorial menandakan bahwa di dalam wilayah kekuasaan ini, yurisdiksi dilaksanakan oleh

3

H. Bachtiar Hamzah, SH – Sulaiman Hamid, SH Hukum Internasional II, USU Press Medan, 1997. hal 36.

(3)

negara terhadap orang-orang dan harta benda yang mengenyampingkan negara-negara lain.4

Menurut Oppenheim-Lauterpacht, pengertian wilayah adalah : “State territory is that definited portion of the surface of the globe which is subjected to the souvereignity of a state”.

Hukum Internasional mengkaui kedaulatan tiap-tiap negara di dalam wilayahnya masing-masing. Kedaulatan tertinggi yang dijalankan suatu negara terhadap wilayahnya menunjukkan bahwa pada satu wilayah hanya ada satu negara berdaulat dan tidak mungkin ada atau lebih negara berdaulat pada satu wilayah yang sama.

Salah satu unsur yang terpenting dari suatu negara adalah adanya wilayah. dalam wilayah inilah suatu negara menjalankan segala aktivitasnya. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa tidak mungkin ada negara tanpa adanya pemilikan atas suatu wilayah.

5

Pentingnya wilayah bagi suatu negara dapat dilihat pada kenyataan bahwa dalam ruang lingkup wilayah itulah negara menjalankan kekuasaan tertingginya. Wilayah suatu negara merupakan objek hukum internasional.

Dalam wilayah itulah negara menjalankan kedaulatannya, sehingga sebuah negara tidak mungkin ada, tanpa adanya wilayah, meskipun wilayah itu mungkin kecil dan dalam wilayah itulah negara menjalankan yurisdiksi eksklusifnya secara penuh.

4

JG. Starke, Pengantar Hukum Internasional I, Edisi Kesepuluh, Sinar Grafika, Jakarta, 1999. hal 210.

5

(4)

Kedaulatan teritorial suatu negara mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan tanah tersebut, laut dan udara.

Persoalan yang menyangkut tentang maslah kedaulatan dari berbagai negara atas ruang udara di atas wilayah mereka, juga menimbulkan permasalahan tertentu, yaitu mengenai penetapan batas antara ruang angkasa dan ruang udara. Hal ini terjadi karena sampai saat ini beum ada batas yang tegas antara ruang angkasa dan runag angkasa.

Penetapan batas antar ruang tersebut sangat penting, karena penentuan kedaulatan suatu negara terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya ditentukan oleh adanya ketegasan dari batas antara kedua ruang tersebut. Selain itu penetapan batas antara ruang udara dengan ruang angkasa tersebut juga demi menghindari konflik antar negara negara kolong atau subjacent state.

Adapun ruang udara menurut pasal 1 angaka 2 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, disebut juga wilayah udara adalah wilayah kedaulatan udara di atas wilayah daratan dan perairan Indonesia.

Sedangkan menurut pasal 1 Konvensi Chicago 1944, ruang udara adalah merupakan suatu jalur udara di atmosfer yang berisikan cukup udara di mana pesawat udara dapat bergerak karena reaksi udara kepadanya sehingga mendapat gaya angkat (lift). Dalam pada pasal ini juga ditegaskan bahwa setiap negara memiliki yurisdiksi eksklusif dan wewenang untuk mengontrol ruang udara di atas wilayahnya. Pesawat terbang negara lain, baik pesawat militer ataupun sipil

(5)

tidak akan mendapat hak sama sekali untuk memasuki ruang udara atau mendarat di wilayah tersebut tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.

Kemudian, penafsiran Prof. Peng, ruang udara merupakan ruang yang dapat dimafaatkan atau semua ruang yang dapat dicapai manusia.6

atau atmosfer yang di dalamnya terdapat benda benda ruang angkasa seperti bulan dan benda benda langit lainnya”.

Ruang angkasa itu sendiri pengertiannya adalah :

“suatu ruang di luar ruang udara di mana tidak lagi terdapat gas gas udara

7

Mengenai ruang angkasa itu sendiri, diatur dalam Space Treaty 1967. Dari pengertian-pengertian di atas, maka terasa tidaklah mungkin suatu negara tertentu dapat melaksanakan hak dan kedaulatannya di luar daripada batas-batas gaya tarik bumi, yang diperkirakan berada pada jarak sekitar 260.000 kilometer dari permukaan laut, diukur secara tegak lurus.8

“adalah menjadi hak dan kewajiban suatu negara untuk melindungi dirinya dan perlindungan tersebut dipandang perlu dan wajar kalau negara tersebut mempunyai hak-hak untuk mengawasi bagian dari wilayahnya”.

Adapun pendapat ini bersumber kepada suatu doktrik klasik yang menyatakan bahwa :

9

Penguasaan ruang udara sejak dahulu telah merupakan suatu masalah yang selalu dipersoalkan. Sebuah dalil hukum Romawi mengatakan “cujus est solum, ejus est usque coelum”, yang artinya barang siapa yang memiliki sebidang tanah,

B. KEDAULATAN SUATU NEGARA ATAS RUANG UDARA WILAYAHNYA

6

Loc. Cit

7

Op. Cit, hal 7

88

Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH, Kedaulatan Negara di Ruang Angkasa, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta 1972, hal 14

9

(6)

dengan demikian juga memiliki segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut.10

Tetapi masalah hak milik tersebut sekarang sudah tidak berlaku mutlak lagi, karena sudah dibatasi dengan oleh peraturan negara yang khusus demi kepentingan-kepentingan umum.

Pengaruh dari asas tersebut menular pada teori-teori kedaulatan yang berkembang sesudahnya, dan sekarang menjadi prinsip yang kuat dan universal. Dari asas ini terlihat bahwa sejak dahulu negara telah mengakui dan melindungi adanya hak-hak dari pemilik penduduk negara . Hak-hak-hak tersebut juga berlaku bagi ruang udara yang berada di atasnya tanpa abats apapun dan pendirian ini telah dianut di negara-negara lain seperti, bahkan Indonesia seperti yang tercantum dala pasal 571 KUHPerdata yang berbunyi :

“Hak milik atas sebidang tanah mengandung di dalamnya kepentingan atas segala apa yang ada di atasnya dan di dalam tanah ...”.

11

Perkembangan dan prinsip-prinsip tersebut di atas dapat diteliti melalui doktrin mengenai lautan yang telah dikembangkan oleh seorang ahli hukum internasional, Yaitu Grotius. Pada tahun 1609, ia menulis buku “Mare Liberum” yang menyatakan bahwa laut tersebut terbuka dan dapat dilayari oleh siapapun serta tidak menjadi milik siapapun.12

Hal ini ditulis Grotius sebagai pembelaan hak orang Belanda untuk melayari lautan. Sedangkan alasan yang diajukannya adalah karena lautan itu

10

Prof. Priyatna Abdulrasyid, Kedaulatan Negara di Ruang Udara, Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972 hal 49.

11

UU Pokok Agaria (UU No 5 Tahun 1960), UU Pokok Pertambangan (UU No 11 Tahun 1967)

12

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH, Hukum Laut Internasional, Bina Cipta, Bnadung, 1992 hal 12

(7)

sendiri merupakan benda milik bersama , disebabkan oleh kondisi laut itu sendiri, akan tetapi pendapat tersebut mendapat bantahan dari John Shelden, seorang Inggris, yang menyatakan laut adalah tertutup.

Menurut pendapat Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, teori yang dikembangkan oleh John Shelden tersebut dimaksudkan untuk membenarkan politik Inggris pada waktu iti mengenai lautan. Ia mengemukakan bahwa lautan tersebut dapat menjadi milik suatu negara, pendapat di mana yang jelas menentang pendapat Grotius yang menganut ajaran kebebasan lautan.

Dengan timulnya permasalahn penerbangan pada era abad 19 atau awal abad 20, soal bebas tidaknya seperti diuraikan telah menjelma menjad soal bebas atau tidaknya angkasa yang berkisar pada masalah apakah angkasa terutama ruang udara itu ada di bawah kedaulatan suatu negara atau tidak.

Paul Fauchille, seorang berkebangsaan Prancis, mengusahakan menerapkan doktrin Grotius tersebut ke dalam masalah kedaulatan suatu negara di ruang udara dengan mengatakan bahwa udara itu bebas.

Sudahlah pasti tindakan mempersamakan lautan dengan ruang udara tersebut tidak benar. Dalam hal ini seorang sarjana Inggris berpendapat bahwa :

“.... udara itu bukan lautan dan kapal layar bukan kapal udara. Sedangkan kondisi lautan dan udara tersebut sangat berlainan pula. Hubungan antara lautan dengan udara tersebut berlainan sama sekali dengan hubungan lautan dengan daratan, lautan bukan merupakan merupakan syarat adanya suatu negara, berbeda halnya dengan udara yang merupakan syarat mutlak bagi kehidupan di dunia”.13

13

Prof. Dr. Priyatna Abdulrasyid, SH Kedaulatan Negara Di Ruang Udara. Pusat Penelitian Hukum Angkasa, Jakarta, 1972, hal 55

(8)

Oleh karena itu, pendirian Hazeltine tersebut di atas mendapat dukungan dadri para sarjana Inggris lainnya seperti Westlake dan Lycklama, yang mengatakan pula, bahwasanya ruang udara itu tidak bebas. Pendapat tersebutmendapat dukungan dari kebanyakan ahli hukum waktu itu. Pada kenyataannya pendirian merekalah yang sampai saat ini dianut oleh dunia internasional.

Mengenai masalah pemilikan ruang udara ini pada waktu itu mendapat dua kelompok besar, yaitu :

1. Mereka yang berpendapat bahwa udara karena sifatnya itu bebas. Para penganut ini dikelompokkan sebagai penganut teori ruang udara bebas, yang terbagi atas :

a. kebebasan ruang udara tanpa batas.

b. kebebasan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong. c. kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah teritorial di

daerah mana hak-hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

2. Mereka yang berpendapat bahwa negara itu berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Terbagi atas :

a. negara kolong yang berdaulat penuh hanya terhadap ketinggian tertentu di ruang angkasa.

b. negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh lintas damai bagi navigasi pesawat udara asing.

(9)

Berkaitan dengan ruang udara di atas wilayah yang dikuasai dan di atas perairan yang tunduk pada kedaulatan negara, seperti yang telah dikemukakan di atas, terdapat sejumlah teori yang beragam.

Akan tetapi karena pecahnya perang dunia pertama pada tahun 1914, karena alasan darurat dan praktis, dianggap bahwa satu-satunya teori yang diterima oleh semua negara adalah teori kedaulatan negara atas ruang udara adalah tidak terbatas.

Teori ini dipakai dan dikukuhkan tidak hanya oleh negara negara yang sedang berperang, akan tetapi juga oleh negara – negara netral. Teori tersebut dnyatakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, untuk pengaturan navigasi udara, di mana ara peserta perjanjian mengakui bahwa setiap neagara memiliki kedaulatan yang lengkap dan eksklusif atas ruang udara di atas wilayahnya dan perairan teritorialnya. Tapi bagaimanapun juga konsep kedaulatan tersebut masih bisa dibatasi dengan adanya hak lintas damai bagi pesawat – pesawat asing.

Konvensi Paris menurut ketentuan-ketentuan rinci bagi pengaturan internasional navigasi udara, sebagian bertujuan menetapkan keseragaman. Bagi pesawat udara yang tidak melakukan pelayanan udara atau jasa angkutan udara berjadwal, dengan pengecualian bahwa pesawat-pesawat tersebut dimiliki oleh negara-negara peserta Konvensi, harus mendapat kebebasan lintas damai melalui ruang udara di atas wilayah negara peserta lain, tunduk pada penataan syarat-syarat yang ditetapkan dalam Pasal 2 Konvensi Paris.

(10)

Pada umumnya, sebelum perang dunia kedua, hak-hak mendarat bagi pesawat udara asing tetap berada di dalam lingkup kebijaksanaan negara yang bersangkutan.

Konsep kedaulatan negara di ruang udara sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919, telah secara rinci dicantumkan pula pada Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 yang berbunyi sebagai berikut :

“The Contracting State, recognize that every, state has complete and exclusive souvereignity in the airspace above its territory”.

Jadi, hal pokok pada konvensi-konvensi tersebut adalah adanya ketegasan bahwa negara-negara anggota mengakui bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang lengkap dan eksklusif terhadap ruang udara yang di atas wilayahnya.

Oleh sebab itu, walaupun semua negara ikut dalam Konvensi tersebut, namun khusus dalam masalah kedaulatan negara di ruang udara, negara-negara telah bersepakat bahwa hal demikian tidak menjadi alasan untuk tidak mengakui kedaulatannya di wilayah ruang uadaranya, karena memang masalah kedaulatan negara di ruang angkasa dipertegas dalam konvensi internasional, sehingga mengenai prinsip kedaulatan ini tidak mengalami kendala apa-apa.14

Mengingat bahwa konvensi internasional selalu menjadi bahan bagi perundang-undangan nasional, demikian juga dengan konvensi-konvensi penerbangan internasional yang kemudian diadopsi ke dalam perundang-undangan nasional. Untuk pertama kalinya mengenai penerbangan ini diatur pada Undang Undang Nomor 83 tahun 1958. Namun demikian pada Undang Undang

14

(11)

tersebut tidak ada diatur mengenai kedaulatan negara Indonesia terhadap ruang udara, kecuali dikatakan bahwa :

“Dilarang melakukan penerbangan selainya dengan pesawat udara yang mempunyai kebangsaan Indonesia, atau dengan pesawat udara asing berdasarkan perjanjian internasional atau berdasarkan persetujuan pemerintah”.

Namun demikian dalam Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1960 dapat dijadikan sebagai pegangan yang dalam penjelasan undang undang tersebut dikatakn bahwa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan teritorial menjadi hak kedaulatan Indonesia.

Setelah dikeluarkan Undang Undang penerbangan yang baru, yaitu Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, dengan jelas dikatakan dalam pasal 5 bahwa :

“Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia”.

Selanjutnya dalam pasal 6 dikatakan pula :

“Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepantingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya serta lingkungan udara”.

Dengan telah diundangkannya Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009, maka Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992, dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan yang baru berdasarkan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009. Dengan demikian mengenai konsep kedaulatan negara di ruang uadar tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan Indonesia dan menyatakan bahwa Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udaranya, sehingga dengan

(12)

demikian ruang udara tersebut menjadi bentuk wilayah Indonesia sebagai suatu kesatuan politik, yang berbentuk tiga dimensi.15

15

Ibid. Hl 158

C. PENGERTIAN DAN BATAS-BATAS TERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG

Berdasarkan prinsip hukum udara internasional, masalah penetapan zona larangan terbang merupakan upaya negara-negara untuk mempertahankan kedaulatannya di ruang uadara. Sejak sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama, sejalan dengan perkembangan teknologi penerbangan, negara-negara di dunia ini berhadapan dengan kenyataan-kenyataan yang mendorong mereka untuk menetapkan zona larangan terbang. Pengalaman selama Perang Dunia Pertama tersebut telah membuktikan kebenaran konsep bahwa kedaulatan negara kolong terhadap ruang udara nasional di atas teritorial negaranya perlu ditegaskan. Keselamatan dan keamanan wilayah udara nasional sesuatu negara perlu dipertimbangkan dan diregaskan. Di sisi lain perlu diperketat sistem pengamanan dan pengawasan kawasan udara. Padahal dari sudut pandang lain, negara-negara menyadari pula bahwa teknologi serta alat transportasi baru yang memanfaatkan ruang udara sebagai sarana lalu lintasnya, sesungguhnya bersifat internasional dan mempinyai karakteristik khusus. Berbeda dengan alat pengangkut lain di darat dan di laut, maka pengankutan melalui udara ini bersifat lintas batas geografis, di mana kemampuan melewati dan menembus batas-batas wilayah udara nasional suatu negara dapat dikatakan dengan sangat indah.

(13)

Pada dasarnya wilayah udara sesuatu negara adalah tertutup bagi aktivitas penerbangan negara lain. Oleh karena itu setiap penerbangan yang melintasi wilayah udara suatu negara oleh negara pesawat asing negara lain tanpa izin negara kolong, merupakan pelanggaran wilayah udara. Begitu lepas landas, pesawat terbang akan mempunyai kemampuan dan kecepatan dan kebebasan yang sangat luas, sehingga alat transportasi yang ditemukan oleh Wright bersaudara pada awal abad kedua puluh tersebut mempunyai potensi penggunaan secara militer yang sangat luar biasa. Merupakan kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa ruang udara sebagai sarana lalu lintas pesawat terbang merupakan pula media yang berpotensi untuk melancarkan serangan udara oleh pesawat musuh negara kolong.

Dengan demikian, sejalan dengan prinsip bahwa wilayah udara nasional sesuatu negara tertutup bagi penerbangan asing, maka setiap warga negara yang memiliki kemampuan serta kekuasaan udara kemudian menetapkan bagian-bagian wilayah udaranya yang tertentu dan khusus yang berdasarkan pertimbangan kemamanan dan pertahanan perlu dilindungi. Pada bagian wilayah udara tertentu tersebutlah yang dinamakan Zona udara terlaran atau Zona larangan terbang, di mana dinyatakan secara tegas bahwa kawasan tersebut terlarang bagi penerbangan asing. Kesadaran untuk menetapkan bahwa sesuatu negara kolong mempunyai kedaulatan yang penuh terhadap ruang udara di atasnya, adalah sebagai akibat pesatnya kemajuan perkembangan teknologi transportasi udara. Kesadaran negara-negara telah mendahului suatu kaidah hukum internasional yang baru belakangan muncul yakni pada Konvensi Paris 1919.

(14)

Zona larangan terbang yang diciptakan oleh negara-negara maju untuk melindungi kawasan ruang udara dari penerbangan asing, mempunyai batas-batas yang ditetapkan secara sepihak oleh negara pencipta tersebut. Menurut prinsip Hukum Udara Internasional, luas dan lokasi zona harus didasarkan pada prinsip yang wajar, sehingga tidak menimbulkan konflik yang sesungguhnya pada navigasi udara.

Zona larangan terbang diatur dalam Konvensi Paris 1919 yang kemudian diperbaiki dengan Protokol Paris 1929. Pada pasal 3 Protokol Paris 1929 diatur mengenai bentuk zona larangan terbang, yaitu terdiri dari dua bentuk :

1) Zona larangan terbang yang ditetapkan atas dasar alasan pertahanan dan keamanan atau militer. Zona dengan bentuk semacam ini bersifat permanen, kecuali jika ada perubahan mengenai kepentingan militer atau pertahanan dan keamanan dari negara yang bersangkutan.

2) Zona larangan terbang yang dinyatakan untuk seluruh atau sebagian udara nasional negara kolong tertutup sama sekali bagi pesawat asing, karena keadaan darurat. Zona dengan bentuk penutupan wilayah udara hanya akan dilakukan sampai situasi dan kondisi pulih kembali.

Dari kedua bentuk zona larangan terbang yang diatur di dalam Pasal 3 Konvensi Paris 1919 tersebut, pembentukan zona larangan terbang harus memenuhi persyaratan secara internasional.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentuk 1) adalah bahwa larangan terhadap pesawat sipil asing juga berlaku bagi pesawat negara awak. Pada syarat ini, prinsip atau asas tanpa perbedaan harus dipegang teguh karena zona yang

(15)

ditetakan bersifat permanen dan bertujuan untuk melindungi pertahanan dan keamanan negara yang bersangkutan. Persyaratan lain dari zona bentuk pertama ini adalah bahwa pengumuman mengenai penetapan zona harus dilakukan lebih dahulu untuk diketahui oleh negara-negara yang berkepentingan. Hal ini juga termasuk ketetapan mengenai luas dan letak zona larangan tersebut.

Persyaratan untuk zona larangan terbang bentu 2) yang menetapkan penutupan seluruh atau sebagian wilayah negara kolong, disyaratkan bahwa penutupan harus berlaku dengan setara dan benar-benar bersifat sementara dan berlaku untuk semua pesawat asing dengan prinsip tidak ada perbedaan. Penetapan syarat pada zona bentuk kedua ini juga diwajibkan untuk memberitahukan kepada semua negara peserta atau anggota Konvensi atau Komisi Internasional untuk Navigasi Udara.

Ketentuan mengenai kedua persyaratan itu yang mewajibkan seluruh pesawat sipil asing maupun pesawat sipil nasional negara awak dilarang melintasi zona larangan terbang yang telah ditetapkan, dirubah menjadi ketentuan bahwa pesawat sipil nasional negara kolong diizinkan terbang di zona larangan tersebut. Hal ini diatur dalam Protokol Paris 1929 sebagai perbaikan dari Konvensi Paris 1919. Pada pasal 4 Konvensi Paris 1919 ini mewajibkan agar setiap pesawat yang menyadari telah melanggar zona larangan terbang yang telah ditetapkan, harus segera memberitahukan kepada pangkalan udara negara kolong bahwa ia berada dalam kesulitan dan terpaksa harus mendarat di lapangan terdekat di luar zona larangan tersebut.

(16)

Seiring dengan kemajuan teknologi penerbangan dan semakin banyaknya negara-negara maju yang menyatakan kawasan ruang udaranya sebagai zona udara terlarang, maka peraturan yang ditetapkan melalui Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 tidaklah dapat menampung semua kondisi di atas. Maka Konvensi Paris 1919 dan Protokol Paris 1929 yang mempunyai kekuatan hukum sebagai kaidah Hukum Internasional digantikan oleh Konvensi Chicago 1944, yaitu Konvensi mengenai Penerbangan sipil internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sekitar Perang Dunia Kedua baik penerbangan sipil maupun penerbangan militer. Meskipun beberapa prinsip telah tetap berlaku tetapi bnayak terdapat perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara, yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir Perang Dunia Kedua.

Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang mnegatur tentang area terlarang, merupakan modifikasi dari Protokol Paris 1929. Prinsip tidak ada perbedaan pada Konvensi Chicago 1944 diteguhkan kembali dan ada keistimewaan bagi pesawat terbang sipil negara awak yang diterima pada Protokol Paris 1929 kini ditegakkan kembali. Jadi, Konvensi Chicago kembali mutlak menetapkan bahwa tidak ada perbedaan lagi pesawat mana yang boleh memasuki kawasan zona larangan terbang.

Pada perkembangan selanjutnya mengenai penetapan zona larangan terbang yang diatur dalam Konvensi Chicago adalah bahwa justeru negara awaklah yang memerintahkan kepada pesawat yang melanggar zona untuk mendarat dan diperiksa. Hal ini berbeda dari ketentuan yang diatur dalam

(17)

Konvensi Paris 1919 di mana ditentukan bahwa pesawat yang melanggar zona larangan diwajibkan untuk segera mendarat di lapangan udara terdekat di luar zona, setelah pelaku pelanggaran zona melapor kepada pejabat penerbangan negara kolong. Ketentuan yang menetapkan bahwa negara awak yang memerintahkan pelaku pelanggaran zona larangan untuk mendarat dan diperiksa, sangat memungkinkan mengingat kondisi semacam ini sebagai akibat dari perkembangan teknologi penerbangan, termasuk peralatan pendeteksi yang dimiliki negara yang menetapkan zona laragan terbang tersebut.

D. SEJARAH MUNCULNYA PENERAPAN ZONA LARANGAN TERBANG

Pada awal kelahiran dunia penerbangan, pesawat udara dipakai sebagai alat transportasi yang melintasi batas kedaulatan suatu negara terhadap negara lain tanpa memperhatikan hak-hak negara di bawahnya., sehingga menimbulkan masalah kedaulatan negara. Hal ini secara resmi dibahas dalam Konferensi Paris 1910. Konferensi yang semula bermaksud meletakkan dasar-dasar pengaturan navigasi penerbangan dan operasi penerbangan internasional tersebut gagal mencapai tujuannya mengesahkan konvensi internsional karena terpukau pada masalah kedaulatan negara di wilayah uadara di atasnya serta hak-hak negara kolong.

Kegagalan konferensi tersebut memaksa Inggris secara sepihak mempunyai kedaulatan secara penuh dan utuh (complete and exclusive sovereignity) di wilayah udara di atasnya dan mengumumkan Aerial Navigation

(18)

Act of 1911 untuk melindungi keamanan dan pertahanan nasional yang terancam karena adanya penerbangan pesawat udara asing.

Berdasarkan Aerial Navigation Act tersebut, pemerintah Inggris menetapkan zona udara terlarang dan penerbangan di zona tersebut merupakan pelanggaran yang dapat diancema dengan hukuam. Dua tahun kemudian, yaitu pada tahun 1913, pemerintah Inggris memberi wewenang kepada Menteri Dalam Negeri untuk menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keamanan dan pertahanan, serta keselamatan umum untuk menembak pesawat udara yang melintasi zona udara terlarang tersebut.

Tindakan sepihak oleh Inggris tersebut tidak ditentang oleh negara-negara Eropa lainnya, bahkan sebaliknya diikuti oleh negara-negara Eropa seperti Prancis, Jerman, Belanda, Belgia, Denmark dan negara-negara lain sehingga tindakan tersebut dibenarkan oleh huku kebiasaan internasional. Masing-masing negara mengumumkan bahwa negaranya berdaulat penuh dan utuh di ruang udara di atas wilayahnya dan menetapkan zona udara terlarang, karena banyaknya zona udara terlarang yang ditetapkan di berbagai negara Eropa, mengakibatkan penerbangan internsional hanya dapat dilakukanh pada jalur-jalur udara tertentu yang menghubungkan tempat-tempat tertentu setelah memperoleh izin.

Setelah perang dunia pertama berakhir, dunia penerbangan mengahdapi kenyataan banyaknya ahli penerbangan baik personil darat maupun personil udara serta pesawat udara dan pemuda yang biasanya berperang terpaksa menganggur, memaksa untuk memanfaatkan sumber daya tersebut, tetapi di lain pihak masalah kedaulatan negara dan keamanan nasional harus dipikirkan pula.

(19)

Untuk maksud tersebut, telah disahkan Konvensi Paris 1919 yang brjudul “Convention Relating to the Regulation of Aerial Navigation”. Konvensi tersebut pada prinsipnya mengatur prinsip-prinsip dasar penerbangan internsional, kebangsaan pesawat udara, sertifikat kelaikan udara, dan sertifikat kecakapan, izin navigasi penerbangan di atas wilayah negara lain, persyaratan penerbangan internsional, larangan mengangkut barang-barang berbahaya, zona uadara terlarang, dan kondisi navigasi penerbangan internasional.

Sepanjang manyangkut kedaulatan di wilayah udara di atasnya, Konvensi Paris 1919 yang ditandatangani tanggal 13 Oktober 1919 tersebut hanya menyatakan hukum kebiasaan internasional yang telah dibentuk sejak Inggris melakukan tindakan sepihak tahun 1911. Hal ini tercantum dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi : “The High Cntracting Parties recognize that every Power has complete and exclusive souvereignity over the air space above its territory”. Sedangkan sebagai konsekuensi dari kedaulatan di udara sebgaimana diatur dalam Pasal 1 konvensi tersebut memberikan kekuasaan negara berdaulat untuk menetapkan zona udara terlarang atas pertimbangan militer atau keamanan umum. Namun demikina, larangan tersebut harusdiumumkan dan diberitahukan sebelumnya kepada kepada negara anggota maupun Komisi Navigasi Penerbangan Internasional. Dalam praktiknya, pemberitahuan tersebut dalam bentuk NOTAM (Notice to Airman) kelas 1. Berdasarkan pasal tersebut, semua pesawat udara sipil nasional maupun pesawatudara sipil asing dilarang terbang di atas zona udara terlarang tersebut sesuai dengan asas The Most Favourable Nation Treatment dalam pergaulan internasional.

(20)

Di dalam perkembangannya, pasal 3 dirubah dengan protokol yang ditandatangani tanggal 15 Juni 1929. Perubahan tersebut antara lain memberi kekuasaan kepada negara berdaulat untuk mengijinkan pesawat udara sipil nasional terbang di atas zona udara terlarang dalam hal sangat penting. Demikian pula dikatakan dalam hal masa damai negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua negara tersebut berhak untuk menetapkan zona udara terlarang seluruh atau sebagian. Semua bentuk penerbangan dilarang di atas zona tersebut. Bilaman hal ini dilakukan juga, maka harus meberitahukan segera anggota lainnya serta Komisi Navigasi Penerbangan Internasional.

Menurut pasal 4 Konvensi yang sama, dalam hal terdapat pesawat udara sipil asing yang berada pada zona uadara terlarang, begitu sadar posisinya berada pada zona terlarang, hendaklah segera mengirim tanda bahaya sebagaimana diatur dalam pasal 17 Annex D dan segera mendarat di bandar udara terdekat di luar zona terlarang tempat pesawat udara tersebut terbang. Memang Konvensi Paris 1919 lebih mempertimbangkan segi pertahanan dan keamanan nasional daripada pertimbangan kesejahteraan nasional. Di dalam pasal 26 ditegaskan kembali bahwa tidak ada pesawat udara sipil asing boleh melakukan penerbangan dengan membawa senjata api atau bahan peledak serta peralatan foto yang akan membahayakan pertahanan dan keamanan.

Dasar pertimbangan Konvensi Chicago 1944 yang merupakan produk pengaturan penerbangan sipil internasional setelah perang dunia kedua, berbeda dengan dasar pertimbangan Konvensi Paris 1919. Menurut Konvensi Chicago

(21)

1944, angkutan udara internasional dapat menciptakan persaudaraan dam mempererat persahabatn yang penuh pengertian antar bangsa, memperpendek jarak sehingga mempermudah saling berkunjung antar bangsa yang dapat memelihara perdamaian dunia serta meningkatkan kesejahteraan umat manusia, oleh karena itu perlu adanya koordinasi internasional untuk meletakkan dasar-dasar pengaturan penerbangan internasional guna menjamin angkutan udara secara selamat, lancar, tertib, aman dan nyaman serta memberi kesempatan yang sama bagi seluruh anggotanya untuk menyelenggarakan angkutan udara internasional.

Dari mukaddimah konvensi tersebut ternyata bahwa maksud tujuan utama bukan terletak pada keamanan nasional sebaimana Konvensi Paris 1919, melainkan lebih menekankan pada kemakmuran bersama antar bangsa. Walapun dalam kenyataannya konvensi ini tidak berhasil mempertukarkan hak-hak penerbangan secara multilateral yamng mempunyai nilai komersial. Hal ini terbukti dari ketentuan pasal 5 dan pasal 6 yang keduanya mengatur tentang penerbangan komersial. Kecuali masalah ekonomi yang belum pernah diatur dalam Konvensi Paris 1919. Konvensi Chicago 1944 berisikan penegakan kembali prinsi-prinsip dasar yang telah disetujui oleh Konvensi Paris 1919. Konvensi tersebut mengatur navigasi penerbangan yang meliputi prinsip-prinsip dasar seperti penerbangan di wilayah lain, ketentuan mengenai navigasi penerbangan internasional, wilayah udara penerbangan, penerbangan tanpa awak pesawat udara, penerbangan di atas laut lepas, izin penerbangan, pungutan biaya penggunaan fasilitas navigasi penerbangan, kebangsaan pesawat udara, fasilitas

(22)

penerbangan, dokumen penerbangan internasional, sertifikat pendaftaran pesawat terbang, sertifikat kecakapan.

Walaupun penekanan pada segi ekonomi cukup besar, Konvensi Chicago 1944 tetap mempertahankan prinsip kedaulatan negara sebagaimana diatur dalam Konvensi Paris 1919, karena semua pengaturan bersumber pada kedaulatan. Sepanjuang menyangkut zona udara terlarang diatur dalam pasal 9. Menurut pasal 9, dikatakan bahwa setiap negara berhak menetapkan zona udara terlarang bagi pesawat sipil asing baik untuk penerbangan internasional berjadwal, maupun tidak berjadwal.Larangan terbang di atas zona terlarang tersebut berlaku pula bagi pesawat udara sipil nasional. Perluasan dan perubahan zona udara terlarang baik seluruh maupun sebagian wilayah harus segera diberitahukan kepada ICAO beserta anggotanya.

Penentuan batas zona udara terlarang tersebut harus wajar tanpa mengganggu kelancaran serta mengakibatkan keterlambatan penerbangan komersial. Dalam hal pesawat udara sadar tersasar dalam zona udara larangan terbang, maka ia harus segera memberi tanda bahaya dan mendarat di bandar udara terdekat, di luar daripada zona terlarang tersebut. Sedangkan bilaman pesawat tidak menyadari posisinya yang sedang berada pada zona udara terlarang tersebut, maka pesawat tersebut akan di “intercept”oleh peswat udara militer. Secara teknis, tata cara “intercept” telah diatur dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944 tentang “Rules of The Air”. Dalam hal ini pesawat udara sipil yang di ‘intercept’ harus mengikuti perintah, untuk menghindari resiko yang lebih besar.

(23)

Jalur udara yang berlaku di atas laut, diatur dalam pasal 53 United Nation Convention on the Law of Sea (UNCLOS). Berdasarkan pasal tersebut, tidak dijelaskan apakah jalur tersebut berlaku pula untuk pesawat udara sipil ataupun pesawat udara militer. Walaupun demikian, dengan mengingat jalur-jalur penerbangan sipil telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944, dapat ditafsirkan bahwa jalur udara yang diatur dalam UNCLOS hanya dimaksudkan untuk pesawat udara milik pemerintah. Jalur udara di atas selat yang yang dipergunakan untuk pelayanan internasional, ditentukan 25 mil laut ke kanan dan ke kiri dihitung dari sumbu. Dalam hal terjadi suatu pelanggaran yang terbang di luar jalur yang telah ditetapkan, dapat dipaksa untuk mendarat dan mengirim nota protes melalui saluran diplomatik.

Menurut pasal 9 Konvensi Chicago 1944, setiap negara berhak menetapkan kawasan udara terlarang atas pertimbangan keselamatan umum. Alasan keselamatan misalnya karena bencana alam yang membahayakan keselamatan penerbangan seperti gunung meletus. Dalam hal terjadi bencana alam, setiap negara berhak dan wajib melarang semua pesawat udara yang melakukan penerbangan pada jalur tersebut.

Konvensi Chicago 1944 yang menggantikan Konvensi Paris 1919, kekuatan hukumnya adalah sebagai kaidah Hukum Internasional. Kenyataan ini ditandai sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan teknologi penerbangan internasional sebelum dan sesudah perang dunia kedua, baik penerbangan sipil maupun militer. Meskipun beberapa prinsip tetap berlaku, tetapi banyak terdapat

(24)

perubahan dan penciptaan kaidah hukum udara yang baru sesuai dengan tuntutan dunia penerbangan internasional di akhir perang dunia kedua.

Ada tiga perkembangan sikap negara-negara di dunia yang penting pada era paska perang dunia kedua yang berkaitan dengan dunia penerbangan internsional.

Pertama, kesadaran akan doktrin kekuatan udara sebagai bagian dari kekuatan nasional. Kuat lemahnya negara ditentukan abtara lain oleh tingkat kekuatan negara di wilayah uafaranya. Ini berarti kemampuan dana dan teknologi negara kolong tersebut untuk memanfaatkan kawasan udara di atasnya. Kekuatan udara (air power) suatu negara adalah kemampuan suatu negara untuk memanfaatkan dan bertindak tegas dengan menggunakan media udara. Pada masa damai, kemampuan itu terwujud dalam bentuk kegiatan penerbangan/angkutan sipil, sedangkan pada masa perang, kemampuan tersebut terbentuk pada armada pesawat-pesawat tempur dan pengangkut senjata/bom untuk aksi serangan dan gempuran udara.

Kedua, berdasarkan doktrin kekuatan udara serupa itu, maka negara-negara sekarang memandang penyelenggaraan penerbangan udara sipil merupakan hal yang sangat penting untuk kepentingan negara. Penerbangan sipil ini mengarah kepada kegiatan penumpukan kegiatan ekonomi yang berarti penumpukan kekuatan nasional negara yang bersangkutan.

Ketiga, mengingat cita-cita setiap negara untuk dapat menyelenggarakan usaha penerbangan sipil internsional yang mantap telah mendorong mereka untuk melakukan upaya peningkatan kerjasama internasional. Dan kesadaran untuk

(25)

membina kerjasama internsional ini pun menentuka sifat dan penetapan konsep zona udara terlarang dalam konvensi Chicago 1944.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam memperoleh kompetensi tersebut para Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (UNNES) wajib mengikuti proses pembentukan kompetensi melalui kegiatan Praktik Pengalaman Lapangan

9 A*at2 a*at yang digunakan da*am "embibitan metode ku*tur .aringan 9 Persyaratanuntuk *aboratorium ku*tur  .aringan. 9 &ena! dan maam ruangan da*am *aboratorium

Hasil kajian ini disokong oleh kajian yang dilakukan oleh Harikandei (2017) yang mendapati bahawa sokongan sosial daripada keluarga mempunyai perkaitan signifikan

Ekstrak daun asam jawa (Tamarindus indica Linn) mempunyai efektivitas antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus pada masing-masing

Sedangkan teknik yang digunakan adalah sampling jenuh atau sensus dan untuk menjawab perumusan masalah, tujuan penelitian dan hipotesis maka analisis yang digunakan adalah

Manajemen Pembelajaran merupakan salah satu faktor terpenting dalam menyelenggarakan pengajaran. Dengan adanya manajemen dapat mewujudkan proses pembelajaran yang

Bentuk imbalan finansial yang diberikan kepada karyawan berupa gaji, bonus, hari cuti, tunjangan hari raya, tunjangan makan, tunjangan transport, imbalan

Pemanfaatan teknologi oleh guru dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor yaitu : akses terhadap terhadap teknologi, manfaat yang dirasakan dari penggunaan teknologi,