• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. upaya meningkatkan kesehatan seseorang karena kemampuan literasi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. upaya meningkatkan kesehatan seseorang karena kemampuan literasi"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Health literacy atau literasi kesehatan merupakan kemampuan individu untuk mendapat atau mengakses, mengolah, memahami, menilai, dan

menggunakan informasi kesehatan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan

sebagai dasar untuk mengambil keputusan yang tepat terkait kesehatannya

(Ratzan et al., 2001). Literasi kesehatan mempunyai andil yang besar dalam

upaya meningkatkan kesehatan seseorang karena kemampuan literasi

kesehatan dapat berpengaruh dalam pemilihan gaya hidup sehat, melakukan

pencegahan terhadap suatu penyakit dan mencari informasi mengenai

penanganan serta perawatan medis yang tepat untuk suatu penyakit (Berkman

et al., 2011).

Beberapa studi literasi kesehatan telah dilakukan di banyak negara sejak

tahun 1970-an, terutama di Eropa. Menurut WHO (2015), literasi kesehatan

merupakan salah satu isu prioritas kesehatan di wilayah Uni Eropa yang

berdampak pada outcome kesehatan. Saat ini literasi kesehatan menjadi isu

global yang sudah banyak diangkat oleh beberapa negara seperti Jepang,

Malaysia, Korea, China, Taiwan dan Vietnam. Beberapa negara tersebut telah

melakukan studi literasi kesehatan secara luas yang dapat menggambarkan

status literasi kesehatan di negaranya.

Di Indonesia sendiri penelitian mengenai literasi kesehatan masyarakat

(2)

2013), Jakarta dan Yogyakarta. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

kecenderungan tingkat literasi kesehatan masyarakat yang rendah. Penelitian

oleh Rohmah menunjukkan bahwa dari 141 siswa SMA, 114 di antaranya

memiliki tingkat literasi kesehatan kategori rendah. Sementara, penelitian dari

Safila, Nurkhasanah, dan Hidayati tahun 2015, menunjukkan bahwa sebagian

besar pasien diabetes mellitus memiliki tingkat literasi kesehatan pada kategori

kurang/inadequate.

Seseorang dengan literasi kesehatan yang rendah akan menghadapi

lebih banyak tantangan saat mengakses dan menggunakan sistem pelayanan

kesehatan dan literasi kesehatan yang rendah sering dikaitkan dengan hasil

kesehatan yang merugikan. Saat literasi kesehatan rendah, pasien dapat salah

mengikuti petunjuk pengobatan yang ada pada resep maupun pada kemasan

obat, sehingga penggunaan obat menjadi tidak tepat yang dapat berakibat pada

perburukan penyakit dan timbulnya efek samping (Wolf et al., 2007). Literasi

kesehatan yang rendah dapat meningkatkan biaya pelayanan kesehatan

dibandingkan pada seseorang yang mempunyai literasi kesehatan yang cukup

(Center for Health Care Strategies, 2003). Maka dari itu, literasi kesehatan menjadi sangat penting untuk diidentifikasi karena memiliki peran yang besar

dalam kesehatan utamanya pada outcome kesehatan.

Tingkat literasi kesehatan dapat dipengaruhi oleh beberapa determinan,

yang pertama adalah determinan personal yang meliputi usia, jenis kelamin,

ras, status sosial ekonomi, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan dan yang

(3)

demografi, kebudayaan, bahasa dan sistem masyarakat) dan determinan sosial

(dukungan keluarga maupun relasi) (Sorensen, 2012). Selain beberapa

determinan tersebut, akses informasi kesehatan juga memengaruhi kemampuan

seseorang untuk mendapatkan informasi dan edukasi kesehatan dari penyedia

layanan kesehatan (White, 2008). Dalam hal ini informasi dan edukasi

kesehatan yang berkaitan dengan profesi apoteker yaitu informasi obat yang

juga berhubungan erat dengan literasi kesehatan.

Tingkat literasi kesehatan juga berhubungan dengan lingkungan,

khususnya wilayah atau daerah tempat tinggal seseorang sehingga peneliti

tertarik untuk mengetahui tingkat literasi kesehatan berdasarkan tempat tinggal

responden. Pada penelitian ini, responden dibagi menjadi dua yakni responden

yang bertempat tinggal di wilayah rural dan wilayah urban. Orang-orang yang

tinggal di daerah rural dicirikan memiliki literasi kesehatan yang rendah

dibandingkan orang yang tinggal di daerah urban. Hal ini karena

orang-orang yang tinggal di wilayah urban masyarakatnya dapat lebih mudah

mengakses berbagai pilihan pelayanan kesehatan yang ada dan juga dapat

dengan mudah mengakses informasi kesehatan.

Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat

literasi kesehatan pada responden rural dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta serta mengetahui ada tidaknya perbedaan

(4)

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang tersebut, maka rumusan masalah penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana gambaran tingkat literasi kesehatan pada responden

rural dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta?

2. Adakah perbedaan tingkat literasi kesehatan pada responden rural

dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui gambaran tingkat literasi kesehatan pada responden

rural dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU Muhammadiyah

Yogyakarta

2. Mengetahui ada tidaknya perbedaan tingkat literasi kesehatan pada

responden rural dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS PKU

Muhammadiyah Yogyakarta

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Bagi praktisi dan tenaga kesehatan

a. Sebagai evaluasi bagi praktisi dan kesehatan tentang praktik

pemberian informasi kesehatan (obat).

b. Sebagai langkah pengambilan keputusan untuk menentukan

(5)

2. Bagi Pemerintah

a. Memberikan informasi tingkat literasi kesehatan pada

masyarakat di daerah rural dan urban yang dapat digunakan

sebagai acuan dalam mengevaluasi pelayanan atau intervensi

yang telah diberikan oleh apoteker kepada pasien.

b. Sebagai masukan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan

kesehatan.

3. Bagi peneliti

a. Merupakan sebuah pengalaman yang sangat berharga dalam

menerapkan ilmu pengetahuan yang diperoleh selama studi

secara nyata.

b. Menambah pengetahuan dan wawasan tentang literasi

kesehatan.

4. Bagi pembaca/peneliti lain

Dapat digunakan sebagai acuan untuk melakukan penelitian

intervensi yang berkaitan dengan perbaikan tingkat literasi

kesehatan pada masyarakat dengan literasi kesehatan terbatas.

5. Bagi masyarakat

Memberikan informasi sejauh mana pemahaman masyarakat

tentang informasi kesehatan yang selama ini diketahui.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian mengenai literasi kesehatan yang pernah dilakukan

(6)

Tabel I. Penelitian-Penelitian Literasi Kesehatan Penulis (Tahun) Tujuan Penelitian Daerah/ sampel Desain Penelitian/ Analisis data Hasil Penelitian Rohmah dkk (2015) Melihat hubungan antara tingkat literasi kesehatan dengan citra tubuh dan aktivitas fisik 141 Pelajar SMA berusia 15-19 tahun di Kabupaten Sleman Kuesioner HLS EU-Asia-Q, Stunkard’s Figure Rating Scale, IPAQ modifikasi. Tidak terdapat hubungan antara literasi kesehatan dengan citra tubuh dan hubungan literasi

kesehatan dengan aktivitas fisik. Safila dkk (2015) Melihat hubungan antara tingkat literasi kesehatan dengan Diabetes Self-Care Activities pada Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Kabupaten Sleman 143 pasien diabetes melitus yang berusia diatas 15 tahun yang berada di Kabupaten Sleman Kuesioner HLS Asia-Q) and Summary of Diabetes Self-Care Activities (SDSCA). Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara literasi kesehatan dengan tes gula darah (p > 0,10), dan

pengobatan (p > 0,10). Untuk item

diet (p < 0,10), olahraga (p < 0,10), dan perawatan kaki (p < 0,10) memiliki hubungan yang signifikan dengan literasi kesehatan. Abi (2015) Mengukur hubungan antara tingkat literasi kesehatan dengan kepesertaan masyarakat dalam mengikuti program JKN 180 kepala keluarga di Kabupaten Sleman Uji univariat, bivariat dan multivariat. Status sosial ekonomi dan kemampuan literasi kesehatan berpengaruh signifikan terhadap kepesertaan dalam program Jaminan Kesehatan Nasional.

(7)

Hidayati dkk (2015) Mengetahui tingkat literasi kesehatan di daerah rural dan

urban, mengetahui perbedaan tingkat literasi kesehatan dengan kepatuhan diet pada penderita diabetes melitus di wilayah rural dan urban. 143 pasien diabetes melitus 2 dari 3 Puskesmas di Kecamatan Sleman Kuesioner HLS EU-Asia-Q Tingkat literasi kesehatan penderita diabetes melitus sebagian besar adalah rendah/terbatas (78,87% di rural dan 94,44% di urban). Ada perbedaan tingkat literasi kesehatan dengan status tinggal rural

dan urban (p = 0,0279).

Dari uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perbedaan penelitian

ini dengan penelitian lain yakni adalah variabel penelitian, daerah penelitian,

jenis desain penelitian dan instrumen yang digunakan.

F. Tinjauan Pustaka 1. Konsep dan Dimensi Literasi Kesehatan

Istilah literacy atau literasi dikenalkan sebagai kemampuan individu

dalam mengidentifikasi, memahami, menafsirkan, membuat, berkomunikasi,

menghitung dan menggunakan bahan-bahan cetak dan tertulis terkait dengan

berbagai konteks (UNESCO, 2006). Terdapat banyak definisi untuk literasi

kesehatan yang sampai sekarang konsep ini masih terus berkembang. Menurut

Institute of Medicine (2004) konsep literasi kesehatan adalah tingkat kemampuan individu dalam memperoleh, memproses dan mengerti suatu dasar

informasi kesehatan dan pelayanan kesehatan yang dibutuhkan untuk membuat

(8)

literasi kesehatan yang menekankan pada ketrampilan masyarakat yang akan

berpengaruh dalam upaya meningkatkan kesehatannya, yakni kemampuan

untuk mengakses, memahami, membuat keputusan terkait penatalaksanaan

kesehatan, pemilihan gaya hidup sehat, melakukan pencegahan terhadap suatu

penyakit dan mencari informasi mengenai penanganan serta perawatan medis

yang tepat untuk suatu penyakit.

Definisi literasi kesehatan menurut Joint Committee on National Health

Education Standars (1995) adalah kapasitas seseorang untuk mendapatkan, mengartikan, memahami informasi dan pelayanan kesehatan dasar serta

kompetensi untuk menggunakan informasi dan pelayanan tersebut untuk

meningkatkan kesehatannya. Kemampuan literasi kesehatan meliputi

kemampuan membaca dan memahami tulisan serta menggunakan informasi

yang tertulis dalam bentuk angka; kemampuan verbal berkaitan dengan

kemampuan untuk mendengar dan memproses informasi verbal dan

kemampuan menulis meliputi kemampuan memahami dan memproses

informasi tertulis (Speirs et al., 2012).

Menurut National Assessment of Adult Literacy, literasi kesehatan

dibagi menjadi beberapa dimensi, yakni :

1. Document literacy, merupakan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan

seeseorang untuk mencari, memahami dan menggunakan teks dalam

berbagai format (baris, daftar, kolom, matriks dan grafik).

2. Prose literacy, merupakan pengetahuan dan keahlian yang diperlukan

(9)

bacaan (rangkaian kalimat dalam paragraf).

3. Quantitative literacy, merupakan pengetahuan dan keahlian yang

diperlukan seeseorang untuk melakukan perhitungan, menggunakan

informasi dan angka dalam bahan-bahan tercetak (White, 2008) (Santosa,

2012)

Konsep literasi kesehatan dijelaskan pada gambar 1 yakni literasi

kesehatan dapat dipengaruhi oleh sistem pendidikan, sistem pelayanan

kesehatan, dan berbagai faktor sosial budaya di tempat tinggal, tempat kerja

dan masyarakat. Area-area ini yang dapat menjadi titik intervensi literasi

kesehatan yang hasil akhirnya akan memengaruhi hasil kesehatan serta biaya

kesehatan (Institut of Medicine, 2004).

Gambar 1. Konsep Literasi Kesehatan oleh Institute of Medicine (2004).

Menurut Sorensen dkk., (2012) dapat dilihat pada gambar 2, konsep

literasi kesehatan sangat luas dan dipengaruhi oleh beberapa determinan,

meliputi determinan personal (usia, jenis kelamin, keadaan psikologi,

(10)

pendidikan, pekerjaan dan pendapatan), literasi kesehatan individual,

determinan masyarakat dan lingkungan (kondisi demografi, kebudayaan,

bahasa dan sistem masyarakat) dan determinan sosial (dukungan keluarga

maupun relasi), perilaku sehat, perilaku sakit, status kesehatan (mortalitas,

morbiditas, perceived health dan wellbeing). Determinan-determinan tersebut

sangat dipengaruhi oleh determinan situasional di komunitas masyarakat.

Apotek sebagai sarana pelayanan kesehatan dan apoteker sebagai tenaga

kesehatan memiliki keterkaitan dengan literasi kesehatan yang juga

berinteraksi dengan ketersediaan dan aksesibiltas masyarakat terhadap

informasi, lingkungan, sumber daya, dan dukungan dari penyedia layanan

kesehatan. Kesiapan apotek dan apoteker dalam menyediakan layanan yang

ramah literasi kesehatan akan menjadi determinan yang potensial bagi tingkat

literasi kesehatan masyarakat.

Inti dari model konsep literasi kesehatan menurut Sorensen (2012)

menunjukan kompetensi yang berkaitan dengan proses menilai, mengakses,

pemahaman, dan menerapkan informasi yang berhubungan dengan kesehatan.

Dimensi literasi kesehatan dibagi menjadi 4 bagian yang diterapkan

pada 3 domain kesehatan. Domain kesehatan yang dimaksud adalah perawatan

kesehatan, pencegahan penyakit dan promosi kesehatan (Putri, 2016). Hal

(11)

Tabel II. Penerapan Dimensi Literasi Kesehatan dalam Domain Kesehatan oleh The

European Health Literacy Survey (Putri, 2016)

Terdapat 4 jenis kompetensi yang dibutuhkan untuk proses tersebut,

antara lain :

a. Mengakses, yang mengacu pada kemampuan untuk mencari, menemukan Literasi kesehatan Akses dengan memperoleh informasi yang relevan Memahami informasi terkait kesehatan Mengevaluasi informasi yang berhubungan dengan Kesehatan Menerapkan atau menggunakan Informasi yang berhubungan dengan Kesehatan Perawatan kesehatan Kemampuan mengakses informasi medis Kemampuan memahami informasi medis dan arti dibaliknya Kemampuan untuk menafsirkan dan mengevaluasi informasi medis Kemampuan untuk membuat keputusan masalah medis Pencegahan penyakit Kemampuan untuk mengakses informasi pada faktor risiko Kemampuan untuk memahami informasi mengenai faktor risiko Kemampuan untuk menafsirkan dan mengevaluasi faktor risiko Kemampuan untuk membuat informasi relevan mengenai faktor risiko Promosi kesehatan Kemampuan untuk memperbarui diri sendiri dalam masalah kesehatan Kemampuan untuk memahami informasi terkait kesehatan Kemampuan untuk menafsirkan dan memahami informasi kesehatan Kemampuan untuk menyampaikan pnedapat tentang masalah kesehatan

(12)

dan memperoleh informasi kesehatan yang diakses

b. Memahami, yang mengacu pada kemampuan untuk memahami informasi

kesehatan yang diakses

c. Menilai, yakni menggambarkan kemampuan untuk menafsirkan,

menyaring, menggnakan dan mengevaluasi informasi kesehatan yang

diakses

d. Menerapkan, yang mengacu pada kemampuan untuk berkomunikasi dan

menggunakan informasi kesehatan yang telah diakses.

Literasi kesehatan akan berpengaruh pada perilaku kesehatan dan

penggunaan pelayanan kesehatan yang kemudian akan berdampak pada

outcome kesehatan dan biaya kesehatan. Pada level daerah, tingkat kemampuan literasi seseorang akan meningkatkan partisipasi di dalam masyarakat itu

sendiri, meningkatkan kemandirian dan pemberdayaan, sehingga tercipta

perubahan kesehatan masyarakat yang lebih baik (Sorensen et al., 2012). Selain

itu, terdapat interaksi antara literasi kesehatan dan respon literasi kesehatan

oleh penyedia layanan kesehatan. Apoteker yang berpraktik di apotek

komunitas diharapkan dapat menjadi sarana penyedia layanan kesehatan yang

(13)

Gambar 2. Konsep dan Dimensi Literasi Kesehatan oleh Health Literacy Survey Europe (HLS-EU).

Literasi kesehatan berperan penting dalam mencapai hasil kesehatan

(health outcomes) yang optimal. Saat kemampuan literasi kesehatan tinggi, diharapkan masyarakat mampu berinteraksi dengan praktisi kesehatan dan

sumber media informasi kesehatan untuk mengambil sebuah keputusan yang

tepat terkait dengan kondisi kesehatannya. Dalam hal ini literasi kesehatan

berhubungan dengan kemampuan seseorang atau masyarakat untuk

menyelenggarakan sistem kesehatan dan kemampuan praktisi kesehatan dalam

memberikan informasi kesehatan yang mudah dipahami (Baker DW, 2009).

Tingkat literasi kesehatan juga berhubungan dengan lingkungan,

khususnya wilayah atau daerah tempat tinggal seseorang yang terbagi menjadi

daerah rural dan daerah urban. Daerah rural (desa) atau lingkungan pedesaan

adalah sebuah komunitas yang selalu dikaitkan dengan kebersahajaan

(simplicity), keterbelakangan, tradisionalisme, subsistensi, dan keterisolasian.

Rahardjo (1999). Masyarakat pedesaan ditandai dengan pemilikan ikatan

(14)

warga/anggota masyarakat yang sangat kuat yang hakekatnya. Di wilayah desa

belum terjangkau fasilitas seperti rumah sakit, sekolah, apotek atau prasarana

dalam hal pendidikan dan kesehatan. Dalam hal kesehatan mungkin hanya

puskesmas yang ada di desa tapi itupun belum tentu ada di setiap daerah.

Ciri-ciri masyarakat pedesaan:

a. Mempunyai perilaku homogen

b. Mempunyai perilaku yang dilandasi oleh konsep kekeluargaan dan

kebersamaan

c. Mempunyai perilaku yang berorientasi pada tradisi dan status

d. Isolasi sosial

e. Kesatuan dan keutuhan budaya

f. Masih banyak ritual dan nilai-nilai sakral

Urban (kota) adalah pusat-pusat perubahan sosial, sedangkan

masyarakat selalu terbelakang dan “tradisional”, tidak lagi berlaku. Begitu

banyak telah memperlihatkan bukti empiris, bahwa istilah tradisional atau

modernt tidak harus sejalan berbarengan dengan wilayah pedesaan atau

perkotaan. Sebuah kota merupakan suatu sistem kapitalis dunia, sedangkan

wilayah pedesaan tetap terikat pada ekonomi subsistem prakapitalis, tetap

diragukan. (Hans-Dieter Evers,1979). Pengertian masyarakat kota lebih

ditekankan pada sifat kehidupannya serta ciri-ciri kehidupannya yang berbeda

dengan masyarakat pedesaan.

Ciri-ciri masyarakat perkotaan:

(15)

b. Mempunyai perilaku yang dilandasi oleh konsep pengandalan diri dan

kelembagaan.

c. Mempunyai perilaku yang berorientasi pada rasionalitas dan fungsi

d. Mobilitas sosial

e. Kebauran dan diversifikasi budaya

f. Birokrasi fungsional

g. Individualisme

Berdasarkan cara mencari dan mendapakan pelayanan kesehatan,

fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang di pedesaan menyebabkan sebagian

besar masyarakat masih sulit mendapatkan atau memperoleh pengobatan,

selain itu hal penting yang mempersulit usaha pertolongan terhadap masalah

kesehatan pada masyarakat desa adalah kenyataan yang sering terjadi dimana

penderita atau keluarga penderita tidak dengan segera mencari pertolongan

pengobatan. Perilaku yang menunda untuk memperoleh pengobatan dari

praktisi kesehatan ini disebut dengan treatment delay. Perilaku menunda ini

dikarenakan tingkat pendidikan di daerah pedesaan rendah dan kondisi

ekonomi yang kurang (Sarafino, 2006).

Di kota terdapat pusat pelayanan kesehatan yang merupakan pusat

rujukan dengan fasilitas pelayanan kesehatan yang lengkap. Apabila ada

penyakit yang tidak dapat ditangani dengan fasilitas pelayanan yang ada di desa

maka tempat rujukan pelayanan kesehatan yang tepat adalah rumah sakit yang

(16)

pendidikan dan komunikasi di desa mengakibatkan literasi kesehatan pada

masyarakatnya lebih rendah.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik DIY (2015), jumlah

penduduk di kabupaten Bantul lebih banyak daripada di kota Yogyakarta yaitu

971.511 penduduk di kabupaten Bantul dan 412.704 penduduk di kota

Yogyakarta. Namun jumlah rumah sakit dan apotek di di kabupaten Bantul

lebih sedikit daripada di kota Yogyakarta yaitu 14 rumah sakit dan 65 apotek

di kabupaten Bantul dan 20 rumah sakit dan 116 apotek di kota Yogyakara. Hal

inilah yang mendasari pemilihan kategori wilayah rural dan urban pada

penelitian ini.

Masyarakat yang tingkat literasi kesehatannya rendah berisiko untuk

membuat keputusan yang salah, kondisi kesehatan masyarakat dapat

memburuk dan masyarakat dapat tersesat dalam sistem kesehatan yang lebih

kompleks (Canadian Council on Learning, 2008; Rootman & El-Bihbety,

2008). Jappesen dkk., (2009) mengungkapkan bahwa tingkat literasi kesehatan

yang rendah berhubungan dengan kemampuan membaca yang rendah, tingkat

pendidikan yang rendah dan jenis kelamin laki-laki dan ras. Pasien dengan

kondisi kesehatan yang rendah, pendapatan yang rendah, memiliki

keterbatasan Bahasa dan berusia lebih dari 65 tahun, memiliki tingkat literasi

kesehatan yang lebih rendah (Jacobson dkk., 2013). Pada kelompok ini,

kemungkinan terjadinya medication errors lebih besar, karena dapat terjadi

salah interpretasi dalam memahami informasi yang berhubungan dengan

(17)

antara rendahnya literasi kesehatan dengan hasil kesehatan (health outcomes).

Literasi kesehatan yang rendah dapat menghasilkan outcomes kesehatan yang

tidak diinginkan. Orang-orang yang memiliki keterbatasan literasi kesehatan

juga kurang menunjukkan perilaku-perilaku sehat seperti misalnya lebih

banyak merokok termasuk saat hamil, lebih banyak yang tidak menyusui dan

lebih banyak yang tidak rutin datang ke pelayanan kesehatan anak (Weiss,

2007).

2. Alat Ukur Literasi Kesehatan

Pengukuran literasi kesehatan yang tepat diperlukan guna mengetahui

tingkat literasi kesehatan masyarakat. Terdapat beberapa instrumen yang ada

untuk mengukur literasi kesehatan secara fungsional yakni kemampuan untuk

membaca, berhitung dan memahami informasi kesehatan, diantaranya adalah :

a) REALM (Rapid estimate of adult health literacy in medicine)

REALM merupakan instrumen untuk menguji kemampuan dalam

membaca dan mengngkapkan istilah-istilah kesehatan yang sering digunakan.

Alat ukur ini terdiri dari 3 kolom yang berisi 22 kata (total 66 kata) dari

konteks pelayanan kesehatan sesuai dengan urutan jumlah suku kata dan

tingkat kesulitannya. Pasien diminta untuk membaca kata-kata tersebut

dengan keras kemudian dicatat benar atau tidak dalam pelafalannya (Gibbs

dkk,. 2012). Nilai 0-44 menunjukkan tingkat literasi kesehatan yang rendah,

nilai 45-60 menunjukkan literasi kesehatan marginal dan nilai 61-66

menyatakan literasi kesehatan yang tinggi (Dewalt & Pignone, 2008).

(18)

TOFHLA terdiri dari dua bagian yang berbeda. TOFHLA banyak

digunakan karena mengukur komponen literasi kesehatan berupa kemampuan

literasi cetak, numerasi, dan membaca (50 item). Nilai 0-59 menunjukkan

literasi kesehatan yang kurang, 60-74 menyatakan literasi kesehatan marginal

dan nilai 75-100 menunjukkan kemelekan kesehatan tinggi (Dewalt &

Pignone, 2008). Banyak alat ukur literasi kesehatan lain yang merujuk pada

pendekatan TOFHLA atau REALM dengan tingkat validitas sensitivitas dan

spesifisitas yang bervariasi (Gibbs dkk., 2012).

c) NVS (Newest Vital Signs)

NVS merupakan alat skrining yang digunakan untuk mengetahui pasien

dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah. NVS diuji melalui perbandingan

dengan TOFHLA dan memiliki enam pertanyaan, tiap jawaban yang benar

akan mendapat nilai 1. Responden yang mendapat nilai lebih dari atau sama

dengan 4 pada tes NVS sebanding dengan tingkat literasi kesehatan yang tinggi

pada TOFHLA (nilai TOFHLA lebih dari 74) (Weiss dkk., 2005).

d) HLS-Asia (The Health Literacy Study Asia)

HLS Asia merupakan alat ukur yang tervalidasi di negara-negara Asia

yang digunakan untuk mengukur tingkat literasi kesehatan di Asia dan

merupakan adaptasi dari European health literacy study (HLS-EU). HLS-EU

sendiri merupakan alat pengukuran literasi kesehatan yang mendeskripsikan

literasi kesehatan sebagai pengetahuan, motivasi, dan kompetensi untuk

(19)

membuat keputusan terkait pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit, dan

promosi kesehatan (Pelikan, 2014).

3. Faktor-faktor yang dapat memengaruhi Literasi Kesehatan a. Usia

Literasi kesehatan dapat menurun seiring dengan bertambahnya usia.

Keadaan ini dikarenakan adanya penurunan kemampuan berfikir, rentang

waktu yang lama sejak pendidikan terakhir dan penurunan sensoris.

Penurunan fungsi kognitif tersebut akan memengaruhi pemahaman akan

informasi kesehatan (Shah dkk., 2010). Penurunan kemampuan berfikir ini

dapat memengaruhi pemahaman seseorang dalam membaca dan memahami

informasi (Ng & Omaariba, 2010). Menurut penelitian di Isfahan Iran,

seseorang dengan literasi kesehatan yang terbatas pada umumnya adalah

orang dewasa yang lebih tua, imigran, buta huruf, orang-orang dengan

pendapatan rendah, orang-orang dengan kesehatan mental yang rendah dan

dan orang yang menderita penyakit kronis seperti diabetes tipe II dan

hipertensi (Hasanzade, 2012).

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin menyatakan perbedaan pria dan wanita secara biologis,

namun yang sebenarnya berperan sebagai determinan literasi kesehatan

adalah karakteristik, peran, tanggung jawab dan atribut antara pria dan

wanita yang dibangun secara sosial yang dikenal dengan istilah gender

(WHO, 2012). Faktor-faktor yang memengaruhi perbedaan gender dalam

(20)

wanita, perbedaan umur harapan hidup, perbedaan akses wanita dalam

memperoleh mekanisme perlindungan sosial (asuransi kesehatan dan

sosial), norma budaya, kepercayaan religius dan aturan keluarga serta

perilaku yang menentukan peran-peran serta posisi pria dan wanita dalam

masyarakat, perbedaan gender dalam tingkat pendidikan, perbedaan

pendapatan antara pria dan wanita dan interaksi antara etnis, pendapatan dan

gender (Buvinic, 2006).

Penelitian di Amerika, Serbia dan Turki menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara wanita dengan tingkat literasi kesehatan yang

lebih rendah (Schillinger, 2002). Beberapa penelitian di banyak negara

seperti di India, Thailand dan negara-negara Amerika latin menunjukkan

wanita kurang menggunakan pelayanan kesehatan dan kurang mendapatkan

perawatan kesehatan dibandingkan pria. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa

faktor seperti faktor pelayanan misalnya jarak, biaya, kesesuaian pelayanan

kesehatan, faktor pengguna yang meliputi keterbatasan wanita dalam

mobilitasnya, pendapatan wanita yang lebih rendah serta keterbatasan

dalam memperoleh informasi kesehatan dan faktor institusional melipti

kontrol pria atas pengambilan keputusan, anggaran dan fasilitas kesehatan

(Buvinic et al., 2006).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Bilgel (2010) menyatakan

bahwa kesenjangan ini berhubungan dengan kesenjengan pendidikan yang

diperoleh antara pria dan wanita. Perbedaan dalam kesempatan memperoleh

(21)

memengaruhi tingkat literasi kesehatan.

c. Pendidikan

Pendidikan dapat memengaruhi literasi kesehatan baik secara langsung

maupun tak langsung. Jika dilihat secara langsung, pendidikan

memengaruhi kemampuan dalam menguasai berbagai bidang dan juga

memengaruhi kemampuan dalam mengumpulkan serta mengintepretasikan

berbagai informasi khususnya informasi kesehatan.

Kemampuan-kemampuan ini pada akhirnya akan memengaruhi preferensi seseorang

dalam bergaya hidup. Selain berdampak pada pembentukan pengetahuan

kesehatan, pendidikan juga membentuk keahlian atau kompetensi yang

dibutuhkan untuk pembelajaran kesehatan. Secara tidak langsung,

pendidikan dapat memengaruhi pekerjaan serta pendapatan seseorang

sehingga hal ini akan memengaruhi literasi kesehatan (Canadian Council

on Learning, 2008). Hasil penelitian dari National Assesment of Adult Literacy di Amerika Serikat menunjukkan dari 52% responden yang telah menyelesaikan sekolah menengah atas memiliki literasi kesehatan yang

rendah (Weiss, 2007;White, 2008;Gillis, 2009).

Tingkat pendidikan tidak dapat menjadi satu-satunya tolak ukur untuk

tingkat literasi kesehatan seseorang. Tingkat pendidikan mengukur lamanya

seseorang mengikuti pendidikan, namun tidak selalu dapat mengukur

seberapa banyak yang dipelajari di sekolah karena kualitas sekolah yang

berbeda-beda antar sekolah dan antar daerah.

(22)

Status pekerjaan memengaruhi kemampuan ekonomi seseorang,

sehingga menentukan pula kemampuan dalam mendapatkan pelayanan

kesehatan. Selain itu, dengan bekerja maka lebih besar kemungkinan bagi

seseorang untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari tempat bekerjanya.

Hal ini akan memperbesar aksesnya untuk mendapatkan informasi dan

pelayanan kesehatan.

Dengan bekerja maka seseorang akan lebih terlibat dalam

kegiatan-kegiatan membaca, menulis, berhitung dalam konteks pekerjaannya. Hal ini

akan semakin membentuk dan meningkatkan kemampuan dalam

memahami istilah, angka dan teks dalam konteks kesehatan (Ng & Omariba,

2010).

e. Pendapatan

Faktor ekonomi memengaruhi kemampuan seseorang untuk

mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan, sehingga akan

memengaruhi tingkat kemampuan dalam mengakses, memahami, menilai

dan mengaplikasikan informasi kesehatan (Pawlak, 2005). Penelitian yang

dilakukan di beberapa negara menunjukkan keterkaitan antara pendapatan

yang rendah dengan tingkat literasi kesehatan yang rendah pula (Ng &

Omariba, 2010).

f. Pelayanan Informasi Obat

Pelayanan kefarmasian merupakan bentuk pelayanan dan tanggung

jawab langsung profesi apoteker dalam pekerjaan kefarmasian untuk

(23)

pelayanan kefarmasian adalah untuk mencegah atau mengidentifikasi dan

memecahkan masalah produk obat dan masalah lain yang terkait kesehatan,

yang merupakan proses perbaikan kualitas yang terus-menerus dalam

penggunaan produk obat.

Salah satu pelayanan farmasi klinik adalah Pelayanan Informasi Obat

(PIO). Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan

dan pemberian informasi, rekomendasi obat kepada dokter, apoteker,

perawat, profesi kesehatan lainnya serta pasien yang meliputi dosis obat

yang diberikan, bentuk sediaannya, formulasi khusus, rute dan metode

pemberian, farmakokinetik, farmakologi, terapeutik dan alternatif, efikasi,

keamanan penggunaan pada ibu hamil dan menyusui, efek samping,

interaksi, stabilitas, ketersediaan, harga, sifat fisika atau kimia dari obat dan

lain-lain. Kegiatan pelayanan informasi obat di apotek juga dapat meliputi

menjawab pertanyaan baik lisan maupun tulisan, membuat buletin/brosur,

memberikan informasi dan edukasi kepada pasien dan memberikan saran

tentang gaya hidup sehat serta bantuan kepada pasien untuk mengelola

kondisi kesehatan dengan lebih baik.

Pelayanan informasi kesehatan khususnya informasi obat dari apoteker

menjadi salah satu hal yang memiliki peranan penting dalam meningkatkan

literasi kesehatan. Karena informasi obat sendiri merupakan bagian dari

informasi kesehatan. Dengan adanya pelayanan informasi obat diharapkan

dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai kesehatan dan

(24)

yang tersedia di internet. Untuk memastikan informasi kesehatan (utamanya

obat) yang diberikan sudah benar dan tidak bias, perlu diketahui dahulu

bagaimana pendapat pasien dalam proses penerimaan informasi melalui

komunikasi dengan apoteker, karena sangat penting untuk mengetahui

apakah upaya apoteker dalam memberikan informasi kesehatan itu juga

dapat diterima oleh pasien.

Peran apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan,

keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung

dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian

informasi obat dan konseling kepada pasien yang diharapkan setelah pasien

menerima beberapa informasi obat dari apoteker literasi kesehatan pasien

akan meningkat sehingga dapat meningkatkan outcome kesehatannya.

Menurut American Center for Health Care Strategies, seseorang

dengan literasi kesehatan yang rendah akan cenderung lebih kesulitan dalam

memahami informasi kesehatan yang diberikan oleh tenaga kesehatan.

Menurut Jacobson dkk., (2007), saat literasi kesehatan rendah hal itu dapat

membuat seseorang lebih berisiko untuk mengalami kesalahan pengobatan.

Literasi kesehatan yang rendah akan memengaruhi kemampuan seseorang

untuk membaca dan memahami petunjuk pengobatan dan peringatan pada

label obat (Wolf dkk., 2007). Oleh karena itu, pengetahuan mengenai

aspek-aspek kesehatan juga tidak lepas dari pengetahuan mengenai pengobatan,

penerimaan informasi obat menjadi bagian yang relevan dan merupakan

(25)

g. Akses Informasi Kesehatan

Dalam sistem kesehatan saat ini, teknologi informasi merupakan salah

satu faktor penting yang memiliki peran dalam menentukan literasi

kesehatan seseorang karena setiap orang dapat mengakses berbagai

informasi terutama sumber informasi kesehatan. Pada era ini teknologi

informasipun berkembang secara pesat sehingga dapat memudahkan setiap

orang untuk mendapatkan informasi tanpa mengenal tempat dan waktu.

Internet dan media seperti televisi, radiodan majalah merupakan media

yang dapat berdampak baik bagi pemahaman kesehatan namun juga

terdapat bahaya yakni informasi yang diberikan tidak tepat atau berkualitas

rendah karena informasi di internet tidak disaring.

NAAL (National Assesment of Adult Literacy) merupakan sebuah

pemeriksaan literasi kesehatan yang dilakukan di Amerika Serikat pada

tahun 2003. Penelitian ini dilakukan dalam skala besar dan mengandung

komponen pengukuran literasi kesehatan. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa penduduk dewasa di Amerika Serikat yang memiliki

tingkat literasi kesehatan rendah adalah mereka yang tidak mendapat

informasi kesehatan dari sumber informasi tercetak atau tertulis (White,

2008). Karateristik yang ditemukan dalam penelitian ini adalah

penduduknya kurang memiliki kemampuan dasar dalam membaca,

memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan kurang mampu berbahasa

Inggris. Selain itu mereka juga melaporkan kesehatan yang lebih buruk,

(26)

dari ras dan etnis minoritas (White, 2008). Selain itu penelitian Santosa

(2012) menunjukkan bahwa akses informasi kesehatan juga menjadi faktor

yang sangat penting dalam pembentukan kemampuan literasi kesehatan.

G. Landasan teori

Literasi kesehatan berhubungan dengan area tempat tinggal seseorang,

dimana penduduk di daerah rural lebih dicirikan mempunyai literasi kesehatan

yang terbatas dibandingkan penduduk di daerah urban. Penelitian tentang

literasi kesehatan di daerah rural dan urban menunjukkan bahwa tingkat literasi

kesehatan pada rural lebih rendah dibandingkan urban namun ketika sudah

dikontrol dengan memperhatikan faktor pengganggu (counfounding) tidak ada

perbedaan antara keduanya (WE Zahnd et al., 2009). Orang-orang di daerah

rural memiliki keterbatasan pemilihan pelayanan kesehatan, harus menempuh

jarak yang jauh untuk menuju pelayanan kesehatan dan keterbatasan

transportasi, selain itu diperlukan penjelasan yang lebih sulit kepada

masyarakat rural dalam melakukan tindakan pelayanan kesehatan (Doak et al.,

1996; Eberhardt et al., 2001). Tingkat literasi kesehatan yang rendah umumnya

dijumpai pada orang-orang yang tinggal di daerah rural karena masyarakat

rural dihadapkan pada tingginya tingkat kemiskinan, akses yang terbatas pada

jaminan kesehatan, perawatan medis dan pelayanan darurat serta pendidikan

manajemen diabetes yang kurang (Nurkhasanah 2015). Daerah rural memiliki

ciri yakni masyarakatnya mempunyai tingkat pendidikan rendah, tingkat

pengangguran tinggi, penghasilan yang rendah dan asuransi kesehatan yang

(27)

Pada masyarakat urban, mereka lebih mudah dalam memperoleh

pelayanan kesehatan karena penyedia jasa layanan kesehatan mudah

ditemukan dengan begitu masyarakat tentunya akan lebih mudah dalam

mengatasi permasalahan kesehatannya sendiri seperti melakukan check up,

kontrol, berobat maupun hanya sekedar berkonsultasi dan mencari informasi

kesehatan yang nantinya akan memengaruhi literasi kesehatan. Masyarakat di

daerah urban lebih tanggap dalam mencari perawatan kesehatan dibandingkan

masyarakat di daerah rural yang cenderung memiliki kebiasaan untuk menunda

dalam perawatan kesehatan sampai kondisi kronis dahulu (Ebenhardt, 2001).

H. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 3. Kerangka Konsep Penelitian

Literasi Kesehatan Lokasi tempat tinggal

(28)

I. Keterangan Empirik

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui tingkat

literasi kesehatan pada responden rural dan urban di Apotek Panti Afiat dan RS

PKU Muhammadiyah Yogyakarta.

J. Hipotesis

Terdapat perbedaan tingkat literasi kesehatan antara responden rural

Gambar

Tabel I. Penelitian-Penelitian Literasi Kesehatan  Penulis  (Tahun)  Tujuan  Penelitian  Daerah/  sampel  Desain  Penelitian/  Analisis  data  Hasil Penelitian  Rohmah  dkk  (2015)  Melihat  hubungan antara tingkat literasi  kesehatan  dengan citra  tubuh
Gambar 1. Konsep Literasi Kesehatan oleh Institute of Medicine (2004).
Tabel II. Penerapan Dimensi Literasi Kesehatan dalam Domain Kesehatan oleh The  European Health Literacy Survey (Putri, 2016)
Gambar 2. Konsep dan Dimensi Literasi Kesehatan oleh Health  Literacy Survey Europe (HLS-EU)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tesis Berjudul : “Pengaruh Persepsi Kualitas Layanan Jasa Pendidikan Terhadap Loyalitas Melalui Kepuasan dan Kepercayaan Serta Komitmen Mahasiswa di IKIP PGRI

Pada lantai ini juga diletakkan area baca dengan tempat duduk yang berkonsep mengelilngi kolom bangunan yang ditandai dengan warna hijau pada gambar di atas.. Selain bermanfaat

Adapun bahan kajian atau pokok bahasannya adalah: Pandangan Umum Konsép dan Teori Organisasi; Evolusi Teori Organisasi; Pendekatan Efektifitas Organisasi; Dimensi Struktur

2) Melakukan evaluasi tindakan (action evaluation) yang telah dilakukan. Siklus I pertemuan 2 dilakukan tugas pembuatan RPP tematik oleh masing-masing guru. Setiap

Lebih jauh Ambadar (2008) menge- mukakan beberapa motivasi dan manfaat yang diharapkan perusahaan dengan me- lakukan tanggung jawab sosial perusahaan meliputi: 1) perusahaan

Hasil uji Statistik menunjukkan parameter yang berpengaruh terhadap pola persebaran leptospirosis di Kecamatan Bantul yaitu penggunaan lahan dengan nilai

Pihak bank dan Otoritas Jasa Keuangan Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menjalankan proses penyelesaian pengaduan dan penyelesaian sengketa melalui mediasi model