• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru-paru merupakan salah satu organ sistem pernapasan yang berada di

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Paru-paru merupakan salah satu organ sistem pernapasan yang berada di"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Paru

Paru-paru merupakan salah satu organ sistem pernapasan yang berada di dalam kantong yang dibentuk oleh pleura parietalis dan viseralis. Kedua paru-paru sangat lunak, elastis dan berada dalam rongga torak, sifatnya ringan terapung di dalam air. Paru-paru berwarna biru keabu-abuan dan berbintik-bintik akibat partikel-partikel debu yang masuk dimakan oleh fagosit. Hal ini terlihat nyata pada pekerja tambang. Paru-paru terletak disamping mediastinum melekat perantaraan radiks pulmonis satu sama lainnya dipisahkan oleh jantung pembuluh darah besar dan struktur lain dalam mediastinum.16

Masing-masing paru mempunyai apeks yang tumpul dan menjorok ke atas, masuk ke leher kira-kira 2,5 cm di atas klavikula, fasies kostalis yang konveks berhubungan dengan dinding dada dan fasies mediastinalis yang konkaf membentuk perikardium. Sekitar pertengahan permukaan kiri terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan dimana bronkus, pembuluh darah dan saraf masuk paru-paru membentuk radik pulmonalis. Apeks pulmo berbentuk bundar menonjol ke arah dasar yang lebar melewati aperture torasis superior 2,5 – 4 cm diatas ujung sternal iga pertama.16

Basis pulmo merupakan bagian yang berada di atas permukaan cembung diafragma, karena kubah diafragma lebih menonjol ke atas pada bagian kanan dari paru kiri maka basis paru kanan lebih kontak dari paru kiri. Dengan adanya fisura

(2)

tekik yang dalam pada permukaan, paru-paru dapat dibagi menjadi beberapa lobus, letak insisura dan lobus diperlukan dalam penentuan diagnosa.16

Pada paru kiri terdapat suatu insisura yaitu insisura obligus. Insisura ini membagi paru-paru kiri atas menjadi 2 lobus yaitu lobus superior, bagian yang terletak di atas dan di depan insisura dan lobus inferior bagian paru-paru yang terletak di belakang dan bawah insisura. Paru kanan terdapat 2 insisura, yaitu insisura oblique dan insisura interlobularis sekunder. Susunan dalam jaringan penyambung media spinalis dan dikelilingi oleh garis peralihan pleura, susunan alat utama bronkus, arteri pulmonalis dan vena pulmonalis segmen pulmonar.16

Anatomi paru dapat dilihat pada gambar di bawah ini :16

(3)

2.2. Pengertian Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit pada saluran pernapasan, yang dapat mengakibatkan hambatan aliran udara dengan manifestasi sesak napas dan gangguan oksigenasi jaringan serta diikuti dengan adanya obstruksi jalan napas yang sifatnya menahun.7,17

PPOK juga dikenal sebagai Chronic Obstructive Lung Disease / COLD, Emfisema Pulmonal akibat Obstruktif Kronik (Chronic Obstructive Pulmonary

Emphysema / COPE), Sindroma Pulmonal Obstruktif yang Difus (Diffuse Obstructive Pulmonary Syndrome / DOPS), Chronic Airway Obstruction (CAO), Chronic Aspecific Respiratory Affection (CARA), Chronic Obstructive Pulmonary Disease

(COPD), Chronic Non Spesific Lung Disease (CNSLD).17,18

2.3. Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Para ahli belum memiliki kesatuan pendapat mengenai patogenesis dari PPOK. Menurut para ahli ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu faktor eksogen dan endogen. Faktor eksogen adalah faktor yang datang dari luar diri individu, merupakan pengalaman-pengalaman, kejadian alam sekitar, pendidikan, dan sebagainya. Faktor endogen adalah faktor atau sifat yang dibawa oleh individu sejak dalam kandungan hingga dilahirkan. Faktor endogen (genetik) tersebut dapat bermanifestasi menjadi PPOK tanpa adanya pengaruh faktor luar (eksogen), akan tetapi yang banyak dijumpai adalah kecenderungan untuk PPOK meningkat akibat adanya interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Pendapat yang menyatakan bahwa genetik merupakan faktor resiko PPOK (Dutch Hyphotesis) ditentang oleh

(4)

pakar dari Inggris (British Hypothesis) yang menyatakan bahwa hanya faktor eksogen yang berperan.7

Ada 2 mekanisme patogenesis PPOK yang penting yaitu faktor endogen (herediter) dan eksogen misalnya iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan infeksi paru. Faktor endogen dapat menimbulkan obstruksi bronkus tanpa atau dengan pengaruh faktor eksogen. Obstruksi bronkus disebabkan adanya spasme otot bronkus, hipersekresi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan kelenturan paru yang menurun. Apabila iritasi oleh faktor iritan eksogen masih berlangsung terus maka obstruksi bronkus akan menunjukkan tanda-tanda klinis yang nyata yaitu sesak napas, batuk kronis, produksi dahak yang berlebihan dan gangguan fungsi paru. Tergantung pada beratnya penyakit, pada stadium akhir dapat terjadi gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia jaringan.7

2.4. Gejala Penyakit Paru Obstruksi Kronik

Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari penyebab penyakit ini. Bila penyebabnya adalah bronkitis kronis maka gejala yang utama adalah batuk dengan produksi sputum yang berlebihan dan sesak napas. Akan tetapi bila penyebabnya adalah emfisema maka gejala utamanya adalah kerusakan pada alveoli dengan keluhan klinis berupa sesak napas (dispnea) yang terjadi sehubungan dengan adanya gerak badan.18

Bronkitis kronis ditandai oleh adanya sekresi mukus bronkus yang berlebihan dan tampak dengan adanya batuk produktif selama 3 bulan atau lebih, dan setidaknya berlangsung selama 3 tahun berturut-turut, serta tidak disebabkan oleh penyakit lain

(5)

yang mungkin menyebabkan gejala tersebut. Emfisema menunjukkan adanya abnormalitas, pembesaran permanen pada saluran udara bagian bawah sampai bronkhiolus terminal dengan kerusakan pada dinding dan tanpa fibrosis yang nyata.19

Pada dasarnya penderita PPOK tidak akan mengeluh tentang panas badan, tetapi karena sering mendapatkan infeksi sekunder sub akut, maka dalam periode-periode itu penderita akan mengeluh tentang panas badan rendah (subfebril) sampai tinggi.17

Adapun gejala-gejala PPOK antara lain:20 2.4.1. Batuk Kronis

Mulai dengan batuk-batuk pagi hari yang sering disebabkan karena merokok. Penderita sendiri tidak mengganggap sebagai gejala. Makin lama batuk makin berat, timbul siang maupun malam, penderita terganggu tidurnya. Bila timbul infeksi saluran napas, batuk-batuk tambah hebat dan berkurang bila infeksi hilang.

2.4.2. Dahak

Produksi sputum adalah berwarna putih atau mukoid. Bila ada infeksi, sputum berubah menjadi purulen atau mukopurulen dan kental.

2.4.3. Sesak Napas (dispnea)

Gejala sesak napas akan timbul lebih dini dan lebih cepat bertambah pada emfisema paru. Tetapi pada kedua penyakit tersebut, bila timbul infeksi, sesak napas akan bertambah, kadang-kadang disertai tanda-tanda payah jantung kanan, lama – kelamaan timbul kor pulmonal yang menetap.

(6)

2.5. Jenis Penyakit Paru Obstruksi Kronik 2.5.1. Emfisema (PPOK tipe A/Pink Puffer)

Emfisema adalah penyakit yang ditandai dengan pelebaran dari alveoli yang diikuti oleh destruksi dari dinding alveoli. Biasanya terdapat bersamaan dengan bronkitis kronis, akan tetapi dapat pula berdiri sendiri. Penyebabnya juga sama dengan bronkitis, antara lain pada perokok. Akan tetapi pada yang herediter, dimana terjadi kekurangan pada globulin alfa antitripsin yang diikuti dengan fibrosis, maka emfisema muncul pada lobus bawah pada usia muda tanpa harus terdapat bronkitis kronis.18

Destruksi pada emfisema didefenisikan sebagai ketidaksamaan dalam pola pembesaran ruang udara respirasi dengan demikian bentuk yang teratur dari asinus dan komponennya terganggu dan bisa hilang. Hal ini berguna untuk menunjukkan bahwa bronkitis kronis didefenisikan dalam tinjauan klinis sedangkan pada emfisema ditinjau dari aspek patologi.19

Emfisema paru dapat pula terjadi setelah atelektasis atau setelah lobektomi, yang disebut dengan emfisema kompensasi dimana tanpa didahului dengan bronkitis kronis. Penyempitan bronkus kadang kala menimbulkan perangkap udara (air tappering), dimana udara dapat masuk tetapi tidak dapat keluar, sehingga menimbulkan emfisema yang akut. Frekuensi emfisema lebih banyak pada pria dibandingkan wanita.18

Yang menjadi pokok utama pada emfisema adalah adanya hiperinflasi dari paru yang bersifat irreversibel dengan konsekuensi rongga toraks berubah menjadi

(7)

gembung atau barrel chest. Gabungan dari alveoli yang pecah dapat menimbulkan bula yang besar yang kadang-kadang memberikan gambaran seperti pneumotoraks.18

Berdasarkan efek emfisema pada asinus maka emfisema dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu:18

a. Emfisema Asinus Distal (Paraseptal)

Lesi ini biasanya terjadi di sekitar sputum lobulus, bronkus, dan pembuluh darah atau di sekitar pleura. Bila terjadi di sekitar pleura maka mudah menimbulkan pneumotoraks pada orang muda.

b. Emfisema Asinus Proksimal (Sentrilobular)

Biasanya terjadi bersama-sama dengan pneumokoniosis atau penyakit-penyakit oleh karena debu lainnya. Penyakit ini erat hubungannya dengan perokok, bronkitis kronik dan infeksi saluran nafas distal. Penyakit ini paling sering didapat bersamaan dengan obstruksi kronik dan berbahaya bila terdapat pada bagian atas paru.

c. Emfisema Panasinar

Biasanya terjadi pada seluruh asinus. Secara klinis berhubungan dengan defisiensi alfa -1- antitripsin dan bronkus serta bronkiolus obliterasi (biasanya lebih jarang).

d. Emfisema Irreguler (Jaringan Parut)

Biasanya terlokalisir, bentuknya irreguler dan tanpa gejala klinis. Jaringan parut yang menyebabkan irreguler dari emfisema ini berhubungan dengan tuberkulosa, histoplasmosis dan pneumokoniosis. Begitu pula eosinofilik granuloma dalam bentuk irreguler dan limfangileiomiomatosis.

(8)

2.5.2. Bronkitis Kronis (PPOK tipe B/Blue Bloater)

Bronkitis kronis adalah batuk berulang dan berdahak selama lebih dari 3 bulan setiap tahun dalam periode paling sedikit 3 tahun. Sebab utamanya adalah merokok, berbagai penyakit akibat berbagai pekerjaan, polusi udara, dan usia tua, terutama pada laki-laki. Hipersekresi dan tanda-tanda adanya penyumbatan saluran napas yang kronik merupakan tanda dari penyakit ini.18

Bronkhitis kronis dapat dibagi atas:20

a. Simple Chronic Bronkhitis : apabila sputumnya mukoid.

b. Chronic atau Recurrent Mucopurulent Bronkhitis : apabila sputumnya mukopurulen.

c. Chronic Obstruktive Bronkhitis : apabila disertai obstruksi saluran nafas yang menetap.

PPOK dapat ditimbulkan oleh asma bronkial. Pada anak-anak kelainan ini masih bersifat reversibel dan dengan bertambahnya usia maka kelainan ini cenderung akan bersifat menetap terutama pada usia lanjut.17

Derajat PPOK berdasarkan hasil nilai spirometri Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1) dan Arus Puncak Ekspirasi (APE), dibagi atas:17

a. Tingkat PPOK normal : Lebih atau sama dengan 70% b. Tingkat I (Obstruksi ringan) : 69%-60%

c. Tingkat II (Obstruksi sedang) : 59%-31%

(9)

2.6. Epidemiologi

2.6.1. Distribusi dan Frekuensi PPOK

Penelitian oleh American Lung Association Epidemiologi and Statistic Unit

Research and Program Services (2002) menunjukkan bahwa umur responden

penderita PPOK lebih dari 65 tahun mempunyai prevalen rate 124 per 10.000 penduduk sedangkan umur 45-65 tahun mempunyai prevalen rate 30 per 10.000 penduduk. Populasi responden lebih dari 65 tahun lebih tinggi 4 kali dari umur 45-65 tahun.21

Proporsi penderita bronkhitis kronis yang dirawat di Sub Unit Pulmonologi, UPF/Laboratorium Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS Hasan Sadikin tahun 1978-1982 adalah 6,21% dari keseluruhan penyakit paru dan merupakan peringkat ke-6 terbanyak setelah penyakit tuberkulosis paru.Penelitian Nawas dkk di Poliklinik Paru RS Persahabatan Jakarta (1989), diperoleh proporsi penderita PPOK adalah 26%, kedua terbanyak setelah TB Paru (65%). Dari penelitian Edo dkk di Kalimantan Tengah tahun 1990, prevalen bronkhitis kronis adalah 6,1%.19

Berdasarkan Sistem Pencatatan dan Pelaporan Rumah Sakit (SP2RS) tahun 1999, bronkhitis dan emfisema merupakan penyebab kematian ke-1 semua umur, terdapat 106 per 1.000 penderita rawat inap RSU di Indonesia dan menempati peringkat ke-10 penyakit terbanyak penderita rawat inap RSU di Indonesia. Jumlah kunjungan penderita PPOK di Unit Rawat Jalan RS Persahabatan tahun 2002 mencapai lebih dari 3.000 kunjungan/tahun. Di unit gawat darurat kunjungan PPOK mencapai lebih dari 2.000 kunjungan dan pada rawat inap lebih dari 200 penderita per tahun.9

(10)

Menurut penelitian Knaus dan Seneff (1995) yang dikutip oleh Katharina bahwa angka kematian PPOK selama menjalani perawatan ICU karena eksaserbasi (kekambuhan) penyakitnya adalah 13-24%. Menurut penelitian Seneff (1995) bahwa CFR kematian 1 tahun pasca perawatan ICU penderita PPOK berusia lebih atau sama dengan 65 tahun adalah 59%. Penderita PPOK yang dirawat di ICU mudah terkena infeksi sekunder karena produksi mukus meningkat sehingga kuman mudah berkembang.22

2.6.2. Determinan PPOK a. Usia

Dalam perjalanan penyakit PPOK dapat mengubah karakternya, misalnya pada masa bayi timbul asma bronkhial, pada usia 30-40 tahun timbul bronkhitis kronis dan pada usia lanjut timbul emfisema.7 Semakin bertambah usia semakin besar risiko menderita PPOK.20

Umumnya penderita PPOK kebanyakan berusia lanjut ( > 55 tahun), karena terdapat gangguan mekanis dan pertukaran gas pada sistem pernapasan dan menurunnya aktifitas fisik pada kehidupan sehari-hari. Peningkatan volume paru dan tahanan aliran udara dalam saluran napas pada penderita PPOK akan meningkatkan kerja pernapasan. Penyakit ini bersifat kronis dan progresif, makin lama kemampuan penderita akan menurun bahkan penderita akan kehilangan stamina fisiknya.13

Pada usia muda (18-21 tahun) kekhawatiran terhadap PPOK belum perlu dirisaukan, karena pada usia muda pertumbuhan paru sedang mencapai tingkat yang sangat baik, sebaliknya pada usia yang lebih tua (51-60 tahun) merupakan umur yang rawan terhadap terjadinya PPOK. Menurut penelitian Mukono (2003) bahwa wanita

(11)

memiliki Odds Ratio 2,1 yang berarti bahwa risiko untuk mendapatkan PPOK pada wanita berumur 41-60 tahun adalah 2,1 kali yang berumur 18-21 tahun.23 b. Jenis Kelamin

Pada laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita.18 Prevalensi PPOK pada laki-laki dewasa di Belanda adalah 10-15% dan pada wanita 1-5% dengan sex ratio 3-10:1.24

c. Pekerjaan

Faktor pekerjaan berhubungan erat dengan unsur alergi dan hiperreaktivitas bronkus. Dan umumnya pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.7

d. Status Sosial Ekonomi

Pada status ekonomi rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK lebih tinggi. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang kurang memenuhi persyaratan.20 e. Tempat Tinggal

Orang yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena PPOK lebih tinggi daripada orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi tempat yang berbeda antar kota dan desa. Di kota tingkat polusi udara lebih tinggi dibandingkan di desa.17,18 Insiden PPOK di daerah perkotaan 1,5 kali lebih banyak daripada di daerah pedesaan.24

f. Faktor Genetik

Alfa – 1 Antitripsin adalah senyawa protein atau polipeptida yang dapat diperoleh dari darah atau cairan bronkus. Defisiensi Alfa – 1 Antitripsin (AAT) pertama sekali ditemukan oleh Erickson pada tahun 1965 dimana ditemukan satu

(12)

keluarga yang menderita emfisema yang munculnya terlalu dini dan pada kelompok keluarga ini ditemukan defisiensi Alfa – 1 Antitripsin (AAT).DefisiensiAAT adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom resesif.7

g. Gangguan Fungsi Paru

Gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK, misalnya defisiensi Immunoglobulin A ( IgA/Hypogammaglobulin ) atau infeksi pada masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yang pertumbuhan parunya tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah sehingga memiliki risiko lebih besar untuk mengalami PPOK.25

h. Kebiasaan Merokok

Menurut buku Report of the WHO Expert Committee on Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK, dengan risiko 30 kali lebih besar pada perokok dibandingkan dengan bukan perokok dan merupakan penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.21 Asap rokok dapat mengganggu aktivitas bulu getar saluran pernapasan, fungsi makrofag dan mengakibatkan hipertrofi kelenjar mukosa. Menurut penelitian Brashear (1978) bahwa penderita PPOK yang merokok mempunyai risiko kematian yang lebih tinggi (6,9-25 kali) dibandingkan dengan bukan perokok.7

(13)

Kematian akibat PPOK terkait dengan jumlah batang rokok yang dihisap, umur mulai merokok, lama merokok dan status merokok yang terkait saat PPOK berkembang. Namun demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. 10 % orang yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif juga beresiko menderita PPOK.25

i. Polusi

Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab PPOK, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi. Zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan PPOK adalah zat-zat pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti

N2O, hidrokarbon, aldehid, Ozon.20

j. Debu

Perjalanan debu yang masuk ke saluran pernapasan dipengaruhi oleh ukuran partikel tersebut. Partikel yang berukuran 5 µm atau lebih akan mengendap di hidung, nasofaring, trakea dan percabangan bronkus. Partikel yang berukuran kurang dari 2 µm akan berhenti di bronkiolus respiratorius dan alveolus. Partikel yang berukuran kurang dari 0,5 µm biasanya tidak sampai mengendap di saluran pernafasan akan tetapi dikeluarkan lagi.7

Debu yang masuk ke saluran pernapasan dapat berakibat terjadinya kerusakan jaringan setempat dari yang ringan sampai kerusakan yang parah dan menetap. Derajat kerusakan yang ditimbulkan oleh debu dipengaruhi oleh faktor asal dan sifat alamiah debu, jumlah debu yang masuk dan lamanya paparan, reaksi imunologis subjek yang terkena paparan. Sesuai dengan penelitian Amin (1996) di Surabaya dengan desain kohort retrospektif bahwa debu memiliki Resiko Relatif (RR) 44,86

(14)

artinya orang yang terpapar dengan debu untuk terkena bronkhitis kronis 44,86 kali lebih besar dibandingkan dengan orang yang tidak terpapar dengan debu.7

2.7. Komplikasi

Komplikasi yang sering dijumpai dan dapat memperberat PPOK adalah kor-pulmonal yaitu terjadi gangguan pada jantung kanan. Penderita selalu sesak napas walaupun hanya melakukan pekerjaan rutin sehari-hari misalnya memakai baju, mandi.7 Komplikasi lainnya adalah hipertensi pulmoner, berhubungan dengan angka tahan hidup yang rendah dan prediktor keluaran klinis buruk. Hipertensi pulmoner pada PPOK terjadi akibat efek langsung asap rokok terhadap pembuluh darah intrapulmoner.26

Pengelolaan penderita PPOK ditujukan pada tiga hal yang penting yaitu mencegah komplikasi, meringankan gangguan pada fungsi paru dan meningkatkan kualitas hidup.7

2.8. Pencegahan PPOK 2.8.1. Pencegahan Primordial

Pencegahan primordial yaitu upaya pencegahan pada orang-orang yang belum ada faktor resiko PPOK, meliputi: menciptakan lingkungan yang bersih dan berperilaku hidup sehat seperti tidak merokok.

2.8.2. Pencegahan Primer (Primary Prevention)

Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit.27 Tujuan dari

(15)

pencegahan primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.28

Pecengahan primer meliputi:

a. Kebiasaan merokok harus dihentikan

b. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang terdapat asap mesin, debu

c. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik) d. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan PPOK 2.8.3. Pencegahan Sekunder (Secondary Prevention)

Pencegahan sekunder merupakan upaya untuk mencegah orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindari komplikasi.27 Tujuan pencegahan sekunder adalah untuk mengobati penderita dan mengurangi akibat-akibat yang lebih serius dari penyakit yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.28

a. Diagnosis Dini

Untuk menetapkan diagnosis dini PPOK pada pasien adalah dengan pemeriksaan faal paru, radiologis, analisis gas darah, dan defisiensi AAT.

a.1. Pemeriksaan Faal Paru

Pemeriksaan faal paru adalah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang mempunyai faal paru yang normal atau mengalami gangguan. Gangguan faal paru pada PPOK adalah obstruksi (hambatan aliran udara ekspirasi). Faal paru seseorang meningkat mulai sejak dilahirkan sampai mencapai nilai maksimal pada umur antara 19-21 tahun, kemudian menurun

(16)

secara berlahan. Penurunan faal paru juga terjadi pada orang normal sebesar 30 ml pertahun untuk nilai Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1).

Pemeriksaan faal paru sangat berguna untuk menunjang diagnosa penyakit, melihat laju perjalanan penyakit, evaluasi pengobatan, dan menentukan prognosis penyakit. Pemeriksaan dengan menggunakan alat spirometri sangat dianjurkan karena sederhana dan akurat.9

a.2. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau menyokong diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Pada emfisema gambaran yang paling dominana adalah radiolusen paru yang bertambah, dan pembuluh darah paru mengalami penipisan atau menghilang. Selain itu dapat juga ditemukan pendataran diafragma dan pembesaran rongga retrosternal. Pada bronkhitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan pelebaran dari arteri pulmonalis, disamping itu ukuran jantung juga mengalami pembesaran.18

a.3. Pemeriksaan Analisis Gas Darah

Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan nilai VEP1 < 40 %

prediksi, pasien dengan gagal jantung kanan serta pasien yang secara klinis dicurigai adanya gagal napas. Dikatakan adanya gagal napas apabila dari analisis gas darah didapat nilai tekanan parsial O2 (PaO2) kurang dari 60

mmHg, dengan atau tanpa adanya peningkatan tekanan parsial CO2 (PaCO2)

(17)

a.4. Pemeriksaan Defisiensi Alfa – 1 Antitripsin (AAT)

Pemeriksaan dilakukan dengan skrining adanya defisiensi alfa – 1 antitripsin pada pasien yang mengalami PPOK sebelum berusia 45 tahun atau pasien dengan riwayat keluarga PPOK. Pemeriksaan kadar AAT di dalam darah dengan metode Imuno-turbidimetri. Nilai normal AAT adalah 200-400 mg/100cc.7 Kadar dibawah 20% dari normal menunjukkan bahwa pasien homozigot defisiensi AAT. Kadar diatas 20% tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan PPOK.4

b. Pengobatan

Adapun pemberian pengobatan terhadap penderita PPOK meliputi: bronkodilator, kortikostreroid, antibiotik, pemberian oksigen dan pembedahan.

b.1. Bronkodilator

Bronkodilator adalah obat utama dalam penatalaksanaan PPOK. Bronkodilator utama pada PPOK adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin atau kombinasi obat tersebut.9

b.2. Kortikosteroid

Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara regular hanya boleh diberikan pada pasien yang telah tercatat dari hasil spirometri berespon terhadap steroid, atau pada pasien yang VEP1 < 50%.9 Dapat juga diberikan dalam bentuk oral

dengan dosis tunggal prednison 40mg/hari paling sedikit selama 2 minggu, maka pengobatan kortikosteroid sebaiknya dihentikan. Pada pasien yang

(18)

menunjukkan perbaikan, maka harus dimonitor efek samping dari kortikosteroid pada penggunaan jangka lama.18

b.3. Antibiotik

Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam penatalaksanaan PPOK. Pemberian antibiotik dengan spektrum yang luas pada infeksi umum yang disebabkan oleh Streptococcus pneumoniae,

Haemophilus influenza dan Mycoplasma.18

b.4. Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen jangka panjang terhadap penderita PPOK pada analisis gas darah didapatkan. Pemberian oksigen jangka panjang (lebih dari 15 jam/hari) pada pasien dengan gagal nafas kronis dapat meningkatkan survival, memperbaiki kelainan hemodinamik, hemotologis, meningkatkan kapasitas exercise dan memperbaiki status mental.4

b.5. Pembedahan

Pembedahan biasanya dilakukan pada PPOK berat dan tindakan operasi diambil apabila diyakini dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan mekanik paru. Jenis operasi pada PPOK adalah bullectomy, Lung Volume Reduction

(19)

2.8.4. Pencegahan Tertier (Tertiary Prevention)

Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.27

Pencegahan tertier meliputi:9 a. Rehabilitasi Psikis

Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan bahkan akan mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi. Rehabilitasi psikis juga bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan perasaaan tersebut.

b. Rehabilitasi Pekerjaan

Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita. Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki risiko terjadi perburukan penyakit.

c. Rehabilitasi Fisik

Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik yang utama adalah memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif.

Gambar

Gambar 2.1. Anatomi Paru

Referensi

Dokumen terkait

Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “PENGARUH RELIGIUSITAS

Membantu memberikan masukan mengenai keputusan manajerial yang dapat diambil oleh Hotel HARRIS Gubeng Surabaya mengenai persepsi tamu terhadap brand image, kualitas kerja

Dari ketiga definisi deposito diatas penulis menyimpulkan bahwa deposito mudharabah adalah merupakan investasi nasabah penyimpan dana (perorangan atau badan hukum) yang

Memiliki cara berpikir yang berbeda atau out of the box juga diperlukan, sehingga mampu membuat terobosan-terobosan baru atau penyesuaian pada bisnis agar lebih sesuai juga sangat

Pengelolaan lingkungan binaan wisata bunga pada kawasan daerah ekowisata kota Batu, Malang, adalah merupakan suatu model konsep pengelolaan lingkungan yang baik yang dikelola

Langkah-langkah identifikasi masalah yang diurakan di atas adalah agar identifikasi dilakukan tidak hanya menyangkut identifikasi masalah baik hasil, sebab

Dalam perkembanganya, Pembangunan di Kabupaten Gorontalo utara mengalami peninggkatan hal ini di dorong oleh usaha dari pemerintah kabupaten untuk meningkatkan

Keragaan genetik Taura Syndrome Virus (TSV) yang telah menginfeksi udang vanname (L. vannamei) dan udang windu (P. monodon) pada tingkat medium tidak berbeda atau dapat dikatakan