• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA AWAL DI JAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU DEWASA AWAL DI JAKARTA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI MENGENAI

KONFLIK INTERPARENTAL DENGAN

KESIAPAN MENIKAH PADA INDIVIDU

DEWASA AWAL DI JAKARTA

Puti Saraswati

Universitas Bina Nusantara, putisaras@gmail.com

Pingkan C. B. Rumondor

Universitas Bina Nusantara, prumondor@binus.edu

ABSTRACT

The purpose of this study is to examine the correlation between perception of interparental conflict

and marriage readiness on emerging adults in Jakarta. Method of research is quantitative.

Spearman rank Correlation is used to measure the degree of assosiaction between two variables.

The result shows that there is a positive correlation between conflict properties, with marriage

readiness

(r=.227, p<.05)

, and also with child and parenting, one of marriage readiness

dimensions

hubungan (r=.283, p<.05)

. The result also shows that there is a negative correlation

between self-blame with interest and utilization of spare time

(r=-.216, p<.05)

. In conclusion,

there is only one of the three perception of interparental conflict factors that has been found to have

a correlation with marriage readiness. (PS)

Keywords: Marriage, Marriage Readiness, Emerging Adult, Interparental Conflict, Conflict

Properties

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian adalah untuk menguji hubungan antara persepsi mengenai konflik

interparental dengan kesiapan individu dewasa awal di Jakarta. Metode penelitian adalah

kuantitatif. Analisa dilakukan dengan pengujian korelasi Spearman untuk melihat hubungan antara

kedua variabel. Ditemukan adanya hubungan positif yang signifikan antara conflict properties

dengan kesiapan menikah secara keseluruhan

(r=.227, p<.05)

,, dan juga pada anak dan

pengasuhan pada kesiapan menikah pada tingkat dimensi

(r=.283, p<.05)

. Terdapat pula

hubungan negatif yang signifikan antara self-blame dengan minat dan pemanfaatan waktu luang

(r=-.216, p<.05)

. Kesimpulannya, hanya terdapat satu faktor persepsi mengenai konflik

interparental yang berhubungan dengan kesiapan menikah.(PS)

Kata kunci: Pernikahan, Kesiapan Menikah, Dewasa awal, Konflik Interparental,

(2)

PENDAHULUAN

Seorang perempuan berusia 25 tahun sejak kecil sering menyaksikan orangtuanya bertengkar, perempuan ini menyatakan “Sejak kecil saya selalu melihat orangtua bertengkar hingga usia saya 24 tahun (tahun lalu) orang tua saya bercerai. Tapi kok saat ini saya merasa trauma jika pacar saya mengajak saya menikah ya, Dok?” (Suherni, 2014). Pernyataan ini memperlihatkan bahwa individu merasakan ketakutan saat diajak untuk menikah. Hal ini kemungkinan dikarenakan pengalamannya menyaksikan orangtuanya

bertengkar. Untuk menggali lebih dalam mengenai fenomena tersebut, wawancara pun dilakukan ke beberapa individu untuk mengetahui persepsi mereka mengenai konflik yang sering terjadi di antara orangtuanya. Hal ini bertujuan untuk mengetahui dampaknya terhadap kehidupan individu, dan juga untuk mengetahui persepsi mengenai kesiapan individu untuk menikah dan kesiapan individu sendiri untuk memasuki jenjang

pernikahan. Responden terdiri dari 3 individu yang belum memiliki pasangan dan satu individu yang sudah memiliki pasangan.

Wawancara yang dilakukan kepada tiga responden memperkuat fenomena sebelumnya. Hasil wawancara juga menggambarkan tidak siapnya individu-individu untuk memasuki pernikahan, yang merupakan salah satu dampak dari pertengkaran atau konflik yang sering terjadi di orangtuanya.

Ketidaksiapan individu-individu tersebut dikarenakan ketakutan mereka untuk memiliki pernikahan seperti pernikahan kedua orangtuanya, untuk memiliki pasangan seperti ayahnya, dan juga tidak siap karena tidak memiliki panutan untuk menjadi seorang suami ataupun ayah yang baik.

Kesiapan menikah sendiri memiliki arti yaitu kemampuan individu untuk siap menjalankan peran barunya sebagai suami atau istri dengan adanya kematangan pribadi, yaitu adanya komitmen pada masing individu yang masuk ke dalam hubungan pernikahan sehingga tidak mengganggu minat masing-masing individu. Selanjutnya, sebaiknya indivdu sudah berpengalaman dalam menjalin hubungan interpersonal seperti hubungan pacaran, sehingga individu mengetahui dan mengerti aturan dan tuntunan dalam suatu hubungan. Individu pun minimal berada pada tahap dewasa muda yang menjadikan pernikahan sebagai salah satu tugasnya pada tahap tersebut yaitu tugas mencari jati dirinya. Kesiapan lainnya adalah kesiapan penunjang seperti memiliki sumber finansial, dan telah selesainya studi yang dijalani. Bila studi individu belum selesai dijalani, terdapat kemungkinan akan berdampak kurang baik dikarenakan adanya peran ganda yang dimiliki individu, yaitu sebagai pelajar dan sebagai suami/istri (Wiryasti, 2004).

Berdasarkan hasil wawancara yang sudah dijabarkan di atas, dapat dilihat bahwa, secara keseluruhan terdapat hubungan antara persepsi mengenai konflik interparental yang mereka saksikan dengan kesiapan menikah yang mereka rasakan. Hal ini terlihat dimana para responden menyatakan ketidaksiapan mereka untuk memasuki jenjang pernikahan dan hal ini merupakan salah satu dampak dari adanya konflik interparental yang terjadi.

Konflik muncul di saat motif-motif, tujuan-tujuan, keyakinan-keyakinan, pendapat-pendapat atau perilaku-perilaku seseorang bersinggungan atau tidak sesuai dengan orang lain (Miller, Perlman, & Brehm, 2007). DeGenova (2008) menyatakan bahwa konflik merupakan sebuah hal yang normal terjadi dalam suatu hubungan. Sejumlah keputusan harus diambil sebuah pasangan secara bersama dan keputusan yang dibuat tidak hanya dapat menghasilkan hal-hal baik tapi juga dapat menghasilkan kekecewaan, frustrasi dan adanya suatu penyesuaian yang harus mereka hadapi. Kekecewaan, frustasi dan penyesuaian tersebut sering

ditunjukkan dalam bentuk pandangan yang menyakitkan, kata-kata kemarahan atau sebuah pertengkaran yang terlihat.

Fenomena di atas menitikberatkan individu-individu pada tahap dewasa awal yang disebut juga dengan tahap emerging adulthood. Menurut Arnett (2004) Tahap ini adalah tahap transisi dari tahap remaja ke tahap dewasa yang biasanya dimulai dari usia 18 tahun sampai 25 tahun pada banyak individu tapi dapat lebih pada sebagian individu. Pada tahap ini, bila berkaitan dengan hubungan romantis, individu sudah mulai berubah dalam berbagai bentuk yang membuat mereka lebih siap mengahadapi pernikahan. Bila mengkaitkan individu dewasa awal pada fenomena yang didapatkan dari wawancara di atas dengan kesiapan menikah yang

disebutkan Arnett (2004) dan Wiryasti (2004), dapat dilihat bahwa individu menilai diri mereka sendiri sebagai individu yang tidak siap menghadapi pernikahan dan belum adanya kematangan pribadi individu untuk menyandang peran barunya sebagai suami atau istri. Berdasarkan pernyataan individu, dapat dilihat bahwa penyebab ketidaksiapan individu menghadapi pernikahan adalah salah satu dampak dari pertengkaran atau konflik yang terjadi di antara orangtuanya atau konflik interparental.

(3)

Sudah dilakukan penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kesiapan menikah dan konflik interparental pada dewasa awal. Salah satu penelitian telah dilakukan oleh Cui, Fincham dan Pasley (2008) mencoba untuk melihat hubungan perceraian dan konflik interparental dengan hubungan romantis pada keturunannya. Studi ini mengindikasikan bahwa konflik orangtua berhubungan erat dengan pertengkaran yang terjadi pada individu dewasa mudah awal dengan pasangannya. Hal ini juga membuktikan adanya hubungan dengan adanya penurunan kualitas hubungan pada individu dewasa awal. Adapula penelitian yang dilakukan Gabardi dan Rosen (1991, dalam Ottaway) yang menyebutkan bahwa tingkat dari konflik keluarga dan konflik interparental dapat menjadi prediktor kualitas hubungan romantis pada keturunannya. Penelitian ini menemukan bahwa terpaparnya anak-anak dengan konflik interparental memungkinkan anak dewasa untuk lebih memiliki sikap negatif dan ragu akan pernikahan.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan dua alat ukur. Alat ukur pertama digunakan untuk mengukur kesiapan menikah individu yaitu, Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang dibentuk oleh Wiryasti (2004). Alat ukur kedua dibentuk oleh Fincham, Seid, dan Grych (1992), untuk mengukur persepsi mengenai konflik interparental yaitu, Children’s Perception of Interparental Conflict (CPIC). Tapi yang digunakan oleh peneliti adalah CPIC yang sudah diadaptasi oleh Moura (2010) untuk digunakan terhadap individu dewasa awal.

Partisipan penelitian ini adalah 103 individu pada tahap dewasa awal atau emerging adulthood yaitu individu berusia 18-29 tahun di Jakarta. Partisipan juga diharapkan sudah memiliki pasangan kekasih serta telah bertunangan secara formal (dengan acara) maupun informal (hanya kesepakatan bersama untuk menikah), hal ini dikarenakan alat ukur kesiapan menikah berisikan evaluasi diri individu dan evaluasi hubungan individu terhadap pasangannya atau calon suami/istri. Penelitian ini juga ditujukan untuk individu yang pernah mendengarkan atau menyaksikan orangtua berkonflik yang terjadi berulang lebih dari sekali dengan konten yang serupa. Konflik yang berulang lebih dari sekali diharapkan dapat menggambarkan frekuensi konflik dan dengan konten yang serupa menggambarkan adanya konflik tanpa resolusi. Status pernikahan orangtua akan diabaikan karena penulis akan lebih memfokuskan kepada konflik yang terjadi.

Teknik pengambilan sampel yang lebih spesifik digunakan adalah snowball sampling dimana penulis akan meminta partisipan yang berpartisipasi untuk mengidentifikasi partisipan lain yang berpotensial mengikuti penelitian yang sedang dilakukan (Explorable.com, 2009).

Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif yaitu penelitian yang berdasarkan pengukuran variabel dengan partisipasi individu untuk memperoleh nilai, yang umumnya bernilai angka yang diajukan kepada analisis statistik untuk mendapatkan hasil interpretasi akhir. Desain penelitian juga menggunakan uji korelasi, yaitu suatu teknik untuk menguji suatu hubungan antara variabel untuk melakukan observasi dua variabel (Gravetter & Forzano, 2009).

Desain penelitian ini juga menggunakan retrospective report pada alat ukur CPIC dimana partisipan diharapkan untuk melihat kembali ke masa lalunya dan mengingat kembali konflik-konflik yang terjadi di antara orangtuanya (Kumar, 2005).

Data yang didapat akan diproses menggunakan SPSS 22 (Statistical Package for Social Science). SPSS akan digunakan untuk menguji reliabilitas menggunakan Cronbach’s Alpha pada setiap dimensi alat ukur dan validitas dengan melihat Corrected Item-Total Correlation setiap item di kedua alat ukur, serta korelasi antara dua variabel tersebut yaitu persepsi mengenai konflik interparental dan kesiapan menikah pada individu. Uji korelasi akan menggunakan uji korelasi Pearson, dikarenakan skala yang digunakan pada kedua alat ukur adalah interval. Uji korelasi dengan Pearson dapat digunakan dengan syarat data yang didapatkan terdistribusi normal. Maka dari itu, sebelum data diuji korelasinya, data yang didapat akan dianalisis terlebih dahulu normalitasnya menggunakan uji normalitas Kolmogorov-Smirnov.

(4)

HASIL DAN BAHASAN

Correlations Kesiapan Menikah Spearman's rho CP .227* SB -.111 T .018

Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan tidak semua faktor persepsi mengenai konflik interparental memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan menikah. Tapi ditemukan bahwa conflict properties (CP) memiliki hubungan positif yang signifikan dengan kesiapan menikah (r=.227, p<.05). Hasil ini menunjukkan bahwa semakin tinggi frekuensi, intensitas dan pengulangan konflik interparental yang dipersepsikan individu dan persepsi bahwa dirinya harus memihak salah satu di antara kedua orangtuanya saat bertengkar, semakin tinggi pula kesepakatan individu dengan pasangan mengenai aspek-aspek kesiapan menikah individu, hal ini juga berarti sebaliknya.

Menurut Laursen dan Collins(1994, dalam Ross, 2007) hal ini dapat terjadi dikarenakan konflik interparental tidak mempengaruhi manajemen konflik pada individu yang menyaksikannya, lebih khususnya manajemen konflik individu dengan teman dekat dan pasangan dengan menggunakan negosiasi dan

kompromi, sehingga bila terjadinya perbedaan pendapat antara individu dengan pasangannya mengenai aspek-aspek kesiapan menikah, individu dapat menyelesaikan dengan negosiasi dan kompromi. Panjangnya proses hubungan antara conflict properties dengan kesiapan menikah, menandakan lemahnya hubungan antara keduanya.

Pada analisa tingkat dimensi ditemukan bahwa, terdapat hubungan positif yang signifikan antara conflict properties pada persepsi mengenai konflik interparental dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah (r=.283, p<.05). Hal ini menunjukkan bahwa semakin seringnya dan semakin parahnya konflik interparental berhubungan dengan semakin baiknya pasangan dalam membuat kesepakatan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan anak dan cara pengasuhan. Pengulangan konflik interparental yang tidak memiliki penyelesaian juga memiliki hubungan dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah. Semakin tingginya persepsi bahwa dirinya berada di tengah orangtuanya saat munculnya konflik interparental, semakin baiknya individu dalam menyepakati cara pengasuhan bersama pasangan, hal ini juga berlaku sebaliknya.

Individu yang menyaksikan konflik interparental yang tinggi secara sadar mengobservasi apa yang terjadi. Bila dilihat dari model proses Bandura mengenai observational modelling, pada tahap terakhir adalah hal yang menentukan dimana individu termotivasi mengimitasi apa yang akan dilakukan atau tidak

dilakukan. Individu yang menyaksikan konflik interparental, mendapatkan dampak negatif berupa emosi seperti kemarahan, kesedihan, ketidakamanan, kekhawatiran, dan lain-lain dari konflik tersebut (Cummings, Davies, & Simpson, 1994). Dampak negatif itu dapat menjadi seperti suatu hukuman pada individu tersebut, sehingga individu memliki kemungkinan untuk tidak mengimitasi atau melakukan yang telah individu observasi (Bandura, 1971). Individu pun akan bersikap lebih positif dalam berdiskusi dan mencoba

menyepakati hal-hal yang bersangkutan dengan anak dan pengasuhan dengan pasangan, hal ini dikarenakan ketidakinginan individu untuk anaknya mendapatkan hal yang sama dengan dirinya, serta memiliki motivasi untuk tidak berkonflik dengan pasangannya nanti di depan anak-anaknya.

Terdapat pula hubungan antara persepsi mengenai konflik interparental faktor self-blame sendiri dengan kesiapan menikah dimensi minat dan pemanfaatan waktu luang. Hubungan yang didapatkan adalah hubungan negatif dengan tingkat korelasi yang lemah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin rendahnya persepsi individu pada keterlibatan dirinya dalam konflik interparental yang disaksikan, maka semakin baiknya individu dan pasangan menyepakati dalam menghargai minat masing-masing dan pemanfaatan waktu luang bersama, dan juga sebaliknya.

Konflik interparental yang disertai persepsi self-blame yang tinggi pada individu dapat berhubungan dengan turunnya kesiapan menikah pada individu tersebut. Individu yang memiliki skor di atas rata-rata pada faktor self-blame memiliki hubungan yang erat dengan gejala-gejala kecemasan/depresi dan agresi (Fear, et al., 2009). Gejala-gejala tersebut yang dapat berhubungan dengan kurangnya keinginan individu untuk menghabiskan waktu berdua dengan pasangannya yang dikarenakan adanya kecemasan atau ketakutan munculnya pertanyaan-pertanyaan dari pasangannya mengenai keluarganya yang tidak ingin individu jawab (Fotineri, 2013).

(5)

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian sebelumnya. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa individu yang sering menyaksikan orangtuanya berkonflik, kemungkinan besar memiliki konflik yang tinggi pula dengan pasangannya (Amato & Sobolewski, 2001), sedangkan pada hasil yang ditemukan, semakin seringnya individu menyaksikan orangtua berkonflik, semakin tinggi pula kesepakatan antara pasangan. Hal ini juga kemungkinan dikarenakan partisipan pada penelitian ini berada pada tahap

perkembangan dewasa awal yang merupakan tahap-tahap seorang individu mulai berubah, mengeksplorasi dan belajar menjadi individu yang siap untuk menghadapi pernikahan (Arnett, 2015).

Hubungan conflict properties pada persepsi mengenai konflik interparental dengan aspek anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah menunjukkan bahwa bila semakin tingginya frekuensi, intensitas dan terulangnya konflik interparental tanpa adanya resolusi atau penyelesaian pada konflik interparental yang dipersepsikan, dan persepsi bahwa dirinya berada di tengah pertengkaran kedua orangtuanya, berarti semakin tinggi pula kesepakatan individu dengan pasangannya mengenai anak dan cara pengasuhan bila menikah di kemudian hari. Synder, Velasquez, dan Clarck (1997) menyatakan bahwa peran-peran yang orangtua individu jalani berhubungan erat dengan pemahaman individu mengenai peran-peran orangtua seharusnya. Hal ini berhubungan dengan transmisi generasi yang diturunkan melalui observational modelling (Bandura , dalam Shurts & Myers, 2012) dimana individu mengobservasi, mengimitasi dan mencontoh perilaku-perilaku di sekitar mereka. Pada saat orangtua memiliki konflik satu dengan lainnya, waktu mereka untuk anak-anak mereka berkurang dan mereka lebih terfokus dengan konflik yang terjadi. Hasil dari berkurangnya

keterlibatan orangtua dengan anaknya menyebabkan perilaku anak menjadi agresif dan menantang, kadang sangat menantang untuk mendapatkan atensi dari orangtuanya (Buehler & Gerard, 2002). Bila dihubungkan dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah, individu yang menyaksikan orangtuanya berkonflik dan kurang mendapatkan perhatian dari orangtuanya memiliki kemungkinan untuk tidak

mengetahui secara pasti dan bersikap negatif mengenai melakukan yang sama setelah memiliki anak nantinya yaitu kurangnya memperhatikan anak dikarenakan adanya transmisi generasi seperti yang disebutkan Synder, dkk. (1997) sebelumnya. Hal inilah yang menunjukkan tidak sejalannya hasil penelitian yang ditemukan dengan penelitian sebelumnya.

Berdasarkan gambaran umum, terdapat 80% individu dewasa awal yang masih tinggal dengan orangtua. Hal ini menunjukkan tidak sejalannya dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Cui, Wickarama, Lorenz dan Conger (2010) yang menemukan bahwa perselisihan pernikahan antara orangtua dapat memprediksi lebih cepatnya dewasa awal memasuki kohabitasi. Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya hukum dan budaya di Indonesia yang melarang kohabitasi, serta menganggap kohabitasi sebagai hal yang tabu.

Kelebihan dari penelitian ini terletak pada Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang digunakan untuk mengukur kesiapan menikah. Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang digunakan sudah direvisi dan dieleminasi item-itemnya yang tidak valid, sehingga lebih reliabel dan valid untuk digunakan terutama pada individu dewasa awal. Children’s Perception of Interpersonal Scale yang digunakan juga sudah reliabel dan valid untuk partisipan Indonesia dengan segala suku bangsa/etnis karena sudah melewati uji reliabilitas dan validitas.

Perlu diperhatikan juga bahwa penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan tertentu. Pertama, kesulitan mencari partisipan yang sesuai dengan karakteristik yang sudah ditentukan. Kedua, terbatasnya waktu untuk mengumpulkan data. Ketiga, item kuesioner yang terlalu banyak membuat partisipan kurang serius dalam mengisinya. Keempat, penyebaran kuesioner menggunakan online form menyebabkan partisipan penelitian kurang terkontrol. Kelima, penelitian ini hanya terfokus kepada kesiapan menikah satu individu yang memiliki latar belakang keluarga dengan orangtua berkonflik dan mengabaikan pasangan.

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan analisa hasil secara keseluruhan, hanya faktor conflict properties pada persepsi konflik interparental yang memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan menikah. Pada tingkat dimensi, ditemukan bahwa conflict properties pada variabel persepsi mengenai konflik interparental dengan dimensi anak dan pengasuhan pada kesiapan menikah memiliki hubungan positif yang signifikan dan dimensi self-blame pada persepsi mengenai konflik interparental dengan dimensi minat dan pemanfaatan waktu luang pada kesiapan menikah yang memiliki hubungan negatif yang signifikan.

(6)

Penyebaran kuesioner pada penelitian ini kurang baik dikarenakan menggunakan form pengisian online. Penelitian selanjutnya diharapkan untuk lebih mengontrol partisipan penelitian dan menganalisa kembali untuk hubungan persepsi megenai konflik interparental dengan kesiapan menikah.

Pada penelitian ini terdapat suatu hambatan yaitu adanya batasan waktu, hal ini menyebabkan peneliti kurang dapat mengumpulkan data yang cukup. Berdasarkan gambaran partisipan yang didapatkan dari pengolahan hasil pengisian data kontrol partisipan, banyak data yang tidak terdistribusi secara merata. Maka dari itu, sebaiknya pada penelitian berikutnya, peneliti mengumpulkan data yang lebih banyak dan merata, agar data yang didapatkan dapat merepresentasikan populasi yang sebenarnya.

Penelitian selanjutnya, diharapkan tidak hanya terfokus hanya pada partisipan, tapi juga pada pasangan partisipan. Hal ini dikarenakan kemungkinan bahwa adanya hubungan pasangan partisipan dengan hasil kesiapan menikah pada partisipan.

Bagi ahli-ahli yang melakukan konseling pada bidang keluarga, pernikahan, dan pranikah dapat menggunakan hasil penelitian ini di saat menemukan adanya klien yang pernah menyaksikan orangtuanya berkonflik dan memiliki ketakutan bahwa hal tersebut dapat berdampak pada hal-hal yang bersangkutan dengan kesepakatan memiliki anak dan cara pengasuhan nantinya. Klien dapat diinformasikan bahwa hal tersebut tidak berhubungan. Walaupun hal tersebut tidak berhubungan, namun individu perlu berhati-hati bila nantinya memliki anak, karena pada praktiknya terdapat kecenderungan untuk melakukan

kebiasaan-kebiasaan yang otangtua lakukan dulunya. Para ahli juga dapat menggali lebih dalam persepsi klien khusus pada faktor self-blame mengenai konflik interparental yang disaksikan, bila menemukan klien yang memiliki masalah pada kesepakatan dengan pasangan mengenai minat dan pemanfaatan waktu luang.

Bagi individu yang memiliki permasalahan yang bersangkutan dengan konflik interparental dapat membaca hasil penelitian ini sebagai bahan dasar nantinya bila ingin menikah. Individu yang memiliki masalah serupa juga dapat mengisi kuesioner kesiapan menikah agar dapat mulai mengevaluasi diri sendiri, pasangan dan juga hubungan dengan pasangan bila memang sudah merencanakan untuk menikah di kemudian hari. Individu juga dapat mengisi kuesioner persepsi mengenai konflik interparental untuk membantu

mengekspresikan perasaannya mengenai konflik interparental yang telah disaksikan.

Individu yang pernah melihat orangtuanya bertengkar, perlu mengevaluasi dirinya mengenai persepsi akan self-blame. Bila memang individu mempersepsikan dirinya yang menjadi alasan orangtuanya berkonflik, diharapkan mengatasai persepsi tersebut sebelum menikah, karena hal tersebut dapat berhubungan dengan kesiapan menikah individu.

Individu yang memiliki pasangan dengan latar belakang keluarga dengan orangtua yang berkonflik juga dapat

membaca hasil penelitian ini untuk lebih mengerti pandangan dan perasaan pasangannya. Bagi orangtua yang membaca hasil penelitian ini, dapat lebih memahami persepsi dan perasaan individu yang

menyaksikan orangtuanya berkonflik. Sangat disarankan untuk tidak berkonflik di depan anak, karena dapat menyebabkan anak menyalahkan diri sendiri akan konflik yang terjadi.

REFERENSI

Amato, P. R., & Booth, A. (2001). The Legacy of Parents' Marital Discord: Consequences for Children's Marital Quality. Journal of Personality and Social Pyschology, 627-638.

Amato, P. R., & Sobolewski, J. M. (2001). The Effect of Divorce and Marital Discord on Adult Children's Psychological Well-Being. American Sociological Review, 900-921.

Arnett, J. J. (2004). Emerging Adulthood: The Winding Road From the Late Teens Through the Twenties. New York: Oxford University Press.

Arnett, J. J. (2015). Emerging Adulthood: The Winding Road from Late Teens Through The Twenties. New York: Oxford University Press.

BA. (2015, Februari 17). Konflik Interparental dan Kesiapan Menikah. (P. Saraswati, Interviewer) Bandura, A. (1971). Social Learning Theory. New York, United States of America.

Buehler, C., & Gerard, J. (2002). Marital conflict, ineffective parenting, and children's and adolescents maladjustment. Journal of Marriage and the Family, 78-93.

Cui, M., Fincham, F. D., & Pasley, B. K. (2008). Young Adult Romantic Realtionship: The Role of Parents' Marital Problems and Relationship Efficacy. Personality and Social Psychology Bulletin, 1226-1235. Cui, M., Wickrama, K. A., Lorenz, F. O., & Conger, R. D. (2010). Romantic Relationship in Emerging

(7)

Cummings, E. M., & Davies, P. T. (2010). Marital Conflict and Children: An Emotional Security Perspective. New York: The Guilford Press.

Cummings, M. E., Davies, P. T., & Simpson, K. S. (1994). Marital Conflict, Gender, and Children's Appraisals and Coping Efficacy as Mediators of Child Adjustment. Journal of Family Psychology, 141-149.

DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationship, Marriages & Families (7th ed.). New York: McGraw-Hill. Explorable.com. (2009, Mei 17). Explorable.com. Retrieved April 5, 2015, from Non-Probability Sampling:

https://explorable.com/non-probability-sampling

Fear, J. M., Champion, J., Reeslund, K. L., Forehand, R., Coletti, C., Roberts, L., et al. (2009). Parental Depression and Interparental Conflict: Children and Adolescents' Self-Blame and Coping Responses. Journal of Family Psychology, 762-766.

Fincham, F. D. (2013). Measurement Instrument Database for the Social Science. Retrieved Februari 5, 2015, from Children's Perception of Interparental Conflict (CPIC): www.midss.ie

Fotineri, U. (2013). Hubungan antara Sikap terhadap Pernikahan dan Kesiapan Menikah Pada Dewasa Muda dari Keluarga Bercerai. Thesis. Depok, Indonesia: Universitas Indonesia.

Fowers, B., & Olson, D. H. (1992). Four Types of Premarital Couples: An Empirical Typology Based on PREPARE. Journal of Family Psychology, 10-21.

Ghalili, Z., Etemadi, O., Ahmadi, S. A., Fatehizadeh, M., & Abedi, M. R. (2012). Marriage Readiness Criteria among Young Adults of Isfahan: A Qualitative Study. Interdisciplinary Journal of Contemporary Research in Business, 1076-1083.

Gravetter, F. J., & Forzano, L.-A. B. (2012). Research Method for the Behavioral Sciences. Wadsworth, Cengage Learning.

Grych, J. H., & Fincham, F. D. (1990). Marital Conflict and Children's Adjustment: A Cognitive-Contextual Framework. Psychological Bulletin, 267-290.

Grych, J. H., Fincham, F. D., Jouriles, E. N., & McDonald, R. (2000). Interparental Conflict and Child Adjustment: Testing the Mediational Role of Appraisals in the Cognitive-Contextual Framework. Child Development, 1648-1661.

Grych, J. H., Seid, M., & Fincham, F. D. (1992). Assessing Marital Conflict from the Child's Perspective: The Children 's Perception of Interparental Conflict Scale. Child Development, 558-572.

Holman, T. B., & Li, B. D. (1997). Premarital Factors Influencing Perceived Readiness for Marriage. Journal of Family Issues, 124-144.

Keeports, C. R., & Pittman, L. D. (n.d.). Interparental Conflict, Young Adult Adjustment, and Appraisals Among Emerging Adults. Illinois, United States of America.

Kumar, R. (2005). Research Methodology. London: Sage Publication.

Lauer, R., & Lauer, J. (2011). Marriage and Family: The Quest for Intimacy. United State of America: McGraw-Hill.

Lodico, M. G., Spaulding, D. T., & Voegtle, K. H. (2006). Methods in Educational Research: from Theory to Practice. San Fransisco: John Wiley & Sonc, Inc.

M. (2015, Februari 16). Konflik Interparental dan Kesiapan Menikah. (P. Saraswati, Interviewer) MB. (2015, Februari 26). Konflik Interparental dan Kesiapan Menikah. (P. Saraswati, Interviewer) McCoy, K., Cummings, E. M., & Davies, P. T. (2009). Constructive and Destructive Marital Conflict,

Emotional Security and Children's Prosocial Behavior. J Child Psychol Psychiatry, 270-279. Miller, R. S., Perlman, D., & Brehm, S. S. (2007). Intimate Relationships. New York: McGraw-Hill. Moura, O., Santos, R. A., Rocha, M., & Matos, P. M. (2010). Children’s Perception of Interparental Conflict

Scale: Factor Structure and Invariance Across Adolescents and Emerging Adults. International Journal of Testing, 364-382.

Olson, D. H., & Olson, A. K. (1999). PREPARE/ENRICH Program: Version 2000. In R. Berger, & M. Hannah, Handbook of Preventative Approaches in Couple Therapy (pp. 196-216). New Yowk: Brunner/Mazel, Inc.

Ottaway, A. (2010). The Impact of Parental Divorce on the Intimate Relationships of Adult Offspring: A Review of the Literature. Graduate Journal of Counseling Psychology, 36-50.

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. New York: McGRaw-Hill. Priyatno, D. (2014). Pengolahan Data Terpraktis. Yogyakarta: Mediakom.

(8)

Ross, J. (2007). Parental Attachment, Interparental Conflict, and Late Adolescents' Emotional Adjustment: The Associations with Social Functioning. New York, United States of America.

Rumsey, D. J. (2011). Statistics for Dummies. Canada: Wiley Publishing, Inc.

SA. (2015, Februari 14). Konflik Interparental dan Kesiapan Menikah. (P. Saraswati, Interviewer)

Shurts, W. M., & Myers, J. E. (2012). Relationships Among Young Adults' Marital Messages Received, and Relationship Self-Efficacy. Adultspan Journal, 97-111.

Suherni. (2014, 10 16). Konsultasi. Retrieved July 26, 2015, from Detik Health:

http://health.detik.com/read/2014/10/16/135016/2720625/1614/ingin-berumah-tangga-tapi-dihantui-trauma-perceraian-orang-tua

Wiryasti, C. H. (2004, Maret 19). Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah. Thesis. Depok, Jawa Barat, Indonesia: Universitas Indonesia.

RIWAYAT PENULIS

Puti Saraswati, lahir di kota Jakarta pada 26 Januari 1995. Penulis menamatkan pendidikan S1 di Universitas Bina Nusantara dalam bidang Psikologi pada 2015.

Referensi

Dokumen terkait

Berkatilah semua orang yang terlibat dalam perayaan Hari Orang Muda Katolik, berikanlah kami hari-hari yang cerah, sukacita dan penuh berkah, lindungilah persiapan, pelaksanaan

OM Berasal dari Kata AUM atau singkatan dari kata ANG UNG dan MANG yang merupakan aksara suci dari Tuhan yang Maha Esa dalam wujud Dewa Trimurti (Brahma = Ang, Wisnu = Ung, dan Siwa

5.7 Tanah, Gedung, dan Perlengkapannya Cake and Cone memilih lokasi yang berdekatan dengan Sekolahan sampai Univesitas agar memudahkan distribusi produk ke konsumen yang

yang dilakukan oleh orang tua dan guru yaitu mengajarkan bicara pada anak, namun. hambatan yang sering terjadi pada saat mengajarkan bicara pada anak yaitu

Pengembangan desain tokoh merupakan sebuah upaya yang dilakukan untuk menonjolkan keunikan dan karakter dari sebuah tokoh, akan tetapi pengembangan tokoh juga harus

Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah

kepercayaan (α) 5%, menunjukan bahwa keinginan untuk mengurangi kemacetan, tingkat pendidikan, rata-rata pengeluaran bahan bakar, tingkat pendapatan, dan durasi terkena