• Tidak ada hasil yang ditemukan

VII. KARAKTERISTIK MEDIA CETAK DALAM PROSES ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI. Media cetak brosur diartikan sebagai barang yang tercetak atau media cetak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VII. KARAKTERISTIK MEDIA CETAK DALAM PROSES ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI. Media cetak brosur diartikan sebagai barang yang tercetak atau media cetak"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

VII. KARAKTERISTIK MEDIA CETAK DALAM PROSES ADOPSI DAN DIFUSI INOVASI

7.1. Karakteristik Media Cetak Brosur

Media cetak brosur diartikan sebagai barang yang tercetak atau media cetak yang bentuknya seperti buku yang berkisar 10–50 halaman, pada umumnya menyajikan satu topik bahasan yang disajikan secara mendetail. Media cetak brosur merupakan media cetak yang ditujukan pada perubahan pengetahuan, motivasi dan sikap. Media cetak ini ditujukan melengkapi dan memperkuat metode penyuluhan yang lain yang mempublikasikan informasi pertanian kepada petani. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan karakteristik media cetak brosur adalah (a) bahasa yang mudah dipahami, (b) sesuai kebutuhan dan (c) penyajian yang menarik.

7.1.1. Bahasa yang mudah dipahami

Media cetak brosur dikatakan tidak mudah dipahami jika tanggapan dari peternak memperoleh skor 1 – 4,64, dikatakan kurang dipahami jika tanggapan dari peternak memperoleh skor 4,65 – 8,20 dan dikatakan mudah dipahami jika tanggapan peternak memperoleh skor 8,21 – 12.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa isi media cetak brosur yaitu bahasa yang mudah dipahami, sebagian besar peternak menyatakan mudah dipahami yaitu sebanyak 46 jiwa (61,33 %). Hal ini disebabkan karena sebagian besar peternak yang mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi yaitu tamat SMTA, sarjana muda dan sarjana. Kemudian kurang dipahami sebanyak 20 jiwa (26,67 %) dan hanya 9 jiwa (12 %) peternak menyatakan tidak mudah dipahami.

(2)

Hal ini disebabkan karena hanya sedikit peternak yang mempunyai tingkat pendidikan yaitu SD dan SLTP. Untuk lebih jelasnya data tentang tanggapan peternak terhadap bahasa yang mudah dipahami dapat disajikan pada Tabel 7.1.

Tabel 7.1. Distribusi tanggapan peternak terhadap bahasa yang mudah dipahami di Kota Kendari Tahun 2003

No. Kategori Jumlah Skor Jumlah peternak (jiwa) Persentasse (%) 1. Tidak dipahami 1- 4,64 9 12,00 2. Kurang dipahami 4, 65 – 8,20 20 26,67 3. Mudah dipahami 8,21 – 12 46 61,33 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer

7.1.2. Sesuai kebutuhan

Sesuai kebutuhan diartikan bahwa media cetak brosur yang dibaca oleh peternak sesuai dengan kebutuhan yang ada. Artinya media cetak brosur yang akan diterima oleh peternak harus sesuai dengan kebutuhan yang ada di lapangan. Oleh karena itu dalam penyusunan isi/materi perlu dirancang untuk dapat memfasilitasi keterlibatan aktif petani, mulai dari proses pengidentifikasian potensi wilayah (agroekosistem) sampai dengan pada penyusunan program. Dalam hal pendistribusian agar dapat meningkatkan daya guna dan hasil guna pesan inovasi yang akan disebarkan, harus disesuaikan dengan situasi dan kondisi perilaku segmen kelompok sasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 43 jiwa (57 %) peternak menyatakan bahwa isi/materi media cetak brosur sesuai kebutuhan.

(3)

Kemudian peternak yang menyatakan kurang sesuai kebutuhan sebanyak 28 jiwa (37,33 %) dan selanjutnya tidak sesuai dengan kebutuhan sebanyak 4 jiwa (5,33 %). Untuk lebih jelasnya dapat disajikan pada Tabel 7.2.

Tabel 7.2. Tingkat kesesuaian kebutuhan isi/materi media cetak brosur di Kota Kendari Tahun 2003

No. Kategori kesesuaian Jumlah skor

Jumlah peternak (jiwa)

Persentase (%)

1. Tidak sesuai kebutuhan 1 – 3.66 4 5,33

2. Kurang sesuai kebutuhan 3,67 – 6.33 28 37,33

3. Sesuai kebutuhan 6,34 – 9 43 57,33

J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer

7.1.3. Penyajian yang menarik

Penyajian yang menarik diartikan bahwa isi/materi yang disajikan dalam media cetak brosur bentuknya menarik untuk dibaca. Bentuknya menarik dalam artian bahwa penyajian yang menarik menggunakan illustrasi foto/gambar dan kertas yang baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 33 jiwa (44 %) peternak menyatakan media cetak brosur penyajian yang menarik, kemudian 32 jiwa (42,67 %) peternak menyatakan kurang menarik dan hanya 10 jiwa (13,33) peternak menyatakan penyajian tidak menarik. Untuk lebih jelasnya data tentang penyajian media cetak brosur dapat disajikan pada Tebel 7.3.

Tabel 7.3. Tingkat penyajian media cetak brosur di Kota Kendari Tahun 2003 No. Kategori penyajian Jumlah skor

Jumlah peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Tidak menarik 3 – 4 10 13,33 2. Kurang menarik 5 – 7 32 42,67 3. Menarik 8 – 9 44 44,00 J u m l a h 75 100

(4)

7.2. Analisis Pengaruh Media Cetak Brosur

Karakteristik media cetak brosur (bahasa yang mudah dipahami, sesuai kebutuhan, dan penyajian yang menarik) dapat mempengaruhi pengetahuan, motivasi kerja, dan sikap peternak dengan menggunakan analisis regresi linear.

7.2.1. Analisis regresi

Analisis regresi karakteristik media cetak brosur (bahasa yang mudah dipahami, sesuai kebutuhan, dan penyajian yang menarik) masing-masing diregresikan dengan pengetahuan, motivasi kerja, dan sikap peternak, disajikan pada Tabel 7.4.

Tabel 7.4. Hasil analisis regresi karekteristik media cetak brosur terhadap pengetahuan, motivasi kerja, dan sikap peternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

Pengetahuan Motivasi Sikap

Nama Variabel Koefisien Regresi t – hitung Koefisien Regresi t – hitung Koefisien Regresi t – hitung Bahasa yang mudah

dipahami Sesuai kebutuhan Penyajian Menarik Konstanta -0.423 ** -0.233 ns -0.293 ns 11.995 *** -2.14 -0.703 -0.915 5.482 0.188 ns 0.121 ns 0.163 ns 4.499 *** 1.643 0.634 0.878 3.558 0.603 * 0.138 ns 0.786 ns 24.850 *** 1.989 0.273 1.605 7.471 R2 F-hitung Durbin-Watson 0.164 4.631 *** 2.266 0.119 3.206 ** 1.991 0.175 5.003 *** 1.780 Sumber: Analisis Data Primer

Keterangan :

*** : Signifikan pada taraf signifikansi 99% ** : Signifikan pada taraf signifikansi 95% * : Signifikan pada taraf signifikansi 90% ns : Tidak signifikan pada taraf signifikansi 90-99%

(5)

7.2.1.1. Bahasa yang mudah dipahami

Berdasarkan Tabel 7.4. nampak bahwa nilai determinasi (R2) sebesar 0.164, memberikan arti bahwa 16,4 % variasi dari variabel dependen (pengetahuan peternak) dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu bahasa yang mudah dipahami, sedangkan sisanya 83,6 % variasi variabel dependen dijelaskan variabel diluar model.

Selanjutnya nilai determinan (R2) sebesar 0,119 memberikan arti bahwa 11,9 % variasi dari variabel dependen (motivasi kerja) dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu bahasa yang mudah dipahami, sedangkan sisanya 88, 1 % variasi variabel dependen dijelaskan variabel diluar model.

Demikian pula dengan nilai determinan (R2) sebesar 0,175 memberikan arti bahwa 17, 5 % variasi dari variabel dependen (sikap peternak) dapat dijelaskan oleh variabel independen yaitu bahasa yang mudah dipahami, sedangkan sisanya 82,5 % variasi variabel dependen dijelaskan variabel diluar model.

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.4. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel bahasa yang mudah dipahami diregresikan dengan pengetahuan, (t-hitung 2,14)

lebih besar dari (t-tabel 1,999) berarti signifikan pada tingkat signifikansi 95 %, yang

mempunyai arti bahwa bahasa yang mudah dipahami berpengaruh terhadap pengetahuan peternak. Sementara berdasarkan hasil analisis koefisien regresi terhadap pengetahuan peternak berada pada daerah penolakan (negatif), yang berarti semakin mudah dipahami bahasanya maka tingkat pengetahuannya tetap.

Hal ini disebabkan; peternak jarang membaca brosur; sebagian besar tingkat pengetahuan peternak yang sudah tinggi sehingga membaca brosur tidak menambah

(6)

pengetahuan; peternak hanya membaca brosur tetapi tidak mendalami/menelaah isinya; peternak ingin mempraktekan pengalaman yang diperoleh dari sesama peternak sehingga brosur yang dibaca/diterima tidak menambah pengetahuan.

Selanjutnya untuk variabel bahasa yang mudah dipahami diregresikan dengan motivasi, (t-hitung 1,643) lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak signifikan pada

tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa bahasa yang mudah dipahami tidak berpengaruh terhadap motivasi kerja. Hal ini disebabkan karena; peternak jarang membaca brosur; brosur yang selama ini beredar tidak memberikan efek pendapatan, karena berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa, +10 tahun harga ternak ayam broiler relatif sama (tetap) yaitu Rp. 12.000 per ekor; pekerjaan beternak ayam broiler merupakan pekerjaan sampingan. Hasil analisis koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan terhadap variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap motivasi kerja.

Demikian pula dengan variabel bahasa yang mudah dipahami diregresikan dengan sikap peternak, (t-hitung 1,989) lebih besar dari (t-tabel 1,667) berarti signifikan

pada tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa bahasa yang mudah dipahami berpengaruh terhadap sikap peternak. Sementara berdasarkan hasil analisis koefisien regresi terhadap sikap peternak berada pada daerah penerimaan (positif), hal ini menunjukkan bahwa semakin mudah dipahami bahasanya maka semakin positif sikap peternak.

Hasil analisis deskriptif mengenai bahasa yang mudah dipahami menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (61,33 %; Tabel 7.4.) menyatakan

(7)

bahasanya mudah dipahami, sehingga berpengaruh secara signifikan terhadap pengetahuan peternak. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsey dan Hearne (1995) (dalam Kushartanti, 2001) menyatakaan bahwa dalam pembuatan isi pesan harus mudah dibaca, disampaikan dengan bentuk pendek, sederhana namun jelas maksudnya, menghindari penggunaan istilah-istilah yang sulit dan tidak dimengerti sasaran. Sejalan dengan pendapat di atas, maka Ban & Hawkins (1996) menyatakan bahwa agar media cetak efektif dimanfaatkan oleh sasaran maka perlu disajikan dalam bentuk yang mudah dimengerti yaitu menggunakan bahasa yang sederhana/setingkat dengan kemampuan daya serab sasaran dan disajikan secara sistematis. Selanjutnya Hanafi (1984) menyatakan bahwa untuk meningkatkan keefektifan media cetak maka salah satu faktor yang perlu diperhatikan adalah penyampaian pesan hendaknya mudah dimengerti oleh sasaran. Hal ini dapat diartikan bahwa bahasa yang mudah dipahami akan dapat mengubah pola sikap peternak, kalau sesuai dengan daya serab peternak atau inovasi yang akan diterapkan dapat memberdayakan ekonominya.

7.2.1.2. Sesuai kebutuhan

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.4. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel sesuai kebutuhan yang diregresikan dengan pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak dimana diperoleh (t-hitung masing-masing 0,703, 0,634, dan 0,138)

lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak signifikan pada tingkat signifikansi 90 %,

yang mempunyai arti bahwa sesuai kebutuhan tidak berpengaruh. Hal ini nilai koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau

(8)

penurunan penggunaan variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak.

Dari hasil analisis deskriptif sesuai kebutuhan menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (57,33 %; Tabel 7.4) menyatakan sesuai kebutuhan, tetapi tidak signifikan secara statistik. Sehubungan dengan hal tersebut dapat diartikan walaupun peternak menerima atau setuju bahwa media cetak brosur sesuai kebutuhan ternyata tidak menjamin untuk mempengaruhi pengetahuan peternak, motivasi kerja dan sikap peternak. Hal ini disebabkan (1) sebagian besar peternak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi, (2) peternak suka membaca koran, (3) mendapatkan informasi dari teman-teman peternak dan dari penyuluh pertanian, serta (4) media televisi dan radio sehingga membaca maupun tidak membaca media cetak brosur tidak berpengaruh terhadap pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak. 7.2.1.3. Penyajian yang menarik

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.4. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel penyajian yang menarik diregresikan dengan pengetahuan, motivasi kerja, dan sikap peternak dimana diperoleh masing-masing (t-hitung 0,915, 0,878, dan 1,605)

lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak signifikan pada tingkat signifikansi 90 %,

yang mempunyai arti bahwa penyajian yang menarik tidak berpengaruh. Hal ini nilai koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan penggunaan variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak.

(9)

Hasil analisis deskriptif penyajian yang menarik menunjukkan bahwa (44 %; Tabel 7.4) peternak menyatakan penyajian yang menarik, tetapi tidak signifikan. Berhubungan dengan ini dapat diartikan walaupun peternak menerima atau setuju bahwa media cetak brosur penyajian yang menarik ternyata tidak menjamin untuk mempengaruhi pengetahuan peternak, motivasi kerja dan sikap peternak. Hal ini sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwasanya (1) sebagian besar peternak mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi (2) peternak yang suka membaca koran, (3) mendapatkan informasi dari teman-teman peternak dan dari penyuluh pertanian, serta (4) media televisi dan radio sehingga membaca dan tidak membaca media cetak brosur tidak berpengaruh terhadap pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak. Selain itu tidak berpengaruhnya karena antara variabel “sesuai kebutuhan dan penyajian yang menarik” saling mempengaruhi, dimana bila sesuai kebutuhan harus diikuti oleh penyajian yang menarik demikian pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsey dan Hearne (1995) (dalam Kushartanti, 2001), Ban & Hawkins, (1996), Hanafi (1984) yang pada intinya dapat disimpulkan bahwa media cetak efektif bagi sasaran bila sesuai kebutuhan (penyajian isi/topik pesan dengan sasaran), selanjutnya penyajian yang menarik harus disesuaikan dengan kebutuhan atau daya serab sasaran dan dapat dimengerti oleh sasaran.

(10)

7.3. Tingkat Adopsi Inovasi Beternak Ayam Broiler

Tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler dinilai dari empat komponen inovasi dengan menggunakan teknik skoring.

(11)

Komponen inovasi yang dimaksud adalah (1) penggunaan bibit, (2) pengandangan, (3) pakan, dan (4) pemeliharaan, dengan menggunakan metode skala Thustone. Hasil penelitian tentang distribusi tingkat adopsi beternak ayam broiler di Kota Kendari dapat disajikan pada Tabel 7.5.

Tabel 7.5. Distribusi peternak menurut tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Kategori Jumlah Skor Jumlah Peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Adopsi rendah 0 – 24 35 46,67 2. Adopsi tinggi 25 – 50 40 53,33 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer .

Sedangkan keragaan tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler dilihat dari masing-masing komponen yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi dapat disajikan pada Tabel 7.6.

Tabel 7.6. Keragaan tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Komponen Inovasi Skor maksimum Skor perolehan Persentase (%) 1. Penggunaan bibit 18 14 77,78 2. Pengandangan 8 6 75,00 3. Pakan 6 6 100,00 4. Pemeliharaan 18 13 72,22 J u m l a h 50 39 78,00

Sumber: Analisis Data Primer.

Dari Tabel 7.6. nampak bahwa tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler berada kategori adopsi tinggi yaitu sebanyak 40 jiwa (53,33 %), dengan skor perolehan 25-50 dan 35 jiwa (46,67 %) dengan skor perolehan 0–24 berada pada kategori adopsi rendah. Dengan demikian menunjukkan bahwa komponen inovasi

(12)

beternak ayam broiler yang diintroduksi terjadi perbedaan tingkat adopsi oleh petani. Hal ini disebabkan oleh perbedaan karakteristik dari masing-masing peternak, namun sebagian besar sudah menerapkan inovasi beternak ayam broiler, sedangkan berdasarkan pada Tabel 7.6. terlihat bahwa komponen penggunaan benih dengan perolehan skor rata-rata 14 (77,78 %), komponen pengandangan dengan perolehan skor rata-rata 6 (75,00 %), komponen pakan dengan perolehan skor rata-rata 6 (100 %), komponen pemeliharaan dengan perolehan skor rata-rata 13 (72,22 %). Keseluruhan pencapaian skor keempat komponen inovasi tersebut adalah 39 (78 %) sedangkan untuk skor maksimum apabila keempat komponen inovasi tersebut diintroduksi secara keseluruhan adalah skor 50 (100 %). Berdasarkan skor dari keempat komponen inovasi yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi skor perolehan 39 (78 %) maka dapat disimpulkan bahwa tingkat adopsi peternak ayam broiler termasuk dalam kategori adopsi tinggi.

Tingginya tingkat adopsi inovasi dapat dilihat pada komponen inovasi pakan, namun masih terdapat kekurangan atau kelemahan pada komponen inovasi lain yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler yaitu:

(1). Penggunaan bibit

Bibit yang digunakan di Kota Kendari terdiri atas 3 jenis bibit (strain) yang beredar yaitu (a) Strain Lohman 202, (b) strain bubbard 707, (c) strain Wanokoyo, dimana ketiga strain tersebut tentunya mempunyai keungulan dan kekurangan tergantung kepada peternak.

(13)

Berdasarkan hasil penelitian rendahnya penerapan komponen inovasi penggunaan bibit dikarenakan peternak paham tentang jenis dan ciri bibit yang baik/unggul namun peternak tidak ada pilihan lain hanya menerima apa yang mereka terima di tempat tanpa harus ke toko penyedia bibit. Hal ini disebabkan karena petani sibuk dengan pekerjaan rutin mereka sehingga tidak ada waktu luang yang banyak untuk memilihan bibit yang ada. Selain itu juga mempertimbangkan ongkos transpor ke toko penyedia bibit dan takut akan resiko kematian di perjalanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Blanckenburg dan sachs (dalam Azwardi 2001) menyatakan bahwa perilaku petani dalam menghadapi resiko ditentukan oleh konflik antara kecenderungan aman dan kecenderungan berhasil berdasarkan suatu hirarki tujuan, dan berasumsi bahwa tujuan tertinggi dalam berusahatani adalah terjaminnya usaha dan terjaminnya stabilitas, maka keputusan optimal yang diambil ternyata lebih cenderung keamanan dari pada hasil.

(2). Pengandangan

Berdasarkan hasil penelitian umumnya komponen teknologi pengandangan telah sesuai anjuran seperti jenis, bentuk, cara penempatan dan konstruksi kandang namun ada komponen lain yaitu pemilihan lokasi kandang yang belum sesuai rekomendasi, hal ini karena terbatas lahan sehingga mereka memanfaatkan lahan pekarangan yang mereka milik. Sesuai rekomendasi pemilihan lokasi minimal 5 m dan sedapat mungkin jauh dari pemukiman penduduk karena selain baunya yang mengganggu tetangga juga sifat ternak itu sendiri yang mudah stress, tidak tahan terhadap kebisingan. Sementara di lokasi penelitian pada umumnya peternak

(14)

memanfaatkan lahan pekarangan sebagai tempat beternak bahkan kandang bersambung dengan induk rumah mereka.

(3). Pakan

Berdasarkan hasil penelitian komponen teknologi pakan peternak telah sepenuhnya menerapkan sesuai anjuran (pemberian pakan butiran, konsentrat dan pemberian vitaman lengkap). Penerapan komponen pakan disebabkan karena peternak memahami benar bahwa keberhasilan berusaha ternak (kecepatan pertumbuhan) umumnya dipengaruhi oleh konsumsi pakan yang digunakan. Hal ini sesuai dengan pendapat Saragih (2000) yang menyatakan bahwa produktivitas ayam ras (broiler) sangat tergantung pada pakan (kualitas, tempat, waktu, baik secara teknis maupun secara ekonomis). Selanjutnya dikatakan bahwa produktivitas akan diperoleh bila dipenuhi 4 (empat) tepat yaitu tepat jumlah, tepat mutu, tepat waktu, tepat tempat dan konsumsi pakan yang efisien. Oleh karena itu semakin lengkap pakan diberikan maka semikin cepat berproduksi, juga dengan pakan yang sempurna memungkinkan tahan terhadap serangan penyakit. Jika tidak ayam broiler mempunyai titik waktu optimum untuk dipanen, keterlambatan waktu pemanenan akan meningkatkan biaya pemeliharaan secara tepat, mengingat umur ayam broiler yang relatif pendek (28 hari) sudah bisa dipanen maka pakan bagi petani merupakan hal yang penting, sehingga petani tidak tanggung-tanggung membeli pakan (butiran, konsentrat dan vitamin) yang diperjualbelikan dipasaran sesuai rekomendari, tanpa harus mengemas sendiri.

(15)

(4). Pemeliharaan

Berdasarkan hasil penelitian komponen inovasi pemeliharaan sebagian besar telah menerapkan sesuai anjuran (melakukan sanitasi, vaksinasi, dan pemberian obat pencegahan) namun masih dalam ketegori yang rendah. Rendahnya tingkat adopsi inovasi pemeliharaan khusus vaksinasi dan pemberian obat) hal ini disebabkan karena tanggapan sebagian peternak bahwa vaksinasi dan pemberian obat, tidak perlu karena ayam broiler umurnya pendek dan hanya pemborosan biaya, pada hal dengan vaksinasi dapat memberi daya tahan terhadap serangan penyakit, sedangkan pemberian obat dapat menyembuhkan penyakit paling tidak dapat mengurangi tingkat kematian. Dengan demikin petani enggan menerapkan teknologi yang sifatnya pencegahan.

Sejalan dengan hal tersebut Rogers (dalam Hanafi, 1986) menyatakan bahwa inovasi teknologi bersifat preventif (pencegahan) biasanya kecepatan adopsi teknologinya rendah, karena keuntungan relatif dari inovasi preventif tersebut sulit didemonstrasikan manfaatnya oleh penyuluh/petugas kepada kliennya, karena hasilnya baru dapat dirasakan pada masa yang akan datang. Demikian pula dengan vaksinasi dapat membuat kekebalan terhadap penyakit juga dapat memacu pertumbuhan ternak. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian De Zeew (1973/1974) (dalam Wiharto, 1985) terhadap experimen 375.000 ayam broiler sebagaimana dilihat pada Tabel 7.7.

(16)

Tabel 7.7. Deskripsi perbedaan ayam broiler yang divaksin dan tidak divaksin Tahun 1985

No. Deskripsi Tidak

divakksin

Divaksin Perbedaan 1. Ayam berbadan sehat 95,2 % 96,8% 1,6 % 2. Pertumbuhan ayam 27,58 % 31,18 % 3,6 %

3. Konversi ransum 2,032 % 1,99 % 0,04 %

Sumber: Petunjuk Beternak Ayam.

Berdasarkan Tabel 7.7. nampak bahwa terjadi perbedaan yang signifikan pada ternak ayam broiler yang divaksin dan pada ternak ayam yang tidak divaksin terutama pada ayam berbadan sehat dengan perbedaan (1, 6 %), pertumbuhan ayam (3,6 %) dan konversi ransum (0,04 %).

Untuk mengetahui diterima tidaknya hipotesis kedua (lihat Tabel 7.5. dan Tabel 7.6.) dimana diketahui bahwa dari 75 peternak sebanyak 40 jiwa (53,33 %) termasuk dalam kategori tingkat adopsi tinggi dan 35 jiwa peternak (46,67 %) termasuk dalam kategori tingkat adopsi rendah. Selanjutnya setelah dilakukan uji parameter proporsi, diperoleh bahwa nilai Z-hitung sebesar 0.572. Hasil pengujian hipotesis kedua membuktikan bahwa Z-hitung (0.572) lebih kecil dari Z-tabel pada tingkat signifikansi 95 % (1,645), hal ini menunjukkan bahwa H0 diterima dan Ha ditolak. Dengan demikian hanya sebagian kecil atau kurang dari 50 % peternak mempunyai tingkat adopsi yang tinggi.

Adanya perbedaan pada analisis deskriptif dan pada uji proporsi adopsi inovasi beternak ayam broiler karena secara statistik tidak berbeda nyata, sehingga varian nilai 53,33 % dianggap sama dengan nilai 50 %.

(17)

7.4. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Adopsi Inovasi 7.4.1. Analisis deskriptif

Petani dalam mengadopsi suatu inovasi beternak ayam broiler dipengaruhi oleh faktor internal petani (pengetahuan, motivasi kerja dan sikap peternak) dan faktor lain (tingkat pendidikan, pengalaman, tenaga kerja, modal, ketersediaan sarana produksi dan pasar).

7.4.1.1. Pengetahuan peternak

Pengetahuan peternak diartikan sebagai pemahaman dan penilaian terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Pengetahuan peternak merupakan dorongan dasar untuk ingin tahu, mencari penalaran, dan mengorganisasikan pengalamannya terhadap komponen inovasi beternak ayam broiler. Untuk lebih jelasnya tingkat pengetahuan peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari dapat dilihat pada Tabel 7.8.

Tabel 7.8. Distribusi tingkat pengetahuan peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Klasifikasi Pengetahuan Skor Jumlah Peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Tetap 0 – 5,32 47 62,67 2. Bertambah sedikit 5,33 – 10,65 21 28,00 3. Bertambah banyak 10,66 – 16 7 9,33 J u m l a h 75 100

Sumber. Analisis Data Primer.

Pada Tabel 7.8. dapat diketahui bahwa sebagian besar peternak yaitu 47 jiwa (62,67 %) pengetahuannya tetap, kemudian bertambah sedikit sebesar 21 jiwa (28 %)

(18)

dan hanya 7 jiwa (9,33) pengetahuannya bertambah banyak terhadap komponen inovasi beternak ayam broiler.

7.4.1.2. Motivasi kerja

Motivasi kerja peternak adalah dorongan atau kekuatan pada diri peternak baik dari dalam maupun dari luar sehingga mereka rela dan mau mengikuti tehapan -tahapan dalam mengadopsi inovasi yang dianjurkan. Berdasarkan hasil penelitian motivasi kerja peternak dapat disajikan pada Tabel 7.9.

Tabel 7.9. Distribusi motivasi kerja beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Klasifikasi Motivasi Kerja

Skor Jumlah peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Rendah 2 – 5,32 14 18,67 2. Sedang 5,33 – 8,65 28 37,33 3. Tinggi 8,66 – 12 33 44,00 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer .

Berdasarkan Tabel 7.9. dapat dijelaskan bahwa sebagian besar peternak memiliki motivasi kerja yang tinggi yaitu sebanyak 33 jiwa (44 %), selanjutnya 28 jiwa (37,33) memiliki motivasi kerja sedang dan hanya 14 jiwa (18,67 %) yang memiliki motivasi kerja yang rendah. Jika dilihat secara keseluruhan, maka motivasi kerja peternak yang sesuai anjuran dikategorikan tinggi dengan skor rata-rata 8,04, dengan kisaran skor antara 2 – 12. Hal ini menunjukkan bahwa peternak memiliki dorongan yang kuat untuk menerapkan teknologi yang dianjurkan, agar usaha mereka lebih berkembang dan dapat memenuhi kebutuhan akan protein hewani, serta menambah pendapatan keluarga.

(19)

Motivasi kerja dalam berusaha ternak ayam broiler di daerah penelitian adalah (1) dorongan untuk menambah pendapatan keluarga. Karena peternak sebagian besar telah mempunyai pekerjaan pokok (pegawai negeri sipil dan ABRI) sehingga pekerjaaan beternak hanya sebagai pekerjaan sampingan (lihat pekerjaan pokok peternak, Tabel 6.2). (2) dorongan untuk memenuhi kebutuhan sosial yaitu beternak sebagai wadah kerjasama, saling tukar informasi/pengalaman. Hal ini sesuai dengan teori motivsasi “Alderfer” (ERG) yaitu dari kata existensi, relatedness, dan growth. Menurut teori ini, bahwa mempertahankan existensi seseorang merupakan kebutuhan dasar, yang dalam klasifikasi Maslow berarti terpenuhinya kebutuhan primer termasuk keamanan. Relatedness, yaitu sifat manusia sebagai mahluk sosial, yang dalam klasifikasi Maslow identik dengan kebutuhan sosial dan penghargaan (esteem), dan Growth yaitu merupakan kebutuhan yang pada dasarnya tercermin pada keinginan seseorang untuk bertambah dan berkembang, yang dalam klasifikasi Maslow sebagai aktualisasi diri.

7.4.1.3. Sikap peternak

Sikap peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler adalah kecenderungan yang berasal dari diri peternak yang didasarkan pada pengetahuan yang dia miliki yaitu tanggapan positif atau mendukung (favorable) dan tanggapan tidak mendukung atau negatif (unfavorable) terhadap inovasi tersebut. Sikap peternak dalam hal ini merupakan penilaian terhadap inovasi beternak ayam broiler yang dianjurkan. Untuk lebih jelasnya distribusi sikap peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler dapat disajikan pada Tabel 7.10.

(20)

Tabel 7.10. Distribusi sikap peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Kategori Sikap Skor Jumlah Peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Negatif 22 – 31,65 19 25,33 2. Netral 31,66 – 41,31 39 52,00 3. Positif 41,32 – 51 17 22,67 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Berdasarkan pada Tabel 7.10. menunjukkan bahwa 39 jiwa (52 %) peternak memiliki sikap netral, kemudian ada 19 jiwa (25,33 %) peternak memiliki sikap tidak mendukung (negatif) dan hanya 17 jiwa (22,67 %) memiliki sikap yang mendukung (positif) terhadap inovasi beternak ayam broiler. Dengan demikian secara keseluruhan sikap peternak terhadap inovasi beternak ayam broiler berada pada kategori netral, dengan skor rata-rata 36,64 dengan kisaran 22 – 51, artinya peternak tidak menerima dan menolak terhadap inovasi beternak ayam broiler yang dianjurkan.

7.4.1.4. Tingkat pendidikan peternak

Kemampuan peternak dalam mengelola usahataninya sebagian ditentukan oleh tingkat pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang diharapkan dapat berpikir lebih baik dan mudah menerima inovasi baru khususnya dalam pengembangan usahataninya. Gambaran mengenai keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan peternak dapat disajikan pada Tabel 7.11.

(21)

Tabel 7.11. Keadaan peternak menurut tingkat pendidikan di Kota Kendari Tahun 2003

No Tingkat Pendidikan Jumlah Peternak (jiwa)

Persentase (%)

1. Tamat sekolah dasar 3 4,00

2. Tamat SLTP 4 5,33

3. SLTA 45 60,00

4. Sarjana Muda 8 10,67

5. Sarjana (S1) 15 20,00

J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Dari Tabel 7.11. dapat dilihat bahwa sebagian besar peternak mempunyai tingkat pendidikan SLTA yaitu sebesar 45 jiwa (60 %), selanjutnya berpendidikan sarjana sebesar 15 jiwa (20 %), 8 jiwa (10,67 %) berpendidikan sarjana muda, 4 jiwa (5,33 %) SLTP dan hanya 3 jiwa (4 %) yang berpendidikan sekolah dasar. Dengan demikian peternak secara keseluruhan mempunyai tingkat pendidikan yang tinggi.

7.4.1.5. Pengalaman peternak

Pengalaman peternak diartikan sebagai pengetahuan peternak yang diperoleh melalui rutinitas kegiatan usahatani sehari-hari atau peristiwa yang pernah dialaminya. Peternak dalam mengelola usahataninya tidak terlepas dari pengalaman yang ia dapatkan lalu dijadikan guru dalam setiap kegiatan pengambilan keputusan dan berbagai alternatif yang baik dalam menjalankan setiap kegiatan usahataninya. Pengalaman juga sangat menentukan berhasil tidaknya seorang peternak dalam mengusahakan suatu jenis usahatani dalam hal ini usahatani ternak ayam broiler banyak ditentukan oleh lamanya beternak.

(22)

Untuk lebih jelasnya pengalaman peternak dapat disajikan pada Tabel 7.12. Tabel 7.12. Distribusi pengalaman beternak di Kota Kendari Tahun 2003

No. Pengalaman peternak (tahun) Jumlah peternak (jiwa) Persentase (%) 1. 0,5 – 2,9 34 45,33 2. 3 – 5,4 37 49,33 3. 5,5 – 8 4 5,33 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer .

Tabel 7.12. menunjukkan bahwa sebagian besar peternak yaitu 37 jiwa (49,33 %) telah berpengalaman 3 – 5,4 tahun, selanjutnya 34 jiwa (45,33 %) telah pengalaman 0,5 – 2,9 tahun dan hanya 4 jiwa (5,33 %) telah berpengalaman 5,5 – 8 tahun. Kenyataan ini menggambarkan bahwa sebagian besar peternak telah memiliki pengalaman dasar dalam beternak ayam broiler.

7.4.1.6. Tenaga kerja

Tenaga kerja adalah faktor produksi yang kedua dalam proses produksi pertanian, sedangkan dalam ilmu ekonomi tenaga kerja diartikan sebagai daya manusia untuk melakukan usaha memproduksi benda-benda. Tenaga kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jumlah tenaga kerja keluarga dan diluar keluarga yang aktif bekerja dalam usahatani. Tenaga kerja merupakan sumberdaya manusia yang digunakan dalam melaksanakan usahataninya, terutama yang telah mampu melakukan kegiatan usahatani. Adapun jumlah tenaga kerja yang aktif bekerja dalam beternak ayam broiler dapat disajikan pada Tabel 7.13.

(23)

Tabel 7.13. Distribusi tenaga kerja yang aktif bekerja dalam beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Klasifikasi Tenaga Kerja (jiwa) Jumlah Peternak (jiwa) Persentase (%) 1. 0 – 2 (rendah) 42 56,00 2. 3 – 5 (tinggi ) 33 44,00 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Berdasarkan Tabel 7.13. nampak bahwa 42 jiwa (56 %) peternak mempunyai tenaga kerja rendah yaitu antara 0 – 2 jiwa, dan hanya 33 jiwa (44 %) peternak yang mempunyai jumlah tenaga kerja tinggi. Secara keseluruhan menunjukkan bahwa rata-rata jumlah tenaga kerja peternak sebanyak 3 jiwa dengan kisaran 0 – 5 jiwa. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa jumlah tenaga kerja yang digunakan di daerah penelitian masih dalam kategori rendah.

7.4.1.7. Modal usahatani

Modal merupakan faktor ketiga sesudah faktor alam dan tenaga kerja dalam proses produksi pertanian. Modal umumnya diartikan sebagai barang-barang bernilai ekonomi yang digunakan untuk menghasilkan barang dan jasa.

Modal dalam penelitian ini adalah modal yang digunakan untuk membeli sarana produksi dan upah tenaga kerja dalam proses adopsi inovasi beternak ayam broiler.

Berdasarkan hasil penelitian, menunjukkan bahwa modal yang digunakan dalam berternak ayam broiler dapat disajikan pada Tabel 7.14.

(24)

Tabel 7.14. Distribusi tingkat penggunaan modal beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Tingkat Modal (Rp) Jumlah peternak (jiwa) Persentase (%) 1. 965.000 – 5.021.999 47 62,67 2. 5.022.000 – 9.078.999 16 21,33 3. 9.079.000 – 13.135.999 3 4,00 4. 13.136.000 – 17.192.999 6 8,00 5. 17.193.000 – 21.250.000 4 4,00 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Tabel 7.14. nampak bahwa sebagian besar peternak yaitu sebanyak 47 jiwa (62.67 %) mempunyai kemampuan modal yang rendah yaitu Rp. 965.000 – 5.021.999 dan hanya 4 jiwa (4 %) yang mempunyai modal beternak yang tinggi yaitu antara Rp. 17.193.000 – 21.250.000.

Selanjutnya jika dilihat secara keseluruhan maka rata-rata modal usahatani yang dimiliki peternak sebesar Rp. 6.538.233 dengan kisaran modal antara Rp. 965.000 – 21.250.000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sebagian besar peternak mempunyai modal usahatani yang masih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin besar jumlah ternak yang dimiliki maka semakin sedikit jumlah peternak.

7.4.1.8. Ketersediaan sarana produksi

Ketersedian sarana produksi secara lokal dalam jumlah dan kualitas yang memadai di suatu daerah dapat memperlancar kegiatan beternak; seperti bibit, pengandangan, pakan dan pemeliharaan. Semakin tersedia sarana produksi yang ada maka semakin terpenuhi kebutuhan peternak.

(25)

Adapun keragaan pernyataan peternak tentang ketersediaan sarana produksi dapat disajikan pada Tabel 7.15.

Tabel 7.15. Ketersediaan sarana produksi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Klasifikasi Ketersediaan Sarana Produksi Jumlah peternak (jiwa) Persentase (%) 1. Kurang tersedia ( 0 – 2,66 ) 45 60,00 2. Tersedia ( 2,67 – 5,33 ) 10 13,33 3. Sangat Tersedia ( 5,34 – 8 ) 20 26,67 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Dari Tabel 7.15. menunjukkan bahwa sebagian besar peternak yaitu sebesar 45 jiwa (60 %) menyatakan kurang tersedia, kemudian 10 jiwa (13,33 %) menyatakan tersedia dan 20 jiwa (26,67 %) yang menyatakan sangat tersedia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa ketersediaan sarana produksi (bibit, pengandangan dan pakan) memberi peluang untuk pengembangan usaha ternak ayam broiler.

7.4.1.9. Pasar

Pasar diartikan sebagai proses transaksi antara penjual dan pembeli. Ketersediaan pasar disuatu daerah merupakan salah satu indikator untuk memajukan perekonomian suatu daerah. Dengan adanya pasar diharapkan dapat menunjang kelancaran aktivitas peternak dalam mengelola usahataninya atau dengan kata lain dapat mempermudah penyediaan kebutuhan masyarakat dan pemasaran hasil produksi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku pemasaran hasil produksi ternak ayam broiler dapat dilihat pada Tabel 7.16.

(26)

Tabel 7.16. Perilaku pemasaran ternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003 No. Kategori Pemasaran Skor Jumlah Peternak

(jiwa) Persentase (%) 1. Tidak sesuai/memenuhi 2- 5,32 14 18,67 2. Kurang sesuai/memenuhi 5,33 – 8,65 22 29,33 3. Sesuai/memenuhi 8,66 – 12 39 52,00 J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer.

Dari tabel 7.16. menunjukkan bahwa 39 jiwa (52 %) peternak sesuai/memenuhi harga pasar, kemudian 22 jiwa (29,33 %) peternak kurang sesuai/memenuhi harga pasar dan hanya 14 jiwa (18,67 %) peternak. Dengan demikian sebagian besar peternak 39 jiwa (52 %) sesuai/memenuhi harga pasar yang ditetapkan.

7.4.2. Analisis regresi berganda

Faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi beternak ayam broiler meliputi: pengetahuan, motivasi kerja, sikap, tingkat pendidikan, pengalaman, tenaga kerja, modal, ketersediaan sarana produksi dan pasar, dianalisis menggunakan regresi berganda metode kuadrat terkecil atau ordinary least square (OLS), dengan bantuan komputer melalui program SPSS versi 10, dan analisis jalur (path analysis) program Amos versi 4.01.

Analisis regresi berganda merupakan salah satu uji statistik parametri. Uji statistik ini menuntut persyaratan tertentu antara lain minimal data skala interval dan kontinu (Siegel, 1997). Oleh karena itu maka variabel kualitatif (adopsi inovasi, pengetahuan, motivasi kerja, sikap, sarana produksi, dan pasar) bukan skala interval maka dilakukan proses penentuan skor dengan metode Skala Likert.

(27)

Menurut Suryabrata, (2000), dan Azwar (2002) menyatakan bahwa data yang dihasilkan melalui metode skala Likert didefenisikan sebagai data skala interval.

Hasil analisis berganda faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari dapat disajikan pada Tabel 7.17. Tabel 7.17. Hasil analisis regresi adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No .

Nama Variabel Koefisien regresi t- hitung

1. Pengetahuan (X1) -0,221* -1,758 2. Motivasi kerja (X2) 0,419 ** 2,019 3. Sikap (X3) 0,0092 ns 1,080 4. Tingkat pendidikan (X4) -0,289 * -1,692 5. Pengalaman (X5) 0,0092 ns 0,252 6. Tenaga kerja (X6) -0,767 * -1,723 7. Modal (X7) 0,000000014 ns 1,132 8. Sarana produksi (X8) -0,207 ns -0,831 9. Pasar (X9) 0,350 * 1,842 10. Konstanta 27,005 *** 6,064 R2 0,333 F-hitung 3,607 *** DW (Durbin Watson) 1,640 Sumber: Analisis Data Primer

Keterangan: *** = Signifikan pada tingkat signifikansi 99 % ** = Signifikan pada tingkat signifikansi 95 % * = Signifikan pada tingkat signifikansi 90 % ns = Tidak signifikan pada tingkat signifikansi 90 - 99 %

Berdasarkan Tabel 7.17. nampak bahwa nilai determinasi (R2) sebesar 0.333, memberikan arti bahwa 33,3 % variasi dari variabel dependen (adopsi inovasi beternak ayam broiler) dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independen yaitu pengetahuan (X1), motivasi kerja (X2), sikap (X3), tingkat pendidikan (X4),

(28)

dan pasar (X9), sedangkan sisanya 66,7 % variasi variabel dependen dijelaskan

variabel diluar model.

Untuk mengetahui pengaruh variabel independen secara bersama-sama digunakan uji F, dimana diperoleh (F-hitung 3,607) lebih besar dari (F-tabel 2,70) pada

tingkat signifikansi 99 %, yang berarti variabel independen; pengetahuan, motivsi kerja, sikap, tingkat pendidikan, pengalaman, tenaga kerja, modal, ketersediaan sarana produksi, dan pasar secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel dependen ( tingkat adopsi inovasi) pada tingkat signifikansi 99 %. Dengan demikian hipotesis ketiga yang menyatakan bahwa pengetahuan, motivasi kerja, sikap, tingkat pendidikan, pengalaman, tenaga kerja, modal, ketersediaan sarana produksi dan pasar berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler, dapat diterima atau terbukti.

Untuk mengetahui pengaruh masing-masing variabel independen terhadap adopsi inovasi digunakan uji t. Dari hasil uji t seperti disajikan pada Tabel 7.17. variabel independen secara parsial menunjukkan pengaruh nyata terhadap adopsi inovasi yaitu; pengetahuan (X1) motivasi kerja (X2), tingkat pendidikan (X4), tenaga

kerja (X6), dan pasar (X9), sedangkan variabel independen lainnya seperti; sikap (X3)

pengalaman (X5), modal (X7), dan ketersediaan sarana produksi (X8) tidak

berpengaruh nyata, berarti nilai koefisien regresi dari masing-masing variabel tidak bermakna, artinya kenaikan maupun penurunan penggunaan variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler.

(29)

Adapun pengaruh dari masing-masing variabel independen terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler adalah sebagai berikut:

7.4.2.1. Pengetahuan peternak

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel pengetahuan (t-hitung 1,758) lebih besar dari (t-tabel 1,667) berarti signifikan

pada tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa pengetahuan peternak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Koefisien regresi dari hasil analisis berada pada daerah penolakan (negatif) berarti bahwa pengetahuan peternak berpengaruh negatif terhadap tingkat adopsi beternak ayam broiler. Artinya apabila pengetahuannya tetap maka tingkat adopsi inovasinya semakin tinggi. Dari hasil analisis deskriptif mengenai pengetahuan peternak terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (62,67 %; Tabel 7.4.) pengetahuannya tetap, sehingga tidak signifikan. Hal ini diartikan peternak bersikap memahami ataupun setuju dengan inovasi beternak ayam broiler ternyata tidak menjamin diterapkannya inovasi tersebut sebab pengetahuan peternak rata-rata sudah tinggi, ini dapat dilihat pada tingkat pendidikan peternak (Tabel 7.7) yaitu kurang lebih (90, 67 %) peternak mempunyai pendidikan SLTA dan sarjana, sehingga jika peternak akan mengadopsi inovasi tertentu selalu mempertimbangkan untung ruginya atau manfaat dari inovasi tersebut. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rogers dan Shoemaker (dalam Hanafi (1987) menyatakan bahwa suatu inovasi akan lebih cepat diadopsi oleh petani apabila teknologi tersebut memiliki sifat-sifat diantaranya; dapat memberi keuntungan relatif, sesuai dengan

(30)

kebutuhan petani, mudah dilaksanakan, dapat dicoba dalam skala kecil, dan hasilnya dapat dilihat oleh petani lain.

7.4.2.2. Motivasi kerja

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel motivasi kerja (t-hitung 2,019) lebih besar dari (t-tabel 1,999) berarti signifikan

pada tingkat signifikansi 95 %, mempunyai arti bahwa motivasi kerja peternak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Koefisien regresi dari hasil analisis berada pada daerah penerimaan (positif), menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hasil analisis deskriptif mengenai motivasi kerja terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa peternak (44 %; Tabel 7.5) mempunyai motivasi kerja yang tinggi terhadap inovasi beternak ayam broiler. Hal ini memberikan arti bahwa peternak yang bermotivasi tinggi tentunya akan berusaha untuk mencapai hasil yang lebih tinggi dibanding dengan hari-hari sebelumnya. Jadi dengan adanya keinginan atau motif yang tinggi terhadap beternak ayam broiler dengan hasil yang menguntungkan maka akan ada usaha dari peternak untuk mewujudkan keinginan tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Handoko (1992) menyatakan bahwa kekuatan motif yang menguasai seseorang dapat dilihat dari kuatnya kemauan untuk berbuat, jumlah waktu yang tersedia, kerelaan meninggalkan tugas lain, kerelaan untuk mengeluarkan biaya demi perbuatan itu dan ketekunan dalam mengerjakan tugas.

(31)

7.4.2.3. Sikap peternak

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel sikap peternak (t-hitung 1,080 lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak

signifikan pada tingkat signifikansi 90 %, mempunyai arti bahwa sikap peternak tidak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan terhadap variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi.

Berdasarkan hasil analisis deskriptif mengenai sikap peternak terhadap inovasi berternak ayam broiler, ternyata sebagian besar peternak (52 %; Tabel 7.6.) bersikap netral, sehingga tidak signifikan. Hal ini menunjukkan bahwa peternak telah mengerti dan memahami aspek-aspek yang terkandung dalam inovasi beternak ayam broiler, dengan persepsi peternak yang netral atau tidak menolak ataupun menerima. Hal ini sesuai dengan pendapat Liongberger dan Gwin (1982) menyatakan bahwa pertimbangan petani untuk mengadopsi suatu inovasi diantaranya dipengaruhi oleh keuntungan relatif, bila inovasi tersebut diadopsi, kesesuaian dengan kondisi/kebutuhan petani dan juga pengalaman petani setelah mencoba sendiri akan keberhasilan inovasi tersebut.

7.4.2.4. Tingkat pendidikan

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel tingkat pendidikan (t-hitung 1,702) lebih besar dari (t-tabel 1,667) berarti

signifikan pada tingkat signifikansi 90 %, mempunyai arti bahwa tingkat pendidikan peternak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler.

(32)

Koefisien regresi hasil analisis berada pada daerah penolakan (negatif), artinya bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin rendah tingkat adopsinya.

Hasil analisis deskriptif mengenai tingkat pendidikan peternak terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (90,67 %; Tabel 7.4) mempunyai tingkat pendidikan SLTA dan sarjana muda/sarjana, ini dapat dikategorikan tingkat pendidikan peternak yang tinggi, sehinga signifikan. Tingginya tingkat pendidikan peternak ternyata tidak memberikan pengaruh positif terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini disebabkan karena tingkat pendidikan yang dimiliki oleh peternak tidak relevan dengan ilmu peternakan, umumnya peternak mempunyai pendidikan SLTA umum/kejuruan dan sarjana muda/sarjana umum. Hal ini sejalan dengan pendapat Soekartawi (1988) menyatakan bahwa dalam prakteknya hubungan antara tingkat pendidikan dan tingkat adopsi pertanian adalah berjalan secara tidak langsung, kecuali bagi mereka yang belajar secara spesifik tentang inovasi baru tersebut di sekolah.

7.4.2.5. Pengalaman peternak

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel pengalaman peternak (t-hitung 0,252) lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak

signifikan pada tingkat signifikansi 90 %, mempunyai arti bahwa pengalaman peternak tidak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan terhadap variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler.

(33)

Hasil analisis deskriptif mengenai pengalaman peternak terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa (49,33 %; Tabel 7.8) peternak telah berpengalaman 3 – 5 tahun tetapi tidak signifikan, namum pengalaman peternak tersebut tidak menjamin diadopsinya inovasi beternak ayam broiler. Para peternak dalam mengadopsi suatu inovasi akan selalu mempertimbangkan sifat dari inovasi tersebut, apakah inovasi tersebut menguntungkan, apakah sesuai dengan kondisi/kebutuhan petani, dan telah diujicobakan oleh petani dan berhasil, (Lionberger & Gwin, 1982).

7.4.2.6. Tenaga kerja

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel tenaga kerja (t-hitung 1,723) lebih besar dari (t-tabel 1,667) berarti signifikan

pada tingkat signifikansi 90 %, mempunyai arti bahwa tenaga kerja mempunyai pengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Koefisien regresi hasil analisis berada pada daerah penolakan (negatif), hal ini menunjukkan bahwa dengan tersedianya tenaga kerja yang tinggi maka semakin rendah tingkat adopsinya.

Hasil analisis deskriptif mengenai tenaga kerja terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (56 %; Tabel 7.9) mempunyai tenaga kerja yang rendah, sehingga signifikan. Hal ini disebabkan tenaga kerja dalam beternak ayam broiler tidak membutuhkan banyak tenaga kerja. Umumnya tenaga kerja yang digunakan adalah tenaga kerja keluarga, karena frekuensi pekerjaan beternak ayam broiler relatif lebih sedikit yang umumnya dilakukan pada pagi dan sore hari, seperti memberi makan dan minum.

(34)

7.4.2.7. Modal usahatani

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel modal usahatani (t-hitung 1,132) lebih kecil dari (t-tabel 1,667) berarti tidak

signifikan pada tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa modal usahatani peternak tidak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan terhadap variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler.

Hasil analisis deskriptif mengenai modal usahatani terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (62,67 %; Tabel 7.10) modal usahatani tergolong dalam kategori yang rendah, sehingga tidak signifikan. Karena keterbatasan modal umumnya peternak tidak menerapkan komponen inovasi beternak ayam broiler yang dianjurkan, khususnya pakan, bibit dan obat-obatan. Hal ini sesuai dengan pendapat Bachrein dan Hasanuddin (1997) menyatakan bahwa pada umumnya petani mengadopsi inovasi yang diintroduksi tidak secara utuh namum hanya secara parsial, disesuaikan dengan kemampuan modal dan tenaga yang dimiliki. Namun modal dalam beternak ayam broiler bisa dalam jumlah yang kecil disesuaikan dengan kebutuhan atau kemampuan modal peternak. Semakin besar modal yang dialokasikan oleh peternak maka ada kemungkinan untuk memperbesar volume usaha yang akan dikembangkan. Modal merupakan penghambat dalam mengusahakan ternak ayam broiler karena

(35)

rata-rata peternak mempunyai modal antara Rp. 965.000 – 5.021.999 dan masih dalam kategori rendah.

7.4.2.8. Ketersediaan sarana produksi

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel ketersediaan sarana produksi (t-hitung 0,831) lebih kecil dari (t-tabel 1,667)

berarti tidak signifikan pada tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa ketersediaan sarana produksi tidak berpengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini koefisien regresi dari variabel tersebut tidak bermakna, artinya kenaikan atau penurunan terhadap variabel tersebut tidak berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler.

Hasil analisis deskriptif mengenai ketersediaan sarana produksi terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (60 %; Tabel 7.11) menyatakan kurang tersedia sarana produksi, sehingga tidak signifikan. Ketersediaan sarana produksi seperti pakan, obat-obatan dan bibit DOC dengan harga yang tinggi karena belum adanya perusahaan pakan, obat-obatan dan pembibitan secara lokal. Ketersediaan sarana produksi disuplay dari Sulawesi Selatan dan Jawa Timur.

Menurut Marwan et.al (1990) (dalam Azwardi, 2001) menyatakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh terhadap adopsi teknologi adalah adanya faktor pendukung seperti kebijakan, ketersediaan sarana produksi, pasar dan harga. Selanjutnya sejalan dengan hasil penelitian Saleh Mokhtar, (2001) menyatakan bahwa ketersediaan sarana produksi secara lokal, berpengaruh positif secara nyata

(36)

terhadap tingkat adopsi inovasi, hal ini dapat dipahami karena dengan tersedianya sarana produksi secara lokal dengan harga yang terjangkau, memudahkan petani mengalokasikan modalnya yang tersedia untuk membeli sarana produksi.

7.4.2.9. Pasar

Hasil analisis regresi pada Tabel 7.17. secara parsial terlihat bahwa untuk variabel pasar (t-hitung 1,842) lebih besar dari (t-tabel 1,667) berarti signifikan pada

tingkat signifikansi 90 %, yang mempunyai arti bahwa pasar mempunyai pengaruh terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler. Koefisien regresi dari hasil analisis terhadap adopsi inovasi berada pada daerah peneriamaan (positif), hal ini menunjukkan bahwa dengan tersedianya pasar maka semakin tinggi tingkat adopsinya.

Hasil analisis deskriptif mengenai pasar terhadap adopsi inovasi beternak ayam broiler menunjukkan bahwa sebagian besar peternak (52 %; Tabel 6.12) sesuai/memenuhi permintaan pasar sehingga signifikan pasar berpengaruh terhadap tingkat adopsi beternak ayam broiler. Hal ini sejalan dengan pendapat Mosher (1991) menyatakan bahwa ketersediaan pasar hasil pertanian merupakan salah satu syarat mutlak pembangunan pertanian.

7.4.3. Analisis jalur

Menurut Hariadi (1998) analisis jalur (path analysis) digunakan untuk mengembangkan analisis dari analisis regresi berganda. Selanjutnya Chunli (dalam Senjawati 2000), menyatakan bahwa dalam penggunaan analisis jalur sebaiknya digunakan berdasarkan variabel seminimal mungkin sehingga diperoleh suatu sistem

(37)

yang menjadi pokok perhatian dalam pembahasan dari sejumlah variabel yang ditentukan. Adapun sebagai dasar yang digunakan untuk menentukan variabel seminimal mungkin adalah variabel yang mempunyai nilai koefisien regresi yang berpengaruh nyata.

Hasil analisis regresi berganda dengan metode backward seperti pada Tabel 7.17. maka variabel yang terpilih sebagai variabel independen yang berpengaruh nyata terhadap tingkat adopsi inovasi adalah (1) variabel pengetahuan (X1), motivasi kerja (X2), tingkat pendidikan (X4), tenaga kerja (X6) dan pasar (X9)

terlihat pada Tabel 7.18.

Tabel 7.18. Hasil analisis regresi faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Variabel Koefisien regresi t- hitung

1 Pengetahuan (X1) -0,221 * -1,758 2. Motivasi kerja (X2) 0,419 ** 2,091 3. Pendidikan (X4) -0,289 * -1,692 4. Tenaga kerja (X6) -0,767 * -1,723 5. Pasar (X9) 0,350 * 1,842 Konstanta 29,971 *** 8,053 R2 0,293 F- hitung 5,727 *** DW (Durbin Watson) 1,640

Sumber: Analisis Data Primer

Keterangan: *** = signifikansi pada 99 % ** = signifikansi pada 95 % * = signifikansi pada 90 %

Selanjutnya variabel-variabel yang berpengaruh nyata tersebut dilakukan analisis korelasi (pearsons Correlation analysis). Hasil dari analisis korelasi tersebut disajikan pada Tabel 7.19.

(38)

Tabel 7.19. Nilai koefisien korelasi (r) antar variabel berpengaruh (X) terhadap tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler (Y) Tahun 2003

Var. X1 Var. X2 Var. X4 Var. X6 Var. X9 Y

X1 1 X2 -0,279 1 X4 -0,026 -0,155 1 X6 0,091 -0,028 -0,001 1 X9 -0,469 0,122 -0,052 -0,011 1 Y -0,382 0,340 -0,192 -0,198 0,326 1

Sumber: Analisis Data Primer

Keterangan: X1 : Pengetahuan X2 : Motivasi kerja X4 : Sikap X6 : Tenaga kerja X9 : Pasar

Y : Adopsi inovasi beternak ayam broiler

Hasil analisis regresi OLS pada Tabel 7.17. dengan rumus n(n-1)/2, dimana n adalah jumlah variabel, diperoleh 15 hubungan efektif antara variabel dependen dan variabel independen. Untuk mengetahui seberapa besar masing-masing variabel independen menjelaskan besarnya pengaruh terhadap variabel dependen dan hubungan antar variabel maka dilakukan analisis jalur dimana nilai koefisien jalur (p) dikuadratkan (p2 ), nampak pada Tabel 7.20.

(39)

Tabel 7.20. Persentase (%) besarnya pengaruh variabel independen terhadap variabel antara dan variabel dependen (adopsi inovasi) Tahun 2003

Variabel independen Variabel antara dan variabel dependen

% yang menjelaskan besarnya pengaruh Tingkat Pendidikan (X4) Pengetahuan (X1) 0,07

Error 5 Pengetahuan (X1) 0,99

Pengetahuan (X1) Pasar (X9) 21,90

Tingkat Pendidikan (X4) Pasar (X9) 0,16

Error 3 Pasar (X9) 77,97

Pengetahuan (X1) Motivasi kerja (X2) 8,07

Tingkat Pendidikan (X4) Motivas kerja (X2) 2,62

Pasar (X9) Motivasi kerja (X2) 0,0009

Error 4 Motivasi kerja(X2) 89,68

Tingkat Pendidikan (X4) Tenaga kerja (X6) 0,0004

Motivasi kerja (X2) Tenaga kerja (X6) 0,0009

Pengetahuan (X1) Tenaga kerja (X6) 1,49

Pasar (X9) Tenaga kerja (X6) 0,48

Error 2 Tenaga kerja (X6) 98,80

Pasar (X9) Adopsi inovasi (Y) 4,49

Pengetahuan (X1) Adopsi inovasi (Y) 4,41

Motivasi kerja (X2) Adopsi inovasi (Y) 5,02

Tenaga kerja (X6) Adapsi inovasi (Y) 3,06

Tingkat Pendidikan (X4) Adopsi inovasi (Y) 3,03

Error 1 Adopsi inovasi (Y) 70,73

Sumber: Analisis Data Primer

Secara struktural, antar variabel dapat saling pengaruh mempengaruhi yang dengan jelas tampak dalam model struktural (Sosrodiharjo, 1986). Gambar model struktural independen variabel yang mempengaruhi dependen variabel baik secara langsung maupun tidak langsung dapat dilihat pada Gambar 7.1.

(40)

X1 Y X6 X9 X4 X2 8,0 7 % 5,01% 4,41% 4,49% 3,06% 2,6 2% 3,02 % 21,90% 0,0004% 0 ,0009% 0,0 009 % 1,4 8% 0,1 6% 0 ,4 7 % 0 ,0 7 % e1 (Variabel Lain) e4 (Variabel Lain) e2 (Variabel Lain) e3 (Variabel Lain) 7 7 ,9 6% 98 ,8 1 % 8 9 ,6 8 % 7 0 ,7 3 % E5 (Variabel lain) 99 .80% Keterangan :

: Mem pengaruhi tingkat adopsi secara langsung : Mem pengaruhi tingkat adopsi secara tidak langsung X1 : Pengetahuan

X2 : Motivasi X4 : Tingkat Pendidikan X6 : Tenaga Kerja X9 : Pasar

ei : R esidu/Error (Faktor lain diluar model)

Gambar 7.1. Model Struktural Hubungan Antar Variabel

Dari Tabel 7.20. dan Gambar 7.1. terlihat bahwa ada variabel-variabel yang berpengaruh secara langsung terhadap tingkat adopsi inovasi (Y) dan ada yang berpengaruh secara tidak langsung. Secara langsung ada lima variabel yang mempengaruhi tingkat adopsi (Y), adalah variabel pengetahuan (X1), motivasi kerja

(X2), tingkat pendidikan (X4), tenaga kerja (X6), dan pasar (X9) terhadap adopsi

inovasi beternak ayam broiler masing-masing sebesar 4,41 %, 5,01 %, 3,02 %, 3,06 % dan 4,49 %, sedangkan variabel-variabel yang berpengaruh secara tidak

(41)

langsung terhadap tingkat adopsi inovasi (Y) adalah pengetahuan peternak (X1)

terlebih dahulu melalui pasar (X9) sebesar 21, 90 %, tenaga kerja (X6) sebesar 1,48

%, dan motivasi kerja (X2) sebesar 8,07 %, (2) variabel Motivasi kerja (X2)

mempengaruhi tingkat adopsi (Y) dengan terlebih dahulu mempengaruhi tenaga kerja (X6) sebesar 0,0009 %, (3) variabel tingkat pendidikan (X4) mempengaruhi tingkat

adopsi (Y) dengan terlebih dahulu mempengaruhi motivasi kerja (X2) sebesar 2,62 %,

pengetahuan peternak (X1) sebesar 0,07 %, pasar (X9) sebesar 0,16 dan tenaga kerja

(X6) sebesar 0,0004 %, dan (4) variabel pasar (X9) mempengaruhi tingkat adopsi (Y)

dengan terlebih dahulu mempengaruhi motivasi kerja (X2) sebesar 0,0009 %, tenaga

kerja (X6) sebesar 0,47 %.

Besarnya pengaruh pengetahuan (X1), motivasi kerja (X2), tingkat

pendidikan (X4), tenaga kerja (X6) dan pasar (X9) secara bersama-sama terhadap

tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler adalah:

R2y. 1,2,4,6,9 = py.1 r1,y + py.2 r 3,y + py.4 r4,y + py.6 r6,y + py.9 r,9y.

= (0,210)(0,382) + (0,224)(0,340) + (0,174)(0,192) + (0,175)(0,198) (0,212)(0,326) = 0,293 atau 29,3 %

Besarnya pengaruh variabel dari luar model adalah : pye = 1−R2y.1,2,4,6,9.

= 1 −0,293 = 0,841

(42)

Besarnya pengaruh bersama-sama dari pengetahuan (X1) terhadap tingkat pendidikan

(X4) adalah:

R21.4 = p14. r14= (0,026) (0,026) = 0,000676 atau 0,07 %

Besarnya pengaruh variabel dari luar model adalah : pye = 1R24,1

= 1 −0,0007 = 0,9996

pengaruh dari luar model = (0,9996)2 = 0,9993 atau 99,93 %

Besarnya pengaruh bersama-sama dari motivasi kerja(X2) terhadap pengetahuan (X1),

tingkat pendidikan (X4), dan pasar (X9) adalah:

R22.1,4,9 = p21. r21 + p24. r24 + p29 + r29 = (0,284) (0,279) + (0,162) ((0,155) +

(0,003)(0,122) = 0,1047 atau 10, 47 %

Besarnya pengaruh variabel dari luar model adalah : pye = 1R22.1,4,9

= 1 −0,1047 = 0,9462

pengaruh dari luar model = (0,9462)2 = 0,8953 atau 89,53 %

Besarnya pengaruh bersama-sama dari tenaga kerja (X6) terhadap pengetahuan (X1),

(43)

R26.1,2,4,9 = p61. r61 + p62.r62 + p64. r64 + p69 + r69 = (0,122) (0,091) + (0,003)

(0,028) + (0,002)(0,001) + (0,069) (0,011) = 0,01195 atau 1, 195 % Besarnya pengaruh variabel dari luar model adalah :

pye = 1−R26.1,2,4,9 = 1 −0,01195 = 0,9940

pengaruh dari luar model = (0,9940)2 = 0,9881 atau 98,81 %.

Besarnya pengaruh bersama-sama dari pasar (X9) terhadap pengetahuan (X1) dan

tingkat pendidikan (X4) adalah:

R29.1,4 = p91. r91 + p94.r94 = (0,468) (0,469) + (0,040) (0,052) = 0,2216 atau

22,16 %

Besarnya pengaruh variabel dari luar model adalah : pye = 1R29.1,4

= 1 −0,2216 = 0,8823

pengaruh dari luar model = (0,8823)2 = 0,7784 atau 77,84 %

Berdasarkan Tabel 7.20 dan Gambar 7.1. maka untuk meningkatkan adopsi inovasi beternak ayam broiler pada masa akan datang, perlu memperhatikan faktor-

(44)

faktor yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi inovasi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Adapun variabel paling besar pengaruhnya terhadap tingkat adopsi inovasi adalah variabel motivasi kerja. Jadi untuk meningkatkan tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler maka variabel motivasi kerja menjadi prioritas utama untuk diperhatikan, dimana untuk meningkatkan motivasi kerja maka yang harus ditingkatkan terlebih dahulu adalah tingkat pengetahuan peternak, kemudian tingkat pendidikan peternak dan pasar.

Variabel tingkat pendidikan menjadi titik tolak berperannya motivasi kerja (2, 62 %), pengetahuan peternak (0,07 %), pasar (0,16 %), dan tenaga kerja (0,0004 %). Jadi bagi para pengambil kebijakan yaitu Departemen Pertanian pada umumnya dan sub Dinas Peternakan pada khususnya untuk memotivasi para peternak dalam meningkatkan pengetahuan melalui pendidikan non formal seperti penyelenggaraan sekolah petani usahatani berorientasi agribisnis (SPUBA), pelatihan dan teknis budidaya ternak yang bertujuan untuk meningkatkan sumberdaya manusia, daya saing produksi peternakan serta perubahan pengetahuan, dan keterampilan peternak. Selain itu perlunya pengaturan perilaku pemasaran melalui suatu wadah/assosiasi peternak yang akan mengontol dan mengatur harga pasar sehingga peternak akan termotivasi untuk mengembangkan skala usahanya, yang memungkinkan terjadinya penambahan jumlah kesempatan kerja dan pendapatan peternak.

(45)

7. 5. Difusi Inovasi

Difusi inovasi merupakan suatu proses dimana tersebarnya informasi kepada peternak dalam suatu sistem sosial melalui suatu saluran-saluran komunikasi dan pada suatu kurang waktu tertentu terhadap adanya suatu inovasi. Difusi inovasi terjadi karena adanya perembesan adopsi inovasi dari peternak yang telah mengadopsi ke peternak lain dalam suatu sistem sosial masyarakat melalui sumber informasi seperti peternak yang berhasil, penyuluh atau organisasi terkait lainnya yang sangat berkompoten atau menaru minta terhadap bidang pertanian. Data tentang difusi inovasi beternak ayam broiler dapat disajikan pada Tabel 7.21.

Tabel 7.21. Distribusi difusi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

No. Kategori Difusi Skor Jumlah Peternak Persentase (%) 1. < 1 (Anggota Keluarga) 6 – 21,32 28 37,33 2. 1 – 2 (Tetangga sedesa) 21,33 – 36,65 43 57,33 3. > 2 (Tetangga luar desa) 36,66 – 52 4 5,33

J u m l a h 75 100

Sumber: Analisis Data Primer

Dari Tabel 7.21. terlihat bahwa sebagian besar peternak yaitu 43 jiwa (57,33 %) terdifusi kepada tetangga sedesa, kemudian 28 jiwa (37,33 %) kepada anggota keluarga dan hanya 4 jiwa (5,33 %) terdifusi kepada tetangga luar desa. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan peternak mendifusikan inovasi beternak ayam broiler dalam anggota keluarganya, tetangga sedesa dan tetangga luar desa.

(46)

7.6. Hubungan Antara Tingkat Adopsi Inovasi Oleh Peternak Dengan Tingkat Difusi Inovasi Beternak Ayam Broiler

Untuk mengetahui hubungan antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler dilakukan dengan analisis Rank Spearman, dapat disajikan pada Tabel 7.22.

Tabel 7.22. Hasil analisis Rank Spearman hubungan antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari Tahun 2003

Sumber: Analisis Data Primer

Keterangan: *) = Signifikan pada tingkat signifikansi 95 %

Berdasarkan Tabel 7.22. nampak bahwa nilai koefisien korelasi sebesar (0,231) berada pada daerah penolakan (negatif), berarti antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler mempunyai korelasi yang lemah dan negatif. Artinya, ada kecenderungan semakin tinggi tingkat adopsi inovasi maka semakin rendah tingkat difusi inovasinya. Selanjutnya untuk menguji diterima atau ditolaknya hipotesis ke empat apakah ada hubungan yang kuat dan positif antara tingkat adopsi inovasi oleh peternak dengan tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler dihitung dari koefisien korelasi tersebut. Hasil perhitungan diperoleh nilai koefisien korelasi (rs-hitung 2,029), lebih besar dari (t-tabel

1,999) signifikan pada tingkat signifikansi 95 %, menunjukkan bahwa terdapat beda nyata, yaitu ada kecenderungan semakin tinggi tingkat adopsi inovasi oleh peternak

No. Variabel Koefisien korelasi t-hitung

1. Tingkat Adopsi Inovasi -0,231* -2,029

(47)

maka semakin rendah tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler. Hal ini disebabkan karena beternak ayam broiler merupakan usaha komersial (bisnis) yaitu untuk menambah pendapatan, sehingga jika ia mendifusikan inovasi kepada peternak lain akan menjadi saingannya. Maka hipotesis ke empat yang menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat adopsi inovasi oleh peternak maka semakin tinggi pula tingkat difusi inovasi beternak ayam broiler, ditolak (Ho ditolak).

Gambar

Tabel 7.1. Distribusi tanggapan peternak terhadap bahasa yang mudah dipahami di  Kota Kendari Tahun 2003
Tabel 7.3. Tingkat penyajian media cetak brosur di Kota Kendari Tahun 2003  No.  Kategori penyajian  Jumlah skor
Tabel 7.4. Hasil analisis regresi karekteristik media cetak brosur terhadap  pengetahuan, motivasi kerja, dan sikap peternak ayam broiler di Kota  Kendari Tahun 2003
Tabel 7.6. Keragaan tingkat adopsi inovasi beternak ayam broiler di Kota Kendari  Tahun 2003
+7

Referensi

Dokumen terkait

Setelah data terkumpul, dengan analisis deskriptif, akan diperoleh gambaran yang lebih mendalam dan akurat, yang terkait dengan tingkat pemahaman guru matematika SMK

Dari nilai- nilai tersebut dan juga faktor- faktor pendukung pelaksanaan CSR, menjadi suatu landasan bagi perusahaan untuk menjalankan kegiatan CSR agar dasar CSR dalam

epitome , rangkuman memuat semua bagian isi yang bidang studi yang penting, biasanya berupa pengertian-pengertian singkat dari konsep,.. prosedur atau prinsip

Turunan kaliks[ n ]arena diperoleh dengan cara mensubstitusi atom H pada gugus OH di bagian bawah cincin anulus atau mengganti gugus tert- butil di bagian

Untuk mengetahui pengaruh nilai religius yang diintegrasikan dalam pembelajaran biologi melalui pendekatan SETS terhadap hasil belajar siswa pada pokok bahasan

Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara merumuskan hipotesis dan menguji hipotesis kemudian ditarik kesimpulan dari percobaan / eksperimen mengenai

1) PPL dilaksanakan atas dasar tanggung jawab bersama antara Universitas Negeri Semarang dengan sekolah / tempat latihan. 2) PPL harus dikelola secara baik dengan melibatkan

Namun, dengan tegangan yang agak rendah akan menghasilkan medan listrik yang besar tatkala ketebalan film memiliki orde yang sangat tipis.. Hal ini akan sesuai dengan