• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM. A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TATA CARA PELAKSANAAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ISLAM

A. Tindak pidana yang Diancam dengan Hukuman Mati dalam Hukum Pidana Islam

Istilah tindak pidana dalam hukum pidana Islam lebih dikenal dengan jarimah. Jarimah berasal dari bahasa Arab ةــميرج yang berarti perbuatan dosa dan atau tindak pidana. Dalam terminologi hukum Islam, jarimah diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh menurut syara dan ditentukan hukumannya oleh Tuhan, baik dalam bentuk sanksi-sanksi yang sudah jelas ketentuannya (had) maupun sanksi-sanksi yang belum jelas ketentuannya oleh Tuhan (ta'zir).25

Jarimah yang diancam dengan hukuman mati ialah jarimah hudud. Jarimah hudud berasal dari kata “hudud” adalah bentuk jama’ dari kata “had” artinya baik. Macamnya jarimah maupun hukumnya sudah ditentukan oleh syara’, tidak boleh ditambah atau dikurangi dan ia menjadi hak Allah.26Para ahli hukum Islam menyebutkan ada lima tindak pidana yang diancam hukuman mati yaitu: 1. Pembunuhan 2. Perzinaan 3. Perampokan 4. Murtad

25 http://id.wikipedia.org/wiki/Jarimah. Diakses tanggal 25 Nopember 2010. 26 Marsum, Op. cit, 1991, hal. 67

(2)

5. Pemberontakan

Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut macam-macam jarimah yang diancam dengan hukuman mati;

1. Pembunuhan

Pembunuhan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan proses, perbuatan atau cara membunuh.27 Sedangkan pengertian membunuh adalah mematikan, menghilangkan (menghabisi atau mencabut) nyawa.28

Dalam bahasa Arab, pemb unuhan disebut al-qattlu berasal dari kata

qatala yang sinonimnya amata artinya mematikan. Dalam arti istilah,

pembunuhan didefinisikan oleh Wahbah Zuhaili yang mengutip Syabini Khatib sebagai berikut:29

Pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau mencabut nyawa seseorang.

Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan hilangnya nyawa, baik perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja.

Pembunuhan merupakan perbuatan yang dilarang oleh syara’, hal ini berdasarkan pada firman Allah dalam al-Qur’an surat al-An’am: 51,

“Dan berilah peringatan dengan apa yang diwahyukan itu kepada orang-orang yang takut akan dihimpunkan kepada Tuhannya (pada hari

27 Moeliono, Anton M, dkk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua, Jakarta,

Balai Pustaka. 1996, hal. 398

28 Ibid, hal. 657

29 Zuhaili, Wahbah, al-Fiqh Al-Islami wa ’Adilatuh, Damaskus, Dar al-Fikr. 1989, hal.

(3)

kiamat), sedang bagi mereka tidak ada seorang pelindung dan pemberi syafa'atpun selain daripada Allah, agar mereka bertakwa.”

Sedangkan macam-macam pembunuhan secara garis besar dapat dibagi menjadi dua bagian sebagai berikut:30

a. Pembunuhan yang dilarang, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan melawan hukum.

b. Pembunuhan dengan hak, yaitu pembunuhan yang dilakukan dengan tidak melawan hukum, seperti membunuh orang murtad, atau pembunuhan oleh seorang algojo yang diberi tugas melaksanakan hukuman mati. Pembunuhan yang dilarang dapat dibagi menjadi beberapa bagian.

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat sebagai berikut:31

a. Menurut Imam Malik, pembunuhan dibagi menjadi dua bagian, yaitu, pembunuhan sengaja dan pembunuhan karena kesalahan.

b. Menurut jumhur fuqaha’, pembunuhan dibagi menjadi tiga bagian, yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja dan pembunuhan karena kesalahan. Sebenarnya masih ada pendapat lain yang membagi pembunuhan kepada empat dan lima bagian, namun apabila diperhatikan, pembagian tersebut hanyalah pengembangan dari pembagian yang dikemukakan oleh jumhur fuqaha’. Oleh karena itu dalam pembahasan selanjutnya penulis hanya akan mengikuti pendapat

30 http://kangazistea.wordpress.com/2010/10/15/fiqih-jinayah/. Diakses tanggal 13

Agustus 2010.

(4)

jumhur ulama’ tersebut. 2. Perzinaan

Para ulama’ dalam memberikan definisi zina ini berbeda redaksinya, namun substansinnya hampir sama. Menurut pendapat Malikiyah zina adalah persetubuhan yang dilakukan oleh orang mukallaf terhadap farji manusia (wanita) yang bukan miliknya secara disepakati dengan kesengajaan.32

Menurut pendapat Hanafiyah zina adalah nama bagi persetubuhan yang haram dalam qubul (kemaluan) seorang perempuan yang masih hidup dalam keadaan ikhtiar (tanpa paksaan) di dalam negeri yang adil yang dilakukan oleh orang-orang kepadanya berlaku hukum Islam, dan wanita tersebut bukan miliknya dan tidak ada subhat dalam miliknya.33

Pendapat Syafi’iyah berpendapat bahwa zina adalah memasukkan zakar ke dalam farji yang diharamkan karena zatnya tanpa ada subhat dan menurut tabiatnya menimbulkan syahwat.34

Menurut pendapat Hanabilah zina adalah melakukan perbuatan keji (persetubuhan), baik terhadap qubul (farji) maupun dubur.35

Apabila diperhatikan maka keempat definisi tersebut berbeda dalam redaksi dan susunan kalimatnya, namun dalam intinya sama, yaitu bahwa zina adalah hubungan kelamin antara seorang laki-laki dan perempuan di luar nikah. Hanya kelompok hanabilah yang memberikan definisi yang singkat dan umum,

32 Ibid, hal. 86 33 Ibid, hal. 121 34 Ibid, hal. 126 35 Ibid, hal. 234

(5)

yang menyatakan zina adalah perbuatan keji yang dilakukan terhadap qubul (farji) atau dubur. Dengan demikian, Hanabilah menegaskan dalam definisinya bahwa hubungan kelamin terhadap dubur dianggap sebagai zina yang dikenakan hukuman had.

Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa unsur-unsur zina ada dua, yaitu (1) persetubuhan yang diharamkan (al-wat’u al-muharramu) dan (2) adanya kesengajaan atau niat yang melawan hukum.

Konsep tentang tindak pidana perzinaan menurut hukum Islam jauh berbeda dengan sistem hukum Barat, karena dalam hukum Islam, setiap hukuman seksual yang diharamkan itulah zina, baik yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga maupun yang telah berkeluarga asal ia tergolong orang mukallaf, meskipun dilakukan dengan rela sama rela, jadi tetap merupakan tindak pidana.

Konsep syari’at ini adalah untuk mencegah menyebarluasnya kecabulan dan kerusakan akhlak serta untuk menumbuhkan pandangan bahwa perzinaan itu tidak hanya mengorbankan kepentingan perorangan, tapi lebihlebih kepentingan masyarakat.

3. Perampokan

Perampokan (hirabah), para ulama’ mendefinisikan sebagai berikut: Menurut Hanafiyah, hirabah adalah ke luar untuk mengambil harta dengan kekerasan yang realisasinya menakut-nakuti orang yang lewat di jalan atau

(6)

mengambil harta, atau membunuh orang.36

Menurut Syafi’iyah, hirabah adalah ke luar untuk mengambil harta, atau membunuh atau menakut-nakuti, dengan cara kekerasan dengan berpegang teguh kepada kekuatan dan jauh dari pertolongan (bantuan).37

Menurut Imam Malik hirabah adalah mengambil harta dengan tipuan (taktik) baik menggunakan kekerasan atau tidak.38

Imam Ahmad dan Syi’ah Zaidiyah memberikan definisi yang sama dengan yang dikemukakan oleh Hanafiyah.

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, dapat dikemukan bahwa inti persoalan tindak pidana perampokan adalah sekelompok orang dengan maksud untuk mengambil harta dengan terang-terangan dan kekerasan, apakah dalam realisasinya pengambilan tersebut terjadi atau tidak.

Di samping itu dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para fuqaha’ di atas, dapat diketahui bentuk-bentuk tindak pidana perampokan itu ada empat, yaitu sebagai berikut:39

a. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian pelaku hanya melakukan intimidasi, tanpa mengambil harta dan membunuh. b. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia

mengambil harta tanpa membunuh.

36 Ibid, hal. 45

37 Azmi, Abdul Qadir, Kritik Terhadap UU Ciptaan Manusia, (terj). Bina Ilmu,

Surabaya, 1985, hal. 76

38 Noerwahidah, Op. cit, hal. 92

39 Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hal.

(7)

c. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia melakukan pembunuhan tanpa mengambil harta.

d. keluar untuk mengambil harta secara kekerasan, kemudian ia mengambil harta dan melakukan pembunuhan.

Apabila seseorang melakukan salah satu dari keempat bentuk tindak pidana perampokan tersebut maka ia dianggap sebagai perampok selagi ia keluar dengan tujuan untuk mengambil harta dengan kekerasan. Akan tetapi, apabila seseorang keluar dengan tujuan mengambil harta, namun ia tidak melakukan intimidasi, dan tidak mengambil harta serta tidak melakukan pembunuhan maka ia tidak dianggap sebagai perampok, walaupun perbuatannya itu tetap tidak dibenarkan dan termasuk maksiat yang dikenakan hukuman ta’zir.40

Hukuman mati untuk jarimah hirabah hanya jika pelaku hirabah itu membunuh, meskipun ia tidak mengambil harta serta tidak melakukan intimidasi.

4. Murtad (al-ridda)

Arti ridda menurut bahasa adalah arruju’a ’an asha’i ila ghairihi yang artinya kembali ke sesuatu yang lain,41 sedangkan menurut syara’ adalah kembali dari agama Islam kepada kekafiran, baik dengan niat, perbuatan yang menyebabkan kekafiran, atau dengan ucapan.42 Dari definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa orang yang murtad adalah orang yang keluar dari agama

40 Wahbah Zuhaili, Op. cit, hal. 67 41 Ibid, hal. 89

(8)

Islam dan kembali kepada kekafiran. Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman di akhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Rasulullah saw. Menjelaskan hukuman untuk orang murtad ini dalam sebuah hadis: Dari ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah

ia.”

Dari ibn Abbas ra. Ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: ”Barang siapa menukar agamanya maka bunuhlah ia.” (hadis| riwayat Bukhari)

Dari Aisyah ra. Telah bersabda Rasulullah saw: ”Tidak halal darah seorang muslim kecuali karena tiga perkara, orang yang berzina dan ia muhsan, atau orang yang kafir setelah tadinya ia Islam, atau membunuh jiwa sehingga karenanya ia harus dibunuh pula.” (Hadis| diriwayatkan oleh Ahmad, Nasa’i, dan Muslim dengan arti yang sama).43

5. Pemberontakan (al-bagyu)

Pemberontakan atau al-bagyu menurut arti bahasa adalah mencari atau menuntut sesuatu. Pengertian tersebut kemudian menjadi populer untuk mencari dan menuntut sesuatu yang tidak halal, baik karena dosa maupun kedzaliman.

Tidak ada kesepakatan di kalangan ulama tentang definisi al-baghyu. Ulama Hanafiyah, misalnya, mengartikannya sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan. Ulama Syafi’iyah berkata:

43 Andi Hamzah dan Sumangelipu, A, Pidana Mati di Indonesia di Masa lain, Kini dan di Masa Depan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985, hal. 321

(9)

“pemberontak adalah orang muslim yang menyalahi Imam dengan cara tidak mentaatinya dan melepaskan diri darinya atau menolak kewajiban dengan memiliki kekuatan, memiliki argumentasi dan memiliki pemimpin”.44

Faktor penyebab perbedaan mereka dalam mendefinisikan al-baghyu adalah perbedaan mereka dalam menentukan syarat-syarat dan bukan perbedaan dalam unsur yang prinsip.

Unsur-unsur pemberontakan yang pokok adalah (1) keluar dari imam dengan terang-terangan (2) ada itikad jahat (3) para pemberontak bertanggung jawab terhadap tindak pidana secara khusus sebelum dan sesudah pemberontakan. Adapun kejahatan waktu pemberontakan ada dua macam yaitu kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan dan kejahatan yang tidak berkaitan langsung.

Kejahatan yang berkaitan langsung dengan pemberontakan, seperti makar, merusak fasilitas umum, diancam dengan hukuman pemberontakan yang diserahkan kepada Ulil Amri, yakni bisa diberi hukuman mati bila Ulil

Amri tidak memberi ampunan secara umum.

Adapun kejahatan yang tidak berkaitan langsung, seperti minum minuman keras dan zina yang mereka lakukan pada waktu pemberontakan tetap harus mereka pertanggungjawabkan sebagai tindak pidana hudud biasa.

(10)

B. Tata Cara Eksekusi Hukuman Mati Menurut Hukum Islam 1. Alat-alat eksekusi hukuman mati

Tidak ada persyaratan khusus mengenai alat yang dipakai untuk membunuh kecuali sarana tersebut nantinya bisa mematikan baik berbentuk tajam maupun yang bersifat membinasakan, karena keduanya dapat mengakibatkan tercabutnya nyawa.45

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasul SAW. Pernah menghukum orang Yahudi yang memecahkan kepalanya di antara dua batu besar. Sebelumnya di Yahudi tersebut talah melakukan hal yang sama terhadap salah seorang budak perempuan.46

Bagi Imam Abu Hanifah dan Ahmad dalam melaksanakan hukuman qishas hanya dibolehkan memakai pedang. Bagaimanapun juga alat yang dipakai si pelaku. Pendapat tersebut berdasarkan atas sabda Rasul saw : “Tidak ada hukuman qishas kecuali pedang.” Jadi maksud hadis| ialah melarang melaksanakan hukuman qishas bukan dengan pedang.47

Menurut Imam Malik, Syafi’i dan beberapa ulama’ mahdzab Hambali, alat yang dipakai untuk menjalankan qishas harus sama dengan alat yang dipakai oleh pembunuh dan hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat an-Nahl: 126.

Pemakaian alat yang serupa yang dipakai oleh pembunuh merupakan hak semata, oleh karena itu bisa ditinggalkan dan memakai pedang. Kalau para

45 Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah (terj). Beirut, Dar Al-Fikr. 1980, hal. 48 46 Noerwahidah, Op. cit, hal. 18

(11)

fuqaha’ memilih pedang sebagai alat pelaksanaan qishas maka dasarnya ialah karena alat tersebut lebih cepat menghilangkan nyawa. Akan tetapi kalau ada alat lain yang lebih cepat membawa kematian serta lebih sedikit menimbulkan derita, maka tidak ada halangan untuk dipakai seperti kursi listrik atau

guillatile.48

Hukum rajam merupakan hukuman bagi kejahatan zina muhsan sebagaimana yang dilakukan pada zaman Rasulullah saw, yaitu dengan menanam tubuh si pelaku sampai batas dada kemudian dilempar dengan batu hingga mati, bila dilihat pelaksanaan hukuman terhadap zina muhsan di Saudi Arabia yang berdasarkan hukum Islam terhadap Putri Misha dengan Muslih al-Shaer nampak ada perubahan cara eksekusi yang dilakukan di zaman dahulu itu.

Putri Misha yang masih termasuk keluarga istana telah dijatuhi hukuman tembak tiga kali, dan Muslih al-Shaer yang telah melakukan zina dengan putri tersebut dipancung lehernya. Sekalipun berbeda cara eksekusinya bila dibandingkan dengan zaman Rasul, namun intinya sama yaitu mati.49

2. Waktu dan tempat eksekusi hukuman mati

Hukuman qishas boleh dilaksanakan setelah hadirnya ahli waris orang yang dibunuh yang telah baligh semuanya, dan mereka telah menuntut supaya hukuman qishas dilaksanakan. Pihak pemerintah segera melaksanakan

48 Noerwahidah, Op. cit, hal. 123 49 Ibid, hal. 60

(12)

hukuman qishas itu kecuali pembunuh itu seorang perempuan yang sedang hamil. Maka dalam kasus ini, hukuman qishas itu boleh ditangguhkan sehingga perempuan tadi melahirkan anaknya.30 Namun pada umumnya Nabi selalu melaksanakan hukuman mati ini setelah salat Jum’at.31

Pada dasarnya eksekusi hukuman mati harus dilakukan di tempat terbuka yang bisa disaksikan oleh khayalak umum. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat an-Nur:

" Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman."

Hal ini dimaksudkan disamping hukuman tersebut merupakan pembalasan. Hukuman tersebut juga bertujuan untuk memberikan pelajaran kepada masyarakat agar tidak melakukan kejahatan dan bersifat pencegahan.

Dengan dilaksanakannya hukuman di tempat yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum, maka hal ini akan menimbulkan rasa takut di hati orang-orang yang menyaksikan jangan sampai untuk melakukan kejahatan serupa.

Di samping itu cara ini juga dimaksudkan agar orang menghargai dan mentaati aturan hukum, dengan demikian maka akan tercegah meluasnya kejahatan dan keamanan serta ketentraman masyarakat akan terjamin. Kebahagiaan hidup manusia akan terwujud.50

(13)

Atas dasar inilah, maka di Negara Islam, hukuman mati selalu dilaksanakan di muka umum dan disaksikan masyarakat banyak, seperti eksekusi Putri Misha dan Muslih al-Shaer di Saudi Arabia.51

3. Persaksian atas eksekusi hukuman mati

Menurut satu pendapat dalam mahdzab Hanafi, ahli waris yang berhak terhadap pelaksanaan qishas diharapkan hadir sendiri dan tidak boleh diwakilkan, menurut pendapat mereka hukuman qishas, hukuman qishas tidak dapat dijalankan tanpa kehadiran orang-orang yang berhak terhadapnya, karena kemungkinan waris yang hadir itu akan memaafkan pembunuh seandainya ia hadir, di saat hukuman akan dilaksanakan. Tetapi ulama’ lainnya tidak mensyaratkan kehadiran mereka, akan tetapi cukup dengan kehadiran wakil-wakil mereka saja.52

Menurut seorang ulama’ terkenal di dalam mahdzab Syafi’i, yaitu Mawardi, ada sepuluh petugas atau saksi yang diperlukan di dalam melaksanakan hukuman qishas agar pelaksanaanya berlangsung dengan sempurna, beberapa di antaranya adalah:53

a. Petugas pemerintah, karena tanpa kehadiran dan izin mereka, hukuman

qishas tidak dilaksanakan.

b. Dua orang saksi

51 Ibid, hal. 110

52 Sayid Sabiq, Op. cit, hal. 60 53 Ibid, hal. 61.

(14)

c. Beberapa orang pembantu, karena kemungkinan dibutuhkan tenaga untuk mengawal pembunuh.

4. Wewenang yang berhak melaksanakan eksekusi hukuman mati

Pada zaman jahiliyah, qishas dilakukan oleh perseorangan, keluarga, kabilah. Setelah datang Islam, maka qishas ini diserahkan kepada Ulil Amri sebagai petugas atau pemerintah, pelindung dan pengurus kepentingan rakyat. Hanya Ulil Amri yang diwakili oleh hakim berhak melaksanakan qishas itu bukan perseorangan, keluarga, kabilah.54

Sudah menjadi kesepakatan para fuqaha’, orang yang boleh menjalankan hukuman jarimah hudud adalah Kepala Negara yakni Imam atau wakilnya, yakni petugas yang diberi wewenang, karena hukuman had merupakan hak Tuhan yang dijatuhkan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu harus diserahkan kepada wakil masyarakat yaitu kepala Negara.55

Dari Rasulullah diriwayatkan sebagai berikut: “empat perkara diserahkan kepada penguasa yaitu hukuman had, harta sedekah, sholat, jum’at dan fa’i.56 Untuk jarimah qishas pelaksanaan hukuman bisa dilaksanakan oleh ahli waris sendiri dengan syarat atas persetujuan penguasa.

Di kalangan fuqaha’, sudah disepakati bahwa wali korban bisa melaksanakan qishas dalam pembunuhan dengan syarat harus dibawah pengawasan penguasa, sebab pelaksanaanya memerlukan pemeriksaan dengan

54 Azmi Abdul Qadir, Op. cit, hal. 90 55 Noerwahidah, Op. cit, hal. 34 56 Ibid, hal. 43

(15)

teliti dan menjauhi kedzaliman, karena kalau tidak diawasi oleh penguasa dalam pelaksaanaanya, akan terjadi qishas pula, meskipun ia dianggap mengkhianati kekuasaan Negara.

Melaksanakan qishas merupakan kepentingan umum, maka tidak ada salahnya kalau diangkat orang-orang yang ahli yang berwenang untuk melaksanakan hukuman hudud dan qishas dengan mendapat gaji dari pemerintah. Kalau ahli waris tidak pandai menjalankan qishas, maka pelaksanaanya diserahkan pada orang-orang ahli tersebut.57

Referensi

Dokumen terkait

Tidak kalah pentingnya, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 ini adalah tahun pertama dialokasikannya dana desa.Dana desa adalah dana yang bersumber dari

Desain penelitian dan pengembangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah model 4D dengan empat tahapan pengembangan yaitu Define (pendefinisian),

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan potensi dan ketersediaan bahan pangan lokal sumber karbohidrat non beras, yang meliputi : jenis sumber pangan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut, untuk membantu individu atau perusahaan yang secara online menjual sayuran dan buah dapat memahami perilaku konsumen maka

Abu Hassan Ali Al- Mawardi (1960), dalam al-Ahkam al Sultaniyyah, telah menyentuh aspek ketenteraan dan dihubungkan dengan aspek kepimpinan. Al-Mawardi menyebut

Serangkaian pendekatan resolusi konflik sebagaimana dikemukakan oleh Boistein (2018) menetapkan beberapa strategi yang digunakan untuk mencegah terjadinya konflik antar

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis dan pembahasan, maka penelitian ini menemukan hasil: kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap nilai perusahaan, komite

Secara definisi bahwa pengertian pengembangan koleksi dalam proses pengadaan koleksi bahan perpustakaan yaitu proses seleksi, pemesanan, dan penerimaan bahan-bahan untuk koleksi