Oleh:
Izhar Salim
(Pendidikan Sosiologi, FKIP, Universitas Tanjungpura, Pontianak) Abstrak : Sifat Materialisme teryata merupakan pendorong lahirnya
eksistensialisme. Yang dimaksud dengan Eksistensi ialah cara orang berada di dunia. Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrim. Keduanya berisi benih-benih kebenaran, tetapi keduanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dan kedua ekstrimitas itu. Materialisme memandang kejasmanian (materi) sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanyalah aspek manusia. Materialisme menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme. Sebaliknya berpikir, berkesadaran dilebih-lebihkan oleh idealisme sehingga menjadi seluruh manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Kata Kunci : Eksistensialis, Materialisme, Idealisme. Pendahuluan
Eksistensialisme atau eksistensialis berkembang pada abad 20 di Perancis dan Jerman sebagai reaksi terhadap merosotnya komunisme yang telah dibangun sejak Abad Pencerahan.
Keyakinan akan kesinambungan
peradaban menuju kebenaran dan
kebebasan, kedamaian dan
kesejahteraan yang telah dimunculkan sejak Abad Pencerahan dihancurkan oleh meletusnya Perang Dunia I. Akibat dari perang ini runtuhlah
keseimbangan dan kestabilan
kekuatan antara Negara-negara besar di Eropa. Negara-negara Eropa banyak yang kehilangan struktur ekstemal kekuasaan, seperti struktur ekonomi, politik, dan intelektual milik kekuasaan. Seluruh struktur ini mulai kehilangan legitimasinya dan kuasanya atas individu. Mengatasi hal
ini, para Eksistensialisme
menawarkan agar kembali pada diri manusia sebagai pusat filsafat yang
sejati dan satu-satunya kekuasaan berlegitimasi.
Materialisme ternyata
merupakan pendorong lahirnya
Eksistensialisme. Eksistensi ialah cara
orang berada di dunia.
Eksistensialisme lahir sebagai reaksi terhadap idealisme. Materialisme dan idealisme adalah dua pandangan filsafat tentang hakikat yang ekstrim.
Keduanya berisi benih-benih
kebenaran, tetapi keduanya juga salah. Eksistensialisme ingin mencari jalan keluar dari kedua ekstremitas itu. Materialisme memandang materi sebagai keseluruhan manusia, padahal itu hanyalah aspek manusia.
Materialisme menganggap
manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa menjadi subyek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Akan tetapi, sebaliknya aspek
berpikir, berkesadaran dilebih-lebihkan oleh idealisme sehingga
menjadi seluruh manusia, bahkan sebagai yang dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Eksistensialisme juga didomng munculnya oleh situasi dunia pada umumnya. Di sini eksistensialisme lahir sebagai reaksi tethadap dunia pada umumnya, terutama dunia Eropa Barat. Secara umum keadaan dunia pada waktu itu tidak menentu. Rasa takut
berkecamuk, teutama terhadap
ancaman perang. Tingkah laku manusia telah menimbulkan rasa muak atau mual. Penampilan manusia penuh rahasia, penuh imitasi yang merupakan hasil persetujuan bersama yang palsu yang disebut konvensi atau tradisi. Manusia berpura-pura dan kebencian merajalela, nilai sedang mengalami krisis, bahkan manusianya sendiri sedang mengalami krisis. Sementara itu agama di Eropa Barat dan di tempat
lain dianggap tidak mampu
memberikan makna pada kehidupan. Di beberapa tempat orang-orang beragama sendiri justru terlibat dalam krisis itu. Manusia menjadi orang yang gelisah, eksistensinya terancam perbuatannya sendiri.
Tokoh-tokoh aliran filsafat
eksistensialisme cukup banyak,
seperti Gabriel Marcel, Karl Jaspers, Nicolai Berdyaev, Albert Camus,
Martin Heiddegger, Soren
Kierkegaard dan Jean Paul Sartre. Namun dalam tulisan ini hanya membatasi pembahasan pada dua pendapat yang dikemukakan dua filosof, yaitu Soren Kierkegaard dan Jean Paul Sartre.
Apakah Arti Eksistensialis ?
Menurut Linda Smith dan
William Reaper yang dialih
bahasakan P. Hardono (2000:76) pada
dasarnya eksistensialisme adalah filsafat pemberontak, terpusat pada
individu dan masalah-masalah
eksistensi. Dalam cara-cara tertentu eksistensialisme dapat dilihat sebagai pemberontakan romantisme melawan
ide Pencerahan Eropa dengan
tekanannya pada sistem rasionalitas. Kata Eksis secara harfiah berarti berdiri tegak melawan dan para filosof eksistensialis telah menekan bagaimana manusia individual berdiri tegak melawan dunia, masyarakat,
lembaga, dan cara berpikir.
Sedangkan menurut Ahmad Tafsir (2008:218) kata dasar eksistensi
(Existency) adalah Exist yang berasal
dari kata latin Ex yang berarti keluar dan Sistere yang berarti berdiri. Jadi eksistensi adalah berdiri dengan keluar dan diri sendiri.
Soren Kierkegaard (1813-1855)
Suatu reaksi terhadap
idealisme yang sama sekali berbeda dan reaksi materialisme ialah yang berasal dari pemikir Denmark yang benama Soren Kierkegaard. Menurut Kierkegaard, filsafat tidak merupakan
suatu sistem, tetapi suatu
pengekspresian eksistensi individual. Karena ia menentang filsafat yang bercorak sistematis, dapat dimengerti mengapa ia menulis karyanya dengan menggunakan nama samaran. Dengan
cara demikian, ia mencoba
menghindari anggapan bahwa
bukunya merupakan gambaran
tentang fase-fase perkembangan
pemikirannya. Dengan menggunakan
nama samaran, mungkinlah ia
menyerang pendapat-pendapatnya di dalam bukunya yang lain.
Pertama-tama Kierkegaard
memberikan kritik terhadap Hegel. Ia berkenalan dengan filsafat Hegel
ketika belajar teologi di Universitas Kopenhagen. Mula-mula ia tertarik pada filsafat Hegel yang telah popular di kalangan intelektual di Eropa ketika itu, tetapi tidak lama kemudian ia melancarkan kritiknya.
Keberatan utama yang diajukan oleh Kierkegaard kepada Hegel ialah karena Hegel meremehkan eksistensi
yang konkrit karena Hegel
mengutamakan idea yang sifatnya umum. Menurut Kierkegaard, manusia tidak pernah hidup sebagai suatu aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu yang lain.
Dengan demikian, Kierkegaard
memperkenalkan istilah “eksistensi” dalam suatu arti mempunyai peran besar pada abad ke-20. Hanya manusia yang mampu bereksistensi, dan eksistensi saya tidak saya jalankan satu kali untuk selamanya, tetapi pada setiap saat eksistensi saya menjadi objek pemilihan baru. Bereksistensi ialah bertindak. Tidak ada orang lain yang dapat menggantikan tempat saya untuk bereksistensi atas nama saya.
Hampir semua filosof masa lampau hanya mempelajari sifat-sifat umum, sifat manusia pada urnumnya, kehidupan pada umumnya, kebebasan pada umumnya, dan lain-lain. Mereka memandang yang umum atau yang abstrak. Yang umum memang selalu abstrak. Tradisi membicarakan “yang umum” memuncak pada hegel. Akan tetapi, menurut Kierkegaard filsafat
harus mengutamakan manusia
individual. Kehidupan secara konkrit
berarti kehidupanku. Kebenaran
secara konkrit berarti kebenaran bagi
saya. Percobaan Hegel untuk
membuat sintesis harus ditolak. Mendamaikan pertentangan dengan
cara menyintesisnya hanyalah akan menghasilkan sesuatu yang abstrak. Di dalam kehidupan konkrit kita selalu menghadapi pertentangan yang tidak mungkin disintesis. Di dalam bidang etika, misalnya, kita selalu dituntun memutuskan secara radikal ini atau itu. Kata ini menjadi buku Kierkegaard yang pertama yang terbit pada tahun 1843. Selain mengkritik Hegel, ia juga mengkeritik agama Kristen.
Kierkegaard mengemukakan kritik tajam terhadap gereja Lutheran yang merupakan gereja Kristen resmi di Denmark ketika itu. Kritik itu dilemparkan terutama pada masa tuanya. Ia menganggap gereja di tanah airnya itu telah menyimpang dan Injil Kristus. Pada pokoknya, kritik Kierkegaard terhadap agama Kristen di tanah airnya tidak berbeda dan kritiknya terhadap filsafat Hegel. Masalah yang dikritiknya ialah karena orang mengaku Kristen di sana, tetapi kebanyakan tidak benar. Kristen tidak melekat di hati, tidak dianut dengan
sepenuh kepribadian, ada
kemunafikan. Sifat ini amat dibenci oleh Kierkegaard. Bahkan ketika itu iman Kristen menjadi sikap borjuis dan lahiriah saja. Sedangkan menurut Kierkegaard Iman kristen haruslah merupakan salah satu cara hidup radikal yang menuntut seluruh kepribadian.
Pengaruh Kierkegaard belum tampak ketika ia masih hidup, bahkan bertahun-tahun namanya tidak dikenal orang diluar negerinya. Itu antara lain karena karyanya ditulis dalam bahasa Denmark. Barulah pada akhir abad ke-19 karya-karya Kierkegaard mulai diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Karyanya menjadi sumber yang penting sekali untuk filsafat
abad ke-20, yang disebut eksistensialisme. Karenanya sering disebut bahwa Kierkegaard adalah Bapak Filsafat Eksistensialisme. Akan tetapi, eksistensialisme abad ke-20 tidak jarang beraliran ateis,
padahal Kierkegaard seorang
penganut Kristen (Bertens, 1979:83-85).
Jean Paul Sartre (1905-1980)
Jean Paul Sartre lahir di Paris path tahun 1905 dan meninggal pada tahun 1980. Ia belajar pada Ecole Normale Superieur pada tahun 1924-1928. Setelah tamat dari sekolah itu pada tahun 1928 ia mengajar filsafat baik di Paris maupun di tempat lain. Dari tahun 1933 sampai tahun 1935 ia menjadi mahasiswa peneliti pada Institut Francais di Berlin dan di Universitas Freiburg. Tahun 1938 terbit novelnya yang beijudul La
Nausee, dan La Mur terbit pada tahun
1939. Sejak itu muncullah karya-karyanya yang lain dalam bidang filsafat. Tatkala pecah perang pada tahun 1939 ia menggabungkan diri dalam pasukan Perancis, dan pada tahun 1940 ia ditangkap oleh Jerman. Setelah dibebaskan, ia kembali ke Paris. Di sana ia meneruskan karyanya sebagai pengajar dalam bidang filsafat sampai tahun 1944. Dalam waktu inilah ia menyelesaikan bukunya yang terkenal berjudul
L‘Etre et Le Neant, pada tahun 1943.
Dalam gerakan politik bersama temannya, Albert Camus dan Maurice Merleau Ponty, ia bekerja sama dengan Partai Komunis Perancis. Tahun 1960 terbit bukunya berjudul
Critique de la Raison Dialectique (Encyclopedia of Philosophy, 7,
1967:287 dan Encyclopedia of
Philosophy, 8, 1967:88).
Menurut ajaran eksistensialisme,
eksistensi manusia mendahului
esensinya. Hal ini berbeda dari tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului wujud nyata
(Existence) dianggap mengikuti hakikat (Essence)nya. Jadi hakikat manusia
mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain (Hanafi, l981;90).
Manusia harus menciptakan
eksistensinya sendiri (Beerling, 1966:215). Berikut ini dijelaskan apa sebenarnya yang dimaksud dengan ungkapan eksistensi mendahului esensi itu.
Jika seseorang ingin membuat suatu barang, misalnya buku, ia seharusnya telah mempunyai konsep tentang buku yang akan dibuatnya itu. Selanjutnya dibuatnya buku itu sesuai dengan konsep yang telah ada
padanya. Kita tidak dapat
membayangkan seseorang dapat
membuat buku tanpa didahului oleh suatu konsep tentang buku. Dapatlah dikatakan sekarang bahwa konsep
buku merupakan esensi buku,
sedangkan wujud buku adalah eksistensinya. Jelaslah sekarang bahwa kehadiran buku itu ditentukan oleh pembuatnya, yaitu manusia. Maka untuk buku berlaku esensi mendahului eksistensi. Ini tentulah formula biasa, yang tidak biasa ialah
eksistensi mendahului esensi
sebagaimana yang diajarkan
eksistensialisme itu untuk manusia. Bila kita berfikir bahwa Tuhan adalah pencipta maka kita akan
membayangkan bahwa Tuhan
mengetahui secara pasti apa yang akan diciptakan-Nya. Jadi, konsep sesuatu yang akan diciptakan oleh Tuhan itu telah ada sebelum sesuatu itu diciptakan atau ditiadakan. Jika
demikian, maka bagi manusia juga berlaku formula esensi mendahului esensinya. Ini bila Tuhan yang menciptakan manusia. Ide seperti ini ada pada agama, juga pada Diderot, Voltaire, Kant, dan lain-lain. Bahkan pada plato, konsep sudah di alam idea. Ternyata, Sartre menyatakan bahwa itu semua berlawanan dengan kenyataan.
Eksistensialisme yang ateis, yang saya adalah salah seorang tokohnya, menyatakan bahwa bila Tuhan tidak ada, maka tinggal satu
yang ada yang eksistensinya
mendahului esensinya, suatu ada yang adanya sebelum ia dapat dikenal dengan suatu konsep tentang dirinya. Itu adalah manusia, yang oleh Heidegger disebut realitas manusia Apa yang kita maksud dengan mengatakan eksistensi mendahului
esensi pada manusia ? Kita
maksudkan bahwa manusia adalah yang pertama dan semua yang ada, menghadapi dirinya, menghadapi dunia, dan mengenal dirinya sesudah itu. Bila manusia sebagai seorang eksistensialis melihat dirinya sebagai tidak dapat dikenal, itu karena ia mulai dari ketiadaan. Dia tetap tidak akan ada, sampai suatu ketika ia ada seperti yang diperbuatnya terhadap dirinya. Oleh karena itu, tidaklah ada kekhususan kemanusiaan karena tidak Tuhan yang mempunyai konsep tentang manusia (Strhl den Struhl, 1972:36).
Formula ini dianggap amat penting oleh Sartre karena, bila
eksistensi manusia mendahului
esensinya, berarti manusia harus bertanggung jawab untuk apa ia ada. Sartre menjelaskan, karena manusia mula-mula sadar bahwa ia ada, itu berarti manusia menyadari bahwa ia
menghadapi masa depan, dan ia sadar berbuat begitu. Hal ini menekankan suatu tanggung jawab pada manusia. Inilah yang dianggap sebagai ajaran pertama dan utama dari filsafat eksistensialisme. Bila manusia itu bertanggung jawab atas dirinya sendiri, tetapi juga pada seluruh manusia (Struhl den Struhl, 1972:37).
Sartre adalah fi1osof ateis. Itu dinyatakannya secara terang-terangan. Konsekuensi pandangan ateis itu ialah Tuhan tidak ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukanlah ciptaan Tuhan. Oleh karena itu, konsepnya tentang manusia ialah manusia bukan ciptaan Tuhan. Dari pemikiran ini ia
menemukan bahwa eksistensi
manusia mendahului esensinya.
Seandainya pemikiran ini diajukan untuk menekankan tanggung jawab manusia, itu tidaklah sulit jika ia percaya kepada Tuhan.
Manusia itu merdeka, bebas. Oleh karena itu, Ia harus bebas menentukan, memutuskan. Dalam
menentukan, memutuskan, ia
bertindak sendirian tanpa orang lain yang menolong atau bersamanya. Ia harus menentukan untuk dirinya dan
untuk seluruh manusia. Sartre
mengatakan bahwa dalam
memutuskan itu orang berdiri sendiri. Ini karena ia ateis. Bila ateis, maka manusia akan tahu bahwa dalam memutuskan ia tidak sendirian, ajaran
Tuhan bersamanya dalam
memutuskan. Rasa takut itu muncul karena adanya kesadaran pada manusia bahwa ia manusia. Rasa seperti tidak ada pada hewan, tumbuhan, dan bebatuan.
Manusia selalu dalam keadaan
menuju kepada orang lain.
Setelah yang lain itu tercapai, pada waktu itu pula ia menyangkalnya.
Jadi, manusia itu selalu berubah, selalu meluncur, selalu menuju kepada. Hakikat penyangkalan itu dapat dirumuskan dalam kalimat “Yang ada tidak dimaui, yang dimaui belum ada. Jadi, manusia itu laksana orang yang mengejar bayangannya”. Menurut Sartre, itulah hakikat manusia.
Manusia harus berbuat, dan harus pula mengingkari hasilnya. Ini hukuman. Keadaan ini menimbulkan rasa mual, rasa hendak muntah. Akan tetapi, bila konstruksi itu diubah, maka yang terjadi ialah kekacauan, semua menjadi semua, semua dapat teijadi. Manusia harus menghadapi kenyataan ini. Manusia menjadi mual menghadapi kenyataan itu, sedangkan sifat eksistensi manusia selalu ingin mengubah. Terasa kenyataan itu beban berat, bahkan menindas. Itulah pada dasarnya yang dimaksud oleh Sartre dengan nausee (Drijarkara, 1 996:75).
Sartre menghantam setiap bentuk determinisme. Ia menjelaskan
bahwa kemerdekaan itu harus
diartikan merdeka dalam
keterbatasannya artinya ia merdeka dalam kondisinya. Orang lumpuh
merdeka dalam kelumpuhannya,
orang yang hidup dalam sel penjara
merdeka dalam keadaannya.
Selanjutnya Sartre mengemukakan bahwa ada bersama itu berupa konflik atau permusuhan terus-menerus. Oleh karena saya tatkala bertemu dengan orang lain (Beerling, 1996:231). Jadi, di dalam hubungan antar manusia itu, hanya ada dua kemungkinan menjadi subjek atau menjadi objek, memakan atau dimakan (Drijarkara, 1966:89).
Kelihatan Sartre sedikit “lembut” tatkala ia mengatakan bahwa relasi antar manusia terjadi
juga karena ikatan cinta kasih. Dalam cinta kasih pihak lain kepadaku, demikian Sartre, eksistensiku diakui, badanku diinginkan, aku dihargai (Peursen, 1980:226). Di sini sifat saling merendahkan, saling memakan, seperti menghilang dan filsafat Sartre. Sekalipun demikian, demikian Sartre, dalam hubungan cinta kasih inipun konflik yang ada (Peursçn, 1980:226).
Kebebasan dan Ketidakbebasan
Masalah kemerdekaan atau kebebasan selalu mendapat perhatian dan setiap filsafat. Dalam persoalan mi muncul pandangan determinisme dan free will (bebas). Bagaimana pikiran Sartre tentang ini ? Tindakan atau tertindak adalah bagian sentral dalam filsafat Sartre. Manusia itu
menjalani eksistensinya dalam
perbuatan. Syarat utama dapat bertindak ialah adanya kemerdekaan (Struhl den Struhl, 1972: 107-117). Sartre menghantam setiap bentuk determinisme. Semua itu nonsense, kata Sartre, jika aku menjerumuskan kesusilaanku, karena aku mau. Jika aku tidak mau tidak berdayalah dorongan-dorongan yang ada dalam badanku. Jika aku jatuh cinta karena aku merdeka memilih jatuh cinta. Sartre mengatakan bahwa keapaan
manusia bergantung pada
kemauannya yang berasal dari kemerdekaannya.
Sebagian besar buku Sartre berisi uraian yang tajam dan sinis tentang hubungan antar manusia: relasi antara kesadaran yang satu dengan kesadaran yang lain. Apa yang terjadi antara manusia dengan manusia, dalam instansi yang terakhir ialah rivalitas dan konflik. Saya mendekati orang lain, menurut Sartre tidak dapat diartikan selain bahwa
saya hendak merebutnya, saya hendak menjadikannya objek.
Disini kita menyaksikan untuk kesekian kalinya dilema dalam filsafat Sartre: disatu pihak seseorang memerlukan orang lain agar ia dapat menjalani eksistensinya, tetapi dipihak lain ada bersama itu merupakan permusuhan. Sekarang semakin lengkaplah keterhukuman
manusia, terdamparannya, dan
kesegarannya. Semakin jelas
mengapa hidup itu dikatakan
memuakkan, putus asa.
Sartre memulai filsafatnya dengan menjelaskan hakikat ekstensi
manusia. Eksistensi manusia
mendahului esensinya. Mulainya manusia bereksistensi ialah sejak ia mengenal dirinya dan dunia yang dihadapinya. Itu berarti bahwa ia telah berkesadaran, dan kesadaran itu muncullah tanggung jawab, karena bertanggung jawab, maka manusia
harus memilih, menentukan,
memutuskan, dilakukannya sendirian. Timbullah rasa kesendirian, sepi, lalu takut. Takut itu tidak jelas objeknya, tidak jelas takut pada apa. Ini tentu menjadi penderitaan.
Karena kesadarannya itu
manusia harus berbuat, berarti ia selalu berubah, selalu mengalih, karena yang ada tidak dimaui dan yang dimaui ialah yang belum ada. Tentu saja manusia selalu mendobrak berpindah, meluncur terus. Manusia menjadi mual, muak, seperti mau muntah. Manusia dipaksa bekerja, tetapi tanpa harapan. Sial betul nasib manusia. Determinisme ditolak, tetapi
manusia dihukum berarti
determinisme juga.
Kehidupan bersama diperlukan, tetapi ada bersama itu merupakan neraka bagi manusia dan dilema.
Memang filsafat Sartre penuh kalau
bukan seluruhnya oleh dilema.
Sebenamya kekacauan filsafat Sartre disebabkan oleh pandangan yang ateis. Apa yang tidak dapat diselesaikannya itu sesungguhnya dapat diselesaikan dalam teisme (Drijarkara, 1966:89).
Bagaimanapun juga, tampaklah di dalam uraian di atas, bahwa filsafat Sartre bentrokan dengan realitas. Kita akui, bahwa buah pikiran Sartre memuat pandangan-pandangan yang bagus. Namun dasar-dasarnya tidak tahan uji baik secara teoritis maupun empiris (Drijarkara, 1966:89).
Penutup
Eksistensialisme adalah
filsafat pemberontakan, terpusat pada individu melawan ide Pencerahan Eropa dengan tekanannya pada sistem dan rasionalitas artinya manusia melawan individual melawan dunia, masyarakat, lembaga, dan cara berpikir. Manusia harus memilih apa yang mau mereka kerjakan dan mereka mau menjadi apa. Mereka
adalah bebas. Para filosof
eksistensialis dalam tulisannya
menekankan pada kebebasan,
individualitas, tanggung jawab, dan pilihan. Selain itu juga menulis
mengenai keterasingan dan
keputusan.
Dengan mempelajari filsafat eksistensialisme dalain hubungannya dengan pendidikan umum/pendidikan
nilai maka manusia memiliki
moralitas yang berintikan etika, norma, estetika, dan agama. Untuk itu, meskipun manusia memiliki kebebasan, tetapi tetap dibatasi oleh moralitas yang berintikan unsur-unsur dimaksud.
Daftar Pustaka
Berten, K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. Berten, K. (1979). Ringkasan Sejarah
Filsafat. Yogyakarta:
Kanisius.
Beerling, R.F. (1996). Filsafat
Dewasa Ini. Terjemahan
Hasan Arnin. Djakarta: Balai Pustaka. Drijarkara, S.J. (1996). Percikan Filsafat. Djakarta: Pembangunan. Encyclopedia American. (1977). Encyclopedia Britannica. (1970). Hanafi, A. (1981). Ikhtisar Sejarah
Filsafat Barat. Jakarta: Al-Husna.
Peursen, C.A. van. (1980). Orientasi
Di Alam Filsafat,
Diterjemahkan oleh Dick
Hartoko, Jakarta: Gramedia. Smith., L Raeper., W. (1991). Filsafat
dan Agama Dulu dan
Sekarang. Alih Bahasa oleh P. Hardono Hadi. Yogyakarta: Kanisius.
Strurhl, Paula Rothenberg, den Karsten J. Struhl. (1972). Philosophy Now. New York: Random, Inc.
Tafsfr, Ahmad. (2008). Filsafat Umum. Bandung: Remaja Rosdakarya.