• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Diazepam sebagai obat esensial

Diazepam adalah obat esensial golongan benzodiazepin yang tercantum dalam WHO Model List of Essential Medicines Edisi 19 (WHO, 2015) serta Daftar Obat Esensial Nasional (Kemenkes RI, 2015a). Obat esensial adalah obat terpilih yang digunakan dalam pelayanan kesehatan, mencakup upaya diagnosis, profilaksis, terapi dan rehabilitasi, yang diupayakan tersedia di fasilitas kesehatan sesuai dengan fungsi dan tingkatannya (Kemenkes RI, 2015a). Obat esensial harus tersedia setiap saat dalam dosis yang semestinya untuk semua lapisan masyarakat (MSH, 2012).

Tidak semua obat golongan benzodizepin termasuk dalam obat esensial. Terdapat tiga senyawa benzodiazepin yang termasuk esensial, yaitu : diazepam, lorazepam dan midazolam (WHO, 2015; INCB, 2015; Kemenkes RI, 2015a). Menurut Formularium Nasional, diazepam harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer dan rujukan, sedangkan ketersediaan lorazepam dan midazolam untuk fasilitas kesehatan rujukan (Kemenkes RI, 2014). Fasilitas pelayanan kesehatan tingkat primer meliputi puskesmas, klinik, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik pratama atau yang setara serta rumah sakit kelas D pratama atau yang setara. Pelayanan kesehatan tingkat rujukan meliputi klinik utama atau yang setara, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus.

(2)

Benzodiazepin menimbulkan ketergantungan dan sering disalahgunakan bersama dengan narkotika opioid, alkohol maupun benzodiazepine related drugs (z-drugs) seperti zopiclon, zaleplon dan zolpidem (Jann et al., 2014; Casati et al., 2012; Micallef-Roll et al.,2009; Johansson et al., 2003). Meskipun sering disalahgunakan, pemerintah wajib menjamin ketersediaannya untuk penggunaan medis di semua fasilitas pelayanan kesehatan.

2. Diazepam merupakan obat yang dikontrol

Diazepam termasuk dalam senyawa psikotropika, sehingga penggunaannya dikontrol secara nasional dan internasional. Secara nasional dikontrol melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, sedangkan secara internasional melalui Convention on Psychotropic Substance of 1971, yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi Psikotropika 1971. Pengaturan tersebut bertujuan untuk menjamin ketersediaannya guna kepentingan kesehatan dan ilmu pengetahuan, dan pada saat yang sama mencegah terjadinya penyalahgunaan (Pemerintah RI, 1997; United Nations, 2013).

Menurut Convention on Psychotropic Substance of 1971, terdapat 35 senyawa yang termasuk dalam golongan benzodiazepin yang dikelompokkan menjadi tiga sesuai dengan indikasi medis, yaitu 12 senyawa benzodiazepin sebagai sedatif hipnotik, 22 senyawa benzodiazepin sebagai ansiolitik dan satu senyawa benzodiazepin sebagai antiepileptik (United Nations, 2013; INCB, 2015). Saat ini terdapat 125 senyawa psikotropika yang dikontrol secara internasional, empat di antaranya termasuk dalam WHO Model List of Essential

(3)

Medicines Edisi 19 Tahun 2015 yaitu, diazepam, lorazepam, midazolam, dan fenobarbital (INCB, 2015; WHO, 2015).

Diazepam termasuk dalam golongan benzodiazepin ansiolitik, yang merupakan psikotropik golongan IV menurut Convention on Psychotropic Substance of 1971 maupun Undang-Undang Psikotropika Nomor 5 Tahun 1997. Sesuai dengan Konvensi Psikotropika Tahun 1971, penggunaan psikotropika tidak wajib untuk dilaporkan. Kewajiban melaporkan psikotropika golongan III dan IV bagi negara adalah jumlah yang diproduksi, yang diimpor dan yang diekspor. Akan tetapi, negara diperbolehkan melakukan pengawasan dalam negeri secara lebih ketat untuk melindungi kesehatan dan keselamatan masyarakat (United Nations, 2013).

3. Penggunaan diazepam untuk medis

Dalam pengobatan, diazepam diindikasikan untuk terapi kecemasan (ansietas) dalam penggunaan jangka lama, karena mempunyai masa kerja panjang (Finkel et al., 2009). Selain itu juga sebagai sedatif dan keadaan psikosomatik yang ada hubungan dengan rasa cemas. Selain sebagai ansietas, diazepam digunakan sebagai hipnotik, antikonvulsi, pelemas otot dan induksi anastesi (Katzung et al., 2012). Diazepam juga digunakan untuk preeklampsia dan eklampsia yang diberikan secara intravena dengan dosis 10 mg (Kemenkes RI, 2007). Sediaan diazepam tersedia dalam bentuk tablet, sirup, injeksi dan enema untuk penggunaan rectal.

Hasil survei awal di tiga rumah sakit di Yogyakarta yang dilakukan oleh peneliti pada bulan Mei 2015 menunjukkan bahwa diazepam merupakan

(4)

psikotropika yang masih banyak digunakan. Menurut beberapa penelitian, diazepam juga masih banyak diresepkan di berbagai fasilitas kesehatan di Indonesia. Pemberian psikotropika oleh perawat di puskesmas Kota Padang berupa tablet diazepam sebanyak 23,01% dan fenobarbital 21,51% (Indrawati, 2009), sedangkan di Kota Yogyakarta 2,5% resep racikan di apotek mengandung diazepam (Wiedyaningsih, 2004). Penelitian Syaripuddin (2014) di Rumah Sakit Umum Daerah DKI Jakarta pada tahun 2011 menunjukkan bahwa tablet diazepam 5 mg merupakan sepuluh besar obat yang diresepkan, dan harga tablet diazepam 5 mg merk dagang 50 kali harga tablet generik. Penelitian Ambarsari (2017) tentang peresepan benzodiazepin di salah satu apotek di Yogyakarta selama bulan Juli sampai dengan September 2016 menunjukkan adanya peresepan alprazolam 87,18%, klobazam 4,12%, lorazepam 3,66%, klonazepam 2,29%, estazolam 1,14%, diazepam 0,92% dan nitrazepam 0,69%.

Penelitian tentang penggunaan diazepam di beberapa negara adalah di Republik Macedonia, selama tahun 2003-2013 konsumsi golongan benzodiazepin didominasi oleh diazepam 5 mg yang mencapai 59% (Petrushevska et al., 2015). Di Bosnia, psikotropika yang sering diresepkan untuk pasien rawat jalan selama tahun 2002-2008 adalah diazepam, fenobarbital dan karbamazepin (Markovic et al., 2010). Di Latvia, peresepan psikotropika tertinggi selama tahun 2002-2008 adalah diazepam (Vrublevska et al., 2008), sedangkan peresepan pasien rawat jalan di rumah sakit di Singapura selama tahun 2005-2013 masih didominasi oleh diazepam, alprazolam dan lorazepam (Lee et al., 2015). Di Australia, peresepan benzodiazepin terbesar selama tahun 1992-2011 adalah temazepan 35% dan

(5)

diazepam 23% (Islam et al.,2014). Di Departemen Psikiatri Rumah Sakit Pendidikan di Karnataka, India, benzodiazepin merupakan obat psikotropika yang paling banyak diresepkan untuk pasien rawat jalan yang meliputi klonazepam (47,86%), diazepam (21,05%) dan lorazepam (18,95%) (Sabu et al., 2017). Peresepan terbanyak di Departemen Neurologi Rumah Sakit di Tamil Nadu, India adalah fenitoin (92,10%), diazepam (36,84%) dan sodium valproat (7,89%) (Vettikkadan et al., 2014).

4. Tren konsumsi diazepam

Data nasional yang dilaporkan ke INCB selama tahun 2010-2012 menunjukkan terdapat 11 jenis obat golongan benzodiazepin yang dilaporkan, atau sekitar 31 % dari semua obat golongan benzodiazepin. Sebelas jenis obat tersebut meliputi : alprazolam, bromazepam, klordiazepoksid, klobazam, diazepam, lorazepam, klonazepam, estazolam, midazolam, nitrazepam dan flurazepam (INCB, 2014). Dari 11 jenis tersebut terdapat lima jenis obat yang masuk dalam Formularium Nasional (Fornas), yaitu diazepam, klobazam, alprazolam, midazolam dan lorazepam (Kemenkes RI, 2014), dengan konsumsi terbanyak diazepam (INCB, 2014). Konsumsi nasional penggunaan benzodiazepin selama periode tahun 2010-2012 berfluktuasi, konsumsi terbesar adalah diazepam, klordiazepoksid dan klobazam, sedangkan benzodiazepin lain relatif rendah di bawah 100 kg per tahun bahkan ada yang di bawah 10 kg seperti bromazepam, lorazepam, klonazepam, estazolam dan midazolam. Konsumsi benzodiazepin tahun 2010-2012 disajikan pada Tabel 1.

(6)

Tabel 1. Konsumsi nasional penggunaan benzodiazepin selama tahun 2010-2012 (kg) No Jenis obat 2010 2011 2012 1 Diazepam*# 516 507 263 2 Alprazolam# 36 66 57 3 Bromazepam# 6 0 10 4 Klordiazepoksid# 354 219 279 5 Klobazam# 175 114 139 6 Lorazepam*# 7 2 8 7 Klonazepam 5 6 6 8 Estazolam 8 9 6 9 Midazolam* 2 16 22 10 Nitrazepam 10 15 35

Sumber : INCB, 2014; data diolah oleh peneliti.

* = obat esensial ; # = golongan benzodiazepin tipe ansiolitik

Tren konsumsi global benzodiazepin menunjukkan fluktuasi. International Narcotics Control Board (INCB) melaporkan bahwa rerata konsumsi benzodiazepin tipe ansiolitik selama periode tahun 2004-2012 di kawasan Afrika, Amerika dan Oceania mengalami peningkatan. Kawasan Eropa menunjukkan tren konsumsi tertinggi, sedangkan untuk kawasan Asia mengalami penurunan. Total produksi global benzodiazepin tipe ansiolitik pada tahun 2012 didominasi oleh alprazolam (29%), diazepam (26%), lorazepam (21%) dan bromazepam (8%) (INCB, 2014).

Rerata konsumsi global pertahun diazepam mengalami penurunan 20% antara periode tahun 2004-2006 dibandingkan dengan konsumsi antara periode tahun 2011- 2013, yaitu dari 5,2 S-DDD menjadi 4,1 S-DDD per 1000 penduduk per hari. Penurunan konsumsi terbesar di kawasan Asia (70%) dan Amerika (44%). Rerata konsumsi di kawasan Asia pada periode tahun 2004-2006 sebesar 2,56 S-DDD dan periode tahun 2011-2013 turun menjadi 0,76 S-DDD. Sebaliknya, rerata konsumsi di kawasan Afrika dan Oceania mengalami

(7)

peningkatan, berturut-turut 70% dan 11 % (INCB, 2015). S-DDD adalah singkatan dari define daily doses for statistical purposes, yaitu merupakan unit teknis pengukuran untuk tujuan analisis statistik dan tidak direkomendasikan untuk dosis peresepan (INCB, 2014).

Dari 164 negara yang melaporkan ke INCB pada periode tahun 2011-2013, terdapat 37 negara dengan konsumsi diazepam di atas rerata global, dengan konsumsi tertinggi adalah Ghana (50,5 S-DDD), Yugoslavia (26,1 S-DDD) dan Kroasia (25,9 S-DDD), 90 negara dengan konsumsi diazepam di bawah 1 S-DDD per 1000 penduduk per hari serta 22 negara dengan konsumsi diazepam di bawah 0,1 S-DDD (INCB, 2015). Konsumsi diazepam 1 S-DDD berarti konsumsi nasional diazepam 10 mg per hari per 1000 penduduk selama satu tahun (365 hari).

Dibandingkan dengan negara lain di lingkungan ASEAN, konsumsi diazepam di Indonesia tergolong rendah. Pada tahun 2011 konsumsi diazepam di Indonesia sebesar 0,35 S-DDD di bawah Thailand (4,17 S-DDD), Singapura (2,11 S-DDD), Laos (0,72 S-DDD) dan Malaysia (0,46 S-DDD), sedangkan konsumsi diazepam untuk negara Kamboja hampir mendekati Indonesia, yaitu 0,33 S-DDD. Negara ASEAN lain dengan konsumsi diazepam lebih rendah dari Indonesia adalah Filipina (0,04 S-DDD) serta Vietnam (0,24 S-DDD) (INCB, 2013, data diolah).

Dengan konsumsi nasional yang relatif rendah di antara negara ASEAN tersebut, timbul pertanyaan: “Mengapa konsumsinya rendah?”, “Apakah kebutuhan untuk medis telah terpenuhi?”, ”Apakah kebutuhan diazepam sudah

(8)

digantikan oleh golongan benzodiazepin lainnya?”, atau kemungkinan adanya penggunaan benzodiazepin dari jalur tidak resmi atau adanya faktor lain yang mempengaruhi ketersediaan obat tersebut.

5. Penyalahgunaan diazepam

Laporan dari Direktorat Tindak Pidana Narkotika Bareskrim Polri menunjukkan barang bukti penyalahgunaan benzodiazepin yang disita selama tahun 2011-2014 mengalami penurunan berturut-turut sebanyak 518.478,25 tablet, 512.523 tablet, 460.806,75 tablet dan 356.631 tablet (Bareskrim Polri, 2015). Jika diasumsikan barang bukti benzodiazepin tersebut sebagai tablet diazepam 5 mg, maka penyalahgunaan selama empat tahun mencapai 9,242 kg.

Barang bukti yang disita sebagai kasus penyalahgunaan psikotropika tersebut mengindikasikan adanya penggunaan dan ketersediaan di jalur tidak resmi, baik yang berasal dari sediaan medis dalam negeri maupun dari luar negeri. Penanganan kasus psikotropika tersebut hanya merupakan fenomena gunung es yang bisa diungkap, kemungkinan masih banyak kasus psikotropika yang belum terungkap oleh pihak kepolisian maupun Badan Narkotika Nasional (BNN) atau Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengingat keterbatasan sumber daya. Untuk itu perlu dikaji distribusi diazepam di jalur resmi untuk mengetahui kemungkinan adanya infiltrasi dan kebocorannya.

6. Hambatan ketersediaan psikotropika

Ada hambatan yang unik dalam hal ketersediaan dan penggunaan psikotropika, mengingat potensi penyalahgunaan dan sebagai golongan obat yang dikontrol. Menurut survei INCB tahun 2014, hambatan tersebut meliputi

(9)

kekhawatiran ketergantungan terhadap psikotropika; keengganan untuk meresepkan atau penyediaan karena efek rasa takut akibat hukum atau sanksi; kurangnya pelatihan terhadap profesi pelayan kesehatan tentang psikotropika; ketakutan adanya diversi; hukum atau peraturan yang terlalu ketat; beban administrasi; keterbatasan sumber daya; permasalahan biaya pengobatan dengan menggunakan psikotropika; faktor budaya dan perilaku sosial; pengendalian dan pengawasan yang berlaku secara internasional; permasalahan fasilitas pelayanan kesehatan, seperti akses terhadap rumah sakit, puskemas, klinik atau apotek (INCB, 2015).

Faktor diversi dalam penggunaan psikotropika lebih rendah daripada penggunaan narkotika. Hambatan utama ketersediaan psikotropika adalah kurangnya pengetahuan dan kesadaran di antara tenaga kesehatan tentang konsep penggunaan rasional obat psikotropika. Hal ini memberi kontribusi yang besar terhadap penyediaan dan peresepan psikotropika tersebut. Demikian juga masih kurangnya pengetahuan tentang penggunaan rasional psikotropika pada kurikulum pendidikan kedokteran, mengakibatkan dokter meresepkan obat yang lebih dikenal, khususnya yang tidak dikontrol secara nasional maupun internasional (INCB, 2015).

Permasalahan biaya pengobatan juga menjadi penghambat terhadap akses mendapatkan psikotropika. Ternyata biaya pengobatan dengan psikotropika, sebesar 98% ditanggung pasien, 73% oleh pemerintah dan 62% melalui skema asuransi kesehatan. Kebijakan jaminan sosial dan skema asuransi kesehatan nasional menjadi faktor penting untuk meningkatkan akses dan keterjangkauan

(10)

psikotropika (INCB, 2015). Program Jaminan Kesehatan Nasional melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang diterapkan di Indonesia sejak tahun 2014 diharapkan dapat meningkatkan akses dan keterjangkauan psikotropika.

Berdasarkan permasalahan terhadap diazepam tersebut, peneliti tertarik untuk mengkaji ketersediaan diazepam nasional untuk kebutuhan medis serta mengetahui faktor yang berpengaruh, yaitu melalui pengukuran penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain di Indonesia selama periode tahun 2004-2013, mengkaji alur distribusi di jalur resmi, kemungkinan adanya infiltrasi dan kebocoran distribusi serta menganalisis faktor yang mempengaruhi ketersediaan diazepam. Dengan demikian, hasil penelitian ini dapat mengetahui tingkat ketersediaan diazepam selama ini telah memenuhi kebutuhan medis, kurang atau berlebih. Kurangnya ketersediaan akan menurunkan kualitas pelayanan kesehatan serta mendorong terjadinya pengobatan yang tidak rasional karena pasien menerima obat tidak sesuai kebutuhan klinik, sedangkan ketersediaan berlebih dapat menimbulkan pemborosan, berpotensi terjadi penyalahgunaan, diversi serta kebocoran ke jalur distribusi tidak resmi.

Penelitian ini penting dilakukan karena ketersediaan, distribusi serta penggunaan obat berkaitan dengan sistem kesehatan dan berkontribusi pada penggunaan obat yang rasional. Menurut McBain (2012), ketersediaan obat psikotropika berkaitan dengan lima komponen sistem kesehatan mental (legislasi kesehatan mental, implementasi hak asasi manusia, pembiayaan dalam pelayanan kesehatan, sumber daya manusia serta peran kelompok advokasi). Penggunaan

(11)

obat yang rasional dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan, yaitu faktor sistem pelayanan kesehatan, prescriber, dispenser serta pasien dan masyarakat (MSH, 2012). Ketersediaan obat yang baik mengindikasikan adanya sistem kesehatan yang baik.

Dalam Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 menyebutkan bahwa, penyelenggaraan SKN memerlukan keterkaitan unsur-unsur SKN sebagai suatu tata hubungan yang efektif yang dijabarkan melalui penyelenggaraan tujuh subsistem, yaitu: subsistem upaya kesehatan, penelitian dan pengembangan kesehatan, pembiayaan kesehatan, sumber daya manusi kesehatan, sediaan farmasi, alkes dan makanan, manajemen, informasi dan regulasi kesehatan, serta subsistem pemberdayaan masyarakat. Penyelenggaraan subsistem sediaan farmasi, alkes dan makanan dengan cara menjamin keamanan, khasiat dan mutu produk yang beredar, menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat terutama obat esensial, perlindungan masyarakat dari penggunaan yang salah serta penyalahgunaan obat serta penggunaan obat yang rasional (Pemerintah RI, 2012). Dengan demikian, menjamin ketersediaan diazepam sebagai bagian dari penyelenggaran SKN.

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain untuk kebutuhan medis di Indonesia selama tahun 2004-2013?

2. Bagaimana alur distribusi diazepam untuk memenuhi kebutuhan medis, serta kemungkinan infiltrasi dan kebocoran distribusi?

(12)

3. Faktor apa yang mempengaruhi tenaga kesehatan dalam menyediakan dan meresepkan diazepam?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum : Memastikan bahwa kebutuhan diazepam untuk medis tercukupi dan penggunaannya di distribusi jalur resmi.

2. Tujuan khusus :

a. Mengkaji penggunaan diazepam dan benzodiazepin lain di Indonesia selama tahun 2004 – 2013, penggunaannya sudah memenuhi kebutuhan medis atau belum.

b. Mengkaji alur distribusi diazepam untuk kebutuhan medis serta kemungkinan infiltrasi ketersediaan dan kebocoran distribusi.

c. Menganalisis faktor yang mempengaruhi ketersedian diazepam untuk kebutuhan medis.

D. Manfaat Penelitian

1. Hasil penelitian ini secara teoritis dapat digunakan untuk mengembangkan teori manajemen obat yang memerlukan pengawasan yang bersifat khusus, seperti psikotropika dan narkotika, karena terdapat hal-hal khusus yang mempengaruhi manajemen obat yang tidak dijumpai pada obat biasa.

2. Manfaat praktis:

a. Memberi asupan kepada tenaga medis, tenaga kesehatan, penentu kebijakan, serta akademisi tentang tren penggunaan diazepam, distribusi serta peran tenaga kesehatan dalam menjamin ketersediaannya, sehingga dapat digunakan untuk peningkatan pelayanan kesehatan.

(13)

b. Memberi asupan kepada pemerintah agar dapat menjamin ketersediaan diazepam untuk kebutuhan medis, mencegah penyimpangan ke jalur tidak resmi, maupun mencegah masuknya ketersediaan diazepam dari jalur tidak resmi ke resmi.

c. Memberi asupan kepada penentu kebijakan dalam menentukan kebutuhan nasional diazepam yang adekuat serta psikotropika lain untuk menjamin ketersediaan, menentukan kebijakan ekspor dan impor obat psikotropika. d. Meningkatkan penggunaan obat yang rasional, khususnya diazepam dan

psikotropika pada umumnya, melalui strategi edukasi dan manajerial yang tepat.

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian tentang penggunaan benzodiazepin yang telah dilakukan, antara lain adalah sebagai berikut, Hollingworth (2010) mengkaji proporsi peresepan antipsikotik di Australia pada tahun 2002-2007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya peningkatan dari 61% pada tahun 2002 menjadi 77% pada tahun 2007. Laki-laki dengan umur 25-55 tahun banyak diresepkan obat olanzepin, sedangkan pada wanita paling banyak diresepkan pada umur di atas 75 tahun.

Markovic, et al. (2010) meneliti obat-obat yang bekerja pada sistem saraf yang paling banyak digunakan di Srpska, Bosnia. Hasilnya ditemukan bahwa obat golongan psikoleptik, antiepileptik dan psikoanaleptik merupakan obat yang paling banyak digunakan. Diazepam merupakan obat yang terbanyak diresepkan, diikuti oleh fenobarbital dan karbamazepim.

(14)

Sonnenberg, et al. (2012) meneliti tren penggunaan benzodiazepin di Jerman pada tahun 1992-2002, dengan menggunakan data sekunder. Sampel diambil dari pasien yang berumur 56-64 tahun. Penelitian tersebut juga melihat aspek sosiodemografi, kesehatan fisik serta mental pasien. Hasil penelitian menunjukkan tren penggunaan benzodiazepin selama sepuluh tahun relatif stabil, antara 7,8%-7,9%. Penggunaan didominasi pada wanita dengan tingkat pendidikan rendah, penghasilan rendah, penyakit fisik yang kronis, fungsi tubuh terbatas, gangguan kognitif, depresi, kecemasan, susah tidur serta pengguna antidepresan.

Petrushevska, et al. (2015) mengkaji penggunaan kelompok benzodiazepin di Republik Macedonia tahun 2003-2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan diazepam 5 mg untuk penggunaan medis mencapai 59%.

Holm, et al. (2012) menganalisis penggunaan benzodiazepin di Denmark selama periode tahun 1997-2008, yang terkait dengan umur, jenis kelamin dan penyakit ikutan, dengan menggunakan data nasional pasien yang menerima resep benzodizepin dari rumah sakit. Terjadi penurunan penggunaan benzodiazepin kerja pendek dan kerja panjang oleh penduduk Denmark dari tahun 1997-2008, namun penggunaan non benzodiazepin (benzodiazepine related drugs) seperti zolpidem dan zopiclone meningkat. Satu di antara empat penduduk usia 75-85 tahun dan satu di antara tiga penduduk usia di atas 85 tahun menggunakan benzodiazepin. Terdapat efek samping yang serius penggunaan benzodiazepin khususnya pasien usia tua.

(15)

Alba, et al. (2015) mengkaji tren konsumsi dan biaya ansiolitik dan hipnotik terhadap pasien yang terdaftar pada Sistem Kesehatan Kolombia antara bulan Januari 2008-Desember 2013. Penelitian deskriptif melalui observasi peresepan pasien rawat jalan yang menerima obat ansiolitik atau hipnotik. Hasilnya menunjukkan bahwa 11.097-19.231 pasien menerima obat yang bervariasi, sedangkan jumlah penduduk Kolombia 3.500.000. Pasien yang menggunakan klonazepam 44,1%, alprazolam 31,2%, lorazepam 13,2%. Biaya penggunaan obat ansiolitik meningkat dari US$ 207.673,63 pada tahun 2008 menjadi US$ 488.977 pada tahun 2013, meningkat 135,4%. Biaya obat per seribu penduduk sebesar US$ 0,31 untuk penggunaan benzodiazepin di tahun 2008, dan tahun 2013 sebesar US$ 0,36. Terjadi penurunan biaya obat setelah tahun 2010 karena penggunaan obat generik.

Cunningham, et al. (2010) meneliti pola penggunaan benzodiazepin di British Columbia pada penggunaan jangka panjang, menggunakan data peresepan tahun 1996-2006. Hasilnya, pada tahun 2006, 8,4% penduduk British Columbia menggunakan benzodiazepin, di antaranya 3,5% penggunaan jangka panjang. Penduduk yang menggunakan lebih banyak wanita, penghasilan rendah, usia tua dan status kesehatan yang buruk. Penggunaan jangka panjang pada penduduk usia di atas 65 tahun, dengan penghasilan yang rendah dan status kesehatan yang buruk. Tren penggunaan menurun dari tahun 1996-2006 untuk penduduk usia di atas 70 tahun, tetapi meningkat pada penduduk usia pertengahan.

Para peneliti sebelumnya mengkaji tren penggunaan benzodiazepin dengan menggunakan data peresepan. Dalam penelitian ini, tren penggunaan

(16)

diazepam dan benzodiazepin lain (ansiolitik, sedatif-hipnotik dan antiepileptik) dikaji melalui pengumpulan data konsumsi melalui produksi, impor dan ekspor secara nasional setiap tahunnya. Peneliti mengkaji faktor yang mempengaruhi ketersediaannya, menyusun alur distribusi serta kemungkinan adanya penyimpangan distribusi dan penggunaannya, sedangkan persamaannya adalah melihat tren penggunaan obat golongan benzodiazepin untuk jangka waktu lama, lima sampai sepuluh tahun. Faktor yang mempengaruhi ketersediaan diazepam dilakukan survei lokal di Daerah Istimewa Yogyakarta, provinsi dengan jumlah penderita gangguan mental emosional tertinggi di Indonesia.

Gambar

Tabel 1. Konsumsi nasional penggunaan benzodiazepin selama tahun  2010-2012 (kg)  No  Jenis obat  2010  2011  2012    1  Diazepam*#  516  507  263    2  Alprazolam#  36  66  57    3  Bromazepam#  6  0  10    4  Klordiazepoksid#  354  219  279    5  Klobaza

Referensi

Dokumen terkait

Sehingga dapat dilihat hasil penilaian rata – rata yang dicapai nilai dari kegiatan kondisi awal 64,77 dan pada silkus pertama nilai rata – rata yang dicapai 65,45

Setelah sukses menjadi aplikasi yang diminati banyak pengguna instagram menjadi media sosial yang banyak peluang untuk berbisnis bagi para penggunanya untuk

5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria ini yang berhubungan dengan hukum jaminan yaitu terdapat pada Pasal 51 yang menyatakan bahwa lembaga hak jaminan

Penerimaan Peserta Didik Baru Online pada Sekolah Menengah Pertama Negeri, Sekolah Menengah atas Negeri dan Sekolah Menengah Kejuruan Negeri Tahun Ajaran 2016/2017 Kota

Pada Star Skeletonization 5 garis, persyaratan untuk satu garis kepala dan dua garis kaki sama seperti 3 garis, sedangkan untuk 2 garis tangan dilakukan

Menurut Invencevich dan Matteson dalam Umar Nimran kohesi kelompok artinya adalah kedekatan di antara anggota di dalam suatu kelompok. Oleh karena itu, di dalam

Sementara menurut hasil penelitian orang lain, terdapat penelitian yang mendukung hasil penelitian antara lain penelitian oleh Maria Rosa Lamunde tahun 2009 di RSU

Partikular sa Pilipinas ay nagbebenta rin sila ng Chicken McDo, Burger McDo at McSpaghetti na orihinal nilang resipe na ginamitan ng lutong Pilipino para maging angkop sa panlasa