• Tidak ada hasil yang ditemukan

METABUDAYA RELASI KHODAM DAN KYAI : STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN AL FALAH PLOSO MOJO KEDIRI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "METABUDAYA RELASI KHODAM DAN KYAI : STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN AL FALAH PLOSO MOJO KEDIRI."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

METABUDAYA RELASI KHODAM DAN KYAI

(Studi Kasus di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri)

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat

Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Dirasah Islamiyyah

Oleh

Ma’rifatun Ni’mah

NIM. F09214111

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Pendidikan model pesantren memiliki beberapa karakteristik unik bila dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya. Karakteristik itulah yang banyak berpengaruh dalam membentuk karakter manusia-manusia yang berwatak khas, seperti populis, nerimo ananing pandum, suka berbagi, ikhlas, serta karakter-karakter lain yang amat jarang ditemukan dalam masyarakat modern saat ini. Karena dasar tujuan didirikannya pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yakni kepribadian yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Maka wajar kalau seseorang yang belajar di pesantren disebut dengan istilah santri. Bahkan ada yang menjadikan dirinya lebih dari seorang santri, yakni menjadi seorang pengabdi kyai/guru yang dalam dunia pesantren biasa disebut dengan khodam. Khodam adalah seorang atau sekelompok orang santri yang mengabdikan dirinya untuk melayani dan ngladeni kyai. Hubungan yang begitu kental antara santri dan kyai tersebut, banyak menarik perhatian para peneliti untuk meneliti fenomena tersebut. Akan tetapi hubungan yang lebih dari sekedar santri biasa (khodam) dengan kyai nya, nyaris belum penulis temukan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Sementara fenomena khodam di pesantren masih sangat kental hingga saat ini. Hal ini terutama penulis temukan di pondok pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri.

Tujuan dari penelitian ini adalah ingin memahami Apa makna relasi khodam dengan kyai di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri? Serta Bagaimana relasi yang dimaksud mengalami pergeseran makna? Penelitian ini menggunakan model penelitian Qualitative Inquiry dengan melalui pendekatan fenomenologi

transendental atau psikologis, yang mana pendekatan ini kurang berfokus pada

penafsiran dari peneliti, namun lebih berfokus pada deskripsi tentang pengalaman dari para partisipan tersebut. Sehingga akan menghasilkan hasil riset yang lebih komprehensif.

Dari hasil riset yang dilakukan penulis, ditemukan beberapa pola relasi yang terjadi antara khodam dan kyai di Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri. Pola relasi yang dimaksud adalah: Relasi Otoritatif-Paternalistik, Relasi

Sosio-Ekonomi, dan Relasi Sosio-Politik. Pola tersebut didapat dari klasifikasi tipologi

khodam yang ditinjau dari tujuan awal pengabdian diri. Dari ketiga pola relasi tersebut, ditemukan pergeseran makna antara hasil riset penulis dengan hasil riset-riset terdahulu. Bahwa relasi yang dibentuk antara khodam dan kyai lebih dari sekedar relasi yang dibentuk oleh santri dan kyai, yang banyak menyimpulkan sebagai relasi sosio-spiritual. Namun, juga membentuk pola relasi sosio-politik dan sosio-ekonomi, serta relasi otoritatif-paternalistik yang terlahir dari budaya

Neo-Feodalisme bercorak agama.

(7)

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN ... ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii

PENGESAHAN ... iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C.Tujuan Penelitian ... 10

D.Kegunaan Penelitian ... 10

E. Kerangka Konseptual ... 12

F. PenelitianTerdahulu ... 15

G.Metode Penelitian ... 21

(8)

BAB II : RELASI SOSIAL SANTRI DAN KYAI DI PESANTREN

A. Pola Relasi Sosial Santri dan Kyai di Pesantren ... 28

1. Budaya Relasi Patron Klien Santri dan Kyai di Pesantren ... 30

2. Budaya Feodalisme di Pesantren ... 43

3. Pertukaran Sosial (Social Exchange) Antara Santri-Kyai... 46

B. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al-Falah ... 50

C. Sejarah Awal Munculnya Khodam di Pesantren Al-Falah ... 82

BAB III : STUDI FENOMENOLOGI KHODAM DI PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO MOJO KEDIRI A. Kognitif Khodam dari Para Pelaku Khodam ... 85

B. Kognitif Khodam dari Masyarakat Pesantren Al-Falah ... 99

BAB IV : REPRESENTASI KOGNITIF KHODAM DI PONDOK PESANTREN AL-FALAH PLOSO MOJO KEDIRI A. Representasi Khodam Menurut Pelaku ... 102

B. Representasi Khodam dari Masyarakat Pesantren Al-Falah ... 108

BABV :ANALISIS RELASI KHODAM DAN KYAI DI PESANTREN AL-FALAH PLOSO MOJO KEDIRI A. Tipologi Khodam di Pesantren Al-Falah ... 111

B. Peran Khodam Terhadap Kyai dan Pesantren ... 116

1. Peran Khodam Terhadap Kyai ... 117

2. Peran Khodam Terhadap Pesantren ... 119

(9)

BAB VI : PENUTUP

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pesantren yang merupakan lembaga pendidikan tertua di Indonesia memang selalu menarik dan tidak ada habisnya untuk dibicarakan. Banyak elemen pesantren yang pantas dijadikan bahan kajian dalam studi dan penelitian, terutama studi keislaman. Mulai dari metode pembelajarannya, karakter kepemimpinan seorang kyai, kurikulum pesantren, institusi di pesantren, peran pesantren dalam pembangunan nasional, tradisi para santri di pesantren, peran seorang kyai dalam memajukan pondok pesantren, hingga kehidupan para khodam (abdi dalem1) yang jarang terbidik, yang cukup menarik untuk dijadikan topik. Hal ini dikarenakan pesantren memiliki daya tarik tersendiri yakni mampu menjaga kelestarian budaya yang khas Indonesia sejak beratus-ratus tahun lamanya. Selain itu pesantren juga terbukti tetap survive di tengah-tengah arus globalisasi yang sedang melanda saat ini.

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya, setiap daerah bahkan memiliki kebudayaan masing-masing yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Berbicara mengenai pesantren, secara substansial pesantren merupakan

1Abdi dalem adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengabdikan dirinya untuk kerabat

kerendah Kraton.Istilah ini juga dipakai oleh beberapa pondok pesantren yang ada di Indonesia untuk menyebut para santri yang mengabdikan dirinya untuk melayani seorang kyai ataupun bu nyai.Salah satunya adalah di Pondok Pesantren Kedunglo di Kediri Jawa Timur. Lihat Yakobus Dwi Martyanto Saputro, “Royalitas Abdi Dalem Kristen Terhadap Raja (Alasan Abdi Dalem Menekuni

(11)

2

institusi kegamaan yang tidak mungkin dilepaskan dari masyarakat Indonesia, terutama di kalangan masyarakat pedesaan. Lembaga ini tumbuh dan berkembang dari dan untuk masyarakat dengan memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyarakat dalam pengertiannya yang transformatif. Dalam konteks ini, pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang sarat dengan nuansa transformasi sosial.Pesantren berikhtiar meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral keagamaan dan kemudian dikembangkan menjadi rintisan-rintisan pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu.2

Jika dipetakan tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat, yang sekaligus juga seorang rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian manusia.3

Pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dianut pesantren.Nilai pokok yang selama ini berkembang dalam komunitas santri adalah seluruh kehidupan ini diyakini sebagai

2Abd A’la, PembaruanPesantren, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006), 3.

(12)

3

ibadah, maksudnya kehidupan duniawi disubordinasikan dalam rangkuman nilai-nilai Ilahi yang telah mereka peluk sebagai sumber nilai-nilai tertinggi.4 Dari nilai pokok

ini berkembang nilai-nilai luhur yang lainnya, seperti nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan kemandirian.Nilai-nilai ini merupakan dasar yang dijadikan landasan pesantren dalam pendidikan dan pengembangan masyarakat, yang pada tahap berikutnya, dikembangkan sebagi nilai yang perlu menjadi panutan bagi masyarakat luas.5

Nilai-nilai budaya sosial yang unik dan memiliki ciri khas tersebut tentu saja juga menghasilkan pandangan hidup dan aspirasi yang khas pula. Visi untuk mencapai penerimaan di sisi Allah di hari kelak menempati prioritas utama dalam tata nilai di pesantren, visi mana yang dalam terminologi pesantren dikenal dengan nama keikhlasan (berbeda dengan keikhlasan yang dikenal di luar lingkungan masyarakat, yang mengandung pengertian ketulusan dalam menerima, memberikan, dan melakukan sesuatu di antara sesama makhluk). Orientasi ke arah kehidupan akhirat (ukhrawi), yang terutama ditekankan pada pengerjaan perintah-perintah agama seteliti dan selengkap mungkin, merupakan pokok dasar pemikiran pesantren, sebagaimana dapat ditemukan pada literatur yang diwajibkan di dalamnya. Wajah lain dari pandangan hidup ini adalah kesediaan yang tulus untuk menerima apa saja Qadar yang diberikan oleh Tuhan, terutama bila dipandang dari sudut kehidupan materiil, asalkan pandangan ukhrawi itu sejauh mungkin dapat dipuaskan.

4Lihat Bachtiar Effendi, “Nilai-nilai Kaum Santri” dalam M. Dawam Raharjo (ed.), Pergulatan

(13)

4

Seorang kyai dengan para pembantunya merupakan hierarki kekuasaan satu-satunya yang secara eksplisit diakui dalam lingkungan pesantren. Ditegakkan di atas kewibawaan moral sang kyai sebagai penyelamat para santrinya dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan, kekuasaan ini memiliki perwatakan absolut. Hierarki intern ini, yang sama sekali tidak mau berbagi tempat dengan kekuasaan dari luar dalam aspek-aspeknya yang paling sederhana pun, juga membedakan kehidupan pesantren dari kehidupan umum di sekitarnya. Demikian besar kekuasan kyai terhadap diri santrinya sehingga si santri untuk seumur hidupnya akan senantiasa terikat dengan kyai nya, minimal sebagai sumber inspirasi dan sebagai penunjang moral dalam kehidupan pribadinya. Dalam urusan memilih jodoh, pembagian harta pusaka dengan sesama ahli warisnya, bahkan dalam menentukan lapangan pekerjaan pun, seorang santri merasakan kewajiban moral untuk berkonsultasi dan mengikuti petunjuk-petunjuk kyainya tersebut.6

Berbicara mengenai Islam di Jawa, terlebih di Jawa Timur, memang tidak bisa dilepaskan dengan apa yang di atas disebut sebagai kyai, santri dan pondok pesantren. Santri dalam pengertian umum adalah mereka yang memusatkan perhatiannya pada doktrin Islam, khususnya penafisran moral dan sosialnya. Namun aplikasi sosial dan moralnya rupanya berbeda antara santri yang masuk dalam kelompok ‘modernis’ (kota) dan santri yang masuk dalam kelompok ‘tradisionalis’ (desa). Sifat kelompok santri ‘modernis’ adalah ‘apologetik’ dalam

artian bahwa Islam dianggap sebagai kode etik yang paling tinggi untuk masyarakat modern. Islam sebagai doktrin sosial juga dapat dikenakan pada kehidupan

(14)

5

masyarakat modern. Sedangkan santri ‘tradisionalis’ sedikit tidak begitu

menekankan aspek doktrinal. Akan tetapi lebih kepada nilai-nilai budaya Islam pra-Islam, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam mistisisme Hindu atau Budha. Dalam hal ini pandangan dan cara hidup mereka relatif lebih dekat dengan kelompok abangan7, akan tetapi secara keagamaan kelompok santri tradisionalis memandang dirinya lebih tinggi.8

Kelompok santri yang demikian ini, memiliki sistem nilai tersendiri yang berbeda dengan sistem manapun. Ini yang disebut Abdurrahman Wahid dengan

subkultural. Meskipun jika ditelaah lebih mendalam ternyata tidak berwatak

subkultural saja, akan tetapi nilai pokok yang berkembang di dalam komunitas itu adalah bahwa seluruh kehidupan ini dipandang sebagi ibadah. Sejak memasuki kehidupan komunitas ini, seorang santri telah diperkenalkan dengan suatu kehidupan tersendiri, kehidupan yang bersifat ‘keibadatan’. Akan tetapi nilai yang

demikian ini juga memiliki makna yang dinamis, tidak berhenti pada penyerahan kepada Allah, asketisme atau lillahi ta’ala saja, tetapi juga tetap menghiraukan kehidupan keduniawian. Bahkan inilah yang mengorientasi seluruh aktivitas keduniawian ke dalam suatu tatanan nilai ilahiyah.9

7Penyebutan kelompok ‘abangan’ ini berbeda dengan apa yang seperti Clifford Geertz maksudkan

dalam tulisannya “Agama Jawa”, yakni struktur kehidupan sosial dan orientasi serta perilaku yang

memancarkan hubungan keagamaan dari kelompok sosial yang memantulkan suasana dan tata kehidupan pedesaan. Akan tetapi yang dimaksud abangan di sini adalah mereka yang lebih dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya Islam pra-Islam, khususnya nilai-nilai yang terkandung dalam mistisisme Hindu atau Budha. Bandingkan dengan Clifford Geertz, Agama Jawa; Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), xiv.

8Iva Yuliani Umdatul Izzah, “Perubahan Pola Hubungan Kyai dan Santri pada Masyarakat Muslim

(15)

6

Hal tersebut di atas, juga memasukkan karakter ketaatan seorang santri terhadap kyai nya menjadi suatu manifestasi ketaatan mutlak yang dipandang sebagai ibadah. Dari sudut perlakuan kepada kehidupan sebagai ibadah inilah, kegiatan mencari ilmu selama bertahun-tahun dapat dimengerti. Kecintaan terhadap ilmu pengetahuan dan agama yang begitu kuat merupakan landasan untuk memahami kehidupan yang serba ibadah ini. Kecintaan ini kemudian dimanifestasikan dalam berbagai bentuk, termasuk penghormatan terhadap diri alim ulama, ahli-ahli ilmu agama, kesediaan untuk berkurban, bekerja keras untuk menguasai berbagai pengetahuan, dan kesediaan untuk mengembangkannya dalam lembaga yang sama, tanpa memperdulikan rintangan dan hambatan yang akan mereka hadapi. Kecintaan terhadap pengetahuan agama ini juga dapat dibuktikan dengan kesediaan seorang santri untuk mengaji pada kyai secara berlama-lama, serta ketekunannya dalam mendalami suatu tingkatan ilmu.10

Selain nilai serba ibadah dan cinta ilmu masih ada lagi suatu nilai yang banyak mempengaruhi kehidupan seorang santri, yaitu ‘keikhlasan’. Melaksakan

sepenuhnya apa yang diperintahkan kyai, tanpa rasa sungkan dan berat, merupakan bukti utama keikhlasan. Begitu pula pengabdian seorang kyai untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dikelolanya tanpa memperhatikan kepentinga pribadi, merupakan sikap ikhlas timbal balik antara diri seorang santri dengan kyainya (mutual symbiosis). Rangkuman nilai-nilai inilah yang membentuk watak dunia pesantren, dimana mereka melihat sesuatu tidak secara per-materi,

(16)

7

tetapi materi itu di subordinasikan kedalam suatu nilai-nilai ilahiyah, yang kemudian secara tekun dilaksanakan dengan kerelaan dan tanpa rasa berat.

Kiai, menurut Zamakhsyari Dhofier merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada ahli agama islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab klasik kepada para santrinya. Di Jawa Barat mereka disebut ajengan. Di Jawa Tengan dan Jawa Timur, ulama yang memimpin pesantren disebut kiai. Di Indonesia sekarang, banyak juga ulama yang cukup berpengaruh di masyarakat juga dapat gelar “ kiai” walaupun mereka tidak

memimpin pesantren. Gelar kiai biasanya dipakai untuk menunjuk para ulama dari kelompok Islam tradisional. Para kyai dengan kelebihan pengetahuannya dalam Islam, seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagungan Tuhan dan rahasia alam, hingga dengan demikian mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama untuk kebanyakan orang awam.11

Kyai menurut Martin Van Bruinessen memainkan peranan yang lebih dari sekedar seorang guru. Dia bertindak sebagai seorang pembimbing spiritual bagi mereka yang taat dan pemberi nasehat dalam masalah kehidupan pribadi mereka, memimpin ritual-ritual penting serta membacakan doa pada berbagai acara penting. Banyak kyai Jawa yang juga dipercaya memiliki penglihatan batin dan ilmu kesaktian tertentu.12 Inilah yang membuat santri, dan bahkan masyarakat khususnya

di pedesaan, hampir-hampir menganggap kyai keramat dan pantas untuk

11 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai

Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011), 93-94.

(17)

8

dimuliakan. Dan mampu untuk dekat dan bisa mengabdi kepada kyai merupakan suatu kebanggan tersendiri.

Selanjutnya, pendidikan model pesantren memiliki beberapa karakteristik unik bila dibandingkan dengan sistem pendidikan lainnya. Karakteristik itulah yang banyak berpengaruh dalam membentuk karakter manusia-manusia yang berwatak khas, seperti populis, nerimo ananing pandum, suka berbagi, ikhlas, serta karakter-karakter lain yang amat jarang ditemukan dalam masyarakat modern saat ini. Karena dasar tujuan didirikannya pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yakni kepribadian yang beriman, bertakwa kepada Allah SWT., berakhlak mulia dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Maka wajar kalau seseorang yang belajar di pesantren disebut dengan istilah santri.13 Bahkan ada yang menjadikan dirinya lebih dari seorang santri, yakni

menjadi seorang pengabdi kyai/guru yang dalam dunia pesantren biasa disebut dengan khodam. Khodam adalah seorang atau sekelompok orang santri yang mengabdikan dirinya untuk melayani dan ngladeni14 kyai.

Hubungan yang begitu kental antara santri dan kyai tersebut, banyak menarik perhatian para peneliti untuk meneliti fenomena tersebut. Akan tetapi hubungan yang lebih dari sekedar santri biasa (khodam) dengan kyai nya, nyaris belum penulis temukan dalam penelitian-penelitian terdahulu. Sementara fenomena khodam di pesantren masih sangat kental hingga saat ini. Hal ini terutama penulis temukan di pondok pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri.

13Syamsul Ma’arif, “Pola Hubungan Patron-Client Kyai dan Santri di Pesantren” dalam Jurnal

Ta’dib, Vol. 15, No. 2, 2010, hal. 273-274.

14 Lebih dari sekedar melayani, karena di sini santri mengerahkan semua waktu, tenaga, pikiran dan

(18)

9

Di dalam banyak pondok pesantren di Indonesia, hampir sering kita lihat seseorang atau beberapa orang yang terlihat ndereki15, melayani, mengabdi dan mencurahkan kehidupannya untuk sang kyai. Merekalah yang biasa disebut sebagai

khodam (Jawa), ada yang menyebut kebuleh (Madura)16, selain itu ada pula yang

menyebutnya dengan abdi ndalem seperti penyebutan di keraton Solo ataupun Jogja.17 Begitupun yang terjadi di pondok pesantren Al-Falah Ploso Kediri. Tradisi khodam di pondok pesantren ini masih sangat kental hingga masa sekarang ini.

Penelitian ini menggunakan model penelitian Qualitative Inquiry dengan melalui pendekatan fenomenologi transendental atau psikologis. Penelitian ini kurang berfokus pada penafsiran dari peneliti, namun lebih berfokus pada deskripsi tentang pengalaman dari para partisipannya. Inilah yang menjadikan penelitian ini sangat menarik. Di samping itu, penelitian ini berfokus pada sebuah konsep yang disebut epoche ( pengurungan) yang para penelitinya menyingkirkan pengalaman mereka, sejauh mungkin untuk memperoleh perspektif yang segar (baru) terhadap fenomena yang tengah dipelajari. Sejauh pengamatan yang penulis lakukan terhadap penelitian-penelitian sebelumnya, memang banyak tulisan yang membahas tentang hubungan kyai dan santri. Kebanyakan penulis tersebut menyatakan bahwa hubungan kyai-santri adalah hubungan paternalistik, sosio-spiritual, dan ada sebagian yang menyatakan bahwa hubungan mereka juga berkarakter sosio-politik dalam konteks tertentu. Menariknya di sini adalah belum

15Ndereki merupakan bahasa Jawa yang berarti menyertai, secara definitif ndereki merupakan kegiatan menyertai, menemani dan melayani apapun dan dimanapun kegiatan kyai.

16 Zubaidi Harfi, Wawancara, 20 Mei 2016.

17 Yakobus Dwi Martyanto Saputro, “Royalitas Abdi Dalem Kristen Terhadap Raja (Alasan Abdi

Dalem Menekuni Kehidupannya Sebagai Kerabat Kerendah Kraton Yogyakarta),” (Skripsi S. Teol,

(19)

10

ditemukan yang secara khusus membahas tentang hubungan/relasi antara khodam dan kyai, yang mana relasi antara keduanya sangat mungkin mengalami pergeseran makna dari hubungan santri dan kyai yang sudah lama menjadi budaya. Tinjauan metabudaya yang dikupas melalui pendekatan fenomenologi, tentu sangat mampu untuk menemukan pola baru hubungan santri dengan khodam secara lebih komprehensif.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka pokok permasalahan yang akan menjadi bahasan dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut:

1. Apa makna relasi khodam dengan kyai di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri bagi khodam, kyai serta masyarakat Al-Falah?

2. Bagaimana relasi khodam dan kyai yang dimaksud mengalami pergeseran makna?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui dan memahami makna relasi khodam dengan kyai di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri

2. Mengetahui dan memahami pergeseran makna mengenai relasi khodam dengan kyai di Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri

D. Kegunaan Penelitian

(20)

11

1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan membuahkan hasil penelitian yang dapat dijadikan rujukan bagi upaya pengembangan studi keislaman, dan berguna juga untuk menjadi referensi bagi mahasiswa yang melakukan kajian terhadap relasi khodam dengan kyai nya yang berada di pondok-pondok pesantren di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren di Jawa Timur. 2. Manfaat praktis

a. Bagi penulis, manfaat praktis yang diharapkan adalah bahwa seluruh tahapan penelitian serta hasil penelitian yang diperoleh dapat memperluas wawasan dan sekaligus memperoleh pengetahuan empirik mengenai penerapan fungsi Ilmu Pengetahuan yang diperoleh selama mengikuti kegiatan perkuliahan di Prodi Dirasah Islamiyah UIN Sunan Ampel Surabaya.

(21)

12

E. Kerangka Konseptual dan Teoretik

Dalam rangka menghindari ambiguitas yang mungkin akan terjadi dalam memahami judul tesis di atas, maka perlu penulis jelaskan istilah-istilah sebagai berikut:

Metabudaya : Secara istilah, Meta berarti sesuatu yang ada di luar fisik.

Sedangkan budaya dalam pengertian yang dikatakan oleh Mulhern, adalah kehidupan sosial yang biasa dan historis tentang makna, yakni aktivitas simbolik atau aktivitas yang memiliki makna dalam semua bentuknya. Maka ketika kita bicara tentang metabudaya, tentunya menjadikan budaya tidak dimaknai atau dilihat dari hanya sebatas simbol atau aktivitas luarnya saja, akan tetapi lebih dalam daripada itu. Dengan kata lain bahwa metabudaya merupakan diskursus yang di dalamnya budaya berbicara tentang dirinya sendiri, entah bagaimanapun budaya itu didefinisikan. Lebih tepat nya, diskursus metabudaya adalah diskursus yang di dalamnya budaya menjelaskan tentang kondisi umum dan kondisi eksistensinya.18

Khodam : Khodam berasal dari kata khodama, yakhdumu, khidmatan; yang

berarti melayani, mengabdi.19 Kata khodam (khodama) adalah bentuk jama’ dari

kata tunggal al-khodim (yang merupakan isim fa’il nya).20 Yang dimaksud khodam di sini adalah seseorang (santri) dan atau sekelompok orang santri yang mengabdikan dirinya untuk melayani kyai, bu nyai, keluarga kyai atau pesantren

18Francis Mulhern, Budaya/Metabudaya, Terjemah; Stephanus Aswar Herwinarko, Yogyakarta: Jalasutra, 2010, xi

19Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab- Indonesia, Cet: XIV, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), 326.

(22)

13

secara umum. Masing-masing khodam memiliki peran yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Ada pula yang mendefinisikan khodam sebagai khodimul ma’had, yakni orang-orang yang ngladeni (Bahasa jawa- melayani) atau

mengabdi kepada pondok dan keluarga kyai (ahli bait nya) lillahi ta’ala semata-mata mencari barokah.21 Di antara mereka, ada yang tugasnya mendampingi dan melayani kyai dalam melaksanakan setiap aktivitasnya, ada yang bertugas memasak di dapur, ada yang bertugas mengurusi lapangan pekerjaan (usaha) kyai, ada yang bertugas mengasuh putra/putri kyai yang masih kecil, ada yang bertugas sebagai utusan kyai ke dalam urusan di luar pesantren, bertugas mengajar di pesantren, dan lain sebagainya. (Objeknya adalah para khodam di Ponpes Al-Falah Ploso Mojo Kediri).

Pondok Pesantren: Perkataan pesantren berasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran anyang berarti tempat tinggal para santri.22 Dalam penelitian ini, pondok pesantren didefinisikan sebagai suatu tempat yang tersedia untuk para santri dalam mempelajari dan menerima pelajaran-pelajaran agama Islam sekaligus sebagai tempat berkumpul dan tempat tinggal mereka.23Meskipun di samping pesantren, lembaga pendidikan Islam yang

menyerupainya masih ada lagi; seperti di Aceh dengan sebutan rangkang dan

dayah, sedang di Sumatera Barat disebut dengan surau. Mungkin jika ditelusuri

lebih lanjut, akan ditemukan perbedaan di antara ketiga jenis lembaga

21Wawancara dengan Umayyah Azizah, salah satu khodam di Ponpes Al-Falah Queen Ploso Kediri

pada 09/05/2016 pukul 10.00 WIB.

22 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 2011), 41.

(23)

14

tersebut.Pondok pesantren yang menjadi sasaran objek dalam penelitian ini adalah Ponpes Al-Falah Ploso Mojo Kediri.

Studi Fenomenologis: Penelitian ini menggunakan kerangka teoretik Fenomenologis. Fenomenologi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah, merupakan metode untuk memahami agama/pandangan hidup orang lain dalam perspektif netralitas, dan menggunakan preferensi orang yang bersangkutan untuk mencoba melakukan rekonstruksi secara mendalam dan menurut pengalaman orang lain tersebut. Dengan kata lain semacam tindakan menanggalkan diri sendiri, dia berusaha menghidupkan pengalaman orang lain, berdiri dan menggunakan pandangan orang lain tersebut.24 Studi Fenomenologis mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Peneliti kemudian mengumpulkan data dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut, untuk kemudian mengembangkan deskripsi gabungan tentang esensi dari pengalaman tersebut bagi semua individu itu. Deskripsi ini terdiri dari apa yang mereka alami dan bagaimana mereka mengalaminya.25 Dalam hal ini penulis akan meneliti pengalaman dari beberapa orang khodam tentang apa yang mereka alami dan bagaimana mereka menjalani kehidupan sebagai seorang khodam. Selain itu, penulis juga akan mengkaji dari perspektif di luar objek utama, yakni melalui kyai, bu nyai, keluarga ndalem kyai, atau bahkan dari para santri yang lain.

24Fazlur Rahman, “Approaches to Islam in Religious Studies, Review Essay”, dalam Richard Martin (ed.), Approaches to Islam in Religious Studies, 190.

(24)

15

F. Penelitian Terdahulu

Kajian tentang khodam dalam dunia pesantren, terutama tentang relasinya dengan kyai, mungkin merupakan kajian yang terhitung baru dilakukan. Karena yang banyak penulis temukan adalah kajian mengenai hubungan kyai dengan santri.

Berpijak dari berbagai penelusuran pustaka yang telah penulis lakukan, ada berbagai literatur hasil penelitian yang secara tidak langsung berkaitan dengan topik yang penulis buat. Baik dalam bentuk buku, maupun jurnal.

Tulisan Yakobus Dwi Martyanto Saputro yang berjudul “Loyalitas Abdi Dalem Kristen Terhadap Raja (Alasan Abdi Dalem Menekuni Kehidupannya

Sebagai Kerabat Kerendah Kraton Yogyakarta)”.26 Di dalam sebuah keraton,

sering ditemui istilah abdi dalem. Mereka adalah sekumpulan orang yang mengabdikan dirinya untuk kerabat kerendah Kraton. Dia mengatakan bahwa setiap orang yang menjadi Abdi Dalem pada dasarnya melakukan hal tersebut bukan dikarenan paksaan dari orang lain ataupun raja, namun tindakan yang mereka ambil tersebut dilakukan dengan kesediaan diri mereka sendiri. Menjadi Abdi Dalem adalah tindakan yang dilakukan dengan tujuan tetap setia dalam pelestarian budaya. Inti dari permasalahan penelitian ini adalah adanya sekumpulan orang Kristen yang juga menyerahkan diri mereka menjadi Abdi Dalem kraton serta ikut serta dalam tata kehidupan kraton. Dalam melaksanakan tugas panggilan dari kraton, Abdi Dalem Kristen ini sering sekali

(25)

16

mengesampingkan tugas-tugas dan kegiatan mereka yang diluar kraton. Tidak hanya keluarga, lingkungan, pekerjaan saja yang mereka tinggalkan, namun kegiatan keagamaanpun tidak segan-segan mereka tinggalkan demi melaksanakan tugas panggilan dari raja. Adapun permasalahan lainnya adalah tindakan Abdi Dalem yang masih saja menekuni profesinya sebagai Abdi Dalem di jaman yang sudah modern ini. Diantara keinginan seorang Kristen yang memutuskan dirinya untuk menjadi Abdi Dalem hingga sampai saat ini adalah bahwa mereka memiliki suatu keinginan untuk menjadi pelaku pelestarian budaya.Yang menarik pula, dalam tulisan tersebut dikatakan bahwa ada sebuah perasaan bangga yang dirasakan oleh Abdi dalem, karena dengan itu mereka merasa disegani oleh masyarakat yang ada disekitar dia tinggal. Dan dalam masyarakat sendiri mempunyai pandangan bahwa setiap orang yang menjadi Abdi Dalem bukanlah orang yang biasa-biasa saja, namun dirinya sudah menjadi bagian dari keluarga kraton yang mereka segani dan hormati keberadaanya. Dalam tulisan tersebut, Yakobus memakai metode penelitian deskriptif eksplanatoris dengan pendekatan kualitatif. Di sini penulis tidak menemukan konsep kognitif abdi ndalem menurut para pelaku abdi ndalem sendiri, karena ketika konsep kognitif itu digali dari para pelakunya sndiri, penelitian tersebut akan lebih informatif. Ini yang menurut penulis harus diungkap agar penelitian tersebut menjadi penelitian yang komprehensif.

(26)

17

yang sama yakni melayani segala macam kebutuhan sang raja ataupun sang kyai. Namun yang membedakan mereka adalah bahwa abdi dalem lebih dominan dipengaruhi oleh keinginannya dalam melestarikan budaya, sedangkan khodam berangkat dari pengaruh doktrin agama terhadapnya. Inilah yang kiranya sangat menarik untuk dilakukan kajian lebih lanjut, apakah keberangkatan seseorang menjadi khodam merupakan pengaruh murni dari agama, ataukah ada unsur lain yang ikut mendorong pula dalam menjalankan kehidupannya yang demikian.

Selanjutnya adalah Zamakhsyari Dhofier dalam judul bukunya Tradisi pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai Masa Depan

Indonesia. Dalam buku itu Dhofier membahas tentang Tradisi Pesantren sebagai

(27)

18

tidak terlalu luas, yang pada intinya ia menyatakan bahwa kesalingtergantungan antara murid dan guru, sikap saling pengertian antara keduanya, ketulusan, kesabaran dan kecintaan antara guru dan murid, merupakan faktor yang menjamin kelangsungan kehidupan pesantren.27

Selanjutnya adalah tulisan Mansur Hidayat dalam judul “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren”. Penelitian tersebut mencoba untuk

menganalisis model komunikasi kyai dan santri di pondok pesantren Raudhatul Qur’an Al-Nasimiyyah di Semarang. Ia menyatakan bahwa model komunikasi

santri dan kyai di pesantren tersebut dipengaruhi oleh konsep akhlak, status kyai dan kharisma kyai. Pendidikan akhlak merupakan cara membentuk komunikasi dalam pesantren yang memudahkan managemen transfer ilmu ke santri. Status dan kharisma kyai merupakan faktor penambah legitimasi komunikator dalam konteks pondok pesantren. Penelitian di atas menyimpulkan bahwa konstruksi model komunikasi kyai dan santri terbentuk dari intensitas interaksi yang tinggi antara kyai dan santri.28

Tulisan Eko Setiawan dalam judul “Eksistensi Budaya Patron Klien dalam Pesantren: Studi Hubungan Antara Kyai dan Santri”. Penelitian tersebut

dilakukan di Pondok Pesantren Daarul Fikri Mulyoagung Dau Malang. Dalam tulisan itu, Eko menyatakan bahwa budaya patron klien dalam dunia pesantren bisa bertahan sampai sekarang dikarenakan beberapa faktor, diantaranya adalah kepemimpinan kharismatik kyai, nilai barokah dan nilai kualat (landasan

27 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kyai dan Visinya Mengenai

Masa Depan Indonesia, (Jakarta: LP3ES, 2011).

28Mansur Hidayat, “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren”, Jurnal Komunikasi

(28)

19

spiritual realitas sosial kyai), dan ikatan seumur hidup antara kyai dan santri. Akan tetapi hasil penelitian menunjukkan bahwa di pesantren Daarul Fikri Dau Malang, budaya patron klien ini rupanya mulai luntur seiring dengan adanya arus modernisasi. Ketaatan santri yang dulunya dibangun dari sejumlah harapan mendapatkan barokah dan menghindari kualat dari kyainya, kini berubah menjadi hubungan sebatas penghormatan kepada orang yang mempunyai ilmu lebih tinggi.29

Zainuddin Syarif dalam Judul “Mitos Nilai-nilai Kepatuhan Santri”.

Tulisan itu mengkaji tentang nuansa nilai kepatuhan santri terhadap kyai, khususnya dalam perilaku politik. Di mata santri, kyai dipandang sebagai sosok figur kharismatik dan contoh (uswah) dari sikap dan tingkah laku, serta figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam. Dari identifikasi tersebut melahirkan pola kepatuhan atau ketaatan santri terhadap kyai yang terbagi pada 3 varian, yakni 1) kepatuhan mutlak, 2) kepatuhan semu; kedua perilaku ini ditunjukkan oleh santri aktif yang memiliki ikatan guru dan murid dengan kyai; dan 3) ketaatan prismatikyang ditunjukkan oleh santri alumni; walaupun mereka masih memiliki ikatan guru dan murid, tetapi dalam perilaku politik berani berbeda dengan kyai nya.30

Penelitian Fajar A. Siregar yang dilakukan di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah Kampung Dukuh Pinang, Tangerang, Banten tentang pola komunikasi yang dilakukan dalam proses belajar, menghasilkan tiga macam

29 Eko Setiawan, “Eksistensi Budaya Patron Klien dalam Pesantren: Studi Hubungan Antara Kyai

dan Santri”, Jurnal Ulul Albab, Vol. 13, 2, (2012).

(29)

20

pola, yaitu komunikasi antar pribadi, komunikasi kelompok dan komunikasi intruksional. Data tersebut didapat dari hasil pengamatan dan partisipasi penulis dalam kegiatan yang berlangsung di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah.31

Selanjutnya jurnal yang berjudul “Bahagiakah Kalau Manut?: Studi

Perilaku Kepatuhan Pada Masyarakat Jawa” yang ditulis oleh Awiya Rahma

dan Susatyo Yuwono. Tulisan ini mengkaji tentang budaya manut yang memang sudah membudaya dan bahkan menjadi karakter di kalangan masyarakat Jawa. Penelitian tersebut menggunakan metode kualitatif dengan kuesioner terbuka yang berisikan item pertanyaan mengenai alasan bahagia tidak nya dengan perilaku manut tersebut. Sebagian responden menyatakan bahagia (untuk hal kebaikan), ada yang tergantung pada situasi dan kondisi. Selain itu ada juga responden yang tidak setuju karena manut dianggap membatasi kreativitas, dan dapat menyengsarakan hidup.32 Namun penelitian tersebut dinilai tidak menampakkan pola hubungan yang jelas antara kedua belah pihak.

Penelitian Hendro Fadli Sari berjudul “(Perilaku Politik Elit & Hubungan

Kyai-Santri) Dukungan Politik Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar

Jombang Terhadap Pilgub Jatim 2013. Tulisan tersebut bertujuan untuk

mengetahui seberapa efektif peran kyai terhadap perolehan suara di sekitar Pondok Pesantren Mambaul Ma’arif. Pola Traditional Authority Relationship

31 Fajar A. Siregar, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah Kampung Dukuh Pinang Tangerang Banten”, (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2008), 65-67.

32 Awiya Rahma dkk, “Bahagiakah Kalau Manut?: Studi Perilaku Kepatuhan Pada Masyarakat

(30)

21

yang ada di sekitar lingkungan pesantren seringkali dimanfaatkan oleh kandidat untuk memperoleh dukungan sebanyak-banyaknya.33

Berdasarkan hasil survey kepustakaan tersebut, pola hubungan kyai dan santri telah banyak dikaji oleh banyak sekali penulis terdahulu. Namun kajian khusus yang mengkaji tentang relasi khodam dengan kyai belum penulis temukan, sedangkan pola hubungan ini penulis anggap jauh lebih menarik dan komprehensif daripada hubungan yang hanya sebatas santri, yang pola relasinya banyak terlihat dalam pola sosio-intelektual, meskipun ada pula yang sudah terlihat bercorak sosio-politik. Dari ratusan santri bahkan ribuan santri, hanya beberapa orang yang menjadikan dirinya masuk dalam komunitas khodam ini. Intensitas pertemuan dan interaksi dengan kyai tentunya jauh lebih banyak. Oleh karena itu, kajian tentang relasi ini bisa dipastikan sangat menarik. Apalagi penulis memakai pendekatan fenomenologi, yang mana partisipasi dari para pelakunya menjadi fokus dalam penelitian ini. Sehingga hasil dari penelitian ini akan menjadi lebih dalam hingga diharapkan mampu mengungkap metabudaya dari relasi yang terjalin antara khodam dan kyai tersebut.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan model penelitian Qualitative Inquiry dengan melalui pendekatan fenomenologi transendental atau psikologis. Penelitian ini kurang berfokus pada penafsiran dari peneliti, namun lebih berfokus pada deskripsi tentang pengalaman dari para partisipan tersebut. Di samping itu,

33 Hendro Fadli Sari, “(Perilaku Politik Elit & Hubungan Kyai-Santri) Dukungan Politik Pondok

(31)

22

penelitian ini berfokus pada sebuah konsep yang disebut epoche( pengurungan) yang para penelitinya menyingkirkan pengalaman mereka, sejauh mungkin untuk memperoleh perspektif yang segar (baru) terhadap fenomena yang tengah dipelajari. Adapun prosedur dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Phenomenological Identification

Langkah awal dari pendekatan ini adalah bahwa peneliti hendaknya menentukan apakah problem risetnya paling baik dipelajari dengan menggunakan pendekatan fenomenologis. Tipe permasalahan yang paling cocok untuk bentuk riset ini adalah permasalahan untuk memahami pengalaman yang sama atau bersama dari beberapa individu pada sebuah fenomena. Penting untuk memahami pengalaman yang sama ini dalam rangka mengembangkan praktik atau kebijakan, atau untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ciri-ciri dari fenomena tersebut. Peneliti menganggap bahwa fenomena khodam di Pesantren Al-Falah tersebut sangat menarik untuk dilakukan penelitian dengan menggunakan pendekatan ini. Karena setiap kyai dan hampir masing-masing anggota keluarganya memiliki khodam pribadi yang lebih dari satu orang.

2. Epoche (Pengurungan Pengalaman Sendiri)

(32)

23

Falah, penulis merumuskan apa adanya sesuai dengan deskripsi yang mereka kemukakan. Tanpa mencampuri penjelasan mereka dengan pengalaman pribadi dari penulis.

3. Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, data dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Seringkali pengumpulan data dalam studi fenomenologis dilakukan melalui wawancara yang mendalam dengan para partisipan.34 Jumlah partisipan yang diwawancara berjumlah 13 individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Bentuk-bentuk data lain yang dikumpulkan antara lain berupa pengamatan, percakapan melalui media sosial, respon yang ditulis secara formal, dan lain-lain.

Langkah-langkah yang diambil dalam proses pengumpulan data ini adalah sebagai berikut:

a. Menentukan tempat atau individu. Dalam hal ini penulis memilih Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri sebagai sasaran lokasi penelitian. Adapun partisipan yang dilibatkan adalah para khodam kyai dari masing-masing cabang pesantren (diambil sample 1-3 orang), sekaligus beberapa pengasuhnya, serta beberapa khodam senior di pesantren.

b. Memperoleh akses dan membangun hubungan. Dalam studi fenomenologi, yang sampelnya mencakup individu-individu yang mengalami fenomena tersebut, penting untuk memperoleh izin tertulis dari para partisipan yang

(33)

24

hendak diteliti.35 Dalam hal ini penulis meminta izin kepada para khodam yang hendak diteliti, agar apa yang mereka sampaikan dalam wawancara nanti benar-benar transparan dan sesuai dengan apa yang mereka alami.

c. Sampling Purposeful. Dalam studi fenomenologis, strategi sampling ini bisa

dikatakan cukup sempit cakupannya. Penulis memastikan bahwa semua partisipan telah mengalami fenomena yang sedang dipelajari (sampling

kriteria). Karena sampling kriteria ini berfungsi ketika semua individu yang

dipelajari mewakili masyarakat yang telah mengalami fenomena tersebut, maka dari itu penting untuk memastikan siapa dan apa yang hendak dipelajari, agar hasil yang didapatkan bisa maksimal.36 Dalam hal ini penulis memilih para khodam yang terlibat langsung dalam aktivitas perkhodaman dengan mengambil satu atau dua orang dari masing-masing kediaman kyai dan pengasuh.

4. Instrumen Pengumpul Data

Adapun instrumen yang dilakukan dalam mengumpulkan data adalah: a. Wawancara.37 Penulis mewawancara para pelaku khodam sebanyak 10

orang, juga beberapa pengasuh, khodam senior, dan beberapa santri di pesantren Al-Falah tersebut.

b. Pengamatan. Pengamatan adalah salah satu alat penting untuk pengumpulan data dalam penelitian kualitatif. Dengan mengamati, kita tidak perlu menuliskan suatu fenomena secara keseluruhan. Maka dari itu, pengamatan

35 John W. Creswell, Penelitian Kualitatif dan Desain Riset, 207-214. 36 Ibid., 219.

(34)

25

ini dimulai secara luas, untuk kemudian berfokus pada pertanyaan riset.38 Dalam pengamatan ini, penulis mengambil peran non-partisipan/ pengamat sebagai partisipan. Peneliti merupakan outsider dari kelompok yang sedang diteliti, menyaksikan dan membuat catatan lapangan dari kejauhan.39 Penulis dapat merekam data tanpa terlibat langsung dengan aktivitas para khodam.

c. Memecahkan persoalan lapangan. Dalam memecahkan persoalan lapangan, penulis melakukan epoche (pengurungan). Dalam hal ini peneliti menyingkirkan pengalaman pribadi sejauh mungkin, untuk memperoleh perspektif yang segar (baru) terhadap fenomena yang sedang diteliti.40 Meskipun peneliti juga merupakan alumni dari Al-Falah, namun peneliti berusaha untuk sama sekali tidak mencampuri pengalaman para khodam dalam mewacanakan kehidupannya. Hal ini membuat perspektif para khodam bisa dijamin sangat fresh karena keluar dari pikiran mereka sendiri. 5. Analisis Data

Dalam penelitian fenomenologi ini, penulis menggunakan metode analisis yang terstrukutur dan spesifik dengan langkah-langkah analisis sebagai berikut:

a. Kategorisasi. Ini dilakukan dalam rangka mencari pola hubungan yang

terjalin antara khodam dan kyai melalui latar belakang/ motivasi para santri mengajukan diri menjadi seorang khodam kyai.

38 Ibid., 231-232.

39 Ibid., 232.

(35)

26

b. Interpretasi. Setelah melakukan kategorisasi, akan didapat pola-pola

relasi yang terjalin antara para khodam dan kyai. Masing-masing khodam tidak selalu memiliki pola relasi yang sama dengan khodam yang lain. Oleh karena itulah, kategorisasi amat penting dalam rangka menemukan klasifikasi tentang pola relasi yang dibentuk antara khodam dan kyai.

H. Sistematika Bahasan

Pengkajian dalam tesis ini akan diuraikan ke dalam enam bab. Bab pertama, merupakan pendahuluan, berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, penelitian terdahulu, kerangka konseptual dan teoretik, metode penelitian serta sistematika bahasan.

Bab kedua, memaparkan tentang kajian teori yakni relasi santri dan kyai di

pesantren, yang berisi tentang pengertian metabudaya, sejarah awal munculnya khodam di pesantren, pola relasi sosial santri dan kyai di pesantren yang meliputi pemaparan struktur pesantren, relasi antara kyai, santri dan khodam. Kemudian dilanjutkan dengan penjelasan teori yang dipakai untuk melakukan penelitian ini.

Bab ke tiga, membahas tentang hasil temuan lapangan yang meliputi; profil

para partisipan khodam, lengkap dengan masing-masing kognitif mereka terhadap khodam dan relasi hubungan mereka dengan kyai.

Bab ke empat, berisi penyajian data berupa representasi dari kognitif

(36)

27

Bab ke lima, meliputi hasil analisis dalam bentuk tipologi khodam, peran

khodam dan pola relasi antara khodam dan kyai.

Bab ke enam, merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

(37)

BAB II

RELASI SOSIAL SANTRI DAN KYAI DI PESANTREN

A. POLA RELASI SOSIAL SANTRI DAN KYAI DI PESANTREN

Dalam istilah sosiologi hubungan antar sesama disebut relasi atau relation. Michener & Delamater menyatakan bahwa Relasi sosial yang juga disebut hubungan sosial merupakan hasil dari interaksi (rangkaian tingkah laku) yang sistematik antara dua orang atau lebih. Hubungan dalam relasi sosial merupakan hubungan yang sifatnya timbal balik antar individu yang satu dengan individu yang lain dan saling mempengaruhi. Beberapa tahapan terjadinya relasi sosial yaitu (a) Zero contact yaitu kondisi dimana tidak terjadi hubungan antara dua orang; (b) awarness yaitu seseorang sudah mulai menyadari kehadiran orang lain; (c) surface contact yaitu orang pertama menyadari adanya aktivitas yang sama oleh seseorang di sekitarnya; dan (d)

mutuality yaitu sudah mulai terjalin relasi sosial antara 2 orang yang tadinya

saling asing”.1

Menurut Spradley dan McCurdy, relasi sosial atau hubungan sosial yang terjalin antara individu yang berlangsung dalam waktu yang relatif lama akan membentuk suatu pola, pola hubungan ini disebut sebagai pola relasi sosial yang terdiri dari dua macam yaitu (a) relasi sosial assosiatif yaitu proses yang

1 Hidayati, D. S. “Peningkatan Relasi Sosial melalui Social Skill Therapy pada Penderita

(38)

29

terbentuk kerja sama2, akomodasi3, asimilasi4 dan akulturasi5 yang terjalin cenderung menyatu; (b) relasi sosial dissosiatif yaitu proses yang terbentuk oposisi misalnya persaingan, pertentangan, perselisihan.6

Manusia ditakdirkan sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berusaha mencukupi semua kebutuhannya untuk kelangsungan hidupnya. Dalam memenuhi kebutuhannya, manusia tidak mampu sendiri, mereka membutuhkan orang lain. Itulah sebabnya manusia perlu untuk berelasi atau berhubungan dengan orang lain. Sebagai makhluk sosial dalam rangka menjalani kehidupannya selalu melakukan relasi yang melibatkan dua orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Hubungan sosial merupakan interaksi sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antar individu, antar kelompok, ataupun antar individu dengan kelompok.7 Misalnya pada pondok pesantren terjalin relasi antara santri dan kyai, santri dengan ustadz, santri dengan pengurus pondok, pengurus pondok dengan kyai, dan lain-lain.

2Kerjasama ialah suatu bentuk proses sosial dimana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan bersama guna mencapai tujuan bersama.

3Akomodasi berarti menyesuaikan. Definisi sosiologisnya yakni suatu bentuk proses sosial yang di dalamnya dua atau lebih individu atau kelompok berusaha untuk tidak saling mengganggu dengan cara mencegah, mengurangi atau menghentikan ketegangan yang akan timbul atau yang sudah ada. Akomodasi ada dua bentuk, yaitu toleransi dan kompromi. Bila pihak-pihak yang terlibat dalam proses bersedia menanggung derita akibat kelemahan yang dibuat masing-masing. Bila masing-masing pihak mau memberikan konsesi kepada pihak lain yang berarti mau melepaskan sebagian tuntutan yang semula dipertahankan sehingga ketegangan menjadi kendor disebut kompromi. Lihat Hendro Puspito,…….1989, 230-236. 4Asimilasi adalah suatu proses sosial dimana dua atau lebih individu atau kelompok saling menerima pola kelakuan masing-masing sehingga akhirnya menjadi satu kelompok terpadu. Mereka memasuki proses baru menuju penciptaan satu pola kebudayaan sebagai landasan tunggal untuk bidup bersama.

5Akulturasi terjadi ketika kedua kelompok individu yang bertemu muali berbaur dan berpadu. 6Astuti, “Pola Relasi Sosial dengan Buruh Tani dalam Produksi Pertanian”. Skripsi, (Medan: Universitas Sumatera Utara, 2012), 1.

(39)

30

1. Budaya Relasi Patron-Klien Santri dan Kyai di Pesantren

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diiartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dari definisi di atas maka ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan atau budaya merupakan sebuah sistem, dan sistem itu terbentuk dari perilaku, baik dari perilaku badan maupun pikiran. Dan hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat.8

Istilah patron berasal dari ungkapan bahasa Spanyol yang secara etimologis berarti seseorang yang memilki kekuasaan (power), status, wewenang dan pengaruh, sedangkan klien berarti bawahan atau orang yang diperintah dan disuruh. Selanjutnya pola hubungan patron klien merupakan aliansi dari dua kelompok komunitas atau individu yang tidak sederajat, baik dari segi status, wewenang, kekuasaan maupun penghasilan, sehingga menempatkan klien dalam kedudukan yang lebih rendah (inferior) dan patron dalam kedudukan yang lebih tinggi (superior).9

Menurut Scott dalam Hariadi10, relasi patron klien merupakan

hubungan antara dua pihak yang menyangkut persahabatan, dimana seorang

8 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Radar Jaya Offset, 2000), 181. 9James Scott, Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Substansi di Asia Tenggara, Terjemah

Hasan Bahari, (Jakarta: LP3S, 1983), 14.

(40)

31

individu dengan status sosial ekonomi yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber-sumber yang dimilikinya untuk memberikan perlindungan dan atau keuntungan bagi seseorang yang statusnya lebih rendah (klien), dan sebaliknya si klien membalas dengan memberikan dukungan dan bantuan secara umum termasuk pelayanan pribadi kepada patron. Dalam hubungan ini pertukaran tersebut merupakan jalinan yang rumit dan berkelanjutan, biasanya baru terhapus dalam jangka panjang.11 Imbalan yang diberikan klien bukan imbalan berupa materi melainkan dalam bentuk lainnya. Si patron tidak akan mengharapkan materi atau uang dari klien tapi mengharapkan imbalan lainnya yang dibutuhkan si patron.

Ikatan-ikatan sosial yang khas antara patron dan klien menekankan ide moral, hak-hak, dan kewajiban-kewajiban timbal balik yang memberikan kekuatan sosial kepada ikatan-ikatan itu. Sudah tentu tidak mungkin barang dan jasa yang dipertukarkan antara patron dan klien itu akan diiidentikkan, karena sifat dari pola hubungan itu disesuaikan atas kebutuhan-kebutuhan mereka yang berbeda. Suatu sifat yang persis dengan pertukaran itu akan mencerminkan kekhasan dari kebutuhan-kebutuhan dan sumber-sumber kekayaan baik dari patron maupun dari klien dalam jangka waktu tertentu. Maka pada umumnya patron diharapkan untuk melindungi kliennya dan

(41)

32

memenuhi kebutuhan-kebutuhan materinya. Sedangkan klien mengimbalinya dengan tenaga kerja dan loyalitasnya.12

Scott mengemukakan bahwa hubungan patronase mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan hubungan sosial lain. Pertama, yaitu terdapatnya ketidaksamaan (inequality) dalam pertukaran; kedua, adanya sifat tatap-muka (face-to-face character), dan ketiga adalah sifatnya yang luwes dan meluas (diffuse flexibility). Menguraikan ciri yang pertama Scott mengatakan bahwa terdapat ketimpangan pertukaran atau ketidakseimbangan dalam pertukaran antara dua pasangan, yang mencerminkan perbedaan dalam kekayaan, kekuasaan, dan kedudukan. Dalam pengertian ini seorang klien adalah seseorang yang masuk dalam hubungan pertukaran yang tidak seimbang (unequal), di mana dia tidak mampu membalas sepenuhnya. Suatu hutang kewajiban membuatnya tetap terikat pada patron. Ketimpangan terjadi karena patron berada dalam posisi pemberi barang dan jasa yang sangat dibutuhkan oleh klien beserta keluarganya agar mereka bisa tetap hidup. Rasa wajib membalas pada diri si klien muncul lewat pemberian ini, selama pemberian itu masih dirasakan mampu memenuhi kebutuhannya yang paling pokok atau masih dia perlukan.13

12 James Scott, Perlawanan Kaum Tani (Jakarta: Yayasan Obor, 1994), 257.

(42)

33

a. Kepemimpinan Kyai di Pesantren

Kepemimpina kyai di pesantren memegang teguh nilai-nilai luhur yang menjadi acuannya dalam bersikap, bertindak dan mengembangkan pesantren. Nilai-nilai luhur menjadi keyakinan kyai dalam hidupnya, begitupun bagi masyarakat. Sehingga apabila dalam memimpin pesantren, kyai bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai luhur yang diyakininya bersama masyarakat, maka lambat laun kepercayaan masyarakat terhadapnya atau pesantren akan ikut pudar dengan sendirinya.14

Santri menganggap kyai sebagai figur yang penuh kharisma dan bahkan pengganti orang tua (inloco parentis). Kyai adalah panutan dari sikap dan tingkah laku santri. Proses sosialisasi dan interaksi yang berlangsung di pesantren memungkinkan santri untuk melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah laku kyai. Santri juga dapat mengidentifikasi kyai sebagai figur ideal yang menyambungkan silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu.15

Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Dhofier sebelumnya, bahwa dalam setiap struktur masyarakat selalu ada kelas dominan atau kelompok elit yang mengatur struktur kelas di bawahnya. Kyai dalam komunitas tertentu merupakan kelas elit. Kuntowijaya mengatakan bahwa kyai adalah

14 Mahmut Sujuthi, Politik Tarekat Qadiriyah Naqsabandiyah Jombang: Studi

Tentang Hubungan Agama, Negara dan Masyarakat, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), 19.

15Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, dalam Dawam Raharjo (ed.),

(43)

34

elit desa yang khusus menangani agama.16 Dalam hal ini, kyai mempunyai posisi tidak hanya sebagai tokoh sentral dan panutan santri, tetapi juga dipatuhi oleh masyarakat yang lebih luas. Apalagi apabila kyai tersebut terkenal memiliki santri yang banyak, popularitas dan kredibilitasnya pun akan semakin dikenal, maka pengaruhnya bukan hanya dalam lingkup lokal, melainkan akan merambah ke lingkup nasional.

Status kekyaian yang mereka sandang seringkali juga diperkuat dengan gelar kebangsawanan yang berakar dalam tradisi kepemimpinan politik dan strata sosial kelas atas. Ini menyebabkan kyai semakin disegani dan menjadi ikon bergengsi di masyarakat. Dengan demikian, maka status sosial dan simbol keagamaan yang melekat pada diri kyai menjadi faktor legitimasi terkuat dalam penempatan kyai sebagai tokoh elit yang mempunyai personifikasi citra ideal di mata masyarakat dan santrinya.17

b. Konsep Dasar Kepatuhan Santri kepada Kyai

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, bahwa kyai merupakan gelar kehormatan yang diberikan masyarakat terhadap seorang figur baik karena luasnya keilmuan dalam bidang agama serta ketulusan dan keikhlasan dalam setiap pekerjaan. Penghormatan terhadap kyai merupakan suatu cerminan dari etika (akhlak) yang menunjukkan bahwa seseorang santri telah mempunyai ilmu yang manfaat.18 Sehingga banyak anjuran moralitas yang menunjukkan nilai atau sikap kepatuhan dan hormat kepada kyai.

16 Kuntowijoyo, Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura 1950-1940, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), 333.

(44)

35

Hal itu misalkan disebutkan dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya al-Zarnuji yang mensayaratkan bahwa orang akan memperoleh ilmu yang bermanfaat apabila melakukan dua hal, yaitu menghormati guru dan ilmu (kitab). Sahabat Ali juga pernah mengatakan, “Aku adalah sahaya (budak)

dari yang mengajarku walau hanya satu huruf, jika dia mau, ia berhak menjualku, atau memerdekakanku, atau tetap menjadikanku sebagai budaknya.”19 Ada pula sebuah syair yang berbunyi, “Tidak ada hak yang

lebih besar kecuali hak nya guru. Ini wajib dipelihara oleh setiap orang Islam. Sungguh pantas bila seorang guru yang mengajar walaupun hanya satu huruf, diberi hadiah seribu dirham sebagai tanda hormat padanya. Sebab guru yang mengajarmu satu huruf yang kamu butuhkan dalam agama, dia ibarat bapakmu dalam agama.”20

Penghormatan dan nilai-nilai kepatuhan itu nampaknya tidak hanya pada pribadi kyai, tetapi juga kepada keluarganya. Ungkapan rasa hormat kepada putra dan kerabat kyai biasanya diekspresikan dengan sebutan “lora” (Madura) , gus (Jawa), untuk putra laki-laki, dan sebutan nyai atau

neng (untuk putri/perempuan).21

Kepatuhan menekankan pada relasi-relasi khusus, misalnya relasi antara murid dengan guru (santri dan kyai). Kyai memiliki power untuk memberikan ganjaran atau hukuman pada santrinya. Ganjaran biasanya

19 Ibrahim Bin Ismail, Sharh Bita’lim al-Muta’allim toriq al-Ta’allum Li al-Sheikh

Al-Zarnuji, (Semarang: Toha Putra), 16.

20 Hakim Lutfi, Futuh al-Rabbaniyyah, (Semarang: Toha Putra, 1994), 33.

(45)

36

berupa barakah yang diyakini akan diperoleh santri apabila santri mematuhi kyai. Hukuman biasanya berupa peringatan yang mengancam keberadaan santri, misalnya santri yang tidak patuh akan mendapat ilmu yang tidak bermanfaat.22 Semakin tinggi keinginan santri untuk mengikuti permintaan atau perintah figur otoritas (kyai), menggambarkan kuatnya derajat keterikatan santri terhadap kyai. Hal ini rupanya yang masih kental terjadi di Pesantren Al-Falah Ploso Kediri. Derajat kedekatan dengan kyai tersebut dikejar oleh para santri melalui media pengabdian diri (khodam).

Namun menurut Dhofier, santri yang kesulitan melepaskan diri dari kekuatan otoritas justru akan menghambat kemandiriannya, khususnya kemandirian emosi dan nilai. Santri yang berada dalam ikatan kepatuhan dengan figur otoritas tertentu, menyebabkan santri tersebut akan selalu merasa bahwa dirinya berada dalam kekuasaan orang lain. Oleh karena itu, santri menganggap tidak perlu berusaha untuk menentukan keputusan sendiri (kemandirian tingkah laku) karena semua telah ditentukan oleh figur otoritasnya.23 Ini bahkan berlaku untuk segala bidang dalam kehidupan santri (terlebih yang sudah mendedikasikan dirinya sebagai khodam), seakan semua urusannya tidak puas jika tidak dikonsultasikan kepada kyai, mulai dari urusan pendidikannya di pondok, pekerjaan yang dipilih, jodoh dan perkawinan, waris dan bahkan urusan-urusan sosial dan personal lainnya.

(46)

37

Seperti yang disebutkan Al-Zarnuji pula dalam tulisannya bahwa kepatuhan santri dapat digambarkan di antaranya; hendaknya seorang santri tidak berjalan di depan kyai nya, tidak menempati tempat duduknya, tidak memulai pembicaraan sebelum diizinkan, menerima pernyataan kyai tanpa berani bertanya ulang, melaksanakan perintah kyai tanpa berani menolaknya, tidak mengetuk pintu akan tetapi harus sabar sampai kyai membukakan sendiri. Sikap-sikap tersebut didasari oleh keinginan santri untuk memperoleh kebaikan darinya. Harapan untuk memperoleh kebaikan tersebut dianggap lebih tinggi nilainya daripada mengusahakan kebaikan itu sendiri.24 Doktrin-doktrin ini rupanya banyak mempengaruhi sikap dan perilaku santri di pondok pesantren, khususnya yang penulis amati di pesantren Al-Falah. Karena hingga hari ini, tradisi mengkaji kitab Ta’lim karya Al-Zarnuji tersebut juga masih menjadi kajian rutin setiap bulan puasa di tiap tahunnya. Dan secara langsung dibimbing oleh KH. Nurul Huda Djazuli. Pengajian ini juga diikuti oleh semua santri, baik santri kilatan25, santri junior hingga yang senior sekalipun.

Hal itu sesuai dengan konsep atau pola pembelajaran yang berlangsung di pesantren, yang merupakan pola penekanan kepada peningkatan

ubudiyah untuk kajian fikihnya dan penekanan moral kepatuhan pada

kajian akhlaknya. Pola kepatuhan guru dan murid menjadi ciri khas dari

24 Ibrahim Bin Ismail, Sharh Bita’lim al-Muta’allim toriq al-Ta’allum Li al-Sheikh

Al-Zarnuji, 17.

25 Santri kilatan adalah santri yang hanya belajar di pesantren pada waktu bulan puasa

(47)

38

sistem pembelajaran di pesantren. Meskipun sudah banyak perubahan pada “pola kepatuhan” ini dikarenakan arus globalisasi yang mengutamakan

rasionalisasi dan intelektualisasi. Terutama yang banyak terjadi di pesantren-pesantren modern. Namun tetap saja pondok pesantren secara tegas menjadikan moralitas kepatuhan sebagai motto dari system pendidikannya. Seperti motto yang tertulis “Kesopanan lebih tinggi nilainya

daripada kecerdasan”.

Nilai-nilai kepatuhan santri ini sebagai bentuk dari etika santri menempatkan posisi kyai pada hirarki yang tinggi dan mulia.26 Kondisi tersebut merupakan salah satu cirri utama dari masyarakat tradisional yang mempunyai rasa hormat yang tinggi terhadap orang tua dan dituakan karena keilmuan yang dimiliki, dalam hal ini kyai. Pola hubungan ini sebagai indikator berlangsungnya pola kepemimpinan kharismatik dan paternalistic.27

Eko Setiawan dalam Penelitiannya di Pesantren Darul Fikri Mulyoagung Dau Malang menyatakan bahwa model hubungan santri dan kyai di pesantren tersebut ada dua tipe: Pertama, pola hubungan guru dan murid, adalah hubungan yang terjalin antara kyai dan santri sebagaimana layaknya antara guru dengan murid dalam pola hubungan formal. Kedua, pola hubungan bapak-anak, yaitu pola hubungan yang terjalin antara kyai dengan santrinya sebagimana layaknya antara bapak dengan anak. Dalam

26Zainuddin Syarif, “Mitos Nilai-nilai Kepatuhan Santri “..., 27-28.

(48)

39

pandangan kyai, santri di samping sebagai anak didiknya juga dianggap sebagai bagian dari keluarganya. Tindakan ini mendorong terbentuknya pola hubungan antara kyai dan santri sebagimana layaknya hubungan antara bapak dan anak.28

Sedangkan menurut Abdurrahman Wahid, Begitu tingginya penghormatan terhadap kyai, sampai-sampai santri menghormatinya melebihi penghormatan kepada orang tua mereka. Hal ini disebabkan karena kyai dianggap telah banyak berjasa dalam memberikan pembinaan dan pendidikan moral yang tidak dapat dilakukan oleh masyarakat atau bahkan oleh orang tuanya sendiri. Kyai dengan status yang demikian, sangat dihormati, ditaati, serta segala perilakunya dijadikan cerminan dalam bertindak. Sosok kyai dianggap sebagai orang yang tingkat ketakwaannya tidak perlu diragukan lagi, sehingga muncul anggapan berbuat baik kepada orang ‘alim dan wara’ maka secara otomatis akan mendapat barokah dari

Allah.29

Pendapat di atas sesuai pula dengan hasil penelitian dari Mansur Hidayat di Pesantren Raudhotul Qur’an Al-Nasimiyah Semarang30 dan juga

penelitian Fuad Nasvian dkk, di Pesantren Ribathi Miftahul Ulum Malang31, keduanya menyepakati bahwa model komunikasi santri dan kyai di

28Eko Setiawan, “Eksistensi Budaya Patron-Klien dalam Pesantren: Studi Hubungan

antara Kyai dan santri” dalam Jurnal Ulul Albab Vol. 13, No. 2, 2012, 144.

29Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Subkultur”, 24.

30 Mansur Hidayat, “Model Komunikasi Kyai dengan Santri di Pesantren” dalam Jurnal Komunikasi ASPIKOM, Vol. 2 No. 6, Januari 2016, 394.

31 Fuad Nasvian, dkk, Model Komunikasi Kyai dengan Santri (Studi Fenomenologi

Pada Pondok Pesantren “Ribathi” Miftahul Ulum, dalam Jurnal Wacana vol. 16, 4,

(49)

40

pesantren dipengaruhi oleh konsep akhlak, status kyai dan kharisma kyai. Dan konstruksi model komunikasi kyai dan santri terbentuk dari intensitas interaksi yang tinggi antara keduanya.

Selanjutnya sesuai yang dikutip oleh Fajar A. Siregar dari Amin Haedari bahwa terdapat dua pola komunikasi antara kyai dan santri yakni: 1) Pola komunikasi otoriter-paternalistik. Yaitu pola komunikasi antara

pimpinan dan bawahan- istilah James Scott yaitu Patron-Client

Relationship-, kyai sebagai pemimpin dan santri sebagai bawahan.

Sebagai bawahan, tentunya peran partisipatif santri dan masyarakat tradisional pada umumnya sangat kecil untuk mengatakan tidak pada kyai, dan hal ini tidak bisa dipisahkan dari kadar kekharismatikan kyai. 2) Pola komunikasi laissez faire. Yaitu pola komunikasi kyai dan santri

yang tidak didasarkan pada tatanan organisasi yang jelas. Semuanya didasarkan pada konsep ikhlas, barakah dan ibadah sehingga pembagian kerja antar unit tidak dipisahkan secara tajam. Seiring dengan itu, selama memperoleh restu sang kyai sebuah pekerjaan bisa dilakukan.32

Akhirnya menurut penulis, hubungan patron klien antara santri dan kyai ini dapat dikaitkan dengan akar budaya Jawa yang bercorak feodalisme.33 Feodalisme adalah zaman di mana ketidaksamaan hak raja dan kaum

32Amin Haedari, “Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Globa”, dalam Fajar A. Siregar, Pola Komunikasi Kyai dan Santri Di Pondok Pesantren Al-Asmaniyah Kampung Dukuh Pinang Tangerang Banten, (Skripsi, 2008), 32.

Referensi

Dokumen terkait

Strategi kyai dalam Menciptakan Budaya Religius pada Masyarakat melalui pengajian kitab kuning mnggunakan dua metode, yaitu :.. Bapak Mualim selaku kyai yang berupaya

Berdasarkan data yang telah didapat dari lokasi di desa Siyotobagus tepatnya di Pondok Pesantern Manarul Iman, strategi kyai dalam menciptakan budaya religius

Maksudnya strategi yang digunakan oleh seorang ulama atau kyai dalam menciptakan budaya religius pada masyarakat agar masyarakat menjadi lebih baik baik dari segi ilmu dan

Temuan Tentang Strategi kyai Dalam Menciptakan Budaya Religius Pada Masyarakat Melalui Kegiatan Pengajian Kitab Kuning ... Temuan Tentang Strategi kyai Dalam Menciptakan Budaya

STRATEGI KYAI DALAM MENCIPTAKAN BUDAYA RELIGIUS PADA MASYARAKAT DI PONDOK PESANTREN MANARUL IMAN

Karena berdasarkan pengamatan penulis, peran kepemimpinan kyai yang dominan dalam tata kelola pesantren menyebabkan proses penyelenggaraan pendidikan baik non formal

Tesis dengan judul “ Manajemen Pondok Pesantren Dalam Menjawab Tantangan Modernitas (Studi Multi Situs Pondok Pesantren Lirboyo dan Pondok Pesantren Al-Falah

Persyaratan peserta UN pondok pesantren Salafiyah untuk tingkat Ula yaitu 1) Telah mengikuti program wajib belajar tingkat Ula selama tiga tahun atau lebih. 2)