• Tidak ada hasil yang ditemukan

Self-compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Self-compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan."

Copied!
120
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan dalam Menyelesaikan Program Strata Satu (S1)

Psikologi (S.Psi)

Lailly Sofiana

B77213074

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

INTISARI ... xii

ABSTRACK ... xiii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Fokus Penelitian ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 13

D. Manfaat Penelitian ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

BAB II KAJIAN PUSTAKA A.Self-Compassion 1. Pengertian Self-Compassion ... 21

2. Dimensi-dimensi Self-Compassion ... 23

3. Komponen Self-Compassion ... 24

4. Faktor Yang Mempengaruhi Self-Compassion ... 28

5. Dampak Self-Compassion ... 35

B. Pasangan Suami Istri 1. Definisi Keluarga ... 40

2. Ciri-ciri Keluarga ... 41

3. Bentuk Keharmonisan Keluarga ... 42

C. Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan (Infertility) 1. Pengertian Infertility... 44

2. Faktor yang Mempengaruhi Infertility ... 45

3. Resolution To Infertility ... 48

(7)

BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian ... 59

B. Lokasi Penelitian ... 60

C. Sumber Data ... 60

D. Cara Pengumpulan Data ... 62

E. Prosedur Analisis dan Interpretasi Data ... 64

BAB |IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Subyek ... 68

B. Hasil Penelitian ... 73

C. Pembahasan ... 95

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 103

B. Saran ... 107

(8)

INTISARI

(9)

ABSTRACT

Focus of research is (1)image self-compassion, and (2) impact of self-compassion couples who have not had offspring. This research is a qualitative research, using triangulation as data validation. Research subjects are married couples who have been married for more than two years but have not had children. This study found some findings, namely the self-compassion image of the subject of research is to understand and not hurt themselves in the face of problems, appreciate the thoughts, feelings, and behavior of other people are diverse, and the view of the couple in seeing everything that happened in his life. While the impact of self-compassion shown by the three partners is a strategy in controlling emotions, aware of all the strengths and weaknesses, but not always confined to the bad things that happen, and the confidence and motivation to achieve the best results.

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Dalam dunia psikologi, beberapa faktor kepribadian individu menarik untuk

menjadi perhatian karena bagaimanapun juga individulah yang menghadapi

situasi dan diri individu tersebutlah yang bisa dikendalikan sendiri oleh yang

bersangkutan. Situasi pekerjaan, situasi dalam keluarga, seringkali lebih

banyak berada diluar diri individu. Dalam hal ini self compassion akan membantu individu untuk tidak cenderung melawan ketidaknyamanan

emosional (Germer, 2009). Amstrong (2013) mendefinisikan self compassion

sebagai karakteristik kepribadian dimana individu menempatkan diri pada

posisi individu lain. Dalam posisi tersebut, individu merasakan pengalaman

individu lain seolah-olah adalah pengalaman dirinya sendiri.

Self-compassion merupakan salah satu bahasan yang bisa menjelaskan

bagaimana individu mampu bertahan, memahami dan menyadari makna dari

sebuah kesulitan sebagai hal yang positif. Menurut Germer, self compassion

merupakan kesediaaan diri untuk tersentuh dan terbuka kesadarannya saat

mengalami penderitaan dan tidak menghindari penderitaan tersebut (Hidayati

& Maharani, 2013). Neff (2003b) menambahkan bahwa self compassion

adalah proses pemahaman tanpa kritik terhadap penderitaan, kegagalan atau

ketidakmampuan diri dengan cara memahami bahwa ketiga hal tersebut

(11)

Fungsi dari self compassion adalah sebagai strategi beradaptasi untuk

menata emosi dengan cara menurunkan emosi negatif serta meningkatkan

emosi positif berupa kebaikan dan hubungan (Akin, 2010). Beberapa penelitian

menunjukkan bahwa self compassion berhubungan secara negatif dengan

self-critism, depresi, kecemasan, rumination dan thought supression dan

berhubungan positif dengan hubungan sosial, emotional intelligence,

self-determination, interpersonal cognition distortion dan submissive behaviour

(Akin, 2010).

Self-compassion, di sisi lain, terbukti memiliki hubungan dengan fungsi adaptasi secara psikologi pada seseorang (Neff, dkk., 2007), mengurangi

kecemasan dan depresi (Neff, 2009 dalam Neff., 2012), berpengaruh pada

kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Neff, 2003; Neff, Rude, & Kirkpatrick,

2007 dalam Neff, 2012). Self-compassion sendiri berasal dari kata compassion

yang berarti rasa belas kasih (Echols & Shadily, 2000), rasa kasih sayang yang

kita rasakan apabila melihat orang menderita, yang membuat kita akan

cenderung berusaha memahami dan ikut merasakan apa yang ia rasakan,

keinginan untuk membantu bukan mengasihani, akan ada sebuah kebaikan hati,

kepedulian, dan memahami.

Menurut Neff (2003) self-compassion merupakan kebaikan hati dan pemahaman yang timbul dari diri individu dengan melibatkan perilaku yang

sama terhadap diri sendiri ketika sedang dalam kesulitan, kegagalan, atau

mengingat suatu hal yang tidak kita sukai tentang diri kita sendiri. Sedangkan

(12)

antara motivasi, afeksi, kognisi dan perilaku yang menunjukkan kasih sayang

dalam rangka memunculkan keinginan untuk menghilangkan kesulitan dan

penderitaan, dimana kasih sayang tersebut ditujukan kepada dirinya sendiri.

Lebih lanjut dijelaskan bahwa self compassion berbeda dengan self pity atau mengasihani diri sendiri, karena mengasihani diri sendiri sebenarnya adalah

sebuah kondisi dimana individu yang bersangkutan menolak penderitaan dan

cenderung menyalahkan diri sendiri atas kesalahan yang dilakukannya.

Dalam hal ini, self-compassion dapat diterapkan pula terhadap pasangan yang belum memiliki keturunan. Self-compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai

kesulitan dalam hidup ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta

memiliki pengertian bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam

dirinya merupakan bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan

bahwa seseorang yang memiliki self compassion lebih dapat merasakan kenyamanan dalam kehidupan sosial dan dapat menerima dirinya secara apa

adanya, selain itu juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan

emosi (Ramadhani & Nurdibyanandaru, 2014).

Pada penelitian awal, dengan proses wawancara yang dilakukan oleh

peneliti terhadap subjek penelitian, dihasilkan sebuah fakta bahwa pasangan

yang belum memiliki keturunan, dapat memiliki self compassion yang sengaja dibangun dalam diri mereka, seperti memahami bahwa diri pantas

mendapatkan cinta, kebahagiaan, dan kasih sayang walaupun dalam kondisi

(13)

juga mengaku bahwa apa yang mereka alami merupakan kehendak dari Allah

yang juga dialami oleh beberapa pasangan yang lain, hal ini dinamakan

mindfullness merupakan dimensi pada self compassion. Meskipun di lain sisi mereka tidak dapat memungkiri jika keinginan memiliki anak begitu sangat

kuat, karena beberapa hal seperti dorongan dari orang tua yang juga ingin

segera menimang cucu, dan hal ini semakin memperkuat self compassion yang ada pada diri pasangan suami istri hingga dapat mencapai tahap resolution to infertility. Istilah resolution berarti seseorang sudah menerima keadaannya dan terdapat keinginan/usaha yang tepat untuk mengatasi infertilitas. Diantara

keinginan/usaha yang ditempuh dapat dengan mengadopsi anak, memperoleh

anak dengan jalan inseminasi buatan donor “bayi tabung”, atau membesarkan

janin didalam rahim wanita lain (hasil wawancara pada bulan Desember 2015).

Kajian tentang self compassion dapat diketahui study (Neff, Beretvas, 2012)

self compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap 104 pasangan

di Amerika Serikat, yang dikaitkan dengan perilaku hubungan romantis yang

lebih sehat, seperti bersikap lebih peduli dan mendukung daripada bersikap

mengendalikan secara agresif dengan pasangannya. Hasil menunjukkan bahwa

individu yang memiliki self-compassion menunjukkan perilaku hubungan yang

lebih positif daripada mereka yang tidak memiliki self-compassion. Sedangkan

penelitian yang berjudul “Pengaruh Self-compassion terhadap Kompetensi

Emosi Remaja Akhir” pada 108 pelajar yang terdiri atas 4 remaja di jenjang

(14)

self-compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. (Ramadhani,

Nurdibyanandaru, 2014).

Menurut Kertamuda (2011) bahwa keluarga merupakan bagian dari

masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta kakarter

bagi para anggota keluarganya. Keluarga juga tempat seseorang untuk

bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya,

serta berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil keputusan.

Sedangkan menurut Mubarrak, dkk (2009) keluarga merupakan perkumpulan

dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau

adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi satu dengan yang

lain.

Adapun Akbar (2001) mengemukakan tujuan dari perkawinan adalah

mendapatkan kebahagian, kepuasan, cinta kasih dan keturunan. Menurut Taher

(2007) biasanya sebanyak 85% pasangan yang sudah menikah selama satu

setengah tahun sudah memiliki keturunan. Ini berarti sebanyak 15% pasangan

yang sudah menikah selama satu setengah tahun memiliki masalah belum

hadirnya seorang anak sebagai keturunannya. Sidhi (1999) mengatakan bahwa

pasangan menikah yang tidak kunjung memiliki anak, padahal tidak dinyatakan

mengalami gangguan organ reproduksi, biasanya akan mengalami kondisi

psikologis yang sulit. Menurut Widarjono (2007) perkawinan tanpa kehadiran

anak seringkali memicu persoalan tersendiri. Banyak keluarga atau pasangan

suami istri yang sulit mendapatkan anak dan terus berusaha agar mempunyai

(15)

keterkaitan dan tanggung jawab untuk membesarkan, merawat dan mencintai

bersama-sama. Jadi, kehadiran anak secara tidak langsung akan semakin

mendekatkan pasangan suami istri. Salah satu yang sering dianggap menjadi

suatu rintangan dan masalah dalam keluarga diantaranya memang tidak atau

belum memiliki keturunan. Karena stigma yang berkembang di masyarakat

menyatakan bahwa sebuah keluarga yang ideal yaitu adanya suami, istri dan

anak. Sebagaimana salah satu fungsi keluarga yaitu untuk melahirkan seorang

anak dalam rangka menjaga keberlangsungan sebuah keturunan.

Anak memang buah hati yang selalu dinanti, permata jiwa yang senantiasa

didamba kehadirannya. Rumah tangga tak lengkap tanpa kehadirannya.

Karenanya, anak adalah hal yang senantiasa didamba oleh pasangan suami

istri. Kehadiran anak akan menjadi sumber motivasi dan inspirasi, bagai

seberkas cahaya yang akan menjadikan rumah tangga terbebas dari kehampaan

dan kesepian. Hanya saja, pada kenyataannya tidak semua pasangan suami istri

dikaruniai kehadiran anak. Banyak pasangan suami istri yang harus menerima

kenyataan pahit, dimana mereka tidak bisa memiliki anak karena berbagai

sebab. Namun kondisi tersebut tidak membuat hilangnya rasa cinta kasih

maupun keharmonisan yang terjalin diantara mereka.

Taher (2007) mengatakan keadaan pasangan yang sudah menikah lebih dari

setengah tahun tanpa kontrasepsi dan tidak mempunyai anak, dalam ilmu

kedokteran disebut dengan infertilitas. Walaupun masalah infertilitas tidak berpengaruh pada aktivitas fisik sehari-hari dan tidak mengancam jiwa, bagi

(16)

Selain itu menurut Taher (2007) pasangan yang mengalami infertilitas akan memiliki tekanan secara psikologis, dimana mereka akan merasa cemas

memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan keturunan.Infertilitas

membawa implikasi psikologis, terutama pada perempuan. Sumber tekanan

sosio-psikologis pada perempuan berkaitan erat dengan kodrat

deterministiknya untuk mengandung dan melahirkan anak. Sementara pada

laki-laki adalah perasaan sedih, kecewa, kecemasan dan kekhawatiran

menghadapi masa tua. Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki

diidentitaskan sebagai mahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak

merupakan sumber kejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki.

Persepsi hasil konstruksi sosial atas identitas gendernya membuat laki-laki

merasa rendah ketika tidak mempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan

pada pihak perempuan (Demartoto, 2008).

Berdasarkan laporan WHO, di dunia ada sekitar 50-80 juta pasutri

mempunyai problem Infertilitas dan setiap tahunnya muncul sekitar 2 juta

pasangan infertil (ketidakmampuan mengandung atau menginduksi konsepsi)

baru. Tidak tertutup kemungkinan jumlah itu akan terus meningkat.

Berdasarkan penelitian dari setiap 100 pasangan, pada pasangan suami istri

yang sudah mempunyai anak dan mereka menginginkan anak kembali

seperempatnya atau 15% berada di bawah kesuburan normal. Setiap pasangan

tentunya menginginkan kehidupan perkawinannya akan berlangsung lama,

namun kadangkala sebuah perkawinan harus menghadapi masa-masa sulit yang

(17)

Infertilitas terjadi lebih dari 20% pada populasi di indonesia, dan dari

kasus tersebut terdapat 40% pada wanita, 40% pada pria dan 20% pada

keduanya dan ini yang menyebabkan pasangan suami istri tidak mendapat

keturunan. Diperkirakan 85-90% pasangan yang sehat akan mendapat

pembuahan dalam 1 tahun. (DepKes, 2006).

Menurut penelitian Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI)

di Jakarta, 36% infertilas terjadi pada pria dan 64% terjadi pada wanita.

Penelitian lain menunjukan di angka kejadian infertilitas wanita terjadi sekitar

15% pada usia produktif (30-34 tahun), meningkat sampai dengan 30% pada

usia 35-39 tahun dan 64% pada usia 40-44 tahun. (PERSI, 2001)

World Health Organization (WHO) mengatakan bahwa jumlah pasangan

infertil sebanyak 36% diakibatkan adanya kelainan pada pria, sedangkan 64%

berada pada wanita. Hal ini di alami oleh 17% pasangan yang sudah menikah

lebih dari 2 tahun yang belum mengalami tanda-tanda kehamilan bahkan sama

sekali belum pernah hamil. WHO juga memperkirakan sekitar 50-80 juta

pasutri (1 dari 7 pasangan) memiliki masalah infertilitas, dan setiap tahun

muncul sekitar 2 juta pasangan infertil. (WHO, 2011)

Ahli andrologi menjelaskan bahwa pada penyebab infertilitas pria 25%

disebabkan oleh varikokel, 10% oleh infeksi, 5% oleh faktor imunologis dan

20% lainya termasuk kedalam kelainan endokrin, iatrogenik, trauma, dan

sitemik. Kejadian infertilitas berkisar antara 15-20% dari seluruh pasangan usia

(18)

Mengacu pada angka kejadian tersebut diatas maka infertilitas perlu mendapat

penanganan yang memadai. Salah satu faktor penting yang berperan dalam

proses kejadian infertilitas pada pria usia reproduktif adalah gangguan produk

sperma. Gangguan potensi seksual pada pria terdiri dari 4 kelompok yaitu

gangguan gairah seksual, gangguan ereksi, gangguan ejakulasi, gangguan

orgasme. Adapun beberapa faktor yang menjadi penyebab gangguan potensi

seksual pada pria antara lain faktor psikis, fisik, dan sosiokultural.

Menurut dr.Subiyanto dari Tim Klinik Melati Rumah Sakit Harapan Kita

(RSHK), angka kejadian infertilitas di Indonesia diantara 11-15 persen. Angka

ini masih bisa meningkat karena perubahan pola hidup masa kini. Selain dari

segi medis, faktor resiko terjadinya infertilitas juga bisa ditelisik dari segi

sosiodemografi yang menggejala dalam gaya hidup masyarakat sehari-hari.

Akibat efek dari globalisasi dan industrialisasi, banyak masyarakat yang

terseret pada gaya hidup yang membuat mereka berisiko mengalami infertilitas.

Menunda pernikahan, misalnya banyak wanita karier atau sebab yang lain jadi

menunda waktu pernikahan mereka. Pada usia 30-an mereka baru sadar kalau

mereka belum menikah, sedangkan di usia itu kualitas produksi sel telur tidak

sebaik ketika mereka berusia 20-an. Di lain pihak, pasangan yang menikah

pada “waktu yang tepat”, karena satu atau beberapa alasan, malah menunda

memiliki anak dengan dengan memakai kontrasepsi. Akibatnya pun akan sama

dengan kasus yang pertama. Pada kasus yang ekstrem dijumpai beberapa

pasangan yang menikah dengan komitmen untuk tidak mempunyai anak.

(19)

anak-anak tidak beruntung yang tidak diasuh orangtuanya.” Selain itu stres

akibat kerja yang padat, terlalu sering mengonsomsi junk food yang mengarah

pada obesitas, juga bisa menurunkan tingkat kesuburan. Demikian juga

kebiasaan buruk yang banyak ditiru dari masyarakat yang tinggal di benua lain,

seperti merokok, mengonsumsi alkohol, dan narkoba juga dapat meningkatkan

risiko infertilitas.

Infertilitas membawa implikasi psikologis, terutama pada perempuan.

Sumber tekanan sosio-psikologis pada perempuan berkaitan erat dengan kodrat

deterministiknya untuk mengandung dan melahirkan anak. Sementara pada

laki-laki adalah perasaan sedih, kecewa, kecemasan dan kekhawatiran

menghadapi masa tua. Pada masyarakat yang patriarkis Jawa laki-laki

diidentitaskan sebagai mahkluk yang lebih kuat daripada perempuan. Anak

merupakan sumber kejantanan, kekuatan dan kapasitas seksual laki-laki.

Persepsi hasil konstruksi sosial atas identitas gendernya membuat laki-laki

merasa rendah ketika tidak mempunyai anak, sehingga kesalahan dilimpahkan

pada pihak perempuan (Demartoto, 2008).

Sedangkan definisi infertilitas menurut WHO (World Health Organization) adalah tidak terjadinya kehamilan pada pasangan yang telah berhubungan intim

tanpa menggunakan kontrasepsi secara teratur minimal 1-2 tahun.1 Tidak

banyak orang mengetahui bahwa infertilitas adalah penyakit yang mengganggu

produktivitas. Oleh karena itu infertilitas kurang mendapat perhatian terutama

dari medis, akan tetapi dari segi sosial berdampak pada stigma yang dialami

(20)

pasangan suami istri akan mempengaruhi pengambilan keputusan untuk

bercerai, poligami, adopsi anak, bayi tabung atau tetap hidup berdua.

Pasangan infertil digambarkan memiliki pengalaman hidup yang berat dan

menjalani krisis kehidupan yang kurang membahagiakan. Harkness (1987)

menjelaskan bahwa perempuan yang menghadapi infertility experience akan

mengalami emosi-emosi negatif, seperti perasaan bersalah, kecewa, loss of control, dan kekesalan. Life crisis tersebut sangat umum terjadi pada pasangan infertil. Namun, bukan berarti semua pasangan infertil akan terus menjalani

pengalaman infertilitas sebagai suatu krisis kehidupan.

Menning (dalam Harkness, 1987) menyatakan bahwa terdapat psychological stages of infertility yang akan dihadapi seorang pasangan infertil. Tahap pertama ialah penyangkalan (denial). Munculnya denial umumnya bersamaan

dengan perasaan terkejut ketika memperoleh informasi bahwa individu

mengalami infertilitas. Proses ini kemudian mengarah pada tahap kedua, yaitu

kemarahan (anger) pada orang-orang yang ada di sekitar. Perasaan marah juga

dapat muncul bersamaan perasaan frustasi, tidak berdaya, iri hati, dan putus

asa. Tahap ketiga yang akan dialami individu yang infertil adalah periode

individu mengalami perasaan duka (grief). Perasaan grief atau perasaan sedih

yang amat mendalam ini muncul dalam bentuk perilaku menangis bersama

pasangan atau menangisi diri sendiri, menulis diari, atau bercerita dengan

orang terdekat. Tahap keempat adalah tahap penerimaan (acceptance) terhadap

infertilitas. Untuk bisa masuk ke dalam tahap ini, individu harus mengatasi

(21)

penerimaan diri ini, yang akan membantu individu masuk ke dalam periode

yang berikutnya, yaitu resolution to infertility. Istilah resolution berarti seseorang sudah menerima keadaannya dan terdapat keinginan/usaha yang

tepat untuk mengatasi infertilitas. Diantara keinginan/usaha yang ditempuh

dapat dengan mengadopsi anak, memperoleh anak dengan jalan inseminasi

buatan donor “bayi tabung”, atau membesarkan janin didalam rahim wanita

lain, tetapi hal ini memerlukan biaya yang sangat mahal (Wiknjosastro, 2005).

Psychological stages of infertility yang dikemukakan oleh Menning (dalam Harkness, 1987) memaparkan bahwa pasangan infertil pada akhirnya bisa

berada pada tahap terakhir, yaitu resolution to infertility. Dengan kata lain,

infertility experience pada awalnya memang akan memberikan pengaruh buruk bagi kehidupan orang yang bersangkutan. Namun, pengaruh buruk infertilitas

bagi kehidupan pasangan suami istri tidak akan bertahan lama. Oleh karena itu,

pasangan tersebut berjuang menghadapi proses yang tidak mudah untuk bisa

sampai pada resolution to infertility.

Penelitian ini diharapkan mampu menjawab bagaimana self compassion

yang dimiliki oleh pasangan yang belum memiliki keturunan, apa bentuk dari

self compassion tersebut sehingga mampu mencapai kebahagiaan dalam hidup berumah tangga dan bagaimana self compassion tersebut dapat membuat pasangan yang belum memiliki keturunan hingga dapat mencapai tahap

resolution to infertility. Hal ini dapat pula memberi masukan bagi pasangan yang belum memiliki keturunan yang lain agar dapat menjalani hidup dan

(22)

memperlakukan dan mensupport kehidupan pasangan yang belum memiliki

keturunan agar dapat mencapai kebahagiaan hidupnya.

Penelitian ini dirasa perlu untuk dilakukan agar pasangan yang belum

memiliki keturunan lebih diperhatikan dari sisi psikologisnya. Hingga mampu

menerima keadaan dirinya (acceptance), dan memiliki self-compassion yang tinggi.

B.Fokus Penelitian

Berdasarkan latar belakang di atas, ada hal yang menjadi fokus penelitian

dalam penelitian ini yaitu,

1. Bagaimana gambaran self-compassion pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan

2. Apa saja dampak adanya self-compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan?

C.Tujuan Penelitian

Berdasarkan fokus penelitian di atas, terdapat tujuan penelitian yang

menjadi pijakan pada penelitian ini yaitu,

1. Untuk mendeskripsikan gambaran self compassion pasangan yang belum memiliki keturunan

(23)

D.Manfaat Penelitian

Kegunaan atau manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini antara lain:

1. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi

pengembangan ilmu pengetahuan dan masukan berharga bagi

pengembangan ilmu di bidang ilmu psikologi, terutama psikologi klinis.

2. Manfaat praktis

a. Dari penelitian ini diharapkan dapat membantu bagaimana cara

melakukan self compassion dengan tepat untuk menghadapi masalah, tekanan, atau tantangan, selain itu merupakan respon perilaku yang

bersifat perilaku psikologis untuk mengurangi tekanan yang sifatnya

dinamis.

b. Memberikan pengetahuan mengenai gambaran self compassion pada pasangan suami istri yang belum memiliki keturunan

E.Keaslian Penelitian

Kajian tentang self compassion dapat diketahui study (Neff, Beretvas, 2012)

self compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap 104 pasangan di Amerika Serikat, yang dikaitkan dengan perilaku hubungan romantis yang

lebih sehat, seperti bersikap lebih peduli dan mendukung daripada bersikap

mengendalikan secara agresif dengan pasangannya. Hasil menunjukkan bahwa

(24)

Beretvas (2012) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa

penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum

memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu

yang sudah penulis paparkan diatas menggunakan metode penelitian

kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Sedangkan penelitian yang berjudul “Pengaruh Self-compassion terhadap Kompetensi Emosi Remaja Akhir” pada 108 pelajar yang terdiri atas 4 remaja

di jenjang SMA dan 106 remaja pada jenjang kuliah. Yang adanya pengaruh

positif dari self-compassion terhadap kompetensi emosi remaja akhir. (Ramadhani, Nurdibyanandaru, 2014). Adapun perbedaan dari penelitian ini

dengan penelitian yang dilakukan oleh Ramadhani dan Nurdibyanandaru

(2014) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian

tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki

keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu

yang sudah penulis paparkan diatas menggunakan metode penelitian

kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Penelitian yang dilakukan oleh Akin (2010), dalam penelitiannya berjudul

(25)

diantaranya self-kindness, common humanity dan mindfullness. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Akin

(2010) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian

tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum memiliki

keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian ini

menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu

yang sudah penulis paparkan tersebut menggunakan metode penelitian

kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Disisi lain, self-compassion juga mucul dalam kehidupan seorang staff markas PMI Jawa Tengah yang mengalami work family conflict, bentuk dari

self-compassion self-kindness, common humanity dan mindfullness (Hidayati, 2015). Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan

oleh Hidayati (2015) yakni terletak pada subyek penelitian. Dalam beberapa

penelitian tersebut subjek yang digunakan bukanlah pasangan yang belum

memiliki keturunan. Selain itu pula metode yang digunakan dalam penelitian

ini menggunakan metode penelitian kualitatif, sedangkan penelitian terdahulu

yang sudah penulis paparkan tersebut menggunakan metode penelitian

kuantitatif. Pada persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Penelitian lain juga dilakukan oleh Thompson dan Walts (2008) dengan

judul “Self-Compassion and PTSD Symptom Severity” pada 210 mahasiswa

(26)

pelatihan self-compassion yang mampu di integrasikan dalam perawatan trauma. Pada penelitian lain, self-compassion memberi sumbangan yang signifikan terhadap remaja berusia 14 tahun, yang dikaitkan dengan subjective

well-being (Regina, 2012). Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan

penelitian yang dilakukan oleh Thompson dan Walts (2008) yakni terletak pada

subyek penelitian. Dalam beberapa penelitian tersebut subjek yang digunakan

bukanlah pasangan yang belum memiliki keturunan. Selain itu pula metode

yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian

kualitatif, sedangkan beberepa penelitian terdahulu yang sudah penulis

paparkan tersebut menggunakan metode penelitian kuantitatif. Pada

persamaannya yakni sama-sama mengkaji tentang self-compassion.

Dalam hal ini dipaparkan pula kajian tentang pasangan yang belum

memiliki keturunan yang dilakukan oleh Pandanwati dan Suprapti (2012),

penelitian ini merujuk pada adaptasi positif keluarga sebagai unit. Berupa

kelekatan antar anggota keluarga, komunikasi dalam keluarga, dan dukungan

sosial. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang

dilakukan oleh Pandanwati dan Suprapti (2012) yakni terletak pada variabel

penelitian, yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang

diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas) serta

(27)

Penelitian lain juga dilakukan Rahmawati dan Astutik (2015), dengan judul

“Upaya Pembentukan Keluarga Sakinah Pada Pasangan Tidak Memiliki

Keturunan” pada suatu keluarga dengan menghasilkan faktor-faktor yang

mempengaruhi adanya pembentukan keluarga sakinah, diantaranya, pondasi

agama, menerima apa adanya apa yang telah digariskan Allah, menerima

sebagai ujian, kesabaran, serta mensyukuri nikmat. Adapun perbedaan dari

penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Rahmawati dan

Astutik (2015) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian

ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum

memiliki keturunan (infertilitas) serta metode penelitian yang digunakan

menggunakan metode penelitian kualitatif.

Penelitian yang dilakukan oleh Wischmann (2001), pada 564 pasangan

infertil, dengan judul “Psychosocial characteristics of infertile couples: a study

by the „Heidelberg Fertility Consultation Service’” menunjukkan bahwa

beberapa pasangan mengalami trauma yang membutuhkan adanya konseling

infertilitas. Adapun perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian terdahulu

yang dilakukan oleh Wischmann (2001) yakni terletak pada variabel penelitian,

yang dimana penelitian ini menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti,

yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas) serta metode

(28)

Penelitian lain juga dilakukan oleh Argyo Demartoto (2008) yang berjudul

“Dampak Infertilitas Terhadap Perkawinan”. Hasil dari penelitian ini yaitu

bahwa semakin kuatnya tuntutan normatif pasangan untuk memiliki keturunan

memaksa pasangan infertil tidak sabar untuk melakukan pengobatan ataupun

memastikan sebab dari kegagalan melahirkan keturunan. Dalam kasus

pasangan infertil di Banjarsari menunjukkan adanya pasangan yang hanya

berumur 10 bulan sampai 3 tahun. Padahal mereka belum mengetahui

sebab-sebab ketidaksuburan itu. Kebanyakan pasangan kurang melakukan

pengobatan karena malu untuk melakukan cek medis, bahkan sudah ada asumsi

bahwa pihak perempuan yang mandul. Adapun perbedaan dari penelitian ini

dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Argyo Demartoto (2008)

yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini

menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Serta metode penelitian yang digunakan pada penelitian terdahulu diatas menggunakan

metode penelitian kuantitatif. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek

yang diteliti, yakni pasangan yang belum memiliki keturunan (infertilitas).

Penelitian yang dilakukan oleh Efnita Rahmi (2014) yang berjudul “Makna

Hidup Pada Pasangan Yang Belum Memiliki Keturunan”. Hasil dari penelitian

ini menunjukkan makna hidup pada pasangan yang belum memiliki keturunan

adalah bahwa mereka menemukan makna hidupnya dengan cara menyerahkan

apa yang terjadi kepada Allah, responden sendiri menyatakan eksistensi

sebagai orang tua belum tampak karena terputusnya nasab dari makna hidup

(29)

emosi respon kognitif, dan respon behavioral. Adapun perbedaan dari

penelitian ini dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Efnita Rahmi

(2014) yakni terletak pada variabel penelitian, yang dimana penelitian ini

menggunakan self-compassion sebagai variabel penelitian. Dan adapun persamaannya yakni ada pada subjek yang diteliti, yakni pasangan yang belum

memiliki keturunan (infertilitas). Serta metode penelitian yang digunakan pada

(30)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Self-Compassion

1. Pengertian Self-Compassion

Self-compassion merupakan konsep yang diadaptasi dari filosofi budha tentang cara mengasihi diri sendiri layaknya rasa kasihan ketika melihat

orang lain mengalami kesulitan (Neff dalam Hidayati, 2015: 157). Konsep

compassion kemudian menjadi konsep penelitian ilmiah yang dirintis oleh Kristin Neff. Compassion (yang merupakan unsur cinta kasih) melibatkan perasaan terbuka terhadap penderitaan diri sendiri dan orang lain, dalam

cara yang non-defensif dan tidak menghakimi. Compassion juga melibatkan keinginan untuk meringankan penderitaan, kognisi yang terkait untuk

memahami penyebab penderitaan, dan perilaku untuk bertindak dengan

belas kasih. Oleh karena itu, kombinasi motif, emosi, pikiran dan

perilakulah yang memunculkan compassion (Gilbert, 2005: 01).

Self compassion merupakan sikap memiliki perhatian dan kebaikan terhadap diri sendiri saat menghadapi berbagai kesulitan dalam hidup

ataupun terhadap kekurangan dalam dirinya serta memiliki pengertian

bahwa penderitaan, kegagalan, dan kekurangan dalam dirinya merupakan

bagian dari kehidupan setiap orang. Neff menerangkan bahwa seseorang

(31)

juga dapat meningkatkan kebijaksanaan dan kecerdasan emosi (Ramadhani

& Nurdibyanandaru, 2014: 122).

Neff (dalam Hidayati F, 2015: 186) menyebutkan bahwa self compassion melibatkan kebutuhan untuk mengelola kesehatan diri dan well

being, serta mendorong inisiatif untuk membuat perubahan dalam

kehidupan. Individu dengan self compassion tidak mudah menyalahkan diri

bila menghadapi kegagalan, memperbaiki kesalahan, mengubah perilaku

yang kurang produktif dan menghadapi tantangan baru. Individu dengan self

compassion termotivasi untuk melakukan sesuatu, atas dorongan yang

bersifat intrinsik, bukan hanya karena berharap penerimaan lingkungan.

Self compassion juga dapat membantu seseorang untuk tidak

mencemaskan kekurangan yang ada pada dirinya sendiri, karena orang yang

memiliki self compassion dapat memerlakukan seseorang dan dirinya secara

baik dan memahami ketidaksempurnaan manusia (Neff dalam Ramadhani &

Nurdibyanandaru, 2014). Seseorang yang memiliki self compassion tinggi

mempunyai ciri:

1. Mampu menerima diri sendiri baik kelebihan maupun kelemahannya

2. Mampu menerima kesalahan atau kegagalan sebagai suatu hal umum

yang juga dialami oleh orang lain

3. Mempunyai kesadaran tentang keterhubungan antara segala sesuatu

(Hidayati, 2015).

(32)

dalam menghadapi kesulitan sehingga menganggap kesulitan adalah bagian

dari kehidupan yang harus dijalani.

2. Dimensi-Dimensi Self Compassion

Neff (dalam Germer & Siegel, 2012: 80-82) menjelaskan bahwa self

compassion terdiri dari tiga komponen yaitu:

a. Self kindess

Kemampuan individu untuk memahami dan menerima diri apa adanya

serta memberikan kelembutan, tidak menyakiti atau menghakimi diri

sendiri. Self kindess membuat individu menjadi hangat terhadap diri

sendiri ketika menghadapi rasa sakit dan kekurangan pribadi,

memahami diri sendiri dan tidak menyakiti atau mengabaikan diri

dengan mengkritik dan menghakimi diri sendiri ketika menghadapi

masalah. Individu dengan self kindness dapat menghadapi

permasalahan atau situasi menekan dengan menghindari penyalahan

diri sendiri, atau perasaan rendah. Selfkindnessmerupakan afirmasi

bahwa individu akan menerima kebahagiaan dengan memberikan

kenyamanan pada individu lain. Self kindness inilah yang mendorong individu untuk bertindak positif dan memberikan manfaat bagi individu

lain (Hidayati F, 2015).

b. Common humanity

Common humanity adalah kesadaran bahwa individu memandang kesulitan, kegagalan, dan tantangan merupakan bagian dari hidup

(33)

hanya dialami diri sendiri. Common humanity mengaitkan kelemahan yang individu miliki dengan keadaan manusia pada umumnya, sehingga

kekurangan tersebut dilihat secara menyeluruh bukan hanya pandangan

subjektif yang melihat kekurangan hanyalah milik diri individu. Penting

dalam hal ini untuk memahami bahwa setiap manusia mengalami

kesulitan dan masalah dalam hidupnya.

c. Mindfulness

Mindfulness adalah melihat secara jelas, menerima, dan menghadapi kenyataan tanpa menghakimi terhadap apa yang terjadi di dalam suatu

situasi. Mindfulness mengacu pada tindakan untuk melihat pengalaman yang dialami dengan perspektif yang objektif. Mindfulness diperlukan agar individu tidak terlalu teridenfikasi dengan pikiran atau perasaan

negatif. Konsep dasar mindfullness adalah melihat segala sesuatu seperti apa adanya dalam artian tidak dilebih-lebihkan atau dikurangi

sehingga mampu menghasilkan respon yang benar-benar obyektif dan

efektif (Neff dalam Hidayati, 2015: 158).

3. Komponen Self Compassion

Neff (2003b) mendefinisikan self compassion terdiri dari tiga komponen utama: self-kindness, common humanity, dan mindfulness. Self-kindness mengacu pada kecenderungan untuk menjadi memelihara dan pemahaman terhadap diri sendiri daripada menghakimi diri dengan keras

(34)

dalam beberapa cara dibanding dengan perasaan terisolasi (isolation).

Mindfulness, melibatkan menyadari pengalaman saat sekarang dengan cara yang jelas dan seimbang sehingga tidak satu pun diabaikan pada aspek

menyukai diri sendiri atau hidup seseorang dibandingkan over-identification. Ketiga komponen tumpang tindih dan berinteraksi, untuk menjadi self compassion yang nyata atau sempurna. Compassion dapat diperpanjang ke arah diri ketika penderitaan terjadi karena kesalahan

seseorang sendiri ketika situasi eksternal kehidupan hanya menyakitkan atau

sulit untuk menanggungnya. Self compassion relevan ketika

mempertimbangkan kekurangan pribadi, kesalahan, dan kegagalan, serta

ketika berjuang dengan situasi kehidupan umum lainnya yang menyebabkan

kita sakitmental, emosional, atau fisik. Kebanyakan orang mengatakan

mereka kurang baik dan lebih keras dengan diri mereka sendiri daripada

mereka dengan orang lain (Neff, 2003a). Cukup individu penuh kasih,

bagaimanapun mengatakan bahwa mereka sama-sama baik untuk diri

mereka sendiri dan orang lain. Adapun tiga komponen dari self compassion

adalah sebagai berikut:

a. Self-kindness versus Self-judgment

Self-kindness merupakan pemahaman terhadap diri sendiri ketika mengalami penderitaan, kegagalan, atau merasa berkekurangan di

dalam diri, dengan tidak mengkritik secara berlebihan. Self-kindness

menyadarkan individu mengenai ketidaksempurnaan, kegagalan, dan

(35)

ramah terhadap diri sendiri daripada marah ketika menghadapi

penderitaan atau kegagalan. Ketika mereka gagal, orang yang penuh

kasih cenderung memperlakukan diri dengan kebaikan yang lebih

besar, perawatan,dan kasih sayang dan dengan sedikit kritik. Cukup

kasih sayang juga yang terlibat menjadi meyakinkan daripada kritis

terhadap diri bila ada yang salah (Gilbert, Clarke, Kemple, Miles,

&isons, 2004). Di dalam perbandingannya, Neff menjelaskan bahwa

self-judgment adalah sikap merendahkan dan mengkritik diri sendiri secara berlebihan terhadap aspek aspek yang ada di dalam diri dan

kegagalan yang dialami.

Individu yang memiliki self-judgment cenderung menolak perasaan mereka, pemikiran, dorongan, dan tindakan-tindakannya. Self-judgment terjadi secara natural, sehingga terkadang individu tidak menyadari bahwa dirinya memiliki self-judgment yang berasal dari rasa sakit atas kegagalan yang diderita (Brown, 1998). Secara garis

besar, lebih banyak seseorang memiliki self-kindness, seseorang menjadi lebih sadar akan adanya self-judgment.

b. Common Humanity versus Isolation

Common humanity adalah individu memandang bahwa kesulitan hidup dan kegagalan adalah sesuatu hal yang akan dialami semua orang

(manusiawi). Individu juga mengakui bahwa setiap pengalaman akan

ada kegagalan dan juga akan ada keberhasilan, serta dengan adanya

(36)

seutuhnya yang sangat terbatas dan jauh dari kesempurnaan. (Neff,

2003) Ketika orang gagal, pengalaman kehilangan ataupenolakan,

dihina, atau menghadapi peristiwa negatif lainnya, mereka sering

merasa bahwa hal tersebut hanya mereka yang mengalaminya. Dalam

kenyataannya, semua orang mengalami masalah dan penderitaan.

Menyadari bahwa tidak sendirian dalam pengalaman mengurangi

perasaan terisolasi dan mempromosikan koping yang adaptif(Neff,

2003a).

Isolation adalah individu yang merasa terpisah dari orang lain karena rasa sakit atau frustasi yang dideritanya. Individu yang mengalami

isolation merasa dirinya sendirian ketika mengalami kegagalan, dan cenderung merasa orang lain dapat mencapai sesuatu dengan lebih

mudah dari dirinya. Individu yang mengalami isolation, akan melihat ketidaksempurnaan dan kegagalan adalah sesuatu yang memalukan

dan sering kali bersikap menarik diri dan merasakan kesendirian untuk

bertahan menghadapi kegagalan atau penderitaan.

c. Mindfulness versus Overidentification

Mindfulness adalah menerima pemikiran dan perasaan yang dirasakan saat ini, serta tidak bersifat menghakimi, membesar-besarkan, dan

tidak menyangkal aspek-aspek yang tidak disukai baik dalam diri

ataupun dalam kehidupannya. Dapat dikatakan sebagai keadaan

(37)

sehingga respon yang dihasilkan dapat efektif (Neff, 2011)

Perbandingannya, over identification yang berarti kecenderungan individu untuk terpaku pada semua kesalahan dirinya, serta

merenungkan secara berlebihan keterbatasan-keterbatasan yang

dimilikinya akibat kesalahan yang telah diperbuat. Individu yang

mengalami kegagalan akan cenderung tidak menerima dan

membesar-besarkan kegagalan yang dialaminya.

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Self-Compassion

Faktor yang mempengaruhi self compassion sebagaimana diungkapkan oleh Neff (2003) yakni:

a. Lingkungan

Pertama kali manusia mendapat pengasuhan dari orang tua. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa individu yang tumbuh dengan orang

tua yang selalu mengkritik ketika masa kecilnya akan menjadi lebih

mengkritik dirinya sendiri ketika dewasa. Model dari orang tua juga

dapat mempengaruhi self compassion yang dimiliki individu. Perilaku orang tua yang sering mengkritik diri sendiri saat menghadapi

kegagalan atau kesulitan. Orang tua yang mengkritik diri akan menjadi

contoh bagi individu untuk melakukan hal tersebut saat mengalami

kegagalan yang menunjukkan derajat self compassion yang rendah. Individu yang memiliki derajat self compassion yang rendah kemungkinan besar memiliki ibu yang kritis, berasal dari keluarga

(38)

memiliki derajat self compassion yang tinggi (Neff & McGeehee, 2010: 228). Neff dan Mc Gehee (dalam Wei et al, 2011) menyatakan

bahwa proses dalam keluarga (seperti dukungan keluarga dan sikap

orang tua) akan berkontribusi dalam menumbuhkan self compassion. Ketika mengalami penderitaan, cara seseorang memperlakukan dirinya

kemungkinan besar meniru dari apa yang diperlihatkan orang tuanya

(modelling of parent). Jika orang tua menunjukkan sikap peduli dan perhatian, maka sang anak akan belajar untuk memperlakukan dirinya

dengan self compassion. Pengalaman dini di dalam keluarga diduga sebagai faktor kunci perkembangan self compassion pada individu. Neff dan McGehee (2008) menemukan bahwa kritik dari orang tua dan

hubungan orang tua yang penuh dengan masalah terbukti berkolerasi

negatif dengan terbentuknya self compassion pada masa muda. Sebaliknya bagi individu yang merasa diakui diterima orang tua

mereka menyatakan bahwa tingkat self compassion nya dan lebih tinggi daripada yang tidak. Maternal criticism juga mempengaruhi self compassion yang dimiliki seseorang. Schafer (1964, 1968) menyatakan bahwa empati dikembangkan melalui proses internalisasi saat masih

anak-anak. Artinya, jika seseorang mendapatkan kehangatan dan

hubungan yang saling mendukung dengan orang tua mereka, serta

menerima compassion dari orang tua mereka, mereka cenderung akan

memiliki self compassion yang lebih tinggi.

(39)

Dalam tahap perkembangan, seorang remaja mengalami peralihan

yang sulit dari masa kanak-kanak ke masa dewasa karena kepekaan

terhadap perubahan sosial dan historis di lain pihak, maka selama

tahap pembentukan identitas seorang remaja, masa remaja adalah

periode kehidupan di mana self compassion yang terendah.

Terdapat beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa self compassion terasosiasi secara signifikan dengan tingkat usia (Neff & Vonk, 2009). Latar belakang keterhubungan ini dianalisis oleh Neff

berdasarkan teori perkembangan Erikson. Orang-orang yang telah

mencapai tahapan integrity akan lebih menerima kondisi yang terjadi kepadanya sehingga dapat memiliki level self compassion lebih tinggi

(Neff, 2011). Tahapan perkembangan integrity dicirikan dengan seseorang yang dapat melakukan penerimaan diri dengan positif. Neff

dan McGahee (2010) juga melakukan penelitian pada remaja dan

dewasa muda. Hasil temuannya menunjukkan bahwa self compassion

berasosiasi dengan negatif affect, seperti sifat remaja yang mudah

mengalami kecemasan atau depresi.

c. Jenis Kelamin

Secara umum, hasil penelitian yang dilakukan oleh Yarnell, Stafford et

al. menunjukkan bahwa terdapat perbedaan gender yang

mempengaruhi tingkat self compassion, dimana laki-laki ditemukan memiliki tingkat self compassion yang sedikit lebih tinggi dari pada

(40)

perempuan cenderung lebih kritis terhadap diri mereka sendiri dan

lebih sering menggunakan self-talk negatif dibandingkan laki-laki.

Hal lain yang menjelaskan perbedaan gender tersebut yaitu perempuan

juga lebih sering melakukan perenungan yang berulang, mengganggu,

dan merupakan cara berpikir yang tak terkendali atau yang disebut

rumination. Rumination mengenai hal-hal yang terjadi di masa lalu

dapat mengarahkan munculnya depresi, sedangkan rumination

mengenai potensi peristiwa negatif di masa depan akan menimbulkan

kecemasan (Neff, 2003:94).

d. Budaya

Individu dari budaya kolektivis umumnya memiliki interdependent sense of self yang lebih dibandingkan individualis, maka dari itu diharapkan orang-orang Asia memiliki level self-compassion yang lebih tinggi dari orang Barat. Namun, penelitian juga telah

menunjukkan bahwa orang-orang Asia cenderung lebih self-critical

dibandingkan dengan orang Barat (Kitayama & Markus, 2000;

Kitayama, Markus, Matsumoto, & Norasakkunkit, 1997 dalam Neff,

2003: 96), yang mana hal ini justru menunjukkan sebaliknya, memiliki

self compassion yang rendah.

e. Kepribadian

The Big Five Personality merupakan dimensi dari kepribadian (personality) yang dipakai untuk menggambarkan kepribadian. Five

(41)

lexical, yaitu mengelompokkan kata-kata atau bahasa yang digunakan

di dalam kehidupan sehari-hari, untuk menggam-barkan ciri-ciri

individu yang membedakannya dengan individu lain. Allport dan

Odbert (dalam John, et al., 2008) berhasil mengumpulkan 18.000

istilah yang digunakan untuk membedakan perilaku seseorang dengan

lainnya. Daftar ini menginspirasi Cattell menyusun model

multidimensional dari kepribadian (John, 1990). Dari 18.000 ciri sifat

ini, Cattell mengelompokkannya kedalam 4.500 ciri sifat, kemudian

melakukan analisis faktor sehingga diperoleh 12 faktor. Karya besar

Cattell ini merupakan pemicu bagi peneliti-peneliti kepribadian

lainnya, baik untuk meneliti maupun menganalisis ulang data dari

kalangan yang bervariasi. Data ini mulai dari anak-anak hingga

dewasa. Khusus subjek dewasa, latar belakang pekerjaan mereka

antara lain adalah supervisor, guru, dan klinisi yang berpengalaman.

Dari sinilah diperoleh lima faktor yang sangat menonjol, yang

kemudian diberi nama oleh Goldberg dengan Big Five (Goldberg, 1981; Tupes & Christal, 1992). Pemilihan nama Big Five ini bukan berarti kepribadian itu hanya ada lima melainkan pengelompokkan dari

ribuan ciri ke dalam lima himpunan besar yang berikutnya disebut

dimensi kepribadian. Goldberg (1981; 1992) mengemukakan bahwa

kelima dimensi itu adalah:

(42)

Ditandai oleh adanya semangat dan keantusiasan. Individu

ekstraversion bersemangat dalam membangun hubungan dengan orang lain. Mereka tidak pernah sungkan berkenalan dan secara

aktif mencari teman baru. Keantusiasan mereka ini tercermin di

dalam pancaran emosi positif. Mereka tegas dan asertif dalam

bersikap. Bila tak setuju, mereka akan menyatakan tidak sehingga

mereka mampu menjadi pimpinan sebuah organisasi.

2. Agreeableness

Mempunyai ciri-ciri ketulusan dalam berbagi, kehalusan perasaan,

fokus pada hal-hal positif pada orang lain. Di dalam kehidupan

sehari-hari mereka tampil sebagai individu yang baik hati, dapat

kerjasama, dan dapat dipercaya.

3. Conscientiousness

Dengan kata lain sungguh-sungguh dalam melakukan tugas,

bertanggung jawab, dapat diandalkan, dan menyukai keteraturan

dan kedisiplinan. Di dalam kehidupan sehari-hari mereka tampil

sebagai seorang yang hadir tepat waktu, berprestasi, teliti, dan suka

melakukan pekerjaan hingga tuntas.

4. Neuroticism

Neuroticism sebagai lawan dari Emotional stability. Neuroticism sering disebut juga dengan ’sifat pencemas’ sedangkan emotional

(43)

tegang, dan takut. Seseorang yang dominan sifat pencemasnya

mudah gugup dalam menghadapi masalah-masalah yang menurut

orang kebanyakan hanya sepele. Mereka mudah menjadi marah

bila berhadapan dengan situasi yang tidak sesuai dengan yang

diinginkannya. Secara umum, mereka kurang mempunyai toleransi

terhadap kekecewaan dan konflik.

5. Openness atau openness to experience

Dimensi ini erat kaitannya dengan keterbukaan wawasan dan

orisinalitas ide. Mereka yang terbuka siap menerima berbagai

stimulus yang ada dengan sudut pandang yang terbuka karena

wawasan mereka hanya luas namun juga mendalam. Mereka

senang dengan berbagai informasi baru, suka belajar sesuatu yang

baru, dan pandai menciptakan aktivitas yang di luar kebiasaan.

Dalam teori The Big Five Personality, berdasarkan pengukuran yang dilakukan oleh NEO-FFI, self compassion memiliki korelasi positif dengan dimensi kepribadian yang menyenangkan/ramah (agreeableness), terbuka (extraversion), dan teliti (conscientiousness). Seseorang yang memiliki skor

agreeableness yang tinggi digambarkan sebagai seseorang yang memiliki value suka membantu, memaafkan, dan penyayang (McCrae & Allik, 2002).

(44)

Kepribadian extraversion dapat memprediksi banyak tingkah laku sosial. Menurut penelitian, seseorang yang memiliki kepribadian yang

tinggi, akan mengingat semua interaksi sosial, berinteraksi lebih banyak

dengan orang. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa self compassion berkolerasi positif secara signifikan dengan keingintahuan dan eksplorasi, aspek-aspek dalam kepribadian extraversion.

Individu dengan kepribadian conscientiousness, dideskripsikan sebagai orang yang memiliki kontrol terhadap lingkungan sosial, berpikir sebelum

bertindak, menunda kepuasan, mengikuti peraturan dan norma, terencana,

terorganisir, dan memprioritaskan tugas (McCrae & Allik, 2002). Stabilitas

emosional yang muncul dalam self compassion merupakan penyebab sekaligus hasil dari keberadaan perilaku bertanggung jawab milik

conscientious. Self compassion tidak memiliki hubungan dengan openness, karena trait ini mengukur karakteristik individu yang memiliki imajinasi

yang aktif, kepekaan secara aesthetic, sehingga dimensi openness ini tidak sesuai dengan self compassion.

5. Dampak Self Compassion

Pada dasarnya self compassion tidak hanya diandalkan saat seseorang mengalami suatu masalah, tetapi juga dalam situasi dan kondisi apapun.

(45)

diri seseorang, tetapi juga berperan secara unik dalam emosi-emosi positif

seperti sense of coherence dan feeling worthy dan acceptable.

Salah satu penemuan yang paling konsisten dari penelitian yaitu self compassion berhubungan dengan rendahnya kecemasan dan depresi. Salah satu kunci penting dari self compassion adalah rendahnya self-critism. Self compassion memberikan perlindungan untuk melawan kecemasan dan depresi saat berusaha untuk mengendalikan self-critism dan dampak negatif yang dihasilkan.

Individu yang memiliki self compassion tinggi juga menghasilkan kemampuan emotional coping skill yang lebih baik dan kepuasan hidup yang merupakan bagian penting dari hidup yang bermakna. Selain itu self compassion juga berhubungan dengan perasaan mandiri, mampu, dan hubungan dengan orang lain. Hal tersebut membuktikan self compassion

dapat membantu individu untuk menemukan kebutuhan psikologis dasar

dari Deci dan Ryan (1995) tentang well being. Individu yang memiliki self compassion cenderung bahagia, optimis, memiliki rasa ingin tau, dan dampak-dampak positif daripada individu yang memiliki self compassion

rendah.

Dampak self compassion berdasarkan hasil penelitian-penelitian adalah sebagai berikut :

1. Emotional Resilience

(46)

atau reaktivitas emosional yang sering mempengaruhi kehidupan

individu, memberikan ketahanan emosional dan meningkatkan

kesejahteraan (well being). Pikiran otomatis yang muncul ketika dalam situasi negatif tereduksi ketika individu memiliki self compassion yang memadai. Mindfulness yang merupakan salah satu aspek self compassion dapat memandang emosi dan pemikiran negatif secara objektif. Self compassion tidak menggantikan emosi negatif menjadi positif secara langsung, melainkan emosi positif tersebut

dihasilkan dengan cara memeluk emosi negatif yang ada.

Self compassion adalah bentuk yang kuat dari kecerdasan emosional. Individu dengan self compassion memiliki emosional yang lebih baik dalam coping skills. Mereka kurang menampilkan tanda-tanda penghindaran emosional dan lebih nyaman dalam menghadapi pikiran,

perasaan, dan sensasi dari apa yang terjadi. Merasakan emosi yang

menyakitkan dan menahannya dengan self compassion, cenderung tidak mengganggu kehidupan sehari-hari.

2. Opting out of the self esteem game

Meskipun self compassion menghasilkan emosi positif, itu tidak melakukannya dengan menilai diri sebagai "baik" daripada "buruk."

Dengan cara ini, self compassion mempunyai perbedaan nyata dari

(47)

kita sendiri, dan sering didasarkan pada perbandingan dengan orang

lain (Harter, 1999).

Self esteem yang terlalu tinggi dapat menyebabkan seseorang menjadi narsistic, meningkatkan konsep realistik dari kompeten, intelegensi,

dan mereka merasa berhak untuk mendapatkan perlakukan khusus.

Self compassion bukan mencoba untuk menentukan layak atau bagaimana esensi diri kita, bukan pemikiran atau melabelkan diri, atau

penilaian. Dalam self compassion adalah lebih kepada fakta bahwa semua manusia memiliki kekuatan dan kelemahan daripada mengelola

citra diri kita sehingga selalu merasa baik. Tidak tersesat dalam

pikiran menjadi atau buruk, kita menjadi sadar pengalaman saat ini,

dan menyadari bahwa keadaan itu terus berubah dan tidak kekal.

3. Motivation and Personal Growth

Fungsi psikologis lainnya adalah sebagai sumber motivasi. Dukungan

positif dan penuh harapan akan menghasilkan pencapaian tertinggi

seseorang. Individu membutuhkan untuk merasa aman, tenang, dan

percaya diri untuk melakukan usaha yang terbaik. Hal itu yang

mendorong dan menumbuhkan keyakinan terhadap orang lain di

sekitarnya ketika menginginkan mereka mencapai hasil yang terbaik.

Begitu juga terhadap diri sendiri, self compassion dapat menguatkan

motivasi untuk mendapatkan pencapaian tertinggi (peak

(48)

mencapai tujuan. Bandura (1997) mengungkapkan bahwa keyakinan

terhadap kemampuan diri sendiri berkolerasi kositif dengan

kemampuan dan keberhasilan meraih mimpi.

Manfaat lainnya dengan self compassion yang tinggi adalah adanya orientasi yang lebih tinggi pada pengembangan diri (personal growth). Mereka akan merancang rencana spesifik untuk meraih tujuan yang

ingin dicapai dan membuat hidup lebih seimbang. Self compassion

berperan dalam menumbuhkan mindset positif. Sebagai contoh, self compassion terkait dengan keterhubungan sosial dan kepuasan hidup, serta menjadi elemen penting dalam kebermaknaan hidup. Self compassion juga berasosiasi dengan kemandirian, kompetensi, dan keterkaitan, yang merupakan konsep dasar untuk atribut yang di sebut

oleh Deci & Ryan (1995) sebagai well being atau kesejahteraan hidup (Neff dalam Leary &Hoyle, 2009).

Selegman & Csikzentmihalyi (dalam Neff et al, 2007) menyatakan

bahwa individu dengan self compassion menunjukkan kekuatan psikologis yang terkait dengan perkembangan psikologi positif seperti

kebahagian, optimisme, kebijaksanaan, keingintahuan, motivasi

bereksplorasi, inisiatif pribadi, dan emosi positif. Penelitian

membuktikan bahwa individu dengan self compassion termotivasi untuk meraih prestasi yang lebih tinggi, tetapi bukan disebabkan oleh

keinginan untuk meninggikan citra diri, melainkan lebih disebabkan

(49)

B.Pasangan Suami Istri

1. Pengertian Keluarga

Menurut Kertamuda (2011) bahwa keluarga merupakan bagian dari

masyarakat kecil yang penting dalam membentuk kepribadian serta kakarter

bagi para anggota keluarganya. Keluarga juga tempat seseorang untuk

bergantung, baik secara ekonomi maupun dalam kehidupan sosial lainnya,

serta berperan secara dominan dalam menentukan dan mengambil

keputusan. Sedangkan menurut Mubarrak, dkk (2009) keluarga merupakan

perkumpulan dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,

perkawinan atau adopsi, dan tiap-tiap anggota keluarga selalu berinteraksi

satu dengan yang lain.

Keluarga adalah lingkungan dimana beberapa orang yang masih

memiliki hubungan darah dan bersatu. Keluarga didefinisikan sebagai

sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang masih mempunyai

hubungan kekerabatan/hubungan darah karena perkawinan, kelahiran,

adopsi dan lain sebagainya. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan

anak-anak. Sebagai unit pergaulan terkecil yang hidup dalam masyarakat,

keluarga batih mempunyai peranan-peranan tertentu, yaitu (Soerjono, 2004:

23) :

a. Keluarga batih berperan sebagi pelindung bagi pribadi-pribadi yang

menjadi anggota, dimana ketentraman dan ketertiban diperoleh dalam

(50)

b. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materil

memenuhi kebutuhan anggotanya.

c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan

hidup.

d. Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses

sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan

mematuhi kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

2. Ciri Ciri Keluarga

Menurut Mac Iver and Page (Khairuddin, 1985: 12) Keluarga pada

dasarnya merupakan suatu kelompok yang terbentuk dari suatu hubungan

seks yang tetap, untuk menyelenggarakan hal-hal yang berkenaan dengan

keorangtuaan dan pemeliharaan anak. Adapun ciri-ciri umum keluarga

yaitu:

1. Keluarga merupakan hubungan perkawinan.

2. Susunan kelembagaan yang berkenaan dengan hubungan perkawinan

yang sengaja dibentuk dan dipelihara.

3. Suatu sistem tata nama, termasuk perhitungan garis keturunan.

4. Ketentuan-ketentuan ekonomi yang dibentuk oleh anggota-anggota

kelompok yang mempunyai ketentuan khusus terhadap

kebutuhan-kebutuhan ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan untuk

mempunyai keturunan dan membesarkan anak.

5. Merupakan tempat tinggal bersama, rumah tangga walau bagaimanapun,

(51)

Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menyimpulkan, keluarga

merupakan sekumpulan orang yang tinggal dalam satu rumah yang

terbentuk dari suatu hubungan seks yang tetap dan merasakan sebagai satu

kesatuan yang utuh yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak.

Memilih pasangan, berarti memilih seseorang yang diharapkan dapat

menjadi teman hidup, seseorang yang dapat menjadi rekan untuk menjadi

orang tua dari anak–anak kelak (Lyken dan Tellegen, 1993). Pemilihan

pasangan yang dilakukan oleh individu, biasanya didasari dengan memilih

calon yang dapat melengkapi apa yang dibutuhkan dari individu tersebut

dan berdasarkan suatu pemikiran bahwa seorang individu akan memilih

pasangan yang dapat melengkapi kebutuhan yang diperlukan.

3. Bentuk Keharmonisan Keluarga

Terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri

dalam upaya menjaga keharmonisan keluarganya yaitu:

a. Adanya saling pengertian

Dalam kehidupan berumah tangga pasangan suami istri harus saling

menyadari bahwa sebagai manusia masing-masing saling memiliki

kekurangan dan kelebihan. Perlu disadari juga bahwa sebagai sepasang

suami istri keduanya tidak hanya berbeda jenis kelamin saja, melainkan

juga memiliki perbedaan sifat, tingkah laku, dan juga perbedaan

pandangan.

(52)

Disini pasangan suami istri harus bisa saling menyadari bahwa jodoh

menjadi salah satu rahasia Allah yang tidak dapat dirumuskan secara

matematis, artinya segala sesuatu itu tidak bisa dipastikan. Namun

sebagai manusia diperintahkan untuk berikhtiar dan Allah lah yang

menentukan hasilnya. Hasilnya tersebut yang harus diterima, termasuk

keadaan pasangan masing-masing.

c. Memupuk rasa cinta

Kebahagiaan seseorang bersifat relatif, namun setiap orang berpendapat

sama bahwa kebahagiaan adalah segala sesuatu yang dapat

mendatangkan ketentraman, keamanan, dan kedamaian. Untuk dapat

mencapai kebahagiaan keluarga, hendaknya pasangan suami istri

senantiasa berupaya saling memupuk rasa cinta dengan cara saling

menyayangi, kasih mengasihi, hormat menghormati, serta saling

menghargai.

d. Melaksanakan asas musyawarah

Dalam kehidupan berumah tangga sikap bermusyawarah antara suami

istri merupakan sesuatu yang perlu diterapkan. Hal ini didasarkan

bahwa tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan kecuali dengan

cara bermusyawarah. Dalam hal ini diperlukan sikap saling terbuka,

lapang dada, jujur, mau menerima dan memberi serta sikap tidak mau

menang sendiri antara suami istri.

(53)

Sikap kesediaan saling memaafkan kesalahan antar pasangan harus ada,

karena tidak jarang persoalan yang kecil dan sepele dapat menjadi

sebab terganggunya hubungan suami istri yang tidak jarang menjurus

pada perselisihan yang panjang bahkan sampai pada perceraian.

f. Berperan serta dalam kemajuan bersama

Masing-masing suami istri harus berusaha saling membantu pada setiap

usaha untuk peningkatan dan kemajuan bersama.

C.Pasangan yang Belum Memiliki Keturunan (Infertility) 1. Pengertian Infertility

Infertilitas mempunyai pengertian sangat beragam. Pasangan infertil

adalah pasangan suami istri yang telah menikah selama satu tahun dan

sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat kontrasepsi

tetapi belum hamil (Lashen, 2007; Sumapraja, 2008). Berdasarkan

kejadiannya infertilitas dibagi menjadi dua, yaitu infertilitas primer apabila

istri belum pernah hamil walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada

kemungkinan kehamilan selama 12 bulan, sedangkan disebut sebagai

infertilitas sekunder apabila istri pernah hamil, akan tetapi kemudian tidak

terjadi kehamilan lagi walaupun bersenggama dan dihadapkan kepada

kemungkinan kehamilan selama 12 bulan (Kadarusman, 2001).

Gambar

Gambar 1. Skema adanya self compassion pada pasangan yang belum memili keturunan(infertility)
gambar yang telah dikumpulkan selama proses pengumpulan data,
   Tabel 1. Jadwal Kegiatan Penelitian Wawancara, Observasi, dan Dokumentasi
gambar atau foto USG. Sama halnya dengan pasangan suami istri yang

Referensi

Dokumen terkait

(Kasus 3) dapat dilihat bahwa dalam keadaannya yang belum memiliki anak ini, ia.. tetap memiliki tujuan hidup yang jelas yang berusaha ia raih. Yang menjadi tujuan. hidup istri

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui perbedaan self-compassion pada perempuan bekerja yang sudah menikah dan perempuan bekerja yang belum menikah di PT “X”

Dalam penelitian yang berjudul Manajemen Konflik Antar Pribadi pada Pasangan Suami- Istri dengan fokus penelitian ke pasangan yang berasal dari Jawa dan Batak, kita bisa melihat

Peneliti telah melakukan wawancara kepada kedua pasangan informan untuk mengetahui tahap pengembangan hubungan antara keduanya dan juga self-disclosure kedua pasangan

Berdasarkan wawancara yang telah peneliti lakukan pada tanggal 8 Januari 2016 satu pasangan suami istri di Kelurahan Sapihia mengatakan bahwa sering terjadinya kesalah

Pada tahap dua, peneliti membuat rumusan definisi operasional dari self-compassion yaitu perilaku yang menunjukkan seorang individu memberikan perhatian dan kepedulian terhadap diri

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti, dapat ditarik kesimpulan mengenai gambaran kepuasan pernikahan pada laki-laki dari pasangan yang belum

Skala self compassion disusun berdasarkan 3 komponen self compassion dari Neff yaitu: berbuat baik baik pada diri sendiri self kindness kemampuan individu untuk memahami dan menerima