STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (STUDI KASUS DI DESA
BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN)
SKRIPSI
Oleh :
Prafangasta Mawaddah Deriani
C31212120
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
SURABAYA
STUDI KOMPARASI HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
TERHADAP PENGANGKATAN ANAK (STUDI KASUS DI DESA
BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN)
SKRIPSI
Diajukan Kepada
Universitas Negeri Sunan Ampel
Unruk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
dalam Menyelesaikan Program Sarjana Strata Satu
Syariah dan Hukum
Oleh
Prafangasta Mawaddah Deriani
NIM. C31212120
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syariah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam Prodi Hukum Keluarga
SURABAYA
ABSTRAK
Skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan untuk menjawab rumusan masalah yaitu bagaimana praktek Pengangkatan Anak berdasarkan kasus yang penulis angkat di desa Bluri kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan, bagaimana analisis kasus pengangakatan anak terhadap bapak kasun yang dilakukan di desa Bluri jika ditinjau dari segi hukum Positif dan hukum Islam serta bagaimana persamaan dan perbedaannya berdasarkan hukum positif dan hukum Islam.
Data penelitian dihimpun melalui wawancara yang dilakukan kepada masyarakat desa Bluri sendiri, Orang tua kandung serta orang tua angkat serta saudara kandung dalam pengangkatan anak serta para perangkat desa, yang kemudian dianalisis menggunakan metode deduktif.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa pelaksanaan Pengangkatan Anak (Mupu Anak) di desa Bluri dilakukan dengan 3 proses, yang pertama yaitu kesepakatan antara orang tua kandung dan calon orang tua angkat, proses selanjutnya adalah kedua orang tua dalam hal ini yaitu calon orang tua dan orang tua kandung datang untuk mengurus akta kelahiran yang selanjutnya pada akta tersebut menjelaskan bahwa nasab anak beralih kepada orang tua angkat, dan proses yang terakhir adalah serah terima anak angkat. Berdasarkan analisis hukum positif dan hukum Islam pengangkatan anak di desa Bluri merupakan pengangkatan anak yang diperbolehkan sebab memiliki tujuan untuk kesejahteraan anak serta saling tolong menolong. Akan tetapi terdapat akibat hukum yang dilarang oleh Islam dan hukum Positif dalam hal ini PP no 54 tahun 2007 yaitu nasab anak mengikuti nasab orang tua angkatnya. Islam menjelaskan bahwa pengangkatan anak yang demikian tidak diperbolehkan.
DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
ABSTRAK ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TRANSLITERASI ... xi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 10
C. Rumusan Masalah... 11
D. Kajian Pustaka ... 12
E. Tujuan Penelitian ... 14
F. Kegunaan Penelitian ... 15
G. Definisi Operasional ... 15
H. Metode Penelitian ... 17
I. Sistematika Pembahasan... 22
BAB II PENGANGKATAN ANAK DALAM HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM ... 24
A. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif ... 24
1. Prosedur Pengangkatan Anak ... 35
3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ... 37
B. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Islam ... 39
1. Pengertian Pengangkatan Anak ... 39
2. Syarat Pengangkatan Anak ... 41
3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak ... 42
BAB III PELAKSANAAN PENGANGAKATAN ANAK TERHADAP BAPAK KASUN YANG TERJADI DI DESA BLURI KECAMATAN SOLOKURO KABUPATEN LAMONGAN ... 51
A. Sekilas Tentang Pengangkatan Anak yang dilakukan terhadap bapak kasun ... 51
B. Prosedur Pengangkatan Anak ... 52
C. Admistrasi Pengangkatan Anak... 53
D. Akibat Hukum Pengangakatan Anak ... 54
BAB IV ANALISIS HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM TERHADAP PENGANGKATAN ANAK YANG TERJADI DI DESA BLURI ... 64
A. Analisis Praktek Pengangkatan Anak Terhadap Bapak Kasun yang dilakukan di Desa Bluri ... 64
B. Analisis Persamaan dan Perbedaan Pengangkatan Anak Terhadap Bapak Kasun ... 71
BAB V PENUTUP ... 77
A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 78
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia di dunia ini diciptakan oleh Allah SWT secara
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. Keduanya pula dikaruniai rasa saling
mengasihi dan mencintai serta hasrat (syahwat) kepada satu sama lain,
sehingga ketika mereka telah dewasa mereka memiliki rasa ketertarikan
kepada lawan jenisnya. Dalam hal ini Islam mengatur sedemikian rupa untuk
memenuhi fitrah manusia yang mempunyai tujuan membina rumah tangga
serta meneruskan keturunan dengan cara perkawinan, karena dengan
perkawinan hubungan antara laki-laki dengan perempuan dapat terikat secara
agama.
Perkawinan berasal dari kata ‚kawin‛ yang menurut bahasa artinya
membentuk keluarga dengan lawan jenis.1 Sedangkan definisi perkawinan
dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.2Sedangkan pengertian perkawinan
dalam Kompilasi Hukum Islam ialah akad yang sangat kuat atau mithāqan
1Abd. Rahman Ghazaly,Fiqih Munakahat, Cet.1 (Jakarta: Prenada Media, 2003), 7.
2
ghalīdzan untuk menaati perintah Allah SWT dan melaksanakannya
merupakan ibadah.3
Perkawinan akan dianggap sah bila telah melakukan akad nikah
yaitu berupa ijāb dan qabūl. Para Ulama’ Madzhab sepakat berpendapat
bahwa perkawinan baru dianggap sah jika dilakukan dengan akad, yang
mencakup ijāb dan qabūl antara perempuan yang dilamar dengan laki-laki
yang melamarnya, atau antara pihak yang menggantikannya seperti wakil dan
wali, dan dianggap tidak sah hanya semata-mata berdasarkan suka sama suka
tanpa adanya akad.4 Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilihkan oleh
Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak meneruskan
keturunannya dan kelestarian kehidupannya, setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif dalam mewujudkan tujuan
perkawinan.
Perkawinan juga dianggap sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku menjadikan pasangan suami istri memperoleh
kepastian dan perlindungan hukum sebagai warga negara bila terjadi
kasus-kasus hukum di kemudian hari. Anak-anak memperoleh kejelasan status siapa
ayah dan ibu mereka dihadapan hukum.5
Allah SWT tidak mau menjadikan manusia seperti makhluk
lainnya yang bisa hidup bebas mengikuti keinginan serta nalurinya yang
3Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Nuansa Aulia, 2002), 2.
4 Muhammad Jawad Almughniyah. Al-Fiqh ‘Ala Al-Madzahib Al-Khamsah.Diterjemahkan
Masykur A.B. dkk. Fiqih Lima Mazhab: Ja’fari, Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali. Cet.1 (Jakarta: Lentera, 1996) 309.
5 Fuaduddin TM. Pengasuhan Anak dalam Keluarga Islam,(Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan
3
berhubungan dengan lawan jenisnya secara tidak baik yang tidak mempunyai
aturan.Demi menjaga martabat dan kemuliaan manusia Allah SWT
menciptakan hukum yang sesuai dengan martabatnya.Sehingga hubungan
antar laki-laki dan perempuan diatur sedemikian rupa agar kemuliaan
manusia tetap terjaga melalui hubungan perkawinan yang telah dianjurkan
oleh Allah SWT.
Unsur pokok yang terdapat di dalam perkawinan adalah calon
mempelai laki-laki dan calon mempelai perempuan, wali dari mempelai
perempuan yang akan mengakadkan perkawinan dan dua orang saksi, ijāb
yang dilakukan oleh wali, dan qabūl yang dilakukan oleh mempelai laki-laki
serta mahar.6
Perkawinan dalam Islam bukan semata-mata hubungan atau
kontrak keperdataan saja, akan tetapi mempunyai nilai ibadah, hukum serta
sosial.7 Perkawinan juga mempunyai tujuan untuk membentuk keluarga yang
sakinah mawaddah wa rahmāh. Selain itu perkawinan dimaksudkan untuk
mendapatkan keturunan.
Sudah menjadi fitrah sepasang suami istri yang telah hidup
bersama berkeinginan untuk melahirkan dan memiliki keturunan (anak), akan
tetapi terkadang keinginan tersebut terbentur pada takdir sang pencipta
dimana keinginan mempunyai anak belum terpenuhi atau bahkan tidak dapat
terpenuhi. Untuk dapat memiliki keturuanan tentunya banyak pasangan yang
6Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), 61.
4
telah berikhtiyar baik melalui jalur medis maupun non-medis (tradisional)
yang tentunya memerlukan waktu, kesabaran dan biaya yang tidak sedikit.
Bagi pasangan suami istri yang berhasil mereka akan merasa
bahagia, namun bagi mereka yang belum berhasil tentunya banyak pula usaha
yang mereka tempuh untuk dapat memiliki keturunan, baik itu dengan cara
bercerai kemudian melakukan perkawinan lagi dengan orang lain, melakukan
poligami yaitu tidak menceraikan si istri namun melakukan perkawinan
dengan perempuan lain, melakukan bayi tabung, melakukan inseminasi atau
upaya medis lainnya, atau bahkan dengan upaya mengajukan permohonan
pengangkatan anak kepada pengadilan.
Pengangkatan anak sendiri bukanlah hal yang baru di Indonesia.
Sejak dulu pengangkatan anak telah dilakukan dengan berbagai tujuan yang
berbeda diantaranya untuk memiliki keturunan dan sebagai pancingan untuk
mendapatkan dan melahirkan keturunan. Di Indonesia sendiri pengangkatan
anak telah menjadi kebutuhan bagi masyarakat dan menjadi bagian dari
sistem hukum kekeluargaan, sebab menyangkut kepentingan orang perorang
dalam keluarga.
Pengangkatan anak atau yang lebih dikenal dengan istilah adopsi
memiliki tujuan untuk melanjutkan keturunan, suatu fenomena baru dalam
kehidupan masyarakat modern khususnya bagi orang-orang yang tidak
memiliki keturunan atau bagi perempuan yang sedang mengejar karir
sehingga terlambat melangsungkan perkawinan. Orang yang mengangkat
5
atau yang telah berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun ada
pula yang melakukan pengangkatan anak.
Apabila ada suatu keluarga, suku ataupun kerabat yang khawatir
menghadapi kenyataan tidak mempunyai anak, maka berbagai usaha
dilakukan untuk menghindari hal tersebut salah satu usaha yang mereka
lakukan adalah dengan mengangkat anak8. Pengangkatan anak (adopsi)
merupakan suatu hal yang dapat dibenarkan dan merupakan suatu jalan
keluar yang positif dan manusiawi terhadap keinginan untuk mendapatkan
kehadiran seorang anak dalam suatu keluarga yang selama bertahun-tahun
tidak memiliki buah hati.
Seringkali pelaksaan pengangkatan anak pada masyarakat lebih
mengutamakan dengan mengangkat anak saudara dekat ataupun keponakan,
akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang bukan berasal
dari kerabat. Adapun pelaksanaan pengangkatan anak biasanya dilakukan
upacara yang dihadiri penghulu, tokoh adat setempat serta disahkan oleh
anggota keluarga yang mengangkatnya dengan tujuan agar status dan
kedudukan anak yang diangkat menjadi terang dan jelas. Biasanya di
lingkungan kerabat yang mengangkatnya, banyak dijumpai di daerah-daerah
antara lain: Jawa Timur, Bali, Minahasa, Palembang dan Batak.9
8 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum,(Jakarta : Sinar Grafika, 1995)
1.
9 Rosmi Hamdan, Tinjauan Yuridis Tentang Status Anak Angkat, Kamus Jurnal Ilmu Hukum, Edisi
6
Pada dasarnya Islam melarang bentuk pengangkatan anak
(al-tabanni) yang telah dikenal sejak zaman jahiliyah, yaitu mengangkat anak
orang lain seperti anak sendiri, sehingga ia dinisbatkan kepada ayah
angkatnya, diakui sebagai anak kandung dan mendapatkan hak serta warisan
seperti layaknya anak sendiri. Sebaliknya Islam membolehkan dalam
mengangkat anak asuh (Ihtidhan / foster children) yang berasal dari kerabat
atau kalangan kurang mampu untuk dididik dan diasuh secara baik, tanpa
menasabkan anak kepada orang tua asuhnya, serta tidak dianggap sama
statusnya dengan anak kandung dalam segi perwalian, perwarisan dan
hubungan mahram.10 Seperti yang terdapat dalam surat al-Ahzab 4-5.
َوْزَأ َلَعَجاَمَو هِفوَج ِِ َِْْ بْلَ ق ْنِّم ٍلُجَرِل ُه َلَعَجاَم
ّلا ُمُكَج
ظُت ْيِئ
هَمُا َنُهْ نِم َنْوُرِه
ْمُكِت
ايِعْدَأ َلَعَجاَمَو
ذ ْمُكَءاَنْ بَأ ْمُكَء
وفَِِ مُكُلْوَ ق مُكِل
َلْيِبَسلا ىِدْهَ يَوَُو َقَْْا ُلْوُقَ ي ُهَو مُكِ
۴
ِل مُوُعْدُا
َب
وَُُلْعَ ت َّْ ْنِاَف ِهَدْنِع َُُسقَاَوُ مِهِِ
اا َب
مُكْيِلاَوَمَو ِنْيِّدلا ِِ ْمُكُناَوْخِاَف ْمَُء
َسيَلَو
َُْيِف ٌحاَنُج مُكْيَلَع
َاا
لَو هِب ُُْأَطْخ
اَُْيِحَراًرْوُفَغ ُه َنَاكَو مُكُبْوُلُ ق ْتَدََُعَ ت اَم ْنِك
۵
‚Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.‛. 11
10
http://hikmah-alkisah-islam.blospot.com/2014/10/aurat-wanita-terhadap-saudara-angkat.html?m=1 , diakses pada, 4-11-2015.
7
Dalam kompilasi hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf h, anak
angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagianya beralih tanggung jawabnya dari orang tua
asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
Pengadilan.12Sedangkan pengangkatan anak berdasarkan peraturan
pemerintahan no 57 tahun 2007 pasal 1 ayat 2 menyebutkan bahwa
pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah, atau orang lain
yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak
tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkat.
Majelis ulama Indonesia (MUI) memfatwakan pengangkatan anak
(adopsi) pada rapat kerja nasional MUI yang berlangsung pada bulan maret
tahun 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, MUI memandang bahwa
Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, yaitu anak yang lahir dari
perkawinan. MUI mengingatkan bahwa ketika mengangkat anak jangan
sampai si anak terputus hubungan keturunan (nasab) kepada ayah
kandungnya, sebab jika sampai terputus hubungan keturunan (nasab)
tentunya hal tersebut bertentangan dengan Islam.13
12 Kitab Undang-undang hukum perdata yang dilengkapi dengan kompilasi hukum Islam (gema
press) 462.
13Anugerah Wulandari,‛Keputusan Fatwa MUI tentang Adopsi Anak‛, dalam
8
Pengangkatan anak dalam Islam memiliki tujuan agar anak
mendapatkan kesejahteraan. Dalam Islam konsep yang demikian dikenal
dengan istilah maslahah mursalah. Secara bahasa, kata maslahah berasal dari
Bahasa Arab yang berarti mendatangkan kebaikan atau yang membawa
kemanfaatan dan menolak kerusakan.14 Menurut bahasa aslinya kata
maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salhan, حلص , حلصي , حلص artinya
sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.15 Sedang kata mursalah artinya
terlepas bebas, tidak terikat dengan dalil agama (al-Qur’an dan al-Hadits)
yang membolehkan atau yang melarangnya.16 Dari pengertian diatas dapat
ditarik kesimpulan bahwa maslahah mursalah yaitu suatu hukum yang
memiliki tujuan untuk mendapatkan kebaikan, kemanfaatan, dan menolak
kerusakan tanpa terikat dengan dalil al-Qur’an dan al-Hadits.
Hal tersebut selaras dengan maqasid al syariah, yakni untuk
memelihara lima rukun kehidupan manusia yakni agama, akal, keturunan,
harta, dan jiwa. Lima dasar tersebut yang menjadi patokan untuk mengatakan
sesuatu itu maslahah atau tidak. Dengan ditetapkanya lima dasar
kemaslahatan ini tidak semua yang di anggap maslahah oleh seorang itu
menjadi ketentuan dalam menetapakan hukum.17
Pengangkatan anak merupakan perbuatan sosial yang sangat mulia,
Islam mengajarkan untuk memelihara dan melindungi anak yatim, miskin dan
14Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang: Bulan Bintang, 1955)
43.
15
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973) 219.
16
Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran…,45. 17
9
terlantar. Dengan catatan bahwa si anak tidak putus hubungan dengan orang
tua kandungnya (nasab).
Bermula dari nasab yang sah secara negara dan agama penulis
tertarik untuk meneliti sebuah fenomena yang telah lama berkembang pada
masyarakat desa Bluri kecamatan Solokuro kabupaten Lamongan mengenai
anak angkat. Suatu adat pengangkatan anak dari keluarga yang tidak
memiliki keturunan (anak) mengkangkat anak dari kerabat dekatnya yang
memiliki anak sebanyak 7 orang. Maksud pengangkatan anak disini bahwa
keluarga yang mengangkat anak ingin memiliki keturunan dan agar si anak
mendapatkan kesejahteraan dan kemaslahatan. Namun hal yang
bertentangan adalah pada pengangkatan anaknya tidak disahkan melalui
Negara akan tetapi hanya dengan kesepakatan kedua belah keluarga yang
bersangkutan. jika hal tersebut ditinjau dari segi hukum Islam maka hal
tersebut di perbolehkan sebab dalam pengangkatan anak menurut hukum
Islam tidak terdapat tata cara hanya mengedepankan kemaslahatan, namun
apabila ditinjau dari peraturan pemerintah no 54 pasal 8 ayat 2 tahun 2007
disebutkan bahwa pengangkatan anak yang dilakukan berdasarkan peraturan
tidak tertulis (adat) dapat disahkan berdasarkan ketentuan
perundang-undangan yang berlaku, diantaranya dengan menyertakan surat dari pejabat
dinas sosial dimana orang tua angkat tinggal, hal ini tentunya bertujuan agar
si anak mendapat kesejahteraan. Selain itu berdasarkan akta anak angkat
tersebut tertera bahwa ayah dari anak tersebut bukanlah ayah bilogisnya
10
hukum Islam tentunya hal ini diharamkan, sebab pengangkatan anak hanya
bertujuan untuk mensejahterakan anak tanpa mengubah nasab sang anak.
Sedangkan berdasarkan staadsblad no 129 pasal 12 tahun1917 hal tersebut
dibenarkan sebab ketika seorang anak diangkat oleh orang tua angkat maka
hubungan nasab si anak angkat beralih kepada orang tua angkat bukan lagi
kepada orang tua kandung, demikian pula dengan hubungan persaudaraan,
secara otomatis hubungan saudara pula terputus dengan si anak angkat.
Berangkat dari kasus tersebut penulis tertarik untuk membahas
lebih lanjut terhadap kasus diatas dalam judul Studi Komparasi Hukum
Positif dan Hukum Islam Terhadap Studi Kasus Pengangkatan Anak di desa
Bluri Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan penelitian ini bermaksud
agar penulis maupun pembaca dapat lebih memahami tentang pengangkatan
anak yang terjadi di desa Bluri berdasarkan sudut pandang hukum Positif dan
hukum Islam, beserta persamaan dan perbedaan yang menyamakan dan
membedakan sudut pandang pengangkatan anak di desa Bluri.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di
atas, maka peneliti dapat mengidentifikasi masalah sebagai beikut:
a. Proses atau prosedur dalam pengangkatan anak yang dilakukan bapak
11
b. Analisis hukum positif terhadap pengangkatan anak dalam kasus yang
terjadi di Desa Bluri Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan
c. Analisis hukum Islam terhadap pengangkatan anak
d. Perbedaan dan persamaan antara hukum Positif dan hukum Islam
terhadap pengangkatan anak yang dilakukan bapak Tasral terhadap
bapak Kasun
2. Batasan Masalah
Berdasarkan pada uraian identifikasi masalah di atas peneliti
membatasi masalah pada komparasi hukum positif dan hukum Islam
tentang pelaksanaan pengangkatan anak di desa Bluri kecamatan
Solokuro kabupaten Lamongan, yaitu meliputi :
a. Praktek pengangkatan anak yang dilakukan dalam pengangkatan anak
terhadap bapak Kasun
b. Analisis pengangkatan anak terhadap bapak Kasun yang dilakukan di
desa Bluri berdasatkan hukum positif dan hukum Islam
c. Persamaan dan perbedaan pengangkatan anak terhadap bapak Kasun
yang dilakukan di desa Bluri berdasarkan hukum positif dan hukum
Islam.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas dapat
diidentifikasikan pokok permasalahan yang dijadikan sebagai rumusan
12
1. Bagaimana praktek pengangkatan anak yang terjadi di Desa Bluri
berdasarkan studi kasus terhadap bapak Kasun?
2. Bagaimana analisis persamaan dan perbedaan pengangkatan anak
terhadap Bapak Kasun yang terjadi di desa Bluri berdasarkan hukum
Positif dan hukum Islam?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau
penelitian yang sudah pernah dilakukan di seputar masalah yang akan diteliti
sehingga terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan atau duplikasi dari kajian atau penelitian yang telah ada.18
Setelah penulis melakukan pencarian yang berhubungan dengan
pengangkatan anak, penulis menemukan beberapa judul skripsi yang hampir
sama, yaitu : Analisis Hukum Islam Terhadap Keputusan Mahkamah Agung
dalam Menyelesaikan Perkara Pengangkatan Anak Angkat di PA Blitar
(Studi kasus putusan Reg. No. 419 K/Ag./2000)‛ oleh Mutia Farida
mahasiswi IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah Jurusan Ahwalus
Syakhsiyah pada tahun 2011. Dalam skripsi tersebut membahas tentang
pertimbangan atau alasan hukum menurut Pengadilan Agama, Pengadilan
Tinggi Agama dan Mahkamah Agung terhadap alasan untuk mengabulkan
anak angkat berhak mendapatkan 1/3 bagian, selain itu dalam skripsi ini juga
18Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam UIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
13
dijelaskan bahwa analisis hukum Islam tentang adanya wasiat wajibah
terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat dari orang tua angkat
sehingga batasan 1/3 tersebut dianggap telah memenuhi rasa keadilan19
Kedua skripsi yang berjudul ‚Analisis Hukum Islam terhadap
Pengangkatan Anak Oleh Wanita yang Belum Menikah‛ oleh Agung Setyo
Puji Mahasiswa IAIN Sunan Ampel Surabaya Fakultas Syariah Jurusan
Ahwal al-Syakhsiyah pada tahun 2012. Dalam skripsi tersebut membahas
tentang undang-undang yang berlaku bahwa orang yang mengangkat anak
haruslah sudah menikah dan belum dikarunia anak maka dalam putusan ini
hakim memperhatikan kesejahteraan calon anak angkat sehingga hakim
mengabulkan permohonan tersebut. Dalam hal ini hakim memiliki
kewenangan untuk memutuskan perkara meskipun tidak sesuai dengan
undang-undang yang berlaku sesuai dengan common law hakim dianggap
makhluk mulia dan memiliki hati nurani dan mempunyai rasa keadilan untuk
menggunakan hukum yang ada dalam masyarakat sebagai hukum yang riil.20
Ketiga skripsi yang berjudul ‚Analisis Yuridis terhadap Penolakan
Permohonan Pengangkatan Anak (studi putusan nomor
0182/pdt.p/2012/pa.tbn) oleh Muhajir Rosadi pada tahun 2014. Dalam skripsi
tersebut dijelaskan dasar hukum hakim menolak putusan yang diajukan oleh
pemohon disebabkan usia pemohon telah mencapai 52 dan memiliki 3 orang
19Mutia Farida, ‚Analisis Hukum Islam terhadap Keputusan Mahkamah Agung dalam
Menyelesaikan Perkara Kewarisan anak angkat di PA Blitar (Studi Kasus Putusan Reg. No.
419/K/Ag./2000)‛, (Skripsi IAIN Sunan Ampel Surabaya, 2011) 7.
20Setyo Puji, ‚Analisis Yuridis Terhadap Penetapan tentang Pengangkatan Anak Oleh Wanita
14
anak. Oleh sebab itu hakim tidak mengabulkan permohonan tersebut sebab
menurut peneliti jika hal ini dikabulkan maka kemaslahatan dan
kesejahteraan anak tidak dapat tercapai.21
Dengan demikian, walaupun sudah ada kajian yang mirip dengan
kajian yang akan dilakukan peneliti, namun kajian tentang Studi Komparasi
Hukum Positif dan Hukum Islam Terhadap Studi Kasus Pengangkatan Anak
di Desa Bluri Kecamatan Solokuro Kabupaten Lamongan baru pertama kali
dibahas dan bukan merupakan duplikasi atau pengulangan dari karya ilmiah
terdahulu karena segi yang menjadi fokus kajiannya berbeda, pada karya tulis
ini lebih terfokuskan kepada tata cara dan akibat pengangkatan anak di desa
Bluri berdasarkan hukum positif dan hukum Islam, serta persamaan dan
perbedaan pengangkatan anak berdasarkan hukum positif dan hukum Islam.
E. Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan yang hendak dicapai
dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui praktek pengangkatan anak didesa Bluri kecamatan
Solokuro kabupaten Lamongan.
2. Mengetahui analisis hukum positif dan analisis hukum Islam terhadap
pengangkatan anak di desa Bluri kecamatan solokuro kabupaten
Lamongan
21
15
3. Mengetahui letak persamaan dan perbedaan pengangkatan anak ditinjau
dari segi hukum positif dan hukum Islam.
F. Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai studi analisis terhadap pengangkatan anak
mempunyai kegunaan yaitu:
1. Secara teoretis:
a. Diharapkan penelitian ini dapat membantu para pihak yang hendak
melakukan pengangkatan anak di desa Bluri agar dikemudian hari
para calon orang tua lebih berhati-hati dan memiliki pertimbangan
yang matang dalam mengangkat anak.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi dalam
rangka mengembangkan wacana keilmuan, khususnya yang berkaitan
dengan pengangkatan anak di Indonesia.
2. Secara praktis:
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi khazanah keilmuan
hukum dan realisasinya baik bagi masyarakat maupun lingkungan
pengadilan Agama dan pengadilan umum.
G. Definisi Operasional
Untuk menjelaskan arah dan tujuan dari judul penelitian ‚Studi
Komparasi Hukum Islam dan Yuridis terhadap Pengangkatan Anak (studi
16
permasalahan ini perlu dijelaskan terlebih dahulu beberapa kata kunci yang
ada dalam judul penelitian diatas, yaitu :
Studi Komparasi : Berasal dari kata comparative yang berarti
membandingkan, sifat membandingkan.22 Dalam hal ini
membandingkan tentang hukum Islam dan hukum positif
mengenai pengangkatan anak.
Hukum positif : Ketentuan yang dibuat oleh pemerintah, dalam hal
ini yang dimaksud adalah Undang-undang No 23 tahun 2002,
Undang-Undang No 4 tahun 1979 , peraturan pemerintah No 54
tahun 2007, Keputusan Sosial RI (KEPRI) Surat Edaran
Mahkamah Agung (SEMA), Staatsblad 1917 No 129 dan
yurisprudensi yang keseluruhannya mengatur tentang
pengangkatan anak.
Hukum Islam : Ketentuan yang telah ditentukan oleh Allah SWT
berupa aturan dan larangan. Aturan dan larangan tersebut hanya
diperuntukkan bagi umat Islam. Dalam hal ini yang dimaksud
adalah al-Qur’an, Hadits, serta beberapa pandangan ulama yang
di dalamnya menjelaskan tentang Tabanni (pengangkatan anak)
berdasarkan pandangan hukum Islam
Pengangkatan Anak : Suatu perbuatan hukum yang mengalihkan
seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
17
pendidikan, membesarkan dan menjadikan anak angkat sebagai
anggota keluarga orang tua angkat tanpa memutuskan
hubungan orang tua kandung dengan anaknya. Serta
mengalihkan nasab anak angkat dari orang tua kandung kepada
orang tua angkat.
H. Metode Penelitian
Metode adalah cara tepat untuk melakukan sesuatu dengan
menggunakan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan, sedangkan
penelitian adalah suatu kegiatan untuk mencari, mencatat, merumuskan suatu
yang diteliti sampai menyusun laporan.23
Dalam rangka memahami rumusan yang telah diuraikan diatas,
maka penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan dalam menggali data
yang penulis butuhkan. Diantaranya :
1. Lokasi penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di desa Bluri kecamatan Solokuro
kabupaten Lamongan. Lokasi penelitian yang dipilih oleh peneliti ini
telah mengalami pertimbangan yang matang dari berbagai aspek, karena
lokasi penelitian yang merupakan desa asal penliti sendiri.Sehingga
diharapkan penelitian yang hendak peneliti lakukan mengalami
kemudahan.
2. Data yang dikumpulkan
18
Data adalah bentuk jamak dari datum.Data merupakan
keterangan-keterangan tentang suatu hal, dapat berupa sesuatu yang
diketahui atau yang dianggap atau anggapan atau suatu fakta yang
digambarkan lewat angka, simbol, kode dan lain-lain.24 Oleh sebab
penelitian ini bersifat kualitatif maka data yang memiliki hubungan
dalam penelitian ini adalah praktek pengangkatan anak yang meliputi
proses pengangkatan anak beserta akibat hukum yang ditimbulkan dari
pengangkatan anak di tempat yang menjadi letak peneliti mengkaji
masalah tersebut.
3. Sumber data
Berdasarkan sumber pengambilannya, data dibedakan atas dua
macam yakni data primer dan data sekunder.
a. Data Primer
Data yang bersifat utama dan penting yang memungkinkan
untuk mendapatkan sejumlah informasi yang berkaitan dengan
penelitian.25
Adapun data yang penulis kumpulkan adalah data yang di
analisis berupa data kualitatif yang berkaitan dengan praktek
pengangkatan anak di desa Bluri yang meliputi proses pengangkatan
anak hingga akibat yang ditimbulkan.
b. Data Sekunder
24Ibid, 19.
19
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau
dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari
sumber-sumber yang telah ada.Data ini biasanya diperoleh dari perpustakaan
atau laporan-laporan penelitian terdahulu.26Adapun sumber data
sekunder dalam penelitian ini diantaranya:
1) Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum
2) M. Budiarto, Pengangkatan Anak di Tinjau dari Segi Hukum
3) Djaja S. Meliana, Pengangkatan Anak (Adopsi) di Indonesia
4) Fuaduddin TM, Pengasuhan anak dalam Keluarga Islam
5) Peraturan pemerintah no 54 tahun 2007 tentang pengangkatan
anak
6) Staadblaad 1917 Nomer 129
7) Surat Edaran Mahkamah Agung RI
8) Undang-undang No 23 tahun 2003 tentang perlindungan anak
9) Abd.Rahman Ghazaly, Fikiq Munakahat
10)Al-Qur’an dan Assunnah
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Wawancara
Wawancara merupakan suatu proses interaksi untuk
mendapatkan informasi secara langsung dari informan, metode ini
digunakan untuk menilai keadaan seseorang yang merupakan patokan
20
suatu penelitian survei, karena tanpa wawancara maka akan
kehilangan informasi yang valid dari orang yang menjadi sumber data
utama dalam penelitian. Dalam penelitian ini akan menggunakan
pedoman wawancara bebas atau wawancara tak berstruktur yaitu
wawancara yang tidak didasarkan atas suatu sistem dan daftar
pertanyaan yang telah disediakan sebelumnya. Hal ini dilakukan guna
mendapatkan hasil atau data yang lebih lengkap dan sistematis
tentang pengangkatan anak. Adapun informan tersebut yaitu orang
tua kandung dan orang tua angkat yang melaksanakan pengangkatan
anak.
b. Dokumentasi
Merupakan data sekunder yang disimpan dalam bentuk
dokumen, laporan, majalah, dan sebagainya. Metode pengumpulan
data dokumentasi digunakan dalam rangka memenuhi data atau
informasi yang diperlukan untuk kepentingan variabel penelitian yang
telah didesain sebelumnya.27
c. Telaah Pustaka
Teknik library research (kepustakaan), yakni pelengkap dari
kedua teknis di atas yang dapat dijadikan sebagai landasan teoritis
terhadap permasalahan yang dibahas.
5. Teknik Pengolahan Data
21
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau
rumus-rumus tertentu.28Teknik pengolahan data yaitu menjelaskan
langkah-langkah pengolahan data yang telah terkumpul atau penelitian
kembali dengan pengecekan validitas data, proses pengklasifikasian data
dengan mencocokan pada masalah yang ada, mencatat data secara
sistematis dan konsisten dan dituangkan dalam rancangan konsep sebagai
dasar utama analisis.
Adapun tahapan-tahapan dalam pengolahan data adalah :
a. Editing, yaitu pemeriksaan kembali data-data yang diperoleh
terutama dari segi kelengkapan, kejelasan, keserasian, dan
keterkaitan antara data satu dengan yang lainnya.29
b. Organizing, yakni penulisan data yang diatur dan disusun sehingga
menjadi sebuah kesatuan yang teratur.30 Untuk selanjutnya semua
data yang telah diperoleh akan disusun secara sistematis untuk
dijadikan sebagai bahan penelitian.
6. Teknik Analisis Data
Tahap analisi data merupakan tahap yang paling menetukan,
sebab pada tahap inilah seorang peneliti harus mampu menelaah semua
data yang diperoleh baik data primer maupun data sekunder.Analisa data
ini berdasarkan pada data yang diperoleh yang telah terkumpul dari hasil
28Iqbal Hasan, Analisis Data Penelitian Dengan Statistik, (Jakarta: PT Bumi Askara. 2006) 24.
29 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum (Jakarta: Granit, 2004), 118.
22
penelitian yang diklarifikasikan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan
penelitian.
Dalam penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis deskriptif,
dimana penulis membuat gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan
secara obyektif.31
Apabila data secara kesuluruhan telah terkumpul, maka
selanjutnya akan dilakukan analisis data secara kualitatif yaitu dengan
cara mempelajari praktek pengangkatan anak yang terjadi di desa Bluri
baik berdasarkan pandangan hukum Positif maupun hukum Islam dengan
analisis pola pikir deduktif, yaitu dengan cara menguji kebenaran data
atau praktek yang benar-benar terjadi dilapangan dengan teori yang
digunakan telah di pastikan kebenarannya. Setelah itu data yang telah
teruji keabsahannya lebih dikerucutkan sehingga menjadi premis yang
terperinci dan mendalam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk menghindari pembahasan permasalahan yang tidak
terarah maka penyusun akan menata secara sistematis dalam lima bab
yang memiliki keterkaitan satu sama lain. penulis menggunakan
sistematika pembahasamn dengan tujuan untuk mempermudah dalam
31 Soekidjo Notoatmodjo, Metodologi Penelitian Kesehatan (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993),
23
memahami maksud penulis. Adapun susunan bagian tersebut sebagai
berikut :
Bab pertama memuat pendahuluan yang berisi latar belakang
masalah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, kajian
pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil penelitian, definisi operasional,
metode penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab kedua memuat tentang konsep pengangkatan anak
berdasarkan Hukum Positif dan Hukum Islam
Bab ketiga memuat tentang praktek pengangkatan anak yang
meliputi proses pengangkatan anak hingga akibat yang ditimbulkan dari
pengangkatan anak dalam kasus yang terjadi di desa Bluri kecamatan
Solokuro kabupaten Lamongan
Bab keempat memuat tentang studi komparasi (perbandingan)
mengenai pengangkatan anak di desa bluri, yang meliputi analisis
terhadap pengangakatan anak dalam hal ini yaitu pengangkatan anak
terhadap bapak Kasun yang terjadu di desa bluri berdasarkan hukum
positif dan hukum Islam serta persamaan dan perbedaan pengangkatan
anak di desa bluri berdasarkan hukum positif dan hukum Islam
Bab kelima memuat tentang penutup yang meliputi kesimpulan
BAB II
PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif
Dalam kitab undang-undang hukum perdata, kita tidak menemukan
ketentuan yang mengatur masalah adopsi atau pengangkatan anak, yang ada
hanya ketentuan tentang pengakuan anak diluar kawain. Seperti yang diatur
dalam buku I bab XII bagian ketiga UU hukum perdata pasal 280 sampai 289
tentang pengakuan terhadap anak-anak luar kawin, ketentuan tersebut sam sekali
tidak sama dengan pengangkatan anak atau adopsi.1
Dewasa ini pengangkatan anak bukan sekedar untuk memenuhi
kepentingan para calon orang tua angkat, tetapi lebih di fokuskan pada
kepentingan calon anak angkat. pengaturan pengangkatan anak bukan sekedar
diperlukan untuk member kepastian dan kejelasan mengenai pengangkatan anak,
tetapi dibutuhkan ntuk menjamin kepentingan calon anak angkat, jaminan atas
kepastian, keamanan, keselamatan, pemeliharaan dan pertumbuhan anak angkat,
sehingga pengangkatan anak memberikan peluang pada anak untuk hidup lebih
sejahtera. Pengaturan pengangkatan anak juga dibutuhkan untuk memastikan
pengawasan pemerintah dan masyarakat agar pengangkatan itu dilakukan dengan
1
25
motif yang jujur dan kepentingan anak terlindungi. Dalam kata lain bahwa
pemerintah berperan aktif dalam proses pengangkatan anak melalui pengawasan
dan perizinan.
Berbagai peraturan perundang-undangan yang bertujuan untuk
melindungi dan mensejahterakan anak, dimana pengangkatan anak menjadi salah
satu pokok perhatian. Didahului oleh UU No 4 Tahun 1979 tentang
kesejahteraan anak dalam pasal 2, pasal 3, pasal 4 ayat (1), pasal 5 ayat (1) ayat
(2) dan ayat (8) dan juga pasal 12 menyinggung tentang pengangkatan anak.
Dalam pasal itu ditentukan bahwa pengangkatan anak dilakukan menurut adat
dan kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan anak untuk kepentingan
kesejahteraan anak dan pengangkatan anak yang dilakukan diluar adat dan
kebiasaan, dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan. Kemudian
diundangkan UU No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang telah di
amandemen dengan UU No,=. 35 tahun 2014. Pada bab VIII, khususnya pada
pasal 39 sampai dengan pasal 41 undang-undang tersebut memuat ketentuan
tentang pengangkatan anak. Untuk melaksanakan ketentuan mengenai
pengangkatan anak di dalam UU No.23 tahun 2002 itu maka pemerintah
menerbitkan peraturan pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang pengangkatan
anak.
Perkembangan pengaturan pengangkatan anak dalam peraturan
26
kepastian. Perkembangan dalam pengaturan melalui peraturan perundangan ini
ditambah dengan beberapa petunjuk mahkamah agung RI melalui sejumlah
surat-surat edarannya sejak tahun 1979 telah memainkan peran yang penting
dalam meningkatkan kepastian dan keseragaman aturan pengangkatan anak di
Indonesia. Tetapi seperti yang nantiakan kita temui dalam kajian ini bahwa
peraturan perundang-undangan yanga ada hingga sekarang, ditambah dengan
surat edaran mahkamah agung RI tentang pengangkatan anak, belum
menyelesaikan semua segi hukum pengangkatan anak, sehingga untuk
bagian-bagian yang belum atau belum cukup diatur itu kita terpaksa harus kembali
merujuk dan menerapkan hukum perdata yang berdasarkan golongan penduduk
yang dibuat oleh pemerintah colonial belanda pada masa lalu. Meskipun
demikian, hal itu belum lagi dapat menyelesaikan masalah-masalah yang timbul
secara menyeluruh.
Pengangkatan anak atau disebut dengan istilah adopsi secara etimologi
berasal dari bahasa belanda‚adoptie‛ atau adopt (adoption) bahasa inggris, yang
berarti pengangkatan anak atau mengangkat anak.2 anak angkat menurut kamus
hukum adalah seorang bukan turunan dua orang suami istri yang diambil,
dipelihara dan diperlakukan sebagai anak turunnya sendiri.3 Dalam kamus bahasa
Indonesia, pengertian anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan
2
Djatje Rahajoekusumah, kamus Belanda-Inggris.(Jakarta: Rineka Cipta, 1980)30.
27
diasuh sebagia anaknya sendiri.4 Pengertian dalam bahasa Belanda menurut
kamus hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk menjadi anak
kandungnya sendiri, jadi di sini penekanannya pada persamaan status anak
angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung,. Ini adalah
pengertian secara literlijk, yaitu adopsi di serap kedalam bahasa Indonesia berarti
anak angkat atau mengangkat anak.
Sedangkan pengertian pengangakatan anak menurut terminologi
memiliki berbagai macam pengertian yang telah dikemukakan oleh beberapa
pakar, diantaranya sebagai berikut :Menurut Hilman Hadi Kusuma, anak angkat
adalah anak orang lain yang dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan
resmi menurut hukum adopsi setempat.dikarenakan untuk tujuan kelangsungan
keturunan atau pemeliharaan atas harta kekayaan rumah tangga.5
Sedangkan pengangkatan anak yang secara formal berlaku bagi seluruh
pengangkatan anak di Indonesia tanpa membedakan golongan penduduk, juga
tanpa membedakan domestic adoption atau intr-country adoption dituangkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan
pengangkatan anak (PP pengangkatan anak). Menurut PP No 54 Tahun 2007
pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang
anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lainyang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut
4 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia,(Jakarta : Balai Pustaka 2003). 38
5
28
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat (pasal 1 butir 2). Pengangkatan
anak dengan demikian adalah suatu perbuatan hukum pengalihan seorang anak
dari suatu lingkungan (semula) ke lingkungan keluarga orang tua angkatnya.6
Peraturan Pemerintah tentang pengangkatan anak diadakan dalam rangka
melaksanakan Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak,
tetapi UU Perlindungan Anak sendiri tidak merumuskan pengertian
‚pengangkatan anak‛. UU perlindungan anak hanya merumuskan pengertian
anak angkat, dalam pasal 1 butir 9 menjelaskan anak angkat adalah anak yang
hanya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah,
atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan
pembebasan anak tersebut, ke lingkungan orang tua angkatnya berdasarkan
putusan pengadilan.7
Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk
melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan/marga, dalam suatu keluarga
yang tidak mempunyai anak kandung. Di sampan itu juga untuk
mempertahankan ikatan perkawinan, sehingga tidak timbul perceraian. Tetapi
dalam perkembangannya kemudian sejalan dengan perkembangan masyarakat,
tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum
pula dalam pasal 12 ayat 1 Undang-Undang republik Indonesia, No 4 tahun 1979,
tentang kesejahteraan anak yang berbunyi:‚pengangkatan anak menurut hukum
29
adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak‛
Berdasarkan surat edaran mahkamah agung No 8 tahun 1983, dan PP 54
tahun 2007 menegaskan bahwa dalam pengangkatan anak dibedakan menjadi 2
jenis, yaitu :
a. Pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia atau Domestic adoption
1) Pengangkatan anak dengan orang tua laki-laki dan perempuan
2) Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal
b. Pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia dengan warga Negara
asing atau inter country adoption, termasuk kategori ini adalah pengangkatan
anak warga Negara Indonesia oleh warga Negara asing atau sebaliknya anak
warga Negara asing diangkat anak oleh orang yang berkewarganegaraan
Indonesia dan pengangkatan anak yang salah satu pasangannya adalah warga
neagara asing.
Oleh karena pengangkatan anak di bedakan menjadi beberapa bagian
maka syaratnya pula tentu akan berbeda-beda sesuai dengan macam
pengangkatan anak yang telah dijabarkan diatas.
Seperti yang kita ketahui bahwasanya pengangkatan anak subjeknya
adalah anak angkat dan orang tua angkat, oleh sebab itu perlu adanya syarat
yang harus di penuhi bagi anak angkat agar dapat menjadi anak angkat, meliputi:
30
b. Merupakan anak terlantar atau ditelantarkan
c. Berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak
d. Memerlukan perlindungan khusus.
e. Usia anak angkat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a meliputi:
1) Anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama.
2) Anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua belas)
tahun, sepanjang ada alasan mendesak
3) Anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan khusus.
a. Sedangkan syarat bagi calon orang tua angkat, dalam hal ini berlaku bagi
pengangkatan anak warga Negara Indonesia oleh warga Negara Indonesia
(Domestic adoption).8
a. Syarat bagi orang tua laki-laki dan perempuan yang masih lengkap atau
bukan orang tua tunggal, yaitu :
a) Sehat jasmani dan rohani
b) Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun
c) Beragama sama dengan agama calon anak angkat
d) Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak
kejahatan
8
31
e) Berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun
f) Tidak merupakan pasangan sejenis
g) Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak
h) Dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial
i) Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali
anak
j) Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak
k) Adanya laporan sosial dari pekerja sosial setempat
l) Telah mengasuh calon anak angkat paling singkat 6 (enam) bulan,
sejak izin pengasuhan diberikan
m) Memperoleh izin Menteri dan/atau kepala instansi sosial.
b. Syarat pengangkatan anak bagi calon orang tua tunggal, adalah :
Bagi orang tua angkat tunggal atau tidak memiliki pasangan terdapat
syarat-syarat tambahan mengingat pada penjelasan sebelumnya dikatakan jika calon orang
tua angkat harus berstatus menikah. Menurut Rusli Pandika dalam bukunya Hukum
pengangkatan anak bahwa masih terbuka kemungkinan calon orang tua angkat
bestatus tunggal baik karena tidak menikah atau seorang janda/duda, namun hanya
terbatas pada pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia saja. Adapun syarat
32
a) Mendapatkan izin pengangkatan anak dari menteri (sosial), dapat juga
izin dari instansi sosial provinsi yang didelegasikan kewenangan oleh
menteri untuk menerbitkan izin pengangkatan anak oleh orang tua
tunggal.9
b) Pengangkatan anak dilakukan melalui lembaga pengasuh anak, dalam hal
ini yang dimaksud dengan lembaga pengasuh anak adalah lembaga atau
organisasi sosial atau yayasan yang berbadan hukum yang
menyelenggarakan pengasuhan anak terlantar dan telah mendapat izin
dari menteri untuk melaksanakan proses pengangkatan anak (pasal 1 butir
15 PP pengangkatan anak). Pengangkatan anak oleh orang tua tunggal
tidak dapat dilakukan terhadap anak yang langsung berada di bawah
pengasuhan orang tuanya (pengangkatan anak secara langsung).
b. Syarat pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia dengan warga Negara
asing atau inter country adoption, termasuk kategori ini adalah pengangkatan
anak warga Negara Indonesia (WNI) oleh warga Negara asing (WNA) atau
sebaliknya anak warga Negara asing (WNA) diangkat anak oleh orang yang
berkewarganegaraan Indonesia (WNI) dan pengangkatan anak yang salah satu
pasangannya adalah warga neagara asing (WNA).
1). Syarat pengangkatan anak WNI oleh WNA
33
Pengangkatan anak WNI oleh WNA di samping syarat umum tersebut
juga harus memenuhi syarat:10
a) Calon orang tua telah bertempat tinggal di Indonesia secara sah selama 2
tahun.
b) Membuat pernyataan tertulis akan melaporkan perkembangan anak
kepada Departemen Luar Negeri melalui perwakilan Republik Indonesia
setempat, setiap tahun hingga anak berusia 18 tahun.
c) Mendapat izin tertulis dari pemerintah Negara asal pemohon melalui
kedutaan atau perwakilannya di Indonesia;
d) Memperoleh izin dari menteri sosial Indonesia;
e) Pengangkatan harus melalui lembaga pengasuh sosial;
f) Apabila anak angkat akan dibawa keluar negeri orang tua angkat harus
melaporkan kepada Departemen sosial dan ke perwakilan RI terdekat
dimana mereka tinggal segera setelah di Negara tersebut;
g) Orang tua angkat harus bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat
guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 tahun.
2). Syarat pengangkatan anak WNA oleh WNI
Selain syarat umum yang dijelaskan diatas pengangkatan anak WNA
(warga Negara asing) oleh WNI (warga Negara Indonesia) juga harus
memenuhi syarat dibawah ini:
34
a) Mendapatkan izin tertulis dari pemerintah Negara asal anak yang akan
diangkat;
b) Memperoleh persetujuan tertulis dari menteri sosial Indonesia;
c) Calon anak angkat dan calon orang tua angkat harus berada diwilayah
Negara republik Indonesia;
d) Pelaksanaannya harus memenuhi persyaratan dan prosedur yang berlaku
di Negara anak angkat itu berasal.
3). Syarat pengangkatan anak WNI oleh pasangan yang salah satunya WNA
Disamping syarat-syarat umum yang diuraikan di atas, pengangkatan
anak WNI oleh pasangan yang salah satunya WNA juga harus memenuhi
syarat tambahan yang berlaku bagi pengangkatan anak yang dilakukan oleh
pasangan yang salah satunya WNA;11
a) Membuat pernyataan tertulis akan melaporkan perkembangan anak
kepada Departemen luar negeri melalui perwakilan republik Indonesia
setempat, setiap tahun hingga anak mencapai usia 18 tahun.
b) Mendapat persetujuan tertulis dari pemerintah Negara asal pemohon
WNA melalui keduataan atau perwakilannya di Indonesia
c) Memperoleh izin dari menteri Lembaga Pengasuh Anak
d) Pengangkatan anak harus melalui lembaga pengasuh anak
35
e) Dalam anak angkat akan dibawa keluar negeri orang tua angkat harus
melaporkan kepada Departemen sosial dank e perwakilan RI terdekat
dimana mereka tinggal segera setelah di Negara tersebut;
f) Orang tua angkat harus bersedia dikunjungi oleh perwakilan RI setempat
guna melihat perkembangan anak sampai anak berusia 18 tahun.
Setelah telah dijelaskan sebelumnya tentang pengangkatan anak beserta
tujuan dan syaratnya, penulis akan membahas mengenai beberapa hal yang sangat
penting dalam pengangkatan anak berdasarkan Peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam hukum Indonesia, diantaranya yaitu prosedur pengangkatan anak,
administrasi beserta akibat hukum pengangkatan anak :
1. Prosedur Pengangkatan Anak
a. Pengangkatan anak antar warga Negara Indonesia
1) Permohonan izin diajukan kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen
Sosial setempat dengan ketentuan sebagai berikut :
a) Diajukan secara tertulis di atas kertas bermaterai cukup
b) Ditandatangani sendiri atau kuasaya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku
c) Memenuhi persyaratan seperti yang telah dijelaskan pada
36
2) Tembusan surat permohonan disampaikan kepada Menteri Sosial dan
organisasi sosial dimana calon anak angkat berada
3) Kepala Kantor wilayah departemen sosial setempat dalam mengadakan
penelitian atas permohonan tersebut dibantu dengan sebuah tim yang
keanggotaannya terdiri dari pemerintah daerah, kepolisian, kantor
wilayah departemen kehakiman, kantor wilayah departemen kesehatan,
kantor wilayah departemen agama, dan organisasi sosial
4) Kepala kantor wilayah departemen sosial setempat berdasarkan hasil
penelitian dalam waktu selambat-lambatnya tiga bulan sejak diterimanya
permohonan tersebut harus memberikan jawaban tertulis.
b. Seterelah mendapatkan izin dari dinas sosial maka langkah selanjutnya
adalah mengajukan kepengadilan agama untuk selanjutnya mendapatkan
persetujuan ataupun penolakan terhadap pengajuannya.
2. Administrasi Pengangkatan Anak
a. Permohonan diajukan dengan surat permohonan yang ditanda tangani oleh
pemohon atau kuasanya yang sah ditujukan kepada ketua pengadilan
b. Pemohon yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mengajukan
permohonannya secara lisan di depan ketua pengadilan yang akan menyuruh
37
c. Permohonan disampaikan kepada ketua pengadilan, kemudian di daftarkan
dalam buku registrasi dan diberi nomor unit setelah pemohon membayar
perskor biaya perkara yang besarnya sudah ditentukan oleh pengadilan
d. Pengadilan hanya berwenang untuk memeriksa dan mangabulkan
permohonan sesuai dengan yang telah ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan.
3. Akibat Hukum Pengangkatan Anak
Akibat hukum yang terpenting dari pengangkatan anak, ialah
soal-soal yang termasuk kekuasaan orang tua (ouderlijke macht), hak
waris, hak alimentasi (pemeliharaan) dan juga soal nama.12
1. Akibat hukum bagi pengangkatan anak dalam sistem perdata untuk
golongan tionghoa
Berdasarkan stbl.1917 No.129 pengangkatan anak dalam
sistem hukum perdata untuk golongan tionghoa adalah:
a. Terhadap anak angkat
1) Lenyapnya hubungan anatara anak angkat dengan orang tua
kandungnya beserta keluarga sedarah dan semenda;
2) Anak angkat menjadi anggota keluarga orang tua angkat
dengan kedukan sebagai anak sah, begitu pula dengan dengan
38
semua anngota keluarga sedarah dan semendadari orang tua
angkat;
3) Karena statusnya disamakan dengan anak sah dalam keluarga
angkatnya maka anak dapat waris mewaris dengan orang tua
angkatnya. Namun sebab anak angkat telah putus hubungan
dengan orang tua kandungnya maka dia tidak dapat waris
mewaris dengan orang tua kandungnya.
4) Anak angkat memperoleh nama keluarga yang lain dari nama
keluarga laki-laki atau suami dari anak angkat.
b. Terhadap orang tua angkat
1) Dengan pengangkatan anak lahir hubungan hukum antara
anak angkat dengan orang tua angkatnya, hubungan tersebut
sama dengan hubungan orang tua dengan anak kandungnya
2) Oleh karena anak angkat dan orang tua angkat memiliki
hubungan yang seperti anak dan orang tua yang sah maka
orang tua angkat dapat waris mewarisi.
c. Terhadap orang tua asal
1) Orang tua asal atau orang tua kandung akan putus hubungan
dengan anaknya, begitu pula anak angkat akan putus
hubungan dengan saudara sedarah maupun semenda dengan
39
2) Orang tua kandung dan anaknya tidak dapat saling waris
mewarisi
Sedangkan pengangkatan anak yang digunakan oleh masyarakat
Indonesia diantaranya Undang-Undang Perlindungan Anak No 23 tahun 2002
yang telah di amandemen dengan Undang-Undang No 35 tahun 2014,
Undang-undang No 4 tahun 1979 tentang kesejahteraan anak, peraturan
pemerintah No 54 tahun 2007 dan lain sebagainya. Menjelaskan bahwa
pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan antara orang tua kandung
dengan anak yang telah diangkat. Pun sebaliknya hal tersebut pula berlaku
mengenai nasab anak. Nasab anak angkat tetap mengikuti orang tua kandung
bukan mengikuti orang tua angkat. Sehingga apabila anak yang diangkat
perempuan maka yang menjadi walinya tetap ayah kandungnya. Anak angkat
pula hanya dapat mewarisi dan diwarisi dari orang tua kandungnya, ayah
kandung pula tetap dapat mewarisi dan diwarisi anak kandung. Terhadap hak
dan kewajibannya dengan orang tua telah di tetapkan wasiat wajibah. Yaitu
wasiat yang diberikan kepada bukan ahli waris, wasiat tersebut hanya 1/3
bagian harta yang bersangkutan baik itu orang tua angkat maupun anak
40
B. Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Islam
1. Pengertian anak berdasarkan hukum Islam
Istilah Tabanni sebenarnya sudah menjadi tradisi dikalangan
mayoritas masyarakat Arab. hal ini juga pernah dilakukan Nabi Muhammad
SAW sebelum masa kenabiannya terhadap Zaid bin Haritsah, tetapi
kemudian tidak lagi dipanggil Zaid berdasarkan nama ayahnya (Haritsah)
melainkan diganti dengan nama Zaid bin Muhammad. Nabi Muhammad
SAW mengumumkan hal tersebut didepan kaum quraisy dan berkata :
‚Saksikanlah bahwa Zaid, aku jadikan anak angkatku, ia mewarisiku dan
akupun mewarisinya‛. Sikap Rasulullah tersebut merupakan cerminan
tradisi yang ada pada waktu itu. Oleh karena Nabi menganggap sebagai
anaknya maka para sahabat pun memanggilnya dengan Zaid bin
Muhammad.13 Demikian pula pernah dilakukan sahabat Huzaifah yang telah
mengangkat seorang anak bernama Salim dan hal itu mendapat persetujuan
dari Nabi Muhammad.
Beberapa waktu setelah Muhammad di utus menjadi Rasul, maka
turunlah wahyu yang menegaskan masalah tersebut. Sesudah itu turun pula
wahyu yang menetapkan tentang peraturan waris mewaris yang ditentukan
hanya kepada orang-orang yang ada pertalian sedarah, turunan dan
perkawinan. Mulai saat itu Zaid bin Muhammad di tukar menjadi Zaid bin
41
Haritsah. Adapun ayat yang dimaksud adalah surat al ahzab ayat 4, ayat 5
dan ayat 40 yaitu :
َوْزَأ َلَعَجاَمَو هِفوَج ِِ َِْْ بْلَ ق ْنِّم ٍلُجَرِل ُه َلَعَجاَم
ّلا ُمُكَج
ظُت ْيِئ
هَمُا َنُهْ نِم َنْوُرِه
َلَعَجاَمَو ْمُكِت
ايِعْدَأ
ذ ْمُكَءاَنْ بَأ ْمُكَء
وفَِِ مُكُلْوَ ق مُكِل
َلْيِبَسلا ىِدْهَ يَوَُو َقَْْا ُلْوُقَ ي ُهَو مُكِ
۴
مُوُعْدُا
ِل
َب
وَُُلْعَ ت َّْ ْنِاَف ِهَدْنِع َُُسقَاَوُ مِهِِ
اا َب
مُكْيِلاَوَمَو ِنْيِّدلا ِِ ْمُكُناَوْخِاَف ْمَُء
ْيَلَع َسيَلَو
ٌحاَنُج مُك
َُْيِف
لَو هِب ُُْأَطْخَاا
اَُْيِحَراًرْوُفَغ ُه َنَاكَو مُكُبْوُلُ ق ْتَدََُعَ ت اَم ْنِك
۵
Artinya : Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya, dan Dia tidak menjadikan istri-isrtimu yang kamu zihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu di mulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). (Al-Ahzab: 4) Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya,tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-Ahzab: 5)
اَم
ا ََُاَخَو ِه َلْوُسَر ْنِكَلَو ْمُكِلاَجِر ْنِمٍدَحَأَبَأٌدََُُُ َناَك
ٍءْيَش ِّلُكِب ه َناَكَو َِّْْيِبَنل
اَُْيِلَع
۴۴
Artinya: Muhammad itu sekali-kalli bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.(al ahzab: 40)
Dengan demikian bahwa hukum Islam melarang pengangkatan anak
42
sendiri. Sedang kalau yang dimaksud dengan pengangkatan anak dalam
pengertian yang terbatas, yaitu tetap mengggap anak angkat sebagai anak
angkat atau tidak menyamakan status anak kandung dengan anak angkat
maka kedudukan hukumnya diperbolehkan saja, bahkan dapat berubah
menjadi dianjurkan.
2. Syarat pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
Islam tidak mengatur secara jelas mengenai syarat dalam
pengangkatan anak, akan tetapi dalam perwalian Islam menetapkan syarat
menjadi seorang wali anak angkat., adapun syarat-syarat tersebut adalah :
a. Baligh dan berakal, serta cakap bertindak hukum. oleh sebab itu anak
kecil, orang gila, orang mabuk dan orang dungu tidak bisa ditunjuk
sebagai wali.14
b. Agama wali sama dengan agama orang yang diampunya, karena
perwalian nonmuslim terhadap muslim adalah tidak sah.
c. Adil dalam artian istiqamah dalam agamanya, berakhlak baik, dan
senantiasa memelihara kepribadiannya.
d. Wali mempunyai kemampuan untuk bertindak dan memelihara amanah,
karena perwalian itu bertujuan untuk mencapai kemaslahatan orang yang
43
diampunya. Apabila orang itu lemah dalam memegang amanah, maka
tidak sah menjadi wali.15
3. Akibat hukumnya
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah pengangkatan
anak yang bersumber pada Al-Quran dan sunah serta hasil ijtihad yang
berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam berbagai produk pemikiran
hukum Islam, baik dalam bentuk fikih, fatwa, putusan pengadilan maupun
perundang-undangan.16
Begitu pula terhadap akibat yang ditimbulkan dari pengangkatan
anka berdasarkan hukum Islam, meliputi :
a. Status anak angkat dalam hukum Islam
Dalam kaitannya dengan pengangkatan anak tentunya tidak luput
dari yang namanya kejelasan status hubungan anak dengan orang tunya,
baik orang tuanya kandung maupun orang tua angkatnya. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan status adalah mengenai hubungan anak
angkat dengan orang tua angkat hanya sebatas peralihan tanggung jawab
dari orang tua kandung kepada orang tua angkat. tanggung jawab
tersebut yaitu tanggung jawab mengenai biaya kehidupan atau
pemeliharaan untuk hidup anak sehari-hari, biaya pendidikan dan
15 Satria Efendi, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004) 172. 16 Mukti Arto, Garis Batas Kekuasaan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri, dalam Varia
44
sebaginya. Selain dari pada itu status anak tetap kepada orang tua
angkatnya.
b. Tidak memutuskan hubungan nasab, wali nikah bagi perempuan dan hak
saling mewarisi dengan orang tua kandungnya.
Adapun nasab berasal dari bahasa arab ‛an-nasab‛yang artinya
keturunan, kerabat. Nasab juga dipahami sebagai pertalian kekeluargaan
berdasarkan hubungan darah sebagai salah satu akibat dari perkawinan
yang sah. Secara terminologis nasab adalah keturunan atau ikatan
keluarga sebagai hubungan darah, baik karena hubungan darah ke atas
(bapak, kakek, ibu, nenek, dan seterusnya),