• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperol

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperol"

Copied!
209
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA

SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Disusun Oleh: Regina Daniaty

061124012

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA

SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Disusun Oleh: Regina Daniaty NIM : 061124012

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan skripsi ini kepada:

BAPA, BUNDA MARIA, DAN YESUS KRISTUS yang selalu mendampingi serta menuntun

setiap langkah hidupku

(6)

v MOTTO

BERSUKACITALAH DALAM PENGHARAPAN, SABARLAH DALAM KESESAKAN, DAN BERTEKUNLAH DALAM DOA!

(7)
(8)
(9)

viii ABSTRAK

Penulis memilih judul skripsi “UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL”. Judul ini dipilih karena bertolak dari ketertarikan dan keprihatinan penulis mengenai masalah pendidikan iman anak dalam keluarga Katolik, dimana orang tua belum dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik dengan baik. Penulis tergugah untuk mengetahui sejauh mana pemahaman dan usaha orang tua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik.

Sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, orang tua dituntut untuk menyampaikan ajaran mengenai keselamatan kepada anak-anak mereka. Mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan apa saja yang diperlukan oleh anak-anak supaya mereka semakin terbantu dalam menuju kedewasaan hidup iman Katolik. Pendidikan iman yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak dimaksudkan agar anak-anak semakin mendalami misteri keselamatan Allah dan menyadari karunia iman yang telah mereka terima, sejak mereka dibaptis, sehingga anak-anak dapat mencapai kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik. Sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, orang tua perlu memberikan pengajaran mengenai iman, mengembangkan kebiasaan hidup rohani dalam keluarga, dan memberikan teladan hidup yang baik bagi anak-anaknya, serta menciptakan suasana kasih dan mengembangkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka.

Dari hasil penelitian diketahui bahwa sebenarnya orang tua di Lingkungan Santo Pius X Kweden memahami akan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, tetapi mereka tidak dapat melaksanakannya dengan baik. Banyak faktor yang menyebabkan mereka tidak dapat melaksanakan tugas mendidiknya dengan baik, antara lain kesibukan dalam pekerjaan dan kurangnya pengetahuan tentang iman. Di samping itu, kurangnya dukungan/perhatian berupa kegiatan pendampingan bagi orang tua dari Lingkungan/Paroki juga menjadi faktor yang menghambat orang tua untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dengan baik.

(10)

ix ABSTRACT

The author chose the title of the graduating paper “MEANS TO IMPROVE PARENTS’ UNDERSTANDING AND EFFORTS TO DO THEIR DUTY AS EDUCATORS OF CHILDREN’S FAITH IN A CATHOLIC FAMILY IN LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PARISH OF SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL”. This title was chosen based the author’s interest and concern about issue on children’s faith education in Catholic family in which the parents have not been able to carry out their duty as educators of children’s faith in a Catholic family in a good way. The author was intrigued to find out the extent of parents’ understanding and efforts in carrying out their duties as educators of children’s faith in the Catholic family.

As educators of children’s faith in Catholic family, parents are required to convey the doctrine of salvation to their children. They have an obligation to provide whatever is needed by the children so that they are increasingly assisted into adulthood in the Catholic faith. Faith education is given by parents to children so that they can explore the mystery of God’s salvation and realize the gift of faith they have received, since they were baptized, therefore, children can reach full maturity and the growth of the Mystical Body. As educators of children’s faith in a Catholic family, parents need to provide teaching about faith, develop the habit of spiritual living in the family, and provide a good example of life for their children, and create an atmosphere of love and develop good relationships with their children.

From the research result, it can be revealed that parents in Lingkungan Santo Pius X Kweden actually understand their duty as children’s faith educators in Catholic families, but they can not hold it well. Many factors cause they do not perform the task well, for instances, busy at work and lack of knowledge about the faith. In addition, the lack of support/concern of assistance activities for parents in Lingkungan/Parish is also a factor that inhibits the parents to be able to carryout their duty as children’s faith educators well.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat bimbingan dan penyertaan-Nya, penulis mendapatkan kekuatan dan semangat untuk menyelesaikan penulisan skrispsi yang berjudul UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL.

Skripsi ini dilatarbelakangi oleh keprihatinan penulis terhadap situasi pendidikan iman anak dalam keluarga Katolik yang dilaksanakan oleh orang tua di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul. Menurut hasil pengamatan penulis, orang tua masih cenderung menyerahkan pendidikan iman anak-anak kepada pihak lain, seperti guru sekolah minggu. Mereka kurang mampu melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dengan baik. Oleh karena itu, penyusunan skripsi ini dimaksudkan untuk membantu orangtua untuk semakin meningkatkan pemahaman dan usaha orangtua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya tersebut dengan lebih baik lagi.

(12)

xi

dalam penulisan skripsi ini. Oleh karena itu, pantaslah pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Drs. H. J. Suhardiyanto, SJ, selaku Kepala Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma yang telah membantu penulis selama penyelesaian skripsi ini.

2. Y. H. Bintang Nusantara, SFK, M. Hum., selaku Dosen Pembimbing Utama yang telah mendampingi, membimbing, memotivasi, dan memberikan masukan-masukan yang berharga bagi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

3. Yoseph Kristianto, SFK, M. Pd., selaku Dosen Pembimbing Kedua sekaligus Dosen Pembimbing Akademik yang telah membantu dan memotivasi penulis selama studi dan menyelesaikan skripsi ini.

4. Banyu Dewa HS., S. Ag., M. Si., selaku Dosen Pembimbing Ketiga yang telah memotivasi penulis selama menyelesaikan skripsi ini.

5. Segenap Staf Dosen Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik Universitas Sanata Dharma yang telah mendidik dan membimbing penulis selama studi.

6. Segenap Staf Sekretariat dan Perpustakaan, serta seluruh karyawan bagian lain Prodi IPPAK yang telah memberi dukungan kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.

(13)
(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ………... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ………. HALAMAN PENGESAHAN ………. HALAMAN PERSEMBAHAN ………. MOTTO ……….. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ………. ABSTRAK ……….. ABSTRACT ……… KATA PENGANTAR ……… DAFTAR ISI ………... DAFTAR SINGKATAN ……… BAB I PENDAHULUAN ………... A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN .……….. B. RUMUSAN PERMASALAHAN ….………... C. TUJUAN PENULISAN …….……….. D. MANFAAT PENULISAN ...……… E. METODE PENULISAN .………. F. SISTEMATIKA PENULISAN ..……….. BAB II ORANG TUA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM

KELUARGA KATOLIK ……….……… A. KELUARGA KATOLIK ………..……….. 1. Pengertian Keluarga Katolik ……….. 2. Ciri-Ciri Keluarga Katolik ………. a. Kesatuan iman yang dimiliki oleh anggota-anggotanya .. b. Keluarga Katolik dipanggil menuju kepada kesucian dan

ikut membantu menyucikan Gereja dan dunia …………. c. Keluarga Katolik membuka diri dengan penuh cinta

kasih, baik kepada masyarakat maupun Gereja ... d. Keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengambil

(15)

xiv

3. Keluarga Sebagai Komunitas Iman ……… a. Iman menjiwai kehidupan seluruh anggota keluarga …... b. Keluarga merupakan tempat persemaian dan sekolah

iman ……….. c. Keluarga menjadi tempat untuk saling membantu dalam mengembangkan iman ………. B. TUGAS ORANG TUA DALAM KELUARGA KATOLIK ….. 1. Pengertian Orang Tua ………...………. 2. Tugas Orang Tua ………

a. Menurut Kitab Suci ……….. b. Menurut Dokumen Gereja ………... C. PENDIDIKAN IMAN ANAK SEBAGAI TUGAS UTAMA

ORANG TUA DALAM KELUARGA KATOLIK …………. 1. Pengertian Dan Tujuan Pendidikan Iman Anak ……….

a. Pengertian Pendidikan Iman Anak ………... b. Tujuan Pendidikan Iman Anak …………... 2. Usaha-Usaha Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Dalam

Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pendidik Iman Yang Pertama Dan Utama ………... a. Orang tua mendidik dengan pengajaran ………..……… b. Orang tua mendidik dengan mengembangkan kebiasaan

hidup rohani ………. c. Orang tua mendidik dengan memberi teladan …...…….. d. Orang tua mendidik dengan kasih ………...………. e. Orang tua mengembangkan relasi yang baik dengan

anak ……….. D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT ORANG TUA

DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK 1. Faktor Yang Berasal Dari Dalam Diri Orang Tua .………… 2. Faktor Yang Berasal Dari Luar Diri Orang Tua ….………... BAB III PENELITIAN TENTANG PEMAHAMAN DAN USAHA

ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL ……... A. GAMBARAN UMUM PAROKI SANTO YAKOBUS

(16)

xv

1. Sejarah Singkat Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul …… 2. Letak Geografis Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul …... 3. Situasi Umat Katolik Di Paroki Santo Yakobus Klodran

Bantul ………. 4. Kegiatan-Kegiatan Yang Ada Di Paroki Santo Yakobus

Klodran Bantul ………... B. GAMBARAN UMUM LINGKUNGAN SANTO PIUS X

KWEDEN ……… 1. Sejarah Singkat Lingkungan Santo Pius X Kweden ……….. 2. Letak Geografis Lingkungan Santo Pius X Kweden ………. 3. Situasi Umat Katolik Di Lingkungan Santo Pius X Kweden 4. Kegiatan-Kegiatan Yang Ada Di Lingkungan Santo Pius X

Kweden ……….. C. METODOLOGI PENELITIAN ……….………..

1. Jenis Penelitian ………... 2. Tujuan Penelitian ………... 3. Manfaat Penelitian ………. 4. Teknik Pengumpulan Data ………. 5. Tempat Dan Waktu Penelitian ………... 6. Responden Penelitian ………. 7. Definisi Operasional ……….. 8. Variabel Penelitian ………. D. LAPORAN HASIL PENELITIAN ……….. E. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ………... F. KESIMPULAN HASIL PENELITIAN ………... BAB IV PENDALAMAN IMAN DENGAN MODEL SHARED

CHRISTIAN PRAXIS (SCP) SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL ……... A. PENDALAMAN IMAN DENGAN MODEL SHARED

CHRISTIAN PRAXIS (SCP) BAGI ORANG TUA ……….. 1. Pengertian Pendalaman Iman Dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Bagi Orang Tua ……… 2. Tujuan Pendalaman Iman Dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Bagi Orang Tua ………

(17)

xvi

3. Isi Pendalaman Iman Dengan Model Shared Christian Praxis (SCP) Bagi Orang Tua ………..……….. 4. Pola Pendalaman Iman Dengan Model Shared Christian

Praxis (SCP) Bagi Orang Tua ………..………….. 5. Orang Tua Sebagai Peserta Pendalaman Iman Dengan

Model Shared Christian Praxis (SCP) ………... B. USULAN PROGRAM PENDALAMAN IMAN DENGAN

MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) BAGI ORANG TUA DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL ……….. 1. Latar Belakang Program ……… 2. Tujuan Program ……….. 3. Tema Dan Judul Pertemuan ………... 4. Penjabaran Program ………... 5. Petunjuk Pelaksanaan ………. C. CONTOH PERSIAPAN PENDALAMAN IMAN DENGAN

MODEL SHARED CHRISTIAN PRAXIS (SCP) ………..……... 1. Contoh I ……….. 2. Contoh II ……… BAB V PENUTUP ……….. A. KESIMPULAN ………

B. SARAN ………

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Tugas mendidik, pertama-tama merupakan tanggung jawab keluarga, karena keluarga merupakan tempat dimana untuk pertama kalinya anak memperoleh pengajaran mengenai keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat, tempat anak hidup dan berkembang (GE art. 3). Di dalam keluarga, anak pertama kali menemukan pengalaman pertama masyarakat manusia yang sehat serta Gereja. Melalui keluargalah, lambat laun, mereka diajak berintegrasi dalam masyarakat manusia dan Umat Allah. Di samping itu, melalui keluarga pula, anak-anak dibawa masuk ke dalam pergaulan para warga dan ke dalam umat Allah secara perlahan-lahan.

Peranan keluarga Katolik dalam mendidik mempunyai tempat yang sangat penting dalam karya pastoral (FC art. 40). Maka dari itu, para orang tua perlu menyadari betapa pentingnya pendidikan Katolik dalam keluarga karena pendidikan Katolik bagi anak merupakan tugas orang tua. Orang tua merupakan tokoh terpenting dalam kehidupan dan perkembangan seorang anak. Orang tua banyak memberi pengaruh terhadap diri anak, terutama dalam perkembangannya. Dalam sebuah keluarga, orang tua wajib menciptakan lingkungan keluarga yang dijiwai oleh cinta kasih terhadap Allah dan manusia sehingga membantu pendidikan pribadi dan sosial anak-anak yang utuh. Tugas orang tua untuk

(19)

memberikan pendidikan Katolik kepada anak-anak dalam keluarga tidak dapat dialihkan kepada pihak lain.

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio mengatakan bahwa:

“Tugas mendidik berakar dalam panggilan utama suami-isteri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah. Dengan membangkitkan dalam dan demi cinta kasih seorang pribadi baru, yang dalam dirinya mengemban panggilan untuk bertumbuh dan mengembangkan diri, orangtua sekaligus sanggup bertugas mendampinginya secara efektif untuk menghayati hidup manusiawi sepenuhnya.

Hak maupun kewajiban orang tua untuk mendidik bersifat hakiki karena berkaitan dengan penyaluran hidup manusiawi. Selain itu bersifat asali dan utama terhadap peran serta orang-orang lain dalam pendidikan, karena keistimewaan hubungan cinta kasih antara orang tua dan anak” (FC art. 36).

Karya manusia dalam penciptaan manusia baru melahirkan suatu tugas baru, yaitu tugas mendidik dan memelihara hasil prokreasi tersebut. Dalam hal ini, kedua manusia yang telah menjadi orang tua Katolik mempunyai kewajiban untuk mendidik secara Katolik anak-anak yang telah dikaruniakan kepada orang tua.

(20)

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka, orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu, sehingga apabila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa sehigga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka, keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat” (GE art. 3).

Pernyataan di atas menegaskan bahwa ketika anak dilahirkan, orang tua memiliki tugas dan kewajiban baru dalam kehidupan keluarga, yakni mendidik anak-anak mereka. dalam hal ini, orang tua merupakan pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga Katolik. Sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga Katolik, hak dan kewajiban yang dimiliki orang tua untuk mendidik anak-anak mereka tidak dapat diganggu gugat.

Dalam Kitab Hukum Kanonik dikatakan bahwa: “orang tua mempunyai kewajiban yang sangat berat dan hak primer untuk sekuat tenaga mengusahakan pendidikan bagi anak-anaknya, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius” (kan. 1136). Tugas mendidik ini tidak dapat diabaikan oleh para orang tua, sebab orang tua memiliki kewajiban untuk menciptakan lingkup keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi, sosial, dan religius anak-anak.

(21)

dan anak-anak. Hak dan kewajiban orang tua untuk mendidik anak-anak tidak dapat digantikan dan diambil-alih atau diserahkan kepada orang lain.

Dalam mendidik anak, orang tua mempunyai dua fakta kodrati. Pertama, orang tua mempunyai hak atas pendidikan anaknya. Seorang pria dengan seorang wanita yang telah diikat atau disatukan dalam suatu ikatan pernikahan yang sah dan memperoleh keturunan memiliki tanggung jawab terhadap kehidupan keluarga tersebut, termasuk pendidikan anak-anak mereka. Kelahiran seorang anak bukan hanya merupakan suatu peristiwa jasmaniah saja, tetapi lebih pada merupakan buah cinta terindah. Kedua, sebagai manusia yang memiliki derajat dan martabat yang sama, anak berhak untuk mendapatkan pendidikan yang baik dari orang tuanya karena bagi seorang anak, pendidikan merupakan suatu kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Pendidikan yang baik dari orang tua dapat membantu anak untuk membangun dasar yang kuat guna kehidupan di masa yang akan datang. Oleh karena itu, pendidikan bagi anak merupakan tanggung jawab penuh dari orang tua.

(22)

mendalami misteri keselamatan dan semakin menyadari karunia iman yang telah mereka terima, sehingga mereka dapat mencapai kedewasaan penuh serta tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik.

Anak merupakan buah cinta kasih sepasang suami-isteri yang perlu dilindungi, dibesarkan, dicintai, dan dididik. Anak diberikan kasih sayang, perhatian, bimbingan, dan pertolongan untuk mengembangkan pribadinya lewat pendidikan yang benar. Pengarahan dari orang tua mengenai pendidikan iman juga dibutuhkan. Orang tua tidak bisa mengabaikan tanggung jawab mereka sebagai pendidik dalam keluarga. Mereka harus mendidik anak-anak melalui nasihat, petunjuk-petunjuk, dan contoh-contoh keteladanan.

Namun pada kenyataannya, para orang tua sering melalaikan dan belum menyadari mengenai tugasnya dalam mendidik anak, khususnya mendidik iman anak. Kesibukan orang tua dengan aktivitas dan kegiatan rutinnya merupakan salah satu faktor mengapa mereka melalaikan tugasnya dalam mendidik anak. Ada beberapa orang tua beranggapan bahwa mereka dikatakan sudah mendidik anak-anak dengan baik jika mereka sudah memenuhi kebutuhan anak-anak dan memberi aturan-aturan dalam keluarga. Selain itu, mereka juga beranggapan bahwa urusan pendidikan iman anak merupakan urusan guru agama di sekolah, katekis, ataupun guru sekolah minggu.

(23)

Katolik. Orang tua lebih memilih menyerahkan pendidikan iman anaknya ke lembaga lain karena orang tua merasa kurang memiliki pengetahuan mengenai iman mereka. Orang tua merasa rendah diri apabila tidak bisa menjawab pertanyaan anaknya mengenai agama.

(24)

Menyikapi permasalahan ini, penulis memilih judul skripsi “UPAYA MENINGKATKAN PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL”. Melalui judul ini, penulis ingin menanggapi masalah yang dialami oleh orangtua di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul, dimana mereka kurang memahami tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik sehingga mereka tidak dapat melaksanakan tugas mendidik tersebut dengan baik. Dengan memilih judul ini, penulis berharap dapat membantu orang tua untuk meningkatkan pemahaman orang tua akan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dengan lebih baik.

B. RUMUSAN PERMASALAHAN

1. Bagaimana pandangan Gereja mengenai tugas orang tua dalam keluarga Katolik?

(25)

3. Hal-hal apa saja yang menghambat orang tua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul?

4. Sumbangan kegiatan macam apa yang dapat membantu orang tua untuk semakin memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul?

C. TUJUAN PENULISAN

Penulisan skripsi ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui pandangan Gereja mengenai tugas orang tua sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik.

2. Mengetahui sejauh mana orang tua di Lingkungan Santo Pius X Kweden Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul telah memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik.

(26)

D. MANFAAT PENULISAN

Manfaat penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Memberi pengetahuan dan wawasan kepada orang tua akan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan bagi penulis akan tugas orang tua sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik.

3. Memberi masukan kepada dewan paroki dan pengurus lingkungan untuk semakin mengoptimalkan perhatian terhadap pendidikan iman anak dalam keluarga Katolik dengan meningkatkan pemahaman orang tua akan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik sehingga mereka dapat melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dengan lebih baik.

E. METODE PENULISAN

(27)

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini memiliki sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I memaparkan tentang latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan. Bab II membahas mengenai orang tua sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik. Bab ini menjelaskan mengenai empat hal. Bagian pertama membahas mengenai pengertian keluarga Katolik beserta ciri-cirinya, dan keluarga sebagai komunitas iman. Bagian kedua membahas mengenai tugas orang tua dalam keluarga Katolik yang meliputi pengertian orang tua dan tugas orang tua Katolik menurut Kitab Suci dan ajaran Gereja. Bagian ketiga membahas mengenai pendidikan iman anak sebagai tugas utama orang tua dalam keluarga Katolik yang meliputi pengertian dan tujuan pendidikan iman anak, serta usaha-usaha yang dilakukan oleh orang tua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak yang pertama dan utama. Bagian keempat membahas mengenai faktor-faktor yang menghambat orang tua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, baik faktor yang berasal dari dalam diri orang tua maupun faktor yang berasal dari luar diri orang tua.

(28)

penelitian, laporan hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian, dan kesimpulan hasil penelitian.

(29)

BAB II

ORANGTUA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

Semua orang memiliki hak atas pendidikan (GE art. 1). Begitupula halnya dengan anak-anak di dalam keluarga. Mereka juga memiliki hak atas pendidikan, termasuk pendidikan iman. Pertama kali, anak-anak memperoleh pendidikan melalui orang tuanya di dalam keluarga. Orang tua merupakan pendidik iman anak yang pertama dan utama dalam keluarga Katolik. Tugas mendidik ini berakar dari panggilan utama mereka sebagai suami-istri untuk berperan serta dalam karya penciptaan Allah (FC art. 36). Tugas dan kewajiban mendidik ini sudah diketahui pada waktu mereka mengucapkan janji perkawinan. Konsili Vatikan II mengingatkan:

“Karena orang tua telah menyalurkan kehidupan kepada anak-anak, terikat kewajiban amat berat untuk mendidik anak mereka. Maka, orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua menciptakan lingkungan keluarga, yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka. Maka, keluarga itulah lingkungan pendidikan pertama keutamaan-keutamaan sosial yang dibutuhkan oleh setiap masyarakat” (GE art. 3).

Bab II ini menguraikan mengenai tugas orang tua sebagai pendidik iman dalam keluarga Katolik. Bab II ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama membahas mengenai pengertian keluarga Katolik beserta ciri-cirinya dan keluarga sebagai komunitas iman. Bagian kedua membahas mengenai tugas orang tua

(30)

dalam keluarga Katolik yang meliputi pengertian orang tua dan tugas orang tua, baik dari segi pandang kitab suci maupun dokumen Gereja. Bagian ketiga membahas mengenai orang tua sebagai pendidik iman anak, dan bagian keempat membahas mengenai faktor-faktor yang menghambat orang tua dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, baik faktor yang berasal dari dalam diri orang tua maupun faktor yang berasal dari luar diri orang tua.

A. KELUARGA KATOLIK

Keluarga adalah komunitas pertama dan utama yang bertanggungjawab atas pendidikan anak-anak, karena di dalam keluargalah anak-anak lahir, hidup dan bertumbuh dewasa. Dalam keluarga, anak menemukan pengalaman pertama mengenai masyarakat manusia yang sehat dan Gereja. Melalui keluarga, anak dibawa masuk ke dalam pergaulan para warga dan ke dalam umat Allah secara perlahan-lahan. Lebih dari itu, anak-anak mampu merealisasikan panggilan hidupnya sebagai manusia dan orang beriman Kristiani dalam keluarga (Paus Yohanes Paulus II, 1994: 8).

1. Pengertian Keluarga Katolik

(31)

mengatakan: ”karena Pencipta alam semesta telah menetapkan persekutuan suami-istri menjadi asal-mula dan dasar masyarakat manusia, maka keluarga merupakan sel pertama dan sangat penting bagi masyarakat” (AA art. 11). Sebagai sel terkecil dalam masyarakat, keluarga mempunyai hubungan-hubungan yang amat penting dan organik dengan masyarakat, karena di dalam keluarga seluruh jaringan hubungan sosial dibangun (Paus Yohanes Paulus II, 1994: 8). Melalui kehadiran dan peran anggota-anggotanya, keluarga menjadi tempat asal dan upaya efektif untuk membangun masyarakat yang manusiawi dan rukun (FC art. 43).

(32)

semangat menerima yang lain sebagai pribadi yang bermartabat sama karena memiliki hak yang sama pula.

Pandangan mengenai keluarga di atas sejalan dengan pandangan Gereja dalam Katekismus Gereja Katolik yang mengartikan keluarga sebagai persekutuan kodrati, dimana pria dan wanita dipanggil untuk menyerahkan diri dalam cinta kasih dan melanjutkan kehidupan (KGK art. 2205). Persekutuan pribadi-pribadi ini terjadi atas dasar pilihan dan keputusan sadar dan bebas antara seorang pria dan seorang wanita, serta diungkapkan dalam kesepakatan nikah. Mereka bersedia meninggalkan segalanya, termasuk orang tua dan sanak saudaranya untuk membangun persekutuan hidup dengan pasangannya.

(33)

Demikian pula istri, sejak dibaptis ia pun bersatu dengan Kristus. Tuhan hadir dalam dirinya. Oleh karena itu, ketika kedua orang Katolik menikah, Kristus semakin hadir dalam diri mereka. Menurut keyakinan Gereja, kehadiran Kristus membawa rahmat, yang semakin menyatukan mereka berdua, sebab kasih ilahi-Nya menyempurnakan kasih manusiawi mereka berdua.

Konsili Vatikan II menegaskan sakramentalitas perkawinan tersebut dalam Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini dengan menyatakan bahwa cinta kasih suami-istri dengan segala dimensinya dilimpahi anugerah-anugerah yang mengalir dari sumber cinta kasih Ilahi dan dibangun oleh Kristus menurut teladan persatuan cinta kasih-Nya dengan Gereja (GS art. 48). Melalui sakramen, suami-istri mengambil bagian dalam karya keselamatan. Sebagai perwujudan, Sakramen Perkawinan memberi mereka rahmat dan tugas untuk melaksanakan atau mewujudnyatakan tuntutan-tuntutan kasih yang mengampuni dan menebus pada masa sekarang ini. Sebagai nubuat, Sakramen Perkawinan memberi mereka rahmat dan tugas untuk hidup dan menjadi saksi tentang pengharapan perjumpaan dengan Kristus pada masa yang akan datang (FC art. 13). Kehadiran Kristus membawa rahmat yang membantu suami-istri dalam mengasuh dan mendidik anak-anak. Karena rahmat ilahi itu, mereka tidak hanya mengasihi anak-anak dengan kasih manusiawi yang serba terbatas, tetapi juga dengan kasih ilahi.

(34)

keturunan serta pendidikannya. Maka dari itu, pria dan wanita, yang karena janji perkawinan ”bukan lagi dua, melainkan satu daging” (Mat 19:6), saling membantu dan melayani berdasarkan ikatan mesra antara pribadi dan kerja sama. Persatuan mesra ini sebagai ungkapan saling serah diri antara dua pribadi, begitu pula kesejahteraan anak-anak, menuntut kesetiaan suami-istri yang sepenuhnya, dan menjadikan tidak terceraikannya kesatuan mereka mutlak diperlukan.

2. Ciri-Ciri Keluarga Katolik

Selain merupakan sel terkecil dalam masyarakat luas, keluarga juga merupakan bagian dari Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, keluarga ikut ambil bagian dalam tugas perutusan Gereja, yakni mewartakan dan menyebarluaskan Injil. Maka dari itu, keluarga juga sering disebut Gereja kecil (FC art. 21).

(35)

kedamaian, dan ketulusan hati (bdk. Ef 1:1-4). Sebagai Gereja kecil, keluarga Katolik memiliki kekhasan, antara lain kesatuan iman yang dimiliki oleh anggota-anggotanya, hidup para anggotanya mengarah kepada kesucian dan berperan serta dalam menyucikan Gereja dan dunia, membuka diri dengan lingkungan sekitarnya, serta memiliki panggilan dan perutusan yang khas dalam karya keselamatan Allah.

a. Kesatuan iman yang dimiliki oleh anggota-anggotanya

(36)

b. Keluarga Katolik dipanggil menuju kepada kesucian dan ikut membantu menyucikan Gereja dan dunia

Keluarga Katolik merupakan bagian dari Gereja. Sebagai bagian dari Gereja, keluarga Katolik menunaikan tugasnya sebagai imam. Tugas imami dijalankan oleh Keluarga Katolik dalam persatuan mesra dengan seluruh Gereja, melalui kenyataan sehari-hari hidup perkawinan dan keluarga. Keluarga Katolik bersatu dengan Allah lewat sakramen-sakramen dan hidup doa (FC art. 55). Melalui sakramen-sakramen dan hidup doa, keluarga Katolik bertemu dan berdialog dengan Allah. Dengannya, mereka dikuduskan dan menguduskan jemaat gerejawi serta dunia (FC art. 55). Relasi antara Kristus dengan Gereja terwujud nyata dalam Sakramen Perkawinan, yang menjadi dasar panggilan dan tugas perutusan suami-istri. Suami-istri mempunyai tanggung jawab membangun kesejahteraan rohani dan jasmani keluarganya dengan doa dan karya. Doa keluarga yang dilakukan setiap hari dengan setia akan memberi kekuatan iman dalam hidup mereka, terutama ketika mereka sedang menghadapi dan mengalami persoalan sulit dan berat, dan membuahkan berkat rohani, yaitu relasi yang mesra dengan Allah.

(37)
(38)

c. Keluarga Katolik membuka diri dengan penuh cinta kasih, baik kepada masyarakat maupun Gereja

Keluarga Katolik merupakan bagian dari masyarakat dan Gereja. Sebagai bagian dari masyarakat dan Gereja, mereka dipanggil untuk ikut ambil bagian dalam pembangunan masyarakat dan Gereja. Mereka tidak boleh hanya peduli dengan kepentingannya sendiri. Mereka diharapkan mampu memberikan sumbangan positif dalam pembangunan masyarakat dan Gereja. Ini berarti keluarga Katolik tidak membangun persekutuan yang eksklusif tapi sebuah persekutuan yang inklusif. Dalam hal ini, keluarga Katolik terbuka untuk siapa saja yang ingin melakukan kehendak Allah (FC art. 42). Keterbukaan mau menerima dan menghargai siapa saja terwujud dalam penerimaan, penghargaan bahkan dialog dan kerjasama dengan keluarga-keluarga lain yang ada di masyarakat yang memiliki itikad baik untuk melakukan kehendak Allah dalam membangun dunia atau masyarakat menuju masa depan yang lebih baik, penuh damai dan sejahtera (FC art. 43).

d. Keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengambil bagian dalam karya keselamatan Allah

(39)

Gereja untuk mewartakan Injil. Sebagai pengambil bagian dalam hidup dan perutusan Gereja, keluarga Katolik mendengarkan sabda Allah dengan penuh hormat dan memaklumkannya dengan penuh kepercayaan (DV art. 1), keluarga Katolik menunaikan tugas kenabiannya dengan menyambut dan mewartakan sabda Allah. Dengan demikian, dari hari ke hari, mereka semakin berkembang sebagai persekutuan yang hidup dan dikuduskan oleh Sabda. Dalam keluarga, yang menyadari tugas perutusan adalah semua anggota mewartakan dan menerima pewartaan Injil. Selain menjadi pewarta Injil bagi sesama dan lingkungan di sekitarnya, keluarga juga dipanggil untuk mengamalkan cinta kasih melalui pengabdiannya kepada sesama, terutama bagi mereka yang miskin tersingkir. Dijiwai oleh cinta kasih dan semangat pelayanan, keluarga Katolik menyediakan diri untuk melayani setiap orang sebagai pribadi dan anak Allah.

3. Keluarga Sebagai Komunitas Iman

(40)

anggotanya. Setiap anggota keluarga diharapkan dapat saling membantu dan melayani dalam ikatan mesra antar pribadi dan kerja sama; mereka mengalami dan dari hari ke hari semakin memperdalam rasa kesatuan tersebut (GS art. 48).

Keluarga merupakan komunitas pertama dan asal mula keberadaan setiap manusia dan merupakan persekutuan pribadi-pribadi (communio personarum) yang hidupnya berdasarkan dan bersumber pada cinta kasih (FC art. 18). Keluarga bukanlah suatu komunitas biasa. Keluarga merupakan suatu komunitas iman. Sebagai komunitas iman, Injil Yesus Kristus yang diwartakan, dirayakan, dan dilaksanakan menjadi pusat hidup keluarga. Keluarga bersekutu dalam persaudaraan serta saling meneguhkan dan melengkapi dalam penghayatan iman. Tidak semua keluarga dapat disebut sebagai komunitas iman. Suatu keluarga hanya dapat disebut sebagai komunitas iman jika hidup semua anggotanya dijiwai oleh iman, menjadi tempat persemaian dan sekolah iman, serta antar anggota keluarga diharapkan mampu untuk saling membantu dalam memperkembangkan iman yang dimiliki.

a. Iman menjiwai kehidupan seluruh anggota keluarga

Dalam iman, manusia menyadari dan mengakui bahwa Allah yang tak-terbatas berkenan memasuki hidup manusia yang serba tak-terbatas untuk menyapa dan memanggilnya. Iman merupakan jawaban atas panggilan Allah, penyerahan pribadi kepada Allah yang menjumpai manusia secara pribadi juga. Konsili Vatikan II mengatakan bahwa:

(41)

seutuhnya kepada Allah, dengan mempersembahkan kepatuhan akal budi serta kehendak yang sepenuhnya kepada Allah yang mewahyukan, dan dengan sukarela menerima sebagai kebenaran, wahyu yang dikaruniakan oleh-Nya” (DV art. 5).

Sebuah keluarga hanya dapat disebut sebagai komunitas iman jika kehidupan setiap anggota keluarga dijiwai dengan iman, yang ditandai oleh sikap hormat dan kasih kepada Kristus dan Gereja-Nya, dimana iman tersebut hendaknya diyakini, dipahami, diungkapkan, dirayakan, diwartakan, dan diamalkan secara terus-menerus, baik di luar maupun di dalam rumah. Karena iman mereka, semua anggota keluarga Katolik dipanggil dan diutus untuk mengusahakan, memelihara, dan meningkatkan persahabatan mereka dengan Allah.

(42)

“Hendaknya keluarga dengan kebesaran jiwa berbagi kekayaan rohani juga dengan keluarga-keluarga lain. Maka dari itu, keluarga Kristiani, karena berasal dari pernikahan, yang merupakan gambar dan partisipasi perjanjian cinta kasih antara Kristus dan Gereja (Ef 5:32), akan menampakkan kepada semua orang kehadiran Sang Penyelamat yang sungguh nyata di dunia dan hakikat Gereja yang sesungguhnya, baik melalui kasih suami-istri, melalui kesuburan yang dijiwai semangat berkorban, melalui kesatuan dan kesetiaan, maupun melalui kerja sama yang penuh kasih antara semua anggotanya” (GS art. 48).

b. Keluarga merupakan tempat persemaian dan sekolah iman

(43)

c. Keluarga menjadi tempat untuk saling membantu dalam mengembangkan iman

Sebagai suatu komunitas iman, antar anggota keluarga diharapkan dapat saling membantu dalam memperkembangkan iman yang dimiliki. Sharing atau dialog mengenai pengalaman akan Allah merupakan sarana yang dapat dilakukan untuk saling memperkembangkan iman yang telah dimiliki masing-masing anggota keluarga. Suami-istri dan orang tua Katolik diminta untuk mempersembahkan kepatuhan iman (Rom 16:26). Mereka dipanggil untuk menyambut Sabda Tuhan dalam kehidupan sehari-hari (FC art. 51). Sejauh keluarga menerima Injil dan menjadi dewasa dalam iman, keluarga menjadi persekutuan penginjilan. Tugas kerasulan keluarga ini berakar dalam Sakramen Baptis dan menerima dari rahmat Sakramen Perkawinan kekuatan baru untuk menyiarkan iman, untuk menguduskan, dan mengubah masyarakat kita selaras dengan rencana Allah. Pada zaman ini, keluarga mempunyai panggilan istimewa untuk menjadi saksi perjanjian Paska Kristus dengan senantiasa memancarkan sukacita cinta kasih dan kepastian pengharapan yang harus dipertanggungjawabkan: “Keluarga Katolik dengan nyaring memaklumkan keutamaan-keutamaan Kerajaan Allah pada waktu sekarang maupun pengharapan hidup yang terberkati pada waktu yang akan datang” (LG art. 35).

B. TUGAS ORANG TUA DALAM KELUARGA KATOLIK

(44)

memang terarahkan pada kelahiran dan pendidikan anak-anak yang merupakan mahkota dari perkawinan itu (GS art. 50). Pada waktu menjadi orang tua, suami-istri menerima dari Allah anugerah berupa tanggung jawab dan peran yang baru dalam keluarga.

1. Pengertian Orang Tua

Peran orang tua dalam pendidikan iman anak sangatlah penting. Dalam keluarga, orang tua memberikan teladan dan mengajarkan nilai-nilai kehidupan. Orang tua bertanggung jawab atas kehidupan suatu keluarga.

Orang tua adalah seorang pria dengan seorang wanita yang diikat atau disatukan dalam suatu ikatan pernikahan yang sah dan memperoleh keturunan. Biasanya, dalam keluarga mereka dipanggil ayah dan ibu. Orang tua Katolik didefinisikan sebagai suami-istri yang dikaruniai keturunan, secara tidak langsung telah menerima tanggung jawab baru dari Allah, yang dengan potensi yang dimiliki ikut ambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Kitab Hukum Kanonik mendefinisikan orang tua Katolik sebagai berikut:

“Orang tua, karena telah memberi hidup kepada anak-anaknya, terikat kewajiban yang sangat berat dan mempunyai hak untuk mendidik mereka; maka dari itu adalah pertama-tama tugas orang tua kristiani untuk mengusahakan pendidikan kristiani anak-anak menurut ajaran yang diwariskan Gereja” (kan. 226 § 2).

(45)

2. Tugas Orang Tua

Orang tua merupakan tokoh terpenting dalam kehidupan dan perkembangan anak-anaknya. Orang tua banyak memberi pengaruh terhadap diri anak. Ketika anak dilahirkan, orang tua memiliki tugas dan kewajiban baru dalam kehidupan keluarga.

a. Menurut Kitab Suci

Allah menciptakan manusia menurut citra dan gambaran-Nya (Kej 1:26-27). Ia memanggil manusia untuk saling mencintai dan hidup dalam persekutuan. Dengan menciptakan pria maupun wanita menurut citra-keserupaan-Nya, Allah memahkotai dan menyempurnakan karya tangan-Nya. Ia memanggil mereka untuk secara khusus berperan serta dalam cinta kasih dan kekuasaan-Nya sebagai Pencipta dan Bapa, melalui kerja sama mereka secara bebas dan bertanggung jawab dalam menyalurkan kurnia kehidupan manusiawi: “Allah memberkati mereka, dan Allah bersabda kepada mereka: Beranakcuculah dan bertambah banya; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi” (Kej 1:28). Dalam hal ini, orang tua memiliki kewajiban untuk mengabdi kepada kehidupan, mewujudkan secara konkret dalam sejarah berkat Sang Pencipta pada awal mula, yakni melalui prokreasi menyalurkan gambar ilahi dari pribadi ke pribadi (Kej 5:1-3).

(46)

tetap hidup menurut jalan yang ditunjukkan Tuhan, dengan melakukan kebenaran dan keadilan, …" (Kejadian 18:19). Allah mempercayakan anak-anak kepada para orang tua supaya mereka merawat anak-anak mereka supaya mematuhi Dia. “Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan” (Kolose 3:20).

Orang tua sebaiknya mengajarkan, membimbing, mendukung, dan memelihara keturunan sebagaimana layaknya, seperti Firman Tuhan dalam Ulangan 6:7 yang mengatakan, “Haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring, dan apabila engkau bangun”. Ayat ini merupakan perintah, tugas, dan pemberian otoritas Tuhan kepada orang tua untuk melatih anak-anaknya dengan tekun, karena Tuhan menginginkan agar anak-anak dapat bertumbuh dan bertingkah laku baik. Orang tua harus menunaikan tugas dan otoritas dengan penuh ketaatan dan hormat yang senantiasa akan menghasilkan pertumbuhan bagi anak-anak untuk dapat mencapai potensi mereka secara utuh dan bertahan menghadapi segala tantangan dalam kehidupan di dunia ini.

Perjanjian Baru juga mengajarkan kebenaran yang sama tentang keluarga seperti dalam Perjanjian Lama. Kitab Suci Perjanjian Baru mengatakan:

(47)
(48)

b. Menurut Dokumen Gereja

Seorang laki-laki dan perempuan, yang memiliki kesepakatan untuk membentuk suatu kebersamaan hidup hingga menjadi Sakramen Perkawinan mempunyai dua tujuan perkawinan, yakni kesejahteraan suami-istri dan kesejahteraan anak, seperti yang tertulis dalam Kitab Hukum Kanonik:

“Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah apad kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen” (kan. 1055 § 1).

Menurut rencana Allah, pernikahan mendasari rukun hidup keluarga yang lebih luas, sebab lembaga pernikahan sendiri dan cinta kasih suami-istri tertujukan kepada timbulnya keturunan dan pendidikan anak-anak yang merupakan mahkota mereka (GS art. 48). Sepasang suami-istri yang dikaruniai keturunan, secara tidak langsung, mereka telah menerima tanggung jawab baru dari Allah, yakni untuk menghargai, mencintai, mengasuh, dan mendidik keturunan mereka sehingga anak-anak kelak mampu dan berhasil mengasihi Allah dan sesamanya. Para orang tua diharapkan dapat membimbing dan mengarahkan hidup anak-anak mereka menuju arah hidup Katolik yang baik sehingga anak-anak dapat bertumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang dewasa dan bertanggung jawab dalam hidup.

(49)

kenisah Roh kudus dan anggota Gereja. Konsili Vatikan II dalam pernyataannya mengenai Pendidikan Kristen menyatakan:

“…. Maka, orang tualah yang harus diakui sebagai pendidik mereka yang pertama dan utama. Begitu pentinglah tugas mendidik itu sehingga bila diabaikan, sangat sukar pula dapat dilengkapi. Sebab merupakan kewajiban orang tua menciptakan lingkungan keluarga yang diliputi semangat bakti kepada Allah dan kasih sayang terhadap sesama sedemikian rupa sehingga menunjang keutuhan pendidikan pribadi dan sosial anak-anak mereka” (GE art. 3).

Pernyataan di atas menegaskan bahwa orang tua merupakan orang pertama yang memiliki hak dan kewajiban yang tidak bisa diganggu gugat untuk mendidik anak-anak mereka. Dalam keluarga, orang tua memiliki tugas untuk menyiapkan hati anak-anak mereka sejak kecil untuk mengenali cinta kasih Allah terhadap diri mereka dan orang lain, serta memberi teladan yang baik kepada anak-anak mereka (AA art. 30).

(50)

untuk kasih seorang pribadi yang baru, orang tua mengemban tugas untuk membantu agar pribadi itu sungguh-sungguh mampu hidup sepenuhnya sebagai manusia (FC art. 36).

C. PENDIDIKAN IMAN ANAK SEBAGAI TUGAS UTAMA ORANG TUA DALAM KELUARGA KATOLIK

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya Familiaris Consortio mengatakan bahwa:

”Perutusan mendidik meminta orang tua Kristen, untuk menyampaikan kepada anak-anak mereka semua pokok yang dibutuhkan, supaya anak-anak tahap demi tahap menjadi dewasa kepribadiannya ditinjau dari sudut Kristen dan gerejawi. Maka hendaklah mereka menganut pedoman-pedoman yang telah diuraikan, serta berusaha menunjukkan kepada anak-anak mereka, betapa iman dan cinta kasih akan Yesus Kristus dapat menyingkapkan maknanya yang mendalam. Selain itu kesadaran, bahwa Tuhan mempercayakan kepada Orang tua Kristen pertumbuhan anak Allah, saudara atau saudari Kristus, kenisah Roh Kudus, anggota Gereja, akan mendorong mereka menjalankan tugas mengukuhkan kurnia rahmat ilahi dalam jiwa anak-anak mereka” (FC art. 39).

(51)

iman yang diberikan oleh orang tua kepada anak dimaksudkan agar anak-anak semakin mendalami misteri keselamatan Allah dan menyadari karunia iman yang telah mereka terima, sejak mereka dibaptis sehingga anak-anak dapat mencapai kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus dan ikut serta mengusahakan pertumbuhan Tubuh Mistik (GS art. 2).

1. Pengertian Dan Tujuan Pendidikan Iman Anak

Dalam keluarga Katolik, orang menemukan kekayaan iman Katolik sebagai sikap hidup yang memberikan landasan bagi perjuangan hidup pribadi maupun hubungannya dengan sesama. Dalam keluarga Katolik, orang belajar pelbagai macam hal yang menopang kehidupannya. Keluargalah yang mewariskan pelbagai macam ciri yang ditemui dalam pribadi seseorang sebagai seorang beriman. Dalam hal ini, pendidikan iman dalam keluarga, khususnya pendidikan iman anak, perlu diperhatikan. Pada bagian ini diuraikan mengenai pengertian pendidikan iman anak dan tujuan dari pendidikan iman anak.

a. Pengertian Pendidikan Iman Anak

(52)

dalam keluarga dapat membentuk sikap mental, yang menjadi prasyarat dan penopang bagi iman yang hidup.

Dalam usaha mendidik iman anak, orang tua perlu mengetahui bagaimana cara-cara mendidik iman yang baik dan terarah, sehingga anak terbantu dalam mengembangkan imannya menuju kedewasaan dan kematangan. Cara orang tua dalam mendidik iman anak sangat menentukan perkembangan iman anak. Karena itu, pendidikan iman anak merupakan satu hal yang perlu dipikirkan secara serius dan tidak boleh diabaikan. Kalau anak dididik dengan baik dan benar, mereka akan menjadi pemimpin-pemimpin masa depan yang bermoral, yang mempunyai cara hidup yang berkenan kepada Tuhan.

(53)

sehingga anak-anak dapat mencapai kedewasaan penuh dan bertanggung jawab dalam mewujudkan imannya secara konkret dalam kehidupan sehari-hari.

b. Tujuan Pendidikan Iman Anak

Pendidikan iman Katolik adalah pendidikan yang bersumber dari iman Katolik sebagaimana diajarkan oleh Alkitab, penyataan Allah secara tertulis. Pendidikan iman Katolik bertolak dari keyakinan bahwa Allah ada, Dia menyatakan diri, Dia Esa dalam kemajemukan (Allah Tritunggal – Bapa, Anak, dan Roh Kudus). Allah menyatakan diri-Nya melalui berbagai cara, antara lain: melalui penciptaan dan pemeliharaan alam semesta, melalui orang-orang yang dipanggil-Nya untuk berbicara (para imam, nabi, raja, orang berhikmat), melalui tulisan-tulisan para nabi dan para rasul (firman tertulis), dan melalui Firman yang menjadi manusia di dalam Yesus Kristus.

(54)

Yesus Kristus. Mengenal Allah berarti memiliki relasi (diperdamaikan) dengan Allah oleh Yesus Kristus. Alkitab sangat sentral dalam rangka menuntun kita mengenal Allah. Begitu pula halnya dengan pendidikan iman anak. Pendidikan iman anak dapat membawa anak-anak kepada kebenaran sejati dan mampu mengenal Allah melalui pribadi Yesus Kristus dan firman-Nya. Oleh karena itu, pendidikan iman dalam keluarga bertujuan untuk membantu anak agar semakin berkembang dan bertumbuh menjadi seorang pribadi yang lebih dewasa dan bertanggung jawab, serta mampu mewujudkan iman tersebut dalam pengalaman konkret sehari-hari melalui kedekatan mereka secara pribadi akan Yesus yang telah mereka hidupi dalam keluarga (Ef 4:13).

(55)

diharapkan secara aktif mendidik anak-anak dan terlibat dalam proses pendidikan anak-anaknya. Orang tua juga diharapkan terlibat dalam proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah. Orang tua harus mengetahui apa yang sedang dipelajari oleh anak-anaknya di sekolah, buku-buku yang mereka baca, bagaimana sikap dan tabiat anaknya di sekolah, siapakah teman-teman anak-anaknya, dan sebagainya. Sekolah, Gereja, dan masyarakat menjadi pelengkap saja. Sekolah melengkapi dengan ilmu pengetahuan; Gereja melengkapi dengan ajaran iman dan moral; dan masyarakat melengkapinya dengan pengalaman hidup sosial yang ada. Pendidikan iman dalam keluarga juga akan menentukan ke arah mana anak akan dibawa. Pendidikan iman yang baik dan benar akan membawa anak ke arah yang baik dan benar pula.

2. Usaha-Usaha Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Dalam Melaksanakan Tugasnya Sebagai Pendidik Iman Anak Yang Pertama Dan Utama Tugas untuk memberikan pendidikan iman berakar dalam panggilan utama orang-orang yang menikah untuk ikut berpartisipasi dan mengambil bagian dalam karya penciptaan Allah (FC art. 36). Dengan melahirkan anak, orang tua mengemban tugas dan kewajiban membantu anak-anak yang dilahirkan agar mampu hidup sebagai manusia.

(56)

bagi anak-anaknya, serta orang tua perlu menciptakan suasana kasih dan mengembangkan relasi yang baik dengan anak-anak mereka.

a. Orang tua mendidik dengan pengajaran

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostoliknya menegaskan bahwa tugas perutusan untuk mendidik menuntut orang tua Katolik untuk menyajikan semua topik yang diperlukan untuk pertumbuhan anak-anak mereka menjadi pribadi yang matang dan dewasa dari sudut pandang Katolik dan gerejani (FC art. 39). Salah satu aspek pendidikan iman adalah pemberian dan pengembangan pengetahuan iman. Pengetahuan-pengetahuan iman dapat diperoleh melalui Kitab Suci, Katekismus, dokumen-dokumen Gereja, dan buku-buku katekese.

(57)

menariknya agama Katolik, anak akan merana dalam pertumbuhan hidup imannya.

(58)

b. Orang tua mendidik dengan mengembangkan kebiasaan hidup rohani Pendidikan iman adalah sesuatu yang penting bagi anak-anak. Dalam Katekismus Gereja Katolik dijelaskan bahwa : “Pendidikan iman oleh orang tua sudah harus mulai sejak masa anak-anak. Ia mulai dengan kebiasaan bahwa anggota-anggota keluarga saling membantu, supaya dapat tumbuh dalam iman melalui kesaksian hidup yang sesuai dengan Injil” (KGK art. 2226). Kebiasaan untuk hidup saling membantu dalam menumbuhkembangkan iman antar anggota keluarga sangat diperlukan, tak terkecuali antara orang tua dan anak-anak. Kebiasaan hidup rohani ini harus diberikan oleh orang tua kepada anak-anak sejak dini.

(59)

direnungkan. Dengan merenungkan Kitab Suci, anak-anak diarahkan kepada Allah yang hadir dalam Sabda-Nya (SC art. 7).

Selain itu, mengajak anak untuk terlibat dalam kegiatan menggereja juga merupakan bentuk pendidikan iman yang dapat dilakukan dalam keluarga. Melalui keluargalah, anak-anak secara berangsur-angsur diarahkan ke dalam persekutuan dengan saudara-saudari seiman yang lain di dalam Gereja. Orang tua berkewajiban untuk membawa anak-anak untuk turut mengambil bagian dalam kehidupan Gereja, baik dalam ibadah di paroki atau di lingkungan, ataupun kegiatan rohani dalam komunitas-komunitas Gereja. Persaudaraan sesama umat Katolik di dalam Kristus, harus juga diperkenalkan sejak dini kepada anak- anak. Orang tua juga harus memberikan dorongan kepada anak-anak untuk mengambil bagian dalam sakramen-sakramen Gereja, terutama Ekaristi dan Tobat. Dengan mengajak anak dalam kegiatan-kegiatan menggereja, orang tua telah mengajarkan hal-hal yang baik mengenai Tuhan dan sesama kepada anak. Di samping itu, anak juga dilatih untuk berani tampil di depan umum. Dengan aktif dalam kegiatan-kegiatan menggereja, orang tua juga telah mengajarkan dan membiasakan anak untuk berdoa dan mendengarkan Sabda Tuhan.

c. Orang tua mendidik dengan memberi teladan

(60)

berkembang dalam iman. Dalam hal ini, orang tua perlu memberikan teladan yang baik kepada anak di dalam keluarga.

Anak merupakan peniru ulung. Sifat peniru inilah yang menjadi modal dasar bagi orang tua untuk menanamkan nilai-nilai dan kebajikan Katolik kepada anak, seperti: memaafkan kesalahan orang lain, belajar meminta maaf jika berbuat salah, saling menghormati, saling berbagi, saling menolong, saling menghibur jika ada yang kesusahan, saling memperhatikan terutama kepada yang lemah, sakit, dan miskin, saling mengakui kelebihan dan kekurangan tiap-tiap anggota keluarga, rela berkorban demi kebaikan orang lain, dan sebagainya. Dalam memberikan pendidikan iman kepada anak di dalam keluarga, orang tua juga perlu memberikan contoh-contoh yang baik mengenai kebiasaan hidup rohani, seperti kebiasaan berdoa dalam kehidupan sehari-hari, keterlibatan dalam kehidupan menggereja, dan sebagainya.

Dalam keluarga, orang tua merupakan teladan bagi anak-anak. Apa yang dilakukan orang tua akan terekam dalam ingatan anak. Dalam hal ini, sikap anak sangat dipengaruhi oleh teladan yang diberikan oleh orang tua mereka. Anak-anak akan lebih cepat belajar melalui teladan yang diberikan orang tua daripada apa yang diajarkan orang tua melalui kata-kata. Melalui keteladanan, orang tua membimbing anak-anak mereka secara bertahap, sesuai dengan tahap perkembangan kepribadiannya, sehingga anak-anak semakin menghayati hidup iman katoliknya (AA art. 11).

(61)

ataupun tindakan. Kesaksian hidup iman dimaksudkan untuk membuat Allah transparan dalam hidup anak. Kesaksian iman lebih ditekankan pada cara hidup, sikap dan perilaku yang tanpa penjelasan kata-kata, tetapi sudah begitu jelas sehingga mungkin lebih menyakinkan daripada kesaksian verbal. Hubungan akrab dengan Allah yang menyatakan diri dalam Kristus diteruskan oleh karya Roh Kudus yang secara konkrit dihayati dalam iman Gereja lewat kesaksiaan hidup. Karena orang tua merupakan pendidik iman dalam keluarga, melalui kesaksian hidup, mereka menjadi duta Injil bagi anak-anak (FC art. 39). Sebagai duta Injil, orang tua memiliki kewajiban untuk mewartakan kabar keselamatan bagi anak-anak, sehingga anak-anak semakin mengenal dan menghayati hidup imannya. Maka dari itu, orang tua hendaknya memberi contoh yang baik melalui kesaksian hidup berupa sikap dan tindakan sehari-hari kepada anak.

d. Orang tua mendidik dengan kasih

Pada hakikatnya, setiap manusia memiliki kebutuhan untuk dikasihi dan mengasihi (RH. art 10), tak terkecuali anak-anak. Dalam keluarga, anak-anak memiliki hak untuk merasakan cinta kasih dari orang tuanya. Maka, menjadi kewajiban orang tualah menciptakan suasana keluarga yang sedemikian dijiwai oleh cinta kasih dan sikap hormat kepada Allah dan orang-orang lain, sehingga perkembangan pribadi dan sosial yang utuh dapat dipupuk di antara anak-anak (GE art. 3).

(62)

menjiwai semua prinsipnya, disertai juga dengan nilai-nilai kebaikan, pelayanan, tidak pilih kasih, kesetiaan dan pengorbanan. Mendidik anak dalam nilai-nilai hakiki kehidupan manusia juga sangat ditekankan oleh Bapa Suci dalam Anjuran Apostoliknya:

“Anak-anak harus dibesarkan dengan sikap bebas yang tepat terhadap harta benda jasmani, dengan diajak menjalani corak hidup ugahari tanpa kemanjaan, dan dengan insaf sepenuhnya, bahwa ‘manusia lebih bernilai karena apa yang dimilikinya’. Dalam masyarakat yang goncang dan terpecah belah karena pelbagai ketegangan dan konflik yang disebabkan oleh pertarungan penuh kekerasan antara bermacam-macam corak individualisme dan egoisme, anak-anak perlu diperkaya bukan hanya dengan kesadaran akan keadilan yang sejati, satu-satunya nilai yang membuahkan sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang, melainkan juga dan secara lebih kuat lagi dengan cinta kasih yang sejati. Yang dimaksud cinta kasih sejati adalah minat perhatian yang tulus serta pengabdian tanpa pamrih terhadap sesama, khususnya mereka yang paling miskin dan terlantar” (FC art. 37).

Mengasihi anak tidak berarti memenuhi semua tuntutan dan permintaan anak. Karena keterbatasan pengalaman dan wawasannya, belum tentu apa yang diminta anak adalah sesuatu yang memang tepat dibutuhkan. Oleh sebab itu, orang tua harus dengan bijaksana menimbang terlebih dulu apakah tuntutan dan permintaan anak memang patut dipenuhi. Mengasihi anak berarti menghormati anak sebagai pribadi yang utuh yang memiliki harkat dan martabat kemanusiaannya. Dalam hal ini, orang tua diharapkan mau dan mampu mendengarkan pikiran dan aspirasi anak.

(63)

belajar memperlengkapi diri mereka dengan keterampilan menjalani kebenaran hidup yang penuh tantangan. Pembinaan yang ditanamkan secara berkesinambungan dan penuh kasih kepada anak-anak sangat diharapkan akan memperoleh hasil yang positif, seperti: anak-anak menaruh rasa hormat kepada Allah, kepada orang tua, kepada gereja, serta kepada bangsa dan negara.

e. Orang tua mengembangkan relasi yang baik dengan anak

Relasi antara orang tua dan anak bertujuan untuk menghayati dan melaksanakan perintah Allah untuk mencintai sesama dan untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan mereka sendiri. Santo Paulus mengajarkan:

“Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam Tuhan, karena haruslah demikian. Hormatilah ayahmu dan ibumu, ini adalah suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini: supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di bumi. Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan” (Ef 6:1-4).

Apa yang ditegaskan oleh Santo Paulus sebenarnya merupakan pengulangan atas apa yang sudah ditegaskan dalam Kitab Keluaran 20:12, "Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu". Dalam relasi antara orang tua dan anak ini terjadi proses pendidikan kebijaksanaan dan cinta kasih antar generasi.

(64)

bagi anak-anak dengan memberikan pengarahan dan pembinaan, baik melalui nasihat maupun keteladanan hidup. Agar hubungan antara orang tua dan anak dapat terjalin dengan baik, komunikasi sangat diperlukan, sebab tanpa komunikasi akan sangat sulit menciptakan suasana yang penuh kasih di dalam keluarga. Dalam komunikasi ini, orang tua dapat mengarahkan anak kepada hal-hal yang positif dan memberikan gambaran Allah yang sebenarnya.

D. FAKTOR-FAKTOR YANG MENGHAMBAT ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK

Setiap orang tua Katolik menginginkan anak-anaknya memiliki iman yang matang dan dewasa. Para orang tua Katolik diharapkan mampu memenuhi tugas dan kewajiban mereka sebagai seorang pendidik iman anak dalam keluarga agar anak-anak mereka tumbuh dalam kematangan iman yang dewasa. Akan tetapi, tugas dan kewajiban mendidik anak bukanlah merupakan sesuatu yang mudah dilaksanakan. Dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik iman anak dalam keluarga Katolik, orang tua Katolik seringkali mengalami hambatan. Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Pastoralnya menyatakan:

(65)

Konstitusi pastoral tersebut ingin menegaskan bahwa di satu pihak, perubahan mental dan struktur seringkali membuat anak-anak merasa gelisah, resah, nekad, dan memberontak kepada siapa saja yang berusaha untuk menghalangi keinginan mereka. Di pihak lain, anak-anak ingin membuktikan bahwa dirinya mampu memberikan sesuatu yang lebih bagi lingkungan sekitarnya. Orang tua yang menyadari pentingnya pendidikan iman bagi anak-anak mengalami banyak hambatan untuk dapat melaksanakan tugas mendidiknya. Hambatan-hambatan itu dapat berasal dari dalam keluarga maupun dari luar keluarga.

1. Faktor Yang Berasal Dari Dalam Diri Orang Tua

(66)

iman anak dalam keluarga Katolik dapat terlaksana dengan baik jika orang tua memiliki bekal pengetahuan iman yang cukup.

Kurangnya kesadaran para orang tua akan tugasnya sebagi pendidik iman dalam keluarga Katolik disebabkan oleh terlalu besarnya kepercayaan mereka kepada para guru di sekolah dan kepada para pemimpin Gereja di paroki. Mereka mengira, anak-anak mereka akan menjadi baik asal saja anak-anak itu belajar di sekolah katolik dan cukup aktif di lingkungan Katolik, entah di tingkat wilayah ataupun di tingkat paroki. Banyak orang tua berpikir, asal sudah mengirimkan anak ke Bina Iman dan sekolah Katolik, maka tugasnya selesai. Pemikiran sedemikian sungguh keliru. Guru-guru di sekolah ataupun guru Bina Iman hanyalah bersifat membantu orang tua.

2. Faktor Yang Berasal Dari Luar Diri Orang Tua

(67)
(68)

BAB III

PENELITIAN TENTANG PEMAHAMAN DAN USAHA ORANG TUA DALAM MELAKSANAKAN TUGASNYA

SEBAGAI PENDIDIK IMAN ANAK DALAM KELUARGA KATOLIK DI LINGKUNGAN SANTO PIUS X KWEDEN PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN BANTUL

Pada bab III ini diuraikan mengenai gambaran umum Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul, gambaran umum Lingkungan Santo Pius X Kweden, metodologi penelitian, laporan hasil penelitian, pembahasan hasil penelitian, dan kesimpulan hasil penelitian.

A. GAMBARAN UMUM PAROKI SANTO YAKOBUS KLODRAN

BANTUL

Bagian ini menguraikan tentang gambaran umum Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul yang meliputi sejarah singkat, letak geografis, situasi umat Katolik, dan kegiatan-kegiatan pastoral yang ada di Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul.

1. Sejarah Singkat Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul

Dalam menguraikan sejarah paroki, penulis menggunakan sumber dari Buku Syukur Atas Karunia Iman 75 tahun Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul karena

(69)

buku ini berisi tentang awal berdirinya paroki hingga sekarang. Pada tanggal 11 Juni 1919, seorang bayi dengan “baptis pertolongan” dipermandikan oleh seorang perempuan bernama Theresia Soertini. Bayi laki-laki itu bernama Antonius Katmin. Akan tetapi, bayi itu hanya berumur satu hari, sebab setelah dibaptis, ia meninggal. Siapa orang tua bayi itu tidak ditulis dalam buku Baptis. Bayi inilah yang tercatat pertama kali dalam Buku Baptis I halaman 01 Nomor 01. Pada waktu itu, wilayah Bantul dilayani dari Kotabaru Yogyakarta. Selama tahun 1919, hanya ada baptisan seorang bayi ini. Baru pada tahun 1920 ada permandian anak-anak dari Pajangan Bantul oleh Rama H. van Driessche, SJ., yakni empat anak-anak dari dua keluarga. Empat anak ini kakak beradik. Mereka dipermandikan tanggal 22 Juni 1920. Nama keempat anak yang tertulis dalam Buku Baptis I halaman 01-02 adalah:

1. R. Godfried Soengkono, umur 6 th 2. R. Stephanus Sisi Soekemi, umur 8 tahun 3. Rr. Maria Soekesi, umur 6 tahun

4. Rr. Mariana Soekesi, umur 3 tahun

(70)

pada tahun 1934, ditetapkan sebagai tahun kelahiran Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul.

Tidak ada catatan mengenai bangunan Gedung Gereja Bantul sekarang ini. Gereja lama bekas rumah dinas seorang administratur pabrik gula malah dicatat secara jelas tanggal dan pemberkatannya, yaitu Minggu tanggal 5 April 1936. Namun gedung gereja itu sudah hancur pada zaman Jepang. Yang dapat dijadikan petunjuk ialah bahwa gedung gereja Bantul yang sekarang ini dibangun oleh Romo Y. Van Leengoed, SJ dan dilanjutkan oleh Romo C. Rommens, SJ, ketika beliau melayani Bantul dari Kotabaru, Yogyakarta. Romo Y. Van Leengoed, SJ tercatat dalam Buku Baptis melayani Bantul sejak awal Januari 1951 sampai dengan pertengahan 1954 dan Romo C Rommens, SJ melayani Bantul sejak pertengahan 1954 sampai dengan Paskah 1958. Menurut para sesepuh Paroki Bantul antara lain Bp Yogautama dari lingkungan Mathias Geblak dan Bp F. Widyahadimartaya dari lingkungan Lukas Cepit, menyebutkan bahwa gedung gereja dibangun oleh Romo Y. Van Leengoed, SJ namun belum selesai, dan dilanjutkan oleh Romo C. Rommens, SJ sebagaimana bentuk gedung gereja tersebut ada sampai sekarang. Maka pada pertengahan tahun 1954. saat pergantian tugas dari Romo Y. Van Leengoed, SJ ke Romo C. Rommens, SJ., kita sebut sebagai saat berdirinya gedung gereja Bantul.

(71)

gereja. Kini kegiatan peribadatan menempati gereja darurat yang baru selesai dibangun. Seluruh bangunan gereja darurat terbuat dari bambu. Daya tampung gereja darurat ini kurang lebih 500 orang.

Menurut cerita dari Romo Anton Mulder, SJ yang cukup lama telah berkarya di Bantul, yakni pertengahan 1958 sampai dengan akhir 1967, nama Santo Yakobus itu munculnya demikian: Pada pertengahan 1954 bulan-bulan terakhir pelayanan Rama Y. van Leengoed, SJ ke Bantul, Bapak Uskup Agung Semarang Mgr. Alb. Soegijapranata, SJ datang di Kotabaru. Pada waktu itu, Romo Y. van Leengoed, SJ memohon kepada Bapak Uskup untuk berkenan “rawuh” ke Bantul untuk memberkati gedung gereja. Bapak Uskup berkenan memenuhi permohonan Romo van Leengoed, SJ.

Pada saat Mgr. Alb. Soegijapranata memberkati gedung gereja baru ini, dalam Misa Kudus di altar bertanya kepada Romo Y. Van Leengoed, SJ : “Siapa pelindung gereja ini?” Romo Y. Van Leengoed, SJ bingung. Lalu Bapak Uskup bertanya lagi: “pelindungmu sendiri siapa?” Romo Y. Van Leengoed, SJ menjawab: “Yakobus (Mayor/Tua)”. Dari sinilah kemudian Bapak Uskup memberi nama pelindung gereja ini “YAKOBUS”, yang tak lain adalah nama pelindung dari Romo Y. Van Leengoed, SJ sendiri.

(72)

Romo. A. Adi Wardaya, Pr (31 Agustus 1969-10 Januari 1975), Romo Ignatius Maria Haryadi, Pr (1 Juli 1975-30 November 1975), Romo M. Suharso, Pr (1 Juli 30 November 1975), Romo Laurentius Wiryadarmaja, Pr (20 Januari 1975-19 Desember 1975-1977), Romo Antonius Wignyomartoyo, Pr (4 Februari 1975-1978-1 Januari 1979), Romo Yohanes Bardiyanto, Pr (12 Februari 1979-29 Januari 1982), Romo FX. Sumantara, Pr (26 Februari 1982-15 April 1990), Romo Venantius Mujiono Kartasudarma, Pr (28 Februari1990-1 Agustus 1998), Romo Nobertus Sukarno Siwi, Pr (1 Agustus 1998-1 Agustus 2003), Romo Yohanes Sunyoto, Pr (1 Agustus 1998-15 Agustus 2001), Romo Yohanes Iswahyudi, Pr (1 Agustus 2001-1 Agustus 2004), Romo Maternus Minarto, Pr (1 Agustus 2003- Awal 2011), Romo Adolfus Suratmo, Pr (18 Oktober 2004-5 Agustus 2007), Romo Patricius Hartono, Pr (5 Agustus 2007-sekarang), dan Romo FX. Suhanto, Pr (Awal 2011-sekarang).

2. Letak Geografis Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul

(73)

dan dua stasi Wilayah Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul ini memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut:

a. Sebelah utara : Paroki Pugeran b. Sebelah selatan : Paroki Ganjuran

c. Sebelah timur : Paroki Administratif Bandung d. Sebelah barat : Paroki Sedayu dan Wates

Karena letaknya yang strategis, paroki ini sangat mudah dijangkau dengan berbagai macam kendaraan, seperti sepeda, sepeda motor, mobil, maupun angkutan umum.

3. Situasi Umat Katolik Di Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul

(74)

romo-romo yang berasal dari luar paroki. Hampir sebagian besar umat di paroki ini merupakan penduduk asli Bantul dan mereka bermata pencaharian sebagai wiraswasta, petani, buruh, guru (PNS), dan masih banyak lainnya. Pada umumnya, pendidikan umat paroki ini adalah SLTA/sederajat dan sarjana (S1).

4. Kegiatan-Kegiatan Yang Ada Di Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul Berdasarkan data dari Buku Syukur Atas Karunia Iman 75 tahun Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul, Paroki Santo Yakobus Klodran Bantul memiliki berbagai macam kelompok kegiatan yang dapat membantu pertumbuhan iman umat, seperti kelompok ibu-ibu paroki, pangruktiloyo, worosemedi Santa Monica, dan paguyuban lektor Bantul.

a. Kelompok Ibu-Ibu Paroki

Kegiatan dari kelompok ini bersifat pelayanan (diakonia). Pertemuan kelompok ini diadakan sebulan sekali. Kegiatan dari kelompok ini adalah menyediakan dahar romo, coffe morning, membersihkan alat misa, dan masih banyak lagi. Keanggotaan dari kelompok ini adalah 2-3 orang perwakilan dari setiap lingkungan. Keanggotaan kelompok ini hanya mencakup lingkungan di sekitar paroki saja, sedangkan stasi tidak termasuk di dalamnya.

b. Pangruktiloyo

Gambar

Tabel 1. Identitas Responden
Tabel 2. Pemahaman Orang Tua Tentang
Tabel 3. Pemahaman Orang Tua Tentang Keluarga Sebagai Komunitas Iman
Tabel 4. Pemahaman Orang Tua Tentang Tugas Orang Tua
+4

Referensi

Dokumen terkait