• Tidak ada hasil yang ditemukan

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN, CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

582

LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA FORMASI WARUKIN

BERDASARKAN ANALISIS PETROGRAFI ORGANIK DI DAERAH PARINGIN,

CEKUNGAN BARITO, KALIMANTAN SELATAN

D. A. P. Pratama*, D. H. Amijaya

Jurusan Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, Jl. Grafika 2, Yogyakarta 55283 * corresponding author: diyanadityapp@gmail.com

ABSTRAK

Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia. Formasi ini tersingkap dengan baik pada daerah Paringin, Cekungan Barito, Kalimantan Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan lingkungan pengendapan batubara pada daerah penelitian.

Berdasarkan hasil analisis petrografi organik, komposisi maseral daerah penelitian didominasi oleh kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok maseral humotelinit (43,4-72,6%). Kelompok maseral inertinit dan liptinit memiliki kandungan yang rendah berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%. Kandungan mineral pada batubara di daerah penelitian didominasi oleh mineral pirit (0,2-2,2%).

Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Hasil analisis ini menunjukkan batubara di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan nilai TPI dan GI yang relatif tinggi serta kesesuaian pola dan komposisi stratigrafi dengan karakteristik lingkungan pengendapan. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.

I.

PENDAHULUAN

Indonesia memiliki banyak kekayaan alam, salah satunya berupa kekayaan alam dalam bidang energi yaitu batubara. Batubara merupakan batuan sedimen yang mudah terbakar, berasal dari tumbuhan, dan mengalami proses kimia serta fisika sejak terendapkan yang menyebabkan terjadinya

penambahan kandungan karbon

(Sukandarrumidi, 1995). Persebaran batubara di Indonesia paling banyak dijumpai di pulau Sumatera dan Kalimantan.

Formasi Warukin merupakan salah satu formasi pembawa batubara yang penting di Indonesia. Formasi ini memiliki potensi batubara yang besar, hal ini telah terbukti dari proses penambangan yang telah dilakukan oleh PT. Adaro Indonesia terhitung sejak penambangan 1992 hingga per 31 Desember

2013 telah menghasilkan 4.932 juta ton batubara. Namun, potensi batubara yang tinggi pada Formasi Warukin tidak sebanding dengan penelitian mengenai batubara yang ada. Jumlah penelitian yang membahas mengenai Formasi Warukin khususnya pada kandungan batubaranya baik mengenai komposisi maseral, mineral, lingkungan pengendapan atau penelitian yang lainnya relatif sedikit. Berdasarkan hal tersebut diperlukan adanya penelitian-penelitian yang baru guna menambah pengetahuan mengenai formasi ini khususnya pada kandungan batubaranya.

Pada penelitian ini akan dibahas mengenai mengetahui komposisi maseral dan mineral serta tipe paleomire dan lingkungan pengendapan batubara berdasarkan analisa petrografi organik. Daerah penelitian berada

(2)

583 pada Formasi Warukin, bagian Timur Laut dari Cekungan Barito. Daerah ini termasuk ke dalam wilayah penambangan batubara PT. Adaro Indonesia, tepatnya pada Open Pit (Tambang Terbuka) Tutupan Utara.

II.

GEOLOGI REGIONAL DAERAH

PENELITIAN

Daerah penelitian terletak pada Cekungan Barito yang berada di sebelah Tenggara Kalimantan serta dibatasi oleh Pegunungan Meratus pada bagian Timur dan Sundaland pada bagian Barat. Pada bagian Utara terdapat Sesar Andang atau Barito-Kutei Cross Fault yang membatasi antara Cekungan Barito dan Cekungan Kutai (Kusuma dan Darin, 1989). Cekungan Barito memiliki bentuk yang asimetri yang terdiri dari foredeep pada zona frontal dari Pegunungan Meratus dan platform yang berbatasan dengan kerak Sundaland (Satyana dan Silitonga, 1994).

Secara umum struktur yang berkembang pada Cekungan Barito dapat terbagi menjadi 2 rezim tektonik (Patra Nusa Data, 2006). Rezim pertama berupa rezim transtensional yang menghasilkan sesar geser sinistral yang memiliki orientasi arah Barat Laut-Tenggara dan rezim kedua berupa rezim transpresional yang diikuti convergent up-lift, reaktivasi dan pembalikan dari struktur yang telah ada sebelumnya dan menghasilkan wrenching, lipatan serta patahan.

Formasi Warukin berumur Miosen dengan litologi penyusun berupa batulempung dengan sisipan batupasir dan batubara (Kusuma dan Darin, 1989). Lingkungan pengendapan formasi ini berupa lingkungan prodelta hingga upper delta plain. Formasi ini memiliki karakteristik batubara berupa lapisan yang tebal berkisar 0,5 m hingga >20 m, memiliki struktur perlapisan yang baik, lunak dan memiliki nilai kalori < 6000 kal/g (Darlan dkk, 1999).

III.

DATA

DAN

METODE

PENELITIAN

Pada penelitian ini menggunakan dua data yaitu data primer berupa sampel batubara dengan jumlah sampel sebanyak 11 sampel dan data sekunder berupa hasil pengukuran stratigrafi (Dearga, 2015).

Interpretasi lingkungan pengendapan batubara dilakukan berdasar atas analisis petrografi organik dan didukung dengan data analisis stratigrafi yang ada. Analisis petrografi organik terdiri atas analisis komposisi maseral dan mineral, analisis TPI dan GI serta GWI dan VI. Analisis stratigrafi dilakukan dengan membagi hasil pengukuran stratigrafi menjadi beberapa fasies berdasarkan atas geometri, litologi, dan struktur sedimen.

IV.

ANALISIS STRATIGRAFI

Berdasarkan atas ciri-ciri fisik yang teramati stratigrafi daerah penelitian (Gambar 1) dapat dibagi menjadi 9 fasies yaitu:

a. Fasies Batubara Serpihan; fasies ini memiliki karakteristik berupa warna hitam kecoklat-coklatan, pelapukan sedang, kusam, ukuran butir lempung, pecahan tidak rata, cerak coklat, struktur laminasi, komposisi berupa material karbon dan material sedimen berukuran lempung. Ketebalan fasies ini berkisar 0,3-1 m.

b. Fasies Serpih Berlaminasi; fasies ini memiliki karakteristik berupa warna abu-abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur laminasi, komposisi berupa kuarsa, material sedimen berukuran lanau-lempung. Ketebalan fasies ini berkisar antara 2,5-40 m.

c. Fasies Batulempung Karbonan Masif; fasies ini memiliki karakteristik warna abu-abu kehitam-hitaman, memiliki ukuran butir lempung, struktur masif, dan komposisi berupa material sedimen berukuran lempung dan material karbon serta terdapat konkresi oksida. Fasies ini memiliki ketebalan 4 m.

(3)

584 d. Fasies Batubara ; fasies batubara memiliki

ketebalan 0,5-13 m dengan karakteristik berupa warna hitam, pelapukan sedang, litotipe dull-banded dull, pecahan tidak rata, cerat hitam, memiliki retakan (cleat) yang intensif yang terkadang terisi oksida dan pirit, komposisi tersusun atas material karbon, sulfida, resin, batubara tersilisifikasi dan oksida. Pada beberapa lapisan (seam) batubara dijumpai kandungan batubara serpihan (shaly coal) dan sisipan (parting) batupasir.

e. Fasies Batupasir Bergradasi Normal; fasies ini tersusun atas litologi berupa batupasir dengan karakteristik berupa warna putih ke coklat-coklatan, pelapukan sedang, ukuran butir pasir halus hingga pasir sedang, subangular, high sphericity, grain supported, sortasi baik, struktur sedimen berupa trough cross bed pada bagian bawah dan tangential cross bed pada bagian atas serta terdapat struktur berupa ripple dan gradasi normal, perlapisan bergelombang. Komposisi berupa kuarsa, feldspar, litik, dan karbon. Fasies ini memiliki ketebalan berkisar 5,5-27 m.

f. Fasies Perselingan Serpih dan Batupasir; fasies ini tersusun atas litologi berupa perselingan serpih dan batupasir. Litologi serpih memiliki karakteristik warna abu-abu, ukuran butir lanau-lempung, struktur laminasi, komposisi berupa kuarsa, material sedimen berukuran lanau-lempung. Batupasir dicirikan warna abu-abu, ukuran butir pasir halus, struktur laminasi, komposisi berupa material sedimen berukuran pasir halus. Fasies ini memiliki ketebalan berkisar 9-16 m. g. Fasies Batulanau Masif; fasies ini memiliki

karakteristik berupa warna abu-abu kehitam-hitaman, memiliki ukuran butir lanau, struktur masif, dan komposisi berupa material sedimen berukuran lanau. Fasies ini memiliki ketebalan 2,5 m.

h. Fasies Batupasir Berlaminasi; fasies batupasir masif memiliki ketebalan 1-1,5

m dengan karakteristik berupa warna putih kecoklat-coklatan dengan ukuran butir medium hingga pasir halus, sub angular, high sphericity, grain supported, sortasi baik, struktur sedimen berupa laminasi dan flaser, komposisi berupa kuarsa, feldspar, litik, karbon, batulanau. i. Fasies Batupasir Bergradasi Terbalik;

fasies ini tersusun atas litologi berupa batupasir dengan ketebalan berkisar 0,8-1,3 m. Litologi batupasir memiliki karakterstik berwarna putih kecoklat-coklatan, memiliki ukuran butir medium hingga pasir halus, grain supported, sortasi baik, struktur sedimen gradasi terbalik dan laminasi, komposisi berupa kuarsa, plagioklas, dan material karbonat pada bagian atas.

Interpretasi lingkungan pengendapan berdasarkan analisis stratigrafi dilakukan dengan membandingkan fasies-fasies batuan yang telah dibuat dengan fasies model yang telah ada sebelumnya. Model pembanding yang digunakan adalah model lingkungan pengendapan menurut Horne dkk (1978). Secara keseluruhan apabila diamati terdapat 2 pola pengendapan, yaitu pola menghalus ke atas atau gradasi normal (Gambar 2a) dan pola mengkasar ke atas atau gradasi terbalik (Gambar 2b). Hasil pembandingan menunjukkan lingkungan pengendapan fasies batuan pada daerah penelitian terdiri dari lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain (pada sublingkungan channel, levee, rawa gambut, interdistributary bay, dan crevasse splay).

V.

KOMPOSISI

MASERAL

DAN

MINERAL BATUBARA

Komposisi maseral batubara pada daerah penelitian terdiri atas maseral huminit 52,2-79,8%, kandungan inertinit 2,8-18,8%, dan kandungan liptinit 9,8-43,6% (Tabel 1). Hasil analisis maseral sampel batubara daerah penelitian menunjukkan kandungan kelompok maseral huminit yang tinggi dengan komposisi subkelompok maseral humotelinit yang

(4)

585 dominan. Kandungan humotelinit yang tinggi menunjukkan bahwa batubara di daerah penelitian dominan terbentuk dari jenis tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan kandungan kelompok maseral liptinit yang rendah yang menandakan kandungan tumbuhan perdu yang rendah atau tingginya kandungan tumbuhan kayu. Menurut Diessel (1992) kandungan humotelinit yang tinggi dapat juga sebagai indikasi tingginya derajat pengawetan dari jaringan sel dalam kondisi basah, pH rendah pada forested peatland atau forested wet raised bogs. Kondisi lingkungan yang basah atau lembab didukung dengan kandungan kelompok maseral inertinit yang relatif rendah.

Kandungan kelompok maseral inertinit yang relatif rendah menunjukkan lingkungan pengendapan gambut yang relatif basah dengan tingkat oksidasi yang rendah sehingga dapat diperkirakan tingkat kelembaban gambut pada saat terbentuk di daerah penelitian relatif terjaga dengan baik. Kandungan maseral huminit yang tinggi juga menunjukkan batubara berasal dari lingkungan gambut wet forest swamp (Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan mengindikasikan lingkungan pengendapan berupa upper delta plain (Diessel, 1992). Komposisi mineral batubara daerah penelitian terdiri dari mineral pirit singenetik atau framboidal, pirit epigenetik, mineral lempung, agregat mineral, dan kalsit. Pirit singenetik atau pirit framboidal merupakan mineral yang penting untuk interpretasi lingkungan pengendapan. Mineral ini mencirikan adanya pengaruh air laut selama proses pembentukan gambut berlangsung. Kandungan pirit singenetik atau framboidal ini dijumpai pada setiap sampel batubara hal ini menunjukkan bahwa lingkungan pembentukan gambut pada setiap sampel berada pada daerah yang terpengaruh oleh transgresi air laut.

VI.

ANALISIS TPI DAN GI

Perhitungan nilai TPI dan GI setiap sampel batubara pada daerah penelitian dilakukan dengan menggunakan persamaan perhitungan nilai TPI dan GI untuk batubara peringkat rendah (brown coal) yang dibuat oleh Amijaya dan Littke (2005). Persamaan ini dipilih mengingat peringkat batubara pada daerah penelitian termasuk batubara peringkat rendah.

Hasil perhitungan nilai TPI dan GI setiap sampel batubara tersaji pada Tabel 2. Berdasarkan hasil perhitungan nilai TPI setiap sampel batubara memiliki nilai yang bervariasi berkisar antara 3,5-14. Setiap sampel batubara yang ada secara keseluruhan mempunyai nilai TPI>1, nilai ini menunjukkan secara keseluruhan material pembentuk batubara dominan berasal dari tumbuhan kayu dibandingkan dengan tumbuhan perdu, sehingga struktur jaringan lebih banyak terawetkan dengan baik. Hal ini didukung dengan kandungan subkelompok humotelinit yang lebih besar dibandingkan dengan subkelompok maseral humodetrinit dan humokolinit serta kandungan kelompok maseral liptinit yang rendah yang menunjukkan kandungan tumbuhan kayu yang lebih dominan sebagai pembentuk batubara. Untuk nilai GI berdasarkan hasil perhitungan menunjukkan nilai yang bervariasi berkisar antara 3,56-18,64. Nilai GI yang cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi pada lahan gambut tidak dominan. Lahan gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan dengan kandungan kelompok maseral inertinit yang rendah.

Interpretasi lingkungan pengendapan setiap sampel batubara dilakukan dengan memplotkan nilai TPI dan GI pada diagram Lamberson dkk (1991, dengan modifikasi). Diagram ini digunakan karena lebih sesuai untuk batubara dengan berbagai peringkat. Hasil pengeplotan dapat dilihat pada Gambar 3.

(5)

586 Hasil plot nilai TPI dan GI menunjukkan lingkungan pengendapan batubara daerah penelitian relatif seragam berada pada lingkungan atau zona telmatik dengan tipe mire berupa wet forest swamp. Zona telmatik menurut Diessel (1992) merupakan zona atau lingkungan dengan level air pada lahan gambut atau mire dikontrol oleh sea level atau variasi permukaan air. Pada zona ini akan menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh insitu ditunjukkan dengan nilai TPI dan GI yang relatif tinggi. Pada zona ini tingkat kerapatan pepohonan bertambah. Hal ini didukung dengan kandungan subkelompok maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan analisis kandungan maseral.

Wet forest swamp dicirikan dengan pengendapan batubara yang relatif lembab atau basah atau selalu tergenang oleh air dengan kondisi pembentukan batubara yang berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh tumbuhan kayu. Lingkungan gambut wet forest swamp dicirikan dengan kandungan kelompok maseral huminit yang tinggi (Teichmuller and Teichmuller, 1982) dan memiliki kandungan huminit atau vitrinit berstruktur yang lebih besar dibandingkan dengan huminit atau vitrinit tidak berstruktur dan kandungan huminit atau vitrinit lebih besar dari inertinit (Lamberson, 1991).

VII.

ANALISIS GWI DAN VI

Analisis groundwater index (GWI) dan vegetation index (VI) merupakan metode yang digunakan untuk mengetahui evolusi lingkungan pengendapan batubara dan digunakan untuk menunjukkan karakteristik lahan gambut atau mire pembentukan batubara. Perhitungan nilai GWI dan VI menggunakan persamaan yang dibuat oleh Amijaya dan Littke (2005) untuk batubara peringkat rendah.

Hasil perhitungan nilai GWI dan VI tersaji pada Tabel 3. Hasil perhitungan ini selanjutnya diplot pada diagram GWI dan VI menurut

Calder, dkk (1991, dengan modifikasi). Berdasarkan hasil perhitungan sampel batubara daerah penelitian memiliki nilai GWI yang rendah dan nilai VI yang rendah sampai tinggi. Nilai GWI setiap sampel batubara menunjukkan nilai < 0,5. Menurut Calder, dkk (1991) nilai GWI kurang dari 0,5 mengindikasikan lingkungan purba didominasi oleh kondisi telmatik. Nilai GWI yang rendah ini juga menunjukkan kondisi lingkungan bog dan bog forest ombrotropik (Gambar 4). Lingkungan ini dicirikan dengan level air yang berada di bawah permukaan gambut dan gambut memperoleh nutrisi atau makanan dari air hujan. Gambut yang terbentuk pada lingkungan ini memiliki suplai makanan yang rendah (oligotropik) dan terbentuk dalam kondisi asam.

Nilai VI sampel batubara daerah penelitian menunjukkan nilai yang relatif beragam yaitu berkisar 1,595-6,413 (Tabel 3). Nilai VI merupakan suatu nilai perbandingan yang menunjukkan tipe mire dari suatu tipe vegetasi tertentu, yang merupakan hasil dari perbedaan maseral pada suatu afinitas hutan. Menurut Calder, dkk (1991) nilai VI kurang dari 3 menunjukkan tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut berasal dari herbaceous atau marginal aquatic, sedangkan untuk nilai VI lebih besar dari 3 menunjukkan vegetasi pengisi lahan gambut cenderung berupa tumbuhan kayu atau forest. Kandungan tumbuhan kayu ini dicirikan dengan kandungan subkelompok maseral humotelinit yang tinggi. Berdasarkan hal tersebut sampel batubara pada daerah penelitian terbagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok pertama berupa kelompok yang memiliki nilai VI kurang dari 3. Kelompok ini terdiri dari sampel P5 Coal, P10 Coal, dan P11 Coal yang memiliki kisaran nilai VI antara 1,595-2,651. Rendahnya kandungan VI ini menunjukkan tumbuhan atau vegetasi pengisi lahan gambut pada sampel P5 coal, P10 Coal dan P11 Coal dominan berasal dari herbaceous atau marginal aquatic.

(6)

587 Kelompok kedua terdiri dari sampel P1 Coal, P4 Coal, P6 1/1 Coal, P6 1/2 Coal, P6 2/1 Coal, P6 2/2 Coal, P6 2/3 Coal, dan P9 Coal. Kelompok kedua ini dicirikan dengan nilai VI yang lebih besar dari 3. Hal ini menunjukkan bahwa tumbuhan atau vegetasi pada sampel kelompok ini dominan berupa vegetasi hutan atau tumbuhan kayu. Hal ini didukung dengan kandungan subkelompok maseral humotelinit yang tinggi berdasarkan hasil analisis kandungan maseral yang telah dilakukan. Nilai VI yang tinggi menunjukkan bahwa proses pengambutan berlangsung cepat sehingga proses humifikasi berlangsung tidak sempurna dan menghasilkan pengawetan jaringan tumbuhan yang baik.

VIII.

INTERPRETASI PALEOMIRE &

LINGKUNGAN

PENGENDAPAN

BATUBARA

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan diinterpretasikan batubara di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Hal ini ditunjukkan dengan karakteristik nilai TPI dan GI relatif tinggi didukung dengan pola dan komposisi stratigrafi yang sesuai dengan karakteristik lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Nilai TPI yang tinggi (>1) menunjukkan komposisi penyusun batubara didominasi oleh tumbuhan kayu, hal ini didukung oleh kandungan subkelompok maseral humotelinit yang tinggi. Nilai GI yang cukup tinggi mengindikasikan proses oksidasi pada lahan gambut tidak dominan. Lahan gambut relatif basah atau lembab ditunjukkan dengan kandungan kelompok maseral inertinit yang rendah. Selain itu lingkungan ini dicirikan dengan adanya pengaruh transgresi air laut yang ditunjukkan oleh adanya kandungan mineral pirit singenetik atau framboidal pada komposisi batubara.

Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Wet forest swamp dicirikan dengan kondisi pengendapan batubara yang relatif

lembab atau basah atau selalu tergenang oleh air dengan kondisi pembentukan batubara yang berkembang dengan baik. Pada lingkungan ini tumbuhan pengisi gambut didominasi oleh tumbuhan kayu. Selain itu gambut pembentuk batubara bersifat ombrotropik yaitu suatu keadaan level air berada di bawah permukaan gambut dan gambut memperoleh nutrisi atau makanan dari air hujan. Kondisi lahan gambut relatif basah atau lembab yang ditunjukkan rendahnya kandungan kelompok mineral inertinit. Komposisi vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau forest dan terdapat kandungan tumbuhan herbaceous atau marginal aquatic yang rendah.

IX.

KESIMPULAN

Berdasarkan atas hasil penelitian yang telah dilakukan dapat ditarik beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Komposisi maseral pada daerah penelitian didominasi oleh kelompok maseral huminit (52,2-79,8%) dengan kandungan paling banyak berupa subkelompok maseral humotelinit (43,4-72,6%). Untuk kelompok maseral inertinit dan liptinit pada daerah penelitian memiliki kandungan berkisar 2,8-18,8% dan 9,8-43,6%.

2. Komposisi mineral berupa mineral pirit (pirit singenetik atau framboidal dan pirit epigenetik) serta terdapat kandungan mineral lempung, agregat mineral, dan kalsit dalam jumlah yang rendah.

3. Batubara di daerah penelitian terendapkan pada lingkungan telmatik dengan fasies lingkungan pengendapan berupa lingkungan transisi lower delta plain dan upper delta plain. Tipe atau jenis paleomire berupa wet forest swamp. Gambut pembentuk batubara daerah penelitian bersifat ombrotropik dengan kondisi relatif basah atau lembab. Komposisi vegetasi lahan gambut didominasi oleh tumbuhan kayu atau

(7)

588 forest dan terdapat kandungan tumbuhan herbaceous atau marginal aquatic yang

rendah.

DAFTAR PUSTAKA

Amijaya, H., Littke, R., 2005. Microfasies and Depositional Environment of Tertiary Tanjung Enim Low Rank Coal, South Sumatra Basin, Indonesia. International Journal of Coal Geology 61, p. 197-221. Calder, J.H., Gibling, M.R., Mukopadhyay, P.K., 1991. Peat formation in a Westphalian B piedmont setting, Cumberland Basin, Nova Scotia: implications for the maceral-based interpretation of rheotrohic and raised paleo-mires: Bulletin de la Socie´te´ Ge´ologique de France 162/2, p. 283-298. Darlan, D., Zuraida, R., Purwanto, C., Sulistyani, R., Setyabudhi, A., Masduki, A., 1999. Studi Regional Cekungan Batubara Wilayah Pesisir Tanah Laut-Kotabaru Kalimantan Selatan. Bandung; Pusat Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL). p. (20-1) – (20-10).

Dearga, A., 2015, Lingkungan Pengendapan Formasi Warukin Bagian Atas Daerah Tutupan Utara & Paringin, Kabupaten Tabalong & Hulu Sungai Utara Provinsi Kalimantan Selatan (Skripsi: in prep), Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Diessel, C.F.K., 1992. Coal-bearing Depositional Systems. Springer Verlag. Berlin. 721 p.

Horne, J.C., Ferm, J.C., Caruccio, F.T., Baganz, B.P., 1978. Depositional Models in Coal Exploration and Mine Planning in Appalachian Region; In American Association of Petroleum Geologists Bulletin, 62 (12). p. 2379-2411.

Kusuma, I., Darin, T., 1989. The Hydrocarbon Potential of the Lower Tanjung Formation, Barito Basin, Kalimantan Selatan, in Proceedings of IPA 18th, Annual Convention, p. 107-138.

Lamberson, M.N., Bustin, R.M., Kalkreuth, W. 1991. Lithotype (maceral) composition and variation as correlated with paleowetland environments, Gates Formations, Northeastern British Columbia. Canada; International Journal of Coal Geology 18. p. 87–124.

Patra Nusa Data, 2006. Indonesia Basins Summaries, Jakarta: PT. Patra Nusa Data, The Gateway to Petroleum Invesment In Indonesia. 466 p.

Satyana, A.H., Silitonga, P.D., 1994. Tectonic reversal in East Barito Basin, South Kalimantan: consideration of the types of inversion structures and petroleum system significance: in Proceedings of the IPA 23rd Annual Convention. p. 57-74.

Sukandarrumidi., 1995. Batubara dan Gambu. Yogyakarta; Gadjah Mada University Press, 150 p.

Teichmüller, M., Teichmüller, R., 1982. Fundamental of coal petrology. In:Stach E, Mackowsky, M-T., Teichmüller, M., Taylor, G.H., Chandra, D., Teichmüller, R., (eds) Stach’s textbook of coal petrology, 3rd edition. Gebrüder Borntraeger. Berlin, 535p.

(8)

589

TABEL

Tabel 1. Komposisi petrografi sampel batubara daerah penelitian

Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai TPI Nilai GI 1. 2. 3. 4. P1 Coal P4 Coal P5 Coal P6 1/1 Coal 8,87 8,92 3,5 14 3,56 4,03 4,66 4,6

(9)

590 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. P6 1/2 Coal P6 2/1 Coal P6 2/2 Coal P6 2/3 Coal P9 Coal P10 Coal P11 Coal 10,32 5,82 3,72 8,78 3,63 - 3,79 10,55 3,74 4,42 3,77 5,45 18,64 4,38

Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian

No. Nomor Sampel Nilai GWI Nilai VI 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. P1 Coal P4 Coal P5 Coal P6 1/1 Coal P6 1/2 Coal P6 2/1 Coal P6 2/2 Coal P6 2/3 Coal P9 Coal P10 Coal P11 Coal 0,033 0,042 0,032 0,050 0,013 0,027 0,141 0,063 0,003 0,027 0,028 3,160 6,413 2,537 6,367 4,691 4,477 3,815 5,739 3,232 1,595 2,651

(10)

591

GAMBAR

(11)

592

Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi lower delta plain dan upper delta plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian. (A) Pola menghalus ke atas; (B) Pola mengkasar ke atas.

(12)

593

Gambar 3. Hasil plot nilai TPI dan GI sampel batubara daerah penelitian (Lamberson dkk, 1991 dengan modifikasi)

Gambar 4. Hasil plot nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian (Calder dkk, 1991 dengan modifikasi)

Gambar

Tabel 2. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
Tabel 3. Hasil perhitungan nilai GWI dan VI sampel batubara daerah penelitian
Gambar 1. Kolom stratigrafi daerah penelitian (Dearga, 2015 dengan modifikasi).
Gambar 2. Perbandingan model lingkungan pengendapan transisi  lower delta plain dan upper delta  plain menurut Horne dkk (1978) dengan stratigrafi daerah penelitian
+2

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan untuk perhitungan bobot menggunakan metode Pairwise Comparison ini diperoleh dari hasil pengisian kuisioner oleh beberapa pakar yang terkait

Normalnya, sendi dan tendon dilumasi oleh cairan khusus yang terkunci di dalam seuah kompartemen kecil. Kadang, akiat arthritis, cedera atau tanpa sea yang jelas,

Herpes simpleks adalah infeksi akut yang disebabkan oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I atau tipe II yang ditandai dengan adanya vesikel yang berkelompok di atas kulit yang sembab

Presiden Erdogan dalam rangka reformasi DK PBB menyatakan berulang “Dunia Lebih Besar dari Lima (Negara)” dimana Turki menghendaki bahwa lima anggota DK PBB tidak lebih

Adapun permasalahan dalam skripsi ini adalah apakah kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum DPR-DPRD Provinsi Jawa Barat sesuai

Pemusnahan psikotropika dilakukan bila berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan yang berlaku dan atau tidak dapat digunakan

Pewarnaan harmonis graf sederhana G adalah pewarnaan titik sedemikian hingga setiap pasang warna muncul bersama paling banyak pada satu sisi.. Dan bilangan

Berdasarkan hasil penelitian maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa pada kedua subjek terdapat gambaran kebahagiaan yaitu tenang dalam menjalani kehidupannya yang terhindar dari