• Tidak ada hasil yang ditemukan

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA DI KECAMATAN DANAU PANGGANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

492

DINAMIKA POPULAR SIPUT LYMNAEA RUBIGINOSA

DAN KEJADIAN FASCIOLOSIS PADA KERBAU RAWA

DI KECAMATAN DANAU PANGGANG

Kate kunci : Lymnaea rubiginosa, fasciolosis, kerbau

Seminar Nasionai Peternakan dan Veleriner 2000

SUHARDONO, Z. KOSASIH,danSuDRAIAT

Balai Penelitian Veteriner

Jalan R.E Martadinata 30, P.O. Box 151, Bogor 16114

ABSTRAK

Infeksi cacing Fasciola gigantica pada ternak erat kaitannya dengan tingginya populasi siput Lymnaea rubiginosa, induk semang antara cacing tersebut. Kejadian infeksi ini biasanya tinggi pada ternak yang dipelihara pada agro-ekosistim sawah tanaman padi. Namun adanya laporan kejadian fasciolosis pada kerbau rawa di Kalimantan Selatan yang mencapai 77% agsk beda dari fenomena yang ada, mengingat siput L. rubiginosa tidak dapat berkembang biak dengan baik pada habitat berair yang dalam seperti di rawa tersebut. Oleh karena itu telah dilakukan penelitian tentang dinamika populasi siput L. rubiginosa dan infeksinya dengan larva trematoda dalam siput tersebut, serta melakukan pemeriksaan ulang kejadian fasciolosis pada kerbau rawa dengan melakukan pemeriksaan feses terhadap adanya telur cacing hati. Sampel siput dan feses diambil setiap 6-8 minggu sekali selama setahun di daerah Kecamatan Danau Panggang, Kabuparten Hulu Sungai Utara, Kalsel. Hasil pemeriksaan sebanyak 752 sampel feses ternyata memang ada fluktuasi infeksi cacing hati antara 2,3% hingga 32,8% dengan rataan sebesar 20,1%. Sedang dari pemeriksaan sampel siput~ juga ditemukan fluktuasi tangkapan antara 0-40 siput, namun selama penelitian ini dilakukan tidak ditemukan satu siputpun yang terinfeksi oleh larva cacing Fgigantica ataupun trematoda lainnya. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa angka prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa di daerah tersebut hanya 20,1% tidak setinggi laporan terdahulu. Juga ada dugaan kuat bahwa infeksi baru cacing F. gigantica pada kerbau rawa tedadi sekitar bulan Mei.

PENDAHULUAN

Di Indonesia, kejadian fasciolosis yang disebabkan oleh Fasciola gigantica tersebar luas pada ternak ruminansia (KRANEVELD, 1924; EDNEY dan MUCHUS, 1962; SUHARDONO et al., 1988) dan kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh cacing hati ini diperkirakan tidak kurang dari Rp. 513 miliar setiap tahunnya(ANON, 1991a). HasiI survey terpadu antara Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah V, sub Balai Penelitian Veteriner dan Dinas Peternakan TUI kabupaten Hulu Sungai Utara

(ANON, 1991b) menemukan bahwa fasciolosis pada kerbau kalang di kecamatan Danau Panggang mencapai angka 77%, dimana populasi kerbau di daerah ini lebih dari 7.200 ekor dan merupakan populasi kerbau tertinggi di lahan rawa. Temuan fasciolosis pada kerbau rawa ini sangat menarik karena siput L. rubiginosa yang berperan sebagai induk semang antara cacing hati ini, tidak dapat berkembang-biak dengan baik pada habitat yang berair dalam (KENDALL, 1954; BORAY, 1973;

SCHILLHORN VAN VEEN, 1980; WIDJAJANTI, 1989 ; SUHARDONO dan COPEMAN, 2000), melainkan pada habitat yang berair bersih, mengalir lamban dsn dangkal serta teduh seperti pada habitat sawah tanaman padi. Sedang lahan rawa di kecamatan Danau Panggang relatif berair dalam, keruh kecoklatan, kualitas air di beberapa tempat kurang baik untuk konsumsi manusia (PUTU et al., 1993) clan banyak alur-alur sungai yang berarus cukup deras. Sedangkan siput L. rubiginosa merupakan satu-satunya spesies yang menjadi induk semang antara cacing F. gigantica di Indonesia (VAN BENTHEM JUTTING, 1956; MUKHLIS, 1985,BHALERAO, 1933). Hasil penelitian SUHARDONO et al. (1989) menyatakan bahwa untuk menimbulkan fasciolosis pada ternak di suatu daerah dengan

(2)

Seminar Nasional Pelernakan dan Veleriner 1000

tingkat prevalensi 50% ternyata infeksi larva F. gigantica pada siput L. rubiginosa hanya sebesar 0,07% dari 9000 siput yang diperiksa.

Infeksi cacing hati dapat terjadi karena ternak memakan larva infektif(metaserkaria) cacing hati yang menempel pada hijauan atau lewat air minum (BORAY, 1963 ; HODASi, 1972). Metaserkaria

diproduksi oleh siput L. rubiginosa dalam bentuk serkaria clan siput ini berperan sebagai pabrik yang memprodusi sejumlah besar serkaria tersebut. Berhubung fasciolosis merupakan penyakit lingkungan yakni sumber infeksi berada di sekeliling dimana ternak dipelihara, maka faktor-faktor untuk terjadi penularan cacing hati pada ternak harus saling berdekatan. Tiga komponen yang harus selalu ada di suatu lingkungan tertentu untuk terjadinya penularan penyakit ini adalah: agen infeksi (metaserkaria F. gigantica), ternak peka (kerbau) dan siput induk semang antara (L. rubiginosa). Dari laporan kejadian fasciolosis yang mencapai 77%(ANON, 1991 a) ini berarti intensitas penularan cukup tinggi. Tingginya intensitas penularan dapat terjadi antara lain karena rumput secara luas tercemar oleh metaserkaria atau habitat sangat sempit dan selalu ditinggali siput dan ternak secara bersamaan. Pencemaran oleh metaserkaria secara luas pada rumput di rawa terjadi karena jumlah siput L. rubiginosa yang terinfeksi larva cacing hati cukup tinggi, seperti hainya di suatu daerah irigasi dimana populasi siput selalu tinggi. Ternak clan siput tingggal dalarr. satu habitat yang sempit sehingga penularan (lewat rumput) berlangsung dengan cepat. Tingginya populasi siput dalam habitat sempit tersebut dapat terjadi karena siput terkonsentrasi di suatu tempat sebagai akibat iklim yang kurang menguntungkan di musim kemarau. Kedua kemungkinan di atas perlu dibuktikan lewat penelitian mana yang lebih berperan sebagai penyebab tingginya kejadian fasciolosis pada kerbau rawa.

Curah hujan

Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa

MATERI DAN METODE

Rawa di Kalimantan adalah rawa banjir, dimana selama musim penghujan sebagian daratan akan tertutup oleh air akibat hujan dan meluapnya air sungai. Untuk itu data curah hujan sangat diperlukan dalam penelitian ini untuk melihat naik turunnya air rawa. Data curah hujan bulanan diperoleh dari Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) kecamatan Danau Panggang. Data ini dipakai untuk memberikan gambaran yang lebih jelas tentang ketersediaa habitat basah untuk perkembang-biakan siput air, L. rubiginosa, dimana siput tersebut merupakan induk semang antara cacing F. gigantica.

Penelitian dinamika popualasi siput L. rubiginosa yang merupakan induk semang antara cacing F. gigantica dilakukan dengan cara mengkoleksi dan memeriksa siput. Disamping dinamika populasi siput, dalam pengamatan lapangan ini juga dilihat sebaran dan adanya infeksi larva F. gigantica pada siput. Sampel siput diambil dari 5-10 tempat dan masing-masing tempat diamati sekitar 5 titik pengamatan. Penelitian dilakukan di dua desa (Bararawa dan Sapala), Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Seiatan. Dengan menemukan siput yang terinfeksi oleh

larva F. gigantica maka daerah dimana siput dikumpulkan dapat dianggap sebagai daerah sumber penularan fasciolosis.

(3)

Kejadian infeksi cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau rawa

Untuk kegiatan ini dilakukan pengambilan spesimen feses kerbau baik dari kalang maupun langsung dari ternaknya. Sampel feses diperiksa untuk menemukan telur cacing hati, F. gigantica setelah sebelumnya diproses dengan cara pengenclapan. Setiap kunjungan ke lapangan, pengambilan sampel feses dilakukan pada 5-10 kalang di dua desa (Bararawa clan Sapala), clan dari masing-masing kalang diambil spesimen feses antara 5-20 buah.

Curah hujan

Rata-rata curah hujan per bulan selama 10 tateun terakhir antara tahun 1990-1999 dapat dilihat dalam Tabel l ., dengan rataan curah hujan sebesar 133,9 mm setiap bulannya, terenclah 32,7 mm (Agustus) clan tertinggi 252,8 mm (Desember). Bulan-bulan basah dengan curah hujan lebih dari 100 mm tetjadi antara Oktober-Mei, sedangkan Juni-September merupakan bulan kering. Pada bulan-bulan kering ini banyak rawa yang mengering menjadi daratan lagi. Pada waktu penelitian dilakukan, curah hujan tahun 1999 (l .895 mm) lebite tinggi dari rata-rata curah hujan 10 tahun terakhir (1 .606,6 mm), namun sejak bulan April curah hujannya suclah kurang dari 100 mm. Sehingga bulan keringnya berlangsung selama 6 bulan (April-September).

Tabel 1. Rata-rata curah hujan selama 10 tateun terakhir antara 1990-1999 di kecamatan Danau panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan

Dinamika populasi siput Lymnaea rubiginosa

Pada awal penelitian berlangsung naik (Januari s/d Maret 1999) keadaan air di rawa seclang pasang. Populasi siput L. rubiginosa amat sangat rendah (hanya ditemukan 4 siput/orang/jam). Rendahnya populasi siput ini mungkin berkaitan dengan volume air yang amat berlimpah (rawa sedang pasang) sehingga siput terbawa arus dan tersebar kemana-mana. Sedang untuk penetapan angka prevalensi infeksi larva F. gigantica pada siput cliperlukan jumlah siput yang banyak (minimal 1000 siput pada setiap pengamatan) (SUHARDONO et al., 1989), sehigga jumlah siput yang

clikumpulkan tidak cukup untuk penetapan prevalensi tersebut. Pada pemeriksaan siput untuk bulan-bulan Mei, Agustus clan Oktober 1999 ditemukan kurang dari 5 siput per orang jam, sedangkan pada bulan Juli dapat ditemukan hingga 40 siput. Tidak satupun siput hasil tangkapan ditemukan adanya infeksi larva cacing F. gigantica di dalamnya. Koleksi siput pada bulan Juli 1999 tersebut (pada saat air suclah surut, Curah hujan hampir mencapai titik terenclah Tabel 1) sehingga siput akan terkumpul di tempat-tempat yang rendah, cekungan-cekungan, atau pada alur-alur air yang arusnya tidak deras. Sedang pada puncak musim kemarau (Agustus) populasi siput sudah menurun lagi (tangkapan 0-5 494

Seminar Nasional Pelernakan clan Veteriner 2000

HASIL DAN PEMBAHASAN

Apr 1990-1999

Mei Jun Jul Ags Sep Bulan

Okt Nop Des Jan Feb Mar lumlah Curah hujan (mm) 147,5 117,5 44 54,4 32,7 42,1 109,6 183,6 252,8 230 156,7 226,4 1 .606,6 Had hujan 9,7 7,7 4,9 3,1 4,6 3,9 7,8 11,8 14,2 10,6 9,9 11,6 98,7

1999

Curah hujan (trum) 90 43 47 39 31 79 160 221 241 387 244 313 1 .895

(4)

Seminar Nasional Peternakan clan Veteriner 2000

siput per orang jam) hal ini berkaitan antara lain bahwa cekungan-cekungan sudah mulai mengering dan dipakai untuk kubangan kerbau, tanah mulai terbelah-belah yang menunjukkan kekeringan mencapai puncaknya sehingga walaupun masih ada hujan pada bulan ini, namun tidak cukup untuk membentuk genangan-genangan air.

Kejadian infeksi cacing Fasciola gigantica pada kerbau rawa

Berdasarkan pemeriksaan 752 sampel feses kerbau terhadap adanya telur cacing F. gigantica

(Tabel 2) secara keseluruhan tidak menunjukkan tingkat kejadian infeksi fasciolosis yang tinggi (angka kumulatifprevalensi 20,1 %) dan terlihat adanya fluktuasi prevalensi fasciolosis dari bulan ke bulan pengamatan yang berkisar antara 2,3 s/d 38,2%. Pada bulan Juli 1999 tidak dapat dilakukan pengambilan sampel feses karena kerbau berada di hujann, sehingga angka prevalensi fasciolosis tidak dapat diukur. Angka prevalensi tertinggi dalam penelitian ini (38,2%) tercatat pada bulan Maret 2000 clan bila dibandingkan dengan laporan hasil survai terpadu tahun 1990-1991 (ANON, 1991) di lokasi yang sama melaporkan kejadian fasciolosis mencapai 77% ternyata hanya setengahnya. Berdasarkan analisis curah hujan selarna 10 tahun terakhir (1990-1999) bahwa pola curah hujan normal sehingga dapat diasumsikan bahwa di daerah tersebut ticlak ada perubahan yang berarti dalam penularan penyakit. Untuk itu prevalensi fasciolosis dapat dikatakan juga ticlak mengalami perubahan yang berarti. Dengan demikian, perbedaan angka prevalensi infeksi cacing hati pada kerbau rawa ini dapat terjadi karena beberapa kemungkinan, antara lain: cara pengambilan sampel feses yang berbeda clan waktu (bulan) pengambilan feses yang tidak sama. Namun bila dilihat dari populasi siput L. rubiginosa yang sangat rendah dan tidak ditemukannya sumber infeksi dalam

penelitian ini maka diyakini bahwa prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa memang tidak tinggi. Hal ini didukung oleh penelitianSUHARDONOet al.(1989) yang melaporkan bahwa untuk menghasilkan tingkat kejadian fasciolosis yang tinggi (lebih dari 50%) pada ternak hanya diperlukan infeksi siput oleh larva F. gigantica sangat rendah (sekitar 0,07% dari 9000 siput yang diperiksa). Langkanya siput L. rubiginosa, bahkan pada saat air sudah surutpun (Juli 1999 tangkapan siput 40 per orang

jam) tidak ditemukan infeksi larva cacing F. giganticadi lokasi penelitian ini, demikian juga hasil tangkapan siput yang sangat rendah ikut mendukung rendahnya prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa.

Tabel 2. Hasil pemeriksaan feses terhadap telur cacing hatiFasciola giganticapada kerbau rawa antara bulan Januari 1999 s/d Maret 2000 di kecamatan Danau Panggang, Kabupaten HSU

Keterangan : N =jumlah feses kerbau yang diperiksa, % = persentase feses kerbau positif

Bulan Telur cacingFasciola giganticadalam feses

n (%) EPG rata-rata Kisaran EPG

Januari 1999 86 (2.3) 0,03 0-1 Februari 1999 75 (6,7) 0,05 0-1 Maret 1999 62 (14,5) 0,19 0-2 Mei 1999 80(10,0) 0,10 0-1 Juli 1999 0(0) - -Agustus 1999 18(16,7) 0,20 0-2 Oktober 1999 55(20,0) 1,30 0-53 Desember 1999 108 (16,7) 0,20 0-2 Januari2000 110 (31,8 0,90 0-33 Maret2000 157 (38,2) 0,53 0-11

(5)

1 . Rendahnya populasi siput Lymanea rubiginosa, induk semang antara cacing Fasciola gigantica di Indonesia, mengindikasikan rendahnya angka prevalensi infeksi cacing F. gigantica pada kerbau rawa di kecamatan Danau Panggang.

2. Angka prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa berdasarkan penemuan telur cacing dalam feses sebesar 20% dnn mulai naik pada awal musim penghujan.

496

Seminar Nasional Peternakandan Veteriner 2000

Dari data prevalensi fasciolosis pada kerbau rawa dalam penelitian ini terlihat bahwa pada pengambilan sampel bulan Januari dan Maret 2000 terjadi lonjakan lebih dari satu setengah kali lipat dari rata-rata revalensinya (20,1%). Kenaikan tingkat prevalensi tersebut berkaitan dengan adanya infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada ternak kerbau pada bulan-bulan sebelumnya. Cacing F. gigantica pada kerbau untuk tumbuh sejak masuk tubuh (tertelan) hingga menjadi dewasa memproduksi telur memerlukan waktu antara 22-32 minggu(WIEDOSARI,tidak dipublikasikan) yang

merupakan periode prepaten (PPP) cacing hati pada kerbau. Sehingga dapat disimpulkan bahwa angka prevalensi fasciolosis yang tinggi pada pengambilan sampel bulan Januari dan Maret 2000 tersebut, karena ternak mendapatkan infeksi baru sekitar bulan Mei 1999. Hal ini senada dengan hasil penelitian SUHARDONO(1997) pada sapi potong, dimana tingkat kejadian fasciolosis meningkat

sekitar 4 bulan (PPP cacing hati pada sapi) setelah infeksi baru. Hasil penelitian ini bila dibandingkan dengan hasil penelitian lain yang dilakukan SUHARDONodanKOSASIH (2000) dalam

menetapkan infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada kerbau rawa berdasarkan penemuan cacing muda ternyata memiliki kesamaan waktu.

KESIMPULAN DAN SARAN

Karena ada dugaan yang sangat kuat bahwa infeksi baru oleh cacing F. gigantica pada kerbau rawa di daerah ini terjadi pada bulan Mei, maka dugaan ini perlu dibuktikan sehingga penularan penyakit dapat dicegah.

DAFTAR PUSTAKA

ANoNYMOus . 1991a. Data ekonomi akibat penyakit hewan 1990. Direktorat Kesehatan Hewan, Direktorat

Jenderal Petemakan, Departemen Pertanian.

ANoNYMous. 1991b. Penelitian Penyakit pada kerbau rawa di kecamatan Danau Panggang, kabupatenHulu

Sungai Utara, Kalimantan Selatan. Penelitian bersama antara sub Balitvet Banjarbaru,BPPH wilayah V

dan Dinas Petemakan Dt. 1I kabupatenHuluSungai Utara.

BHALERAO, G.D. 1933. Preliminary note on the life-history of the common liver-fluke in India, Fasciola gigantica. Indian J. Anim. Sci. 3:120-121 .

BORAY, J.C. 1973 . Epidemiological control of fasciolosis and paramphistomosis in sheep and cattle. Proc.

No. 19 Coursefor Veterinarians (The J.D. Stewart Coursefor 1973) on Parasitology and Epidemiology).

The post graduate committee in veterinary science. The University ofSydney. 19:238-257. EDNEY, J.M. and A. Muctn,ts. 1962. Fascioliasis in indonesian Livestock. Veterinariae2:49.

HoDAsi,J.K.M. 1972. The output ofcercariae ofFasciola hepatica by Lymnaea truncatulaand the distribution ofmetacercarise on grass.Parasitology64:53-60.

KENDALL, S.B. 1954. Fascioliasis in Pakistan.Annals Tropical Medicine Parasitology48:307!313.

KRANEvELD,F.C. 1924. Bijdrage tot de therapie der distomatosis in Nederlandsch-Indie.Nederlandsch-Indie Bladen von Diereneskunde36:3-63.

(6)

Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner2000

SCHILLHGRN vAN VEEN, T.W. 1980 Fascioliasis (Fasciola gigantica) in West Africa: A review. Veterinary Bulletin 50:529-533 .

SuHARDONO. 1997. Epidemiology and Control of Fasciolosis by Fasciola gigantica in Ongole Cattle in West Java. PhD thesis. Biomediacal and Tropical Veterinary Science, James Cook University, Australia. SuHARDoNo, S. BACw, and K.S. WAHyuNING. 1989. Usaha pengendalian fascioliasis secara biologis. Warta

Penelitian Pengembangan Pertanian. 11 :6.

SUtARDONO and D.B. COPEMAN. 2000. Population dynamics of snail Lymnaea rubiginosa in rice fields and its infection with larvae oftrematodes in the subdistrict ofsurade-westjava. Jllmu Ternak Vet. (In press). SuHARDONO, S. WiDJAJANTI dan S. PARTouTomo. 1998. Strategi penanggulangan fasciolosis oleh fasciola

gigantica secara terpadu pada temak yang dipelihara di lahan pertanian dengan sistim irigasi intensif. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 Nopember 1997. hal. 122-135.

SuHARDONo dan Z. KosAsui. 2000. Infeksi baru Fasciola gigantica sebagai alat untuk menetapkan strategi pengendalian fasciolosis melalui pemberian flukisida pada kerbau rawa Di propinsi kalimantan selatan. Seminar Nasional dan Pameran teknologi peternakan dan Veteriner. Bogor, 17-19 September 2000. vAN BENTHw JLrrrrNG, W.S.S. 1956. Systematic studies on the non-marine molluscs of the Indo-Australian

archipelago. V. Critical revision of the Javanese fresh water gastropods. Treubia 23:454-461 .

WIDJAJANTi, S. 1989 Studies on the biology of Lymnaea rubiginosa . M.Sc thesis, Tropical Veterinary Science and Agriculture. James Cook University ofNorth Queensland, Townsville, Australia

Gambar

Tabel 1. Rata-rata curah hujan selama 10 tateun terakhir antara 1990-1999 di kecamatan Danau panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan
Tabel 2. Hasil pemeriksaan feses terhadap telur cacing hati Fasciola gigantica pada kerbau rawa antara bulan Januari 1999 s/d Maret 2000 di kecamatan Danau Panggang, Kabupaten HSU

Referensi

Dokumen terkait

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga laporan penelitian dengan judul

Mekanisme pengelolaan dana dengan sitem muḍᾱrabah di AJB Bumiputera 1912 Syariah, pada dasarnya telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah yang ada di dalam fatwa

3.4 Mampu memahami dan menjelaskan patogenesis demam tifoid. Salmonella Typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia.Manusia yang terinfeksi bakteri Salmonella Typhi dapat

Harimurti (1984: 69) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan makna atau maksud. Artinya, antara kalimat bagian yang satu dengan

4. Menurut saya penjagaan di area parkir Wisata Pemandian Air Panas Angseri mampu meningkatkan rasa aman bagi wisatawan yang berkunjung. Menurut saya jumlah toilet dan

Studi yang dilakukan Simply Measured (2009) menyebutkan 40% dari 100 perusahaan multinasional menggunakan Instagram secara efektif dan berhasil menarik audience-nya untuk

Berdasarkan hasil dari ketiga wawancara diatas, peneliti menyimpulkan bahwa yang dialami oleh karyawan yang beralih profesi menjadi driver Gojek adalah sarana

molekul 2 hidrogen peroksida (zarah bertindak balas). • Oleh itu, kadar tindak balas meningkat. Mangkin tidak meningkatkan frekuensi perlanggaran antara zarah-zarah yang