PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN
EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Survei pada Siswa –siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Program Studi Pendidikan Akuntansi
Oleh:
YOHANES EDI PRAMONO NIM: 021334015
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini penulis persembahkan untuk:
Tuhan Yesus Kristus atas segala berkah Nya
Bapak YD Marijo & Ibu H Supeni
Mas Tadin, Mbak Tanti, & Mas Jono Kel
Keponakanku Tesa, Tena, Lisa & Nisa
Keluarga Besar Roto Wijoyo & Karso Pawiro
Margareta Yeni Kurniawati
MOTTO
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi
kekuatan kepadaku
Tuhan tidak akan memberi pencobaan yang melebihi kekuatan
kita
Ngono yo Ngono Nanging Ojo Ngono Dadi Wong Urip Sing Sak
Madya Wae
Zamane, Zaman Edan, Ora Edan Ora Keduman, Ananging isih
ABSTRAK
PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA
Survei pada Siswa –Siswa Kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
YOHANES EDI PRAMONO
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) pengaruh positif
locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa; (2) pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel penelitian ini berjumlah 371 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah
purposive sampling.
ABSTRACT
THE INFUENCES OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE, AND SCHOOL CULTURE ON THE RELATIONSHIP BETWEEN STUDENTS’
EMOTIONAL INTELLIGENCE AND LEARNING ACHIEVEMENT
A Survey on the Third Grade Students of Public and Private Junior High School in Kulon Progo District, Yogyakarta Special Province
YOHANES EDI PRAMONO
Sanata Dharma University Yogayakarta
2007
This study was aimed at finding out (1) the influence positive of locus of control on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement; (2) the influence positive of family culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement; (3) the influence positive of school culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement.
This study was carried out in the public and private Junioir High Schools in Kulon Progo District, Yogyakarta Special Province. The population of study was all students in the third grade of these schools. The samples were 371 students. They were selected using purposive sampling technique.
The results of study indicated that: (1) there was a positive and significant influence of locus of control on the relationship between the students’ emotional intelligence and the learning achievement (ρ =0,027<α =0,050); (2) there was a positive and significant influence of family culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and the learning achievement
) 050 , 0 034
, 0
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan rahmat-Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “PENGARUH
LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA”. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan
Akuntansi. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan,
kritik, saran, masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan
ini penulis ingin menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada :
1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed.,Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Drs Sutarjo Adisusilo, JR. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
3. Bapak S. Widanarto Prijowuntato. S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program
Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
4. Bapak L. Saptono. S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing I, yang dengan
sabar membimbing penulis menyusun skripsi, memberikan saran,
masukan, semangat, dorongan serta pelajaran hidup yang berharga. Matur
nuwun pak.
5. Bapak S. Widanarto Prijowuntato. S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing
II, yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penulisan
skripsi ini serta wejangannya.
6. Ibu Natalina Premastuti Brataningrum, S.Pd yang telah memberikan
masukan dan menyumbangkan pemikiran kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Para dosen Program Studi Pendidikan Akuntasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta, yang telah banyak memberikan bekal ilmu kepada
8. Semua karyawan di sekretariat Pendidikan Akuntasi atas segala
keramahannya dalam membantu penulis selama kuliah di USD.
9. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Kalibawang, SMP Negeri 2 Nanggulan,
SMP Negeri 1 Pengasih, SMP Kanisius Samigaluh, SMP Kemasyarakatan
Kalibawang, SMP BOPKRI 2 Wates, SMP Muhammadiyah 2 Samigaluh
dan segenap guru dan karyawan yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan telah banyak
membantu dalam melaksanakan penelitian dan memberikan masukan serta
pengalaman yang berharga bagi penulis.
10.Bapak Marijo dan Ibu Supeni tercinta, yang tidak pernah lelah
memberikan doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil,
serta semangat kepada penulis.
11.Mas Tadin, Mbak Tanti, Mas Jono, Mas Nanto dan Mas Wawan yang
telah memberikan dukungan dan saran kepada penulis dalam
menyelesaikan kuliah.
12.Margaretha Yeni Kurniawati yang telah memberikan dukungan, semangat,
doa dan kasih sayangnya.
13.Pak De Tik, Pak Dhe Mariyo, Lek Tarjo, Bulik Rini, Lek Tarmini, Lek
Kandar, Lek Mariyono, Lek Mun (alm) yang telah memberikan semangat
kepada penulis selama kuliah.
14.Keluarga Mbah Roto Wijoyo dan Mbah Karso Pawiro Sak Brayat yang
telah memberikan dukungan dan bantuan penulis selama kuliah dan
penulisan skripsi.
15.Buat Bruder Tadius dan Suster Lois yang memberikan dukungan, saran,
masukan, pangalaman, dan harta rohaniahnya.
16.Buat Bety, Ruri, yang selalu senasib dan seperjuangan di PAK, Yoyok
terima kasih atas segala batuan dan dukungananya, Lia Jkt, DanikYang
Membebanikku, Santy, Ana, Heru lampg, Watik, Ninuk, Trisna, Hanik,
Rita Warsi, Kris Suminar, terima kasih atas segala batuan selama kuliah
dan peyelesaian skripsi ini. Buat Arie (deklek) sekeluarga, Suthur (joko),
17.Nurcahyo n Iman thanks bantuanmua selama aku sulit dijogja, Sadewa,
Sigit (frater), Wahyu, Tangguh, Setiawan, Primuse, Heru Skb, Agus, ,
Dewanto, Sukirno Kost (alm), Suprapto kost , Pace, Febri, Aji UKSW,
Kompleh, Aji, Titet, moko, Sila, Sastro, Putri, Dina, Bowok, Eta,Uuli,
dewi thanks..kalkulator, F1ku, Dwi pur, mbokde yuni bang edo, pace
papua, tino kalbar,mean flores, cepe..ndut, teman-teman kirno Group,
kelik krido, Nina, Sarinah....ngoreksi, Desy, Keket,Risa, MM Suprapti,
Prapti, Cipluk, Kento, Siska trims Smsnya, Thaka, dan teman-teman di
Emannuel Ngawen, FKKMK, Remida.
18.Buat teman-teman seperjuangan di PAK 2002, dan PAK 2003 dan
khususnya Pak 2002 “A” ayo maju smua dan kompak selalu. Thanks
Smuanya.
19.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini
masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik dan
masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis
berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua
pihak yang berhubungan dengan pendidikan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR LAMPIRAN... xvii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Batasan Masalah ... 6
C. Rumusan Masalah ... 7
D. Tujuan Penelitian ... 7
E. Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of Control... 9
B. Kultur Keluarga... 17
D. Kecerdasan Emosional... 25
E. Prestasi Belajar... 28
F. Kerangka Teoritik ... 34
G. Hipotesis ... 39
BAB III METODA PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 41
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41
C. Subjek dan Objek Penelitian ... 41
D. Variabel Penelitian dan pengukurannya ... 42
E. Populasi dan sampel 1. Populasi ... 48
2. Sampel ... 49
3. Teknik Pengambilan Sampel ... 50
F. Tehnik Pengumpulan Data... . 50
G. Uji Coba Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas ... 51
2. Uji Reliabilitas ... 57
H. Tehnik Analisa Data 1. Deskripsi data... 60
2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas... 60
b. Uji Linieritas ... 60
BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data... 66
B. Analisa Data... 84
C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 99
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 109
B. Keterbatasan Penelitian... 112
C. Saran-saran... 112
DAFTAR TABEL
Tabel Operasionalisasi Locus of Control ... 42
Tabel Operasionalisasi Kultur Keluarga ... 44
Tabel Operasionalisasi Kultur Sekolah... 45
Tabel Operasionalisasi Kecerdasan Emosional ... 46
Tabel Daftar Sekolah ... 49
3.1 Rangkuman Uji Validitas Untuk Locus of Control... 52
3.2 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kultur Keluarga... 53
3.3 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kultur Sekolah ... 54
3.4 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kecerdasan Emosional ... 55
3.5 Rangkuman Uji Reliabilitas Untuk Instrumen Penelitian... 56
4.1 Sebaran Responden Penelitian ... 66
4.2 Jenis Kelamin Responden ... 67
4.3 Pekerjaan Orang Tua... 67
4.4 Asal Sekolah Siswa... 68
4.5 Locus of Control Siswa ... 69
4.6 Kultur Keluarga Pada Dimensi Power Distance... 70
4.7Kultur Keluarga Pada Dimensi Collectivism vs Individualism... 71
4.8 Kultur Keluarga Pada Dimensi Feminity vs Masculinity... 72
4.9 Kultur Keluarga Pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 73
4.11 Kultur Sekolah Pada Dimensi Power Distance... 76
4.12 Kultur Sekolah Pada Dimensi Collectivism vs Individualism... 77
4.13 Kultur Sekolah Pada Dimensi Feminity vs Masculinity... 78
4.14 Kultur Sekolah Pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 79
4.15 Kultur Sekolah Siswa... 80
4.16 Kecerdasan Emosional Siswa ... 82
4.17 Prestasi Belajar Siswa ... 83
4.18 Pengujian Normalitas... 84
DAFTAR LAMPIRAN
1. Kuesioner Penelitian ... 119
2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 130
3. Data Induk Penelitian... 140
4. Data Induk Regresi... 179
5. Deskripsi Frekuensi dan Variabel Penelitian ... 190
6. Perhitungan PAP tipe II ... 234
7. Uji Normalitas dan Linieritas... 240
8. Uji Regresi ... 241
9. Tabel r dan F ... 253
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan bangsa harus didukung oleh manusia-manusia yang
cerdas, terampil, berbudi pekerti, takwa terhadap Tuhan YME. Hal ini sejalan
dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 2
tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dan
berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung
jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
Sebagai lembaga pendidikan memiliki peranan penting untuk
mencapai tujuan pendidikan diatas. Sekolah berperan dalam pembinaan
generasi muda untuk mampu berpartisipasi didalam proses terjadinya
perubahan tertentu dengan cara bertindak tepat dan selaras dengan situasi yang
dihadapinya. Sebagai subyek pendidikan di sekolah, siswa dituntut untuk
mampu menguasai kompetensi-kompetensi tertentu dan memiliki prestasi baik
dibidang akademik maupun non akademik. Capaian hasil belajar selanjutnya
tampak dalam penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan
dalam mata pelajaran yang secara lazim ditunjukan dalam nilai tes atau angka
Keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi belajar dipengaruhi oleh
berbagai faktor. Faktor–faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:
faktor internal (faktor berasal dari dalam diri siswa meliputi sikap terhadap
belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar,
menyimpan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan
berprestasi, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan keberhasilan belajar,
kebiasaan belajar, dan cita-cita siswa) dan faktor eksternal (faktor yang
berasal dari luar siswa meliputi guru sebagai pembina siswa belajar, prasarana
dan sarana pembelajaran, lingkungan sosial siswa di sekolah, dan kurikulum
sekolah) (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254).
Selain faktor-faktor diatas, faktor lain yang sangat penting dan
menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa adalah tingkat kecerdasan
emosionalnya. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan
diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan
kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam
hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001:512). Seorang siswa yang
mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi diduga kuat akan dapat
menjalani proses pembelajaran dengan baik termasuk usaha-usaha untuk
meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh sebab yang bersangkutan mampu
mengelola emosi dan memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.
Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar tersebut di atas diduga kuat berbeda pada orientasi locus of control,
suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya.
Cakupan dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus
of control eksternal. Pada siswa yang memiliki locus of control internal,
derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga
kuat akan lebih tinggi dibandingkan pada siswa dengan locus of control
eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal
mempunyai tingkat keyakinan diri yang lebih tinggi akan hasil dari apa yang
dilakukannya, mampu mengontrol tujuan hidupnya, dan mempunyai orientasi
hidup yang jelas. Hal ini berbeda dengan siswa dengan locus of control
eksternal yang cenderung lebih menggantungkan diri pada nasib atau takdir
hidupnya saja.
Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/keluarga
yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance
kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga
kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga
bercirikan power distance besar. Hal demikian disebabkan pada kultur
keluarga dengan power distance kecil, siswa mempunyai ketaatan kepada
norma keluarga, penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua sebagai
dasar kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus sepanjang hidup
dan ketergantungan. Sedangkan pada kultur keluarga dengan power distance
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal
dari keluarga yang bercirikan individualis. Hal demikian disebabkan siswa
yang berasal dari keluarga dengan kultur collectivism tinggi mempunyai
demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya
bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan yang tidak
boleh dilupakan, perasaan bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga
menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Sedangkan pada kultur keluarga
yang bercirikan individualism memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal
dari keluarga yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang
berasal dari keluarga dengan kultur masculinity mempunyai relasi anak dan
orangtua ada jarak, perbedaan peran orangtua, peranan wanita yang lebih
rendah dari pria, dan pembelajaran bersama menjadi rendah hati. Sedangkan
pada kultur keluarga yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang
sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan
avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari
keluarga dengan kultur uncertainty avoidance lemah memiliki toleransi
terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga sebagai tempat
belajar, dan kepemilikan aturan. Sedangkan pada kultur keluarga bercirikan
uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.
Kultur sekolah diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah adalah
suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan
berkembangnya siswa. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance
kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa
diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan power distance besar. Hal
demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan kultur power
distance kecil perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran
terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik,
komunikasi dua arah (di kelas), peranan orang tua pada anak di sekolah,
aturan dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan
keuntungan orang tua dengan adanya proses pembelajaran di sekolah.
Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan power distance besar memiliki
karakteristik yang sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal
yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism akan mempunyai
kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat
penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam pengerjaan tugas, dan
tujuan berprestasi. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan
individualism memiliki karakteristik sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada sekolah
yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari
sekolah yang bercirikan masculinity siswa mampu menciptakan suasana
kompetisi di kelas, orientasi pada prestasi dan kompetisi guru. Sedangkan
pada kultur sekolah yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang
sebaliknya.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan
dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance
yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa dengan uncertainty avoidance yang
lemah memiliki tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan
guru dalam menerangkan dan adanya kedekatan hubungan antara guru, siswa,
dan orang tua. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty
Penelitian ini berusaha menganalisis dan menguji apakah variabel
moderating locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda
memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar. Berdasarkan uraian dan persoalan di atas, maka penulis
mengambil judul “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR
KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA”.
Penelitian ini merupakan survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta
yang ada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
B. Batasan Masalah
Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar
anak di sekolah, diantaranya locus of control, motivasi belajar, sarana dan
prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur
sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini
bermaksud untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus
of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.
C. Rumusan Masalah
1. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?
2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?
3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara
D. Tujuan Penelitian:
1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak
sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat,
sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan
perlakuan yang berbeda dalam rangka pencapaian prestasi siswa.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian
yang bisa memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Locus of Control
1. Pengertian Locus of Control
Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter
yaitu suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan
seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (dalam Jung, 1978:107).
Ia mengelompokkan locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of
control internal dan locus of control eksternal. Individu yang mempunyai
locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada
dirinya adalah pengaruh dari dirinya, dari apa yang ia lakukan, dan ia
mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri.
Tatkala individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit
kendali atas apa yang terjadi, percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam
hidupnya merupakan hasil dari takdir, kesempatan, keberuntungan dan
nasib diklasifikasikan sebagai individu dengan locus of control eksternal.
Keberhasilan atau kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib,
faktor keberuntungan, kesempatan, karena kekuasaan orang lain atau
karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya.
Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar
sosial (social learning theory). Ini berarti bahwa locus of control
berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar
individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan
locus of control eksternal.
Gibson, et al (1996:161) menyebutkan letak kendali (locus of
control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa
perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka.
Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka
sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai
korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri
mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan. Robbins,
(1999:42) menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh Rotter bahwa tempat
kendali (locus of control) dibedakan menjadi dua, yaitu internal dan
eksternal. Orang yang percaya bahwa dirinya sebagai penentu dari takdir
mereka sendiri termasuk dalam kelompok locus of control internal.
Sedangkan orang yang menganggap dirinya sebagai korban dari takdir,
percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh
keberuntungan atau kesempatan, mereka ini termasuk dalam kelompok
locus of control eksternal.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of
control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya
baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang
dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control
internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.
locus of control eksternal, keberhasilan dirinya tergantung dari luar
dirinya.
2. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal
Adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan
individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada
adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam
hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal
cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri
yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Orang yang
mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa
percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan kontrol
dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan kemampuan dan
keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.
Disisi lain, orang dengan locus of control eksternal cenderung
menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap
otoritas (Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu
dengan locus of control eksternal cenderung konform terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi
disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung
mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan
memiliki kecemasan yang tinggi.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu
merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan
akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of
control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah
berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain, dan
keberuntungan.
3. Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control
Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam
diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang
dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus
of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan
kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan
mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut (J.Phares dalam
London dan Exner, 1978:291).
a. Faktor Usia
Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih
efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya
mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam
hidupnya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari
kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan
bertambahnya usia.
b. Pengalaman akan suatu perubahan
Penelitian Kiehlbauch (dalam London dan Exner, 1978:292)
locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah
yang telah lama. Locus of control teman serumah yang akan
berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang
cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus
of control individu ke arah eksternal.
c. Generalitas dan Stabilitas perubahan
Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan
mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir,
perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut
menyebab-kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal.
Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa
takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan
mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup
mereka.
d. Pelatihan dan Pengalaman
De Charms (dalam London dan Exner, 1978:293) berhasil
membukti-kan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan
locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (dalam
London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman
berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control
internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld
dan Dozier (dalam London dan Exner, 1978:293) mengenai
tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena
pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri,
keberanian dan kemandirian pribadi.
e. Efek Terapi
Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (dalam
London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi
berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal.
Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam
mengatasi masalah-masalahnya.
4. Prosedur Penaksiran
Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter
membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control
internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini,
Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi
29 item. Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal (I–E scale).
Rotter, (1964:58) mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu
status recognition (pengakuan status) merupakan kebutuhan untuk
mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik,
baik di sekolah, jabatan, profesi, atletik; independence
(ketidaktergantungan) merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan
sendiri, menggantungkan pada diri sendiri, mengembangkan
keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan
(perlindungan-ketergantungan) merupakan kebutuhan untuk melindungi orang lain agar
terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan/ keamanan, dan
membantu orang lain mencapai tujuannya; love and affection (cinta dan
kasih sayang) merupakan kebutuhan untuk dicintai dan disenangi orang
lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan, perhatian dan kasih
saying; dominance (dominasi) merupakan kebutuhan untuk mengontrol
aktifitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin diposisikan
untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan kesukaan
dirinya; physical comfort (kenyamanan fisik) merupakan kebutuhan
untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk
menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani.
Sedangkan Weiner, (1980:251) mengklasifikasikan menjadi enam
kategori yaitu; academic recognition, social recognition, love and
affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.
A. Kultur Keluarga
1. Pengertian Kultur Keluarga
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1992),
yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku.
Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1)
keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat
lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan
Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus
dan peneliti. Schein (1991:9) mendefinisikan kultur sebagai:
“a pattern of basic assumption-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered
valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to
perceive, think, and feel in relation to those problems”.
Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan
dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti
benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi
kelompok, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru
sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika
menghadapi masalah di masa mendatang.
Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez (1993:41),
menyatakan bahwa:
“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiments in artifacts:
the essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically
derived and sellected) ideas and especially their attached values”.
Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.
Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya
dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi
kultur adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa
lalu. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing
sehingga sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat
tampak dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.
Sementara Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:
“ a collective phenomenon, because it is at least partly shared with
people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the members of one group or category of people from
another.
Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai: “software of the mind”.
Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada
nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur
cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu
yang lama dan perlahan-lahan.
2. Dimensi Kultur Keluarga
Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk
berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan
secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke
dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan
(1995:7) menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain:
struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi keagamaan,
asosiasi-asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum,
kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga
teori-teori ilmiah.
Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national
level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social
Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang
mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs
individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance
(from weak to strong). Dimensi power distance (jarak kekuasaan)
merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi
didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan
suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar.
Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana
individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi
sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana
peran sosial gender terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity
menunjukkan masyarakat dalam mana individu akan merasa terancam
dalam suatu ketidakpastian. Pada keluarga, dimensi power distance
(jarak kekuasaan) mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga,
penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar
kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus sepanjang hidup
dan ketergantungan. Dimensi collectivism vs individualism mencakup:
demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber
daya bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan
tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar peraturan dan
keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Dimensi
femininity vs masculinity mencakup indikator: relasi anak dan orangtua
dari pria dan pembelajaran bersama menjadi rendah hati. Sedangkan
dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator yang meliputi:
toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga
sabagai tempat belajar dan kepemilikan aturan.
C. Kultur Sekolah
1. Pengertian Kultur Sekolah
Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh
suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap,
nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur ini
juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara
hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus
cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu,
suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada
generasi berikutnya.
Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk
memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.
Antropolog Clifford Geertz mendefinisikan kultur sebagai suatu pola
pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit
maupun implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2004)
kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan
atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu
dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan
lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang
dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang
mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun
informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan
kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.
Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai
organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang
bersifat unik pula. Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik.
Tiap-tiap sekolah mempunyai aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang
yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur
mempunyai pengaruh mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa.
Apa yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap
kewibawaan dan juga sikap terhadap nilai-nilai bukan berasal dari
kurikulum sekolah yang bersifat formal melainkan berasal dari kultur
sekolah.
Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah
yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai atau spirit yang dianut
sekolah tersebut. Kualitas ini mewujud dalam bentuk bagaimana
keseluruhan anggota sekolah, kepala sekolah, para guru, para tenaga
kependidikan bekerja, belajar dan berhubungan satu sama lainnya,
sebagaimana telah menjadi tradisi sekolah (Depdiknas, 2004). Jadi sesuai
sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh
dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.
Menurut Dapiyanta (1995:93) kultur sekolah merupakan perilaku
lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah
yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti berhenti,
melainkan dinamis, selalu berproses. Kultur sekolah yang positif dapat
menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja
individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi, terjamin
hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang
baik serta interaksi yang menyenangkan. Kultur sekolah yang kondusif
akan tercermin dalam organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah,
kebijakan, aturan, tata tertib sekolah, kepemimpinan dan hubungan serta
penampilan fisik (Arief Ahmad,http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004
/11/0310.htm)
Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat
dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos
dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah.
Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala
sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka
dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di
sekolah(www.geocities.com/pakguruonline/pradigma_pdd_ms_depan_36.
2. Dimensi Kultur Sekolah
Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national
level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class
level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada
tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang
mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs
individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from
weak to strong).
Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam
nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi
individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar
individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu
kondisi kelompok dimana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat
sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan
suatu kelompok dimana peran sosial gender terdapat perbedaan yang jelas.
Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dalam mana individu akan
merasa terancam dalam suatu ketidakpastian. Pada sekolah, dimensi power
distance (jarak kekuasaan) mencakup indikator: perlakuan guru terhadap
proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan
menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peranan orang tua
pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam di sekolah, pengembangan
kemampuan dan bakat, dan keuntungan orang tua dengan proses
kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru,
tingkat penerimaan guru oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan
tugas, dan tujuan berprestasi. Dimensi femininity vs masculinity mencakup
indikator suasana kompetisi kelas, orientasi pada prestasi dan kompetensi
guru. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator
tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan guru dalam
menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.
D. Kecerdasan Emosional
1. Definisi Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah
kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,
kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi
dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain
(Goleman, 2001:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang
berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik
(academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni
yang diukur dengan IQ.
Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah
kecerdasan emosi, yakni John Mayer dan Peter Salovey (dalam Goleman,
2001:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan
memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan kecerdasan
emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri
pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan
mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kelima aspek tersebut
akan mendasari penelitian ini.
2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional
Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001:513) mendefinisikan
kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan
perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu
untuk memandu pikiran dan tindakan. Dasar-dasar kecakapan emosional
dan sosial menurut Goleman adalah:
a. Kesadaran diri
Mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan menggunakannya
untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok
ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang
kuat.
b. Pengaturan diri
Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada
pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda
kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali
dari tekanan emosi.
c. Motivasi
Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan
menuntun kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan
bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan
d. Empati
Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif
mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan
diri dengan bermacam-macam orang.
e. Keterampilan sosial
Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain,
dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi
dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan untuk
mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan
perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.
3. Perbedaan kecerdasan emosi dan kecakapan emosi
Goleman (2001:39) membedakan antara kecerdasan emosi dan
kecakapan emosi. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosi adalah
kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosi. Inti
kecakapan emosi adalah dua kemampuan: empati, yang melibatkan
kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan sosial yang
berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan
kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari
keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya:
kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam
E. Prestasi Belajar
1. Pengertian
Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap
seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Belajar
adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif
dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam
pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S Winkel,
1991:16). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang
terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya
yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu
tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan,
kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Belajar merupakan
suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata, proses itu terjadi di
dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.
Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(Depdikbud, 2002:895) adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan
yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan
nilai tes atau angka yang diberikan guru. Kegiatan pengukura prestasi
belajar siswa dilakukan antara lain melalui ulangan, ujian, tugas, dsb
(Masidjo, 1995:13).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar
adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan
yang diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut
belajar akan tampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar
dapat diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Usaha untuk mengevaluasi
hasil belajar, biasanya dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam
bentuk tertulis, lisan maupun praktik yang kemudian diberi skor yang
biasanya berwujud angka. Hasil dari pengukuran ini merupakan
informasi-informasi atau data yang diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang
disebut prestasi belajar.
2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar
Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat
digolongkan menjadi dua yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254):
a. Faktor internal
1) Sikap terhadap belajar
Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang
sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang
sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak,
atau mengabaikan kesempatan belajar.
2) Motivasi belajar
Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong
terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah.
Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan
melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar
siswa perlu diperkuat terus menerus agar siswa memiliki hasil
belajar yang baik, yang pada akhirnya semakin meningkatkan
motivasi berprestasi.
3) Konsentrasi belajar
Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan
perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar
maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian
pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam
strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar
serta selingan istirahat.
4) Mengolah bahan belajar
Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk
menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan
diberbagai mata pelajaran, sehingga lebih bermakna bagi siswa.
Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai
agama, kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Cara
memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus,
daftar logaritma, atau rumusan matematika.
5) Menyimpan perolehan hasil belajar
Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan
menyimpan isi pesan dan cara memperoleh pesan. Kemampuan
menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang
(hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari
proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa
penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan.
Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti semua proses tersebut
berjalan lancar, akibatnya proses penggunaan hasil belajar
terganggu.
6) Menggali hasil belajar yang tersimpan
Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses
pengaktifan pesan yang telah diterima. Dalam hal pesan baru,
maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari
kembali, atau mengkaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal
pesan lama, maka siswa akan memanggil atau membangkitkan
pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar.
7) Kemampuan berprestasi
Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar
yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan
tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Kemampuan
berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan,
prapengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan
dan pengalaman.
8) Rasa percaya diri siswa
Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri
dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam
proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap
pembuktian ”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan
sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka
semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa
percaya diri semakin kuat.
9) Intelegensi dan keberhasilan belajar
Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman
kecakapan untuk dapat bertindak terarah, berpikir secara baik,
dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan
tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam
belajar atau kehidupan sehari-hari.
10) Kebiasaan belajar
Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar
yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain: belajar
pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan
kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, bergaya
sok menggurui atau bergaya minta ”belas kasih” tanpa belajar.
Kebiasaan-kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidak
mengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat
11) Cita-cita siswa
Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu didikan yang harus
dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud
eksplorasi dan emansipasi siswa.
b. Faktor eksternal
1) Guru sebagai pembina siswa belajar
Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar
bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi
pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia
memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya
berkenaan dengan kebangkitan belajar yang merupakan wujud
emansipasi diri siswa. Sebagai guru pengajar, guru bertugas
mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Adapun tugas
pengelolaan pembelajaran siswa meliputi: pembangunan
hubungan baik dengan siswa, menggairahkan minat, perhatian
dan memperkuat motivasi belajar untuk berprestasi,
mengorganisasi belajar, melaksanakan pendekatan pembelajaran
secara tepat, mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan obyektif,
melaporkan hasil belajar kepada orang tua/wali siswa.
2) Prasarana dan sarana pembelajaran
Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan
sarana dan prasarana otomatis bisa menentukan jaminan
terselenggaranya proses belajar dengan baik.
3) Kebijakan penilaian
Penilaian adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga,
bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu,
atau bernilai datang dari orang lain. Dalam penilaian hasil
belajar, maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru.
Guru adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun
desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai
hasil belajar.
4) Lingkungan sosial siswa di sekolah
Lingkungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh
terhadap kehidupan siswa. Siswa yang berada di lingkungan yang
dikondisikan untuk belajar, misalnya dibuat jam belajar malam
antara jam 19.00-21.00, maka siswa akan terdorong untuk
belajar. Sementara siswa yang berada di lingkungan yang tidak
peduli pada pendidikan, maka siswa akan menjadi malas untuk
belajar.
5) Kurikulum sekolah
Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu
kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah
kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu
disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum
dapat mempengaruhi tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan,
kegiatan belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran. Perubahan
kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun
elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua siswa.
F. Kerangka Teoretik
1. Pengaruh locus of control pada hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar.
Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan faktor penting yang
mempengaruhi hasil belajar. Hasil penelitian di sekolah-sekolah
Amerika menunjukkan bahwa jika kecerdasan emosional berkembang
dengan baik maka akan sangat menentukan keberhasilan seseorang di
kemudian hari, termasuk meningkatkan prestasi belajar.
Pelatihan-pelatihan emosional (self science/social development/life skill)
merupakan upaya mengem-bangkan pengenalan emosi diri, mengolah
emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan
membina hubungan akan membentuk keseimbangan mental antara nalar
dan perasaan atau emosi. Hal-hal tersebut menjadi hal penting dalam
pengembangan prestasi belajar seseorang. Hasil-hasil pembelajaran
keterampilan emosional di berbagai tempat di Amerika menunjukkan
bahwa siswa yang telah mengikuti pendidikan pengembangan
dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti pelatihan
pengembangan emosional, misalnya membantunya dalam keterampilan
belajar, lebih peduli dan percaya diri (Goleman, 2001:432-435)
Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar
siswa, diduga kuat berbeda pada individu dengan locus of control yang
berbeda. Siswa dengan kecenderungan locus of control internal diduga
kuat mempunyai prestasi belajar yang tinggi dibandingkan siswa
dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa
dengan locus of control internal memiliki keyakinan diri yang tinggi,
berprestasi, aktif, tidak mudah terpengaruh, mandiri, mampu
mengendalikan hidupnya, yakin akan keberhasilan hidupnya sehingga
dengan kesadaran itu siswa akan belajar lebih giat untuk mencapai
prestasi belajar yang lebih baik dibanding siswa dengan locus of control
eksternal. Oleh sebab siswa dengan locus of control eksternal
mengandalkan penentu hidupnya dari luar dirinya, maka ia hanya
pasrah menerima nasib dan keberuntungan, tanpa ada usaha merubah
keadaan menjadi lebih baik.
2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar
Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/
keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung
turun temurun. Siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berbeda,
kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya. Pada siswa yang
berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil,
derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa
diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari
kultur keluarga dengan power distance besar. Siswa yang berasal dari
keluarga dengan power distance kecil mempunyai ketaatan kepada
norma keluarga, penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua
sebagai dasar kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus
sepanjang hidup dan ketergantungan. Berbeda dengan siswa yang
berasal dari keluarga dengan power distance besar dimana sebaliknya
sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Siswa
yang berasal dari keluarga dengan ciri collectivism mempunyai
demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber
daya bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan
tidak boleh dilupakan, perasaan bersalah jika melanggar peraturan, dan
keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Berbeda dengan
sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan femininity. Siswa
yang berasal dari keluarga dengan ciri masculinity relasi anak dan
orang tua ada jarak, perbedaan peran orang tua, peranan wanita yang
lebih rendah daripada pria, dan pembelajaran bersama menjadi rendah
hati. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan
femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan
uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi
dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang
bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Siswa yang berasal dari
keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah toleransi
terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga sebagai
tempat belajar dan kepemilikan aturan. Berbeda dengan siswa yang
berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat
dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan
3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar.
Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang
mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Siswa yang berasal
dari kultur sekolah yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat
hubungan yang tidak sama antara kecerdasan emosional dengan prestasi
belajarnya. Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan
siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri power distance besar.
Siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil perlakuan
guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada siswa,
kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua
arah (di kelas), peranan orang tua pada anak di sekolah, aturan dan
norma dalam di sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan
keuntungan orang tua dengan adanya proses pembelajaran sekolah.
Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance
besar dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan
kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang
berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism siswa mempunyai
kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru,
tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam
mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi Berbeda dengan siswa yang
berasal dari sekolah yang bercirikan individualism dimana sebaliknya,
sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi
belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa
yang berasal dari sekolah yang bercirikan femininity. Siswa yang
berasal dari sekolah dengan masculinity suasana kompetisi di kelas,
berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Berbeda dengan siswa
yang berasal dari sekolah dengan ciri femininity dimana sebaliknya,
sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan
prestasi belajar siswa.
Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan
uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi
dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri
uncertainty avoidance kuat. Siswa yang berasal dari sekolah dengan
uncertainty avoidance tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru,
guru, siswa, dan orange tua. Berbeda dengan siswa yang berasal dari
keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat dimana
sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar siswa.
G. Hipotesis Penelitian
1. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar. Pada locus of control internal, derajat
hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar lebih
tinggi dibanding dengan locus of control eksternal.
2. Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur keluarga yang bercirikan
power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur
keluarga yang bercirikan power distance besar. Pada kultur keluarga
yang bercirikan collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan
emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan
kultur keluarga yang bercirikan individualism. Pada kultur keluarga yang
bercirikan masculinity, derajat hubungan antara kecerdasan emosional
dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur
keluarga yang bercirikan femininity. Pada kultur keluarga yang
bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara
dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance
kuat.
3. Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan