• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pengaruh locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa : survey siswa-siswi SMP negeri dan swasta di Kabupaten Kulon Progo - USD Repository"

Copied!
292
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN

EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei pada Siswa –siswa SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Pendidikan Akuntansi

Oleh:

YOHANES EDI PRAMONO NIM: 021334015

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)
(3)
(4)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini penulis persembahkan untuk:

Tuhan Yesus Kristus atas segala berkah Nya

Bapak YD Marijo & Ibu H Supeni

Mas Tadin, Mbak Tanti, & Mas Jono Kel

Keponakanku Tesa, Tena, Lisa & Nisa

Keluarga Besar Roto Wijoyo & Karso Pawiro

Margareta Yeni Kurniawati

(5)

MOTTO

” Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi

kekuatan kepadaku

” Tuhan tidak akan memberi pencobaan yang melebihi kekuatan

kita

” Ngono yo Ngono Nanging Ojo Ngono Dadi Wong Urip Sing Sak

Madya Wae

” Zamane, Zaman Edan, Ora Edan Ora Keduman, Ananging isih

(6)
(7)

ABSTRAK

PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA

Survei pada Siswa –Siswa Kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta

YOHANES EDI PRAMONO

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) pengaruh positif

locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa; (2) pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa; (3) pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Penelitian dilaksanakan di SMP Negeri dan Swasta yang ada di Kabupaten Kulon Progo. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 3 SMP Negeri dan Swasta di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Sampel penelitian ini berjumlah 371 siswa. Teknik pengambilan sampel adalah

purposive sampling.

(8)

ABSTRACT

THE INFUENCES OF LOCUS OF CONTROL, FAMILY CULTURE, AND SCHOOL CULTURE ON THE RELATIONSHIP BETWEEN STUDENTS’

EMOTIONAL INTELLIGENCE AND LEARNING ACHIEVEMENT

A Survey on the Third Grade Students of Public and Private Junior High School in Kulon Progo District, Yogyakarta Special Province

YOHANES EDI PRAMONO

Sanata Dharma University Yogayakarta

2007

This study was aimed at finding out (1) the influence positive of locus of control on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement; (2) the influence positive of family culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement; (3) the influence positive of school culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and learning achievement.

This study was carried out in the public and private Junioir High Schools in Kulon Progo District, Yogyakarta Special Province. The population of study was all students in the third grade of these schools. The samples were 371 students. They were selected using purposive sampling technique.

The results of study indicated that: (1) there was a positive and significant influence of locus of control on the relationship between the students’ emotional intelligence and the learning achievement (ρ =0,027<α =0,050); (2) there was a positive and significant influence of family culture on the relationship between the students’ emotional intelligence and the learning achievement

) 050 , 0 034

, 0

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas kasih dan rahmat-Nya,

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul : “PENGARUH

LOCUS OF CONTROL, KULTUR KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA”. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Pendidikan

Akuntansi. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mendapat banyak bimbingan,

kritik, saran, masukan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka pada kesempatan

ini penulis ingin menghaturkan rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed.,Ph.D. Selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

2. Bapak Drs Sutarjo Adisusilo, JR. Selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

3. Bapak S. Widanarto Prijowuntato. S.Pd., M.Si. Selaku Ketua Program

Studi Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

4. Bapak L. Saptono. S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing I, yang dengan

sabar membimbing penulis menyusun skripsi, memberikan saran,

masukan, semangat, dorongan serta pelajaran hidup yang berharga. Matur

nuwun pak.

5. Bapak S. Widanarto Prijowuntato. S.Pd., M.Si. Selaku dosen pembimbing

II, yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan dalam penulisan

skripsi ini serta wejangannya.

6. Ibu Natalina Premastuti Brataningrum, S.Pd yang telah memberikan

masukan dan menyumbangkan pemikiran kepada penulis dalam

menyelesaikan skripsi ini.

7. Para dosen Program Studi Pendidikan Akuntasi Universitas Sanata

Dharma Yogyakarta, yang telah banyak memberikan bekal ilmu kepada

(10)

8. Semua karyawan di sekretariat Pendidikan Akuntasi atas segala

keramahannya dalam membantu penulis selama kuliah di USD.

9. Kepala Sekolah SMP Negeri 1 Kalibawang, SMP Negeri 2 Nanggulan,

SMP Negeri 1 Pengasih, SMP Kanisius Samigaluh, SMP Kemasyarakatan

Kalibawang, SMP BOPKRI 2 Wates, SMP Muhammadiyah 2 Samigaluh

dan segenap guru dan karyawan yang telah memberikan kesempatan

kepada penulis untuk melaksanakan penelitian dan telah banyak

membantu dalam melaksanakan penelitian dan memberikan masukan serta

pengalaman yang berharga bagi penulis.

10.Bapak Marijo dan Ibu Supeni tercinta, yang tidak pernah lelah

memberikan doa, kasih sayang, dukungan baik moril maupun materiil,

serta semangat kepada penulis.

11.Mas Tadin, Mbak Tanti, Mas Jono, Mas Nanto dan Mas Wawan yang

telah memberikan dukungan dan saran kepada penulis dalam

menyelesaikan kuliah.

12.Margaretha Yeni Kurniawati yang telah memberikan dukungan, semangat,

doa dan kasih sayangnya.

13.Pak De Tik, Pak Dhe Mariyo, Lek Tarjo, Bulik Rini, Lek Tarmini, Lek

Kandar, Lek Mariyono, Lek Mun (alm) yang telah memberikan semangat

kepada penulis selama kuliah.

14.Keluarga Mbah Roto Wijoyo dan Mbah Karso Pawiro Sak Brayat yang

telah memberikan dukungan dan bantuan penulis selama kuliah dan

penulisan skripsi.

15.Buat Bruder Tadius dan Suster Lois yang memberikan dukungan, saran,

masukan, pangalaman, dan harta rohaniahnya.

16.Buat Bety, Ruri, yang selalu senasib dan seperjuangan di PAK, Yoyok

terima kasih atas segala batuan dan dukungananya, Lia Jkt, DanikYang

Membebanikku, Santy, Ana, Heru lampg, Watik, Ninuk, Trisna, Hanik,

Rita Warsi, Kris Suminar, terima kasih atas segala batuan selama kuliah

dan peyelesaian skripsi ini. Buat Arie (deklek) sekeluarga, Suthur (joko),

(11)

17.Nurcahyo n Iman thanks bantuanmua selama aku sulit dijogja, Sadewa,

Sigit (frater), Wahyu, Tangguh, Setiawan, Primuse, Heru Skb, Agus, ,

Dewanto, Sukirno Kost (alm), Suprapto kost , Pace, Febri, Aji UKSW,

Kompleh, Aji, Titet, moko, Sila, Sastro, Putri, Dina, Bowok, Eta,Uuli,

dewi thanks..kalkulator, F1ku, Dwi pur, mbokde yuni bang edo, pace

papua, tino kalbar,mean flores, cepe..ndut, teman-teman kirno Group,

kelik krido, Nina, Sarinah....ngoreksi, Desy, Keket,Risa, MM Suprapti,

Prapti, Cipluk, Kento, Siska trims Smsnya, Thaka, dan teman-teman di

Emannuel Ngawen, FKKMK, Remida.

18.Buat teman-teman seperjuangan di PAK 2002, dan PAK 2003 dan

khususnya Pak 2002 “A” ayo maju smua dan kompak selalu. Thanks

Smuanya.

19.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari sempurna, oleh karena itu berbagai saran, kritik dan

masukan sangat diharapkan demi perbaikan skripsi ini. Akhir kata, penulis

berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan semua

pihak yang berhubungan dengan pendidikan.

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

HALAMAN MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan Masalah ... 6

C. Rumusan Masalah ... 7

D. Tujuan Penelitian ... 7

E. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Locus of Control... 9

B. Kultur Keluarga... 17

(13)

D. Kecerdasan Emosional... 25

E. Prestasi Belajar... 28

F. Kerangka Teoritik ... 34

G. Hipotesis ... 39

BAB III METODA PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 41

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 41

C. Subjek dan Objek Penelitian ... 41

D. Variabel Penelitian dan pengukurannya ... 42

E. Populasi dan sampel 1. Populasi ... 48

2. Sampel ... 49

3. Teknik Pengambilan Sampel ... 50

F. Tehnik Pengumpulan Data... . 50

G. Uji Coba Instrumen Penelitian 1. Uji Validitas ... 51

2. Uji Reliabilitas ... 57

H. Tehnik Analisa Data 1. Deskripsi data... 60

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas a. Uji Normalitas... 60

b. Uji Linieritas ... 60

(14)

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data... 66

B. Analisa Data... 84

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 99

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 109

B. Keterbatasan Penelitian... 112

C. Saran-saran... 112

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel Operasionalisasi Locus of Control ... 42

Tabel Operasionalisasi Kultur Keluarga ... 44

Tabel Operasionalisasi Kultur Sekolah... 45

Tabel Operasionalisasi Kecerdasan Emosional ... 46

Tabel Daftar Sekolah ... 49

3.1 Rangkuman Uji Validitas Untuk Locus of Control... 52

3.2 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kultur Keluarga... 53

3.3 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kultur Sekolah ... 54

3.4 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kecerdasan Emosional ... 55

3.5 Rangkuman Uji Reliabilitas Untuk Instrumen Penelitian... 56

4.1 Sebaran Responden Penelitian ... 66

4.2 Jenis Kelamin Responden ... 67

4.3 Pekerjaan Orang Tua... 67

4.4 Asal Sekolah Siswa... 68

4.5 Locus of Control Siswa ... 69

4.6 Kultur Keluarga Pada Dimensi Power Distance... 70

4.7Kultur Keluarga Pada Dimensi Collectivism vs Individualism... 71

4.8 Kultur Keluarga Pada Dimensi Feminity vs Masculinity... 72

4.9 Kultur Keluarga Pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 73

(16)

4.11 Kultur Sekolah Pada Dimensi Power Distance... 76

4.12 Kultur Sekolah Pada Dimensi Collectivism vs Individualism... 77

4.13 Kultur Sekolah Pada Dimensi Feminity vs Masculinity... 78

4.14 Kultur Sekolah Pada Dimensi Uncertainty Avoidance... 79

4.15 Kultur Sekolah Siswa... 80

4.16 Kecerdasan Emosional Siswa ... 82

4.17 Prestasi Belajar Siswa ... 83

4.18 Pengujian Normalitas... 84

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Kuesioner Penelitian ... 119

2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 130

3. Data Induk Penelitian... 140

4. Data Induk Regresi... 179

5. Deskripsi Frekuensi dan Variabel Penelitian ... 190

6. Perhitungan PAP tipe II ... 234

7. Uji Normalitas dan Linieritas... 240

8. Uji Regresi ... 241

9. Tabel r dan F ... 253

(18)

BAB

I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan bangsa harus didukung oleh manusia-manusia yang

cerdas, terampil, berbudi pekerti, takwa terhadap Tuhan YME. Hal ini sejalan

dengan tujuan pendidikan nasional sebagaimana tertuang dalam UU No. 2

tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menyatakan

mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia

seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, dan

berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan

jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung

jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sebagai lembaga pendidikan memiliki peranan penting untuk

mencapai tujuan pendidikan diatas. Sekolah berperan dalam pembinaan

generasi muda untuk mampu berpartisipasi didalam proses terjadinya

perubahan tertentu dengan cara bertindak tepat dan selaras dengan situasi yang

dihadapinya. Sebagai subyek pendidikan di sekolah, siswa dituntut untuk

mampu menguasai kompetensi-kompetensi tertentu dan memiliki prestasi baik

dibidang akademik maupun non akademik. Capaian hasil belajar selanjutnya

tampak dalam penguasaan pengetahuan atau ketrampilan yang dikembangkan

dalam mata pelajaran yang secara lazim ditunjukan dalam nilai tes atau angka

(19)

Keberhasilan siswa dalam mencapai prestasi belajar dipengaruhi oleh

berbagai faktor. Faktor–faktor tersebut dapat digolongkan menjadi dua, yaitu:

faktor internal (faktor berasal dari dalam diri siswa meliputi sikap terhadap

belajar, motivasi belajar, konsentrasi belajar, mengolah bahan belajar,

menyimpan hasil belajar, menggali hasil belajar yang tersimpan, kemampuan

berprestasi, rasa percaya diri siswa, intelegensi dan keberhasilan belajar,

kebiasaan belajar, dan cita-cita siswa) dan faktor eksternal (faktor yang

berasal dari luar siswa meliputi guru sebagai pembina siswa belajar, prasarana

dan sarana pembelajaran, lingkungan sosial siswa di sekolah, dan kurikulum

sekolah) (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254).

Selain faktor-faktor diatas, faktor lain yang sangat penting dan

menentukan tinggi rendahnya prestasi belajar siswa adalah tingkat kecerdasan

emosionalnya. Kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali perasaan

diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan

kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam

hubungan dengan orang lain (Goleman, 2001:512). Seorang siswa yang

mempunyai tingkat kecerdasan emosional tinggi diduga kuat akan dapat

menjalani proses pembelajaran dengan baik termasuk usaha-usaha untuk

meningkatkan prestasi belajarnya. Oleh sebab yang bersangkutan mampu

mengelola emosi dan memotivasi dirinya sendiri untuk belajar.

Derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar tersebut di atas diduga kuat berbeda pada orientasi locus of control,

(20)

suatu keyakinan atau kepercayaan dari individu atas penentu hidupnya.

Cakupan dimensi locus of control meliputi locus of control internal dan locus

of control eksternal. Pada siswa yang memiliki locus of control internal,

derajat hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan pada siswa dengan locus of control

eksternal. Hal demikian disebabkan siswa dengan locus of control internal

mempunyai tingkat keyakinan diri yang lebih tinggi akan hasil dari apa yang

dilakukannya, mampu mengontrol tujuan hidupnya, dan mempunyai orientasi

hidup yang jelas. Hal ini berbeda dengan siswa dengan locus of control

eksternal yang cenderung lebih menggantungkan diri pada nasib atau takdir

hidupnya saja.

Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/keluarga

yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung turun temurun.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance

kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar diduga

kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal dari keluarga

bercirikan power distance besar. Hal demikian disebabkan pada kultur

keluarga dengan power distance kecil, siswa mempunyai ketaatan kepada

norma keluarga, penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua sebagai

dasar kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus sepanjang hidup

dan ketergantungan. Sedangkan pada kultur keluarga dengan power distance

(21)

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal

dari keluarga yang bercirikan individualis. Hal demikian disebabkan siswa

yang berasal dari keluarga dengan kultur collectivism tinggi mempunyai

demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber daya

bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan yang tidak

boleh dilupakan, perasaan bersalah jika melanggar peraturan, dan keluarga

menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Sedangkan pada kultur keluarga

yang bercirikan individualism memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal

dari keluarga yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang

berasal dari keluarga dengan kultur masculinity mempunyai relasi anak dan

orangtua ada jarak, perbedaan peran orangtua, peranan wanita yang lebih

rendah dari pria, dan pembelajaran bersama menjadi rendah hati. Sedangkan

pada kultur keluarga yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang

sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan

(22)

avoidance yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari

keluarga dengan kultur uncertainty avoidance lemah memiliki toleransi

terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga sebagai tempat

belajar, dan kepemilikan aturan. Sedangkan pada kultur keluarga bercirikan

uncertainty avoidance yang kuat memiliki karakteristik yang sebaliknya.

Kultur sekolah diduga kuat juga menjadi pembeda derajat hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa. Kultur sekolah adalah

suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh dan

berkembangnya siswa. Pada kultur sekolah yang bercirikan power distance

kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa

diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan power distance besar. Hal

demikian disebabkan siswa yang berasal dari sekolah dengan kultur power

distance kecil perlakuan guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran

terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik,

komunikasi dua arah (di kelas), peranan orang tua pada anak di sekolah,

aturan dan norma dalam sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan

keuntungan orang tua dengan adanya proses pembelajaran di sekolah.

Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan power distance besar memiliki

karakteristik yang sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berasal

(23)

yang berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism akan mempunyai

kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru, tingkat

penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam pengerjaan tugas, dan

tujuan berprestasi. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan

individualism memiliki karakteristik sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa pada sekolah

yang bercirikan femininity. Hal demikian disebabkan siswa yang berasal dari

sekolah yang bercirikan masculinity siswa mampu menciptakan suasana

kompetisi di kelas, orientasi pada prestasi dan kompetisi guru. Sedangkan

pada kultur sekolah yang bercirikan femininity memiliki karakteristik yang

sebaliknya.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan

dengan siswa yang berasal dari sekolah yang bercirikan uncertainty avoidance

yang kuat. Hal demikian disebabkan siswa dengan uncertainty avoidance yang

lemah memiliki tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan

guru dalam menerangkan dan adanya kedekatan hubungan antara guru, siswa,

dan orang tua. Sedangkan pada kultur sekolah yang bercirikan uncertainty

(24)

Penelitian ini berusaha menganalisis dan menguji apakah variabel

moderating locus of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah yang berbeda

memberi pengaruh terhadap hubungan antara kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar. Berdasarkan uraian dan persoalan di atas, maka penulis

mengambil judul “PENGARUH LOCUS OF CONTROL, KULTUR

KELUARGA, DAN KULTUR SEKOLAH PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN PRESTASI BELAJAR SISWA”.

Penelitian ini merupakan survei pada siswa-siswa SMP Negeri dan Swasta

yang ada di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan tinggi rendahnya prestasi belajar

anak di sekolah, diantaranya locus of control, motivasi belajar, sarana dan

prasarana, kecerdasan emosional, kultur keluarga, kultur masyarakat, kultur

sekolah dan sebagainya. Secara khusus penulis dalam penelitian ini

bermaksud untuk menyelidiki secara lebih spesifik bagaimana pengaruh locus

of control, kultur keluarga, dan kultur sekolah pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar.

C. Rumusan Masalah

1. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

2. Apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa?

3. Apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara

(25)

D. Tujuan Penelitian:

1. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif locus of control pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

2. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur keluarga pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

3. Untuk mengetahui apakah ada pengaruh positif kultur sekolah pada

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

E. Manfaat Penelitian

1. Bagi Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan kepada pihak

sekolah untuk menentukan perlakuan yang tepat kepada siswa bahwa sifat,

sikap dan perilaku siswa berbeda, maka pihak sekolah harus memberikan

perlakuan yang berbeda dalam rangka pencapaian prestasi siswa.

2. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran

bagi penelitian selanjutnya sehingga akan lebih banyak lagi penelitian

yang bisa memajukan pendidikan di Indonesia dan mutu pendidikan bisa

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Locus of Control

1. Pengertian Locus of Control

Konsep locus of control dikemukakan pertama kali oleh Rotter

yaitu suatu konsep yang memberikan gambaran tentang keyakinan

seseorang mengenai sumber penentu perilakunya (dalam Jung, 1978:107).

Ia mengelompokkan locus of control ke dalam 2 kelompok, yaitu locus of

control internal dan locus of control eksternal. Individu yang mempunyai

locus of control internal memiliki keyakinan bahwa apa yang terjadi pada

dirinya adalah pengaruh dari dirinya, dari apa yang ia lakukan, dan ia

mampu mengontrol tujuan hidupnya dengan kekuatannya sendiri.

Tatkala individu percaya bahwa mereka hanya mempunyai sedikit

kendali atas apa yang terjadi, percaya bahwa peristiwa yang terjadi dalam

hidupnya merupakan hasil dari takdir, kesempatan, keberuntungan dan

nasib diklasifikasikan sebagai individu dengan locus of control eksternal.

Keberhasilan atau kegagalan dalam hidupnya dipandang sebagai nasib,

faktor keberuntungan, kesempatan, karena kekuasaan orang lain atau

karena kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya.

Konsep locus of control diajukan oleh Rotter atas dasar teori belajar

sosial (social learning theory). Ini berarti bahwa locus of control

berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Lingkungan sekitar

(27)

individu dengan locus of control internal atau menjadi individu dengan

locus of control eksternal.

Gibson, et al (1996:161) menyebutkan letak kendali (locus of

control) individu mencerminkan tingkat dimana mereka percaya bahwa

perilaku mereka mempengaruhi apa yang terjadi dalam diri mereka.

Sebagian orang percaya bahwa mereka adalah penentu dari takdir mereka

sendiri. Tetapi sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka sebagai

korban dari takdir, mereka percaya bahwa apa yang terjadi pada diri

mereka disebabkan oleh keberuntungan atau kesempatan. Robbins,

(1999:42) menggarisbawahi apa yang dikatakan oleh Rotter bahwa tempat

kendali (locus of control) dibedakan menjadi dua, yaitu internal dan

eksternal. Orang yang percaya bahwa dirinya sebagai penentu dari takdir

mereka sendiri termasuk dalam kelompok locus of control internal.

Sedangkan orang yang menganggap dirinya sebagai korban dari takdir,

percaya bahwa apa yang terjadi pada diri mereka disebabkan oleh

keberuntungan atau kesempatan, mereka ini termasuk dalam kelompok

locus of control eksternal.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan locus of

control adalah keyakinan individu terhadap sumber penentu perilakunya

baik perilaku yang dipengaruhi oleh faktor internal maupun perilaku yang

dipengaruhi oleh faktor eksternal. Individu dengan locus of control

internal akan mempunyai tingkat kepercayaan diri yang tinggi.

(28)

locus of control eksternal, keberhasilan dirinya tergantung dari luar

dirinya.

2. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal

Adanya perbedaan individu dengan locus of control internal dan

individu dengan locus of control eksternal ternyata berdampak pada

adanya perbedaan sikap, sifat perilaku dan cara hidupnya. Dalam

hubungan dengan orang lain, individu dengan locus of control internal

cenderung untuk tidak mudah terpengaruh, mempunyai rasa percaya diri

yang tinggi, mempunyai motif berprestasi yang tinggi. Orang yang

mempunyai locus of control internal kurang konformis karena rasa

percaya diri yang dimilikinya begitu tinggi dan dapat melakukan kontrol

dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan kemampuan dan

keterampilan dirinya serta usaha-usaha yang dilakukannya.

Disisi lain, orang dengan locus of control eksternal cenderung

menarik diri, penyesuaian diri kurang baik dan konformis terhadap

otoritas (Lefcourt, 1969 dalam London dan Exner, 1978:278). Individu

dengan locus of control eksternal cenderung konform terhadap

pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan yang terjadi

disebabkan oleh faktor dari luar dirinya. Individu juga cenderung

mempunyai sikap menyerah, pesimis, pasrah, merasa tak berdaya dan

memiliki kecemasan yang tinggi.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan individu

(29)

merasakan adanya hubungan antara usaha yang dilakukan dengan

akibat-akibat yang diterimanya, sedang individu dengan kecenderungan locus of

control eksternal merasa bahwa akibat-akibat yang diterimanya adalah

berasal dari kesempatan, nasib, campur tangan orang lain, dan

keberuntungan.

3. Faktor-Faktor Pembentuk Locus of Control

Locus of control bukan merupakan suatu konsep yang ada dalam

diri individu yang bersifat bawaan, namun terbentuk dan berkembang

dikarenakan berbagai faktor. Karena bukan bersifat bawaan, maka locus

of control dapat berubah dan berkembang tergantung dari kemauan dan

kemampuan setiap individu. Faktor-faktor yang bisa membentuk dan

mengembangkan locus of control adalah sebagai berikut (J.Phares dalam

London dan Exner, 1978:291).

a. Faktor Usia

Seiring anak berkembang, ia menjadi seorang manusia yang lebih

efektif, sehingga ia meningkatkan kepercayaan bahwa dirinya

mampu mengendalikan bermacam-macam hal dan kejadian dalam

hidupnya. Dengan kata lain, locus of control bergerak dari

kecenderungan eksternal ke arah internal sejalan dengan

bertambahnya usia.

b. Pengalaman akan suatu perubahan

Penelitian Kiehlbauch (dalam London dan Exner, 1978:292)

(30)

locus of control yang relatif lebih eksternal daripada teman serumah

yang telah lama. Locus of control teman serumah yang akan

berpisah juga cenderung bergeser ke arah eksternal. Keadaan yang

cenderung labil dan tak pasti selama masa transisi mendorong locus

of control individu ke arah eksternal.

c. Generalitas dan Stabilitas perubahan

Adanya berbagai perubahan di tempat tinggal sekitar akan

mempengaruhi locus of control. Misalnya adanya bom nuklir,

perang, skandal politik. Pengalaman perubahan peristiwa tersebut

menyebab-kan kecenderungan ke arah locus of control eksternal.

Perilaku individu mengalami pergeseran dari rasa aman menjadi rasa

takut dan kehilangan kemampuan untuk menganalisa dan

mempersiapkan diri terhadap jalannya peristiwa dalam hidup

mereka.

d. Pelatihan dan Pengalaman

De Charms (dalam London dan Exner, 1978:293) berhasil

membukti-kan efektifitas program pelatihan untuk meningkatkan

locus of control internal. Selain itu, penelitian Barnes (dalam

London dan Exner, 1978:293) menemukan bahwa pengalaman

berkemah yang terstruktur dapat meningkatkan locus of control

internal. Demikian pula dengan penelitian Levens serta Gottesfeld

dan Dozier (dalam London dan Exner, 1978:293) mengenai

(31)

tersebut menunjukkan bahwa locus of control dapat berubah karena

pengalaman-pengalaman yang bisa meningkatkan kepercayaan diri,

keberanian dan kemandirian pribadi.

e. Efek Terapi

Beberapa peneliti; Lefcourt, Dua, Gillis dan Jessor, Smith (dalam

London dan Exner, 1978:293) menunjukkan bahwa psikoterapi

berpengaruh positif terhadap perubahan locus of control internal.

Psikoterapi bertujuan meningkatkan kemampuan individu dalam

mengatasi masalah-masalahnya.

4. Prosedur Penaksiran

Setiap individu memiliki locus of control yang berbeda. Rotter

membedakannya menjadi dua yaitu individu dengan locus of control

internal dan locus of control eksternal. Untuk melihat perbedaan ini,

Rotter menyusun skala pengukuran dan menginventarisasikan menjadi

29 item. Tes ini dinamakan skala control internal-eksternal (I–E scale).

Rotter, (1964:58) mengklasifikasikan menjadi enam kebutuhan yaitu

status recognition (pengakuan status) merupakan kebutuhan untuk

mengungguli, ingin dianggap dirinya kompeten di bidang akademik,

baik di sekolah, jabatan, profesi, atletik; independence

(ketidaktergantungan) merupakan kebutuhan untuk membuat keputusan

sendiri, menggantungkan pada diri sendiri, mengembangkan

keterampilan untuk dapat memperoleh kepuasan dan mencapai tujuan

(32)

(perlindungan-ketergantungan) merupakan kebutuhan untuk melindungi orang lain agar

terhindar dari frustasi, menyediakan perlindungan/ keamanan, dan

membantu orang lain mencapai tujuannya; love and affection (cinta dan

kasih sayang) merupakan kebutuhan untuk dicintai dan disenangi orang

lain, ingin mendapatkan kehangatan, ketertarikan, perhatian dan kasih

saying; dominance (dominasi) merupakan kebutuhan untuk mengontrol

aktifitas orang lain, termasuk keluarga dan teman, ingin diposisikan

untuk berkuasa agar orang lain mengikuti keinginan dan kesukaan

dirinya; physical comfort (kenyamanan fisik) merupakan kebutuhan

untuk kepuasan fisik yang berkaitan dengan keamanan untuk

menghindari sakit dan kesukaan terhadap kesenangan jasmani.

Sedangkan Weiner, (1980:251) mengklasifikasikan menjadi enam

kategori yaitu; academic recognition, social recognition, love and

affection, dominance, social political belief, dan life philosophy.

A. Kultur Keluarga

1. Pengertian Kultur Keluarga

Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka, 1992),

yang dimaksud dengan kultur adalah adat atau kebiasaan yang berlaku.

Dalam ilmu antropologi istilah kultur digunakan untuk menjelaskan: (1)

keunikan sekelompok masyarakat dibandingkan kelompok masyarakat

lainnya; (2) mengapa perilaku sekelompok masyarakat dapat bertahan

(33)

Hingga saat ini muncul berbagai definisi kultur dari para teoritikus

dan peneliti. Schein (1991:9) mendefinisikan kultur sebagai:

“a pattern of basic assumption-invented, discovered, or developed by a given group as it learns to cope with its problems of external adaptation and internal integration-that has worked well enough to be considered

valid and, therefore, to be taught to new members as the correct way to

perceive, think, and feel in relation to those problems”.

Kultur merupakan asumsi dasar yang ditemukan, dipahami, dan

dikembangkan oleh anggota kelompok/grup. Karena asumsi terbukti

benar saat digunakan untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi

kelompok, maka asumsi tersebut diajarkan kepada anggota-anggota baru

sebagai cara pandang, pola pikir, dan perasaan yang benar ketika

menghadapi masalah di masa mendatang.

Clayde Kluckhon, sebagaimana dikutip Erez (1993:41),

menyatakan bahwa:

“Culture consist of patterned ways of thinking, feeling, and reacting, acquired and transmitted mainly by symbols, constituting the distinctive achievement of human group, including their embodiments in artifacts:

the essential, core of culture consist of traditional (i.e. historically

derived and sellected) ideas and especially their attached values”.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif.

Kultur membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya

dalam cara berpikir, perasaan dan tindakan anggota kelompok. Esensi

kultur adalah nilai-nilai yang didasarkan pada pengalaman sejarah masa

lalu. Nilai-nilai itu telah terinternalisasi ke dalam diri masing-masing

(34)

sehingga sangat sulit untuk berubah. Nilai-nilai itu dalam diri masyarakat

tampak dalam pola pikir, rasa dan reaksi masyarakat atas suatu kejadian.

Sementara Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai:

a collective phenomenon, because it is at least partly shared with

people who live or lived within the same social environment, which is there it was learned. It is the collective programming of the mind wich distinguishes the members of one group or category of people from

another.

Hofstede (1994:4) menyebut kultur sebagai: “software of the mind”.

Substansi perbedaan tersebut lebih tampak pada praktik kultur daripada

nilai-nilai. Sebagai bentuk pemrograman mental secara kolektif, kultur

cenderung sulit berubah, kalaupun berubah akan membutuhkan waktu

yang lama dan perlahan-lahan.

2. Dimensi Kultur Keluarga

Kultur dalam suatu kelompok cenderung sangat sulit untuk

berubah, jikalau berubah ini akan membutuhkan waktu yang lama dan

secara bertahap. Hal ini disebabkan karena kultur telah terkristalisasi ke

dalam lembaga yang telah mereka bangun selama ini. La Midjan

(1995:7) menyebutkan bahwa lembaga yang dimaksud antara lain:

struktur keluarga, struktur pendidikan, organisasi keagamaan,

asosiasi-asosiasi, bentuk pemerintahan, organisasi kerja, lembaga hukum,

kepustakaan, pola tata ruang, bentuk bangunan gedung, dan juga

teori-teori ilmiah.

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national

level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social

(35)

Pada tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang

mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs

individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance

(from weak to strong). Dimensi power distance (jarak kekuasaan)

merupakan tingkat dalam nama kekuasaan anggota institusi

didistribusikan secara berbeda. Dimensi individualism menggambarkan

suatu masyarakat dimana pertalian antar individu cenderung memudar.

Dimensi collectivism menunjukkan suatu kondisi kelompok dimana

individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat sehingga mereka menjadi

sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan suatu kelompok dimana

peran sosial gender terhadap perbedaan yang jelas. Dimensi femininity

menunjukkan masyarakat dalam mana individu akan merasa terancam

dalam suatu ketidakpastian. Pada keluarga, dimensi power distance

(jarak kekuasaan) mencakup indikator: ketaatan kepada norma keluarga,

penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua sebagai dasar

kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus sepanjang hidup

dan ketergantungan. Dimensi collectivism vs individualism mencakup:

demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber

daya bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan

tidak boleh dilupakan, merasa bersalah jika melanggar peraturan dan

keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Dimensi

femininity vs masculinity mencakup indikator: relasi anak dan orangtua

(36)

dari pria dan pembelajaran bersama menjadi rendah hati. Sedangkan

dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator yang meliputi:

toleransi terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga

sabagai tempat belajar dan kepemilikan aturan.

C. Kultur Sekolah

1. Pengertian Kultur Sekolah

Kultur merupakan pandangan hidup yang diakui bersama oleh

suatu kelompok masyarakat, yang mencakup cara berpikir, perilaku, sikap,

nilai yang tercermin baik dalam wujud fisik maupun abstrak. Kultur ini

juga dapat dilihat sebagai suatu perilaku, nilai-nilai, sikap hidup, dan cara

hidup untuk melakukan penyesuaian dengan lingkungan, dan sekaligus

cara untuk memandang persoalan dan memecahkannya. Oleh karena itu,

suatu kultur secara alami akan diwariskan oleh satu generasi kepada

generasi berikutnya.

Sekolah merupakan lembaga utama yang didesain untuk

memperlancar proses transmisi kultural antar generasi tersebut.

Antropolog Clifford Geertz mendefinisikan kultur sebagai suatu pola

pemahaman terhadap fenomena sosial, yang terekspresikan secara eksplisit

maupun implisit. Merujuk pada konteks organisasi (Depdiknas, 2004)

kultur adalah kualitas kehidupan yang diwujudkan dalam aturan-aturan

atau norma, tata kerja, kebiasaan, gaya seorang anggota. Kualitas itu

(37)

dianut oleh organisasi. Kultur dapat dipahami dari dua sisi batiniah dan

lahiriah. Dari sisi batiniah berupa nilai, prinsip, semangat, keyakinan yang

dianut oleh organisasi. Pada sisi lahiriah berupa aturan atau prosedur yang

mengatur hubungan antar anggota organisasi baik formal maupun

informal, prosedur kerja yang harus diikuti anggota organisasi, kebiasaan

kerja yang dimiliki keseluruhan anggota kelompok.

Kultur sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai

organisasi yang unik dan pola relasi sosial diantara anggotanya yang

bersifat unik pula. Tiap-tiap sekolah mempunyai kultur yang bersifat unik.

Tiap-tiap sekolah mempunyai aturan, kebiasaan, serta lambang-lambang

yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Kultur

mempunyai pengaruh mendalam terhadap proses dan cara belajar siswa.

Apa yang dihayati siswa berupa sikap dalam belajar, sikap terhadap

kewibawaan dan juga sikap terhadap nilai-nilai bukan berasal dari

kurikulum sekolah yang bersifat formal melainkan berasal dari kultur

sekolah.

Kultur sekolah diartikan sebagai kualitas kehidupan sebuah sekolah

yang tumbuh dan berkembang berdasarkan nilai atau spirit yang dianut

sekolah tersebut. Kualitas ini mewujud dalam bentuk bagaimana

keseluruhan anggota sekolah, kepala sekolah, para guru, para tenaga

kependidikan bekerja, belajar dan berhubungan satu sama lainnya,

sebagaimana telah menjadi tradisi sekolah (Depdiknas, 2004). Jadi sesuai

(38)

sebagai suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang mempengaruhi tumbuh

dan berkembangnya kualitas kehidupan sekolah.

Menurut Dapiyanta (1995:93) kultur sekolah merupakan perilaku

lahir batin dari komunitas sekolah dalam menjalankan kehidupan sekolah

yang berpola dan mentradisi. Mentradisi disini tidak berarti berhenti,

melainkan dinamis, selalu berproses. Kultur sekolah yang positif dapat

menghasilkan produk kultur yang baik seperti: peningkatan kinerja

individu dan kelompok, peningkatan kinerja sekolah dan institusi, terjamin

hubungan yang sinergi antara warga sekolah, timbul iklim akademik yang

baik serta interaksi yang menyenangkan. Kultur sekolah yang kondusif

akan tercermin dalam organisasi sekolah, deskripsi tugas sekolah,

kebijakan, aturan, tata tertib sekolah, kepemimpinan dan hubungan serta

penampilan fisik (Arief Ahmad,http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/1004

/11/0310.htm)

Berdasarkan pengertian kultur tersebut di atas, kultur sekolah dapat

dideskripsikan sebagai pola nilai-nilai, norma-norma, sikap, ritual, mitos

dan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk dalam perjalanan panjang sekolah.

Kultur sekolah tersebut sekarang ini dipegang bersama baik oleh kepala

sekolah, guru, staf administrasi maupun siswa, sebagai dasar mereka

dalam memahami dan memecahkan berbagai persoalan yang muncul di

sekolah(www.geocities.com/pakguruonline/pradigma_pdd_ms_depan_36.

(39)

2. Dimensi Kultur Sekolah

Kultur dapat dibedakan ke dalam enam tingkatan, yaitu: a national

level, a regional level etc, a gender level, a generation level, a social class

level, dan an organization or corporate level (Hofstede, 1994:10). Pada

tingkatan nasional, kultur dapat dikenali berdasarkan dimensi yang

mencakup: power distance (from small to large), collectivism vs

individualism, femininity vs masculinity, dan uncertanity avoidance (from

weak to strong).

Dimensi power distance (jarak kekuasaan) merupakan tingkat dalam

nama kekuasaan anggota institusi didistribusikan secara berbeda. Dimensi

individualism menggambarkan suatu masyarakat dimana pertalian antar

individu cenderung memudar. Dimensi collectivism menunjukkan suatu

kondisi kelompok dimana individu sejak lahir diintegrasikan secara kuat

sehingga mereka menjadi sangat loyal. Dimensi masculinity menunjukkan

suatu kelompok dimana peran sosial gender terdapat perbedaan yang jelas.

Dimensi femininity menunjukkan masyarakat dalam mana individu akan

merasa terancam dalam suatu ketidakpastian. Pada sekolah, dimensi power

distance (jarak kekuasaan) mencakup indikator: perlakuan guru terhadap

proses pembelajaran terpusat pada siswa, kesempatan bertanya, kebebasan

menyampaikan kritik, komunikasi dua arah (di kelas), peranan orang tua

pada anak di sekolah, aturan dan norma dalam di sekolah, pengembangan

kemampuan dan bakat, dan keuntungan orang tua dengan proses

(40)

kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru,

tingkat penerimaan guru oleh orang lain, sikap positif dalam mengerjakan

tugas, dan tujuan berprestasi. Dimensi femininity vs masculinity mencakup

indikator suasana kompetisi kelas, orientasi pada prestasi dan kompetensi

guru. Sedangkan dimensi uncertainty avoidance mencakup indikator

tingkat penerimaan siswa dengan kekurangan guru, kejelasan guru dalam

menerangkan dan kedekatan hubungan antara guru, siswa, dan orang tua.

D. Kecerdasan Emosional

1. Definisi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence adalah

kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain,

kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi

dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain

(Goleman, 2001:512). Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang

berbeda-beda, tetapi saling melengkapi, dengan kecerdasan akademik

(academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni

yang diukur dengan IQ.

Definisi lain diberikan oleh ahli yang menciptakan istilah

kecerdasan emosi, yakni John Mayer dan Peter Salovey (dalam Goleman,

2001:513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan

memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain, serta

(41)

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan kecerdasan

emosional adalah kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri

pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan

mampu menjalin hubungan baik dengan orang lain. Kelima aspek tersebut

akan mendasari penelitian ini.

2. Ciri-ciri Kecerdasan Emosional

Salovey dan Mayer (dalam Goleman, 2001:513) mendefinisikan

kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan

perasaan sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu

untuk memandu pikiran dan tindakan. Dasar-dasar kecakapan emosional

dan sosial menurut Goleman adalah:

a. Kesadaran diri

Mengetahui apa yang kita rasakan pada saat, dan menggunakannya

untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok

ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang

kuat.

b. Pengaturan diri

Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif kepada

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda

kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali

dari tekanan emosi.

c. Motivasi

Menggunakan hasrat kita yang paling dalam untuk menggerakkan dan

menuntun kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan

bertindak sangat efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan dan

(42)

d. Empati

Merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif

mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan

diri dengan bermacam-macam orang.

e. Keterampilan sosial

Menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain,

dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi

dengan lancar, menggunakan keterampilan-keterampilan untuk

mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan

perselisihan, dan untuk bekerjasama dan bekerja dalam tim.

3. Perbedaan kecerdasan emosi dan kecakapan emosi

Goleman (2001:39) membedakan antara kecerdasan emosi dan

kecakapan emosi. Goleman berpendapat bahwa kecakapan emosi adalah

kecakapan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosi. Inti

kecakapan emosi adalah dua kemampuan: empati, yang melibatkan

kemampuan membaca perasaan orang lain, dan keterampilan sosial yang

berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik. Sedangkan

kecerdasan emosi menentukan potensi kita untuk mempelajari

keterampilan-keterampilan praktis yang didasarkan pada lima unsurnya:

kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam

(43)

E. Prestasi Belajar

1. Pengertian

Prestasi belajar adalah kemampuan, keterampilan dan sikap

seseorang dalam menyelesaikan suatu hal (Zainal Arifin, 1988:3). Belajar

adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif

dengan lingkungan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam

pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan sikap (W.S Winkel,

1991:16). Belajar berhubungan dengan perubahan tingkah laku seseorang

terhadap sesuatu situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalamannya

yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu

tidak dapat dijelaskan atas dasar kecenderungan respon pembawaan,

kematangan, atau keadaan-keadaan sesaat seseorang. Belajar merupakan

suatu proses yang tidak dapat dilihat dengan nyata, proses itu terjadi di

dalam diri seseorang yang sedang mengalami belajar.

Prestasi belajar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Depdikbud, 2002:895) adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan

yang dikembangkan oleh mata pelajaran. Lazimnya ditunjukkan dengan

nilai tes atau angka yang diberikan guru. Kegiatan pengukura prestasi

belajar siswa dilakukan antara lain melalui ulangan, ujian, tugas, dsb

(Masidjo, 1995:13).

Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa prestasi belajar

adalah penguasaan pengetahuan dan keterampilan yang dikembangkan

(44)

yang diberikan oleh guru. Keberhasilan dalam kegiatan yang disebut

belajar akan tampak dalam prestasi belajar yang diraihnya. Prestasi belajar

dapat diketahui dari hasil evaluasi belajarnya. Usaha untuk mengevaluasi

hasil belajar, biasanya dilakukan dengan mengadakan pengukuran dalam

bentuk tertulis, lisan maupun praktik yang kemudian diberi skor yang

biasanya berwujud angka. Hasil dari pengukuran ini merupakan

informasi-informasi atau data yang diwujudkan dalam bentuk angka-angka yang

disebut prestasi belajar.

2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Prestasi Belajar

Faktor–faktor yang mempengaruhi prestasi belajar siswa dapat

digolongkan menjadi dua yaitu (Dimyati dan Mujiono, 1999:236-254):

a. Faktor internal

1) Sikap terhadap belajar

Sikap merupakan kemampuan memberikan penilaian tentang

sesuatu, yang membawa diri sesuai dengan penilaian tentang

sesuatu, mengakibatkan terjadinya sikap menerima, menolak,

atau mengabaikan kesempatan belajar.

2) Motivasi belajar

Motivasi belajar merupakan kekuatan mental yang mendorong

terjadinya proses belajar. Motivasi ini dapat menjadi lemah.

Lemahnya motivasi, atau tiadanya motivasi belajar akan

melemahkan kegiatan belajar. Selanjutnya, mutu hasil belajar

(45)

siswa perlu diperkuat terus menerus agar siswa memiliki hasil

belajar yang baik, yang pada akhirnya semakin meningkatkan

motivasi berprestasi.

3) Konsentrasi belajar

Konsentrasi belajar merupakan kemampuan memusatkan

perhatian pada pelajaran yang tertuju pada isi bahan belajar

maupun proses memperolehnya. Untuk memperkuat perhatian

pada pelajaran, guru perlu menggunakan bermacam-macam

strategi belajar mengajar, dan memperhitungkan waktu belajar

serta selingan istirahat.

4) Mengolah bahan belajar

Mengolah bahan belajar merupakan kemampuan siswa untuk

menerima isi dan cara memperoleh ajaran yang dikembangkan

diberbagai mata pelajaran, sehingga lebih bermakna bagi siswa.

Isi bahan belajar berupa pengetahuan, nilai kesusilaan, nilai

agama, kesenian, serta keterampilan mental dan jasmani. Cara

memperoleh ajaran berupa bagaimana menggunakan kamus,

daftar logaritma, atau rumusan matematika.

5) Menyimpan perolehan hasil belajar

Menyimpan perolehan hasil belajar merupakan kemampuan

menyimpan isi pesan dan cara memperoleh pesan. Kemampuan

menyimpan tersebut dapat berlangsung dalam waktu yang

(46)

(hasil belajar tetap dimiliki siswa). Proses belajar terdiri dari

proses penerimaan, pengolahan, dan pengaktifan yang berupa

penguatan serta pembangkitan kembali untuk dipergunakan.

Dalam kehidupan sebenarnya tidak berarti semua proses tersebut

berjalan lancar, akibatnya proses penggunaan hasil belajar

terganggu.

6) Menggali hasil belajar yang tersimpan

Menggali hasil belajar yang tersimpan merupakan proses

pengaktifan pesan yang telah diterima. Dalam hal pesan baru,

maka siswa akan memperkuat pesan dengan cara mempelajari

kembali, atau mengkaitkannya dengan bahan lama. Dalam hal

pesan lama, maka siswa akan memanggil atau membangkitkan

pesan dan pengalaman lama untuk suatu unjuk hasil belajar.

7) Kemampuan berprestasi

Kemampuan berprestasi merupakan suatu puncak proses belajar

yang membuktikan keberhasilan belajar dalam memecahkan

tugas-tugas belajar atau mentransfer hasil belajar. Kemampuan

berprestasi terpengaruh oleh proses penerimaan, pengaktifan,

prapengolahan, serta pemanggilan untuk pembangkitan pesan

dan pengalaman.

8) Rasa percaya diri siswa

Rasa percaya diri timbul dari keinginan mewujudkan diri

(47)

dapat timbul berkat adanya pengakuan dari lingkungan. Dalam

proses belajar diketahui bahwa unjuk prestasi merupakan tahap

pembuktian ”perwujudan diri” yang diakui oleh guru dan rekan

sejawat siswa. Makin sering berhasil menyelesaikan tugas, maka

semakin memperoleh pengakuan umum, dan selanjutnya rasa

percaya diri semakin kuat.

9) Intelegensi dan keberhasilan belajar

Intelegensi adalah suatu kecakapan global atau rangkuman

kecakapan untuk dapat bertindak terarah, berpikir secara baik,

dan bergaul dengan lingkungan secara efisien. Kecakapan

tersebut menjadi aktual bila siswa memecahkan masalah dalam

belajar atau kehidupan sehari-hari.

10) Kebiasaan belajar

Dalam kegiatan sehari-hari ditemukan adanya kebiasaan belajar

yang kurang baik. Kebiasaan belajar tersebut antara lain: belajar

pada akhir semester, belajar tidak teratur, menyia-nyiakan

kesempatan belajar, bersekolah hanya untuk bergengsi, bergaya

sok menggurui atau bergaya minta ”belas kasih” tanpa belajar.

Kebiasaan-kebiasaan belajar tersebut disebabkan oleh ketidak

mengertian siswa pada arti belajar bagi diri sendiri. Hal ini dapat

(48)

11) Cita-cita siswa

Cita-cita sebagai motivasi intrinsik perlu didikan yang harus

dimulai sejak sekolah dasar. Cita-cita merupakan wujud

eksplorasi dan emansipasi siswa.

b. Faktor eksternal

1) Guru sebagai pembina siswa belajar

Guru adalah pengajar yang mendidik. Ia tidak hanya mengajar

bidang studi yang sesuai dengan keahliannya, tetapi juga menjadi

pendidik generasi muda bangsanya. Sebagai pendidik, ia

memusatkan perhatian pada kepribadian siswa, khususnya

berkenaan dengan kebangkitan belajar yang merupakan wujud

emansipasi diri siswa. Sebagai guru pengajar, guru bertugas

mengelola kegiatan belajar siswa di sekolah. Adapun tugas

pengelolaan pembelajaran siswa meliputi: pembangunan

hubungan baik dengan siswa, menggairahkan minat, perhatian

dan memperkuat motivasi belajar untuk berprestasi,

mengorganisasi belajar, melaksanakan pendekatan pembelajaran

secara tepat, mengevaluasi hasil belajar secara jujur dan obyektif,

melaporkan hasil belajar kepada orang tua/wali siswa.

2) Prasarana dan sarana pembelajaran

Lengkapnya prasarana dan sarana pembelajaran merupakan

(49)

sarana dan prasarana otomatis bisa menentukan jaminan

terselenggaranya proses belajar dengan baik.

3) Kebijakan penilaian

Penilaian adalah penentuan sampai sesuatu dipandang berharga,

bermutu, atau bernilai. Ukuran tentang hal itu berharga, bermutu,

atau bernilai datang dari orang lain. Dalam penilaian hasil

belajar, maka penentu keberhasilan belajar tersebut adalah guru.

Guru adalah pemegang kunci pembelajaran. Guru menyusun

desain pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, dan menilai

hasil belajar.

4) Lingkungan sosial siswa di sekolah

Lingkungan dimana siswa tinggal yang dapat berpengaruh

terhadap kehidupan siswa. Siswa yang berada di lingkungan yang

dikondisikan untuk belajar, misalnya dibuat jam belajar malam

antara jam 19.00-21.00, maka siswa akan terdorong untuk

belajar. Sementara siswa yang berada di lingkungan yang tidak

peduli pada pendidikan, maka siswa akan menjadi malas untuk

belajar.

5) Kurikulum sekolah

Program pembelajaran di sekolah mendasarkan pada suatu

kurikulum. Kurikulum yang diberlakukan sekolah adalah

kurikulum yang disyahkan oleh pemerintah, atau suatu

(50)

disusun berdasarkan kemajuan masyarakat. Perubahan kurikulum

dapat mempengaruhi tujuan yang akan dicapai, isi pendidikan,

kegiatan belajar mengajar dan evaluasi pembelajaran. Perubahan

kurikulum dapat menimbulkan masalah bagi guru, siswa maupun

elemen-elemen dalam sekolah dan juga orang tua siswa.

F. Kerangka Teoretik

1. Pengaruh locus of control pada hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar.

Kecerdasan Emosional (EQ) merupakan faktor penting yang

mempengaruhi hasil belajar. Hasil penelitian di sekolah-sekolah

Amerika menunjukkan bahwa jika kecerdasan emosional berkembang

dengan baik maka akan sangat menentukan keberhasilan seseorang di

kemudian hari, termasuk meningkatkan prestasi belajar.

Pelatihan-pelatihan emosional (self science/social development/life skill)

merupakan upaya mengem-bangkan pengenalan emosi diri, mengolah

emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan

membina hubungan akan membentuk keseimbangan mental antara nalar

dan perasaan atau emosi. Hal-hal tersebut menjadi hal penting dalam

pengembangan prestasi belajar seseorang. Hasil-hasil pembelajaran

keterampilan emosional di berbagai tempat di Amerika menunjukkan

bahwa siswa yang telah mengikuti pendidikan pengembangan

(51)

dibandingkan dengan siswa yang tidak mengikuti pelatihan

pengembangan emosional, misalnya membantunya dalam keterampilan

belajar, lebih peduli dan percaya diri (Goleman, 2001:432-435)

Hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar

siswa, diduga kuat berbeda pada individu dengan locus of control yang

berbeda. Siswa dengan kecenderungan locus of control internal diduga

kuat mempunyai prestasi belajar yang tinggi dibandingkan siswa

dengan locus of control eksternal. Hal demikian disebabkan siswa

dengan locus of control internal memiliki keyakinan diri yang tinggi,

berprestasi, aktif, tidak mudah terpengaruh, mandiri, mampu

mengendalikan hidupnya, yakin akan keberhasilan hidupnya sehingga

dengan kesadaran itu siswa akan belajar lebih giat untuk mencapai

prestasi belajar yang lebih baik dibanding siswa dengan locus of control

eksternal. Oleh sebab siswa dengan locus of control eksternal

mengandalkan penentu hidupnya dari luar dirinya, maka ia hanya

pasrah menerima nasib dan keberuntungan, tanpa ada usaha merubah

keadaan menjadi lebih baik.

2. Pengaruh kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar

Kultur keluarga adalah suatu nilai yang dimiliki masyarakat/

keluarga yang merupakan hasil kajian/pengalaman yang berlangsung

turun temurun. Siswa yang berasal dari kultur keluarga yang berbeda,

(52)

kecerdasan emosional dengan prestasi belajarnya. Pada siswa yang

berasal dari kultur keluarga yang bercirikan power distance kecil,

derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa

diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang berasal dari

kultur keluarga dengan power distance besar. Siswa yang berasal dari

keluarga dengan power distance kecil mempunyai ketaatan kepada

norma keluarga, penghormatan terhadap orang tua dan yang lebih tua

sebagai dasar kebaikan, pengaruh otoritas orang tua terus menerus

sepanjang hidup dan ketergantungan. Berbeda dengan siswa yang

berasal dari keluarga dengan power distance besar dimana sebaliknya

sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan individualism. Siswa

yang berasal dari keluarga dengan ciri collectivism mempunyai

demokratis dalam keluarga, kesetiaan kepada kelompok adalah sumber

daya bersama, kemampuan mengelola keuangan, upacara keagamaan

tidak boleh dilupakan, perasaan bersalah jika melanggar peraturan, dan

keluarga menjadi tempat bersatunya anggota keluarga. Berbeda dengan

(53)

sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan femininity. Siswa

yang berasal dari keluarga dengan ciri masculinity relasi anak dan

orang tua ada jarak, perbedaan peran orang tua, peranan wanita yang

lebih rendah daripada pria, dan pembelajaran bersama menjadi rendah

hati. Berbeda dengan siswa yang berasal dari keluarga yang bercirikan

femininity dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur keluarga yang bercirikan

uncertainty avoidance yang lemah, derajat hubungan kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi

dibandingkan dengan siswa yang berasal dari kultur keluarga yang

bercirikan uncertainty avoidance yang kuat. Siswa yang berasal dari

keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang lemah toleransi

terhadap situasi yang tidak pasti dan punya inisiatif, keluarga sebagai

tempat belajar dan kepemilikan aturan. Berbeda dengan siswa yang

berasal dari keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance yang kuat

dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan

(54)

3. Pengaruh kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar.

Kultur sekolah adalah suatu nilai yang dianut oleh sekolah yang

mempengaruhi tumbuh dan berkembangnya siswa. Siswa yang berasal

dari kultur sekolah yang berbeda, diduga kuat mempunyai derajat

hubungan yang tidak sama antara kecerdasan emosional dengan prestasi

belajarnya. Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan

siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri power distance besar.

Siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance kecil perlakuan

guru terhadap para siswa sama, proses pembelajaran terpusat pada siswa,

kesempatan bertanya, kebebasan menyampaikan kritik, komunikasi dua

arah (di kelas), peranan orang tua pada anak di sekolah, aturan dan

norma dalam di sekolah, pengembangan kemampuan dan bakat, dan

keuntungan orang tua dengan adanya proses pembelajaran sekolah.

Berbeda dengan siswa yang berasal dari sekolah dengan power distance

besar dimana sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan

kecerdasan emosional dengan prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

collectivism, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan siswa yang

(55)

berasal dari sekolah yang bercirikan collectivism siswa mempunyai

kebebasan mengungkapkan pendapat, penyelesaian tugas dari guru,

tingkat penerimaan diri oleh orang lain, sikap positif dalam

mengerjakan tugas dan tujuan berprestasi Berbeda dengan siswa yang

berasal dari sekolah yang bercirikan individualism dimana sebaliknya,

sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

masculinity, derajat hubungan kecerdasan emosional dengan prestasi

belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi dibandingkan dengan siswa

yang berasal dari sekolah yang bercirikan femininity. Siswa yang

berasal dari sekolah dengan masculinity suasana kompetisi di kelas,

berorientasi pada prestasi dan kompetensi guru. Berbeda dengan siswa

yang berasal dari sekolah dengan ciri femininity dimana sebaliknya,

sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan emosional dengan

prestasi belajar siswa.

Pada siswa yang berasal dari kultur sekolah yang bercirikan

uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar siswa diduga kuat akan lebih tinggi

dibandingkan siswa yang berasal dari kultur sekolah dengan ciri

uncertainty avoidance kuat. Siswa yang berasal dari sekolah dengan

uncertainty avoidance tingkat penerimaan siswa dan kekurangan guru,

(56)

guru, siswa, dan orange tua. Berbeda dengan siswa yang berasal dari

keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance kuat dimana

sebaliknya, sehingga melemahkan derajat hubungan kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar siswa.

G. Hipotesis Penelitian

1. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar. Pada locus of control internal, derajat

hubungan antara kecerdasan emosional dengan prestasi belajar lebih

tinggi dibanding dengan locus of control eksternal.

2. Ada pengaruh positif kultur keluarga pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar. Pada kultur keluarga yang bercirikan

power distance kecil, derajat hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur

keluarga yang bercirikan power distance besar. Pada kultur keluarga

yang bercirikan collectivism, derajat hubungan antara kecerdasan

emosional dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan

kultur keluarga yang bercirikan individualism. Pada kultur keluarga yang

bercirikan masculinity, derajat hubungan antara kecerdasan emosional

dengan prestasi belajar akan lebih tinggi dibanding dengan kultur

keluarga yang bercirikan femininity. Pada kultur keluarga yang

bercirikan uncertainty avoidance lemah, derajat hubungan antara

(57)

dibanding dengan kultur keluarga yang bercirikan uncertainty avoidance

kuat.

3. Ada pengaruh positif kultur sekolah pada hubungan antara kecerdasan

Gambar

Tabel  Operasionalisasi Kecerdasan Emosional .............................................
empati 5) keterampilan sosial. Berikut ini disajikan tabel operasionalisasinya:
Rangkuman Uji Validitas Untuk Tabel 3.1 Locus of Control
Tabel 3.2 Rangkuman Uji Validitas Untuk Kultur Keluarga
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

Kepuasan kerja dari para karyawan di Politeknik “X” Bandung pada dasarnya. masih tergolong cukup hal tersebut untuk

A teacher training program, named Model-Supported Scientific Inquiry Training Program (MSSITP) has been successfully developed to improve the inquiry skills of Indonesian

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

(8) Fungsi bangunan gedung sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus sesuai dengan peruntukan lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Menimbang bahwa Pembanding dalam memori bandingnya mengajukan keberatan yang dapat disimpulkan pada pokoknya Pembanding tidak sependapat dengan pertimbangan dan Putusan