• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kemiskinan telah menjadi isu dunia karena seperempat penduduk dunia dewasa ini tergolong miskin sebagaimana dilaporkan oleh The World Bank (2004). Kemiskinan di Indonesia berdasarkan standar hidup minimum dengan pengeluaran per kapita per hari di bawah US$ 1 berjumlah sekitar 35 juta orang. Jika dihitung dengan standar US$ 2, maka penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sekitar 80 persen atau lebih dari 175 juta orang; jumlah ini sama dengan jumlah total penduduk miskin di negara-negara Asia Timur tanpa Cina (The World Bank, 2006).

Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Millenium Summit tahun 2000 menyepakati Millenium Development Goals (MDGs) sebagai target sekaligus indikator perbaikan dunia; yakni mengurangi kemiskinan hingga menjadi 50 persen pada tahun 2015. MDGs memuat delapan butir tujuan, salah satu di antaranya adalah Eradicate Extreme Poverty and Hunger. Kemiskinan menjadi penting mendapat perhatian karena kemiskinan akan menurunkan kualitas hidup (quality of life) masyarakat, mengakibatkan antara lain tingginya beban sosial-ekonomi masyarakat, rendahnya kualitas dan produktivitas sumberdaya manusia, serta menurunnya ketertiban umum (Yudhoyono dan Harniati, 2004).

Di negara-negara berkembang, kemiskinan umumnya merupakan fenomena perdesaan dan pertanian. Demikian juga di Indonesia, sekitar 75.7 persen insiden kemiskinan terdapat di perdesaan. Lembaga Penelitian Ekonomi dan Manajemen, Universitas Indonesia (2001) melaporkan bahwa sekitar 67 persen dari penduduk miskin menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian,

(2)

dengan indeks kedalaman kemiskinan (squared poverty gap) di sektor pertanian dua kali lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian. Intensitas kemiskinan atau keparahan kemiskinan di sektor pertanian 2.21 lebih tinggi dibandingkan dengan sektor non-pertanian.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (Kompas, 2007), jumlah penduduk miskin di Indonesia tahun 2006 mencapai sekitar 39.05 juta atau sekitar 17.75 persen dari jumlah penduduk Indonesia. Secara geografis, penduduk yang tinggal di bagian timur Indonesia yakni Papua, Maluku, dan Nusa Tenggara menunjukkan persentase penduduk miskin lebih tinggi daripada penduduk di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah. Indeks kedalaman dan indeks keparahan kemiskinan di daerah tersebut juga lebih tinggi daripada daerah lain di Indonesia.

Selanjutnya, sebagian penduduk Indonesia yang tidak tergolong miskin, berada di atas garis kemiskinan, namun merupakan penduduk yang rentan jatuh pada golongan miskin. Peningkatan insiden kemiskinan menunjukkan angka yang tinggi pada masa krisis yakni dari 11.3 persen pada tahun 1996 menjadi 24.2 persen pada tahun 1998 sebagaimana dilaporkan oleh Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian (2007). Hal ini menggambarkan bahwa sebagian masyarakat Indonesia sangat rentan terhadap gejolak perekonomian.

Berbagai upaya penanggulangan kemiskinan telah dilakukan pemerintah, namun tingkat kemiskinan masih tinggi. Bermacam program aksi penanggulangan kemiskinan telah dirancang dan diimplementasikan oleh berbagai instansi pemerintah dengan berbagai pendekatan. Namun, kondisi kemiskinan belum banyak berubah. Kebijakan-kebijakan yang diluncurkan pemerintah selama ini belum cukup efektif untuk mengurangi kemiskinan. Upaya pengurangan kemiskinan selama ini dicirikan oleh antara lain: (1) terlalu

(3)

bertumpu pada pertumbuhan ekonomi makro, (2) lebih banyak bersifat menyembuhkan (curative) bahkan lebih banyak yang bersifat karitatif (charity), (3) kebijakan yang tidak memperhitungkan indikator dan karakteristik kemiskinan, (4) kurang berkesinambungan dalam implementasinya, dan (5) kebijakan yang terpusat dan cenderung seragam. Sementara itu, Dartanto (2007) menyebutkan bahwa kebijakan pemerintah selalu bersifat reaktif, parsial, dan tidak konsisten dalam mengimplementasikan kebijakan pengentasan kemiskinan serta kurangnya sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi pemerintah.

Selanjutnya, Center for Economic and Social Studies (CESS, 2004). melaporkan bahwa semenjak krisis ekonomi, terdapat setidaknya 28 program aksi dalam rangka pengurangan kemiskinan; yang terdiri dari 16 program aksi yang dilakukan oleh instansi pemerintah, empat oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan delapan oleh organisasi internasional. Sementara itu, Daly dan Fane (2002) memaparkan bahwa program pemerintah yang spesifik menyentuh penduduk miskin terdiri dari tiga kelompok yaitu skema bantuan langsung tunai (cash transfer schemes), subsidi dan bantuan (benefits in kind), serta penciptaan lapangan kerja (job creation). Pengeluaran pemerintah untuk program-program tersebut antara tahun 1998/1999 sampai dengan tahun 2000 rata-rata sekitar 12.84 triliun per tahun.

Fenomena kemiskinan perdesaan dan pertanian menunjukkan adanya kaitan antara faktor spasial dan kemiskinan sebagaimana dilaporkan oleh beberapa studi. International Fund for Agricultural Development (2002) menemukan bahwa kemiskinan di Asia terkonsentrasi pada dua dimensi yaitu faktor geografis dan faktor sosial. Secara agregat di wilayah Asia, kemiskinan terjadi pada penduduk dengan matapencarian petani; terbanyak adalah kemiskinan pada pertanian tadah hujan dan pertanian di lahan kering.

(4)

Sementara itu, Overseas for Development Institute (ODI) dan Multistakeholder Forestry Program (2005) melaporkan bahwa di desa dalam dan tepi hutan terdapat lebih tinggi angka kemiskinan dibandingkan dengan desa di luar hutan. Rata-rata kemiskinan di desa dalam dan di tepi hutan adalah sekitar 37-50 persen dari kemiskinan di masing-masing wilayah; tertinggi di wilayah Papua yakni sekitar 70 persen dari jumlah penduduk miskin di wilayah tersebut. Setelah itu menyusul Nusa Tenggara yakni sebesar 66 persen dari jumlah penduduk miskin. Sedangkan di Sumatera, Jawa dan Bali serta Kalimantan, rumahtangga miskin yang tinggal pada zona agroekosistem hutan lebih rendah daripada rata-rata kemiskinan nasional.

Lebih jauh, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian (1995) melaporkan bahwa pada agroekosistem lahan kering dan pantai, kemiskinan dicirikan oleh mutu sumberdaya manusianya yang rendah, daya adopsi terhadap teknologi baru dan ketrampilan lebih rendah yang mengakibatkan produktivitas rendah serta aksesibilitas terhadap pasar tenaga kerja rendah. Disebutkan juga bahwa pada agroekosistem lahan kering di Lampung menunjukkan ciri desa antara lain tidak memadainya prasarana ekonomi seperti transportasi dan infrastruktur lainnya mencakup sarana komunikasi, informasi, listrik dan lain-lain sehingga berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi.

Selanjutnya, kerentanan penduduk terhadap kemiskinan juga menunjukkan keterkaitan dengan ekosistem. Mukherjee (2002) melaporkan bahwa dalam suatu ekosistem pertanian padi pada keluarga pertanian dan kehutanan di Kalimantan Barat memperlihatkan konfigurasi kerentanan yang berbeda. Sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, konteks kerentanan kemiskinan belum merupakan fenomena yang disadari secara luas dalam analisis kemiskinan dan penanggulangannya. Dewasa ini, pada forum dunia,

(5)

konteks kerentanan (vulnerability) mulai dijadikan tema riset dalam menganalisis fenomena kemiskinan dan penanggulangannya. Namun, riset mengenai kerentanan terhadap kemiskinan tersebut khususnya di Indonesia jumlahnya masih terbatas.

Kondisi kemiskinan sebagaimana tersebut di atas menyiratkan bahwa kemiskinan di Indonesia menunjukkan keragaman keragaan berdasarkan agroekosistem. Disamping itu, kemiskinan di Indonesia mempunyai fenomena yang khas pada tiap agroekosistem. Pada disertasi ini, agroekosistem didefinisikan sebagai sistem interaksi antara manusia dan lingkungan biofisik sumberdaya perdesaan dan pertanian guna memungkinkan kelangsungan hidup penduduknya.

Oleh karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan di Indonesia tidak sepenuhnya dapat mengacu pada resep-resep pengentasan kemiskinan negara lain, hasil kajian negara lain ataupun pendekatan spasial dengan skala agregat seperti Asia-Pasifik dan lain-lain. Upaya pengurangan kemiskinan dan kerentanan di Indonesia juga tidak dapat menggunakan satu resep tertentu. Hal ini berkaitan dengan kekhasan fenomena sekaligus keragaman keragaan kemiskinan dan kerentanan khususnya berdasarkan agroekosistem.

Mengingat keterbatasan sumberdaya pemerintah ataupun pemangku kepentingan (stakeholders) lainnya dalam upaya pengurangan kemiskinan, maka alokasi sumberdaya haruslah tepat sasaran dan tepat jenis intervensinya. Untuk lebih mengoptimalkan daya agroekosistem dalam kelangsungan hidup dan kesejahteraan penduduknya, pengetahuan tentang tipologi kemiskinan pada agroekosistem menjadi sangat penting. Upaya-upaya pengurangan kemiskinan dapat lebih fokus dan penanganannya lebih terarah bila tipologi kemiskinan tersebut dapat diketahui. Tipologi kemiskinan pada disertasi ini didefinisikan

(6)

sebagai keragaan yang mempresentasikan karakter dan magnitut kemiskinan dan kerentanan.

Dengan menganalisis tipologi kemiskinan, dapat diketahui: (1) kebijakan yang sesuai untuk sasaran tertentu, (2) ”titik masuk” pengurangan kemiskinan, (3) prioritas berdasarkan urgensi dan keterbatasan sumberdaya, dan (4) rentang waktu intervensi. Karena itu, analisis mengenai tipologi kemiskinan serta faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin sangat diperlukan. Kecenderungan mengabaikan tipologi kemiskinan khususnya berdasarkan agroekosistem dengan spesifik Indonesia haruslah dikoreksi dalam kebijakan pengurangan kemiskinan pada masa yang akan datang.

Selain tipologi, didapati juga bahwa adanya perbedaan daya dukung dan peluang ekonomi tiap agroekosistem untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hal ini ditunjukkan oleh perbedaan karakteristik atau faktor-faktor penciri yang melekat pada rumahtangga miskin. Dengan kata lain, faktor penciri yang melekat pada kemiskinan tersebut adalah suatu archetype kemiskinan; household that is consider to be the poor because they have all their most important characteristics.

Dengan demikian, maka kebijakan dalam pengurangan kemiskinan tidak dapat seragam tetapi hendaklah memperhitungkan tipologi dan faktor penciri kemiskinan terkait dengan keragaman agroekosistem di Indonesia. Jadi, kebijakan pengurangan kemiskinan tidak dapat dengan solusi one fits for all. Hal ini didasari pemikiran bahwa keragaman kemiskinan mencerminkan perbedaan peluang-peluang ekonomi; peluang usaha dan peluang kerja serta harga sumberdaya yang berbeda antara agroekosistem satu dengan yang lainnya.

Namun demikian, dalam upaya pengurangan kemiskinan dan kerentanan, kebijakan makro seperti pertumbuhan ekonomi dan kebijakan lain

(7)

yang pro poor merupakan prasyarat penting (necessary condition), tetapi belum cukup (insufficient). Untuk itu, diperlukan perspektif mikro yang selama ini terabaikan dalam upaya-upaya penanggulangan kemiskinan. Perspektif mikro dalam dimensi kemiskinan antara lain peningkatan kapabilitas individu dan rumahtangga, pengurangan kerentanan, perbaikan kelembagaan dan lingkungan. Dengan kata lain, pembangunan sosial dan ekonomi dapat dilakukan mulai dari tingkat bawah.

Berdasarkan uraian-uraian terdahulu, maka pendekatan agroekosistem layak dipilih sebagai alternatif acuan untuk pengurangan kemiskinan. Disertasi ini menghipotesiskan bahwa kemiskinan tidak secara acak terjadi, tetapi mengikuti pola-pola sistematis (systematic patterns) yang secara struktural berkorelasi kuat dengan agroekosistem. Sebagian rumahtangga miskin pada agroekosistem tertentu terperangkap dalam kemiskinan (spatial poverty trap) yang begitu dalam, dan sulit melewati ambang batas miskin tanpa intervensi pemerintah.

1.2. Perumusan Masalah

Permasalahan kemiskinan sangat kompleks; baik ditinjau dari sisi sebab dan akibat terjadinya kemiskinan, ragam dimensi pengukuran kemiskinan, dan juga dalam metoda pengukurannya. Kemiskinan bukanlah persoalan ekonomi semata, tetapi terkait erat dengan masalah sosial bahkan politik. Kebijakan makroekonomi berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap dinamika insiden kemiskinan. Kebijakan makroekonomi tersebut antara lain tingkat pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat pengangguran, distribusi pendapatan dan tingkat upah. Kemiskinan berkait dengan aspek sosial antara lain tingkat dan jenis pendidikan, tingkat kesehatan, akses terhadap sumber-sumber produksi, faktor demografi, gender dan kultural. Dimensi spasial dan

(8)

infrastruktur merupakan faktor-faktor penting yang berasosiasi dengan insiden kemiskinan.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kemiskinan pun beragam, berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu daerah ke daerah lain, bahkan dari satu waktu ke waktu yang lain. Karena itu, kebijakan pengurangan kemiskinan yang bersifat seragam dan karitas tidaklah tepat. Kebijakan pengurangan kemiskinan hendaknya tidak membuat ketergantungan penduduk miskin.

Menurut Sharp, Register, dan Grimes (1998), para ahli ekonomi pembangunan menyatakan bahwa;

Problems with the old welfare system: It was argued that most programs placed an emphasis on financial support and did not encourage recipients to remedy the causes of their poverty. Many argued that the programs were structured in ways that created a ‘welfare dependency” that resulted in a permanent culture of poverty”.

Kritik Sharp dan kawan-kawan tersebut membawa perubahan terhadap penanganan kesejahteraan (welfare reform) sejak pertengahan dekade 1990-an.

Dalam rangka memberikan kontribusi untuk menjawab permasalahan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian tentang kemiskinan dengan pendekatan agroekosistem, disertasi ini dirumuskan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tipologi kemiskinan di Indonesia? Adakah keragaman antar agroekosistem dalam hal tipologi kemiskinan?

2. Faktor-faktor apakah yang dapat menjelaskan kemiskinan pada tiap-tiap agroekosistem?

3. Bagaimanakah kebijakan pemerintah dalam penanggulangan dan pencegahan kemiskinan berdasarkan agroekosistem tersebut?

Hal-hal tersebut di atas perlu dianalisis supaya kebijakan-kebijakan penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif karena program dirancang tepat

(9)

sasarannya dan sesuai dengan faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tipologi dan variabel penciri kemiskinan Indonesia dan agroekosistem serta memberikan rekomendasi pengurangan kemiskinan dengan pendekatan berbasis agroekosistem. Secara lebih spesifik, tujuan penelitian adalah:

1. Mengalisis insiden kemiskinan, indeks kedalaman, dan indeks keparahan kemiskinan tiap agroekosistem.

2. Menganalisis kerentanan kemiskinan pada tiap agroekosistem. 3. Menganalisis karakteristik kemiskinan pada tiap agroekosistem.

4. Merumuskan opsi kebijakan (policy option) pengurangan kemiskinan dan kerentanan terhadap kemiskinan berdasarkan agroekosistem dan prioritas program dikaitkan dengan pencapaian MDGs khususnya tujuan pertama (eradicate extreme poverty and hunger).

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Analisis kemiskinan dibatasi dengan pendekatan pengeluaran penduduk miskin dibandingkan dengan garis kemiskinan, dihitung dengan menggunakan standar BPS. Indikator yang digunakan yaitu headcount index, poverty gap index dan severity index. Tingkat kemiskinan dihitung melalui pengeluaran konsumsi penduduk. Analisis multidimensi kemiskinan menggunakan variabel human capital atau indikator kapabilitas (tingkat pendidikan, kondisi kesehatan, jumlah dependen anggota keluarga, dan jenis kelamin), physical capital (akses fisik, kepemilikan aset produktif), dimensi spasial dan infrastruktur.

(10)

Kerentanan insiden kemiskinan tiap agroekosistem terhadap garis kemiskinan diukur dengan elastisitas insiden kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan terhadap garis kemiskinan. Sifat kemiskinan yang mengindikasikan kemiskinan kronis (chronic poverty) dan tidak kronis (transient poverty) dianalisis dengan menghitung peluang penduduk keluar dari kemiskinan Sedangkan faktor penciri kemiskinan atau faktor-faktor yang berasosiasi dengan kemiskinan di estimasi dengan probabilitas rumahtangga jatuh ke bawah garis kemiskinan yang dicerminkan oleh parameter variabel bebas.

Penelitian ini mempunyai keterbatasan antara lain; jumlah agroekosistem yang diteliti dibatasi di enam (6) agroekosistem yaitu pantai pesisir, dataran tinggi, hutan, lahan basah, lahan kering, lahan campuran sesuai dengan ketersediaan data yang menggunakan gabungan data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) dan Potensi Desa (Podes) dari Badan Pusat Statistik (BPS). Namun, tiap agroekosistem tidak eksklusif kecuali lahan basah, lahan kering dan lahan campuran. Karena itu, untuk melihat keragaman antara agroekosistem, maka analisis uji proporsi insiden kemiskinan hanya dilakukan terhadap lahan basah, lahan kering dan lahan campuran.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tipologi kemiskinan dan kerentanan serta karakteristik rumahtangga miskin di Indonesia berdasarkan agroekosistem Sehingga, dengan hasil penelitian ini diharapkan kebijakan-kebijakan pengurangan kemiskinan dapat lebih terarah, efisien dan efektif. Dengan mengetahui tipologi kemiskinan Indonesia, diharapkan insiden kemiskinan dapat dicegah (bersifat preventif) dan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan (bersifat kuratif).

(11)

Dengan menganalisis variabel-variabel kemiskinan dan kerentanan serta mengestimasi kerentanan, diharapkan resiko penduduk menjadi miskin dapat diketahui dan dicegah. Dengan mengaggregasi kemiskinan dan kerentanan, diperoleh gambaran yang lebih komprehensif dan rinci tentang kemiskinan. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan opsi kebijakan yang lebih tepat bagi tiap daerah baik dalam mengurangi resiko penduduk jatuh ke bawah garis kemiskinan maupun penanggulangan kemiskinan yang sudah terjadi. Hasil penelitian ini diyakini lebih bermanfaat dalam upaya pengurangan kemiskinan berdasarkan tipologi kemiskinan yang dibangun Selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi penelitian lanjutan dalam konteks pengurangan kemiskinan dan pencegahan bertambahnya jumlah rumahtangga miskin.

Referensi

Dokumen terkait

Metode yang digunakan dalam pengembangan aplikasi ini yaitu menggunakan metode Waterfall yang meliputi: analisis, perancangan, pengkodean, dan pengujian hasil

Karakter kepemimpinan lokal hastabrata ini berasal dari Jawa karena sebagian besar bangsa Indonesia adalah suku Jawa dan suku Jawa bisa juga disebut suku yang

Sumur uji merupakan galian pada tanah yang dibuat untuk mengetahui jenis tanah/ batuan atau mengambil sampel dari tanah/ batuan dalam keperluan penyelidikan geologi teknik.. Sumur

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut akan dilakukan penelitian dengan judul “Penerapan Model Pembelajaran Drill and Practice Terhadap Hasil Belajar Chest Pass Pada

Tujuan asuhan kebidanan komprehensif adalah memonitor dan mendeteksi kesehatan ibu dan janin selama kehamilan, persalinan, BBL, nifas dan terkait dengan penggunaan

Untuk menjaga keamananan dari data salah satu caranya adalah dengan penyandian data, penyandian data yang banyak digunakan untuk mengamankan data adalah kriptografi md5

Pemilihan variabel Current Ratio (CR) yang merupakan, merupakan rasio lancar yang digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan membayar kewajiban utang jangka

Dari 20 (duapuluh) industri yang berlokasi di sepanjang DAS Brantas Hulu ada 5 (lima).. industri yang sangat berpengaruh terhadap penurunan kualitas air. Industri- industri