• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. tidak bertambah akan tetapi justru makin berkurang. Dampaknya untuk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. tidak bertambah akan tetapi justru makin berkurang. Dampaknya untuk"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Masalah pertanahan merupakan salah satu persoalan pokok dalam pembangunan nasional kita. Kebutuhan akan tanah dari waktu ke waktu semakin meningkat sejalan dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk dan kegiatan okonomi masyarakat. Padahal, tanah dari dulu hingga sekarang tidak bertambah akan tetapi justru makin berkurang. Dampaknya untuk mendapatkan tanah sekarang ini tidak semudah waktu dulu. Hal ini menyebabkan nilai tanah semakin tinggi sehingga permintaan tanah dan jumlah luas tanah yang tersedia tidak akan mencukupi kebutuhan akan masyarakat itu sendiri, akibatnya akan timbul berbagai macam permasalahan yang sangat komplek dan merupakan persoalan yang sangat rawan pada masyarakat.

Untuk dapat memenuhi kebutuhan akan tanah bagi keperluan pembangunan secara memuaskan, dengan mengingat pula penyediaan untuk keperluan-keperluan lain, hingga tanah yang tersedia itu dapat dipergunakan secara efisien, diperlukan pengaturan pengendalian, dan pembinaan oleh Pemerintah, di samping jaminan kepastian hukum dan kepastian hak bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Hal-hal tersebut memerlukan landasan hukum yang harus dituangkan dalam Hukum Tanah yang efisien dan efektif1. _____________________________

1

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan UUPA, isi, dan pelaksanaanya, Djambatan, Jakarta, cetakan ke sebelas (edisi revisi) 2007, Hal 164

(2)

Salah satu permasalahan pertanahan, mengenai persoalan ”pengambilan tanah” kepunyaan penduduk/masyarakat untuk kepentingan pembangunan yang biasa dikenal dengan sebutan “Pembebasan Tanah” atau “Pencabutan Hak Atas Tanah”.

Permasalahan tersebut kelihatanya tidak pernah selesai

diperbincangkan dan dikaji orang karena hal ini menyangkut persoalan yang kontroversial mengenai masalah pertanahan. Pada satu pihak tuntutan pembangunan penanam modal akan tanah sudah sedemikian mendesak sedangkan pada pihak lain “persediaan tanah” sudah semakin sulit. Berjalanya proses pembangunan yang cukup cepat di Negara kita bukan saja memaksa harga tanah pada berbagai tempat untuk naik, tetapi juga telah menciptakan suasana dimana tanah sudah menjadi “komoditi ekonomi” yang mempunyai nilai sangat tinggi, sehingga besar kemungkinan pembangunan selanjutnya akan mengalami kesulitan dalam mengejar laju pertumbuhan harga tanah yang dimaksud2.

Dalam rangka pengadaan tanah untuk proses pembangunan pemerintah wajib mengindahkan asas peran serta masyarakat sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Presiden No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Musyawarah atau perundingan harus dilakukan secara terbuka antara para -

____________________ 2

H. Abdurahman, Masalah Pencabutan Hak-hak Atas Tanah : Pembebasan Tanah dan Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Di Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, cetakan ke dua (Edisi Revisi) 1996, Hal 1

(3)

warga masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah bertanggung jawab memfasilitasi lahirnya fasillitas-institusi independen bagi musyawarah tersebut. Disini pemerintah memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih apakah akan diambil-alih atau tidak hak-milik tanahnya, dan memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk ikut-serta dalam pengelolaan tanah.

Proses pembebasan lahan yang dilakukan tim panitia pengadaan tanah (P2T) pemerintah Kota dan Kabupaten, sering menimbulkan berbagai permasalahn. Dari beberapa kasus yang terjadi dalam proses pengadaan tanah permasalahan timbul karena disebabkan tidak lengkapnya dokumen dan juga mengenai kata sepakat tentang pemberian ganti kerugian pada warga yang tanahnya dibebaskan.

Kesulitan yang sering dihadapi oleh tim P2T Pemerintah Kota dan Kabupaten adalah adanya perbedaan harga pasar dengan harga yang telah ditetapkan dalam nilai jual objek pajak (NJOP). Dalam berbagai kasus, sering terjadi harga tanah merupakan hasil musyawarah antara tim Panitia Pengadaan Tanah (P2T) dan pemilik tanah yang meminta harga lebih tinggi dari nilai jual objek pajak (NJOP). Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai otoritas pemeriksaan akan menganggap sebagai temuan indikasi korupsi jika harga tanah yang disepakati dalam musyawarah jauh di atas nilai jual objek pajak (NJOP).3

______________________ 3

(4)

Dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 Tahun 2005 tersebut, sekaligus mencabut Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1993 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Pencabutan terhadap Keputusan Presiden (Kepres) ini dikarenakan dipandang tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum maupun persoalan yang timbul dalam proses pengadaan tanah selama ini.

Sebagai penyempurnaan Peraturan Presiden (Perpres) No 36 tahun 2005 Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006 sekaligus mencabut Peraturan Presiden (Perpres) sebelumnya. Alasan utama dari penggantian Perpres tersebut di atas adalah untuk meningkatkan prinsip penghormatan terhadap hak-hak atas tanah yang sah dan menjamin kepastian hukum dalam pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Melalui Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPNRI), pemerintah kemudian menerbitkan petunjuk pelaksanaan (Juklak) Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Maka dapat disimpulkan bahwa dalam Peraturan Presiden (Perpres) ini metode yang digunakan untuk pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum berpatokan kepada mekanisme ganti kerugian. Namun di dalam prakteknya mekanisme ganti rugi ini sering sekali mengalami

(5)

hambatan-hambatan karena tidak tercapainya kesepakatan diantara para pihak mengenai nilai tanah yang akan diganti rugi.

Hal tersebut juga nampak pada rencana pengembangan bandara Adi Sucipto yang akan direalisasikan pada tahun 2010 ini. Landasan pacu Bandara Adi Sucipto Yogyakarta rencananya akan diperluas dari 2200 meter menjadi 2500 meter kearah timur. Sementara area parkir pesawat juga akan diperluas. Untuk perluasan bandara tersebut, harus dilakukan pembebasan lahan dari masyarakat seluas dua hektar. Perpanjangan landasan pacu akan dilakukan ke arah timur karena tidak memungkinkan lagi diperpanjang ke arah barat4. Daerah yang akan terkena proyek tersebut terletak di Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman yang terletak tepat di sebelah timur Bandara Adi Sucipto..

Berdasarkan hal tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti atau melihat bagaimana proses Pengadaan Tanah Untuk Pengembangan Bandara Adisucipto di Desa Tegaltirto, Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman.

_______________________

(6)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan perluasan Bandara Adisucipto?

2. Faktor apa saja yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan pengadaan tanah untuk kepentingan perluasan Bandara Adisucipto?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pelaksanaan atau proses pengadaan tanah untuk kepentingan perluasan Bandara Adisucipto.

2. Untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang ada di dalam proses pengadaan tanah tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Bagi Negara Republik Indonesia, dimana struktur kehidupan masyarakatnya, termasuk perekonomianya sebagian besar bergerak dalam bidang agraria, maka fungsi bumi (tanah), air dan ruang angkasa serta semua yang terkandung didalamnya amatlah penting sebagai sarana pokok dalam pembangunan menuju masyarakat yang adil dan makmur5

_______________________ 5

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Balai Pustaka, 1989, hal 321

(7)

Menurut Boedi Harsono, (1995:173), Konsepsi yang melandasi hukum tanah nasional adalah konsepsi komunalistik religious, yang memungkinkan penguasaan tanah secara individual dengan hak-hak atas tanah yang bersifat pribadi, sekaligus mengandung unsur kebersamaan. Lebih lanjut dikatakan pula bahwa:

“Dengan hak apapun tanah tersebut dikuasai, tanah yang bersangkutan adalah sebagian dari tanah bersama bangsa Indonesia. Maka penetapan peruntukan dan penggunanya misalnya selain berpedoman pada kepentingan pribadi pemegang haknya, wajib juga memperhatikan kepentingan bersama. Kepentingan tersebut berupa kegiatan pembangunan sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah.”

Dalam kaitanya dengan pengadaan tanah, baik untuk keperluan pemerintah atau swata, salah satu pilihan bentuk ganti kerugian yakni pemukiman kembali disertai kelengkapan prasarana penunjangnya perlu dimasyarakatkan, karena pemukiman kembali berorientasi pada pemulihan status bekas pemegang hak atas tanah.

Menurut pasal 2 Perpres No 65 Tahun 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, pengadaan tanah untuk pembangunan oleh pemerintah dilaksanakan dengan pelepasan atau penyerahan hak atas tanah. Di luar itu, pengadaan tanah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Pengadaan tanah dilakukan atas dasar musyawarah langsung. Yang dimaksud dengan musyawarah adalah proses atau kegiatan saling mendengar dengan sikap saling menerima pendapat dan

(8)

keinginan yang didasarkan atas sukarela antara para pihak untuk memperoleh kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti kerugian.

Mekanisme musyawarah di terdapat di dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 65 TAHUN 2006 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum pasal 37 ayat (1),(2),(3),(4) yang berbunyi :

(1) Musyawarah untuk menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi dilaksanakan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal undangan musyawarah pertama terhadap lokasi pembangunan yang tidak dapat dialihkan yang kriterianya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39.

(2) Apabila lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan secara teknis tata ruang, rencana pembangunan telah diperoleh persetujuan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (3) huruf a dan kesepakatan lokasi pembangunan telah tercapai 75% (tujuh puluh lima persen) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, serta jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir, maka instansi pemerintah yang memerlukan tanah menyerahkan ganti rugi kepada pemilik dan dibuatkan Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi atau Berita Acara Penawaran Penyerahan Ganti Rugi.

(3) Apabila pemilik tetap menolak penyerahan ganti rugi atau tidak menerima penawaran penyerahan ganti rugi, maka setelah melewati 120 (seratus dua

(9)

puluh) hari Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota membuat Berita Acara Penyerahan Ganti Rugi.

(4) Jika pemilik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tetap menolak, maka berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota memerintahkan agar instansi pemerintah yang memerlukan tanah menitipkan uang ganti rugi ke pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah bagi pelaksanaan pembangunan.

Bentuk ganti kerugian dapat berupa (1) uang; (2) tanah/bangunan pengganti; (3) pemukiman kembali yang fasilitasnya sama; (4) pembangunan fasilitas umum yang bermanfaat; (5) sesuai keputusan pejabat yang berwenang untuk instansi Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pada kenyataanya masalah ganti kerugian dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan hampir selalu muncul rasa tidak puas di pihak rakyat/warga yang hak atas tanahnya terkena proyek tersebut. Tidak relistisnya kriteria ganti kerugian sebagai penyebab keluhan terbanyak yang pada akhirnya menjadi kasus dalam pengadaan tanah6.

Pemberian ganti kerugian merupakan penggantian yang utuh (penuh) bagi semua kerugian yang secara langsung dan tidak terhindarkan diderita oleh pemegang hak atas tanah yang dicabut haknya karena kehilangan barangnya.

_____________________ 6

Maria Somardjono, Tinjaun Yuridis Keppres No.55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Pelaksanaanya, Makalah pada Seminar Nasional Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Kerajasama Fak.Hukum Universitas Trisakti dan BPN, Jakarta 3 Desember 1995, Hal 3

(10)

Selain ganti kerugian yang harus dibayarkan , maka kerugian-kerugian yang berhubungan dengan itu harus pula diganti, misalnya biaya pemindahan usaha, hilangnya penghasilan dan sebagainya7.

Dalam kaitanya dengan masalah ganti kerugian, menemukan keseimbangan antara kepentingan perseorangan dan kepentingan umum tidaklah mudah. Ganti kerugian sebagai upaya untuk mewujudkan penghormatan kepada hak-hak dan kepentingan perseorangan yang telah dikorbankan untuk kepentingan umum dapat disebut adil apabila hal tersebut tidak membuat seorang lebih kaya atau sebaliknya, menjadi lebih miskin dari keadaan sebelumnya.

Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan pada :

1. Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Objek Pajak tahun berjalankan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; 2. Nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang

bertanggungjawab di bidang bangunan.

3. Nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggungjawab di bidang pertanian.

___________________ 7

Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, Hal 185

(11)

Dibanding dengan ganti kerugian untuk bangunan dan tanaman, ganti kerugian untuk tanah lebih rumit perhitungannya, karena ada berbagai faktor yang dapat mempengaruhi harga tanah.

Faktor-faktor yang dapat dipertimbangkan dalam menentukan ganti kerugian, disamping NJOP Bumi dan Bangunan tahun terakhir adalah:

1. lokasi dan letak tanah;

2. status tanah;

3. peruntukan tanah;

4. kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada;

5. sarana dan prasarana yang tersedia; dan

6. faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

Agar terwujud asas keadilan bagi pemegang hak, penentuan akhir besarnya ganti kerugian haruslah dicapai secara musyawarah antara pemegang hak dan instansi yang memerlukan tanah tersebut. Musyawarah dilakukan secara langsung antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemegang hak, dan apabila dikehendaki dapat dilakukan secara bergiliran, atau dapat dilakukan antara instansi pemerintah dengan wakil-wakil pemegang hak (dengan surat kuasa).

Pembebasan tanah harus menjunjung prinsip-prinsip transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi sebagai pilar utama Good Governance. Musyawarah dalam rangka pembebasan tanah harus berlangsung secara seimbang dan bukan ajang penyampaian informasi yang bersifat top down.

(12)

Dengan demikian, keterbukaan, akuntabilitas, dan partisipasi dalam forum musyawarah menjadi penting dan harus dalam pembebasan tanah8.

Dalam pelaksanaan pengadaan tanah yang dilakukan pemerintah, Panitia Pengadaan Tanah akan memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang harus diperhatikan dalam penetapan ganti kerugian, yang meliputi: 1. untuk tanah nilainya didasarkan pada nilai nyata dengan memperhatikan

NJOP tahun terakhir.

2. faktor-faktor yang mempengaruhi harga tanah

3. nilai tafsiran bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang relevan. Panitia Pengadaan Tanah dibentuk di setiap Kabupaten/Kota, keanggotaanya paling banyak 9 orang yang susunan sebagai berikut:

1. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;

2. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;

3. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap anggota; dan

4. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai Anggota.

_____________________

8 Adrian Sutedi, Implementasi Prisip Kepentingan Umum; Dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, Hal 396.

(13)

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah:

1. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat;

2. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas bidang tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;

3. mengadakan penelitian mengenai status hukum bidang tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan dan dokumen yang mendukungnya; 4. mengumumkan hasil penelitian dan inventarisasi sebagaimana dimaksud

pada huruf b dan huruf c;

5. menerima hasil penilaian harga tanah, dan/atau bangunan, dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah dan pejabat yang bertanggung jawab menilai bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah;

6. mengadakan musyawarah dengan para pemilik dan instansi pemerintah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi;

7. menetapkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan;

8. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemilik; 9. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;

(14)

10. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada instansi pemerintah yang memerlukan tanah dan Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota; dan

11.menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.

Apabila muyawarah tidak tercapai maka, keputusan diambil Panitia Pengadaan Tanah dengan memperhatikan pertimbangan dalam musyawarah. Apabila dalam upaya penyelesaian yang ditetapkan Gubernur, tetapi tidak dapat diterima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, maka Gubernur mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya.

Meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah maka pengadaanya perlu dilakukan secara tepat dan transparan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah, atau dengan pencabutan hak atas tanah.

Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang selanjutnya dimiliki atau akan dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah meliputi:

(15)

a. jalan umum dan jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendungan irigasi dan bangunan pengairan lainnya; c. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api, dan terminal;

d. fasilitas keselamatan umum, seperti tanggul penanggulangan bahaya banjir, lahar, dan lain-lain bencana;

e. tempat pembuangan sampah; f. cagar alam dan cagar budaya;

g. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian

Pengadaan Tanah Untuk Pengembangan Bandara Adisucipto 2. Subjek Penelitian

a. Kepala Kantor Pertanahan Sleman

b. Kepala/Camat Kecamatan Berbah

c. Kepala Desa Tegaltirto d. Warga di Desa Tegaltirto 3. Sumber Data

a. Data primer adalah sumber data yang diperoleh secara langsung oleh peneliti dari subjek penelitian.

(16)

b. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari kepustakaan berupa buku-buku, dokumen resmi, kamus, peraturan perundang-undangan, dan laporan ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Data primer

Wawancara (interview), yaitu pengumpulan data dengan menggunakan tanya jawab secara langsung dengan subjek penelitian guna memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

b. Data sekunder

Studi kepustakaan, yaitu data yang diperoleh dengan cara membaca dan mengkaji berbagai peraturan perundang-undangan atau literatur, dokumen-dokumen dan baham pustaka lainya yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.

5. Analisis Data

Setelah data berhasil diperoleh dan terkumpul secara lengkap, baik yang diperoleh di lapangan maupun dalam kepustakaan, kemudian data tersebut dianalisa dengan menggunakan metode yuridis normatif kualitatif yang menganalisis data yang berhubungan dengan masalah yang dikaji dan dipilih yang berkualitas berdasarkan penilaian yang logis untuk dapat menjawab permasalahan yang diajukan.

Referensi

Dokumen terkait

Yang mana tujuan penulis adalah untuk mengetahui apakah ketiga dimensi/factor dari celebrity endorser, yaitu attractiveness (Daya Tarik), trusworthiness (Kejujuran), dan

Tama, perkawinan antar-agama adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita yang, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang

a. Melalui sistem perencanaan yang matang, guru akan terhindar dari keberhasilan secara untung-untungan, dengan demikian pendekatan sistem memiliki daya ramal yang

Pengeluaran untuk kegiatan sosial seperti arisan wirit yasin, arisan keluarga dan anggota Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) sebesar 3 persen. Pengeluaran untuk rekreasi

Menurut Figueroa dan Silk dalam Halgin dan Whitbourne (2010:94), bahwa merusak diri sendiri dan perilaku impulsif dari orang dengan gangguan tersebut, dikombinasikan dengan

Dalam kaitan pengelolaan harta, syariat Islam mengatur pula tata cara dan ketentuan pembagian harta yang ditinggalkan oleh orang yang telah.. meninggal dunia yang disebut

Apabila karyawan dalam bekerja kurang memiliki kecerdasan emosional yang baik maka ketika seorang tersebut mempunyai masalah seperti dengan rekan kerja, tugas yang

Namun begitu, orang munafik ini tetap menutup kedua-dua telinga mereka dengan jari mereka kerana takut dengan kematian yang akan menimpa mereka. Kenyataan ini membawa maksud