PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
LAYLI YUSNIA ADHANI
NIM : 21211015
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh
LAYLI YUSNIA ADHANI
NIM : 21211015
JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar
Hal : Pengajuan Naskah Skripsi
Kepada Yth.
Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :
dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang
munaqosyah.
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama : Layli Yusnia Adhani
NIM : 21211015
Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah
Fakultas : Syari’ah
Judul Skripsi : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan
jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat
dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 6 Januari 2016
Layli Yusnia Adhani
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“THERE IS A WILL THERE IS A WAY”
DIMANA ADA KEMAUAN DISITU PASTI ADA JALAN
PERSEMBAHAN
Untuk Orang tuaku tercinta, adik-adiku tersayang
suami yang setia mendampingiku dan bayi yang
ada di dalam kandunganku yang selalu menjadi
motivasiku sehingga skripsi ini bisa terselesaikan
Untuk Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN
KATA PENGANTAR
Rasa syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat-Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan.Penulis juga
bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis
dapat menyusun skripsi ini.
Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis
nantikan di hari pembalasan nanti.
Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas Syari’ah.
Dengan judul:“Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan
Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan
penghargaan yang setinggi-tingginya, dan ucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga
2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga.
4. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H, selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku Kepala
Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmunya dan selalu
meberikan saran, pengarahan, pemahaman serta masukan berkaitan penulisan
skripsi sehingga dapat selesai dengan tepat waktu dan maksimal sesuai yang
diharapkan.
5. Bapak Imam Talmisani Selaku ketua KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya
Salatiga yang telah berkenan memberikan informasi berkaitan dengan penulisan
skripsi.
6. Para pihak yang membuat pejanjian pra nikah yang tidak dapat penulis sebutkan
identitasnya.
7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas
Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan
ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.
8. Kedua Orang tuaku, Bapak Purwadi dan Ibu Yuliati tercinta, Suamiku dan
anakku tersayang, yang telah memotivasi, mendoakan dan memberi kasih sayang
serta semangat kepadaku selama ini.
9. Teman-teman Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhshiyyah Non Reguler 2011 di IAIN
Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di
IAIN Salatiga.
10. Serta semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak
Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan
yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa
mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya.
Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya
Salatiga, 6 Januari 2016
ABSTRAK
Adhani, Layli Yusnia. 2016. Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam
Dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga) Skripsi. Fakultas Syari’ah Jurusan S1 Ahwal Al -Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Luthfiana Zahriani, M.H
Kata Kunci : Perjanjian Pra Nikah, Hukum Islam, Hukum Perkawinan Indonesia Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan, yang isinya mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dan apa saja selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan. Di Indonesia perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan masih jarang di temui, berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan
judul “Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.
Dengan pokok permasalahan atau tujuan penelitian ingin mengetahui bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia terhadap perjanjian tersebut.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normative, yaitu penulis mendeskripsikan perjanjian pra nikah dalam hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian menganalisinya terhadap isi perjanjian perkawinan yang terdapat di KUA Tingkir. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dimana untuk memperoleh data penulis langsung terjun ke lokasi untuk mewawancarai kepala KUA Tingkir Salatiga.
DAFTAR ISI
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAHAN………..……… v
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Rumusan Masalah...……….... 7
BAB II PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A.Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam...
1. Perjanjian...……….. 2. Perjanjian Pra Nikah...………..
3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah
BAB III
BAB IV
BAB V
B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia.
1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th.1974...……….. 2. Perjanjian Pra Nikah dalam KHI...……….…..
3. Bentuk dan Isi Perjanjian Pra Nikah...………
4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah...………...
5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah… PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR
KOTAMADYA SALATIGA
A.Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga ...
B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga...
ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita
yang sama akidah akhlak dan tujuannya di samping cinta dan ketulusan hati. Di
bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta
dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam
Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan di artikan sebagai “ Ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam
ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum
Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan
ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan
ibadah.(Anshary, 1994:1)
Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Quran dan
Al-Hadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui
Undang-Undang No.1 Th 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Th
1991 Mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut :
Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing
dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
2. Asas keabsahan perkawinan
Didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang
melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang.
3. Asas monogami terbuka
Jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari
satu orang maka cukup seorang istri saja. Hal tersebut di jelaskan dalam
Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 3.
4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan
pernikahan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat
keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.
5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.
6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam
kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena
itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan
bersama oleh suami istri.
7. Asas pencatatan perkawinan
Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah
Hukum Perkawinan sendiri dibagi dalam dua bagian, yaitu Hukum
Perkawinan dan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan. Hukum Perkawinan
adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu
perkawinan. Sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan
peraturan-peratuan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di
dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang
luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu
timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban contohnya seperti kewajiban
untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk
memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang sangat
penting ialah bahwa dengan perkawinan itu istri tidak dapat bertindak sendiri.
(Berhubung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963, karena Pasal
108 dan Pasal 110 B.W. dianggap tidak berlaku lagi, sekarang ini seorang
perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan dapat bertindak sendiri).
Perkawinan berpengaruh besar kepada kekayaan suami istri, ikatan hukum yang
terjadi antara mereka dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Bagi pihak
ketiga perkawinan itu penting karena perlu di perhatikan juga perjanjian
perkawinan antara suami istri, di dalam hubungan dengan utang-piutang.(Afandi,
1997:94)
Berdasarkan uraian diatas, pernikahan bukan hanya menyangkut
keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan
tersebut juga termasuk harta bawaan maupun urusan utang-piutang antara suami
istri, dimana untuk melindungi harta masing-masing dan demi kenyamanan
kedua belah pihak perlu adanya surat perjanjian Pra Nikah. Apalagi di era
sekarang ini banyak pernikahan yang tidak mengindahkan nilai-nilai
agama,hukum,kesusilaan,norma dan etika yang berlaku di masyarakat, dimana
rasa cinta sudah tidak lagi menjadi landasan utama suatu pernikahan. Tak jarang
suatu pernikahan di latar belakangi oleh suatu kepentingan tertentu, seperti
status,jabatan,kekayaan dan lain sebagainya.
Perjanjian Pra Nikah atau sering disebut juga Perjanjian Perkawinan
(Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat antara calon suami istri
sebelum pernikahan dilangsungkan dan isinya tidak boleh melanggar
hukum,agama dan norma-norma adat kesusilaan yang berlaku. Perjanjian tersebut
dibuat dan disahkan dihadapan pengacara atau notaris kemudian dicatatkan di
Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil.(Nasution, 2004:42)
Putusnya hubungan perkawinan tidak hanya menjadi klimaks dalam perceraian
melainkan akan timbul juga problem mengenai pembagian harta bersama (harta
yang di peroleh suami istri selama perkawinan berlangsung) dan mengenai hak
asuh anak. Dalam suatu kasus perceraian, tidak sedikit pasangan suami istri yang
mempermasalahkan hal-hal tersebut, dampaknya tak hanya hubungan antar suami
istri yang semakin tidak baik tapi juga akan membuat proses perceraian akan
semakin memakan biaya dan waktu yang lama. Di Indonesia masih banyak
nikah itu sendiri. Banyak pro dan kontra mengenai perjanjian tersebut, banyak
yang berpendapat bahwa perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan tidak
sesuai dengan hakekat tujuan pernikahan karena identik dengan
“ketidakpercayaan” sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak perlu di buat.
Tetapi mengingat zaman yang semakin maju dan masyarakatnya yang semakin
kritis dimana kini kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah
sama, perempuan tidak lagi menjadi kaum yang lemah tetapi perempuan juga
dapat mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Seperti mendapatkan
pendidikan,pekerjaan,jabatan dan lain sebagainya. Tentunya untuk melindungi
kepentingan masing-masing calon suami istri dari hal-hal yang tidak di inginkan
selama pernikahan berlangsung dari kemungkinan terburuk seperti perceraian,
maka perjanjian pra nikah dapat menjadi pertimbangkan ketika sebelum menuju
gerbang pernikahan.
Di Indonesia terdapat 3 (tiga) peraturan tentang perjanjian pra nikah atau
sering disebut juga perjanjian perkawinan,yaitu Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
Sejak berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),
maka di negara Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum
Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum/tidak diatur dalam undang-undang
tersebut, maka peraturan lama dapat di pergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974).
Pasal 29 UU No 1 Th 1974 dan Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI).
(Hazairin, 1982:3)
Berdasarkan landasan atau sumber hukum perjanjian pra nikah maka
seyogyanya bagi pasangan yang ingin menikah dapat menjadi pertimbangan
sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, tidak hanya untuk melindungi harta
benda masing-masing tetapi perjanjian pra nikah dapat mengatur apapun yang
ingin calon suami dan istri sepakati sepanjang isinya tidak bertentangan dengan
hukum,agama dan kesusilaan. Berdasarkan hal tersebut pula, maka penulis
tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Perjanjian Pra Nikah dalam
Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di
KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar berlakang masalah yang telah di jelaskan, pokok
masalah yang akan di bahas dalan penelitian ini dapat di rumuskan sebagai
berikut :
1. Bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?
2. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaimana isi naskah perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA
Tingkir Salatiga.
2. Mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di
Indonesia terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir
Salatiga.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian dapat
memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan
maupun masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :
1. Manfaat Akademis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,
sebagai penambah wacana tentang hukum Islam terkait perjanjian pra
nikha dan bagaimana hukumnya dalam Islam dan undang-undang di
Indonesia.
b. Bagi Ilmu Pengetahuan
Sebagai bahan referensi dalam bidang perkawinan dan keIslaman
sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.
c. Bagi Peneliti Berikutnya
Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut,
2. Manfaat Non Akademis
a. Dapat memberikan wacana baru, khususnya bagi yang belum menikah
tentang perjanjian pra nikah. Sehingga untuk kedepannya nanti dapat
menjadi pertimbangan sebelum memasuki gerbang pernikahan.
b. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang isi perjanjian pra
nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga.
E. Penegasan Istilah
Perjanjian Pra Nikah atau sering di sebut juga Perjanjian Perkawinan yaitu
perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta
kekayaan.(Afandi, 1997:172)
Perspektif dalam kamus bahasa Indonesia yang artinya yaitu pandangan
dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas (pandangan statis).
Hukum Islam (syari’at Islam) hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf
yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau
diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama
fiqh hukum syara’ ialah efek yang di kehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan
seperti wajib,haram dan mubah.
Hukum perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dasar
hukum yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun
Jadi dalam penelitian ini, penulis membahas tentang perjanjian yang
dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan yang mengatur akibat suatu
perkawinan dibidang harta kekayaan dipandang dari hukum Islam atau syara’ dan
menurut hukum perkawinan di Indonesia yaitu UU No.1 Th 1974 dan KHI
dengan studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga.
F. Kajian Pustaka
Penelitian tentang perjanjian pra nikah sejauh ini penulis tidak
menemukan tulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi pada Jurusan Ahwal
Al-Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga. Dalam penelitian
sebelumnya sudah banyak yang mengangkat tema tentang harta gono-gini,
perceraian dan beberapa kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at
Islam, tetapi belum ada yang membahas lebih lanjut mengenai perjanjian pra
nikah dan bagaimana menurut perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di
Indonesia. Penulis telah menelusuri di internet beberapa judul penelitian
terdahulu yang mirip dengan yang akan penulis teliti.
Penelitian Fanani (2007) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta Fakultas Syari’ah berjudul “Pengingkaran Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian” dalam penelitian tersebut mengkaji bagaimana
pengingkaran terhadap perjanjian perkawinan bisa dijadikan dasar atau alasan
percerain suami istri. Dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa
melainkan apabila terjadi pengingkaran salah satu pihak dapat masuk dalam
perkara perdata. Tetapi dalam perjanjian tersebut terdapat satu perjanjian yang
isinya apabila ada salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut menjadi kasus
perdata bila tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau kekeluargaan
dapat dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian, dan salah satu pihak yang
dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Agama setempat.
Selanjutnya yaitu skripsi dari Relawati (2006) yang juga berasal dari
Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah berjudul “Urgensi
Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini Menurut Pandangan Dosen
Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” Fokus Pembahasan Skripsi
adalah bagaimana pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga
terhadap urgensi perjanjian perkawinan atas harta gono-gini. Penelitian ini
berkesimpulan bahwa ada dosen yang setuju adanya perjanjian perkawinan yang
mengatur harta gono-gini. Mereka menilai perjanjian ini bermanfaat bagi kedua
pasangan agar lebih terbuka dalam hal keuangan dan lebih memberikan
perlindungan hak wanita, sementara dosen yang tidak setuju dengan adanya
perjanjian bertolak bahwa dasar pernikahan merupakan hal yang sakral dan
bukan semata-mata tentang harta benda.
Kemudian skripsi dari Akmah (2013) dari Universitas Mulana Malik
Ibrahim Malang Tahun 2013 dengan judul “Perjanjian Dalam Perkawinan
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif
perjanjian pra nikah. Dan mengetahui dasar hukum perjanjian perkawinan
menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia. Penelitian
tersebut dapat berkesimpulan, isi dalam perjanjian perkawinan mahasiswa UIN
Maulana Malik Ibrahim Malang menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan
Indonesia hukumnya “mubah” atau boleh, melihat dari isi perjanjian tersebut.
Pihak perempuan meminta agar setelah menikah tetap diizinkan pihak laki-laki
untuk meneruskan pendidikannya dan menurut pandangan Islam hal tersebut
termasuk dalam mahar pernikahan sehingga sah-sah saja diaplikasikan. Isi
perjanjian ini juga tidak menyimpang dari Hukum Perkawinan di Indonesia.
Beda penelitian penulis dengan penelitian Fanani adalah fokus dan tujuan
permasalan yang terdapat dalam penelitian. Sedangkan dengan penelitian
Relawati terletak pada isi perjanjian dan perspektif perjanjian tersebut, apabila
dalam penelitiannya mengkaji peneelitian tersebut menurut pandangan dosen
fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disini penulis mengkaji
perjanjian pra nikah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Perkawinan di
Indonesia. Dan yang membedakan dengan penelitian Akmar terletak pada lokasi
penelitian dimana dalam penelitiannya dilakukan studi kasus di Malang
sedangkan dalam penelitian lokasi penelitian terletak di kota salatiga.
G. Metode Penelitian
Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif. Yaitu suatu penelitian yang secara deduktif menganalisa
terhadap hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia mulai dari
pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perjanjian pra
nikah. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu
pada dokumen ataupun terhadap data skunder yang digunakan. Bersifat
normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan memperoleh
pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan
peraturan lain dan praktek penerapan. Menganalisa perjanjian pra nikah
dalam hukum Islam dan hukum perkawinan serta perjanjian pra nikah yang
terdapat di KUA Tingkir Salatiga.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian
yang bertujuan memberikan gambaran tentang suatu gejala/suatu masyarakat
tertentu.(Sukandarrumidi, 2006:104)
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian oleh peneliti hanya
terbatas pada lingkup perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir
Salatiga yang terletak di Jalan Marditomo No. 37 Kecamatan Tingkir,
Kotamadya Salatiga.
3. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang diolah dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif. Data
kenyataan empiris non-numerik. Sedangkan, sumber data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Sumber Data Primer
Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari sumber
utama, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.(Marzuki, 2000:55)
Dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data yang
dihimpun pertama berupa salinan akta perjanjian pra nikah yang terdapat
di KUA Tingkir yang dianggap tepat untuk dijadikan informan dan
diambil informasinya.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri
pengumpulannya oleh peneliti,akan tetapi berasal dari tangan kedua,
ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan
peneliti sendiri yang berupa buku, jurnal, dokumen perjanjian.(Marzuki,
2000:56)
4. Prosedur Pengumpulan Data
Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahap awal sebelum
mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan metode pengumpulan
data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahapan
penelitian berikutnya. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini sebagai berikut :
Penelitian melakukan mewawancara dengan kepala KUA Tingkir
Salatiga sebagai narasumber. Untuk mengetehui tentang berapa
perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana isi
perjanjian tersebut.
b. Dokumentasi
Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan dokumen perjanjian
pra nikah yang berupa salinan akta perjanjian yang dibuat oleh notaris.
5. Analisis Data
Dari hasil penelitian data yang telah terkumpul kemudian dianalisis
dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta yang telah ditemukan
terkait perjanjian pra nikah di KUA Tingkir dengan konsep perjanjian pra
nikah menurut hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia. Tentunya
dalam melakukan analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan
masalah yang telah ditentukan, sehingga menjadi sistematis dan lebih terarah.
6. Tahap-tahap Penelitian
Tahap yang di lakukan dalam proses pelaksanaan penelitian ini yaitu
peneliti mengumpulkan data tentang perjanjian pra nikah dalam hukum
Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian melakukan penelitian di
KUA Tingkir terkait dengan perjanjian pra nikah, selanjutnya menganalisis
H. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun penelitian ini
adalah sebagai berikut:
Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,
Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,
Kajian Pustaka, Metode Penelitian.
Bab kedua , berisi tentang landasan konseptual Perjanjian Pra Nikah Dalam
Hukum Islam, dan Hukum Perkawinan di Indonesia (UU No.1 Tahun 1974, dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI))
Bab ketiga berisi tentang Paparan Data dan Penemuan Peneliti. Dalam bab ini
memuat tentang hasil penelitian perjanjian pra nikah di KUA Tingkir Salatiga.
Bab keempat, berisi analisis terhadap isi perjanjian pra nikah di KUA Tingkir
Salatiga dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia
BAB II
PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam 1. Perjanjian
a. Pengertian Perjanjian
Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab adalah
mu’ahadah, ittifaq, akad atau kontrak. Secara terminologis menurut Yan
Pramadya Puspa, Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang
atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.
Sedangkan menurut WJS, Poerwadarminto, Perjanjian adalah persetujuan
tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana
berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu.(Chairuman,
2004:1)
Dalam hukum, perjanjian tergolong sebagai perbuatan hukum
karena perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak
yang terlibat di dalamnya.
Asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar, basis, fondasi
dan kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir serta bertindak.
Apabila kata asas ini dihubungkan dengan kata hukum maka dapat
diartikan sebagai kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir
dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan
hukum.(Ali, 2000:50-52)
Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yang sekaligus
merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah asas
keabsahan dalam mengadakan perjanjian, asas konsensualisme, asas
pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Yang
kesemua teori ini diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,
akan tetapi asas-asas ini berlaku karena universal dalam setiap bentuk
perjanjian. Asas keabsahan dalam mengadakan perjanjian merupakan
salah satu asas dalam hukum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi
kebebasan kepada setiap warga Negara untuk mengadakan perjanjian
tentang apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.
Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang
member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian
untuk:
1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.
3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.
4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis.
5) Menerima atau menyimpang dari perundang-undangan yang bersifat
opsional,
(Marbun, 2009:5)
Selama isi perjanjian memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian,
maka perjanjian tersebut berlaku bagi pembuatnya dengan ketentuan
yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas
untuk membuat perjanjian dengan siapa saja di dalam sebuah perjanjian,
tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.
Adapun berdasarkan asas konsensualisme maka perjanjian
merupakan kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Namun, ada
yang mengartikan juga bahwa asas konsensualisme ini menetapkan
bahwa untuk sahnya maka perjanjian harus dilakukan secara tertulis,
sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.(Marbun, 2009:5)
Selain itu, dasar fundamental lainnya dalam hukum perjanjian yang
banyak dianut di berbagai Negara adalah suatu asas yang berbunyi pacta
sunt servenda yang berarti janji harus ditepati dan mengikat sebagaimana
undang-undang bagi pihak yang terlibat didalamnya.
Selain keempat asas tersebut, sebenarnya masih ada beberapa hal
mendasar (asas) yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan
keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas
kebiasaan dan asas perlindungan. Namun yang perlu diingat adalah asas
hukum yang masih bersifat abstrak karena tidak selalu dapat diterapkan
secara langsung dalam peristiwa konkrit.(Artadi, 2010:50)
Beberapa asas-asas hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari
kitab undang-undang hukum perdata yang telah dijelaskan diatas juga
sejalan dengan asas hukum perjanjian dalam hukum Islam. Namun dalam
hukum Islam asas-asas perjanjian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :
1) Asas-asas dalam perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya
umum. Beberapa asas yang termasuk di dalamnya, antara lain : asas
ilahiyah, asas kebolehan (mabda al-ibahah) bahwa pada dasarnya
segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang
melarangnya, asas keadilan dalam memenuhi tanggung jawabnya
masing-masing, asas persamaan/kesetaraan tanpa memandang status
sosial atau yang lainnya, asas tertulisnya setiap transaksi muamalah,
asas i’tikad baik (kepercayaan antara masing-masing pihak) dan asas
kemanfaatan atau kemaslahatan yang terkandung dalam suatu
perjanjian.
2) Asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.
Beberapa asas yang termasuk didalamnya, antara lain: asas
konsensualisme (QS. An-Nisa : 29), asas kebebasan dalam membuat
menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan
perjanjian yang disepakati, dan asas kepastian hukum yang berkaitan
dengan konsekuensi dari suatu perjanjian.
(Rahmani, 2008:96-105)
Berdasarkan pengklasifikasian asas perjanjian dalam Hukum
Islam ini, maka apabila kita melihat asas-asas yang berakibat hukum dan
sifatnya khusus, maka asas-asas tersebut sudah sejalan dengan asas-asas
hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tersebut diatas.
c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
Terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yaitu sebagai berikut
(Sabiq, 2006:83) :
1) Tidak menyalahi hukum syari’ah, artinya bahwa perjanjian yang diadakan bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau
perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan
dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak
untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut karena
melawan hukum syari’ah. Sebagaimana dalam Sabda Rasulullah
ِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌل
“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).
2) Harus sama ridha dan berdasarkan pada kesepakatan bersama.
Perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak didasarkan pada
kesepakatan kedua belah pihak, yakni masing-masing ridha atau rela
akan isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain perjanjian dibuat
harus atas kehendak bebas masing-masing pihak.(Chairuman,
2004:2). Pemaksaan dalam suatu perjanjian menafikan kemauan,
sehingga tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikan
kebebasan seseorang.(Sabiq, 2006:83)
3) Harus jelas dan gamblang, artinya bahwa apa yang diperjanjikan oleh
para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian,
sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara
para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian
hari.(Chairuman, 2004:2) Oleh karena itu, dalam pelaksanaan
perjanjian pra nikah memiliki interprestasi yang sama tentang apa
yang mereka perjanjikan para pihak memiliki interprestasi yang sama
tentang apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian harus jelas dan tidak
samar sehingga tidak mengundang berbagai interprestasi yang bisa
2. Perjanjian Pra Nikah
a. Pengertian Perjanjian Pra Nikah
Perjanjian secara etimologi dalam bahasa arab sering disebut
dengan al-mu’ahadah (janji), al-ittifaq (kesepakatan) dan al-aqdu
(ikatan). Sedangkan secara terminologi, perjanjian adalah janji setia
kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia
lainnya dalam kehidupan sehari-hari.
Menepati janji asalnya adalah diperintahkan, sebagaimana yang
dinyatakan Allah dalam firman-Nya:
ِدُْقُعْلبِب اُْفَّْأ اٌَُْهآ َييِذَّلا بَُِّيَأ بَي
“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan
janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)
ال ّ ُءْْسَه َى بَك َدَِْعْلا َّى ِإ ِدَِْعْل ُبِب ْا ُْف ّْأَّ
“Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggung
jawabannya”.(QS Al-Isra’ 17:34)
Sedangkan, Abdul Rahman Ghazali dalam bukunya Fiqh
Munakahat mendefinisikan perjanjian pra nikah sebagai persetujuan yang
dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu sebelum perkawinan
tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat
nikah.(Ghazaly, 2006:119)
Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus
dengan nama perjanjian pra nikah. Yang ada dalam bahasa fiqh dan
diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama yaitu
“persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam
perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan
dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam kitab fiqh dalam
syarat-syarat untuk sahnya perkawinan.(Syarifuddin, 2007:145)
Sedangkan syarat yang terdapat dalam perjanjian pra nikah yang dibahas
disini adalah syarat-syarat yang tidak mempengaruhi sahnya suatu
perkawinan.
Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam
perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus
dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak
yang berjanji memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu
tidak sama dengan sumpah, karena sumpah dimulai dengan ucapan
seperti : wallahi, billahi dan tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang
tidak memenuhinya.
Syarat atau perjanjian yang dimaksud dilakukan diluar prosesi
akad perkawinan, meskipun dalam suasana atau majelis yang sama. Oleh
ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilakukan secara sah dengan
pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti
bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah
yang telah sah. Meskipun demikian pihak-pihak yang dirugiakan tidak
memenuhi perjanjian itu berhak meminta pembatalan nikah.(Syarifuddin,
2007:146)
b. Hukum Membuat Perjanjian Pra Nikah dan Pemenuhannya Dalam
Hukum Islam
Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya
boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak
membuatnya.(Syarifuddin, 2007:146) Namun kalau sudah dibuat
bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian pra
nikah itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumhur ulama
berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk
perjanjian itu hukunnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian
lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak
untuk dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :
َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah
persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan
Al-Syaukaniy juga menjelaskan bahwa alasan syarat perkawinan
menjadi yang paling berhak dipenuhi sebagaimana hadist diatas yaitu
karena urusan pernikahan itu sebagai perkara yang paling hati-hati dan
pintunya yang paling sempit.(Mustafa, 1994:535)
Al-Kaththabi menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan
berbeda-beda, diantaranya ada yang wajib dipenuhi karena cara yang
ma’ruf, dan diantaranya ada yang tidak perlu ditepati.(Ibnu, 2008:403)
Oleh karena itu, kewajiban dalam memenuhi persyaratan yang terdapat
dalam perjanjian perkawinan tergantung kepada persyaratan yang ada
dalam perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu
menjadi tiga, yakni sebagai berikut :
1) Syarat yang wajib dipenuhi
Syarat yang wajib dipenuhi adalah syarat yang langsung
berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam
perkawinan, merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri, sesuai
dengan maksud akad dan misi syariat. Artinya syarat-syarat yang
diberikan termasuk dalam rangkaian dan tujuan pernikahan, tidak
mengurangi hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan
Rasul-Nya.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami istri bergaul secara baik,
isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan istri harus
Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk
pertama ini wajib dilaksanakan. Pihak yang berjanji terikat dengan
persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak
memenuhi persyaratan tersebut, tidak menyebabkan batalnya
perkawinan dengan sendirinya.(Syarifuddin, 2007:147)
2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi
Syarat yang tidak wajib dipenuhi adalah syarat-syarat yang
bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus
dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada
pihak-pihak tertentu, bertentangan dengan maksud akad serta melanggar
hukum Allah dan syariat-Nya. Syarat-syarat ini semuanya batal
dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum pernikahan dan
mengurangi hak-hak suami isteri.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami
tidak memberikan nafkah, tidak mau bersetubuh, tidak memberikan
mahar, memisahkan diri dari istrinya atau istri yang harus memberi
nafkah, atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri
mensyaratkan suami menceraikan isteri-istreinya terlebih dahulu,
suami mempersyaratkan membayar mahar atau nafkah, atau suami
meminta isterinya mencari nafkah yang tidak halal.
Dalam hal syarat bentuk ini maka para ulama sepakat bahwa
perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang
adalah diperintahkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 1. Adapun akadnya sendiri tetap sah karena syarat -syarat tadi berada diluar ijab qabul yang menyebutnya tidak berguna
dan tidak disebutkanpun tidaklah merugikan. Oleh karena itu, secara
umum dapat dijelaskan bahwa perjanjian pra nikah mempunyai
syarat yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan
syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Maka apapun bentuk
perjanjian itu bertentangan dengan syari’at, maka hukum perjanjian
tidak boleh (tidak sah).(Ghazaly, 2006:120-121)
3) Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak
ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’
untuk dilakukan (Syarifuddin, 2007:147), artinya bahwa syarat ini
tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini
mengandung kemaslahatan bagi salah satu pasangan.(Abu,
2007:241)
Misalnya isteri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan
memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga milik bersama, istri
tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh
istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya
pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat.
Menurut Imam Abu Hanifat, Syafi’I dan sebagian besar ulama
tidak harus memenuhinya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa
dalil, yaitu :
a) Rasulullah bersabda :
باطْزَش َّلِإ ْنِِِطُّْزُش ىَلَع ىُْْوِلْسُوْلاَّ باهاَزَح َّلَحَأ َّْأ الَلاَح َمَّزَح
“Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka
(tidak menyelisihnya), kecuali persyaratan yang mengharamkan
perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang
haram”.(H.R At-Thirmidzi No.1352 dan Abu Dawud No.3596
dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)
Menurut mereka, syarat yang mengharamkan yang halal tersebut
diantaranya yaitu bermadu, melarang keluar rumah dan pergi
bersama, yang semua dihalalkan oleh agama.
b) Rasulullah berssabda :
َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌلِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك
“Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734)
Menurut para ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan
perjanjian tersebut, dikarenakan syarat tersebut tidak ada
didalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya
Sedangkan beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat
tersebut wajib dipenuhi diantaranya Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi
Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq dan golongan mazhab Ahmad bin
Hambal. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argument,(Sabiq,
2006:536-537) yaitu :
1) Allah SWT berfirman :
بَُِّيَأ بَي ِدُْقُعْلبِب اُْفَّْأ اٌَُْهآ َييِذَّلا
“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan
janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)
2) Rasulullah bersabda :
ْنِِِط ّْ ُزُش ىَلَع َى ُْْوِلْسُول ا
“orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian)
mereka”.(HR. Tirmidzi:2498)
3) Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain
dari Uqba bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda :
َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan
adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan
kemaluan (perempuan)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim
4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri, ada seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berjanji untuk
tetap tinggal di rumahnya (istri). Kemudian suaminya bermaksud
mengajaknya pindah lalu mereka (keluarganya) mengadukannya
kepada Umar nim Khattab, maka Umar memutuskan bahwa
perempuan itu berhak atas janji suaminya (disini hak suami atas
istri batal karena adanya perjanjian).
5) Karena janji-janji yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada
calon isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan tidak
menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah, sebagaimana
kalau perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mau
membayar maharnya lebih tinggi lagi.
Pendapat yang mewajibkan dipenuhinya perjanjian ini
semakin dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, yang pendapatnya
melemahkan pendapat yang pertama. Ia berkata bahwa perjanjian/
syarat tersebut bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi
memberikan kepada perempuan hak untuk meminta cerai jika suami
tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Selain itu, hal
ini merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang
akad, berarti pula menjadi suatu kemaslahatan didalam
akadnya.(Sabiq, 2006:537-538)
Ibnu Rusyd pun sependapat dengan pendapat kedua,
kemudian menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikarenakan
mempertentangkan antara dalil yang umum dan yang khusus, yang
dimaksud dalil yang umum adalah hadist Rsulullah SAW yang
bersabda dalam suatu khotbahnya :
ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌلِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك
“Syarat (persyaratan) yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).
Adapun dalil yang khusus adalah hadist dari Uqba bin Amir, sabda
Rasulullah SAW :
َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ
“Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah
persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para
wanita)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)
Kedua hadist ini shahih, tetapi menurut para ahli ushul fiqh,
yang termasyur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari
yang umum, yang dalam hal ini adalah memenuhi janji-janji yang
Adapun pendapat Ibnu Taimiyah dalam perjanjian ini,
mengatakan bahwa bagi orang yang sehat akalnya, apabila
mengadakan perjanjian mengandung kebaikan dari tujuan yang
hendak dicapainya, tidaklah ia mau undur atau menghianatinya.
Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada dibiarkan
tanpa syarat, atau lebih berguna lagi daripada kalau tidak diberi
syarat sama sekali.(Sabiq, 2006:538)
Secara lebih terperinci ulama Hanabilah berpendapat bahwa
hukumnya wajib dipenuhi, karena dikatakan hal ini sangat relevan
untuk mengurangi terjadinya poligami yang tidak
bertanggungjawab.(Syarifuddin, 2007:149) Sedangkan untuk perkara
yang secara khusus tidak ditemukan larangan maupun perintahnya
dalam nash-nash syara’, maka dibuka kesempatan untuk hal itu.
Akan tetapi, dalam literature yang berbeda dalam kitab Shahih Fiqih
Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menjelaskan
bahwa perjanjian pra nikah yang tergolong perjanjian yang tidak
dilarang atau diperintahkan oleh Allah ini hukum pemenuhannya
adalah mubah, sehingga boleh dilakukan (ditaati) dan boleh juga
ditinggalkan.(Kamal, 2007:246)
3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah Tangga Dengan dilangsungkannya akad nikah antara mempelai laki-laki dan
berpengaruh pada timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban
suami merupakan hak bagi seorang istri, sedangkan kewajiban istri
merupakan hak bagi seorang suami. Kewajiban dan hak merupakan suatu
pola hubungan timbal balik antara suami istri. Misalnya kewajiban seorang
suami adalah memberi nafkah dan pakaian kepada istri, maka nafkah dan
pakaian tersebut merupakan hak yang harus diperoleh seorang istri. Selain
itu, kewajiban istri adalah taat kepada perintah suami, maka hal ini menjadi
hak yang harus diperoleh suami atas isterinya.(Abu, 2007:335)
Jika akad nikah telah sah, maka menimbulkan akibat hukum yang
harus ditanggung oleh suami istri yakni berupa hak serta kewajiban. Hak dan
kewajiban ini ada tiga macam yaitu hak bersama suami isteri yang berarti
kewajiban yang dikenai bagi keduanya, hak istri (kewajiban bagi suami) dan
hak suami (kewajiban bagi istri).
a. Hak bersama suami isteri (kewajiban bagi keduanya)
Hak bersama suami istri yang harus ditanggung keduanya, antara
lain :
1) Kehalalan bersenang-senang (bersetubuh)
Suami istri diperbolehkan saling menikmati hubungan
seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik.
Masing-masing mereka berhak menikmati kesenangan dengan
pasangannya karena dorongan fitrah dan mencari keturunan
perkawinan. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan
pasangannya melakukan hal ini.(Azzam,2009:231) Sesuai dengan
firman Allah yang artinya
“dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka
sesungguhnya mereka tidak tercela”.(QS Al-Mu’minun 23:5-6)
2) Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anaknya dan
cucunya. Begitu juga bagi ibu istrinya, anak perempuannya dan
seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.
3) Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah.
Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami, begitupun
sebaliknya.
4) Keturunan dan sandaran keturunan kepada kedua orang tua.
Ketika akad nikah sah, maka ditetapkan masing-masing
mereka dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak dan
menisbatkan keturunannya.(Basyir, 1999:53) Anak yang lahir dari
istri bernasab kepada suaminya.
Adapun hak untuk memiliki keturunan menurut Ulama
Hanafiah menjadi hak bersama suami istri, tidak boleh salah satu dari
mereka mencegah tanpa seizin yang lain. Pendapat ini menjadi
pendapat mayoritas para ulama. Namun yang menjadi perdebatan
Mayoritas ulama, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Ibnu Mas’ud
berpendapat bahwa mencegah kelahiran anak adalah makruh karena
melihat hak umat dan karena adanya pengecilan keturunan,
sedangkan Rasulullah menganjurkan kita agar memperbanyak
keturunan.
5) Bergaul dengan baik antara suami isteri, sehingga tercipta kehidupan
yang harmonis dan damai. Wajib bagi suami istri untuk saling
mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah
yang artinya
“Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.(QS
An-Nisa 4:19)
b. Kewajiban suami (Hak istri)
Para ulama sepakat bahwa kewajiban suami terhadap istrinya,
yang sekaligus merupakan hak istri atas suaminya adalah nafkah dan
pakaian.(Rusyd, 2007:107)
Berdasarakan pada firman Allah yang artinya
“Dan kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka (anak dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.(QS al-Baqarah 2:233)
Dan hadist shahih dari sabda Nabi SAW
Kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri ini secara terperinci
dijelaskan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam buku Fiqh
Munakahat, bahwa hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah
sebagi berikut :
1) Mahar
Mahar merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul
kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinan yang
akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Menurut
syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur
yakni berupa sesuatu yang ada nilainya atau harganya sah dijadikan
mahar. Dasar hukum disyariatkannya mahar yaitu :
اةَلْحًِ َّيِِِت بَق ُدَص ء بَسٌَّلا ْا ُْت آ َّ
“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.(QS An-Nisa 4:4)
2) Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut’ah)
Maksudnya disini adalah sejumlah materi yang diserahkan
suami kepada istri yang dipisah dari kehidupannya sebab talak atau
semakna dengannya dengan beberapa syarat. Mut’ah ini wajib
diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan
3) Nafkah, tempat tinggal dan pakaian
Para ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah kepada istri
yang dimaksud nafkah istri adalah tuntutan terhadap suami karena
perintah syariat untuk istrinya berupa makanan, minuman, pakaian,
tempat tinggal, ranjang, pelayanan dan yang lainnya, sesuai dengan
tradisi di tempat selama masih dalam lingkaran kaidah
syariat.(Yaqub, 2007:47)
Adapun kewajiban nafkah didasarkan firman Allah yang
artinya
“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun
penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban
ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang
patut”.(QS. Al-Baqarah 2.2233)
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang beberapa
hal, yaitu waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak
menerimanya dan siapakah yang wajib memberikannya.
Adapun yang berkaitan dengan perjanjian pra nikah yaitu
mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada
seorang suami. Waktu wajibnya seorang suami memberikan nafkah
(a) Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah
hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya
dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga
sudah dewasa.
(b) Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewasa.
(c) Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa,
dalam hal ini Syafi’i memiliki dua pendapat, yaitu: pertama,
seperti pendapat Malik dan kedua, bahwa dia berhak
mendapatkan nafkah secara mutlak.
(Rusyd, 2007:107)
Imam Syafi’i menjelaskan dalam Kitab al-Umm bahwa
seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, baik si istri
berkecukupan (kaya) ataupun membutuhkan (miskin), karena suami
telah mengkungkung istrinya untuk kesenangannya dirinya secara
khusus. Oleh karena itu, selama istri tidak menolak untuk dicampuri
oleh suaminya, maka suami berkewajiban memberi nafkah kepada
istri dalam keadaan bagaimanapun. (Abu, 2007:430) Kalangan ulama
madzhab Hanafi berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah
kepada istri karena ruang gerak istri telah terbatasi untuk mengabdi
kepada suami. Sedangkan menurut jumhur, alasannya adalah karena
Adapun seorang suami diwajibkan menafkahi istri apabila
istrinya telah memenuhi syarat-syarat berikut: (Sabiq, 2006:57)
(1) Ikatan perkawinan yang sah.
Adapun perkawinan dianggap sah adalah ketika rukun dan syarat
dari perkawinan itu terpenuhi menurut hukum Islam, sehingga
nikah siri sebagai perkawinan sah yang disembunyikan juga
masuk didalamnya. Hal ini dikarenakan nikah siri sebagai
perkawinan sah yang disebunyikan juga telah memenuhi rukun
dan syarat perkawinan dianggap sah menurut hukum
Islam.(Djubaidah, 2010:345-350) Sedangkan alasan
disembunyikan perkawinan tersebut kesemuanya bukan dalam
rangka menentang hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan
bermaksud melecehkan hukum Allah.(Djubaidah, 2010:348)
Misalnya disembunyikan karena masih terikat dengan perjanjian
tertentu yang mengharuskan untuk tidak melakukan perkawinan
dalam jangka waktu tertentu.
(2) Menyerahkan dirinya kepada suaminya.
(3) Suaminya dapat menikmati dirinya.
(4) Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki
suaminya.
Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak
wajib diberi nafkah. Begitu juga bagi istri yang enggan pindah ke
tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti itu tidak ada
kewajiban nafkah. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman yang
dimaksud sebagai dasar hak penerimaan nafkah tidak dapat
diwujudkan. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang
menikah dengan Aisyah dan baru tinggal setelah dua tahun
kemudian. Beliau tidak memberi nafkah kecuali setelah beliau
tinggal serumah dengannya.
Adapun kewajiban bagi istri untuk serumah dengan suaminya
berdasarkan pada firman Allah al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 6
yang artinya sebagai berikut:
“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu”.(QS. Ath-Thalaq 65:6)
Allah mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi
istrinya. Sebaliknya, Allah mewajibkan istri untuk tinggal bersama
suaminya di rumah yang ia tinggali dan ia persiapkan untuknya.
Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi juga berkata bahwa istri berhak
mendapat tempat tinggal dari suaminya berdasarkan firman Allah
surat ath-Thaliq tersebut.(Mahmud, 2010:31)
Jika wanita yang diceraikan saja berhak mendapatkan tempat tinggal,
bentuk pergaulan yang patut dilakukan kepada istri, yakni berupa
tempat tinggal sebab, ia sangat membutuhkannya untuk melindungi
diri dari pandangan orang, berhubungan intim dan menjaga harta
benda. Selain itu, karena tempat tinggal termasuk mashlahat dan
kebutuhan tetap seorang istri.
4) Adil dalam pergaulan dengan istri, baik mu’amalah maupun
mu’asyarah. Hal ini khususnya bagi pelaku poligami dan
keluarganya.
Selain itu, kewajiban-kewajiban suami lainnya oleh Abu Malik
dalam Kitab Shahih Sunnahnya, antara lain :
a) Memelihara dan menjaga istri dari segala hal yang menghilangkan
kehormatannya atau mengotori kehormatannya atau merendahkan
derajatnya dan atau memalingkan pendengarannya karena dicela.
b) Memuaskan istri dalam berhubungan seksual.
c) Bersikap lembut terhadap istri, bercengkrama dengannya, dan
menghargai usianya yang belia.
d) Bercengkrama dan berbincang-bincang dengan istri serta
mendengarkan ceritanya.
e) Mengajarkan perkara-perkara agama kepada istrinya dan
memotivasinya untuk taat beragama.
f) Tidak menyakitinya dengan memukulnya dibagian wajah atau
g) Tidak mendiamkan kecuali di rumah.
h) Menjaga kesucian istri.
i) Tidak membocorkan rahasia istri dan membeberkan aib kepada
orang lain.
c. Kewajiban isteri (hak suami)
Kewajiban istri yang wajib dipenuhi sebagai tuntutan hak bagi
suami hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan, sebab menurut
Hukum Islam istri tidak dibebani kebendaan yang diperlukan untuk
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.(Basyir, 1999:61)
Hak-hak suami pada intinya adalah hak untuk ditaati mengenai
hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran
kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami
istri.(Basyir, 1999:61) Hal ini kemudian oleh abdul Aziz Muhammad
Azzam dalam Fiqh Munakahat dijelaskan secara terperinci, kewajiban
istri terhadap suami antara lain (Azzam, 2009:221-230) :
1) Mematuhi suami dengan taat dan tidak durhaka kepadanya
2) Memelihara kehormatan dan harta suami
3) Berhias untuk suami
4) Menjadi partner suami
5) Istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami
6) Istri harus tinggal bersama suami. Allah mewajibkan suami
mewajibkan istri untuk tinggal bersama suaminya dirumah yang ia
tinggali.(Al-Mashri, 2010:31)
7) Istri melayani suami, baik dalam hubungan seksual maupun
keperluan rumah tangga. Dalam hal melayani urusan rumah tangga,
para ulama jumhur berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu
kewajiban. Alasannya adalah karena suami sebagaimana ketentuan
dalam kitab Allah adalah pemimpin istri, sementara istri menurut
ketentuan Sunnah Rasulullah adalah pembantu (tawanan) suami.
Oleh karena itu, tawanan yang baik adalah yang melayani dengan
baik.(Kamal, 2007:307-308)
Adapun firman Allah yang menjadi dasar hukum kewajiban istri
yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang artinya
“laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah
telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain
(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah
dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka
yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,
karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuam-perempuan yang
kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada
mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan
kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah
Maha Tinggi, Maha Besar”.(QS An-Nisa 4:34)
4. Konsep Harta Dalam Islam
Didalam Islam terdapat beberapa pengertian harta dalam rumah
tangga:
a. Pertama, harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga,
sebagaimana firman Allah SWT :
باهبَيِق ْنُكَل ُ َّاللَّ َلَعَج يِتَّلا ُنُكَلاَْْهَأ َءبََِفُّسلا اُْتْؤُت َلَّ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai Pokok
Kehidupan”.(QS An-Nisa :5)
b. Kedua, kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai
berikut :
1) Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :
اةَلْحًِ َّيِِِتبَقُدَص َءبَسٌِّلا اُْتآَّ
“Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai