• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

LAYLI YUSNIA ADHANI

NIM : 21211015

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(2)

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

(Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam

Oleh

LAYLI YUSNIA ADHANI

NIM : 21211015

JURUSAN AHWAL AL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

SALATIGA

(3)

NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 (empat) eksemplar

Hal : Pengajuan Naskah Skripsi

Kepada Yth.

Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga

Di Salatiga

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Disampaikan dengan hormat, setelah dilaksanakan bimbingan, arahan dan koreksi, maka naskah skripsi mahasiswa :

dapat diajukan kepada Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga untuk diajukan dalam sidang

munaqosyah.

(4)
(5)

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Layli Yusnia Adhani

NIM : 21211015

Jurusan : Ahwal Al-Syakhshiyyah

Fakultas : Syari’ah

Judul Skripsi : PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF

HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA (Studi Kasus Di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)

Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan

jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat

dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.

Salatiga, 6 Januari 2016

Layli Yusnia Adhani

(6)

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

“THERE IS A WILL THERE IS A WAY”

DIMANA ADA KEMAUAN DISITU PASTI ADA JALAN

PERSEMBAHAN

Untuk Orang tuaku tercinta, adik-adiku tersayang

suami yang setia mendampingiku dan bayi yang

ada di dalam kandunganku yang selalu menjadi

motivasiku sehingga skripsi ini bisa terselesaikan

Untuk Almamater Tercinta Fakultas Syari’ah IAIN

(7)

KATA PENGANTAR

Rasa syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT, karena berkat

rahmat-Nya Skripsi ini dapat penulis selesaikan sesuai dengan yang diharapkan.Penulis juga

bersyukur atas rizki dan kesehatan yang telah diberikan oleh-Nya sehingga penulis

dapat menyusun skripsi ini.

Sholawat dan salam selalu penulis sanjungkan kepada Nabi Muhammad SAW

beserta segenap keluarga dan para sahabat-sahabatnya, syafa’at beliau sangat penulis

nantikan di hari pembalasan nanti.

Skripsi ini disusun untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan guna

memperoleh gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) dalam ilmu syari’ah, Fakultas Syari’ah.

Dengan judul:Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Perkawinan Di Indonesia (Studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”. Penulis mengakui bahwa dalam menyusun skripsi ini tidak dapat diselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Penulis mengucapkan

penghargaan yang setinggi-tingginya, dan ucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Dr. H. Rahmat Hariyadi, M.Pd, selaku Rektor IAIN Salatiga

2. Ibu Dra. Siti Zumrotun, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Syari’ah di IAIN Salatiga.

(8)

4. Ibu Luthfiana Zahriani, M.H, selaku Dosen Pembimbing dan juga selaku Kepala

Lab. Fakultas Syari’ah IAIN Salatiga yang telah memberikan ilmunya dan selalu

meberikan saran, pengarahan, pemahaman serta masukan berkaitan penulisan

skripsi sehingga dapat selesai dengan tepat waktu dan maksimal sesuai yang

diharapkan.

5. Bapak Imam Talmisani Selaku ketua KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya

Salatiga yang telah berkenan memberikan informasi berkaitan dengan penulisan

skripsi.

6. Para pihak yang membuat pejanjian pra nikah yang tidak dapat penulis sebutkan

identitasnya.

7. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh staf adminitrasi Fakultas

Syari’ah yang tidak bisa kami sebut satu persatu yang selalu memberikan

ilmunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini tanpa halangan apapun.

8. Kedua Orang tuaku, Bapak Purwadi dan Ibu Yuliati tercinta, Suamiku dan

anakku tersayang, yang telah memotivasi, mendoakan dan memberi kasih sayang

serta semangat kepadaku selama ini.

9. Teman-teman Jurusan S1 Ahwal Al-Syakhshiyyah Non Reguler 2011 di IAIN

Salatiga yang telah memberikan banyak cerita selama menempuh pendidikan di

IAIN Salatiga.

10. Serta semua pihak yang telah ikut serta dalam penyusunan skripsi ini, yang tidak

(9)

Semoga Allah SWT membalas semua amal kebaikan mereka dengan balasan

yang lebih dari yang mereka berikan kepada penulis, agar pula senantiasa

mendapatkan maghfiroh, dan dilingkupi rahmat dan cita-Nya. Amiin.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari

sempurna, baik dari segi metodologi, penggunaan bahasa, isi, maupun analisanya.

Semoga skripsi ini bermanfaat untuk penulis pada khususnya dan bagi pembaca pada

umumnya

Salatiga, 6 Januari 2016

(10)

ABSTRAK

Adhani, Layli Yusnia. 2016. Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam

Dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga) Skripsi. Fakultas Syari’ah Jurusan S1 Ahwal Al -Syakhshiyyah. Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Pembimbing : Luthfiana Zahriani, M.H

Kata Kunci : Perjanjian Pra Nikah, Hukum Islam, Hukum Perkawinan Indonesia Perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan, yang isinya mengatur tentang harta kekayaan dalam perkawinan dan apa saja selama perjanjian tersebut tidak melanggar hukum, agama, dan kesusilaan. Di Indonesia perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan masih jarang di temui, berdasarkan hal tersebut penulis tertarik untuk membuat penelitian dengan

judul “Perjanjian Pra Nikah Dalam Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.

Dengan pokok permasalahan atau tujuan penelitian ingin mengetahui bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia terhadap perjanjian tersebut.

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normative, yaitu penulis mendeskripsikan perjanjian pra nikah dalam hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian menganalisinya terhadap isi perjanjian perkawinan yang terdapat di KUA Tingkir. Sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dimana untuk memperoleh data penulis langsung terjun ke lokasi untuk mewawancarai kepala KUA Tingkir Salatiga.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN... iv

HALAMAN MOTO DAN PERSEMBAHAHAN………..……… v

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Rumusan Masalah...……….... 7

BAB II PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM

ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A.Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam...

1. Perjanjian...……….. 2. Perjanjian Pra Nikah...………..

3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah

(12)

BAB III

BAB IV

BAB V

B. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Perkawinan Di Indonesia.

1. Perjanjian Pra Nikah dalam UU No.1 Th.1974...……….. 2. Perjanjian Pra Nikah dalam KHI...……….…..

3. Bentuk dan Isi Perjanjian Pra Nikah...………

4. Syarat-syarat Perjanjian Pra Nikah...………...

5. Konsekuensi Terhadap Pelanggaran Perjanjian Pra Nikah… PERJANJIAN PRA NIKAH DI KUA KECAMATAN TINGKIR

KOTAMADYA SALATIGA

A.Hasil Wawancara Dengan Kepala KUA Tingkir Salatiga ...

B. Perjanjian Pra Nikah di KUA Tingkir Salatiga...

ANALISIS TERHADAP ISI PERJANJIAN PRA NIKAH DI

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pernikahan yang baik adalah pernikahan yang dilakukan pria dan wanita

yang sama akidah akhlak dan tujuannya di samping cinta dan ketulusan hati. Di

bawah naungan keterpaduan itu, kehidupan suami istri akan tentram, penuh cinta

dan kasih sayang. Keluarga akan bahagia dan anak-anak akan sejahtera. Dalam

Pasal 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Perkawinan di artikan sebagai “ Ikatan

lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa”. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam

ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga dalam Pasal 2 Kompilasi Hukum

Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat (mitsaqan

ghalizhan) untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan

ibadah.(Anshary, 1994:1)

Prinsip-prinsip hukum perkawinan yang bersumber dari Quran dan

Al-Hadist, yang kemudian di tuangkan dalam garis-garis hukum melalui

Undang-Undang No.1 Th 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam Th

1991 Mengandung 7 (tujuh) asas atau kaidah hukum, yaitu sebagai berikut :

(14)

Suami dan istri perlu saling membantu dan melengkapi agar masing-masing

dapat mengembangkan kepribadiannya untuk mencapai kesejahteraan

spiritual dan material.

2. Asas keabsahan perkawinan

Didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan bagi pihak yang

melaksanakan perkawinan dan harus di catat oleh petugas yang berwenang.

3. Asas monogami terbuka

Jika suami tidak mampu berlaku adil terhadap hak-hak istri bila lebih dari

satu orang maka cukup seorang istri saja. Hal tersebut di jelaskan dalam

Al-Quran surat An-Nisa’ ayat 3.

4. Asas calon suami dan istri telah matang jiwa raganya dapat melangsungkan

pernikahan, agar mewujudkan tujuan perkawinan secara baik dan mendapat

keturunan yang baik dan sehat, sehingga tidak berpikir kepada perceraian.

5. Asas mempersulit terjadinya perceraian.

6. Asas keseimbangan hak dan kewajiban antara suami dan istri, baik dalam

kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat. Oleh karena

itu, segala sesuatu dalam keluarga dapat dimusyawarahkan dan diputuskan

bersama oleh suami istri.

7. Asas pencatatan perkawinan

Pencatatan perkawinan mempermudah mengetahui manusia yang sudah

(15)

Hukum Perkawinan sendiri dibagi dalam dua bagian, yaitu Hukum

Perkawinan dan Hukum Kekayaan dalam Perkawinan. Hukum Perkawinan

adalah keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu

perkawinan. Sedangkan hukum kekayaan dalam perkawinan adalah keseluruhan

peraturan-peratuan yang berhubungan dengan harta kekayaan suami dan istri di

dalam perkawinan. Perkawinan adalah suatu hal yang mempunyai akibat yang

luas di dalam hubungan hukum antara suami dan istri, dengan perkawinan itu

timbul suatu ikatan yang berisi hak dan kewajiban contohnya seperti kewajiban

untuk bertempat tinggal yang sama, setia kepada satu sama lain, kewajiban untuk

memberi belanja rumah tangga, hak waris dan sebagainya. Suatu hal yang sangat

penting ialah bahwa dengan perkawinan itu istri tidak dapat bertindak sendiri.

(Berhubung dengan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963, karena Pasal

108 dan Pasal 110 B.W. dianggap tidak berlaku lagi, sekarang ini seorang

perempuan yang ingin melangsungkan perkawinan dapat bertindak sendiri).

Perkawinan berpengaruh besar kepada kekayaan suami istri, ikatan hukum yang

terjadi antara mereka dan anak-anak yang lahir dari perkawinan itu. Bagi pihak

ketiga perkawinan itu penting karena perlu di perhatikan juga perjanjian

perkawinan antara suami istri, di dalam hubungan dengan utang-piutang.(Afandi,

1997:94)

Berdasarkan uraian diatas, pernikahan bukan hanya menyangkut

keseluruhan peraturan-peraturan yang berhubungan dengan suatu perkawinan

(16)

tersebut juga termasuk harta bawaan maupun urusan utang-piutang antara suami

istri, dimana untuk melindungi harta masing-masing dan demi kenyamanan

kedua belah pihak perlu adanya surat perjanjian Pra Nikah. Apalagi di era

sekarang ini banyak pernikahan yang tidak mengindahkan nilai-nilai

agama,hukum,kesusilaan,norma dan etika yang berlaku di masyarakat, dimana

rasa cinta sudah tidak lagi menjadi landasan utama suatu pernikahan. Tak jarang

suatu pernikahan di latar belakangi oleh suatu kepentingan tertentu, seperti

status,jabatan,kekayaan dan lain sebagainya.

Perjanjian Pra Nikah atau sering disebut juga Perjanjian Perkawinan

(Prenuptial Agreement) adalah perjanjian yang dibuat antara calon suami istri

sebelum pernikahan dilangsungkan dan isinya tidak boleh melanggar

hukum,agama dan norma-norma adat kesusilaan yang berlaku. Perjanjian tersebut

dibuat dan disahkan dihadapan pengacara atau notaris kemudian dicatatkan di

Kantor Urusan Agama atau Catatan Sipil.(Nasution, 2004:42)

Putusnya hubungan perkawinan tidak hanya menjadi klimaks dalam perceraian

melainkan akan timbul juga problem mengenai pembagian harta bersama (harta

yang di peroleh suami istri selama perkawinan berlangsung) dan mengenai hak

asuh anak. Dalam suatu kasus perceraian, tidak sedikit pasangan suami istri yang

mempermasalahkan hal-hal tersebut, dampaknya tak hanya hubungan antar suami

istri yang semakin tidak baik tapi juga akan membuat proses perceraian akan

semakin memakan biaya dan waktu yang lama. Di Indonesia masih banyak

(17)

nikah itu sendiri. Banyak pro dan kontra mengenai perjanjian tersebut, banyak

yang berpendapat bahwa perjanjian pra nikah merupakan hal yang tabu dan tidak

sesuai dengan hakekat tujuan pernikahan karena identik dengan

“ketidakpercayaan” sehingga perjanjian tersebut menjadi tidak perlu di buat.

Tetapi mengingat zaman yang semakin maju dan masyarakatnya yang semakin

kritis dimana kini kesetaraan kedudukan antara perempuan dan laki-laki adalah

sama, perempuan tidak lagi menjadi kaum yang lemah tetapi perempuan juga

dapat mendapatkan hak yang sama seperti laki-laki. Seperti mendapatkan

pendidikan,pekerjaan,jabatan dan lain sebagainya. Tentunya untuk melindungi

kepentingan masing-masing calon suami istri dari hal-hal yang tidak di inginkan

selama pernikahan berlangsung dari kemungkinan terburuk seperti perceraian,

maka perjanjian pra nikah dapat menjadi pertimbangkan ketika sebelum menuju

gerbang pernikahan.

Di Indonesia terdapat 3 (tiga) peraturan tentang perjanjian pra nikah atau

sering disebut juga perjanjian perkawinan,yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.

Sejak berlakunya Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP),

maka di negara Indonesia telah terjadi unifikasi dalam bidang Hukum

Perkawinan, kecuali sepanjang yang belum/tidak diatur dalam undang-undang

tersebut, maka peraturan lama dapat di pergunakan (Pasal 66 UU Nomor 1/1974).

(18)

Pasal 29 UU No 1 Th 1974 dan Pasal 45 Kompilasi Hukum Islam (KHI).

(Hazairin, 1982:3)

Berdasarkan landasan atau sumber hukum perjanjian pra nikah maka

seyogyanya bagi pasangan yang ingin menikah dapat menjadi pertimbangan

sebelum melangkah ke jenjang pernikahan, tidak hanya untuk melindungi harta

benda masing-masing tetapi perjanjian pra nikah dapat mengatur apapun yang

ingin calon suami dan istri sepakati sepanjang isinya tidak bertentangan dengan

hukum,agama dan kesusilaan. Berdasarkan hal tersebut pula, maka penulis

tertarik untuk membuat penelitian dengan judul “Perjanjian Pra Nikah dalam

Perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia (Studi Kasus di

KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar berlakang masalah yang telah di jelaskan, pokok

masalah yang akan di bahas dalan penelitian ini dapat di rumuskan sebagai

berikut :

1. Bagaimana isi perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir Salatiga?

2. Bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia

(19)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui bagaimana isi naskah perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA

Tingkir Salatiga.

2. Mengetahui bagaimana perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di

Indonesia terhadap perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir

Salatiga.

D. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian diatas, diharapkan penelitian dapat

memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis dalam dunia pendidikan

maupun masyarakat pada umumnya. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Manfaat Akademis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis,

sebagai penambah wacana tentang hukum Islam terkait perjanjian pra

nikha dan bagaimana hukumnya dalam Islam dan undang-undang di

Indonesia.

b. Bagi Ilmu Pengetahuan

Sebagai bahan referensi dalam bidang perkawinan dan keIslaman

sehingga dapat memperkaya dan menambah wawasan.

c. Bagi Peneliti Berikutnya

Dapat dijadikan bahan pertimbangan atau dikembangkan lebih lanjut,

(20)

2. Manfaat Non Akademis

a. Dapat memberikan wacana baru, khususnya bagi yang belum menikah

tentang perjanjian pra nikah. Sehingga untuk kedepannya nanti dapat

menjadi pertimbangan sebelum memasuki gerbang pernikahan.

b. Memberikan pengetahuan kepada pembaca tentang isi perjanjian pra

nikah yang terdapat di KUA Tingkir Salatiga.

E. Penegasan Istilah

Perjanjian Pra Nikah atau sering di sebut juga Perjanjian Perkawinan yaitu

perjanjian yang mengatur akibat suatu perkawinan di dalam bidang harta

kekayaan.(Afandi, 1997:172)

Perspektif dalam kamus bahasa Indonesia yang artinya yaitu pandangan

dari sudut satuan bahasa sebagai unsur yang lepas (pandangan statis).

Hukum Islam (syari’at Islam) hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf

yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau

diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama

fiqh hukum syara’ ialah efek yang di kehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan

seperti wajib,haram dan mubah.

Hukum perkawinan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu dasar

hukum yang mengatur tentang perjanjian perkawinan yaitu UU No. 1 Tahun

(21)

Jadi dalam penelitian ini, penulis membahas tentang perjanjian yang

dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan yang mengatur akibat suatu

perkawinan dibidang harta kekayaan dipandang dari hukum Islam atau syara’ dan

menurut hukum perkawinan di Indonesia yaitu UU No.1 Th 1974 dan KHI

dengan studi kasus di KUA Kecamatan Tingkir Kotamadya Salatiga.

F. Kajian Pustaka

Penelitian tentang perjanjian pra nikah sejauh ini penulis tidak

menemukan tulisan karya ilmiah dalam bentuk skripsi pada Jurusan Ahwal

Al-Syakhshiyyah atau Hukum Keluarga Islam di IAIN Salatiga. Dalam penelitian

sebelumnya sudah banyak yang mengangkat tema tentang harta gono-gini,

perceraian dan beberapa kasus pernikahan yang tidak sesuai dengan syari’at

Islam, tetapi belum ada yang membahas lebih lanjut mengenai perjanjian pra

nikah dan bagaimana menurut perspektif hukum Islam dan hukum perkawinan di

Indonesia. Penulis telah menelusuri di internet beberapa judul penelitian

terdahulu yang mirip dengan yang akan penulis teliti.

Penelitian Fanani (2007) dari Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga

Yogyakarta Fakultas Syari’ah berjudul “Pengingkaran Perjanjian Perkawinan Sebagai Alasan Perceraian” dalam penelitian tersebut mengkaji bagaimana

pengingkaran terhadap perjanjian perkawinan bisa dijadikan dasar atau alasan

percerain suami istri. Dari penelitian tersebut menghasilkan kesimpulan bahwa

(22)

melainkan apabila terjadi pengingkaran salah satu pihak dapat masuk dalam

perkara perdata. Tetapi dalam perjanjian tersebut terdapat satu perjanjian yang

isinya apabila ada salah satu pihak mengingkari perjanjian tersebut menjadi kasus

perdata bila tidak dapat diselesaikan dengan jalan musyawarah atau kekeluargaan

dapat dijadikan sebagai salah satu alasan perceraian, dan salah satu pihak yang

dirugikan dapat mengajukan perkara ke Pengadilan Agama setempat.

Selanjutnya yaitu skripsi dari Relawati (2006) yang juga berasal dari

Univesitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Fakultas Syari’ah berjudul “Urgensi

Perjanjian Perkawinan Atas Harta Gono-Gini Menurut Pandangan Dosen

Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta” Fokus Pembahasan Skripsi

adalah bagaimana pandangan Dosen Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga

terhadap urgensi perjanjian perkawinan atas harta gono-gini. Penelitian ini

berkesimpulan bahwa ada dosen yang setuju adanya perjanjian perkawinan yang

mengatur harta gono-gini. Mereka menilai perjanjian ini bermanfaat bagi kedua

pasangan agar lebih terbuka dalam hal keuangan dan lebih memberikan

perlindungan hak wanita, sementara dosen yang tidak setuju dengan adanya

perjanjian bertolak bahwa dasar pernikahan merupakan hal yang sakral dan

bukan semata-mata tentang harta benda.

Kemudian skripsi dari Akmah (2013) dari Universitas Mulana Malik

Ibrahim Malang Tahun 2013 dengan judul “Perjanjian Dalam Perkawinan

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang (Perspektif

(23)

perjanjian pra nikah. Dan mengetahui dasar hukum perjanjian perkawinan

menurut perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia. Penelitian

tersebut dapat berkesimpulan, isi dalam perjanjian perkawinan mahasiswa UIN

Maulana Malik Ibrahim Malang menurut Hukum Islam Dan Hukum Perkawinan

Indonesia hukumnya “mubah” atau boleh, melihat dari isi perjanjian tersebut.

Pihak perempuan meminta agar setelah menikah tetap diizinkan pihak laki-laki

untuk meneruskan pendidikannya dan menurut pandangan Islam hal tersebut

termasuk dalam mahar pernikahan sehingga sah-sah saja diaplikasikan. Isi

perjanjian ini juga tidak menyimpang dari Hukum Perkawinan di Indonesia.

Beda penelitian penulis dengan penelitian Fanani adalah fokus dan tujuan

permasalan yang terdapat dalam penelitian. Sedangkan dengan penelitian

Relawati terletak pada isi perjanjian dan perspektif perjanjian tersebut, apabila

dalam penelitiannya mengkaji peneelitian tersebut menurut pandangan dosen

fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta disini penulis mengkaji

perjanjian pra nikah dalam perspektif hukum Islam dan Hukum Perkawinan di

Indonesia. Dan yang membedakan dengan penelitian Akmar terletak pada lokasi

penelitian dimana dalam penelitiannya dilakukan studi kasus di Malang

sedangkan dalam penelitian lokasi penelitian terletak di kota salatiga.

G. Metode Penelitian

(24)

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah

yuridis normatif. Yaitu suatu penelitian yang secara deduktif menganalisa

terhadap hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia mulai dari

pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur perjanjian pra

nikah. Penelitian hukum secara yuridis maksudnya penelitian yang mengacu

pada dokumen ataupun terhadap data skunder yang digunakan. Bersifat

normatif maksudnya penelitian hukum yang bertujuan memperoleh

pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu peraturan dengan

peraturan lain dan praktek penerapan. Menganalisa perjanjian pra nikah

dalam hukum Islam dan hukum perkawinan serta perjanjian pra nikah yang

terdapat di KUA Tingkir Salatiga.

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu penelitian

yang bertujuan memberikan gambaran tentang suatu gejala/suatu masyarakat

tertentu.(Sukandarrumidi, 2006:104)

2. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian yang dijadikan objek penelitian oleh peneliti hanya

terbatas pada lingkup perjanjian pra nikah yang terjadi di KUA Tingkir

Salatiga yang terletak di Jalan Marditomo No. 37 Kecamatan Tingkir,

Kotamadya Salatiga.

3. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang diolah dalam penelitian ini adalah jenis kualitatif. Data

(25)

kenyataan empiris non-numerik. Sedangkan, sumber data yang digunakan

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Sumber Data Primer

Data primer adalah data-data yang diperoleh langsung dari sumber

utama, diamati dan dicatat untuk pertama kalinya.(Marzuki, 2000:55)

Dengan demikian maka data primer dalam penelitian ini adalah data yang

dihimpun pertama berupa salinan akta perjanjian pra nikah yang terdapat

di KUA Tingkir yang dianggap tepat untuk dijadikan informan dan

diambil informasinya.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang bukan diusahakan sendiri

pengumpulannya oleh peneliti,akan tetapi berasal dari tangan kedua,

ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan

peneliti sendiri yang berupa buku, jurnal, dokumen perjanjian.(Marzuki,

2000:56)

4. Prosedur Pengumpulan Data

Dalam merencanakan suatu penelitian, maka tahap awal sebelum

mengolah dan menganalisis data yaitu merencanakan metode pengumpulan

data. Pengumpulan data ini memudahkan untuk lanjut pada tahapan

penelitian berikutnya. Adapun metode pengumpulan data yang digunakan

dalam penelitian ini sebagai berikut :

(26)

Penelitian melakukan mewawancara dengan kepala KUA Tingkir

Salatiga sebagai narasumber. Untuk mengetehui tentang berapa

perjanjian pra nikah yang terdapat di KUA Tingkir dan bagaimana isi

perjanjian tersebut.

b. Dokumentasi

Dari hasil penelitian, penulis mendapatkan dokumen perjanjian

pra nikah yang berupa salinan akta perjanjian yang dibuat oleh notaris.

5. Analisis Data

Dari hasil penelitian data yang telah terkumpul kemudian dianalisis

dengan menghubungkan dan menafsirkan fakta-fakta yang telah ditemukan

terkait perjanjian pra nikah di KUA Tingkir dengan konsep perjanjian pra

nikah menurut hukum Islam dan hukum perkawinan di Indonesia. Tentunya

dalam melakukan analisa ini peneliti membahasnya menurut rumusan

masalah yang telah ditentukan, sehingga menjadi sistematis dan lebih terarah.

6. Tahap-tahap Penelitian

Tahap yang di lakukan dalam proses pelaksanaan penelitian ini yaitu

peneliti mengumpulkan data tentang perjanjian pra nikah dalam hukum

Islam dan hukum perkawinan di Indonesia kemudian melakukan penelitian di

KUA Tingkir terkait dengan perjanjian pra nikah, selanjutnya menganalisis

(27)

H. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan yang digunakan dalam menyusun penelitian ini

adalah sebagai berikut:

Bab pertama, merupakan pendahuluan yang memuat Latar Belakang Masalah,

Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah,

Kajian Pustaka, Metode Penelitian.

Bab kedua , berisi tentang landasan konseptual Perjanjian Pra Nikah Dalam

Hukum Islam, dan Hukum Perkawinan di Indonesia (UU No.1 Tahun 1974, dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI))

Bab ketiga berisi tentang Paparan Data dan Penemuan Peneliti. Dalam bab ini

memuat tentang hasil penelitian perjanjian pra nikah di KUA Tingkir Salatiga.

Bab keempat, berisi analisis terhadap isi perjanjian pra nikah di KUA Tingkir

Salatiga dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Perkawinan di Indonesia

(28)

BAB II

PERJANJIAN PRA NIKAH DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Perjanjian Pra Nikah Dalam Hukum Islam 1. Perjanjian

a. Pengertian Perjanjian

Secara etimologis perjanjian dalam bahasa arab adalah

mu’ahadah, ittifaq, akad atau kontrak. Secara terminologis menurut Yan

Pramadya Puspa, Perjanjian adalah suatu perbuatan dimana seseorang

atau lebih mengikatkan dirinya terhadap seseorang lain atau lebih.

Sedangkan menurut WJS, Poerwadarminto, Perjanjian adalah persetujuan

tertulis atau lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih yang mana

berjanji akan menaati apa yang tersebut di persetujuan itu.(Chairuman,

2004:1)

Dalam hukum, perjanjian tergolong sebagai perbuatan hukum

karena perjanjian menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak-pihak

yang terlibat di dalamnya.

(29)

Asas berasal dari bahasa Arab yang berarti dasar, basis, fondasi

dan kebenaran yang menjadi pokok dasar berpikir serta bertindak.

Apabila kata asas ini dihubungkan dengan kata hukum maka dapat

diartikan sebagai kebenaran yang dipergunakan sebagai tumpuan berpikir

dan alasan pendapat terutama dalam penegakan dan pelaksanaan

hukum.(Ali, 2000:50-52)

Dalam hukum perjanjian dikenal lima asas penting yang sekaligus

merupakan esensi hukum perjanjian. Kelima asas tersebut adalah asas

keabsahan dalam mengadakan perjanjian, asas konsensualisme, asas

pacta sunt servanda, asas itikad baik dan asas kepribadian. Yang

kesemua teori ini diambil dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata,

akan tetapi asas-asas ini berlaku karena universal dalam setiap bentuk

perjanjian. Asas keabsahan dalam mengadakan perjanjian merupakan

salah satu asas dalam hukum yang berlaku di dunia. Asas ini memberi

kebebasan kepada setiap warga Negara untuk mengadakan perjanjian

tentang apa saja, selama tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan, kepatutan dan ketertiban umum.

Asas kebebasan mengadakan perjanjian adalah suatu asas yang

member kebebasan kepada para pihak yang mengadakan perjanjian

untuk:

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian.

(30)

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya.

4) Menentukan bentuk perjanjian, yaitu tertulis atau tidak tertulis.

5) Menerima atau menyimpang dari perundang-undangan yang bersifat

opsional,

(Marbun, 2009:5)

Selama isi perjanjian memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian,

maka perjanjian tersebut berlaku bagi pembuatnya dengan ketentuan

yang sama seperti undang-undang. Para pihak pembuat perjanjian bebas

untuk membuat perjanjian dengan siapa saja di dalam sebuah perjanjian,

tentunya dengan memperhatikan batasan-batasan hukum yang berlaku.

Adapun berdasarkan asas konsensualisme maka perjanjian

merupakan kesepakatan (konsensus) dari kedua belah pihak. Namun, ada

yang mengartikan juga bahwa asas konsensualisme ini menetapkan

bahwa untuk sahnya maka perjanjian harus dilakukan secara tertulis,

sebagaimana yang terdapat dalam undang-undang.(Marbun, 2009:5)

Selain itu, dasar fundamental lainnya dalam hukum perjanjian yang

banyak dianut di berbagai Negara adalah suatu asas yang berbunyi pacta

sunt servenda yang berarti janji harus ditepati dan mengikat sebagaimana

undang-undang bagi pihak yang terlibat didalamnya.

Selain keempat asas tersebut, sebenarnya masih ada beberapa hal

mendasar (asas) yang dapat dijadikan pedoman dalam pembuatan

(31)

keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas

kebiasaan dan asas perlindungan. Namun yang perlu diingat adalah asas

hukum yang masih bersifat abstrak karena tidak selalu dapat diterapkan

secara langsung dalam peristiwa konkrit.(Artadi, 2010:50)

Beberapa asas-asas hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari

kitab undang-undang hukum perdata yang telah dijelaskan diatas juga

sejalan dengan asas hukum perjanjian dalam hukum Islam. Namun dalam

hukum Islam asas-asas perjanjian ini diklasifikasikan menjadi dua, yaitu :

1) Asas-asas dalam perjanjian yang tidak berakibat hukum dan sifatnya

umum. Beberapa asas yang termasuk di dalamnya, antara lain : asas

ilahiyah, asas kebolehan (mabda al-ibahah) bahwa pada dasarnya

segala sesuatu itu dibolehkan sampai terdapat dalil yang

melarangnya, asas keadilan dalam memenuhi tanggung jawabnya

masing-masing, asas persamaan/kesetaraan tanpa memandang status

sosial atau yang lainnya, asas tertulisnya setiap transaksi muamalah,

asas i’tikad baik (kepercayaan antara masing-masing pihak) dan asas

kemanfaatan atau kemaslahatan yang terkandung dalam suatu

perjanjian.

2) Asas-asas perjanjian yang berakibat hukum dan sifatnya khusus.

Beberapa asas yang termasuk didalamnya, antara lain: asas

konsensualisme (QS. An-Nisa : 29), asas kebebasan dalam membuat

(32)

menghendaki kedua belah pihak untuk memenuhi dan melaksanakan

perjanjian yang disepakati, dan asas kepastian hukum yang berkaitan

dengan konsekuensi dari suatu perjanjian.

(Rahmani, 2008:96-105)

Berdasarkan pengklasifikasian asas perjanjian dalam Hukum

Islam ini, maka apabila kita melihat asas-asas yang berakibat hukum dan

sifatnya khusus, maka asas-asas tersebut sudah sejalan dengan asas-asas

hukum dalam perjanjian yang diadopsi dari Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata tersebut diatas.

c. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Terdapat beberapa syarat dalam perjanjian yaitu sebagai berikut

(Sabiq, 2006:83) :

1) Tidak menyalahi hukum syari’ah, artinya bahwa perjanjian yang diadakan bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau

perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan

dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak

untuk menepati atau melaksanakan perjanjian tersebut karena

melawan hukum syari’ah. Sebagaimana dalam Sabda Rasulullah

(33)

ِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌل

Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).

2) Harus sama ridha dan berdasarkan pada kesepakatan bersama.

Perjanjian yang diadakan oleh kedua belah pihak didasarkan pada

kesepakatan kedua belah pihak, yakni masing-masing ridha atau rela

akan isi perjanjian tersebut, atau dengan kata lain perjanjian dibuat

harus atas kehendak bebas masing-masing pihak.(Chairuman,

2004:2). Pemaksaan dalam suatu perjanjian menafikan kemauan,

sehingga tidak ada penghargaan terhadap akad yang menafikan

kebebasan seseorang.(Sabiq, 2006:83)

3) Harus jelas dan gamblang, artinya bahwa apa yang diperjanjikan oleh

para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi perjanjian,

sehingga tidak mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman diantara

para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian

hari.(Chairuman, 2004:2) Oleh karena itu, dalam pelaksanaan

perjanjian pra nikah memiliki interprestasi yang sama tentang apa

yang mereka perjanjikan para pihak memiliki interprestasi yang sama

tentang apa yang mereka perjanjikan. Perjanjian harus jelas dan tidak

samar sehingga tidak mengundang berbagai interprestasi yang bisa

(34)

2. Perjanjian Pra Nikah

a. Pengertian Perjanjian Pra Nikah

Perjanjian secara etimologi dalam bahasa arab sering disebut

dengan al-mu’ahadah (janji), al-ittifaq (kesepakatan) dan al-aqdu

(ikatan). Sedangkan secara terminologi, perjanjian adalah janji setia

kepada Allah SWT, atau suatu perjanjian yang dibuat oleh manusia

lainnya dalam kehidupan sehari-hari.

Menepati janji asalnya adalah diperintahkan, sebagaimana yang

dinyatakan Allah dalam firman-Nya:

ِدُْقُعْلبِب اُْفَّْأ اٌَُْهآ َييِذَّلا بَُِّيَأ بَي

“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan

janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)

ال ّ ُءْْسَه َى بَك َدَِْعْلا َّى ِإ ِدَِْعْل ُبِب ْا ُْف ّْأَّ

“Dan penuhilah janji karena janji itu pasti diminta pertanggung

jawabannya”.(QS Al-Isra’ 17:34)

Sedangkan, Abdul Rahman Ghazali dalam bukunya Fiqh

Munakahat mendefinisikan perjanjian pra nikah sebagai persetujuan yang

dibuat oleh kedua calon mempelai pada waktu sebelum perkawinan

(35)

tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh pegawai pencatat

nikah.(Ghazaly, 2006:119)

Dalam literatur fiqh klasik tidak ditemukan bahasan khusus

dengan nama perjanjian pra nikah. Yang ada dalam bahasa fiqh dan

diteruskan dalam sebagian kitab fiqh dengan maksud yang sama yaitu

“persyaratan dalam perkawinan”. Bahasan tentang syarat dalam

perkawinan tidak sama dengan syarat perkawinan yang dibicarakan

dalam semua kitab fiqh karena yang dibahas dalam kitab fiqh dalam

syarat-syarat untuk sahnya perkawinan.(Syarifuddin, 2007:145)

Sedangkan syarat yang terdapat dalam perjanjian pra nikah yang dibahas

disini adalah syarat-syarat yang tidak mempengaruhi sahnya suatu

perkawinan.

Kaitan antara syarat dalam perkawinan dengan perjanjian dalam

perkawinan adalah karena perjanjian itu berisi syarat-syarat yang harus

dipenuhi oleh pihak yang melakukan perjanjian dalam arti pihak-pihak

yang berjanji memenuhi syarat yang ditentukan. Namun perjanjian itu

tidak sama dengan sumpah, karena sumpah dimulai dengan ucapan

seperti : wallahi, billahi dan tallahi, dan membawa akibat dosa bagi yang

tidak memenuhinya.

Syarat atau perjanjian yang dimaksud dilakukan diluar prosesi

akad perkawinan, meskipun dalam suasana atau majelis yang sama. Oleh

(36)

ada kaitan hukum antara akad nikah yang dilakukan secara sah dengan

pelaksanaan syarat yang ditentukan dalam perjanjian itu. Hal ini berarti

bahwa tidak dipenuhinya perjanjian tidak menyebabkan batalnya nikah

yang telah sah. Meskipun demikian pihak-pihak yang dirugiakan tidak

memenuhi perjanjian itu berhak meminta pembatalan nikah.(Syarifuddin,

2007:146)

b. Hukum Membuat Perjanjian Pra Nikah dan Pemenuhannya Dalam

Hukum Islam

Membuat perjanjian dalam perkawinan hukumnya mubah, artinya

boleh seseorang untuk membuat perjanjian dan boleh pula tidak

membuatnya.(Syarifuddin, 2007:146) Namun kalau sudah dibuat

bagaimana hukum memenuhi syarat yang terdapat dalam perjanjian pra

nikah itu menjadi perbincangan oleh para ulama. Jumhur ulama

berpendapat bahwa memenuhi syarat yang dinyatakan dalam bentuk

perjanjian itu hukunnya wajib sebagaimana hukum memenuhi perjanjian

lainnya, bahkan syarat yang berkaitan dengan perkawinan lebih berhak

untuk dilaksanakan. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :

َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ

Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah

persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan

(37)

Al-Syaukaniy juga menjelaskan bahwa alasan syarat perkawinan

menjadi yang paling berhak dipenuhi sebagaimana hadist diatas yaitu

karena urusan pernikahan itu sebagai perkara yang paling hati-hati dan

pintunya yang paling sempit.(Mustafa, 1994:535)

Al-Kaththabi menjelaskan bahwa syarat-syarat dalam pernikahan

berbeda-beda, diantaranya ada yang wajib dipenuhi karena cara yang

ma’ruf, dan diantaranya ada yang tidak perlu ditepati.(Ibnu, 2008:403)

Oleh karena itu, kewajiban dalam memenuhi persyaratan yang terdapat

dalam perjanjian perkawinan tergantung kepada persyaratan yang ada

dalam perjanjian itu sendiri. Dalam hal ini ulama membagi syarat itu

menjadi tiga, yakni sebagai berikut :

1) Syarat yang wajib dipenuhi

Syarat yang wajib dipenuhi adalah syarat yang langsung

berkaitan dengan pelaksanaan kewajiban suami istri dalam

perkawinan, merupakan tuntutan dari perkawinan itu sendiri, sesuai

dengan maksud akad dan misi syariat. Artinya syarat-syarat yang

diberikan termasuk dalam rangkaian dan tujuan pernikahan, tidak

mengurangi hal-hal yang menyalahi hukum Allah dan

Rasul-Nya.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami istri bergaul secara baik,

isteri mesti melayani kebutuhan seksual suaminya dan istri harus

(38)

Ulama sepakat mengatakan bahwa syarat-syarat dalam bentuk

pertama ini wajib dilaksanakan. Pihak yang berjanji terikat dengan

persyaratan tersebut. Namun apabila pihak yang berjanji tidak

memenuhi persyaratan tersebut, tidak menyebabkan batalnya

perkawinan dengan sendirinya.(Syarifuddin, 2007:147)

2) Syarat yang tidak wajib dipenuhi

Syarat yang tidak wajib dipenuhi adalah syarat-syarat yang

bertentangan dengan hakikat perkawinan atau yang secara khusus

dilarang untuk dilakukan atau memberi mudharat kepada

pihak-pihak tertentu, bertentangan dengan maksud akad serta melanggar

hukum Allah dan syariat-Nya. Syarat-syarat ini semuanya batal

dengan sendirinya, sebab menyalahi hukum-hukum pernikahan dan

mengurangi hak-hak suami isteri.(Sabiq, 2006:535) Misalnya, suami

tidak memberikan nafkah, tidak mau bersetubuh, tidak memberikan

mahar, memisahkan diri dari istrinya atau istri yang harus memberi

nafkah, atau istri mempersyaratkan tidak akan beranak, isteri

mensyaratkan suami menceraikan isteri-istreinya terlebih dahulu,

suami mempersyaratkan membayar mahar atau nafkah, atau suami

meminta isterinya mencari nafkah yang tidak halal.

Dalam hal syarat bentuk ini maka para ulama sepakat bahwa

perjanjian itu tidak wajib dipenuhi dalam arti tidak berdosa orang

(39)

adalah diperintahkan, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ma’idah ayat 1. Adapun akadnya sendiri tetap sah karena syarat -syarat tadi berada diluar ijab qabul yang menyebutnya tidak berguna

dan tidak disebutkanpun tidaklah merugikan. Oleh karena itu, secara

umum dapat dijelaskan bahwa perjanjian pra nikah mempunyai

syarat yakni perjanjian yang dibuat itu tidak bertentangan dengan

syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Maka apapun bentuk

perjanjian itu bertentangan dengan syari’at, maka hukum perjanjian

tidak boleh (tidak sah).(Ghazaly, 2006:120-121)

3) Syarat-syarat yang tidak menyalahi tuntutan perkawinan dan tidak

ada larangan secara khusus namun tidak ada tuntutan dari syara’

untuk dilakukan (Syarifuddin, 2007:147), artinya bahwa syarat ini

tidak diperintahkan maupun dilarang oleh Allah serta persyaratan ini

mengandung kemaslahatan bagi salah satu pasangan.(Abu,

2007:241)

Misalnya isteri mempersyaratkan bahwa suami tidak akan

memadunya, hasil pencarian dalam rumah tangga milik bersama, istri

tidak mau pergi bersama suaminya, atau suami tidak boleh menyuruh

istri keluar rumah atau kampung. Mengenai wajib atau tidaknya

pemenuhan perjanjian bentuk ini para ulama berbeda pendapat.

Menurut Imam Abu Hanifat, Syafi’I dan sebagian besar ulama

(40)

tidak harus memenuhinya. Pendapat ini didasarkan pada beberapa

dalil, yaitu :

a) Rasulullah bersabda :

باطْزَش َّلِإ ْنِِِطُّْزُش ىَلَع ىُْْوِلْسُوْلاَّ باهاَزَح َّلَحَأ َّْأ الَلاَح َمَّزَح

Dan kaum muslimin tetap berada diatas persyaratan mereka

(tidak menyelisihnya), kecuali persyaratan yang mengharamkan

perkara yang halal atau menghalalkan perkara yang

haram”.(H.R At-Thirmidzi No.1352 dan Abu Dawud No.3596

dan disahihkan oleh Syaikh Al-Albani)

Menurut mereka, syarat yang mengharamkan yang halal tersebut

diantaranya yaitu bermadu, melarang keluar rumah dan pergi

bersama, yang semua dihalalkan oleh agama.

b) Rasulullah berssabda :

َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌلِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك

Syarat apapun yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734)

Menurut para ulama yang berpendapat tidak wajib melaksanakan

perjanjian tersebut, dikarenakan syarat tersebut tidak ada

didalam kitab Allah karena memang tidak ada ketentuannya

(41)

Sedangkan beberapa ulama yang berpendapat bahwa syarat

tersebut wajib dipenuhi diantaranya Umar bin Khattab, Sa’ad bin Abi

Waqash, Mu’awiyah, Amru bin Ash, Umar bin Abdul Aziz, Jabir bin Zaid, Thawus, Auza’i, Ishaq dan golongan mazhab Ahmad bin

Hambal. Pendapat ini didasarkan pada beberapa argument,(Sabiq,

2006:536-537) yaitu :

1) Allah SWT berfirman :

بَُِّيَأ بَي ِدُْقُعْلبِب اُْفَّْأ اٌَُْهآ َييِذَّلا

“Hai oramg-orang yang beriman hendaklah kamu sempurnakan

janjia-janji kamu.”(QS Al-Maaidah 5: 1)

2) Rasulullah bersabda :

ْنِِِط ّْ ُزُش ىَلَع َى ُْْوِلْسُول ا

“orang islam itu terikat oleh syarat-syarat (perjanjian)

mereka”.(HR. Tirmidzi:2498)

3) Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan lain-lain

dari Uqba bin Amir bahwa Rasulullah SAW bersabda :

َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ

Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan

adalah persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan

kemaluan (perempuan)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim

(42)

4) Diriwayatkan oleh Atsram dengan sanadnya sendiri, ada seorang

laki-laki menikah dengan seorang perempuan dan berjanji untuk

tetap tinggal di rumahnya (istri). Kemudian suaminya bermaksud

mengajaknya pindah lalu mereka (keluarganya) mengadukannya

kepada Umar nim Khattab, maka Umar memutuskan bahwa

perempuan itu berhak atas janji suaminya (disini hak suami atas

istri batal karena adanya perjanjian).

5) Karena janji-janji yang diberikan oleh seorang laki-laki kepada

calon isterinya mengandung manfaat dan maksud, asalkan tidak

menghalangi pernikahan, maka hukumnya sah, sebagaimana

kalau perempuan mensyaratkan agar calon suaminya mau

membayar maharnya lebih tinggi lagi.

Pendapat yang mewajibkan dipenuhinya perjanjian ini

semakin dikuatkan oleh Ibnu Qudamah, yang pendapatnya

melemahkan pendapat yang pertama. Ia berkata bahwa perjanjian/

syarat tersebut bukan mengharamkan yang halal, akan tetapi

memberikan kepada perempuan hak untuk meminta cerai jika suami

tidak dapat memenuhi persyaratan yang diterimanya. Selain itu, hal

ini merupakan suatu kemaslahatan bagi perempuan karena apa yang

(43)

akad, berarti pula menjadi suatu kemaslahatan didalam

akadnya.(Sabiq, 2006:537-538)

Ibnu Rusyd pun sependapat dengan pendapat kedua,

kemudian menjelaskan bahwa perbedaan pendapat dikarenakan

mempertentangkan antara dalil yang umum dan yang khusus, yang

dimaksud dalil yang umum adalah hadist Rsulullah SAW yang

bersabda dalam suatu khotbahnya :

ٍط ْزَش ةَئ بِه َط َزتش ا ى ِا َّ ٌلِط بَب ََُِْف ِلله ا ة بَتِك َفَل بَخ ٍط ْزَش ُّلُك

Syarat (persyaratan) yang tidak terdapat dalam kitab Allah, maka itu adalah batil. Meskipun seratus syarat”.(HR Muslim : 2734).

Adapun dalil yang khusus adalah hadist dari Uqba bin Amir, sabda

Rasulullah SAW :

َج ُّْزُفْلا َِِب ْنُتْلَلْحتْسا بَه بَِِب ىَّف َُْي ْى َأ ِط ّْ ُزُّشل ا ُّقَح َأ

Syarat (persyaratan) yang paling berhak untuk ditunaikan adalah

persyaratan yang dengannya kalian menghalalkan kemaluan (para

wanita)” (HR Al-Bukhari No.2721 dan Muslim No.1418)

Kedua hadist ini shahih, tetapi menurut para ahli ushul fiqh,

yang termasyur dipakai adalah memenangkan dalil yang khusus dari

yang umum, yang dalam hal ini adalah memenuhi janji-janji yang

(44)

Adapun pendapat Ibnu Taimiyah dalam perjanjian ini,

mengatakan bahwa bagi orang yang sehat akalnya, apabila

mengadakan perjanjian mengandung kebaikan dari tujuan yang

hendak dicapainya, tidaklah ia mau undur atau menghianatinya.

Tergantung syarat-syarat tertentu itu berguna daripada dibiarkan

tanpa syarat, atau lebih berguna lagi daripada kalau tidak diberi

syarat sama sekali.(Sabiq, 2006:538)

Secara lebih terperinci ulama Hanabilah berpendapat bahwa

hukumnya wajib dipenuhi, karena dikatakan hal ini sangat relevan

untuk mengurangi terjadinya poligami yang tidak

bertanggungjawab.(Syarifuddin, 2007:149) Sedangkan untuk perkara

yang secara khusus tidak ditemukan larangan maupun perintahnya

dalam nash-nash syara’, maka dibuka kesempatan untuk hal itu.

Akan tetapi, dalam literature yang berbeda dalam kitab Shahih Fiqih

Sunnah karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim menjelaskan

bahwa perjanjian pra nikah yang tergolong perjanjian yang tidak

dilarang atau diperintahkan oleh Allah ini hukum pemenuhannya

adalah mubah, sehingga boleh dilakukan (ditaati) dan boleh juga

ditinggalkan.(Kamal, 2007:246)

3. Akad Nikah dan Konsekuensinya dalam Kehidupan Rumah Tangga Dengan dilangsungkannya akad nikah antara mempelai laki-laki dan

(45)

berpengaruh pada timbulnya hak dan kewajiban bagi keduanya. Kewajiban

suami merupakan hak bagi seorang istri, sedangkan kewajiban istri

merupakan hak bagi seorang suami. Kewajiban dan hak merupakan suatu

pola hubungan timbal balik antara suami istri. Misalnya kewajiban seorang

suami adalah memberi nafkah dan pakaian kepada istri, maka nafkah dan

pakaian tersebut merupakan hak yang harus diperoleh seorang istri. Selain

itu, kewajiban istri adalah taat kepada perintah suami, maka hal ini menjadi

hak yang harus diperoleh suami atas isterinya.(Abu, 2007:335)

Jika akad nikah telah sah, maka menimbulkan akibat hukum yang

harus ditanggung oleh suami istri yakni berupa hak serta kewajiban. Hak dan

kewajiban ini ada tiga macam yaitu hak bersama suami isteri yang berarti

kewajiban yang dikenai bagi keduanya, hak istri (kewajiban bagi suami) dan

hak suami (kewajiban bagi istri).

a. Hak bersama suami isteri (kewajiban bagi keduanya)

Hak bersama suami istri yang harus ditanggung keduanya, antara

lain :

1) Kehalalan bersenang-senang (bersetubuh)

Suami istri diperbolehkan saling menikmati hubungan

seksual. Perbuatan ini dihalalkan bagi suami istri secara timbal balik.

Masing-masing mereka berhak menikmati kesenangan dengan

pasangannya karena dorongan fitrah dan mencari keturunan

(46)

perkawinan. Haram salah satu dari mereka yang mengharamkan

pasangannya melakukan hal ini.(Azzam,2009:231) Sesuai dengan

firman Allah yang artinya

dan orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap

isteri-isteri mereka atau hamba sahaya yang mereka miliki. Maka

sesungguhnya mereka tidak tercela”.(QS Al-Mu’minun 23:5-6)

2) Istri haram dinikahi oleh ayah suaminya, kakek, anaknya dan

cucunya. Begitu juga bagi ibu istrinya, anak perempuannya dan

seluruh cucunya haram dinikahi oleh suaminya.

3) Hak saling mendapat waris akibat dari ikatan perkawinan yang sah.

Istri berhak menerima waris atas peninggalan suami, begitupun

sebaliknya.

4) Keturunan dan sandaran keturunan kepada kedua orang tua.

Ketika akad nikah sah, maka ditetapkan masing-masing

mereka dalam melahirkan keturunan, membesarkan anak-anak dan

menisbatkan keturunannya.(Basyir, 1999:53) Anak yang lahir dari

istri bernasab kepada suaminya.

Adapun hak untuk memiliki keturunan menurut Ulama

Hanafiah menjadi hak bersama suami istri, tidak boleh salah satu dari

mereka mencegah tanpa seizin yang lain. Pendapat ini menjadi

pendapat mayoritas para ulama. Namun yang menjadi perdebatan

(47)

Mayoritas ulama, diantaranya Abu Bakar, Umar dan Ibnu Mas’ud

berpendapat bahwa mencegah kelahiran anak adalah makruh karena

melihat hak umat dan karena adanya pengecilan keturunan,

sedangkan Rasulullah menganjurkan kita agar memperbanyak

keturunan.

5) Bergaul dengan baik antara suami isteri, sehingga tercipta kehidupan

yang harmonis dan damai. Wajib bagi suami istri untuk saling

mempergauli pasangannya dengan baik, sebagaimana firman Allah

yang artinya

Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut”.(QS

An-Nisa 4:19)

b. Kewajiban suami (Hak istri)

Para ulama sepakat bahwa kewajiban suami terhadap istrinya,

yang sekaligus merupakan hak istri atas suaminya adalah nafkah dan

pakaian.(Rusyd, 2007:107)

Berdasarakan pada firman Allah yang artinya

Dan kewajiban ayah menanggung makan dan pakaian mereka (anak dan ibu/istri) dengan cara yang patut”.(QS al-Baqarah 2:233)

Dan hadist shahih dari sabda Nabi SAW

(48)

Kewajiban suami yang menjadi hak-hak istri ini secara terperinci

dijelaskan oleh Abdul Aziz Muhammad Azzam dalam buku Fiqh

Munakahat, bahwa hak-hak istri yang wajib dilaksanakan suami adalah

sebagi berikut :

1) Mahar

Mahar merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul

kewajiban-kewajiban sebagai suami dalam hidup perkawinan yang

akan mendatangkan kemantapan dan ketentraman hati istri. Menurut

syara’ mahar adalah sesuatu yang wajib sebab nikah atau bercampur

yakni berupa sesuatu yang ada nilainya atau harganya sah dijadikan

mahar. Dasar hukum disyariatkannya mahar yaitu :

اةَلْحًِ َّيِِِت بَق ُدَص ء بَسٌَّلا ْا ُْت آ َّ

“Dan berikanlah mas kawin (mahar) kepada perempuan (yang kamu

nikahi) sebagai pemberian yang penuh kerelaan”.(QS An-Nisa 4:4)

2) Pemberian suami kepada istri karena berpisah (mut’ah)

Maksudnya disini adalah sejumlah materi yang diserahkan

suami kepada istri yang dipisah dari kehidupannya sebab talak atau

semakna dengannya dengan beberapa syarat. Mut’ah ini wajib

diberikan kepada setiap wanita yang dicerai sebelum bercampur dan

(49)

3) Nafkah, tempat tinggal dan pakaian

Para ulama sepakat mengenai kewajiban nafkah kepada istri

yang dimaksud nafkah istri adalah tuntutan terhadap suami karena

perintah syariat untuk istrinya berupa makanan, minuman, pakaian,

tempat tinggal, ranjang, pelayanan dan yang lainnya, sesuai dengan

tradisi di tempat selama masih dalam lingkaran kaidah

syariat.(Yaqub, 2007:47)

Adapun kewajiban nafkah didasarkan firman Allah yang

artinya

“Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun

penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban

ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang

patut”.(QS. Al-Baqarah 2.2233)

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang beberapa

hal, yaitu waktu kewajibannya, ukurannya, siapakah yang berhak

menerimanya dan siapakah yang wajib memberikannya.

Adapun yang berkaitan dengan perjanjian pra nikah yaitu

mengenai waktu kewajiban nafkah tersebut dikenakan kepada

seorang suami. Waktu wajibnya seorang suami memberikan nafkah

(50)

(a) Malik mengatakan, suami tidak wajib memberikan nafkah

hingga dia menggauli istrinya atau diajak untuk menggaulinya

dan istrinya termasuk orang yang dapat digauli dan suami juga

sudah dewasa.

(b) Abu Hanifah dan Syafi’i berpendapat bahwa suami yang belum dewasa wajib memberikan nafkah jika istri telah dewasa.

(c) Adapun jika suami sudah dewasa, sedangkan istri belum dewasa,

dalam hal ini Syafi’i memiliki dua pendapat, yaitu: pertama,

seperti pendapat Malik dan kedua, bahwa dia berhak

mendapatkan nafkah secara mutlak.

(Rusyd, 2007:107)

Imam Syafi’i menjelaskan dalam Kitab al-Umm bahwa

seorang suami wajib memberi nafkah kepada istrinya, baik si istri

berkecukupan (kaya) ataupun membutuhkan (miskin), karena suami

telah mengkungkung istrinya untuk kesenangannya dirinya secara

khusus. Oleh karena itu, selama istri tidak menolak untuk dicampuri

oleh suaminya, maka suami berkewajiban memberi nafkah kepada

istri dalam keadaan bagaimanapun. (Abu, 2007:430) Kalangan ulama

madzhab Hanafi berpendapat bahwa suami wajib memberi nafkah

kepada istri karena ruang gerak istri telah terbatasi untuk mengabdi

kepada suami. Sedangkan menurut jumhur, alasannya adalah karena

(51)

Adapun seorang suami diwajibkan menafkahi istri apabila

istrinya telah memenuhi syarat-syarat berikut: (Sabiq, 2006:57)

(1) Ikatan perkawinan yang sah.

Adapun perkawinan dianggap sah adalah ketika rukun dan syarat

dari perkawinan itu terpenuhi menurut hukum Islam, sehingga

nikah siri sebagai perkawinan sah yang disembunyikan juga

masuk didalamnya. Hal ini dikarenakan nikah siri sebagai

perkawinan sah yang disebunyikan juga telah memenuhi rukun

dan syarat perkawinan dianggap sah menurut hukum

Islam.(Djubaidah, 2010:345-350) Sedangkan alasan

disembunyikan perkawinan tersebut kesemuanya bukan dalam

rangka menentang hukum Allah dan Rasul-Nya, bukan

bermaksud melecehkan hukum Allah.(Djubaidah, 2010:348)

Misalnya disembunyikan karena masih terikat dengan perjanjian

tertentu yang mengharuskan untuk tidak melakukan perkawinan

dalam jangka waktu tertentu.

(2) Menyerahkan dirinya kepada suaminya.

(3) Suaminya dapat menikmati dirinya.

(4) Tidak menolak apabila diajak pindah ketempat yang dikehendaki

suaminya.

(52)

Jika salah satu dari syarat-syarat ini tidak terpenuhi, ia tidak

wajib diberi nafkah. Begitu juga bagi istri yang enggan pindah ke

tempat yang dikehendaki suami, dalam keadaan seperti itu tidak ada

kewajiban nafkah. Hal ini dimungkinkan karena pemahaman yang

dimaksud sebagai dasar hak penerimaan nafkah tidak dapat

diwujudkan. Hal ini sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang

menikah dengan Aisyah dan baru tinggal setelah dua tahun

kemudian. Beliau tidak memberi nafkah kecuali setelah beliau

tinggal serumah dengannya.

Adapun kewajiban bagi istri untuk serumah dengan suaminya

berdasarkan pada firman Allah al-Qur’an surat ath-Thalaq ayat 6

yang artinya sebagai berikut:

“tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal

menurut kemampuanmu”.(QS. Ath-Thalaq 65:6)

Allah mewajibkan suami untuk menyediakan tempat tinggal bagi

istrinya. Sebaliknya, Allah mewajibkan istri untuk tinggal bersama

suaminya di rumah yang ia tinggali dan ia persiapkan untuknya.

Imam Ibnu Quddamah al-Maqdisi juga berkata bahwa istri berhak

mendapat tempat tinggal dari suaminya berdasarkan firman Allah

surat ath-Thaliq tersebut.(Mahmud, 2010:31)

Jika wanita yang diceraikan saja berhak mendapatkan tempat tinggal,

(53)

bentuk pergaulan yang patut dilakukan kepada istri, yakni berupa

tempat tinggal sebab, ia sangat membutuhkannya untuk melindungi

diri dari pandangan orang, berhubungan intim dan menjaga harta

benda. Selain itu, karena tempat tinggal termasuk mashlahat dan

kebutuhan tetap seorang istri.

4) Adil dalam pergaulan dengan istri, baik mu’amalah maupun

mu’asyarah. Hal ini khususnya bagi pelaku poligami dan

keluarganya.

Selain itu, kewajiban-kewajiban suami lainnya oleh Abu Malik

dalam Kitab Shahih Sunnahnya, antara lain :

a) Memelihara dan menjaga istri dari segala hal yang menghilangkan

kehormatannya atau mengotori kehormatannya atau merendahkan

derajatnya dan atau memalingkan pendengarannya karena dicela.

b) Memuaskan istri dalam berhubungan seksual.

c) Bersikap lembut terhadap istri, bercengkrama dengannya, dan

menghargai usianya yang belia.

d) Bercengkrama dan berbincang-bincang dengan istri serta

mendengarkan ceritanya.

e) Mengajarkan perkara-perkara agama kepada istrinya dan

memotivasinya untuk taat beragama.

f) Tidak menyakitinya dengan memukulnya dibagian wajah atau

(54)

g) Tidak mendiamkan kecuali di rumah.

h) Menjaga kesucian istri.

i) Tidak membocorkan rahasia istri dan membeberkan aib kepada

orang lain.

c. Kewajiban isteri (hak suami)

Kewajiban istri yang wajib dipenuhi sebagai tuntutan hak bagi

suami hanya merupakan hak-hak yang bukan kebendaan, sebab menurut

Hukum Islam istri tidak dibebani kebendaan yang diperlukan untuk

mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.(Basyir, 1999:61)

Hak-hak suami pada intinya adalah hak untuk ditaati mengenai

hal-hal yang menyangkut hidup perkawinan dan hak memberi pelajaran

kepada istri dengan cara yang baik dan layak dengan kedudukan suami

istri.(Basyir, 1999:61) Hal ini kemudian oleh abdul Aziz Muhammad

Azzam dalam Fiqh Munakahat dijelaskan secara terperinci, kewajiban

istri terhadap suami antara lain (Azzam, 2009:221-230) :

1) Mematuhi suami dengan taat dan tidak durhaka kepadanya

2) Memelihara kehormatan dan harta suami

3) Berhias untuk suami

4) Menjadi partner suami

5) Istri tidak boleh keluar rumah tanpa seizin suami

6) Istri harus tinggal bersama suami. Allah mewajibkan suami

(55)

mewajibkan istri untuk tinggal bersama suaminya dirumah yang ia

tinggali.(Al-Mashri, 2010:31)

7) Istri melayani suami, baik dalam hubungan seksual maupun

keperluan rumah tangga. Dalam hal melayani urusan rumah tangga,

para ulama jumhur berpendapat bahwa hal tersebut merupakan suatu

kewajiban. Alasannya adalah karena suami sebagaimana ketentuan

dalam kitab Allah adalah pemimpin istri, sementara istri menurut

ketentuan Sunnah Rasulullah adalah pembantu (tawanan) suami.

Oleh karena itu, tawanan yang baik adalah yang melayani dengan

baik.(Kamal, 2007:307-308)

Adapun firman Allah yang menjadi dasar hukum kewajiban istri

yaitu terdapat dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat 34 yang artinya

laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah

telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain

(perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah

dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang saleh, adalah mereka

yang ta’at (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada,

karena Allah telah menjaga (mereka). Perempuam-perempuan yang

kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat kepada

mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan

(56)

kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah

Maha Tinggi, Maha Besar”.(QS An-Nisa 4:34)

4. Konsep Harta Dalam Islam

Didalam Islam terdapat beberapa pengertian harta dalam rumah

tangga:

a. Pertama, harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga,

sebagaimana firman Allah SWT :

باهبَيِق ْنُكَل ُ َّاللَّ َلَعَج يِتَّلا ُنُكَلاَْْهَأ َءبََِفُّسلا اُْتْؤُت َلَّ

“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum

sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai Pokok

Kehidupan”.(QS An-Nisa :5)

b. Kedua, kewajiban suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai

berikut :

1) Memberikan mahar kepada istri, sebagaimana firman Allah SWT :

اةَلْحًِ َّيِِِتبَقُدَص َءبَسٌِّلا اُْتآَّ

“Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai

Referensi

Dokumen terkait

Dari sini, dapat saya tarik benang merah bahwa sebuah pernikahan atau perkawinan dikatakan sirri karena pernikahan itu tidak didaftarkan (dicatat) ke Petugas Pencatat Nikah

Jadi dapat penulis simpulkan bahwa pengertian perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang dibuat oleh calon suami isteri sebelum atau pada saat dilangsungkan

Sebagaimana kita ketahui selama ini ,perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan akan tetapi Pasca keluarnya putusan

Syariah Nabilla, 2022: Urgensi Perjanjian Perkawinan Berupa Taklik Talak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) untuk Melindungi Hak Perempuan dalam Perkawinan.

“ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat perkawinan,

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas perjanjian.. FOCUS HUKUM UPMI Page 129 bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembatalan perkawinan menurut hukum Islam yaitu batalnya perkawinan fasakh karena syarat yang tidak terpenuhi saat dilangsungkan akad nikah, batalnya

Kata Kunci: Kedudukan perjanjian perkawinan, pembagian harta waris, hukum islam Penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan ketentuan hukum terhadap kedudukan perjanjian perkawinan