• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEDIASI SEBAGAI MEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEDIASI SEBAGAI MEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN"

Copied!
183
0
0

Teks penuh

(1)

A N S O R I

M E D I A S I S E B A G A I M E K A N I S M E A L TE R N A TI F

P E N Y E LE S A I A N S E N G K E TA L I N G K U N G A N

( S T U D I K A S U S : P E N C E M A R A N L I N G K U N G A N D I T E M B O K D U K U H S U R A B A Y A )

v.

M I 1

PE !!!'!. 'U N IV F.PS U

S U R li Y A'C3UA*

(2)

MEDIASI

SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN (STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN

DI TEMBOK DUKUH SURABAYA)

SKRIPSI

DIAJUKAN UNTUK HELENGKAPI TUGAS DAN

HEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM

Penbinbing : Penyusun :

Baswedan, S.H

(3)

S K R I P S I

MEDIASI

SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

(STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN

DI TEMBOK DUKUH SURABAYA)

Telah diuji dan disetujui pada :

Hari-Tanggal : Kanis, 27 Januari 1994

(4)

”Ta Allah

,

aku aohon cinta-Mu,

dan ointa orang yang nencintai-Mu serta seaua amalan yang mendekatkanku

kepada cinta-Mu

."

(Dari nunajat Rasulullah SAW.

(5)

K.ATA P EH G A N TA R

Dengan senantiasa memanjatkan puji syukur alhamdu-

lillah atas segala anugerah Allah SWT., sehingga hanya

dengan kekuatan-Nya sajalah dapat terselesaikannya

penulisan skripsi ini.

Ide penulisan skripsi ini, bercermin dari beberapa

kasus pencemaran lingkungan di tengah-tengah laju

pembangunan dewasa ini yang penegakan hukumnya sungguh

sangat memprihatinkan. Kiranya perlu dikritisi, bahwa

model pembangunan konvensional selama ini di samping

bersifat eksploitation resources juga telah men'empatkan

masyarakat miskin (tidak cukup memiliki akses sumber daya

ekonomi maupun informasi) termarginalisasi hak-hak atas

pembangunannya, yang secara hakiki semestinya dimiliki

oleh setiap warga negara. Namun, pada kenyataannya mereka

sering tidak berdaya merebut kembali hak-haknya manakala

hak-hak itu mulai terkoyak oleh kepentingan yang

berlindung di balik kepentingan pembangunan dan

terfasilitasi oleh hukum yang tidak lebih dari sebuah

legitimasi kekuasaan yang syarat dengan kepentingan

politik.

(6)

skripsi yang bersifat korektif ini diharapkan dapat

menjadi salah satu mekanisme kontrol dan pertimbangan bagi

kebijakan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang

berwawasan lingkungan. Sebab, kita tidak ingin pembangunan

yang kita enyam dewasa ini ternyata menimbulkan beban bagi

anak cucu kita di generasi mendatang. Butti tcupat kita

borpijak sekarang ini bukanlah warisan nenek Boyang,

tetapi kita Beainjaanya dari anak cucu kita. Karenanya,

merupakan tanggung jawab kita bersama untuk memeliharanya

dari setiap upaya eksploitasi yang potensial mengahancur-

kan masa depan bumi ini.

Saya sadar, bahwa penulisan skripsi ini dengan

segala fasilitas dan keterbatasan masih jauh dari

sempurna. Namun, tidaklah mengurangi rasa hormat dan

terima kasih saya pada : ,

1. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas

Airlangga, terutama : Pembantu Dekan III Bapak Hermawan

Ps. Notodipoero, S.H., M.S. yang memfasilitasi saya

memperoleh Bea Siswa Indo Cement dan Gelar Mahasiswa

Prestasi Tahun Akademik 1992-1993 dengan makalah

"Penegakan Hukum Perdata Lingkungan", yang materinya

banyak saya singgung dalam skripsi ini. Kepada Dosen

Pembimbing Bapak Ismet Baswedan, S.H. dan segenap Tim

(7)

Rekso Wibowo, S.H., M.S. dan Bapak Bambang Surjo, S.H.)

kami ucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-

tingginya.

2. Direktur YLBHI-LBH Surabaya Bapak Much. Zaidun, S.H.,

yang telah memberi kesempatan saya turut aktif di

lembaga ini, juga kepada segenap rekan-rekan Peng&bdi

Bantuan Hukum YLBHI-LBH Surabaya, Mas Indro Sugianto,

Eko Nuryanto, Dadang Trisasongko, Boedhi Wijardjo,

Achmad Fauzan, Munir, Andik, Purwoko, Nuzulul, Ida,

Pungki, Dedik Gembul dan Hadi yang motivasi dan pokok-

pokok pemikirannya turut mewarnai skripsi ini.

3. Bapak Takdir Rahmadi, S.H., LLM., pembimbing istimewa

yang bagian tesis masternya saya pergunakan sebagai

literatur penulisan skripsi ini. Demikian halnya dengan

Bapak Mas Achmad Santosa, S.H., LLM., yang banyak

memberikan pengalamannya tentang mediasi.

4. Karibku Haris, Lutfi, Aan, Lucy, Lulung, Emy dan semua

keluarga.

5. Ibu Sultonah serta semua kakak dan adik-adikku yang

tercinta.

6. Semua pihak yang turut membantu terselesaikannya

penulisan.skripsi ini, yang tidak tersebut di sini.

Pada akhirnya saya sadar bahwa setiap hasil karya

(8)

skripsi ini, untuk itu lebih jauh perlu kritik dan saran.

Namun saya berharap skripsi ini dapat tetap bermanfaat

bagi pertimbangan penegakan hukum lingkungan yang dewasa

ini tengah dalam kondisi memprihatinkan. Juga bermanfaat

bagi pengembangan mekanisme alternatif penyelesaian

sengketa lingkungan di masa mendatang, di mana lingkungan

yang semakin potensial menjadi korban pembangunan yang

kurang peduli terhadap pelestarian lingkungan, lebih

mendapat perhatian dan perlindungan.

Surabaya, 27 Januari 1994

(9)

Adanya banyak kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai

substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis kebijaksanaan publik merumuskan bahwa

kesangkilan atau kemangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-undangan

termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variable-variabel antara lain :

Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang didalamnya terkait variabel-variabel

mudah-tidaknya masalah itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan

keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya, kesukaran-kesukaran teknis terkait dengan

penegakan peraturannya, dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan,

kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang, yang didalamnya terkait permasalahan

konsistensi tujuan, keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan evaluasi oleh

pihak luar.

Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya (variabel tergantung), yang di

dalamnya terkait persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan pelaksana, kepatuhan

kelompok-kelompok sasaran terhadap putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan

badan pelaksana, persepsi terhadap dampak keputusan tersebut dan akses perubahan

perundang-undangan.

Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat pemda dan instansi sektoral

(Departemen Perindustrian beserta Kanwil dan Kandepnya dan BKPM atau BKPMD), bahwa

tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di kalangan perusahaan industri

dikhawatirkan menyebabkan penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi. Padahal

(10)

pada industri yang nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga masyarakat.

Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam setiap penegakan hukum, terutama

dalam penegakan hokum lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan sering

dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang membuat lembaga peradilan tidak otonom.

Adanya kendala-kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam menangani kasus-kasus

lingkungan, telah mengecewakan para pihak yang yang menjadi korban khususnya dan

masyarakat pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula menimbulkan

kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak selalu menjadi forum terbaik untuk

menyelesaikan sengketa. Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana untuk

mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternative penyelesaian sengketa

lingkungan. Salah satu di antara berapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa

(11)

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI v m

IV

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya .... 1

BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN b. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui

tim tripihak (pasal 20 ayat (2)) UULH .. 55 c. Beberapa bentuk mekanisme alternatif

(12)

1. Landasan Yuridis ... 68

2. Beberapa Faktor Penyebab Efektifnya Mediasi a. Kendala peradilan yang sederhana cepat dan ringan ... 71

b. Luasnya ruang lingkup permasalahan lingkungan ... 70

c. Dukungan budaya musyawarah ... 75

d. Upaya-upaya memperkenalkan mediasi .... 76

3. Kendala-kendala Mediasi

4. Karakter Kasus dan Tolak Uk.ur Penggunaan Mediasi ... 89

5. Fungsi mediator ... 93

BAB IV PENDAYAGUNAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN DI TEMBOK DUKUH

5. Uapaya Penyelesaian melalui Mediasi dan Hasil Kesepakatannya a. Upaya Mediasi Pra Litigasi ... 104

b. Mediasi di Tengah Proses Persidangan ...106

(13)

1. Kesimpulan ... 128 2. Saran ... 132 DAFTAR PUSTAKA ... 134

(14)

PEHDAHULUAH

1. Latar Belakang Masalah daa Rupugannya

Grat sekali kaitannya dengan model pembangunan

konvensional yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi

(economic growth), maka semakin memberi peluang bagi

lahirnya berbagai kebijaksanaan yang mengesampingkan

kepentingan serta mengabaikan hak-hak masyarakat atas

pengelolaan sumber daya alam. Pola pembangunan ini

menjadikan manusia hanya sebagai objek yang harus

ditingkatkan kemakmurannya. Akses pada sumber daya

(resources), apakah itu sumber daya ekonomi (termasuk

sumber daya alam), atau juga sumber daya non ekonomi

(termasuk informasi) yang dapat meningkatkan kualitas diri

mereka tidak dibuka secara luas. Prioritas pertumbuhan

ekonomi mengakibatkan sikap toleransi yang berlebihan dari

pemerintah terhadap pelaku pencemaran dan menimbulkan

eksklusivme aparat birokrasi didalam proses pengambilan

keputusan-keputusan administratif lingkungan. Kondisi

demikian menjadi penyebab utama meningkatnya kasus-kasus

pencemaran pada beberapa wilayah di seluruh Indonesia.

Pembahasan masalah lingkungan sering membawa kita pada masalah yang rumit, keterkaitan berbagai faktor, dan masalah serta persepsi baru yang mengharuskan kita

untuk meninggalkan pandangan-pandangan yang sudah

dianggap usang (obstinate). Perkembangan ini dengan

(15)

menjawab secara efektif persoalan yang timbul dari

benturan-benturan kepentingan sebagai akibat dari

penanfaatan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini.

Dalam pelaksanaan pembangunan sering kali terjadi

benturan kepentingan yang tidak menguntungkan lingkungan.

Hal ini disebabkan sistem hukum lingkungan di Indonesia

sendiri yang sektor satu dengan lainnya belum searah.

Sistem hukum lingkungan di Indonesia yang terdiri dari

sekumpulan peraturan perundang-undangan sektoral dan

merupakan ketentuan operasional belum menyesuaikan diri

sepenuhnya dengan UULH sebagai <umbrella provitions).

Padahal salah satu syarat pembangunan yang berwawasan

lingkungan adalah keharusan adanya kesesuaian ketentuan-

ketentuan operasional dengan prinsip-prinsip ekologi dan

prinsip-prinsip UULH yang bersifat lintas sektoral dan

antar disiplin ilmu.

Pola pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan

ekonomi yang digunakan sejak aval Orde Baru disamping

nenyuburkan eksploitasi sumber daya alam, semakin lama

semakin disadari sebagai penyebab u tain a meningkatnya laju

permasalahan lingkungan.

Dalam pola pembangunan seperti ini, pengelolaan

sumber daya alam telah lepas sama sekali dengan fungsi

*Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem

(16)

ekosistennya. Fungsi keterikatan, keragaman, keselarasan

dan keberlanjutan dari ekosistem sering diabaikan.

Haka orientasi pembangunan terhadap tercapainya

pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir selalu menempatkan

masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin sebagai

korban pembangunan yang tidak menghormati lingkungan ini.

Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi yang

sekarang, melainkan juga anak cucu kita, generasi

yang akan datang. Dengan lain perkataan pada akhir

hayat kita, bumi haruslah kita kembalikan kepada generasi berikutnya dalam keadaan yang lebih baik.

Fase yang kita tinggalkan harus dapat merupakan dasar untuk mendukung fase pembangunan berikutnya. Haruslah

ada janinan tidak akan terjadi keambrukan karena

lingkungan tidak dapat lagi mendukung pembangunan itu. 2

Pernyataan di atas mengingatkan kita, terutama

untuk merenungkan seberapa jauh kita menghayati apa yang

sering kita ekspresikan dalam ungkapan "bumi ini bukan

warisan dari nenek moyang kita, tapi kita mem in jam dari

anak cucu kita

Lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan

mulai dikenal di kalangan pemerintahan negara di dunia

pada awal 1970-an sejak adanya Deklarasi PBB tentang

2Hani Djuangsih, "Peranan Sains dalam Proses

E.£Eboktian acngketa Lingkungan“ . Prosiding Diskusi Dua

Hari IHasalahzmasalah Prosedural dalam Penyelesaian

(17)

lingkungan hidup, atau tepatnya tahun 1972, sebagaimana

halnya ditetapkan dalam Deklarasi Stockholm (Stockholm

Declaration). Dan sejak itulah mulai dirintis adanya

berbagai langkah untuk mengembangkan pola pembangunan

yang berwawasan lingkungan.

Kita tentu menganggap, masalah pelestarian alam dan

lingkungan hidup menduduki prioritas penting dalam skala

pembangunan nasional, dan dalam konteks kita sebagai

negara berkembang masalah itu juga dipandang sebagai

masalah Hak Asasi Manusia (HAH). Hal ini terlihat dari

fakta adanya Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup dalam

komposisi kabinet dalam beberapa Pelita terakhir ini.

Dengan adanya Deklarasi Stockholm tersebut di atas,

perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan

untuk berkembang lebih kuat, baik pada taraf nasional,

regional maupun internasional. "Keuntungan yang tidak

sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan

bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Dek­

larasi Stockholm ini sebagai referensi bersama”

Setelah terlahirnya Deklarasi Stockholm, maka

kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berwawasan

lingkungan mulai mengedepan menyertai perjalanan zaman.

o

Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan ,

Sdisi V, C e t . VIII, Gadjah Mada University Press,

(18)

Pada tahun 1978 sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah

untuk meratakan hasil-hasil pembangunan sebagaimana

digariskan oleh Pelita III, perhatian terhadap

masalahlingkungan hidup semakin meningkat. Erat kaitannya

dengan hal ini, ketentuan TAP MPR RI No. IV/MPR/1978

tentang Garis-garis Besar Haluan Negara memberikan

penjelasan sebagai berikut :

Dalam pelaksanaan pembangunan perlu selalu diadakan

penilaian yang seksama terhadap pengaruhny'a bagi

kelangsungan hidup, agar pengamanan atas pelaksanaan pembangunan dan kelangsungan hidupnya dapat dilakukan baik secara sektoral maupun regional dan untuk itu

perlu dikembangkan kriteria baku mutu lingkungan

hidup.

Untuk menghadapi masalah tersebut, pada dekade

tahun 1880-an dikenal dengan adanya konsep "pembangunan

berwawasan lingkungan”, dengan menumbuhkan kesadaran dan

peran serta masyarakat dalam aktivitas pembangunan tanpa

merusak lingkungan. Hal ini dapat kita lihat dari Pola

Umum Pembangunan Jangka Panjang, yaitu ;

Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber daya

alam Indonesia harus digunakan secara rasional.

Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus

diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup

manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang

menyeluruh dan juga harus memperhitungkan kebutuhan

generasi yang akan datang.^

4XAE HER BX IV/MPR/1978, Saris-garis Besar Haitian

Negara. Tentang Ekonomi, Butir 13 C.

51AE. KEfi ai II/MPR/19BB. Saris-garis Besar Haluan

(19)

Konferensi Stockholm di atas ternyata tidak dapat

mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Pada

satu pihak negara maju masih meneruskan pola hidupnya yang

mewah dan boros serta yang mencemari lingkungan. Pada

pihak lain, negara sedang berkemb&ng juga meningkatkan

eksploitasi pada sumber daya alamnya untuk meningkatkan

pembangunan dan untuk membayar hutang luar negerinya.

Dengan timbulnya masalah tersebut, PBB membentuk sebuah

komisi khusus untuk menelaah masalah lingkungan itu, yaitu

komisi sedunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan.

Komisi ini telah menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987

dan mengumumkan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita

Bersama (Our Common Future).®

Dari laporan yang dirumuskan Komisi Dunia untuk

lingkungan hidup dan pembangunan ini, kemudian lahir dan

berkembang konsep sustainable development. Hal ini secara

politis diperkuat dengan masuknya pertimbangan masalah

lingkungan pada umumnya dan pembangunan berkelanjutan pada

khususnya dalam GBHN 1988, yang didefinisikan sebagai :

"pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa

mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk

memenuhi kebutuhan mereka" P

— - - - -— —— —_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ i

^ t t o Soemarwoto.Indonesia dalam Kancah Xsu Lingkungan Global, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 7.

(20)

Memang oaminan bahwa pembangunan tidak akan merusak

lingkungan dilegitimasi oleh pemerintah pada tahun 1982,

yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun

1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup

(untuk selanjutnya dalam penulisan ini selalu disingkat

dengan UULH) yang merupakan dasar yuridis dari pengelolaan

lingkungan hidup di Indonesia.

UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UULH berfungsi sebagai

"payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan

perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan

lingkungan hidup maupun bagi penyesuaian peraturan

perundang-undangan yang telah ada.

Akan tetapi, selama ini perencanaan dan penegakan

prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang

berkelanjutan masih dalam tahap “kebijaksanaan untuk tidak

melaksanakan" (policy non enforcement), mengingat masih

begitu banyaknya pasal-pasal dalam UULH yang belum dapat

terjabarkan dalam peraturan pelaksanaan. Ada beberapa

peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh UULH yang

belum bisa dilahirkan antara lain :

- Peran serta dalam pengelolaan lingkungan (amanat pasal

8 ayat (2) UULH);

- Tata cara pengaduan dan ganti rugi yang diderita oleh

8Koesnadi Hardjasoemantri, "tten.ielang Sepuluh Tahun

U n d a n g - u n d a n g Lingkungan Hidup". Pidato Akhir Jabatan Guru B e s a r T e t a p F a k u l t a s H u k u m Universitas Gad.iah Mada.

(21)

penderita dan penelitian tentang bentuk, jenis dan

besarnya kerugian (amanat pasal 20 ayat (2) UULH);

- Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan

lingkungan hidup (amanat pasal 20 ayat (4) UULH);

- Ketentuan tentang tanggung gugat mutlak (amanat pasal 21

UULH) dan lain-lainnya.

Dalam kondisi policy non enforcement ini, maka banyak pula

peluang penegang kebijakan untuk menerapkan peraturan-

peraturan yang bersifat fasilitatif bagi pemodal atau

industri. Sebagai akibatnya, pembangunan yang dijalankan

masih belum mampu mencerminkan aspek-aspek peran serta

masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan

hidup.

Sehubungan dengan meningkatnya industri, belakangan

banyak kasus pencemaran lingkungan di nusantara ini yang

mulai terungkapkan. Pencemaran lingkungan ini biasanya

disadari, justru pada saat yang sudah terlambat. Akibatnya

pencemaran yang mengganggu keseimbangan ekologi, berdampak

pada manusia yang tidak bisa lepas dari lingkungannya.

Lalu siapa yang harus menanggung beban kerugian, baik

kerugian yang diderita manusia, maupun lingkungan itu

sendiri sebagai subjek hukum yang mengalami kerusakan.

Maka terlepas dari lambat atau tidak, persoalan

lingkungan harus menjadi refleksi bagi semua pihak. Sudah

(22)

kepedulian pada lingkungan telah tumbuh di masyarakat

kita ? Juga seberapa besarkah tanggung jawab sosial para

pencemar telah dilaksanakan.

Penanganan lingkungan memang harus dilakukan secara

serius, karena keterkaitan manusia dengan lingkungan tidak

hanya didorong oleh romantisme belaka, tetapi banyak

argumen rasional yang mendasarinya. Pertana, kerusakan

lingkungan adalah risiko yang tidak terpulihkan. Kalaupun

masih memungkinkan, dibutuhkan waktu yang lama dan biaya

cukup besar. Kedua, kebanyakan zat pencemar

(

pollutant

)

bisa berakibat fatal bagi makhluk hidup, meskipun dalam

jumlah yang masih kecil. Ketiga, adanya sinergisme, yaitu

suatu zat pencemar bisa jadi sebelumnya dikatakan tidak

berbahaya, tetapi pada kondisi tertentu bisa berubah

menjadi bahan toksoid yang berbahaya. Keeapat, karena

penderita terbesar yang menjadi korban kasus pencemaran

lingkungan adalah masyarakat umum, yang sebenarnya secara

langsung tidak pernah turut menikmati hasil kegiatan yang

menimbulkan pencemaran lingkungan tersebut.9

Masalah pencemaran lingkungan di negara-negara

berkembang seperti halnya di Indonesia, identik dengan

masalah pemiskinan yang harus cepat diatasi, kalau bisa

Q

(23)

secara prevent!? sudah bisa ditengarai dan tidak perlu

menunggu masalah itu menjadi besar. Apabila di negara-

negara uaju danpak pencemaran lebih banyak dihubingkan

dengan masalah keseha tan masyarakat (public health),

gagguan terhadap kesempatan berrekreasi (recreational

opportunities) dan keindahan (aesthetical values), maka

di negara-negara berkembang pencemaran tidak hanya

terkait dengan masalah-masalah tersebut, akan tetapi

terkait erat dengan kesinambungan {survival) kehidupan

ekononi masyarakat yang menjadi korbannya.

Hasalah lingkungan yang meliputi pencemaran dan

atau perusakan lingkungan jelas merupakan perbuat^n yang

dampaknya merugikan orang/pihak lain dan lingkungan.

Karenanya, apabila peristiwa demikian terjadi, maka pihak

penderita dapat menuntut secara perdata berupa sejumlah

ganti rugi terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran itu

dan perusakan itu.

Namun, sebelumnya perlu juga diluruskan sementara

anggapan yang keliru, bahwa upaya memperoleh ganti rugi

pada khususnya dan penegakan hukum lingkungan pada umumnya

hanya melalui proses pengadilan. Hal ini tidak benar,

sebab di dalam praktek penegakan hukum dengan berbagai

sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata

ataupun pidana dapat dilakukan melalui berbagai jalur

legal di luar pengadilan.

(24)

Demikian halnya dengan tuntutan ganti rugi pada

sengketa lingkungan, dimungkinkan melalui jalur legal di

luar pengadilan. Landasan yuridisnya secara tegas diatur

dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) UULH, yang redaksionalnya

mengatakan sebagai berikut :

(1). Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan

hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban

membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah

dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan

sehat.

(2). Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara

i

penelitian tim tentang bentuk, dan besarnya kerugian

serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur

dengan peraturan perundang-undangan.

Dari ayat (1) dan (2) ini, UULH di samping menganut

prinsip pencemar membayar, juga dapat dilihat tentang

adanya tim tripihak yang dibentuk oleh pemerintah, yang

terdiri atas penderita atau kuasanya, pihak pencemar atau

kuasanya, dan unsur pemerintah yang dibentuk untuk setiap

kasus.

Pembentukan tim tripihak ini dimaksudkan agar

sejauh mungkin diusahakan tercapainya kesepakatan atas

besarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada

penderita, setelah diteliti tentang bentuk, jenis dan

(25)

keahlian disiplin ilmu yang dapat diperoleh dari pusat-

pusat studi lingkungan yang ada di universitas atau

institut.

Tata cara penuntutan ganti kerugian perlu diberikan

penetapan batas waktu perundingan agar tidak berlarut-

larut. Apabila batas waktu yang ditetapkan telah dilanpaui

tanpa adanya kesepakatan tentang bentuk, jenis dan

besarnya ganti kerugian yang perlu dibayar serta cara-cara

penbayarannya, maka tuntutan ganti kerugian diajukan

nelalui gugatan perdata ke pengadilan negeri.

Bagaimanapun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat

(2) UULH ini, masih menunggu hasil penyusunan rancangan

peraturan pemerintah tentang bagaimana tata cara gugatan

dan penuntutan ganti kerugian, tata cara penelitian serta

tata cara penetapan, dan pembayaran biaya pemulihan

lingkungan. Peraturan pemerintah tersebut sangat penting,

karena nengatur prosedur penyelesaian sengketa lingkungan

di luar proses peradilan.

Namun, sambil menunggu ketentuan operasionalnya

yang nasih dalan proses, maka penyelesaian 'sengketa

lingkungan yang pernah diupayakan melalui nediasi, seperti

sengketa lingkungan di Dukuh Tapak-Semarang, juga yang

pernah diterapkan di PT Indah Kiat dan terutama yang

ditulis dalan skripsi ini, yaitu penyelesaian pencemaran

lingkungan oleh PT Sarana Surya Sakti di Tenbok Dukuh

(26)

Surabaya, dengan melak.uk.an evaluasi terhadap mekanisme

mediasi yang pernah diterapkan, dengan segala peluang dan

kegagalannya, naka diharapkan dapat menumbuhkan, terlebih

lagi dapat didirikannya lembaga mediasi lingkungan seperti

yang dimaksud oleh undang-undang di atas.

Berlatar belakang posisi sosial masyarakat yang

relatif lebih lemah dan awam dalam soal hukum, apabila

dihadapkan dengan satu atau sejumlah pencemar dengan

kekuatan ekonomi yang cenderung dekat dengan kekuasaan

yang tangguh, nampaknya mekanisme penyelesaian sengketa

lingkungan melalui mediasi ini cenderung memberi peluang

prinsip kesetaraan. Mediasi adalah suatu mekanisme

penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang

netral untuk membantu dalam mencari penyelesaian dengan

melibatkan pihak-pihak yang bersengketa. Keputusan akhir

berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa. Hasil

akhir dari suatu mediasi adalah perjanjian yang dibuat

oleh para pihak sebagai pedoman untuk melaksanakan

kegiatan yang telah disepakati. Pihak ketiga (mediator)

tidak berwenang memaksakan ataupun turut mengambil

keputusan.

Lembaga mediasi sebagai suatu mekanisme alternatif

penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah berkembang

dengan pesat di Amerika Serikat pada permulaan tahun

(27)

eksperimen untuk menjajaki kemungkinan adanya alternatif

lain selain dari pada negajukan perkara ke pengadilan yang

banyak nemakan waktu dan biaya, bahkan sering tidak

nenecahkan perselisihan lingkungan

Bagainana peluang nediasi dalan penyelesaian

sengketa di luar pengadilan, naka sebelun sanpai pada

suatu kesinpulan bahwa lenbaga nediasi efektif atau tidak

diterapkan di Indonesia, perlu terlebih dahulu dinengerti

bagainana proses penyelesaian sengketa lingkungan dapat

diselesaikan nelalui pengadilan, dan bagainana pula suatu

sengketa lingkungan diselesaikan nelalui lembaga-lenbaga

lain di luar pengadilan.

Penbahasan yang telah ada yang berkaitan dengan

lenbaga nediasi sebagai suatu alternatif penyelesaian

sengketa lingkungan dewasa ini nasih relatif kurang bahkan

nerupakan hal yang baru di kenal di Indonesia. Penbahasan

ini diharapkan dapat nengisi kekurangan ataupun untuk

nenbudayakan, disamping untuk nenberikan sekedar sunbangan

penikiran pengenbangan konsep penyelesaian sengketa ling-

kungan di luar pengadilan, terutama nengenai lenbaga

nediasi itu sendiri. Dengan adanya tulisan ini diharapkan

dapat nendorong tulisan-tulisan lain yang nungkin lebih

baik dari yang pernah ada, sehingga pada akhirnya dapat

^Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., hal. 356.

(28)

memberikan konstibusi dalam pengembangan mekanisme mediasi

di Indonesia.

Memang mediasi dalam sengketa lingkungan di Tembok

Dukuh ini mengalami kegagalan karena beberapa faktor.

Namun hal ini bukannya berarti penulisan tentang mediasi

dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Tembok Dukuh ini

sia-sia atau sama sekali tidak ada artinya. Karena bagai-

manapun kegagalan ini sekaligus dapat dipelajari dan

direfleksi kelemahan atau kendala yang ada di dalam

mediasi, untuk selanjutnya dapat ditemukan perbaikan-

perbaikan tentang mekanisme mediasi yang dianggap lemah

tadi.

Selain itu, ada keistimewaan tentang mekanisme

mediasi yang digunakan dalam kasus ini. Mediasi

mengintegrasi pada proses peradilan, dalam arti perkara di

pengadilan masih tetap ada dan masih bisa dilanjutkan

ketika mediasi tidak mencapai kata sepakat. Bisa

dipersepsikan para pihak yang menyepakati upaya mediasi

itu, hendak mencari dan sangat berharap tercapainya

kesepakatan-kesepakatan, yang nantinya akan dikuatkan oleh

pengadilan.

Meskipun gugatan perdata perkara pencemaran

lingkungan di Tembok Dukuh ini telah diputus oleh

Pengadilan Negeri Surabaya, namun putusan itu belumlah

(29)

banding. Sementara sambil menunggu bagainana putusan akhir

yang berkekuatan hukum tetap, maka dari kasus ini menarik

dilakukan kajian atau anaiisa dengan memadukan pada sumber

hukum yang berlaku, untuk mencari alternatif penyelesaian

sengketa lingkungan yang efektif. Itu semua dim&ksudkan

untuk memperkaya mekanisme alternatif penegakan hukum

perdata lingkungan.

Pada akhirnya penyelesaian sengketa lingkungan di

Tembok Dukuh yang dibawa ke pengadilan tingkat banding

ini, berharap adanya putusan yang membawa angin segar

sekaligus menghilangkan kendala bagi penegakan hukum

perdata lingkungan, dengan menemukan mekanisme yang

potensial efektif untuk diterapkan pada sengketa-sengketa

perdata lingkungan lainnya. Sehingga pencari keadilan,

khususnya mereka yang menjadi korban pencemaran memperoleh

kepastian hukum. Dari uraian latar belakang masalah di

atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana bentuk lembaga dan sistem penegakan hukum

perdata lingkungan ?

2. Bagaimana peluang dan pendayagunaan lembaga mediasi

sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa

lingkungan ?

3. Bagaimana peluang penyelesaian masalah pencemaran

lingkungan di Tembok Dukuh dapat ditempuh ?

(30)

2 . P e n . i e l a s a a i l a d u l

Judul Skripsi ini adalah "Mediasi sebagai Mekanisme

Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Studi Kasus

Pencemaran Lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya."

Adapun beberapa hal yang perlu dijelaskan dari judul

skripsi ini adalah sebagai berikut :

Mediasi, berasal dari bahasa Inggris (mediation). Mediasi

ini mempunyai pengertian sebagai suatu cara penyelesaian

sengketa berdasarkan perundingan antara para pihak, dengan

melibatkan pihak ketiga yang netral atau tidak memihak

(mediator), dengan melibatkan kedua pihak yang bersengketa

dalam mencari penyelesaian.**

Mekanisne Alternatif, karena yang dimaksud mediasi di

sini adalah merupakan salah satu cara yang dapat diambil

(dipilih) dari sekian banyak bentuk mekanisme yang pernah

dikembangkan dan diterapkan dalam praktek advokasi

lingkungan. Misalnya, dari pengalaman yang pernah terjadi

di Amerika Utara, beberapa bentuk mekanisme alternatif

yang telah dikembangkan untuk penyelesaian perbedaan

kepentingan sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya

alam, adalah : perundingan (negotiation), konsiliasi,

U Takdir Rahmadi, Mekaaismc Alternatif Penyelesaian

S a n g k o t a L i n g k u n g a n d&R Advokasi Lingkungan■ makalah pada

(31)

dialog tentang kebijaksanaan (policy dialogue), tin ahli

pencari fakta (fact finding), arbitrasi (arbitration) dan

lain sebagainya. Namun, bagaimanapun juga cara penyelesai­

an ini tidak akan pernah meniadakan sama sekali law en­

forcement dalam sistem peradilan (litigasi).

Sengketa Lingkungan , dalam UULH pasal 1 butir 7 dan 8

bab I dibedakan menjadi dua macam, yakni pencemaran

1

lingkungan dan perusakan lingkungan. 6

Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa lingkungan

dalam judul skripsi ini adalah jelas mengarah dan terkait

dengan kasus pencemaran yang terjadi di Tembok Dukuh. Dari

judul skripsi ini, dapat dijelaskan bahwa salah satu

bentuk penegakan hukum perdata lingkungan, selain

menggunakan yang sudah umum dipakai, juga dimungkinkan

melalui upaya mediasi, yang juga merupakan upaya hukum

(punya landasan yuridis) non litigasi.

18

12Pasal 1 ayat (7) UULH Pencemaran lingkungan

adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya taanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai

dengan peruntukkannya;

Pasal 1 ayat (8) UULH Perusakan lingkungan

adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau

tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang

(32)

3 . A l a s a n P e m i l i h a n J u d u l

Alasan pemilihan judul bertolak dari adanya banyak

kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai

substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis

kebijaksanaan publik merumuskan bahwa kesangkilan atau

kenangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-

undangan termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variabel-

variabel antara lain :

Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang di

dalamnya terkait variabel-variabel mudah-tidaknya masalah

itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan

keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya,

kesukaran-\

kesukaran teknis terkait dengan penegakan peraturannya,

dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan,

kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.

Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang , yang

di dalamnya terkait permasalahan konsistensi tujuan,

keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan

evaluasi oleh pihak luar.

Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya

(variabel tergantung), yang di dalamnya terkait

persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan

pelaksana, kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap

putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan badan

(33)

dan akses perubahan perundang-undangan. As'

Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat

pemda dan instansi sektoral (Departemen Perindustrian

beserta Kanwil dan Kandepnya dan 8KPM atau BKPMD), bahwa

tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di

kalangan perusahaan industri dikhawatirkan menyebabkan

penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi.

Padahal tolok ukur keberhasilan aparat instansi-instansi

tersebut adalah pencapaian target pertumbuhan industri dan

investasi yang dicanangkan dari pemerintah pusat. Hal ini

mengakibatkan instansi-instansi pemda dan sektoral

memberikan toleransi yang berlebihan pada industri yang

nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga

masyarakat.

Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam

setiap penegakan hukum, terutama dalam penegakan hukum

lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan

sering dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang

membuat lembaga peradilan tidak otonom. Adanya kendala-

kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam

menangani kasus-kasus lingkungan, telah mengecewakan para

13Indro Sugianto, Problematika Penegakan Hukum

Lingkungan dl Indonesia. Catatan kecil dalam diskusi yang

diselenggarakan Surabaya Post perwakilan Gresik, 22

September 1993, hal. 3 dan 4.

(34)

pihak yang yang menjadi korban khususnya dan masyarakat

pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula

menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak

selalu menjadi forum terbaik untuk menyelesaikan sengketa.

Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana

untuk mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternatif

penyelesaian sengketa lingkungan. Salah satu di antara

bberapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa

lingkungan adalah mediasi.

Skripsi yang judulnya "Mediasi sebagai Mekanisme

Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Studi Kasus

Pencemaran Lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya" ini,

dengan sendirinya akan mencoba mengedepankan model-model

penyelesaian sengketa lingkungan, mulai mekanisme yang

umum digunakan menyelesaikan sengketa, yakni melalui

pengadilan, sampai model yang digunakan dalam penyelesaian

kasus pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh ini sendiri.

Penyelesaian sengketa lingkungan melalui upaya

pengadilan, tentunya dalam pembahasan skripsi ini nanti

tidak bisa lepas dari ketentuan hukum perdata (materiil)

dan hukum acaranya (formil) terutama mengenai pembuktian

di pengadilan.

Dalam penyelesaian kasus ini pernah dicoba melalui

(35)

J

penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, yaitu

dengan melalui suatu tim tripihak.*4

Kesemua pembahasan mengenai sengketa ini hanya

dibatasi pada sengketa yang terjadi antara pihak pengusaha

atau industriawan, anggota masyarakat, dan upaya aktif

Pemda dengan mengambil studi kasus pencemaran lingkungan

yang terjadi di Tembok Dukuh, Surabaya, yang hingga saat

ini masih dalam tingkat pemeriksaan banding di Pengadilan

Tinggi Jawa Timur. Meskipun demikian, pembahasan masalah

sengketa pencemaran di Tembok Dukuh dalam skripsi ini,

yang dalam beberapa hal berbeda dengan apa yang sementara

diputus, maka tidak mengurangi arti dan rasa hormat pada

putusan pengadilan yang telah ada. Dari perbedaan ini akan

diharapkan hikmah yang berarti bagi penegakan hukum di

Indonesia, khususnya penegakan hukum perdata lingkungan.

Sebab pengamatan empiris dari penegakan hukum

perdata lingkungan di Indonesia, dari beberapa kasus yang

terjadi telah menimbulkan persepsi yang berbeda dari satu

hakim dengan hakim yang lainnya. Hal ini tidak perlu

berlarut-larut, maka mulai sekarang harus disadari adanya

beberapa kendala, terutama kendala yuridis yang tertuang

dalam substansi UULH sendiri.

(36)

4 . T u . iiia n P e n u l i s a n

Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan

ideal, antara lain :

1. Memiliki wawasan tentang konsep lingkungan, antara lain

dari segi hukum administratif, perdata dan pidananya.

Tidak lain menunjukkan bahwa masalah lingkungan sangat

komplek dan menyangkut berbagai aspek hukum yang tertuang

dalam substansi UULH dan peraturan operasionalnya.

2. Memperoleh pengetahuan secara luas mengenai bentuk-

bentuk penyelesaian dan bagaimana mekanisme penegakannya.

Termasuk di dalamnya siapa saja yang bisa berperkara atau

yang bisa menjadi subjek hukum, bagaimana beban pembuktian

dan prinsip tanggung gugat dalam penyelesaian sengketa

lingkungan.

3. Hemberikan dorongan bagi pemerintah untuk segera

mengeluarkan peraturan pelaksana amanat UULH ( implementing

regulations) t e r u t a m a yang berkaitan dengan penegakan

hak-hak prosedural dalam pengelolaan lingkungan hidup,

misalnya tim tripihak yang hingga saat ini belum jelas.

4. Hemberikan masukan tentang betapa pentingnya eksistensi

lembaga mediasi dan sekaligus mendorong penelitian

selanjutnya untuk mengidentifikasi permasalahan proses

*^Untuk pelaksanaan secara efektif UULH pada kondisi

saat ini, paling tidak membutuhkan empat belas

(37)

mediasi yang pernah berlangsung. Hal demikian bukan

sekedar upaya spekulatif mencari bentuk-bentuk mekanisme

penyelesaian sebagaimana yang dimaksud dalam tim tripihak.

Tapi yang lebih penting adalah segera terrealisirnya

peraturan yang secara jelas merupakan penerjemahan tim

tripihak.

5. Mgtodolpgi

Dalam pengumpulan data, pengolahan sampai

penyusunan skripsi ini, saya menggunakan langkah dan

teknik yang dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan

penulisan, sebagai berikut :

m. Pendekatan masalah.

Hetode pendekatan yang dipakai dalam penelitian

ini adalah metode pendekatan yuridis-sosiologis, yaitu

suatu penelitian yang menekankan pada aturan hukum yang

ada dalam masyarakat. Pendekatan secara yuridis, saya

lakukan dengan mendasarkan dan membatasi pada hukum

positif UULH termasuk aturan pelaksanaannya, hukum perdata

formal dan materiil, serta sumber hukum yang lain,

seperti yurisprudensi. Secara sosiologis, dengan cara

nenelaah bagaimana realisasinya dan implikasinya proses

(38)

b. Sumber data.

Dalam penyusunan skripsi ini saya menggunakan

sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer berupa

studi empiris di lapangan (di Tembok Dukuh), wawancara

dengan para pihak yang terlibat dalam sengketa dan dengan

pihak yang aktif dalam penyelesaian sengketa, serta

mengikuti secara aktif jalannya persidangan di pengadilan.

Sedang data sekunder saya peroleh dari penelitian

normatif, yaitu dengan menelaah bahan pustaka primer

maupun sekunder. Bahan pustaka primer diperoleh dengan

jalan menelaah Ketetapan MPR mengenai GBHN yang mengatur

tentang kebijakan pembangunan dan pengelolaan lingkungan

hidup, peraturan perundang-undangan terutama UULH dan

Kitab Undang-undang Hukup Perdata. Sedang bahan pustaka

sekunder dapat saya lakukan dengan menelaah bahan pustaka

lain yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum

primer, yaitu berupa majalah, buku, kliping, makalah yang

memuat tulisan hasil karya ahli hukum.

o. Prosedur pengunpulan dan pengolahan data.

Teknik dalam pengumpulan data saya lakukan sebagai

berikut :

- Observasi, melalui pengamatan secara langsung tentang

t

(39)

lingkungan di Pengadilan Negeri Surabaya.

- Interview atau wawancara, melalui tanya jawab secara

langsung dengan responden mengenai hal yang berkaitan

dengan pelaksanaan mediasi dan jalannya persidangan.

- Studi dokumentasi, yakni dengan mempelajari dokumen-

dokumen yang pernah ada selama jalannya proses mediasi

maupun persidangan atau segala sesuatu yang berkaitan

dengan permasalahan yang ada dalam judul skripsi.

- Studi komparatif, yakni dengan memperbandingkan mediasi

yang dilakukan dalam kasus ini dengan penerapan mediasi

yang pernah dilakukan di kasus Kali Tapak, Semarang.

Sedang semua data yang telah saya peroleh, dalam

pengolahannya saya gunakan metode deskriptif dengan

anaiisa kualitatif, yaitu prosedur pemecahan masalah

yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang

diperoleh dari data sekunder dan primer, sehingga dapat

diperoleh suatu tulisan yang deskriptif-analitis.

6. Ecrtanggung.iawaban Sistenatika

Sistematika penulisan skripsi yang membahas mediasi

sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, studi

kasus pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya ini

secara keseluruhan terdiri atas lima bab. Bab pertama

adalah pendahuluan. Pada bab ini diuraikan hal-hal yang

(40)

menjadi permasalahan dan latar belakangnya, penjelasan dan

alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi dan

pertanggungjawaban sistematika.

Bab kedua adalah mengenai tinjauan lembaga-lembaga

penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dan di luar

pengadilan. Pada bab ini saya bahas mengenai penyelesaian

sengketa lingkungan secara perdata di pengadilan negeri

berdasarkan pasal 1365 B.W. (Burgerlijk Wetboek). Dan

dalam kaitan penegakan hukum perdata lingkungan ini Juga

dibahas beberapa konsep hukum lingkungan yang terdapat

dalam UULH, terutama konsep tanggung gugat dan beban

pembuktian. Selanjutnya saya bahas penyelesaian sengketa

melalui lembaga umum di luar pengadilan yang antara lain

melalui tim tripihak sebagaimana disebut dalam pasal 20

ayat (2) UULH.

Pada bab ketiga akan saya bahas peluang dan kendala

pendayagunaan mekanisme alternatif berupa mediasi dalam

penyelesaian sengketa lingkungan, termasuk di dalamnya

siapa yang bisa ditunjuk sebagai mediator, kewenangan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk turut terlibat

sebagai wali lingkungan serta bagaimana pengaruh terhadap

peran serta masyarakat.

Selanjutnya dalam bab empat akan saya bahas tentang

(41)

sengketa (pencemaran) lingkungan di Tembok Dukuh Surabaya,

serta menggunakan pembahasan komparatif dengan mediasi

yang pernah dilakukan di kasus-kasus yang lain, yang

pernah menggunakan mediasi. Dalam bab ini sebelumnya

diuraikan secara jelas bagaimana terjadinya sengketa,

landasan adanya pencemaran serta upaya-upaya yang pernah

dilakukan masyarakat sebelum dan saat perkara ini dibawa

ke pengadilan. Pembahasan juga meliputi bagaimana dari

kegagalan mediasi ternyata mencapai hasil yang diharapkan

salah satu pihak.

Terakhir pada bab lima, yang merupakan bab penutup.

Pada bab ini saya beri kesimpulan atas seluruh pembahasan

yang ada pada bab-bab sebelumnya, yang kemudian saya

berikan beberapa saran yang dianggap perlu. Dan pada

bagian akhir akan saya sertakan beberapa lampiran yang

sekiranya dapat dijadikan bahan guna memperjelas dalam

(42)

TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEHBAGA

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN

1. Tinianan Setfi-segi Huimm dalan Substansi UULH

Berbagai upaya ke arah pelestarian lingkungan hidup

cukup serius dilakukan oleh pemerintah. Lebih-lebih lagi

setelah diberlakukannya UULH, yang mengatur tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Garis kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam

Ketetapan MPR Nomor II/MPR/TAP/1993 tentang GBHN tidak

lepas dari adanya kebijakan pembangunan yang berwawasan

lingkungan.

Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan

teknologi yang mengarah ke era industrialisasi yang

terkait dalam suatu program pembangunan baik jangka pendek

maupun jangka panjang, ternyata ekses dari adanya

peningkatan pembangunan industri berupa pencemaran dan

atau perusakan lingkungan hidup sangat sulit untuk

dihindari. Adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungpm

hidup ini menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, bagi

alam sekitarnya, bagi pemerintah dan negara Indonesia.

Untuk menyelesaikan permasalahan terhadap pihak

yang terbukti melakukan pencemaran dan/atau perusakan

i

(43)

saluran hukum yang sudah ditentukan dalan peraturan

perundang-undangan. Hal tersebut agar tidak terjadi

kesewenang-wenangan yang mengarah ke suatu tindakan nain

hakin sendiri (eigenrichting).

Ada beberapa cara penyelesaian masalah pencenaran

dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dapat ditempuh

oleh para pencari keadilan, dan harus pula diikuti

penegakannya oleh para pengenban keadilan yang punya

kewenangan nenindak. Prosedur dan sanksi yang dijatuhkan

bisa berupa : pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan

lingkungan nelalui prosedur gugat perdata, tuntutan sanksi

pidana dan atau denda oleh jaksa penuntut umum. Untuk

melindungi pencari keadilan, undang-undang perlu nengatur

jalan pintas yang praktis tentang penyelesaian perkara

pidana dan perdata dengan nenggabungkan nenjadi satu dalan

proses perkara pidana. Hal ini bisa kita lihat dalam

ketentuan pasal 96 sampai dengan pasal 101 Kitab Undang-

undang Hukun Acara Pidana (Undang-undang Honor 8 Tahun

1981).

Tanggung gugat adninistratif terhadap aparatur

pemerintah juga dinungkinkan menurut sistem hukun kita,

yakni nelalui Undang-undang Honor 5 Tahun 1986 tentang

Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan undang-undang

tersebut benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa

(44)

Usaha Negara (yang menimbulkan dampak negatif *terhadap

lingkungan hidup) dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha

Negara. Berdasar pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986

nenyebutkan : seorang atau badan hukum perdata yang merasa

kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha

Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan

Tata Usaha Negara yang berwenang berisi tuntutan agar

Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa itu

dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai

tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.

Namun, upaya mengajukan gugat administratif dalam

kasus pencemaran lingkungan ini pelaksanaannya kemungkinan

menexmi hambatan, sehubungan dengan ketentuan pasal 55 UU

Nomor 5 Tahun 1986, bahwa gugatan diajukan hanya dalam

tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat

diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara. Pasal ini mengatur kadaluwarsa bagi

seseorang atau badan hukum perdata yang langsung terkena

putusan administratif negara tersebut. Sedangkan tentang

kadaluwarsa pihak ketiga yang juga berkepentingan (dalam

hal ini korban pencemaran) belum diatur. Seharusnya hal

ini ditanggapi, mengingat pencemaran yang menimbulkan

kerugian kemungkinan baru timbul setelah perusahaan

(45)

setelah beroperasi, bahkan bisa terjadi setelah sekian

tahun lamanya.

Lebih lanjut, sikap tegas pemerintah atau instansi

terkait untuk menjatuhkan sanksi administratif, misalnya

penghentian kegiatan sementara, penutupan atau pencabutan

ijin usaha kepada pengusaha yang telah terbukti melakukan

pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini sudah

saatnya untuk ditegakkan, tanpa harus menunggu parahnya

korban.

Pada segi penegakan hukum pidana lingkungan, banyak

sekali hambatan yang berkisar pada asas legalitas yakni

peraturan perundang-undangan yang belum mengatur secara

jelas dan tuntas, juga secara teknis sangatlah sulit

pembuktiannya. UULH relatif masih baru, yang tentu dalam

pelaksanaannya baik penyidik, penuntut umum maupun hakim

menemui hambatan dalam menangani masalah tersebut.

Heskipun demikian, dalam hal penegakan hukum pidananya,

akhir-akhir ini telah ada beberapa putusan lembaga

peradilan yang cukup progresif dan ideal terhadap

lingkungan, walaupun diragukan hukuman yang dijatuhkan

bakal nampu menimbulkan efek penjera (detterent).

Akan tetapi kreasi hakim Mahkamah Agung dalam kasus

Sidoarjo, menimbulkan permasalahan pro dan anti antara

kalangan akademisi dengan kalangan praktisi. Satu sisi

(46)

merupakan pengkoyakan hukum, namun sisi yang lain

kebutuhan keadilan sudah tidak dapat lagi ditunda-tunda.16

Dari putusan Mahkamah Agung itu terdapat dua hal yang

penting, yang perlu diambil hikmahnya bagi kasus-kasus

pencemaran lingkungan. Pertama, putusan ini memberi arti

bahwa netodologi penelitian "samples" yang benar,

dilakukan oleh orang-orang yang berwenang dan cara yang

benar, merupakan hal yang penting dalam kasus pencemaran.

Kedua, putusan ini memberi arti, bahwa dalam suatu keadaan

di mana media lingkungan (sungai) yang diancam oleh

beberapa sumber pencemar (malty sources), mengharuskan

industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai

tersebut, bertindak ekstra hati-hati. Tindakan ekstra

hati-hati ini diperlukan karena efek komulatif yang

ditimbulkan, menyebabkan terjadinya pencemaran sungai

tersebut. Sehingga apabila industri-industri yang membuang

i

limbahnya ke sungai tersebut melebihi baku mutu effluent,

sudah dapat dikatakan industri tersebut kurang atau tidak

*®a. Putusan Mahkamah Agung R.I. Reg. No. 1479 K/Pid/1989., yang menghukum pidana kurungan 3 (tiga) bulan karena terdakwa terbukti bersalah melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) UULH.

Putusan ini sekaligus merubah delik materiil yang dianut UULH menjadi delik formil.

b. Putusan P.N. Lumajang Reg. No. PDM/248/Luma-

jang/1991., yang menghukum pidana kurungan 2 (dua) bulan, karena terdakwa terbukti melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (2) UULH.

M I L I K

P E R P U S T A K A ^ N • U N I V E R S I T A 5 A l k i A N G G A

(47)

bertindak hati-hati, dan oleh karenanya dapat disebut

sebagai konstributor pencemaran, serta dapat dikenakan

pasal 22 UULH.

Namun harus juga disadari, bahwa penegakan hukum

lingkungan tidaklah dapat berjalan semudah sebagaimana

yang dibayangkan, karena ada banyak faktor yang melatar

belakanginya. Prioritas pertumbuhan ekonomi (economic

growth) mengakibatkan sikap toleransi yang berlebihan dari

pemerintah terhadap pelaku pencemar, dan sifat eksklusif

aparat birokrasi di dalam proses pengambilan keputusan-

keputusan administratif lingkungan adalah penyebab utama

meningkatnya kasus-kasus pencemaran di beberapa wilayah di

Indonesia. Strategi pembangunan yang demikian mestinya

disadari akan memiliki kecenderungan tranformasi nilai-

nilai pembangunan yang tidak manusiawi <people-centered

development values).

Seperti kasus Pakerin yang mencemari Kali Porong,

pencemaran di sekitar Kanal Mangetan yang melumpuhkan mata

pencaharian masyarakat peternak itik di sepanjang kanal

dan kasus pencemaran kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3)

oleh pabrik pengolahan aki bekas PT. Indra Era Multi Logam

Indonesia <PT. IHLI) yang terus berkepanjangan, adalah

wujud konkrit keparahan dampak akibat aktivitas industri

pencemar di Jawa Timur. Contoh kasus-kasus tersebut dalam

(48)

kebijaksanaan yang memberi toleransi berlebihan, sehingga

semakin memperparah dampak.

Kelambanan dan kelemahan pemerintah daerah dengan

berbagai dilemanya dalam penanganan kasus, adalah wujud

tidak berfungsinya sistem oleh kepentingan tertentu. Upaya

pemerintah daerah meningkatkan APBD, menjadikan upaya

pengembangan birokrasinya diarahkan untuk menciptakan

iklim sehat bagi perkembangan industri. Sehingga peran

pemerintah daerah yang semula sebagai regulator yang

netral, sekarang bergeser sebagai fungsi promotor yang

berupaya menciptakan kerangka sosial politik yang sejauh

mungkin mendukung tumbuhnya kalangan industri.

Seperangkat perangsang yang berupa perangsang

fiskal, moneter dan hukum serta upaya penciptaan kerangka

sosial politik yang mendukung kepentingan bisnis, pada

akhirnya menempatkan para industrialis memiliki bargaining

power untuk mengakumulasi modalnya. Dengan latar belakang

demikian, maka pasal-pasal yang memiliki sifat progresif

(misalnya : ecocentric approach, strict liability, dan

pubiic domain doctrine ) yang dapat dijadikan dasar

penegakan hukum lingkungan, jarang didayagunakan secara

optimal, sehingga asas dan nilai ideal yang terdapat dalam

UULH tidak lebih dari sekedar lips service, dan sanksi

yang diatur di dalamnyapun identik dengan orang-orangan

(49)

2. Penyelesaian Sengketa Perdata Lingkungan melalui

I

Pengadilan

a. Gugatan berdasarkan pasal 1365 B.W.

Bilamana terjadi pencemaran, pihak penderita atau

korban, secara perdata dapat menuntut ganti kerugian

berupa kerugian nateriil atau kerugian imateriil kepada

pengusaha atau industriawan yang telah terbukti melakukan

pencemaran.

Henurut pasal 20 UULH dihubungkan dengan sistem

hukum yang berlaku, untuk menggugat ganti kerugian dan

atau biaya pemulihan lingkungan terdapat dua jenis dasar

hukum terhadap penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu :

a. Pasal 20 ayat (2) UULH tentang tripihak yang menekankan

pada asas musyawarah dan dikenal sebagai mediasi;

b. Pasal 1365 B.W. tentang perbuatan melawan hukum

(onrechtnatige daad).

Sistem hukum perdata Indonesia banyak dipengaruhi

oleh sistem civil law. Dalam sistem ini dikenal bahwa

suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang

karena salahnya, menimbulkan kerugian pada pihak lain,

akan mewajibkan si pembuat kesalahan bertanggung jawab

membayar ganti rugi atas perbuatan yang ditimbulkannya. 17

(50)

Hal ini teroermin menurut pasal 1365 B.W. yang menyatakan

bahwa: "Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian

kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".

Dari bunyi redaksi pasal 1365 B.W. di atas, tidak

diperoleh pengertian yang jelas tentang perbuatan melawan

hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum dikembangkan

melalui keputusan-keputusan hakim di Negeri Belanda. Sejak

tahun 1919 Hoge Raad memperluas pengertian perbuatan

melawan hukum sebagai berikut :

1. Perbuatan tersebut melanggar hak orang lain; atau

2. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si

pelaku; atau

3. Perbuatan itu bertentangan dengan kesusilaan; atau

4. Perbuatan itu bertentangan dengan kepatutan/kecermatan

yang harus diindahkan dalam lalu-lintas masyarakat

terhadap diri dan orang lain.*®

Kriteria perbuatan melawan hukum yang digunakan

dalam sengketa lingkungan ini adalah, pertama adanya

pelanggaran hak orang lain, yakni hak masyarakat atas

lingkungan hidup yang sehat dan baik, serta hak dan

kewajiban masyarakat untuk berperan serta dalam

(51)

pengelolaan lingkungan (vide pasal 5 ayat (1) dan pasal 6

UULH). Kedua adalah adanya pelanggaran terhadap kewajiban

hukumnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) dan

pasal 7 UULH, dan masih banyak pelanggaran hak dan/atau

kewajiban yang diatur dalam peraturan operasional UULH

lainnya.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, perbuatan

yang menyebabkan pencemaran lingkungan bisa dikatagorikan

sebagai perbuatan melawan hukum, apalagi perbuatan

pencemaran ini diatur dalam pasal 20, 21 dan 22 UULH. Hal

ini lebih diperkuat dengan pendapat dari prof. Subekti

yang mengatakan bahwa banyak perbuatan yang dulu tidak

dapat digugat di hadapan majelis hakim, sekarang oleh

hakim diartikan "onrechtmatig" jika dapat dibuktikan bahwa

dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada

orang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk

nengganti kerugian itu.19

Pasal yang menuntut ganti rugi dari pihak lain yang

telah melakukan perbuatan melawan hukum, di depan sidang

pengadilan, penggugat harus dapat membuktikan bahwa :

1. Perbuatan orang lain tersebut mengandung sifat melawan

hukum,

(52)

2. Adanya kesalahan baik yang dilakukan dengan sengaja

atau kelalaian, ataupun tidak melakukan perbuatan

sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain,

3. Harus ada kerugian,

4. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dengan

akibat.

b. Tanggung Gugat Pelaku Pencemaran.

b.l. Prinsip Liability Based on Fault.

Liability based on fault adalah prinsip tanggung

gugat bedasarkan kesalahan. Dari uraian tersebut di atas

menjadi jelas bahwa tanggung gugat untuk memberikan ganti

rugi dari seorang tergugat dapat dituntut, bila pihak yang

dirugikan mampu membuktikan bahwa kerugian yang diderita

timbul sebagai akibat dari perbuatan tergugat.

Gugatan yang didasarkan atas ketentuan pasal 1365

B.W. sebagainana telah dipraktekkan selama ini, menganut

prinsip liability based on fault, dalam arti neletakkan

beban kepada penggugat untuk membuktikan dalil-dalilnya di

depan pengadilan sehingga jelas adanya unsur kesalahan

tergugat sebagai pencemar. Suatu beban yang memang tidak

mudah bagi penggugat, khususnya dalam kasus-kasus

pencenaran dan atau perusakan lingkungan yang pada umumnya

menuntut proses pembuktian yang rumit. Membuktikan

(53)

arti merosotnya kualitas air sumur yang merugikan

kebutuhan rumah tangga masyarakat adalah sebagai akibat

dari pembuangan limbah dari satu atau beberapa pabrik yang

ada di sekitar pemukiman menuntut suatu kegiatan

penelitian yang panjang dan mendalam yang memerlukan

keterlibatan peran para ahli. Disamping menyangkut bahan

kimiawi sering juga terbentur pada rahasia perusahaan.

Proses pembuktian ini jelas sangat mahal yang tentunya

tidak mudah begitu saja ditanggung biayanya oleh para

korban pencemaran lingkungan yang umumnya lemah

perekonomian mereka.

b.2. Prinsip Strict Liability.

Prinsip strict liability merupakan sistem tanggung

gugat mutlak dan ganti kerugian pada sistem hukum Anglo

Anerika sebagai reaksi atas prinsip liability based on

fault, yang dianggap kurang memadai sebagai prinsip ganti

kerugian yang berlaku saat itu.

Prinsip hukum ini diperkenalkan dalam pasal 21 UULH

dalam bentuk ketentuan umum (general clause), yang diatur

lebih lanjut beberapa kegiatan yang menyangkut jenis

sumber daya tertentu dalam peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan. Tanggung gugat di sini timbul seketika

pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempermasalahkan

(54)

Prof. Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat bahwa

sebenarnya ada beberapa pertimbangan digunakannya prinsip

strict liability. Pertama, karena prinsip liabilty based

on fault yang digunakan mengandung proses pembuktian yang

memberatkan penderita. Ia baru akan memperoleh ganti rugi

apabila berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan dari

pihak tergugat. Sedangkan kenyataan dalam kasus pencemaran

kebanyakan penderita/penggugat tidak memahami tingkah laku

teknologi modern, sedangkan pada pihak lain pencemar/pihak

tergugat adalah industriawan/usahawan menguasai informasi

dan tingkah laku dari industri yang dikelolanya dengan

produksi yang dihasilkannya.

Sedangkan Komar Kantaatmadja mengenai jenis

tanggung gugat ini memberikan penjelasan sebagai berikut :

bahwa pengertian tentang pertanggungjawaban penuh/absolut

mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, pengertian

prosedural, yaitu kewajiban untuk melakukan pembuktian

adanya unsur kesalahan untuk dapat dipertanggung-

jawabkannya kerugian. Kedua, pengertian materiil, yaitu

penuh dalam besarnya ganti rugi, yang mengandung

pengertian bahwa pemberian ganti rugi harus

sepenuhnya/tanpa batas tertinggi yang ditentukan terlebih

20Abdurrahman, S.H., Eengantar Hukum Lingkungan

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahapan ini praktikan mempraktikan kompetensi yang dipunyai untuk mengetahui kemampuan praktikan dalam mengadakan pembelajaran di lapangan. Setiap praktikan

Penelitian tentang pertumbuhan dan hasil cabe keriting (C.annuum.) pada tanah yang diberi perlakuan kerapatan gulma Simaih (A.conyzoides.) yang berbeda didapatkan

As we see from the cumulative cash flow series in Figure 5.2(b), the total investment is recovered at the end of year 4. If the firm's stated maxi- mum payback period is

Selain itu guru praktikan memperoleh gambaran langsung mengenai pembelajaran di dalam kelas, karakteristik anak didik, cara berinteraksi antara guru dengan siswa, cara

kembali materi yang telah diajarkan (apersepsi). Komunikasi Dengan Siswa.. Komunikasi antara siswa dengan guru adalah yang terpenting selama. PBM karena dengan komunikasi

Salah satu metode yang sudah dikenal selama ini adalah memasang isolasi antara bangunan atas dan bangunan bawah (pondasi) untuk meredam energi gempa sehingga membatasi beban

PKM-M yang berjudul “Revitalisasi Minat Baca Al-Qur’an untuk Terciptanya Remaja yang Cinta al-Qur’an” ini diharapkan bisa menjadi sarana bagi remaja di desa Tugu

Hasil analisa hipotesis mayor R = 0,736 (p &lt; 0,01), hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan positif yang sangat signifikan antara sikap dan norma subjektif dengan