A N S O R I
M E D I A S I S E B A G A I M E K A N I S M E A L TE R N A TI F
P E N Y E LE S A I A N S E N G K E TA L I N G K U N G A N
( S T U D I K A S U S : P E N C E M A R A N L I N G K U N G A N D I T E M B O K D U K U H S U R A B A Y A )
v.
M I 1
PE !!!'!. 'U N IV F.PS U
S U R li Y A'C3UA*
MEDIASI
SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN (STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN
DI TEMBOK DUKUH SURABAYA)
SKRIPSI
DIAJUKAN UNTUK HELENGKAPI TUGAS DAN
HEMENUHI SYARAT-SYARAT UNTUK MENCAPAI GELAR SARJANA HUKUM
Penbinbing : Penyusun :
Baswedan, S.H
S K R I P S I
MEDIASI
SEBAGAI HEKANISME ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
(STUDI KASUS : PENCEMARAN LINGKUNGAN
DI TEMBOK DUKUH SURABAYA)
Telah diuji dan disetujui pada :
Hari-Tanggal : Kanis, 27 Januari 1994
”Ta Allah
,
aku aohon cinta-Mu,
dan ointa orang yang nencintai-Mu serta seaua amalan yang mendekatkanku
kepada cinta-Mu
."
(Dari nunajat Rasulullah SAW.
K.ATA P EH G A N TA R
Dengan senantiasa memanjatkan puji syukur alhamdu-
lillah atas segala anugerah Allah SWT., sehingga hanya
dengan kekuatan-Nya sajalah dapat terselesaikannya
penulisan skripsi ini.
Ide penulisan skripsi ini, bercermin dari beberapa
kasus pencemaran lingkungan di tengah-tengah laju
pembangunan dewasa ini yang penegakan hukumnya sungguh
sangat memprihatinkan. Kiranya perlu dikritisi, bahwa
model pembangunan konvensional selama ini di samping
bersifat eksploitation resources juga telah men'empatkan
masyarakat miskin (tidak cukup memiliki akses sumber daya
ekonomi maupun informasi) termarginalisasi hak-hak atas
pembangunannya, yang secara hakiki semestinya dimiliki
oleh setiap warga negara. Namun, pada kenyataannya mereka
sering tidak berdaya merebut kembali hak-haknya manakala
hak-hak itu mulai terkoyak oleh kepentingan yang
berlindung di balik kepentingan pembangunan dan
terfasilitasi oleh hukum yang tidak lebih dari sebuah
legitimasi kekuasaan yang syarat dengan kepentingan
politik.
skripsi yang bersifat korektif ini diharapkan dapat
menjadi salah satu mekanisme kontrol dan pertimbangan bagi
kebijakan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan yang
berwawasan lingkungan. Sebab, kita tidak ingin pembangunan
yang kita enyam dewasa ini ternyata menimbulkan beban bagi
anak cucu kita di generasi mendatang. Butti tcupat kita
borpijak sekarang ini bukanlah warisan nenek Boyang,
tetapi kita Beainjaanya dari anak cucu kita. Karenanya,
merupakan tanggung jawab kita bersama untuk memeliharanya
dari setiap upaya eksploitasi yang potensial mengahancur-
kan masa depan bumi ini.
Saya sadar, bahwa penulisan skripsi ini dengan
segala fasilitas dan keterbatasan masih jauh dari
sempurna. Namun, tidaklah mengurangi rasa hormat dan
terima kasih saya pada : ,
1. Segenap civitas akademika Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, terutama : Pembantu Dekan III Bapak Hermawan
Ps. Notodipoero, S.H., M.S. yang memfasilitasi saya
memperoleh Bea Siswa Indo Cement dan Gelar Mahasiswa
Prestasi Tahun Akademik 1992-1993 dengan makalah
"Penegakan Hukum Perdata Lingkungan", yang materinya
banyak saya singgung dalam skripsi ini. Kepada Dosen
Pembimbing Bapak Ismet Baswedan, S.H. dan segenap Tim
Rekso Wibowo, S.H., M.S. dan Bapak Bambang Surjo, S.H.)
kami ucapkan terimakasih dan penghargaan setinggi-
tingginya.
2. Direktur YLBHI-LBH Surabaya Bapak Much. Zaidun, S.H.,
yang telah memberi kesempatan saya turut aktif di
lembaga ini, juga kepada segenap rekan-rekan Peng&bdi
Bantuan Hukum YLBHI-LBH Surabaya, Mas Indro Sugianto,
Eko Nuryanto, Dadang Trisasongko, Boedhi Wijardjo,
Achmad Fauzan, Munir, Andik, Purwoko, Nuzulul, Ida,
Pungki, Dedik Gembul dan Hadi yang motivasi dan pokok-
pokok pemikirannya turut mewarnai skripsi ini.
3. Bapak Takdir Rahmadi, S.H., LLM., pembimbing istimewa
yang bagian tesis masternya saya pergunakan sebagai
literatur penulisan skripsi ini. Demikian halnya dengan
Bapak Mas Achmad Santosa, S.H., LLM., yang banyak
memberikan pengalamannya tentang mediasi.
4. Karibku Haris, Lutfi, Aan, Lucy, Lulung, Emy dan semua
keluarga.
5. Ibu Sultonah serta semua kakak dan adik-adikku yang
tercinta.
6. Semua pihak yang turut membantu terselesaikannya
penulisan.skripsi ini, yang tidak tersebut di sini.
Pada akhirnya saya sadar bahwa setiap hasil karya
skripsi ini, untuk itu lebih jauh perlu kritik dan saran.
Namun saya berharap skripsi ini dapat tetap bermanfaat
bagi pertimbangan penegakan hukum lingkungan yang dewasa
ini tengah dalam kondisi memprihatinkan. Juga bermanfaat
bagi pengembangan mekanisme alternatif penyelesaian
sengketa lingkungan di masa mendatang, di mana lingkungan
yang semakin potensial menjadi korban pembangunan yang
kurang peduli terhadap pelestarian lingkungan, lebih
mendapat perhatian dan perlindungan.
Surabaya, 27 Januari 1994
Adanya banyak kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai
substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis kebijaksanaan publik merumuskan bahwa
kesangkilan atau kemangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-undangan
termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variable-variabel antara lain :
Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang didalamnya terkait variabel-variabel
mudah-tidaknya masalah itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan
keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya, kesukaran-kesukaran teknis terkait dengan
penegakan peraturannya, dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan,
kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.
Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang, yang didalamnya terkait permasalahan
konsistensi tujuan, keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan evaluasi oleh
pihak luar.
Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya (variabel tergantung), yang di
dalamnya terkait persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan pelaksana, kepatuhan
kelompok-kelompok sasaran terhadap putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan
badan pelaksana, persepsi terhadap dampak keputusan tersebut dan akses perubahan
perundang-undangan.
Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat pemda dan instansi sektoral
(Departemen Perindustrian beserta Kanwil dan Kandepnya dan BKPM atau BKPMD), bahwa
tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di kalangan perusahaan industri
dikhawatirkan menyebabkan penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi. Padahal
pada industri yang nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga masyarakat.
Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam setiap penegakan hukum, terutama
dalam penegakan hokum lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan sering
dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang membuat lembaga peradilan tidak otonom.
Adanya kendala-kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam menangani kasus-kasus
lingkungan, telah mengecewakan para pihak yang yang menjadi korban khususnya dan
masyarakat pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula menimbulkan
kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak selalu menjadi forum terbaik untuk
menyelesaikan sengketa. Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana untuk
mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternative penyelesaian sengketa
lingkungan. Salah satu di antara berapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI v m
IV
BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah dan Rumusannya .... 1
BAB II TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEMBAGA PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN b. Penyelesaian sengketa lingkungan melalui
tim tripihak (pasal 20 ayat (2)) UULH .. 55 c. Beberapa bentuk mekanisme alternatif
1. Landasan Yuridis ... 68
2. Beberapa Faktor Penyebab Efektifnya Mediasi a. Kendala peradilan yang sederhana cepat dan ringan ... 71
b. Luasnya ruang lingkup permasalahan lingkungan ... 70
c. Dukungan budaya musyawarah ... 75
d. Upaya-upaya memperkenalkan mediasi .... 76
3. Kendala-kendala Mediasi
4. Karakter Kasus dan Tolak Uk.ur Penggunaan Mediasi ... 89
5. Fungsi mediator ... 93
BAB IV PENDAYAGUNAAN MEDIASI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN DI TEMBOK DUKUH
5. Uapaya Penyelesaian melalui Mediasi dan Hasil Kesepakatannya a. Upaya Mediasi Pra Litigasi ... 104
b. Mediasi di Tengah Proses Persidangan ...106
1. Kesimpulan ... 128 2. Saran ... 132 DAFTAR PUSTAKA ... 134
PEHDAHULUAH
1. Latar Belakang Masalah daa Rupugannya
Grat sekali kaitannya dengan model pembangunan
konvensional yang memprioritaskan pertumbuhan ekonomi
(economic growth), maka semakin memberi peluang bagi
lahirnya berbagai kebijaksanaan yang mengesampingkan
kepentingan serta mengabaikan hak-hak masyarakat atas
pengelolaan sumber daya alam. Pola pembangunan ini
menjadikan manusia hanya sebagai objek yang harus
ditingkatkan kemakmurannya. Akses pada sumber daya
(resources), apakah itu sumber daya ekonomi (termasuk
sumber daya alam), atau juga sumber daya non ekonomi
(termasuk informasi) yang dapat meningkatkan kualitas diri
mereka tidak dibuka secara luas. Prioritas pertumbuhan
ekonomi mengakibatkan sikap toleransi yang berlebihan dari
pemerintah terhadap pelaku pencemaran dan menimbulkan
eksklusivme aparat birokrasi didalam proses pengambilan
keputusan-keputusan administratif lingkungan. Kondisi
demikian menjadi penyebab utama meningkatnya kasus-kasus
pencemaran pada beberapa wilayah di seluruh Indonesia.
Pembahasan masalah lingkungan sering membawa kita pada masalah yang rumit, keterkaitan berbagai faktor, dan masalah serta persepsi baru yang mengharuskan kita
untuk meninggalkan pandangan-pandangan yang sudah
dianggap usang (obstinate). Perkembangan ini dengan
menjawab secara efektif persoalan yang timbul dari
benturan-benturan kepentingan sebagai akibat dari
penanfaatan lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini.
Dalam pelaksanaan pembangunan sering kali terjadi
benturan kepentingan yang tidak menguntungkan lingkungan.
Hal ini disebabkan sistem hukum lingkungan di Indonesia
sendiri yang sektor satu dengan lainnya belum searah.
Sistem hukum lingkungan di Indonesia yang terdiri dari
sekumpulan peraturan perundang-undangan sektoral dan
merupakan ketentuan operasional belum menyesuaikan diri
sepenuhnya dengan UULH sebagai <umbrella provitions).
Padahal salah satu syarat pembangunan yang berwawasan
lingkungan adalah keharusan adanya kesesuaian ketentuan-
ketentuan operasional dengan prinsip-prinsip ekologi dan
prinsip-prinsip UULH yang bersifat lintas sektoral dan
antar disiplin ilmu.
Pola pembangunan yang memprioritaskan pertumbuhan
ekonomi yang digunakan sejak aval Orde Baru disamping
nenyuburkan eksploitasi sumber daya alam, semakin lama
semakin disadari sebagai penyebab u tain a meningkatnya laju
permasalahan lingkungan.
Dalam pola pembangunan seperti ini, pengelolaan
sumber daya alam telah lepas sama sekali dengan fungsi
*Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem
ekosistennya. Fungsi keterikatan, keragaman, keselarasan
dan keberlanjutan dari ekosistem sering diabaikan.
Haka orientasi pembangunan terhadap tercapainya
pertumbuhan ekonomi yang tinggi hampir selalu menempatkan
masyarakat, terutama kelompok masyarakat miskin sebagai
korban pembangunan yang tidak menghormati lingkungan ini.
Pembangunan mempunyai tujuan jangka panjang dalam arti kita tidak hanya membangun untuk kita, generasi yang
sekarang, melainkan juga anak cucu kita, generasi
yang akan datang. Dengan lain perkataan pada akhir
hayat kita, bumi haruslah kita kembalikan kepada generasi berikutnya dalam keadaan yang lebih baik.
Fase yang kita tinggalkan harus dapat merupakan dasar untuk mendukung fase pembangunan berikutnya. Haruslah
ada janinan tidak akan terjadi keambrukan karena
lingkungan tidak dapat lagi mendukung pembangunan itu. 2
Pernyataan di atas mengingatkan kita, terutama
untuk merenungkan seberapa jauh kita menghayati apa yang
sering kita ekspresikan dalam ungkapan "bumi ini bukan
warisan dari nenek moyang kita, tapi kita mem in jam dari
anak cucu kita
Lingkungan hidup dalam kaitannya dengan pembangunan
mulai dikenal di kalangan pemerintahan negara di dunia
pada awal 1970-an sejak adanya Deklarasi PBB tentang
2Hani Djuangsih, "Peranan Sains dalam Proses
E.£Eboktian acngketa Lingkungan“ . Prosiding Diskusi Dua
Hari IHasalahzmasalah Prosedural dalam Penyelesaian
lingkungan hidup, atau tepatnya tahun 1972, sebagaimana
halnya ditetapkan dalam Deklarasi Stockholm (Stockholm
Declaration). Dan sejak itulah mulai dirintis adanya
berbagai langkah untuk mengembangkan pola pembangunan
yang berwawasan lingkungan.
Kita tentu menganggap, masalah pelestarian alam dan
lingkungan hidup menduduki prioritas penting dalam skala
pembangunan nasional, dan dalam konteks kita sebagai
negara berkembang masalah itu juga dipandang sebagai
masalah Hak Asasi Manusia (HAH). Hal ini terlihat dari
fakta adanya Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup dalam
komposisi kabinet dalam beberapa Pelita terakhir ini.
Dengan adanya Deklarasi Stockholm tersebut di atas,
perkembangan hukum lingkungan telah memperoleh dorongan
untuk berkembang lebih kuat, baik pada taraf nasional,
regional maupun internasional. "Keuntungan yang tidak
sedikit adalah mulai tumbuhnya kesatuan pengertian dan
bahasa di antara para ahli hukum dengan menggunakan Dek
larasi Stockholm ini sebagai referensi bersama”
Setelah terlahirnya Deklarasi Stockholm, maka
kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah yang berwawasan
lingkungan mulai mengedepan menyertai perjalanan zaman.
o
Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan ,
Sdisi V, C e t . VIII, Gadjah Mada University Press,
Pada tahun 1978 sejalan dengan kebijaksanaan pemerintah
untuk meratakan hasil-hasil pembangunan sebagaimana
digariskan oleh Pelita III, perhatian terhadap
masalahlingkungan hidup semakin meningkat. Erat kaitannya
dengan hal ini, ketentuan TAP MPR RI No. IV/MPR/1978
tentang Garis-garis Besar Haluan Negara memberikan
penjelasan sebagai berikut :
Dalam pelaksanaan pembangunan perlu selalu diadakan
penilaian yang seksama terhadap pengaruhny'a bagi
kelangsungan hidup, agar pengamanan atas pelaksanaan pembangunan dan kelangsungan hidupnya dapat dilakukan baik secara sektoral maupun regional dan untuk itu
perlu dikembangkan kriteria baku mutu lingkungan
hidup.
Untuk menghadapi masalah tersebut, pada dekade
tahun 1880-an dikenal dengan adanya konsep "pembangunan
berwawasan lingkungan”, dengan menumbuhkan kesadaran dan
peran serta masyarakat dalam aktivitas pembangunan tanpa
merusak lingkungan. Hal ini dapat kita lihat dari Pola
Umum Pembangunan Jangka Panjang, yaitu ;
Dalam melaksanakan pembangunan, sumber-sumber daya
alam Indonesia harus digunakan secara rasional.
Penggalian sumber kekayaan alam tersebut harus
diusahakan agar tidak merusak tata lingkungan hidup
manusia, dilaksanakan dengan kebijaksanaan yang
menyeluruh dan juga harus memperhitungkan kebutuhan
generasi yang akan datang.^
4XAE HER BX IV/MPR/1978, Saris-garis Besar Haitian
Negara. Tentang Ekonomi, Butir 13 C.
51AE. KEfi ai II/MPR/19BB. Saris-garis Besar Haluan
Konferensi Stockholm di atas ternyata tidak dapat
mengatasi masalah lingkungan yang dihadapi dunia. Pada
satu pihak negara maju masih meneruskan pola hidupnya yang
mewah dan boros serta yang mencemari lingkungan. Pada
pihak lain, negara sedang berkemb&ng juga meningkatkan
eksploitasi pada sumber daya alamnya untuk meningkatkan
pembangunan dan untuk membayar hutang luar negerinya.
Dengan timbulnya masalah tersebut, PBB membentuk sebuah
komisi khusus untuk menelaah masalah lingkungan itu, yaitu
komisi sedunia untuk lingkungan hidup dan pembangunan.
Komisi ini telah menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987
dan mengumumkan laporannya yang berjudul Hari Depan Kita
Bersama (Our Common Future).®
Dari laporan yang dirumuskan Komisi Dunia untuk
lingkungan hidup dan pembangunan ini, kemudian lahir dan
berkembang konsep sustainable development. Hal ini secara
politis diperkuat dengan masuknya pertimbangan masalah
lingkungan pada umumnya dan pembangunan berkelanjutan pada
khususnya dalam GBHN 1988, yang didefinisikan sebagai :
"pembangunan untuk memenuhi kebutuhan sekarang tanpa
mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk
memenuhi kebutuhan mereka" P
— - - - -— —— —_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ i
^ t t o Soemarwoto.Indonesia dalam Kancah Xsu Lingkungan Global, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 7.
Memang oaminan bahwa pembangunan tidak akan merusak
lingkungan dilegitimasi oleh pemerintah pada tahun 1982,
yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun
1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup
(untuk selanjutnya dalam penulisan ini selalu disingkat
dengan UULH) yang merupakan dasar yuridis dari pengelolaan
lingkungan hidup di Indonesia.
UULH memuat asas dan prinsip pokok bagi pengelolaan lingkungan hidup, sehingga UULH berfungsi sebagai
"payung” (umbrella act) bagi penyusunan peraturan
perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan
lingkungan hidup maupun bagi penyesuaian peraturan
perundang-undangan yang telah ada.
Akan tetapi, selama ini perencanaan dan penegakan
prinsip-prinsip pembangunan berwawasan lingkungan yang
berkelanjutan masih dalam tahap “kebijaksanaan untuk tidak
melaksanakan" (policy non enforcement), mengingat masih
begitu banyaknya pasal-pasal dalam UULH yang belum dapat
terjabarkan dalam peraturan pelaksanaan. Ada beberapa
peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh UULH yang
belum bisa dilahirkan antara lain :
- Peran serta dalam pengelolaan lingkungan (amanat pasal
8 ayat (2) UULH);
- Tata cara pengaduan dan ganti rugi yang diderita oleh
8Koesnadi Hardjasoemantri, "tten.ielang Sepuluh Tahun
U n d a n g - u n d a n g Lingkungan Hidup". Pidato Akhir Jabatan Guru B e s a r T e t a p F a k u l t a s H u k u m Universitas Gad.iah Mada.
penderita dan penelitian tentang bentuk, jenis dan
besarnya kerugian (amanat pasal 20 ayat (2) UULH);
- Tata cara penetapan dan pembayaran biaya pemulihan
lingkungan hidup (amanat pasal 20 ayat (4) UULH);
- Ketentuan tentang tanggung gugat mutlak (amanat pasal 21
UULH) dan lain-lainnya.
Dalam kondisi policy non enforcement ini, maka banyak pula
peluang penegang kebijakan untuk menerapkan peraturan-
peraturan yang bersifat fasilitatif bagi pemodal atau
industri. Sebagai akibatnya, pembangunan yang dijalankan
masih belum mampu mencerminkan aspek-aspek peran serta
masyarakat dalam pengelolaan dan perlindungan lingkungan
hidup.
Sehubungan dengan meningkatnya industri, belakangan
banyak kasus pencemaran lingkungan di nusantara ini yang
mulai terungkapkan. Pencemaran lingkungan ini biasanya
disadari, justru pada saat yang sudah terlambat. Akibatnya
pencemaran yang mengganggu keseimbangan ekologi, berdampak
pada manusia yang tidak bisa lepas dari lingkungannya.
Lalu siapa yang harus menanggung beban kerugian, baik
kerugian yang diderita manusia, maupun lingkungan itu
sendiri sebagai subjek hukum yang mengalami kerusakan.
Maka terlepas dari lambat atau tidak, persoalan
lingkungan harus menjadi refleksi bagi semua pihak. Sudah
kepedulian pada lingkungan telah tumbuh di masyarakat
kita ? Juga seberapa besarkah tanggung jawab sosial para
pencemar telah dilaksanakan.
Penanganan lingkungan memang harus dilakukan secara
serius, karena keterkaitan manusia dengan lingkungan tidak
hanya didorong oleh romantisme belaka, tetapi banyak
argumen rasional yang mendasarinya. Pertana, kerusakan
lingkungan adalah risiko yang tidak terpulihkan. Kalaupun
masih memungkinkan, dibutuhkan waktu yang lama dan biaya
cukup besar. Kedua, kebanyakan zat pencemar
(
pollutant)
bisa berakibat fatal bagi makhluk hidup, meskipun dalam
jumlah yang masih kecil. Ketiga, adanya sinergisme, yaitu
suatu zat pencemar bisa jadi sebelumnya dikatakan tidak
berbahaya, tetapi pada kondisi tertentu bisa berubah
menjadi bahan toksoid yang berbahaya. Keeapat, karena
penderita terbesar yang menjadi korban kasus pencemaran
lingkungan adalah masyarakat umum, yang sebenarnya secara
langsung tidak pernah turut menikmati hasil kegiatan yang
menimbulkan pencemaran lingkungan tersebut.9
Masalah pencemaran lingkungan di negara-negara
berkembang seperti halnya di Indonesia, identik dengan
masalah pemiskinan yang harus cepat diatasi, kalau bisa
Q
secara prevent!? sudah bisa ditengarai dan tidak perlu
menunggu masalah itu menjadi besar. Apabila di negara-
negara uaju danpak pencemaran lebih banyak dihubingkan
dengan masalah keseha tan masyarakat (public health),
gagguan terhadap kesempatan berrekreasi (recreational
opportunities) dan keindahan (aesthetical values), maka
di negara-negara berkembang pencemaran tidak hanya
terkait dengan masalah-masalah tersebut, akan tetapi
terkait erat dengan kesinambungan {survival) kehidupan
ekononi masyarakat yang menjadi korbannya.
Hasalah lingkungan yang meliputi pencemaran dan
atau perusakan lingkungan jelas merupakan perbuat^n yang
dampaknya merugikan orang/pihak lain dan lingkungan.
Karenanya, apabila peristiwa demikian terjadi, maka pihak
penderita dapat menuntut secara perdata berupa sejumlah
ganti rugi terhadap pihak yang menyebabkan pencemaran itu
dan perusakan itu.
Namun, sebelumnya perlu juga diluruskan sementara
anggapan yang keliru, bahwa upaya memperoleh ganti rugi
pada khususnya dan penegakan hukum lingkungan pada umumnya
hanya melalui proses pengadilan. Hal ini tidak benar,
sebab di dalam praktek penegakan hukum dengan berbagai
sanksinya, seperti sanksi administratif, sanksi perdata
ataupun pidana dapat dilakukan melalui berbagai jalur
legal di luar pengadilan.
Demikian halnya dengan tuntutan ganti rugi pada
sengketa lingkungan, dimungkinkan melalui jalur legal di
luar pengadilan. Landasan yuridisnya secara tegas diatur
dalam pasal 20 ayat (1) dan (2) UULH, yang redaksionalnya
mengatakan sebagai berikut :
(1). Barang siapa merusak dan atau mencemarkan lingkungan
hidup memikul tanggung jawab dengan kewajiban
membayar ganti kerugian kepada penderita yang telah
dilanggar haknya atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat.
(2). Tata cara pengaduan oleh penderita, tata cara
i
penelitian tim tentang bentuk, dan besarnya kerugian
serta tata cara penuntutan ganti kerugian diatur
dengan peraturan perundang-undangan.
Dari ayat (1) dan (2) ini, UULH di samping menganut
prinsip pencemar membayar, juga dapat dilihat tentang
adanya tim tripihak yang dibentuk oleh pemerintah, yang
terdiri atas penderita atau kuasanya, pihak pencemar atau
kuasanya, dan unsur pemerintah yang dibentuk untuk setiap
kasus.
Pembentukan tim tripihak ini dimaksudkan agar
sejauh mungkin diusahakan tercapainya kesepakatan atas
besarnya ganti kerugian yang harus diberikan kepada
penderita, setelah diteliti tentang bentuk, jenis dan
keahlian disiplin ilmu yang dapat diperoleh dari pusat-
pusat studi lingkungan yang ada di universitas atau
institut.
Tata cara penuntutan ganti kerugian perlu diberikan
penetapan batas waktu perundingan agar tidak berlarut-
larut. Apabila batas waktu yang ditetapkan telah dilanpaui
tanpa adanya kesepakatan tentang bentuk, jenis dan
besarnya ganti kerugian yang perlu dibayar serta cara-cara
penbayarannya, maka tuntutan ganti kerugian diajukan
nelalui gugatan perdata ke pengadilan negeri.
Bagaimanapun, berdasarkan ketentuan pasal 20 ayat
(2) UULH ini, masih menunggu hasil penyusunan rancangan
peraturan pemerintah tentang bagaimana tata cara gugatan
dan penuntutan ganti kerugian, tata cara penelitian serta
tata cara penetapan, dan pembayaran biaya pemulihan
lingkungan. Peraturan pemerintah tersebut sangat penting,
karena nengatur prosedur penyelesaian sengketa lingkungan
di luar proses peradilan.
Namun, sambil menunggu ketentuan operasionalnya
yang nasih dalan proses, maka penyelesaian 'sengketa
lingkungan yang pernah diupayakan melalui nediasi, seperti
sengketa lingkungan di Dukuh Tapak-Semarang, juga yang
pernah diterapkan di PT Indah Kiat dan terutama yang
ditulis dalan skripsi ini, yaitu penyelesaian pencemaran
lingkungan oleh PT Sarana Surya Sakti di Tenbok Dukuh
Surabaya, dengan melak.uk.an evaluasi terhadap mekanisme
mediasi yang pernah diterapkan, dengan segala peluang dan
kegagalannya, naka diharapkan dapat menumbuhkan, terlebih
lagi dapat didirikannya lembaga mediasi lingkungan seperti
yang dimaksud oleh undang-undang di atas.
Berlatar belakang posisi sosial masyarakat yang
relatif lebih lemah dan awam dalam soal hukum, apabila
dihadapkan dengan satu atau sejumlah pencemar dengan
kekuatan ekonomi yang cenderung dekat dengan kekuasaan
yang tangguh, nampaknya mekanisme penyelesaian sengketa
lingkungan melalui mediasi ini cenderung memberi peluang
prinsip kesetaraan. Mediasi adalah suatu mekanisme
penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga yang
netral untuk membantu dalam mencari penyelesaian dengan
melibatkan pihak-pihak yang bersengketa. Keputusan akhir
berdasarkan kesepakatan pihak yang bersengketa. Hasil
akhir dari suatu mediasi adalah perjanjian yang dibuat
oleh para pihak sebagai pedoman untuk melaksanakan
kegiatan yang telah disepakati. Pihak ketiga (mediator)
tidak berwenang memaksakan ataupun turut mengambil
keputusan.
Lembaga mediasi sebagai suatu mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa di luar pengadilan telah berkembang
dengan pesat di Amerika Serikat pada permulaan tahun
eksperimen untuk menjajaki kemungkinan adanya alternatif
lain selain dari pada negajukan perkara ke pengadilan yang
banyak nemakan waktu dan biaya, bahkan sering tidak
nenecahkan perselisihan lingkungan
Bagainana peluang nediasi dalan penyelesaian
sengketa di luar pengadilan, naka sebelun sanpai pada
suatu kesinpulan bahwa lenbaga nediasi efektif atau tidak
diterapkan di Indonesia, perlu terlebih dahulu dinengerti
bagainana proses penyelesaian sengketa lingkungan dapat
diselesaikan nelalui pengadilan, dan bagainana pula suatu
sengketa lingkungan diselesaikan nelalui lembaga-lenbaga
lain di luar pengadilan.
Penbahasan yang telah ada yang berkaitan dengan
lenbaga nediasi sebagai suatu alternatif penyelesaian
sengketa lingkungan dewasa ini nasih relatif kurang bahkan
nerupakan hal yang baru di kenal di Indonesia. Penbahasan
ini diharapkan dapat nengisi kekurangan ataupun untuk
nenbudayakan, disamping untuk nenberikan sekedar sunbangan
penikiran pengenbangan konsep penyelesaian sengketa ling-
kungan di luar pengadilan, terutama nengenai lenbaga
nediasi itu sendiri. Dengan adanya tulisan ini diharapkan
dapat nendorong tulisan-tulisan lain yang nungkin lebih
baik dari yang pernah ada, sehingga pada akhirnya dapat
^Koesnadi Hardjasoemantri, Op. Cit., hal. 356.
memberikan konstibusi dalam pengembangan mekanisme mediasi
di Indonesia.
Memang mediasi dalam sengketa lingkungan di Tembok
Dukuh ini mengalami kegagalan karena beberapa faktor.
Namun hal ini bukannya berarti penulisan tentang mediasi
dalam penyelesaian sengketa lingkungan di Tembok Dukuh ini
sia-sia atau sama sekali tidak ada artinya. Karena bagai-
manapun kegagalan ini sekaligus dapat dipelajari dan
direfleksi kelemahan atau kendala yang ada di dalam
mediasi, untuk selanjutnya dapat ditemukan perbaikan-
perbaikan tentang mekanisme mediasi yang dianggap lemah
tadi.
Selain itu, ada keistimewaan tentang mekanisme
mediasi yang digunakan dalam kasus ini. Mediasi
mengintegrasi pada proses peradilan, dalam arti perkara di
pengadilan masih tetap ada dan masih bisa dilanjutkan
ketika mediasi tidak mencapai kata sepakat. Bisa
dipersepsikan para pihak yang menyepakati upaya mediasi
itu, hendak mencari dan sangat berharap tercapainya
kesepakatan-kesepakatan, yang nantinya akan dikuatkan oleh
pengadilan.
Meskipun gugatan perdata perkara pencemaran
lingkungan di Tembok Dukuh ini telah diputus oleh
Pengadilan Negeri Surabaya, namun putusan itu belumlah
banding. Sementara sambil menunggu bagainana putusan akhir
yang berkekuatan hukum tetap, maka dari kasus ini menarik
dilakukan kajian atau anaiisa dengan memadukan pada sumber
hukum yang berlaku, untuk mencari alternatif penyelesaian
sengketa lingkungan yang efektif. Itu semua dim&ksudkan
untuk memperkaya mekanisme alternatif penegakan hukum
perdata lingkungan.
Pada akhirnya penyelesaian sengketa lingkungan di
Tembok Dukuh yang dibawa ke pengadilan tingkat banding
ini, berharap adanya putusan yang membawa angin segar
sekaligus menghilangkan kendala bagi penegakan hukum
perdata lingkungan, dengan menemukan mekanisme yang
potensial efektif untuk diterapkan pada sengketa-sengketa
perdata lingkungan lainnya. Sehingga pencari keadilan,
khususnya mereka yang menjadi korban pencemaran memperoleh
kepastian hukum. Dari uraian latar belakang masalah di
atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai
berikut :
1. Bagaimana bentuk lembaga dan sistem penegakan hukum
perdata lingkungan ?
2. Bagaimana peluang dan pendayagunaan lembaga mediasi
sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan ?
3. Bagaimana peluang penyelesaian masalah pencemaran
lingkungan di Tembok Dukuh dapat ditempuh ?
2 . P e n . i e l a s a a i l a d u l
Judul Skripsi ini adalah "Mediasi sebagai Mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Studi Kasus
Pencemaran Lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya."
Adapun beberapa hal yang perlu dijelaskan dari judul
skripsi ini adalah sebagai berikut :
Mediasi, berasal dari bahasa Inggris (mediation). Mediasi
ini mempunyai pengertian sebagai suatu cara penyelesaian
sengketa berdasarkan perundingan antara para pihak, dengan
melibatkan pihak ketiga yang netral atau tidak memihak
(mediator), dengan melibatkan kedua pihak yang bersengketa
dalam mencari penyelesaian.**
Mekanisne Alternatif, karena yang dimaksud mediasi di
sini adalah merupakan salah satu cara yang dapat diambil
(dipilih) dari sekian banyak bentuk mekanisme yang pernah
dikembangkan dan diterapkan dalam praktek advokasi
lingkungan. Misalnya, dari pengalaman yang pernah terjadi
di Amerika Utara, beberapa bentuk mekanisme alternatif
yang telah dikembangkan untuk penyelesaian perbedaan
kepentingan sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya
alam, adalah : perundingan (negotiation), konsiliasi,
U Takdir Rahmadi, Mekaaismc Alternatif Penyelesaian
S a n g k o t a L i n g k u n g a n d&R Advokasi Lingkungan■ makalah pada
dialog tentang kebijaksanaan (policy dialogue), tin ahli
pencari fakta (fact finding), arbitrasi (arbitration) dan
lain sebagainya. Namun, bagaimanapun juga cara penyelesai
an ini tidak akan pernah meniadakan sama sekali law en
forcement dalam sistem peradilan (litigasi).
Sengketa Lingkungan , dalam UULH pasal 1 butir 7 dan 8
bab I dibedakan menjadi dua macam, yakni pencemaran
1
lingkungan dan perusakan lingkungan. 6
Sedangkan yang dimaksud dengan sengketa lingkungan
dalam judul skripsi ini adalah jelas mengarah dan terkait
dengan kasus pencemaran yang terjadi di Tembok Dukuh. Dari
judul skripsi ini, dapat dijelaskan bahwa salah satu
bentuk penegakan hukum perdata lingkungan, selain
menggunakan yang sudah umum dipakai, juga dimungkinkan
melalui upaya mediasi, yang juga merupakan upaya hukum
(punya landasan yuridis) non litigasi.
18
12Pasal 1 ayat (7) UULH Pencemaran lingkungan
adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya taanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukkannya;
Pasal 1 ayat (8) UULH Perusakan lingkungan
adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang atau
tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang
3 . A l a s a n P e m i l i h a n J u d u l
Alasan pemilihan judul bertolak dari adanya banyak
kendala penegakan hukum lingkungan, khususnya mengenai
substansi hukum itu sendiri. Para ahli analisis
kebijaksanaan publik merumuskan bahwa kesangkilan atau
kenangkusan penegakan suatu produk peraturan perundang-
undangan termasuk UULH ini dipengaruhi oleh variabel-
variabel antara lain :
Pertama, variabel-variabel di luar undang-undang, yang di
dalamnya terkait variabel-variabel mudah-tidaknya masalah
itu dikendalikan. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan
keanekaragaman perilaku kelompok sasarannya,
kesukaran-\
kesukaran teknis terkait dengan penegakan peraturannya,
dukungan publik terhadap peraturan perundang-undangan,
kesepakatan dan kemampuan kepemimpinan pejabat pelaksana.
Kedua, variabel-variabel substansif undang-undang , yang
di dalamnya terkait permasalahan konsistensi tujuan,
keterpaduan hierarki-titik veto sanksi, akses formal dan
evaluasi oleh pihak luar.
Ketiga, tahap-tahap yang ada dalam proses implementasinya
(variabel tergantung), yang di dalamnya terkait
persoalan-persoalan out put kebijaksanaan dari badan
pelaksana, kepatuhan kelompok-kelompok sasaran terhadap
putusan badan pelaksana, dampak nyata keputusan badan
dan akses perubahan perundang-undangan. As'
Persepsi yang merata (prevalent) di kalangan aparat
pemda dan instansi sektoral (Departemen Perindustrian
beserta Kanwil dan Kandepnya dan 8KPM atau BKPMD), bahwa
tindakan tegas konsisten terhadap pencemar lingkungan di
kalangan perusahaan industri dikhawatirkan menyebabkan
penurunan angka pertumbuhan industri dan investasi.
Padahal tolok ukur keberhasilan aparat instansi-instansi
tersebut adalah pencapaian target pertumbuhan industri dan
investasi yang dicanangkan dari pemerintah pusat. Hal ini
mengakibatkan instansi-instansi pemda dan sektoral
memberikan toleransi yang berlebihan pada industri yang
nyata-nyata telah mencemari dan merugikan warga
masyarakat.
Kenyataan demikian tidak bisa dipungkiri dalam
setiap penegakan hukum, terutama dalam penegakan hukum
lingkungan di pengadilan. Penyelesaian di pengadilan
sering dihadapkan pada persoalan struktural-politis, yang
membuat lembaga peradilan tidak otonom. Adanya kendala-
kendala yang melekat pada proses pengadilan dalam
menangani kasus-kasus lingkungan, telah mengecewakan para
13Indro Sugianto, Problematika Penegakan Hukum
Lingkungan dl Indonesia. Catatan kecil dalam diskusi yang
diselenggarakan Surabaya Post perwakilan Gresik, 22
September 1993, hal. 3 dan 4.
pihak yang yang menjadi korban khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Adanya kendala tersebut, ternyata telah pula
menimbulkan kesadaran masyarakat bahwa pengadilan tidak
selalu menjadi forum terbaik untuk menyelesaikan sengketa.
Timbulnya kesadaran itu telah pula mendorong para sarjana
untuk mengkaji pengembangan mekanisme-mekanisme alternatif
penyelesaian sengketa lingkungan. Salah satu di antara
bberapa bentuk mekanisme alternatif penyelesaian sengketa
lingkungan adalah mediasi.
Skripsi yang judulnya "Mediasi sebagai Mekanisme
Alternatif Penyelesaian Sengketa Lingkungan, Studi Kasus
Pencemaran Lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya" ini,
dengan sendirinya akan mencoba mengedepankan model-model
penyelesaian sengketa lingkungan, mulai mekanisme yang
umum digunakan menyelesaikan sengketa, yakni melalui
pengadilan, sampai model yang digunakan dalam penyelesaian
kasus pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh ini sendiri.
Penyelesaian sengketa lingkungan melalui upaya
pengadilan, tentunya dalam pembahasan skripsi ini nanti
tidak bisa lepas dari ketentuan hukum perdata (materiil)
dan hukum acaranya (formil) terutama mengenai pembuktian
di pengadilan.
Dalam penyelesaian kasus ini pernah dicoba melalui
J
penyelesaian sengketa lingkungan di luar pengadilan, yaitu
dengan melalui suatu tim tripihak.*4
Kesemua pembahasan mengenai sengketa ini hanya
dibatasi pada sengketa yang terjadi antara pihak pengusaha
atau industriawan, anggota masyarakat, dan upaya aktif
Pemda dengan mengambil studi kasus pencemaran lingkungan
yang terjadi di Tembok Dukuh, Surabaya, yang hingga saat
ini masih dalam tingkat pemeriksaan banding di Pengadilan
Tinggi Jawa Timur. Meskipun demikian, pembahasan masalah
sengketa pencemaran di Tembok Dukuh dalam skripsi ini,
yang dalam beberapa hal berbeda dengan apa yang sementara
diputus, maka tidak mengurangi arti dan rasa hormat pada
putusan pengadilan yang telah ada. Dari perbedaan ini akan
diharapkan hikmah yang berarti bagi penegakan hukum di
Indonesia, khususnya penegakan hukum perdata lingkungan.
Sebab pengamatan empiris dari penegakan hukum
perdata lingkungan di Indonesia, dari beberapa kasus yang
terjadi telah menimbulkan persepsi yang berbeda dari satu
hakim dengan hakim yang lainnya. Hal ini tidak perlu
berlarut-larut, maka mulai sekarang harus disadari adanya
beberapa kendala, terutama kendala yuridis yang tertuang
dalam substansi UULH sendiri.
4 . T u . iiia n P e n u l i s a n
Penulisan skripsi ini mempunyai beberapa tujuan
ideal, antara lain :
1. Memiliki wawasan tentang konsep lingkungan, antara lain
dari segi hukum administratif, perdata dan pidananya.
Tidak lain menunjukkan bahwa masalah lingkungan sangat
komplek dan menyangkut berbagai aspek hukum yang tertuang
dalam substansi UULH dan peraturan operasionalnya.
2. Memperoleh pengetahuan secara luas mengenai bentuk-
bentuk penyelesaian dan bagaimana mekanisme penegakannya.
Termasuk di dalamnya siapa saja yang bisa berperkara atau
yang bisa menjadi subjek hukum, bagaimana beban pembuktian
dan prinsip tanggung gugat dalam penyelesaian sengketa
lingkungan.
3. Hemberikan dorongan bagi pemerintah untuk segera
mengeluarkan peraturan pelaksana amanat UULH ( implementing
regulations) t e r u t a m a yang berkaitan dengan penegakan
hak-hak prosedural dalam pengelolaan lingkungan hidup,
misalnya tim tripihak yang hingga saat ini belum jelas.
4. Hemberikan masukan tentang betapa pentingnya eksistensi
lembaga mediasi dan sekaligus mendorong penelitian
selanjutnya untuk mengidentifikasi permasalahan proses
*^Untuk pelaksanaan secara efektif UULH pada kondisi
saat ini, paling tidak membutuhkan empat belas
mediasi yang pernah berlangsung. Hal demikian bukan
sekedar upaya spekulatif mencari bentuk-bentuk mekanisme
penyelesaian sebagaimana yang dimaksud dalam tim tripihak.
Tapi yang lebih penting adalah segera terrealisirnya
peraturan yang secara jelas merupakan penerjemahan tim
tripihak.
5. Mgtodolpgi
Dalam pengumpulan data, pengolahan sampai
penyusunan skripsi ini, saya menggunakan langkah dan
teknik yang dipakai sebagai pedoman dalam menyelesaikan
penulisan, sebagai berikut :
m. Pendekatan masalah.
Hetode pendekatan yang dipakai dalam penelitian
ini adalah metode pendekatan yuridis-sosiologis, yaitu
suatu penelitian yang menekankan pada aturan hukum yang
ada dalam masyarakat. Pendekatan secara yuridis, saya
lakukan dengan mendasarkan dan membatasi pada hukum
positif UULH termasuk aturan pelaksanaannya, hukum perdata
formal dan materiil, serta sumber hukum yang lain,
seperti yurisprudensi. Secara sosiologis, dengan cara
nenelaah bagaimana realisasinya dan implikasinya proses
b. Sumber data.
Dalam penyusunan skripsi ini saya menggunakan
sumber data primer dan sekunder. Sumber data primer berupa
studi empiris di lapangan (di Tembok Dukuh), wawancara
dengan para pihak yang terlibat dalam sengketa dan dengan
pihak yang aktif dalam penyelesaian sengketa, serta
mengikuti secara aktif jalannya persidangan di pengadilan.
Sedang data sekunder saya peroleh dari penelitian
normatif, yaitu dengan menelaah bahan pustaka primer
maupun sekunder. Bahan pustaka primer diperoleh dengan
jalan menelaah Ketetapan MPR mengenai GBHN yang mengatur
tentang kebijakan pembangunan dan pengelolaan lingkungan
hidup, peraturan perundang-undangan terutama UULH dan
Kitab Undang-undang Hukup Perdata. Sedang bahan pustaka
sekunder dapat saya lakukan dengan menelaah bahan pustaka
lain yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer, yaitu berupa majalah, buku, kliping, makalah yang
memuat tulisan hasil karya ahli hukum.
o. Prosedur pengunpulan dan pengolahan data.
Teknik dalam pengumpulan data saya lakukan sebagai
berikut :
- Observasi, melalui pengamatan secara langsung tentang
t
lingkungan di Pengadilan Negeri Surabaya.
- Interview atau wawancara, melalui tanya jawab secara
langsung dengan responden mengenai hal yang berkaitan
dengan pelaksanaan mediasi dan jalannya persidangan.
- Studi dokumentasi, yakni dengan mempelajari dokumen-
dokumen yang pernah ada selama jalannya proses mediasi
maupun persidangan atau segala sesuatu yang berkaitan
dengan permasalahan yang ada dalam judul skripsi.
- Studi komparatif, yakni dengan memperbandingkan mediasi
yang dilakukan dalam kasus ini dengan penerapan mediasi
yang pernah dilakukan di kasus Kali Tapak, Semarang.
Sedang semua data yang telah saya peroleh, dalam
pengolahannya saya gunakan metode deskriptif dengan
anaiisa kualitatif, yaitu prosedur pemecahan masalah
yang diteliti dengan cara memaparkan data-data yang
diperoleh dari data sekunder dan primer, sehingga dapat
diperoleh suatu tulisan yang deskriptif-analitis.
6. Ecrtanggung.iawaban Sistenatika
Sistematika penulisan skripsi yang membahas mediasi
sebagai mekanisme alternatif penyelesaian sengketa, studi
kasus pencemaran lingkungan di Tembok Dukuh, Surabaya ini
secara keseluruhan terdiri atas lima bab. Bab pertama
adalah pendahuluan. Pada bab ini diuraikan hal-hal yang
menjadi permasalahan dan latar belakangnya, penjelasan dan
alasan pemilihan judul, tujuan penulisan, metodologi dan
pertanggungjawaban sistematika.
Bab kedua adalah mengenai tinjauan lembaga-lembaga
penyelesaian sengketa lingkungan di pengadilan dan di luar
pengadilan. Pada bab ini saya bahas mengenai penyelesaian
sengketa lingkungan secara perdata di pengadilan negeri
berdasarkan pasal 1365 B.W. (Burgerlijk Wetboek). Dan
dalam kaitan penegakan hukum perdata lingkungan ini Juga
dibahas beberapa konsep hukum lingkungan yang terdapat
dalam UULH, terutama konsep tanggung gugat dan beban
pembuktian. Selanjutnya saya bahas penyelesaian sengketa
melalui lembaga umum di luar pengadilan yang antara lain
melalui tim tripihak sebagaimana disebut dalam pasal 20
ayat (2) UULH.
Pada bab ketiga akan saya bahas peluang dan kendala
pendayagunaan mekanisme alternatif berupa mediasi dalam
penyelesaian sengketa lingkungan, termasuk di dalamnya
siapa yang bisa ditunjuk sebagai mediator, kewenangan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk turut terlibat
sebagai wali lingkungan serta bagaimana pengaruh terhadap
peran serta masyarakat.
Selanjutnya dalam bab empat akan saya bahas tentang
sengketa (pencemaran) lingkungan di Tembok Dukuh Surabaya,
serta menggunakan pembahasan komparatif dengan mediasi
yang pernah dilakukan di kasus-kasus yang lain, yang
pernah menggunakan mediasi. Dalam bab ini sebelumnya
diuraikan secara jelas bagaimana terjadinya sengketa,
landasan adanya pencemaran serta upaya-upaya yang pernah
dilakukan masyarakat sebelum dan saat perkara ini dibawa
ke pengadilan. Pembahasan juga meliputi bagaimana dari
kegagalan mediasi ternyata mencapai hasil yang diharapkan
salah satu pihak.
Terakhir pada bab lima, yang merupakan bab penutup.
Pada bab ini saya beri kesimpulan atas seluruh pembahasan
yang ada pada bab-bab sebelumnya, yang kemudian saya
berikan beberapa saran yang dianggap perlu. Dan pada
bagian akhir akan saya sertakan beberapa lampiran yang
sekiranya dapat dijadikan bahan guna memperjelas dalam
TINJAUAN UMUM LEMBAGA-LEHBAGA
PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN
1. Tinianan Setfi-segi Huimm dalan Substansi UULH
Berbagai upaya ke arah pelestarian lingkungan hidup
cukup serius dilakukan oleh pemerintah. Lebih-lebih lagi
setelah diberlakukannya UULH, yang mengatur tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Garis kebijakan pembangunan yang dituangkan dalam
Ketetapan MPR Nomor II/MPR/TAP/1993 tentang GBHN tidak
lepas dari adanya kebijakan pembangunan yang berwawasan
lingkungan.
Meskipun demikian, seiring dengan perkembangan
teknologi yang mengarah ke era industrialisasi yang
terkait dalam suatu program pembangunan baik jangka pendek
maupun jangka panjang, ternyata ekses dari adanya
peningkatan pembangunan industri berupa pencemaran dan
atau perusakan lingkungan hidup sangat sulit untuk
dihindari. Adanya pencemaran dan atau perusakan lingkungpm
hidup ini menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat, bagi
alam sekitarnya, bagi pemerintah dan negara Indonesia.
Untuk menyelesaikan permasalahan terhadap pihak
yang terbukti melakukan pencemaran dan/atau perusakan
i
saluran hukum yang sudah ditentukan dalan peraturan
perundang-undangan. Hal tersebut agar tidak terjadi
kesewenang-wenangan yang mengarah ke suatu tindakan nain
hakin sendiri (eigenrichting).
Ada beberapa cara penyelesaian masalah pencenaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup yang dapat ditempuh
oleh para pencari keadilan, dan harus pula diikuti
penegakannya oleh para pengenban keadilan yang punya
kewenangan nenindak. Prosedur dan sanksi yang dijatuhkan
bisa berupa : pemenuhan ganti rugi dan atau pemulihan
lingkungan nelalui prosedur gugat perdata, tuntutan sanksi
pidana dan atau denda oleh jaksa penuntut umum. Untuk
melindungi pencari keadilan, undang-undang perlu nengatur
jalan pintas yang praktis tentang penyelesaian perkara
pidana dan perdata dengan nenggabungkan nenjadi satu dalan
proses perkara pidana. Hal ini bisa kita lihat dalam
ketentuan pasal 96 sampai dengan pasal 101 Kitab Undang-
undang Hukun Acara Pidana (Undang-undang Honor 8 Tahun
1981).
Tanggung gugat adninistratif terhadap aparatur
pemerintah juga dinungkinkan menurut sistem hukun kita,
yakni nelalui Undang-undang Honor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan undang-undang
tersebut benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa
Usaha Negara (yang menimbulkan dampak negatif *terhadap
lingkungan hidup) dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha
Negara. Berdasar pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986
nenyebutkan : seorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha
Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan
Tata Usaha Negara yang berwenang berisi tuntutan agar
Keputusan Tata Usaha Negara yang menjadi sengketa itu
dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau disertai
tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
Namun, upaya mengajukan gugat administratif dalam
kasus pencemaran lingkungan ini pelaksanaannya kemungkinan
menexmi hambatan, sehubungan dengan ketentuan pasal 55 UU
Nomor 5 Tahun 1986, bahwa gugatan diajukan hanya dalam
tenggang waktu sembilan puluh hari terhitung sejak saat
diterimanya atau diumumkannya Keputusan Badan atau Pejabat
Tata Usaha Negara. Pasal ini mengatur kadaluwarsa bagi
seseorang atau badan hukum perdata yang langsung terkena
putusan administratif negara tersebut. Sedangkan tentang
kadaluwarsa pihak ketiga yang juga berkepentingan (dalam
hal ini korban pencemaran) belum diatur. Seharusnya hal
ini ditanggapi, mengingat pencemaran yang menimbulkan
kerugian kemungkinan baru timbul setelah perusahaan
setelah beroperasi, bahkan bisa terjadi setelah sekian
tahun lamanya.
Lebih lanjut, sikap tegas pemerintah atau instansi
terkait untuk menjatuhkan sanksi administratif, misalnya
penghentian kegiatan sementara, penutupan atau pencabutan
ijin usaha kepada pengusaha yang telah terbukti melakukan
pencemaran dan atau perusakan lingkungan. Hal ini sudah
saatnya untuk ditegakkan, tanpa harus menunggu parahnya
korban.
Pada segi penegakan hukum pidana lingkungan, banyak
sekali hambatan yang berkisar pada asas legalitas yakni
peraturan perundang-undangan yang belum mengatur secara
jelas dan tuntas, juga secara teknis sangatlah sulit
pembuktiannya. UULH relatif masih baru, yang tentu dalam
pelaksanaannya baik penyidik, penuntut umum maupun hakim
menemui hambatan dalam menangani masalah tersebut.
Heskipun demikian, dalam hal penegakan hukum pidananya,
akhir-akhir ini telah ada beberapa putusan lembaga
peradilan yang cukup progresif dan ideal terhadap
lingkungan, walaupun diragukan hukuman yang dijatuhkan
bakal nampu menimbulkan efek penjera (detterent).
Akan tetapi kreasi hakim Mahkamah Agung dalam kasus
Sidoarjo, menimbulkan permasalahan pro dan anti antara
kalangan akademisi dengan kalangan praktisi. Satu sisi
merupakan pengkoyakan hukum, namun sisi yang lain
kebutuhan keadilan sudah tidak dapat lagi ditunda-tunda.16
Dari putusan Mahkamah Agung itu terdapat dua hal yang
penting, yang perlu diambil hikmahnya bagi kasus-kasus
pencemaran lingkungan. Pertama, putusan ini memberi arti
bahwa netodologi penelitian "samples" yang benar,
dilakukan oleh orang-orang yang berwenang dan cara yang
benar, merupakan hal yang penting dalam kasus pencemaran.
Kedua, putusan ini memberi arti, bahwa dalam suatu keadaan
di mana media lingkungan (sungai) yang diancam oleh
beberapa sumber pencemar (malty sources), mengharuskan
industri-industri yang membuang limbahnya ke sungai
tersebut, bertindak ekstra hati-hati. Tindakan ekstra
hati-hati ini diperlukan karena efek komulatif yang
ditimbulkan, menyebabkan terjadinya pencemaran sungai
tersebut. Sehingga apabila industri-industri yang membuang
i
limbahnya ke sungai tersebut melebihi baku mutu effluent,
sudah dapat dikatakan industri tersebut kurang atau tidak
*®a. Putusan Mahkamah Agung R.I. Reg. No. 1479 K/Pid/1989., yang menghukum pidana kurungan 3 (tiga) bulan karena terdakwa terbukti bersalah melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (1) UULH.
Putusan ini sekaligus merubah delik materiil yang dianut UULH menjadi delik formil.
b. Putusan P.N. Lumajang Reg. No. PDM/248/Luma-
jang/1991., yang menghukum pidana kurungan 2 (dua) bulan, karena terdakwa terbukti melakukan kejahatan sebagaimana diatur dalam pasal 22 ayat (2) UULH.
M I L I K
P E R P U S T A K A ^ N • U N I V E R S I T A 5 A l k i A N G G A
bertindak hati-hati, dan oleh karenanya dapat disebut
sebagai konstributor pencemaran, serta dapat dikenakan
pasal 22 UULH.
Namun harus juga disadari, bahwa penegakan hukum
lingkungan tidaklah dapat berjalan semudah sebagaimana
yang dibayangkan, karena ada banyak faktor yang melatar
belakanginya. Prioritas pertumbuhan ekonomi (economic
growth) mengakibatkan sikap toleransi yang berlebihan dari
pemerintah terhadap pelaku pencemar, dan sifat eksklusif
aparat birokrasi di dalam proses pengambilan keputusan-
keputusan administratif lingkungan adalah penyebab utama
meningkatnya kasus-kasus pencemaran di beberapa wilayah di
Indonesia. Strategi pembangunan yang demikian mestinya
disadari akan memiliki kecenderungan tranformasi nilai-
nilai pembangunan yang tidak manusiawi <people-centered
development values).
Seperti kasus Pakerin yang mencemari Kali Porong,
pencemaran di sekitar Kanal Mangetan yang melumpuhkan mata
pencaharian masyarakat peternak itik di sepanjang kanal
dan kasus pencemaran kategori Bahan Beracun Berbahaya (B3)
oleh pabrik pengolahan aki bekas PT. Indra Era Multi Logam
Indonesia <PT. IHLI) yang terus berkepanjangan, adalah
wujud konkrit keparahan dampak akibat aktivitas industri
pencemar di Jawa Timur. Contoh kasus-kasus tersebut dalam
kebijaksanaan yang memberi toleransi berlebihan, sehingga
semakin memperparah dampak.
Kelambanan dan kelemahan pemerintah daerah dengan
berbagai dilemanya dalam penanganan kasus, adalah wujud
tidak berfungsinya sistem oleh kepentingan tertentu. Upaya
pemerintah daerah meningkatkan APBD, menjadikan upaya
pengembangan birokrasinya diarahkan untuk menciptakan
iklim sehat bagi perkembangan industri. Sehingga peran
pemerintah daerah yang semula sebagai regulator yang
netral, sekarang bergeser sebagai fungsi promotor yang
berupaya menciptakan kerangka sosial politik yang sejauh
mungkin mendukung tumbuhnya kalangan industri.
Seperangkat perangsang yang berupa perangsang
fiskal, moneter dan hukum serta upaya penciptaan kerangka
sosial politik yang mendukung kepentingan bisnis, pada
akhirnya menempatkan para industrialis memiliki bargaining
power untuk mengakumulasi modalnya. Dengan latar belakang
demikian, maka pasal-pasal yang memiliki sifat progresif
(misalnya : ecocentric approach, strict liability, dan
pubiic domain doctrine ) yang dapat dijadikan dasar
penegakan hukum lingkungan, jarang didayagunakan secara
optimal, sehingga asas dan nilai ideal yang terdapat dalam
UULH tidak lebih dari sekedar lips service, dan sanksi
yang diatur di dalamnyapun identik dengan orang-orangan
2. Penyelesaian Sengketa Perdata Lingkungan melalui
I
Pengadilan
a. Gugatan berdasarkan pasal 1365 B.W.
Bilamana terjadi pencemaran, pihak penderita atau
korban, secara perdata dapat menuntut ganti kerugian
berupa kerugian nateriil atau kerugian imateriil kepada
pengusaha atau industriawan yang telah terbukti melakukan
pencemaran.
Henurut pasal 20 UULH dihubungkan dengan sistem
hukum yang berlaku, untuk menggugat ganti kerugian dan
atau biaya pemulihan lingkungan terdapat dua jenis dasar
hukum terhadap penyelesaian sengketa lingkungan, yaitu :
a. Pasal 20 ayat (2) UULH tentang tripihak yang menekankan
pada asas musyawarah dan dikenal sebagai mediasi;
b. Pasal 1365 B.W. tentang perbuatan melawan hukum
(onrechtnatige daad).
Sistem hukum perdata Indonesia banyak dipengaruhi
oleh sistem civil law. Dalam sistem ini dikenal bahwa
suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum, yang
karena salahnya, menimbulkan kerugian pada pihak lain,
akan mewajibkan si pembuat kesalahan bertanggung jawab
membayar ganti rugi atas perbuatan yang ditimbulkannya. 17
Hal ini teroermin menurut pasal 1365 B.W. yang menyatakan
bahwa: "Tiap perbuatan melawan hukum yang membawa kerugian
kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut".
Dari bunyi redaksi pasal 1365 B.W. di atas, tidak
diperoleh pengertian yang jelas tentang perbuatan melawan
hukum. Pengertian perbuatan melawan hukum dikembangkan
melalui keputusan-keputusan hakim di Negeri Belanda. Sejak
tahun 1919 Hoge Raad memperluas pengertian perbuatan
melawan hukum sebagai berikut :
1. Perbuatan tersebut melanggar hak orang lain; atau
2. Perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si
pelaku; atau
3. Perbuatan itu bertentangan dengan kesusilaan; atau
4. Perbuatan itu bertentangan dengan kepatutan/kecermatan
yang harus diindahkan dalam lalu-lintas masyarakat
terhadap diri dan orang lain.*®
Kriteria perbuatan melawan hukum yang digunakan
dalam sengketa lingkungan ini adalah, pertama adanya
pelanggaran hak orang lain, yakni hak masyarakat atas
lingkungan hidup yang sehat dan baik, serta hak dan
kewajiban masyarakat untuk berperan serta dalam
pengelolaan lingkungan (vide pasal 5 ayat (1) dan pasal 6
UULH). Kedua adalah adanya pelanggaran terhadap kewajiban
hukumnya sebagaimana ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) dan
pasal 7 UULH, dan masih banyak pelanggaran hak dan/atau
kewajiban yang diatur dalam peraturan operasional UULH
lainnya.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, perbuatan
yang menyebabkan pencemaran lingkungan bisa dikatagorikan
sebagai perbuatan melawan hukum, apalagi perbuatan
pencemaran ini diatur dalam pasal 20, 21 dan 22 UULH. Hal
ini lebih diperkuat dengan pendapat dari prof. Subekti
yang mengatakan bahwa banyak perbuatan yang dulu tidak
dapat digugat di hadapan majelis hakim, sekarang oleh
hakim diartikan "onrechtmatig" jika dapat dibuktikan bahwa
dari kesalahan si pembuat itu telah timbul kerugian pada
orang lain, maka si pembuat itu akan dihukum untuk
nengganti kerugian itu.19
Pasal yang menuntut ganti rugi dari pihak lain yang
telah melakukan perbuatan melawan hukum, di depan sidang
pengadilan, penggugat harus dapat membuktikan bahwa :
1. Perbuatan orang lain tersebut mengandung sifat melawan
hukum,
2. Adanya kesalahan baik yang dilakukan dengan sengaja
atau kelalaian, ataupun tidak melakukan perbuatan
sehingga menimbulkan kerugian pada pihak lain,
3. Harus ada kerugian,
4. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dengan
akibat.
b. Tanggung Gugat Pelaku Pencemaran.
b.l. Prinsip Liability Based on Fault.
Liability based on fault adalah prinsip tanggung
gugat bedasarkan kesalahan. Dari uraian tersebut di atas
menjadi jelas bahwa tanggung gugat untuk memberikan ganti
rugi dari seorang tergugat dapat dituntut, bila pihak yang
dirugikan mampu membuktikan bahwa kerugian yang diderita
timbul sebagai akibat dari perbuatan tergugat.
Gugatan yang didasarkan atas ketentuan pasal 1365
B.W. sebagainana telah dipraktekkan selama ini, menganut
prinsip liability based on fault, dalam arti neletakkan
beban kepada penggugat untuk membuktikan dalil-dalilnya di
depan pengadilan sehingga jelas adanya unsur kesalahan
tergugat sebagai pencemar. Suatu beban yang memang tidak
mudah bagi penggugat, khususnya dalam kasus-kasus
pencenaran dan atau perusakan lingkungan yang pada umumnya
menuntut proses pembuktian yang rumit. Membuktikan
arti merosotnya kualitas air sumur yang merugikan
kebutuhan rumah tangga masyarakat adalah sebagai akibat
dari pembuangan limbah dari satu atau beberapa pabrik yang
ada di sekitar pemukiman menuntut suatu kegiatan
penelitian yang panjang dan mendalam yang memerlukan
keterlibatan peran para ahli. Disamping menyangkut bahan
kimiawi sering juga terbentur pada rahasia perusahaan.
Proses pembuktian ini jelas sangat mahal yang tentunya
tidak mudah begitu saja ditanggung biayanya oleh para
korban pencemaran lingkungan yang umumnya lemah
perekonomian mereka.
b.2. Prinsip Strict Liability.
Prinsip strict liability merupakan sistem tanggung
gugat mutlak dan ganti kerugian pada sistem hukum Anglo
Anerika sebagai reaksi atas prinsip liability based on
fault, yang dianggap kurang memadai sebagai prinsip ganti
kerugian yang berlaku saat itu.
Prinsip hukum ini diperkenalkan dalam pasal 21 UULH
dalam bentuk ketentuan umum (general clause), yang diatur
lebih lanjut beberapa kegiatan yang menyangkut jenis
sumber daya tertentu dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Tanggung gugat di sini timbul seketika
pada saat terjadinya perbuatan, tanpa mempermasalahkan
Prof. Koesnadi Hardjasoemantri berpendapat bahwa
sebenarnya ada beberapa pertimbangan digunakannya prinsip
strict liability. Pertama, karena prinsip liabilty based
on fault yang digunakan mengandung proses pembuktian yang
memberatkan penderita. Ia baru akan memperoleh ganti rugi
apabila berhasil membuktikan adanya unsur kesalahan dari
pihak tergugat. Sedangkan kenyataan dalam kasus pencemaran
kebanyakan penderita/penggugat tidak memahami tingkah laku
teknologi modern, sedangkan pada pihak lain pencemar/pihak
tergugat adalah industriawan/usahawan menguasai informasi
dan tingkah laku dari industri yang dikelolanya dengan
produksi yang dihasilkannya.
Sedangkan Komar Kantaatmadja mengenai jenis
tanggung gugat ini memberikan penjelasan sebagai berikut :
bahwa pengertian tentang pertanggungjawaban penuh/absolut
mengandung dua pengertian. Pengertian pertama, pengertian
prosedural, yaitu kewajiban untuk melakukan pembuktian
adanya unsur kesalahan untuk dapat dipertanggung-
jawabkannya kerugian. Kedua, pengertian materiil, yaitu
penuh dalam besarnya ganti rugi, yang mengandung
pengertian bahwa pemberian ganti rugi harus
sepenuhnya/tanpa batas tertinggi yang ditentukan terlebih
20Abdurrahman, S.H., Eengantar Hukum Lingkungan