BAB II
KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep
Konsep dijadikan sebagai dasar pengembangan penulisan selanjutnya untuk memahami hal–hal yang ada dalam penelitian. Konsep dipandang sebagai definisi operasional untuk menegaskan pengertian sesuai dengan pijakan teori yang dipilih dalam suatu penelitian. Dalam penelitian ini konsep dasar yang dijadikan acuan yaitu, pemerolehan bahasa, pemerolehan kosa kata dasar bahasa Indonesia, dan perkembangan bahasa.
2.1.1 Pemerolehan Bahasa
Pemerolehan bahasa atau akuisisi bahasa adalah proses yang berlangsung di dalam otak seorang kanak-kanak ketika dia memeroleh bahasa pertamanya atau bahasa ibunya. Pemerolehan bahasa biasanya dibedakan dari pembelajaran bahasa(Chaer 2002: 167)
Setiap anak yang normal akan belajar bahasa pertama (bahasa ibu) dalam tahun-tahun pertamanya dan prosesitu terjadi hingga kira-kira umur lima tahun (Nababan, 1992: 72)
ataupun alasan-alasan sosial, tetapi biasanya anak telah dapat berkomunikasi secara bebas pada saat dia mulai masuk sekolah.
Anak usia 3−4 tahun memeroleh kosa kata dasar yang fonemnya belum sempurnatetapi,ada juga sebagian anak yang dapat memeroleh kosa kata dasar dengan fonem yang sempurna. Pemerolehan bahasa pada anak tergantung pada pendidikan, dan lingkungan anak tersebut. Anak usia 3−4 tahun akan lebih aktif dalam berkomunikasi jika lawan bicaranya sudah dikenalnya dan sering memberinya hadiah.
2.1.2 Pemerolehan Kosa Kata Dasar Bahasa Indonesia
Kosa kata dasar adalah kata-kata yang tidak mudah berubah atau sedikit sekali
kemungkinannya dikutip dari bahasa lain. Berikut beberapa jenis kosa kata dasar:
1. Kata bilangan pokok, misalnya: satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh,
delapan, sembilan, sepuluh, dua puluh, sebelas, dua belas, seratus, dua
ratus, seribu, dua ribu, sejuta, serta dua juta.
2. Kata kerja pokok, misalnya: makan, minum, tidur, bangun, berbicara,
melihat, mendengar, menggigit, berjalan, bekerja, mengambil, menangkap,
dan lari.
3. Kata benda, ada dua jenis kata benda, yaitu kata benda konkrit dan kata
benda abstrak. Kata benda konkrit adalah kata benda yang dapat disentuh.
Misalnya tumbuhan-tumbuhan, hewan, dan benda-benda yang dapatdilihat
benda yang hanya bisa dirasakan dan tidak bisa disentuh misalnya angin,
udara. Dalam penelitian ini, peneliti memakai kata benda konkrit.
Pada penelitian ini, peneliti juga membagi kata benda yang terdiri atas kata
benda pada istilah kekerabatan dan nama-nama bagian tubuh. Istilah
kekerabatan, misalnya: ayah, ibu, anak, adik, kakak,nenek, kakek, paman,
bibi, menantu, dan mertua. Nama-nama bagian tubuh, misalnya: kepala,
rambut, mata, telinga, hidung, mulut, bibir, gigi, lidah, pipi, leher, dagu,
bahu, tangan, jari, dada, perut, pinggang, kaki, betis, telapak, dan
punggung.
Ada dua cara yang terpenting ketika anak-anak mempelajari kata-kata
tersebut. Pertama mereka mendengar kata-kata tersebut dari orang tua, anak-anak
yang lebih tua, teman sepermainan, televisi dan radio, tempat bermain, dan toko,
pusat perbelanjaan. Kedua mereka mengalaminya sendiri misalnya mereka
mengatakan benda-benda, memakannya, merabanya, menciumnya, dan
meminumnya. Kosakata mereka itu hanya dibatasi oleh pengalaman-pengalaman
mereka dan oleh model-model yang tersedia.
Kualitas keterampilan berbahasa seseorang jelasbergantung kepada
kuantitas dan kualitas kosa kata yang dimilikinya. Semakin kaya kosa kata yang
dimilikinya, semakin besar pula kemampuan keterampilan berbahasanya. Perlu
disadari dan dipahami benar-benar bahwa kenaikan kelas para siswa di sekolah
ditentukan oleh kualitas berbahasa mereka. Dengan perkataan lain, kenaikan kelas
mereka dalam segala bidang studi yang mereka peroleh sesuai dengan kurikulum
(Tarigan, 1983:7).
2.1.3Perkembangan Bahasa Anak
Penelitian yang dilakukan terhadap perkembangan bahasa anak usia 3‒4 tahun tidak terlepas dari teori psikologi yang dianut. Dalam hal ini sejarah telah mencatat adanya teori dalam perkembangan bahasa anak. Pandangan yang dikemukakan oleh pakar dari Amerika, yaitu pandangan behaviorisme yang berpendapat bahwa penguasaan bahasa pada kanak - kanak bersifat “suapan” (Chaer, 2003: 221)
Menurut Frances chato (1968, dalam Chaer, 2003: 221), anak belajar mengucapkan kata sebagai suatu keseluruhan, tanpa memperhatikan fonem kata- kata itu satu per satu. Sedangkan menurut Waterson (1971, dalam Chaer, 2003: 234), anak hanya dapat menangkap ciri–ciri tertentu dari kata yang diucapkan oleh orang dewasa, dan pengucapannya terbatas pada kemampuan artikulasinya. Misalnya, ketika pada tahap tertentu si anak belum mampu mengucapkan fonem [k] tetapi sudah dapat mengucapkan fonem [t], dia akan menirukan kata [ikan] dan [bukan] yang diucapkan orang dewasa dengan lafal [itan] dan [butan]. Dengan demikian kita lihat anak ini menyederhanakan ucapannya yang dilakukan secara sistematis.
memahami bahasa oleh anak diperoleh melalui rangsangan dari lingkungannya. Anak dianggap sebagai penerima pasif dari tekanan lingkungannya, tidak memiliki peranan yang aktif di dalam proses perkembangan perilaku verbalnya. Kaum behavioris bukan hanya tidak mengakui peranan aktif si anak dalam proses pemerolehan bahasa, juga tidak mengetahui kematangan si anak itu. Proses perkembangan bahasa terutama ditentukan oleh lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungannya (Chaer, 2003: 223).
Menurut Skinner (Chaer, 2003: 223) kaidah gramatikal adalah berlaku verbal yang memungkinkan seseorang dapat menjawab atau mengatakan sesuatu. Namun, kalau kemudian anak dapat berbicara, bukanlah karena penguasaan kaidah sebab anak tidak dapat mengungkapkan kaidah bahasa, melainkan dibentuk secara langsung oleh faktor di luar dirinya. Kaum Behavioris berpendapat bahwa ransangan (stimulus) dari lingkungan tertentu memperkuat kemampuan berbahasa anak. Perkembangan bahasa mereka pandang sebagai suatu kemajuan dari kemampuan verbal yang berlaku secara acak sampai pada kemampuan yang sebenarnya untuk berkomunikasi melalui prinsip pertalian S-R (stimulus-respon) dan proses peniruan.
Dalam suatu penelitian harus ada suatu teori yang sesuai dengan objek penelitian tersebut, mendasar terhadap teori tersebut, dapat diupayakan dan, mempertahankan keakuratannya. Dalam penelitian ini penulis menggunakan kajian psikolinguistik, teori behaviorisme menurut pandangan B.F. Skinner.
2.2.1 Psikolingusitik
Psikolinguistik adalah satu cabang linguistik yang bekerja sama dengan ilmu lain, yaitu ilmu psikologi dalam menganalisis bahasa dan berbahasa (bertutur) dengan cara mengkaji proses-proses yang berlaku pada waktu seorang bertutur dan memahami kalimat-kalimat yang didengar. Psikolinguistik mempelajari cara seorang anak memeroleh bahasa ibunya dan hubungan di antara bahasa yang diperoleh itu dengan proses berpikir.
Secara etimologi kata psikolinguistik terbentuk dari kata psikologi dan kata linguistik, yakni dua bidang ilmu yang berbeda, yang masing - masing berdiri sendiri, dengan prosedur dan metode yang berlainan. Namun, keduanya sama - sama meneliti bahasa sebagai objek formalnya. Hanya objek materinya yang berbeda, linguistik mengkaji struktur bahasa, sedangkan psikologi mengkaji perilaku berbahasa atau proses berbahasa.
psikologi dapat menerangkan hakikat bahasa dan pemerolehannya. Dengan kata lain, psikolinguistik mencoba menerangkan hakikat bahasa, dan bagaimana struktur ini diperoleh, digunakan pada waktu berbicara, dan pada waktu memahami kalimat-kalimat dalam pertuturan itu. Dalam praktiknya psikolinguistik mencoba menerapkan pengetahuan linguistik dan psikologi pada masalah-masalah pengajaran dan pembelajaran bahasa, seperti pengajaran membaca permulaan dan membaca lanjut, kedwibahasaan dan kemultibahasaan, serta penyakit bertutur seperti afasia, gagap, dan sebagainya serta masalah-masalah sosial lain yang menyangkut bahasa, seperti bahasa dan pendidikan, bahasa dan pembangunan nusa dan bangsa.
Kerja sama antara psikologi dan linguistik setelah beberapa lama berlangsung tampaknya belum cukup untuk dapat menerangkan hakikat bahasa seperti tercermin dalam defenisi di atas. Maka meskipun digunakan istilah psikolinguistik, bukan berarti hanya kedua bidang ilmu itu saja yang diterapkan, tetapi juga hasil penelitian dari ilmu-ilmu lain juga dimanfaatkan.
2.2.2 Psikolinguistik Behaviorisme
pada prakiraan, dan unit-unit fungsional perilaku manusia yang hanya dapat terjadi melalui efek yangterlihatpada orang lain saja.
Penerapan teori behaviorisme ini didasarkan oleh adanya rangsangan (stimulus) kemudian diikuti oleh reaksi (respon). Bila rangsangan menghasilkan reaksi yang benar, maka akan diberi hadiah atau imbalan (reinforcement) yang menyenangkan dan kemungkinan rangsangan itu akan dilakukan berulang-ulang. Namun, jika reaksi yang dihasilkan salah akan dihukum, yaitu penghentian imbalan.
Chaer (2008: 56) menjelaskan bahwa imbalan semacam ini dapat diberikan dalam bentuk pemberian makanan atau minuman dalam porsi kecil karena harus diberikan secara berulang-ulang. Selain itu dalam bentuk memberikan mainan kepada anak, namun hanya terbatas sekitar 5-10 menit saja, kemudian diambil kembali. Imbalan lain seperti, pelukan, ciuman, tepukan, dan elusan. Imbalan verbal juga perlu diberikan seperti “bagus”,”pandai”, “pintar”, sebagai pujian karena telah melaksanakan instruksi dengan benar.
Contoh dalam percakapan:
Peneliti : Pergi ke sekolah sama siapa putri? Putri : Sama bunda.
dapat berkembang karena anak mendapat rangsangan yang baik dari orang dewasa.
2.2.3 Urutan Pemerolehan Kosakata Dasar Anak Usia 3—4 Tahun
Penelitian tentang pemerolehan bahasa sudah banyak diteliti oleh para ahli, baik itu penelitian tentang pemerolehan bahasa pertama, kedua, urutan pemerolehan kata, dan sebagainya. Seperti yang dikatakan Krashen (1985: 66, dalam Pramuniarti, 2008: 3) temuan yang paling menarik dalam penelitian pemerolehan bahasa dewasa ini adalah penelitian tentang urutan pemerolehan struktur gramatikal yang mengacu pada teori pemarkahan bahasa (marhedness theory). Ellis (1994: 1003, dalam Pramuniarti, 2008:4) mengatakan urutan pemerolehan dapat digunakan untuk menguji suatu prediksi yang berdasarkan “pemarkahan”, khususnya dapat dilihat melalui penanda tipologi yang sudah sangat dikenal yaitu NAPH. Ellis (1994: 726, dalam Pramuniarti, 2008: 18) juga menambahi suatu hal yang dapat diidentifikasi melalui pengujian atas sampel yang representative dari bahasa alamiah dalam hal urutannya agar menentukan ciri-ciri umum yang terdapat pada semua bahasa atau hamper semua bahasa-bahasa.
Ellis (1994: 418, dalam Pramuniarti, 2008: 222) menggambarkan suatu bentuk urutan pemerolehan Klausa Relative yang mengacu pada hasil kajian dari Keenan dan Comrie, yaitu Subject > Direct Objek > Indirect >Oblique > Genitive > Object of Comparative. Hal ini juga menunjukkan variasi fungsi
pemerolehan kosa kata dasar bahasa Indonesia anak usia 3—4 tahun dalam penelitian ini.
2.3 Tinjauan Pustaka
Urutan pemerolehan dalam bahasa analisis psikolingustik, sebelumnya pernah diteliti oleh:
Fauzi (2000) dalam skripsinya yang berjudul “Pemerolehan Bahasa Anak-Anak Usia 0‒5 Tahun: Analisis Psikolinguistik”, membahas tentang tahap-tahap pemerolehan bahasa yang terdiri dari tahap perkembangan prasekolah dan tahap perkembangan kombinatori. Tahap perkembangan sekolah meliputi, tahap meraba, tahap holofrastik, tahap kalimat dua kata, tahap pengembangan tata bahasa, dan tahap kombinasi penuh. Tahap perkembangan kombinatori meliputi perkembangan negatif, perkembangan introgatif, dan perkembangan sistem bunyi. Fauzi juga membahas tentang perkembangan bahasa dan perkembangan kognitif.
Pramuniati (2000), dalam tesisnya yang berjudul “Urutan Pemerolehan Klausa Relatif Bahasa Perancis oleh Pembelajar Bahasa Perancis FBS-Universitas Negeri Medan”,menyimpulkan NPAH (Noun Phrase Accessibility Hierarchy) dapat memprediksi posisi urutan pemerolehan fungsi klausa relatif, sehingga dari hirarki dapat diketahui posisi terendah dan posisi tertinggi dari hirarki assessibilitas klausa relatif bahasa Perancis.
pemerolehan fonologi, morfologi, sintaksis, semantik, leksikon, dan pragmatik. Pemerolehan bahasa juga mengatakan bahwa pemerolehan bahasa tidak dapat terjadi hanya karena adanya bekal kodrati (innate properties) belaka. Pemerolehan bahasa juga tidak mungkin terjadi hanya karena adanya faktor lingkungan saja, kedua-duanya diperlukan sebagai proses penguasaan bahasa.
Gustianingsih (2002) dalam tesisnya yang berjudul “Pemerolehan Kalimat Majemuk Bahasa Indonesia pada Anak Usia Taman Kanak-Kanak”, mengatakan kemampuan anak usia taman kanak-kanak akan kalimat majemuk merupakan parameter untuk mengukur keberhasilan dan sekaligus dasar pengajaran di sekolah dasar.
Lumbanraja (2010),“Pemerolehan Leksikal Nomina Bahasa Angkola Anak Usia 3‒4 Tahun”, Dari data yang diperoleh, hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pemerolehan leksikal nomina bahasa Angkola pada anak usia 3‒4 tahun itu sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Masukan yang diterima anak dari lingkungan sekitarnya mempengaruhi jumlah kosa kata yang dapat dikuasai anak-anak usia 3‒4 tahun tersebut. Urutan pemerolehan leksikal