• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seroprevalensi Tuberkulosis pada Sapi Bali seebagaii Langkah Awal Monitoring Pencegahan Penyakit Zoonosis di Provinsi Bali.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Seroprevalensi Tuberkulosis pada Sapi Bali seebagaii Langkah Awal Monitoring Pencegahan Penyakit Zoonosis di Provinsi Bali."

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN 978-602-294-065-4

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I

Diterbitkan Oleh :

Program Studi Magister Biologi

Program Pascasarjana

(2)

PROSIDING

SEMINAR NASIONAL BIOSAINS I 2014

“Biodiversitas Sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”

Denpasar, 29 Desember 2014

Editor :

Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS Dr. Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc, Ph.D

Ir. Made Pharmawati, M.Sc., Ph.D Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc., Ph.D

Dr. Ir. Yenni Ciawi

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmatNya kegiatan Seminar Nasional Biosains I dapat terselenggara dengan baik pada tanggal 29 Desember 2014, serta prosiding hasil seminar ini dapat tersusun dan diterbit sesuai rencana. Kegiatan seminar dengan tema“Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”, merupakan realisasi kerjasama yang telah dirintis oleh Program Magister Biologi dan Jurusan Biologi Universitas Udayana, dengan North Dakota State University, USA. Tema ini sangat relevan diangkat karena ketahanan pangan merupakan issue yang sangat penting dalam dua dekade terakhir. Pertambahan jumlah penduduk dunia yang sangat cepat yang tidak diimbangi oleh penambahan luasan lahan pertanian telah menyebabkan adanya gap yang sangat nyata antara produksi pangan dengan jumlah penduduk. Hal ini telah banyak menyebabkan bencana kelaparan di banyak belahan dunia. Untuk menanggulangi masalah kekurangan pangan ini, penganekaragaman sumber pangan yang bersumber dari darat dan laut menjadi issue yang sangat krusial, sehingga hasil–hasil penelitian terkait biodiversitas, terutama yang dapat dijadikan sebagai sumber pangan, sangat perlu didukung dan disebarluaskan, diantaranya melalui penerbitan prosiding seminar.

Topik yang tercakup dalam prosiding ini adalah Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan Teknologi Pangan, Genetika dan Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan. Topik-topik yang disajikan dalam buku sederhana ini diharapkan dapat dipakai sebagai acuan dalam mengembangkan keanekaragaman pangan, sehingga masalah kekurangan pangan secara bertahap dapat diatasi.

Pada kesempatan ini, Panitia ingin menyampaikan rasa apresiasi yang sangat tinggi kepada para peserta seminar, para penyaji makalah dan penyusun naskah, para tim editor dan reviewer, serta pihak-pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu, karena atas kerjasamanya penerbitan prosiding ini dapat dilakukan.

Semoga prosiding ini dapat memberi manfaat kepada masyarakat luas, terutama para pemerhati biodiversitas, mahasiswa, peneliti, pemerintah serta swasta yang memiliki rasa kepedulian terhadap biodiversitas. Sekali lagi, Terimakasih dan sampai jumpa pada Seminar Nasional Biosains II.

Denpasar, 13 Agustus 2015 Ketua Panitia Penyelenggara

(4)

RINGKASAN

Prosiding ini merupakan kumpulan naskah yang telah disajikan pada Seminar Nasional Biosains I yang diselenggarakan pada tanggal 29 Desember 2014, bertempat di Gedung Pascasarjana, Universitas Udayana, Jl. PB Sudirman, Denpasar, Bali. Seminar Nasional Biosains I ini mengangkat tema “Biodiversitas sebagai Penunjang Ketahanan Pangan”. Ada lima topik yang disajikan dalam prosiding ini, yaitu Biodiversitas dan Konservasi, Pangan dan Teknologi Pangan, Genetika dan Biomolekuler, Lingkungan, Biosistematik dan Evolusi, serta Kesehatan, dengan total 24 naskah.

Semoga naskah dalam prosiding ini memberi manfaat baik kepada semua pihak yang memiliki perhatian pada keberlanjutan (sustainabilitas) biodiversitas di Indonesia serta manfaatnya dalam menunjang ketahanan pangan bagi umat manusia.

(5)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i RINGKASAN ... ii DAFTAR ISI ... iii MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE) ... 1

Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta ... 1 VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK ... 12

Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni ... 12 KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.) DI BALI ... 20

Eniek Kriswiyanti ... 20 TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT, FRAKSI HUMAT, DAN MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI ... 26

Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu ... 26 BIOASSAY EKSTRAK KASAR (CRUDE EXTRACT) DAUN BROTOWALI (Tinospora crispa (L) Miers) PADA BAKTERI GRAM POSITIF DAN BAKTERI GRAM NEGATIF ... 35

Ida Ayu Putu Suryanti ... 35 KARAKTER MORFOLOGI DAN TINGKAT PERTUMBUHAN ANAKAN SEBAGAI BUKTI TAKSONOMI PENDUKUNG VARIETAS Pandanus tectorius ASAL PULAU ROSWAR, TELUK WONDAMA, WEST PAPUA ... 41

Nurhaidah I. Sinaga1, Martinus Iwanggin1, Cicilia M.E. Susanti1 ... 41 STRUKTUR ANATOMI AKAR, BATANG DAN DAUN SERTA PENYEBARAN STOMATA DAN TRIKOMATA PADA Monochoria vaginalis (Burm. F.) Presl ... 48

Ni Putu Adriani Astiti ... 48 PERKEMBANGAN STRUKTUR MORFOLOGI EMBRIO CENDANA (Santalum Album Linn.) DARI BUNGA MEKAR HINGGA TERBENTUKNYA BUAH MUDA ... 55

Ni Putu Yuni Astriani Dewi1, Eniek Kriswiyanti1,2, Ni Nyoman Darsini2... 55 DAYA HAMBAT EKSTRAK DAUN RAMBUTAN RAPIAH (Nephelium lappaceum L.) TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KUNYIT ... 64

Anak Agung Istri Mirah Dharmadewi1, Ni Putu Adriani Astiti 1, Luh Putu Wrasiati2 ... 64 PELAKSANAAN AWIG-AWIG FAKTOR KEBERHASILAN BIOLOGI KONSERVASI JALAK BALI (Leucopsar rothschildi Stresemann, 1912) DI KEPULAUAN NUSA PENIDA ... 72

(6)

KONSERVASI HUTAN MANGROVE MELALUI DIVERSITAS PANGAN OLAHAN BUAH

MANGROVE DI PESISIR KABUPATEN POHUWATO GORONTALO ... 80

Ramli Utina1,2, Jusna Ahmad1, Abubakar Sidik Katili1,2, Mustamin Ibrahim1, ... 80

GAMBARAN HISTOLOGI HATI TIKUS (Rattus norvegivus) YANG DIINJEKSI WHITE VITAMIN C DOSIS TINGGI DALAM JANGKA WAKTU LAMA ... 87

Ni Wayan Sudatri, Iriani Setyawati, Ni MadeSuartini, Dwi Ariani Yulihastuti ... 87

KERAGAMAN GENETIK DNA MIKROSATELIT BURUNG JALAK BALI (Leucopsar rothschildi) ... 95

I Wayan Rosiana, I Gede Widhiantara ... 95

SEROPREVALENSI TUBERKULOSIS PADA SAPI BALI SEBAGAI LANGKAH AWAL MONITORING PENCEGAHAN PENYAKIT ZOONOSIS (NEW EMERGING DISEASE) DI PROVINSI BALI... 101

Hapsari Mahatmi1, Nyoman Adi Suratma1, Nengah Kerta Besung1 Ketut Budiasa1, G.P. Widiarsa2 ... 101

STUDI EPIDEMIOLOGI KOKSIDIOSIS PADA SAPI DI BALI ... 107

Nyoman Adi Suratma, Ida Bagus Made Oka, I Made Dwinata ... 107

POTENSI Lactobacillus rhamnosus SKG34 SEBAGAI STARTER YOGHURT DAN VIABILITASNYA SELAMA PENYIMPANAN ... 113

Komang Ayu Nocianitri1, I Nengah Sujaya2, Ni Nyoman Puspawati3 ... 113

EVALUASI SIFAT KIMIA DAN SENSORIS ROTI BUN YANG MEMANFAATKAN TEPUNG SUWEG (Amorphopalluscampanulatus B1) SEBAGAI BAHAN PENSUBSTITUSI TERIGU ... 122

I DP. Kartika Pratiwi*, Ni Made Indri Hapsari A., A.A.G.N. Anom Jambe ... 122

POTENSI Streptomyces sp. DALAM MENGHAMBAT BAKTERI Klebsiella pneumoniae RESISTEN TERHADAP AMPISILIN ... 130

Kadek Desy Kartika1, Retno Kawuri2, Putra Dwija3 ... 130

BIOREMEDIASI PERAIRAN TERCEMAR LIMBAH INDUSTRI PENCELUPAN DENGAN PEMANFAATAN TUMBUHAN AIR SECARA OPTIMAL ... 138

Ni Made Susun Parwanayoni dan Ni Luh Suryani ... 138

DESKRIPSI PERBEDAAN JUMLAH INDIVIDU KEPITING MANGROVE, SPESIES Scylla serrata DAN Uca sp SERTA HUBUNGANNYA DENGAN FAKTOR LINGKUNGAN PADA EKOSISTEM MANGROVE DI DESA BULALO KECAMATAN KWANDANG KABUPATEN GORONTALO UTARA ... 145

Abubakar Sidik Katili 1,2), Ramli Utina 2,2), Chairunnisah J.Lamangantjo3,2) ... 145

ASOSIASI MAKROZOOBENTOS PADA PADANG LAMUN DI PANTAI MERTA SARI DAN SINDHU, SANUR-BALI ... 153

(7)

MODIFIKASI PATI TALAS KIMPUL DENGAN HEAT MOISTURE TREATMENT UNTUK MEMPERBAIKI KARAKTERISTIK SOHUN (STARCH NOODLE)

MODIFICATION OF COCOYAM STARCH WITH HEAT MOISTURE TREATMENT TO IMPROVE CHARACTERISTICS OF STARCH NOODLE

Anak Agung Istri Sri Wiadnyani, I Wayan Rai Widarta

Jurusan Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana

Email: asriwiadnyani@yahoo.com

INTISARI

Pati talas kimpul alami memiliki stabilitas tekstur yang kurang kokoh, memiliki profil pasta pati dengan viskositas puncak yang tinggi diikuti dengan viskositas breakdown yang tinggi dan viskositas pasta dingin yang rendah. Perlakuan HMT (Heat Moisture Treatment) diharapkan penggunaan pati talas kimpul dapat ditingkatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh perlakuan HMT terhadapat pati talas kimpul dan mengetahui karakteritik pati talas kimpul termodifikasi yang nantinya diaplikasikan pada pembuatan sohun. Talas kimpul diekstraksi, selanjutnya diberi perlakuan HMT yang dikondisikan pada kadar air 30%, suhu 110OC dengan variasi waktu pmanasan 0, 4,8 dan 10 jam. Pati talas kimpul alami dan pati HMT dianalisis meliputi kadar air, kadar amilosa dan sifat amilografinya. Pati HMT yng menunjukkan hasil terbaik digunakan untuk pembuatan sohun dan dilakukan pengamatan sifat noodlenya secara visual. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan terbaik hasil modifikasi adalah perlakuan HMT 4 jam dengan analisis meliputi kadar air 10,26%, kadar amilosa 28,91% serta tidak memiliki puncak viskositas tapi peningkatan viskositas terus terjadi selama pemanasan hingga akhir pendinginan sebesar 6200cp.

Kata kunci: pati, talas kimpul, heat moisture treatment, sohun

ABSTRACT

A native cocoyam starch has a softer textural sta bility, has starch paste profile with high peak viscosity followed by a high breakdown viscosity and low cold paste viscosity. Treated with (HMT) heat moisture treatment, is expected to improve the application of cocoyam starch. The study aimed to observe the effect of different heat moisture treatment on the characteristic of cocoyam starch and also to know the best modified starch for application starch noodle preparation. Cocoyam starch extracted, then treated with HMT was adjusted at restrict wa ter content 30%, temperature 110OC for different time 0,4,8 and 16 hours. Native and treated starch were analysed for the water content, amilosa content and amilograph profile. HMT which showed the best performance, were made into starch noodle and evaluated the properties with visual. The result showed the best treatment of modificatiom was HMT treated 4 hours with analysis results include water content 10.26%, amilose content 28.91% and no pasting peak but rather a high viscosity which remains constantor increases during cooling.

(8)

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan menjadi masalah pokok yang dihadapi bangsa ini. Untuk mengatasi masalah tersebut pemerintah melaksanakan beberapa program dan kebijakan yang bertujuan untuk mewujudkan ketaha nan pangan nasional salah satunya adalah dengan penganekaragaman pangan (diversifikasi pangan). Program ini ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan pokok alternatif sumber karbohidrat selain beras adalah dengan menggunakan komoditas lain yang dapat diperoleh secara lokal dengan harga murah. Salah satu tanaman sumber karbohidrat yang berpotensi besar untuk dikembangkan adalah talas kimpul.

Talas kimpul (Xanthosoma sagittifolium) atau yang dikenal di Bali dengan keladi merupakan jenis umbi-umbian dan salah satu komoditas pertanian yang memiliki peranan yang cukup strategis tidak hanya sebagai sumber pangan dan bahan baku industri tetapi juga pakan ternak. Produk pangan yang dibuat menggunakan bahan baku talas kimpul sangat jarang ditemui. Talas kimpul umumnya diolah hanya dengan jalan direbus saja oleh masyarakat, sehingga kurang mempunyai nilai ekonomis.

Pola konsumsi masyarakat dipengaruhi oleh perubahan gaya hidup saat ini menjadi isu yang sangat penting. Makanan selain nasi kian digemari sepert roti, mie, bihun, kwetiau dan sohun karena kandungan karbohidratnya yang cukup tinggi menjadi pilihan pengganti bahan makanan pokok beras.

Pada umumnya pati talas kimpul memiliki sifat inferior untuk diproduksi menjadi sohun (sta rch noodle). Sohun atau soun (suun) adalah produk makanan sejenis bihun atau mie halus yang dibuat dari pati (Anon., 2012a). Dibanding jenis mie dan bihun, sohun lebih liat dan tidak mudah putus. Sohun dijual dalam keadaan kering dan terlipat setelah direbus atau direndam, sohun berwarna bening, bertekstur kenyal, dan memiliki permukaan yang licin.

Kualitas sohun banyak dipengaruhi oleh pati sebagai bahan dasarnya. Menurut Lii and Chang (1991) di Cina, pati yang ideal untuk bahan dasar pengolahan sohun harus mempunyai kadar amilosa yang tinggi seperti pati kacang hijau sebesar 33%, sedangkan pati talas mengandung amilosa sebesar 20-25% (Setyowati et al., 2007). Pati alami memiliki stabilitas tekstur yang baik, namun memiliki keterbatasan saat pemanasan dan cenderung mudah teretrogradasi, sehingga memiliki keterbatasan penggunaanya di dalam industri.

Modifikasi pati adalah cara mengubah struktur dan mempengaruhi ikatan hydrogen dengan cara terkontrol untuk meningkatkan dan memperluas kegunaannya. Modifikasi pati diharapkan dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan fungsional dari pati alami. Salah satu cara modifikasi pati yang dapat dilakukan untuk mengubah sifat-sifat pati adalah dengan cara Heat Moisture Treatment (HMT). Perlakuan HMT pada pati didefenisikan sebagai modifikasi pati secara fisik dengan mengkombinasikan antara kadar air dan panas yang akan merubah sifat-sifat pati. HMT dilakukan pada suhu diatas suhu gelatinisasi (80-120OC) dan dengan kadar air kurang dari 35% (Stute, 1992).

Modifikasi pati secara fisikawi ini juga dianggap lebih alami dan aman dibandingkan dengan memodifikasi pati dengan cara kimiawi. Modifikasi pati secara HMT relatif aman dan sederhana untuk dilakukan, karena modifikasi ini tidak menggunakan bahan kimiawi dalam melakukan modifikasi sehingga sangat cocok dilakukan untuk pati yang akan digunakan dalam bahan pangan.

(9)

MATERI DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian akan dilakukan di Laboratorium Analisa Hasil Pangan, Laboratorium Biokimia dan Nutrisi Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Bali, Laboratorium Balai Besar Tanaman Padi, Sukamandi, Subang, Jawa Barat. Waktu penelitian dilakukan mulai bulan Juli - Desember 2012.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah talas dari perkebunan petani, aquades, HCL 25 %, NaOH 1%, Etanol 95%, Asam asetat, larutan Iod 2% dan bahan kimia untuk analisis.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mixer, oven, plastik, pengemas vakum, ayakan 100 mesh, propipet, gelas ukur, pipet, loyang, kompor, panci, pencetak sohun, timbangan, pengaduk mekanik atau manual, kabinet dyer, pisau, desikator, blender, spektrofotometer, perajang mekanis,

wa terba th, Brabender Amylograph, Teksture analyzer serta alat-alat analisis lainnya.

Prosedur Penelitian

(10)

Gambar 1. Diagram alir jalannya penelitian

Tahap 1. Ekstraksi Pati Talas

(11)

Tahap 2. Heat Moisture Treatment

Modifikasi pati dengan HMT dilakukan dengan metode Collado et al. (2001) yang dimodifikasi. Cara modifikasi pati dengan HMT adalah sebagai berikut :

Pati alami yang digunakan diatur kadar airnya menjadi 30%, kemudian disimpan pada suhu 4°C selama 24 jam. Lalu dilakukan pemanasan dengan menggunakan oven pada suhu 110°C dengan perlakuan lama pemanasan HMT 4 jam, 8 jam dan 16 jam. Pati kemudian langsung didinginan untuk mencegah gelatinisasi lebih lanjut, dan dilakukan pengeringan pada suhu 50°C selama 4 jam. Pati HMT kemudian didinginkan pada suhu kamar selama 1 jam. Lalu pati dikemas dan dianalisis. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air (AOAC,1994), kadarar amilosa (AOAC, 1994), dan amilografi pati.

Tahap 3. Pembuatan Sohun (Starch noodle)

Metode pembuatan bihun instan mengacu pada Collado et al.(2001): Purwani et.al (2006) yang dimodifikasi. Pembuatan bihun instan terdiri atas beberapa tahap, meliputi pembuatan binder adonan, pembuatan adonan, pencetakan bihun, pengukusan, dan pengeringan. Tingkat substitusi pati modifikasi HMT yang digunakan adalah 50% terhadap pati talas alami. Produksi sohun diawali dengan pembentukan

binder (perekat). Pembentuan binder dilakukan dengan mengelatinisasi sebagian pati (10%) yang akan digunakan dalam pembuatan adonan sohun dengan menambahkan air dengan perbandingan (1 : 7 b/v). Pati yang digunakan sebagai binder adalah pati talas alami mengingat pati talas termodifikasi memiliki daya rekat yang lebih rendah. Selanjutnya suspensi pati dipanaskan selama 5 menit atau hingga mengental yaitu mempunyai penampakan yang transparan. Pati yang telah mengental atau tergelatinisasi seluruhnya digunakan sebagai binder.

Sisa Pati talas campuran antara pati talas alami dengan pati HMT (90%) dicampur dengan binder.

Campuran diaduk dan diadon hingga merata. Adonan yang sempurna terbentuk ketika pati kering telah tercampur merata dan terikat oleh binder sehingga dapat menyatu saat digenggam. Selanjutnya adonan dicetak pada mesin pencetak mie dan dilanjutkan dengan proses pengukusan yang berlangsung selama 4 menit. Sohun dikukus selama 2 menit kemudian dikeluarkan untuk dibalikkan susunannya. Selanjutnya sohun dikukus kembali selama 2 menit.

Rancangan Penelitian

Pada penelitian ini digunakan Rancangan Acak k e l o m p o k untuk analisis kadar amilosa dan kadar air pati HMT yang dibandingkan dengan pati alami. Analisis variabel dilakukan untuk mengetahui pengaruh perlakuan HMT terhadap sifat amilografi pati (suhu gelatinisasi, puncak viskositas, trough, brea kdown, setba ck, dan viskositas akhir) menggunakan ANOVA. Apabila pengaruhnya signifikan (P<0,05) maka dilanjutkan dengan uji Dunca n Multiple Range Test (DMRT).

Perlakuan lama HMT: T1 : 4 jam, T2 : 8 jam, T3 : 16 jam

(12)

HASIL

Rendemen Pati

Tabel 1. Rendemen Pati Talas Alami

No Jenis Pati Rendemen (%)

1 Pati Alami 19.21

Kadar Air

Tabel 2. Kadar Air Pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT No Perlakuan Kadar Air b/b (%)

1 T0 11,73 (a)

2 T1 10,26 (b)

3 T2 9,65 (b)

4 T3 8,87 (c)

Ket : Huruf yang sama menunjukkan bahwa kadar air tidak berbeda nyata pada tingkat kepercayaan 95%.

Kadar Amilosa

Tabel 3. Kadar Amilosa pati Tanpa Modifikasi dan Pati Modifikasi HMT No Perlakuan Kadar Amilosa (%)

1 T0 28,17 (b )

2 T1 28,91 (a)

3 T2 28,77 (a)

4 T3 28,37 (ab)

(13)

Amilografi

Gambar 2. Kurva amilografi Pati talas Kimpul Modifikasi

Tabel 4. Profil Pasta Pati Talas alami dan Pati Modifikasi HMT

(14)

Sohun (Strach Noodle)

Tabel 5. Pengamatan visual sohun pati talas alami dan HMT 4 jam

Perlakuan Pengamatan visual

Pencetakan Pengukusan

Sohun alami untaian sohun mudah putus bila ditarik mudah putus tekstur rapuh tergelatinisasi kurang sempurna warna lebih putih Ukuran sohun kurang mengembang Sohun HMT 4 jam Untaian sohun tidak mudah putus bila ditarik liat dan tidak mudah putus

tekstur lebih kokoh tergelatinisasi sempurna warna agak putih/sedikit lebih buram Ukuran sohun mengembang

PEMBAHASAN

Rendemen Pati

Rendemen pati adalah perbandingan antara berat pati yang diperoleh dari hasil ekstraksi dengan berat bahan dasarnya. Rendemen pati secara langsung tidak mempengaruhi mutu produk pati namun memiliki dampak pada aspek ekonomi pengolahan pati talas, karena rendemen yang tinggi akan lebih menguntungkan produsen pati talas.

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rendemen pati talas sebesar 19,21%. Perbedaan kadar rendemen pati talas bisa disebabkan oleh perbedaan varietas, usia tanam, dan proses ekstraksi, dimana proses ekstraksi pati yang optimal akan menghasilkan rendemen pati talas yang tinggi. Semakin tinggi kandungan pati talas segar diharapkan semakin tinggi rendemen pati yang dapat diekstrak dari tal as

Kadar Air

Kadar air bahan pangan erat kaitannya dengan umur simpan bahan pangan tersebut, semakin rendah kadar air dalam bahan pangan maka akan semakin lama bahan tersebut dapat disimpan dan tentunya akan lebih aman dari kemungkinan kerusakan akibat kontaminasi dari lingkungan sekitarnya, misalnya dari mikroorganisme. Hasil pengamatan erhadap kadar air pati talas alami dan pati talas modifikasi HMT yang dihasilkan setelah dianalisis dapat dilihat pada Tabel 2.

(15)

Kadar Amilosa

Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan HMT selama 4 jam (T1) memiliki kadar amilosa tertinggi yaitu 28,.91% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 8 jam (T2) dan 16 jam (T3). Sedangkan kadar amilosa terendah adalah perlakuan pati alami 0 jam (TO) sebesar 28,17% yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan HMT 16 jam (T3). Perbedaan lama waktu HMT berpengaruh nyata terhadap kadar amilosa pati talas. Kadar amilosa pati talas alami dan hasil modifikasi HMT pada penelitian ini berkisar 28% lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian (Setyowati et al., 2007) mengandung amilosa sebesar 20-25%. Kadar amilosa merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi sifat pasting dan retrogradasi pati.

Kadar amilosa yang cenderung mengalami sedikit peningkatan dengan makin lamanya waktu pemanasan. Keadaan ini diduga terjadi karena pada saat melakukan modifikasi dengan HMT, molekul amilopektin mengalami degradasi pada rantai eksteriornya yang menyebabkan penurunan jumlah molekul besar, tetapi menaikan jumlah molekul kecil. Rantai eksterior hasil degradasi tersebut merupakan rantai-rantai linier dan berbentuk helix ganda, sehingga dapat dikatakan menyerupai molekul amilosa dan mampu melakukan pengikatan dengan molekul amilosa melalui ikatan hydrogen (Lu et al., 1996).

Amilografi Pati

Setiap pati dari berbagai jenis tanaman memiliki sifat gelatinisasi yang berbeda. Hasil pengamatan terhadap hasil pengukuran pasta pati dan sifat amilografi yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 2 dan profil pasta pati talas alami dan pati modifikasi pada p e rl ak u a n l am a H M T yang berbeda dapat dilihat pada table 4. Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa perbedaan lama HMT memberikan pengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi pati alami dan pati modifikasi HMT yang cenderung mengalami peningkatan dengan semakin lamanya waktu HMT (Gambar 2). Suhu gelatinisasi terendah adalah pada pati talas alami sebesar 71,.23 OC dan tertinggi adalah perlakuan HMT 8 jam (T2) sebesar 82,70OC. Diduga bahwa proses HMT menyebabkan meningkatnya kristalinitas pati karena adanya perubahan dari struktur granula pati. kokohnya ikatan intramolekul pati karena HMT membuat pati membutuhkan panas yang lebih besar untuk memecah struktur pati dan pembentukan pasta terjadi. Keadaan ini menggambarkan bahwa pati HMT mempunyai kestabilan yang tinggi terhadap panas (Lii et a l., 1995) Hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian yang telah dilaporkan oleh Collado and Corke (1999); Collado et a l., 2001; Sigh et a l. (2005); tsakama et al., 2011 pada pati ubi jalar, serta penelitian Pukkahuta et a l. (2008) pada pati jagung.

(16)

Sohun (Strach Noodle)

Pengamatan sohun dilakukan secara visual pada pati alami dibandingkan dengan pati modifikasi HMT terbaik yaitu pada perlakuan HMT 4 jam (T1) dikarenakan pati HMT 4 jam memiki pola amilografi tipe C sehingga sesuai untuk karakteristik dijadikan sohun yaitu tidak memiliki viskositas puncak tetapi lebih menunjukkan pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan bahkan sampai pendinginan (Chen et al., 2003; Purwani et al., 2006). Bila dibandingkan dengan perlakuan T2 (8 jam) dan T3 (16jam) yang juga memiliki pola amilografi tipe C, viskositas pati HMT (T1) memiliki viskositas yang lebih tinggi sampai pada pendinginan (retrogradasi) suhu 50OC. Pengamatan terhadap lembaran sohun dilakukan setelah pencetakan adonan sohun dan juga setelah pengukusan. Pengamatan sohun alami dan sohun modifikasi HMT dapat dilihat pada Tabel 5.

Bila dilihat pada table 5, baik pada pencetakan ataupun pada pengukusan pati alami memiliki tekstur yang lebih rapuh dan mudah putus dibandingkan dengan pati modifikasi HMT. Demikian pula bila dilakukan pengukusan dengan waktu yang sama.

SIMPULAN

Pati HMT terbaik adalah lama HMT 4 jam yang dilihat dari pofil dan kurva amilografinya dikarenakan perlakuan HMT 4 jam tidak memiliki viskositas puncak tetapi lebih menunjukkan pada pembentukan viskositas yang sangat tinggi dan tetap konstan selama pemanasan bahkan sampai pendinginan (profil pasta tipe C). Sohun yang dibuat dari pati HMT 4 jam memiliki tekstur yang lebih kokoh dan untaian sohun tidak mudah putus pada saat pencetakan. Demikian pula pada saat pengukusan pati talas HMT memiliki tekstur yang lebih liat, tergelatinisasi dengan sempurna serta ukurannya lebih mengembang dibandingkan pati talas alami.

KEPUSTAKAAN

Anonim, 2012a. Sohun. http://id.wikipedia.org/wiki/Sohun. Diakses 13 Februari 2012.

AOAC, 1984. Officia l Methodes of Analysis of the Associa tion of Ana lytical Chemist. 14th ed. AOAC Inc. Arlington. Virginia

Chen, Z., 2003. Physicochemica l Properties of Sweet Pota to Sta rches and their Applica tion in Noodle Products. Dissertation of Wageningen University, Netherland

Collado, L.S and Corke, H., 1997. Properties of sta rch noodles as effected by sweet potato genotype.

Cereal Chemist ry, 74 (2), 182-187

Collado, L.S and Corke, H., 1999. Hea t moisture treatment effect on Sweet Pota to starches differing in a mylose content. Food Chemistry, 65, 339-346

Collado, L.S., Mabesa, L.B., Oates C.G., and Corke, H., 2001. Bihon-type noodles from heat moisture trea ted S weet Potato sta r ch. J. Food Science, 66 (4), 604-609

Gunaratne, A., and Hoover, R. 2002. Effect of hea t moistur e trea tment on the structure and phys icochemica l properties of tuber and root starches. Carbohydrate Polymers, 49, 425-437

Hoover, R., 2001. Composition, molecula r structure, and p hysicochemical properties of tuber and root sta r ch : Review. Carbohydrate Polymers, 45: 253-267

(17)

Lii, C.Y., and Chang, Y.H., 1981. Chara cterization of Red Bea n (Pha seolus radiatus Va r. aurea ) starch and its noodle q uality. J. Food Science, 46: 78-81

Lii, C.Y., Tsai, M.L. and Tsang, K.H. 1995. Effect of a mylose content of rheologica l of r ice sta r ch. Cereal Chemistry, 73: 415-420.

Lu, S., C.Y.Chen and C.Y.Lii. 1996. Gel Chroma tography fra ctintion and Thermal Cha racterizatin of Rice Sta rch Affected by Hydrothermal Trea tment. Cereal Chemestry, 73:5-11.

Pukkuhuta, C., Suwannawat, B., Shobsngob, S and Varavinit, S. 2008. Comparative Study of Pasting and Thermal Transition characteristic of Osmotic Pressure and Heat Moisture Treated Corn Starch. CCabohydrat Polymer, 72:527-536.

Purwani, E.Y., Widaningrum, R., Thahir, and Muslich, 2006. Effect of hea t moisture treatment of Sago starch on its noodle q uality. Indonesia Journal of Agricultural Science, 7 (1): 8-1 4

Sajilata, M.G., Singhal, R.S., and Kulkarni, P.R., 2006. Resistant sta r ch-a review.J. Food Science and Food Safety, 6: 1-17

Singh, S., Raina, C.S., Bawa, A.S. and Saxena, D.C. 2005. Effect of hea t moisture trea tment and a cid modification on r heological, textura l and differentia l scanning ca lorimetry chara cteristics of sweet potato sta r ch. Journal of Food Science, 70 (6): 373-378

Stute, R. 1992. Hydrotherma l modification of starches: the d ifference between anneling and hea t moisture treatment. Starch, 6:205-214

(18)

VIABILITAS SERBUK SARI BUNGA TERATAI SUDAMALA (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) DENGAN UJI WARNA, IN-VITRO DAN SQUASH KEPALA PUTIK

VIABILITY OF SUDAMALA’S LOTUS POLLEN (Nymphoides indica (L.) Kuntze, MENYANTHACEAE) BASED ON COLOR TEST, IN-VITRO AND STIGMA’S SQUASH.

Gusti Ayu Nyoman Budiwati, Eniek Kriswiyanti, I Gusti Ayu Sugi Wahyuni Program Studi Magister Biologi, Universitas Udayana

Email: gustiayubudiwati@gmail.com

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan berkecambah (viabilitas) serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan uji warna, in-vitro dan squash kepala putik. Sampel serbuk sari diambil dari 10 bunga (5 individu) dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, tempat pengambilan sampel di Danau Beratan Desa Candi Kuning, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan. Metode: uji warna aniline blue dalam laktofenol, in vitro 0,8% agar dalam 30% larutan gula dan squash kepala putik menggunakan fiksatif Farmer dan pewarnaan 1 % aniline blue. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala: bulat, minuta, prolate spheroidal. Persentase viabilitas serbuk sari tertinggi pada uji warna ± 100% dari bunga sebelum mekar, mekar dan setelah mekar, paling rendah pada uji in - vitro yaitu dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru mekar ± 1,1% (0-9,40%) dan setelah mekar ± 5,61% (0-21,56%) sedangkan pada squash kepala putik dari bunga sebelum mekar ± 0%, mekar ± 14,44 (0-85,71%), dan setelah mekar ± 84,96% (70,93-92,45%).

Kata kunci: serbuk sari, uji viabilitas, Nymphoides indica

ABSTRACT

The purpose of this research was to determine the viability of Sudamala’s lotus pollen germination by colortest, in-vitro and stigma’s squash. Flowersare usedrespectively- each 10 (5 individual) of before anthesis, anthesis and after anthesis, samples were taken from Candi Kuning village, Lake Beratan, Baturiti, Tabanan. The methods: aniline blue’s color test in laktofenol, in-vitro 0,8% jellyin 30% sugar and stigma’s squash use fixative Farmer. The results showedthe type of pollen forms from Lotus Sudama lawere: circular,prolate spheroidalminuta and ruga. The percentage of pollen’s viability from before anthesis, anthesis and after anthesis by color test, showed a very high viability is ± 100%. In –vitro test before anthesis showed the pollen’s viability wa s ± 0%, anthesis ± 1,10% (0-9,40%) and after anthesis ± 5,61% (0-21,56%). Stigma’s squash method showed before anthesis was ± 0%, anthesis ± 14,44 % (0-85,71%), and after anthesis ± 84,96% (70,93-92,45%).

(19)

PENDAHULUAN

Di Indonesia telah ditemukan tiga spesies tanaman teratai yaitu Nympheae pubescens, N. stellata,

N. nouchali (Steenis dkk., 2005). Di Bali, khususnya di daerah Gianyar, berdasarkan hasil penelitian pendahuluan ditemukan beberapa jenis teratai berdasarkan warna bunga yaitu teratai Sudamala

(Nymphoides indica), teratai Kuning, teratai Biru Tua (Nymphaea stellata Wild), teratai Merah Muda, teratai Ungu Tua, teratai Ungu Muda, teratai Putih (Nymphaea nouchali Burm f.), teratai Biru Muda (Nymphaea stellata Wild), teratai Tutur, teratai Dedari dan teratai Brumbun. Diantara teratai tersebut yang paling menarik dan langka adalah teratai Sudamala (Budiwati, 2014).

Menurut masyarakat di Bali, teratai Sudamala (Nymphoides indica) digolongkan ke dalam keluarga teratai – terataian tetapi hasil penelusuran pustaka teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) tidak tergolong ke dalam keluarga teratai. Tetapi termasuk familia Menyanthaceae yang merupakan tanaman bisah air (Marwat et al, 2009). Tanaman ini hidup menahun, memiliki akar geragih yang pendek, batang berbentuk silindris, daun berbentuk bulat (orbicularis), berbunga banyak dengan mahkota berukuran kecil berbulu halus, berwarna kuning dan ada yang berwarna putih, pada corolla,

bagian pusatnya berwarna kuning (Marwat et al, 2009).

Pada umumnya tanaman ini merupakan tanaman kosmopolitan dengan distribusi yang luas, namun akibat adanya eutrofikasi dan reklamasi lahan menyebabkan tanaman ini terancam punah (Ornduff, 1966). Hal ini sesuai dengan pernyataan Shibayama and Yasuro (2003) yang menyebutkan bahwa Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan tanaman yang terancam punah. Tanaman ini di Bali ditanam sebagai tanaman hias dan sebagai sarana upacara keagamaan, di Papua New Guinea, tanaman ini digunakan untuk merangsang kehamilan. Di Vietnam tanaman ini digunakan untuk menurunkan demam, menyegarkan badan, serta meredakan masuk angin dan perut kembung (Wiart, 2006).

Reproduksi pada tanaman teratai umumnya secara generatif dan vegetatif (Tjiptrosoepomo, 2005), pada teratai Sudamala belum ada yang melaporkan cara perkembangbiakannya apakah secara generatif atau vegetatif. Reproduksi generatif merupakan perkembangbiakan tanaman dengan menggunakan biji, yang diawali dengan peristiwa penyerbukan, yaitu jatuhnya serbuk sari di kepala putik. Salah satu penyebab dari gagalnya suatu tanaman membentuk biji atau pembuahan adalah sterilitas serbuk sari. Parameter penting dalam menentukan keberhasilan penyerbukan salah satunya adalah fertilitas serbuk sari, karena setelah penyerbukan serbuk sari harus hidup dan mampu berkecambah. Fertilitas serbuk sariditentukan oleh kemampuan serbuk sari berkecambah (viabilitas), viabilitas yang tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman (Widiastuti dan Endah, 2008). Hilangnya viabilitas serbuk sari sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, terutama suhu dan kelembaban relatif (Shivanna et al., 1991).

Untuk mengetahui fertilitas serbuk sari dapat dilakukan uji viabilitas serbuk sari. Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian mengenai viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) dengan teknik uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol, in - vitro dan squash

kepala putik.

MATERI DAN METODE

(20)

Uji viabilitas serbuk sari :

a. Uji warna 1 % aniline blue dalam laktofenol

Serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) yang telah diambil kemudian dikumpulkan pada mikrotube yang telah diberi zat warna 1% aniline blue dalam laktofenol dan dibiarkan selama 10 menit (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop olymphus. Dihitung jumlah serbuk sari dengan dinding mengkerut dan tidak menyerap warna serta serbuk sari yang tidak mengkerut dan dapat menyerap warna, dilakukan pengamatan untuk 10 preparat dan dihitung rata – ratanya dalam persentase (Kriswiyanti, dkk., 2010).

b. Uji viabilitas serbuk sari secara in – vitro

Serbuk sari dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indicaL.) Kuntze) diambil dan ditaburkan pada 10 gelas benda yang telah berisi media 0,8% agar dalam 30% larutan gula kemudian diinkubasi selama ±24 jam (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999). Setelah diinkubasi selama ± 24 jam kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop, diamati serbuk sari dengan panjang buluh yang terbentuk sama atau lebih panjang dari diameter serbuk sari. Dihitung persentase perkecambahan serbuk sari.

c. Uji viabilitas serbuk sari dengan teknik squash kepala putik

Kepala putik dari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica L.) Kuntze) dipotong dan dimasukkan ke dalam mikrotube yang telah berisi fiksatif Farmer selama ± 24 jam. Fiksatif dibuang dan diganti dengan larutan clearing 10% NAOH selama 1-5 menit, pewarnaan dengan 1% aniline blue dalam laktofenol selama 2-5 menit. Kemudian kepala putik diletakkan pada gelas benda dan ditutup, disquash. Diamati serbuk sari yang berkecambah pada kepala putik. Pengamatan mikroskopik dengan mikroskop, viabilitas serbuk sari (%) = jumlah serbuk sari yang berkecambah dibagi dengan jumlah serbuk sari yang berkecambah dan tidak kali seratus persen (Kriswiyanti, dkk., 2010).

Metode asetolisis

Serbuk sari difiksasi dalam AGG (Asam Asetat Glasial) selama 24 jam, disentrifugasi selama 5 menit, dicuci dengan air. Air dibuang diganti dengan larutan asetolisis AAG 9 bagian dan 1 bagian asam sulfat pekat, tabung reaksi diletakkan dalam water bath yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifugasi selama 5-10 menit. Air dibuang diganti dengan glyserin jelly yang telah dicampur 1% safranin. Penutupan dan

labeling (Berlyn and Miksche, 1976). Serbuk sari diamati dengan mikroskop untuk menentukan tipe bentuk (panjang, lebar dan diameter serbuk sari) dengan menggunakan mikrometri.

Parameter serbuk sari yang diukur meliputi panjang, lebar dan diameternya dilihat secara acak dibawah mikroskop, kemudian diukur dengan menggunakan mikrometri untuk mengukur panjang axis polar dan diameter bidang equatorial yang disebut indeks P/E. Serbuk sari yang diukur berasal dari 80 butir serbuk sari yang di ambil secara acak dari 10 gelas benda.

HASIL

Tipe Bentuk dan Struktur Serbuk Sari TerataiSudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) dengan Metode Asetolisis

(21)

kelas tipe Prolate Spheroidal. Sedangkan diameternya berkisar antara 10-25µm sehingga termasuk kelompok Minuta. Berdasarkan tipe aperture termasuk kelompok Ruga (Erdtman, 1952) (gambar 1).

Gambar 1. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze)

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala; a.Aperture B. Pengukuran serbuk sari dengan menggunakan mikrometri; a. Eksin; b. Intin; c. Aperture

Viabilitas (%) Serbuk Sari Teratai Sudamala (Nymphoides Indica (L.) Kuntze) Dengan Uji Warna,

In - Vitro Dan Squash Kepala Putik

Berdasarkan hasil perhitungan viabilitas serbuk sari dari bunga teratai Sudamala sebelum mekar (Gambar 2), baru mekar dan setelah mekar dengan menggunakan metode uji warna 1% aniline blue

dalam laktofenol, in vitro dan squash kepala putik : pada uji warna serbuk sari bunga teratai Sudamala

sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar menunjukkan viabilitas yang sangat tinggi yaitu ± 100%. Pada uji in - vitro viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar± 0%, baru mekar ± 1,10% (0 - 9,40%) dan setelah mekar ±5,61% (0 - 21,56%). Pada squash kepala putik viabilitas serbuk sari bunga teratai

Sudamala dari bunga sebelum mekar ± 0%, baru mekar ± 14,44% (0 – 85,71%), dan setelah mekar ± 84,96% (70,93 – 92,45%).

Gambar 2. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dengan uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol

Keterangan: A. Serbuk sari teratai Sudamala baru mekar; B. foto serbuk sari teratai Sudamala; a. Serbuk sari viabel; b. Serbuk sari tidak viabel

c

a

b

a

A B

(22)

PEMBAHASAN

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Uji Warna

Hasil uji viabilitas serbuk sari dengan metoda uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), menunjukkan bahwa serbuk sari dari bunga teratai Sudamala

(Nymphoides indica) sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar memiliki viabilitas yang sangat tinggi yaitu ±100%. Serbuk sari bunga sebelum mekar menunjukkan viabilitas sebesar ±100%, hal ini disebabkan karena serbuk sari sel – selnya meristematik sehingga dapat menyerap warna dengan baik, namun serbuk sari belum masak. Serbuk sari masak ditandai dengan lepasnya serbuk sari dari kepala sari (anther) (Prana, 2007).

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Metoda In-vitro

Berdasarkan hasil pengamatan viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica

(L.) Kuntze) dengan metode in-vitro yaitu pada bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, bunga baru mekar sebesar 1,10% (0 - 9,40%) dan bunga setelah mekarsebesar 5,61% (0 - 21,56%). Viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar 0%, hal ini disebabkan karena serbuk sari belum masak ditandai dengan belum lepasnya serbuk sari dari dalam anther (Prana, 2007).

Beberapa faktor yang mempengaruhi perkecambahan serbuk sari secara in vitro antara lain :jenis tanaman, waktu pengumpulan serbuk sari, musim, metode pengambilan serbuk sari, penyimpanan dan kerapatan serbuk sari serta kondisi lingkungan perkecambahan seperti suhu, media, dan pH (Galleta, 1983).

Rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena komposisi dan konsentrasi media perkecambahan yang digunakankurang sesuai. Menurut Wang et al. (2004) komposisi dan konsentrasi media yang digunakan dalam uji perkecambahan serbuk sari dapat mempengaruhi viabilitas serbuk sari pada berbagai jenis tanaman. Selain komposisi dan konsentrasi media, rendahnya viabilitas serbuk sari dapat disebabkan karena suhu dan kelembaban. Pada umumnya suhu yang lebih rendah akan lebih baik bagi perkecambahan serbuk sari, namun hal ini juga tergantung dari genotip tanaman yang digunakan (Parfitt and Almehdi, 1984). Pada suhu yang rendah tidak menyebabkan perubahan kandungan air serbuk sari, karena air tersebut terikat dan tidak membeku (Widiastuti dan Endah, 2008).

Suhu dan kelembaban merupakan faktor yang sangat mempengaruhi viabilitas serbuk sari. Suhu yang baik bagi perkecambahan serbuk sari secara in vitro berkisar antara 15 - 35 oC, sedangkan suhu optimumnya adalah 25oC . Pada suhu yang terlalu tinggi yaitu berkisar antara 40 - 50oC, serbuk sari tidak akan berkecambah karena pada suhu yang terlalu tinggi maka penguapan juga akan semakin tinggi, penguapan yang terlalu tinggi dapat menyebabkan serbuk sari mengering, sedangkan apabila suhu terlalu rendah misalnya di bawah 10oC serbuk sari akan mengalami dehidrasi dan mengkerut sehingga tidak mampu berkecambah (Darjanto dan Satifah, 1990). Viabilitas serbuk sari pada sebagian besar tanaman dapat dipertahankan pada kelembaban relatif 0-30% (Setiawan dan Ruskandi, 2005).

(23)

Gambar 3. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil uji in - vitro

Keterangan: a.Serbuk sari tidak membentuk buluh (nonviabel); b. Serbuk sari membentuk buluh (viabel)

Viabilitas Serbuk Sari Dengan Squash Kepala Putik

Viabilitas serbuk sari dengan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekarmenunjukkan bahwaviabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0%, bunga baru mekar ±14,44% (0 - 85,71%) dan bunga setelah mekar±84,96% (70,93 - 92,45%). Persentase viabilitas serbuk sari dari bunga sebelum mekar sebesar ±0 %, hal ini disebabkan karena pada bunga sebelum mekar, serbuk sari belum masak sehingga tidak terjadi penyerbukan (polinasi).

Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan squash kepala putik pada bunga setelah mekar menunjukkan viabilitas yang tinggi. Menurut Lubis (1993) serbuk sari dikatakan memiliki viabilitas rendah jika persentasenya dibawah 60%. Viabilitas serbuk sari dari bunga baru mekar lebih rendah dibandingkan bunga setelah mekar hal ini disebabkan karena serbuk sari membutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses imbibisi air, garam – garam anorganik, dan sukrosa. Pada bunga setelah mekar lebih banyak serbuk sari yang sudah melakukan proses imbibisi untuk pertumbuhan buluhnya sehingga lebih banyak serbuk sari yang berkecambah dibandingkan dengan bunga baru mekar, dimana pada bunga baru mekar belum semua serbuk sari telah selesai melakukan proses imbibisi sehingga belum banyak serbuk sari yang berhasil membentuk buluh.

Faktor – faktor yang mempengaruhi keberhasilan serbuk sari dalam membentuk buluh antara lain:

reseptivitas kepala putik, kondisi serbuk sari, serta faktor luar yaitu suhu dan kelembaban. Putik yang reseptif ditandai dengan perubahan warna pada putik menjadi lebih terang, pori – pori kepala putik membesar, tangkai putik mulai lurus, putik memproduksi cairan ekstraseluler.

Gambar 6. Foto serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) hasil squash kepala putik

Keterangan : A.Serbuk sari tidak berkecambah (tidak viabel); B. Serbuk sari berkecambah (viabel). b

a

A B

(24)

Berdasarkan hasil uji viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala dengan uji warna, in vitro

dan squash kepala putik menunjukkan bahwa viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamalatertinggi pada uji warna mencapai 100% baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar, dan pada

squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala

terendah terdapat pada uji in vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%, hal ini menunjukkan bahwa penyerbukan bunga teratai Sudamala terjadi setelah bunga mekar (Kasmogami).

Teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) menurut penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya merupakan tipe bunga Self-incompatibility.Nymphoides indica (L.) Kuntze merupakan tanaman Perenial, Makrofita, Herkogami, Geitonogami, dengan tipe yang khas yaitu Heterostilidan Self incompatibility (Sibayama and Yasuro, 2003). Inkompatibilitas (incompatibility) adalah tanaman dengan serbuk sari dan bakal biji (ovulum) yang normal tidak mampu untuk membentuk biji disebabkan karena gangguan fisiologis yang menghalangi terjadinya pembuahan. Penyebab terjadinya ketidakserasian sendiri adalah : a. Butir-butir serbuk sari tidak menempel pada kepala putik, atau b. Butir serbuk sari berkecambah pada stigma atau buluh serbuk sari gagal mempenetrasi stigma (Candra, 2013).

SIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dapat dibuat kesimpulan sebagai berikut : Tipe bentuk serbuk sari teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze):bulat, prolate spheroidal, minuta dan ruga. Persentase viabilitas serbuk sari bunga teratai Sudamala (Nymphoides indica (L.) Kuntze) tertinggi pada uji warna 1% aniline blue dalam laktofenol mencapai 100%, baik dari bunga sebelum mekar, baru mekar dan setelah mekar dan pada squash kepala putik bunga setelah mekar mencapai 84,96%. Persentase viabilitas terendah pada uji in vitro dan squash kepala putik dari bunga sebelum mekar yaitu 0%, menunjukkan tipe penyerbukan Kasmogami dan teratai Sudamala termasuk tanaman perenial, makrofita,

herkogami, geitonogami, heterostilidan self incompatibility.

UCAPAN TERIMAKASIH

Kepada Bapak Drs. Pande Ketut Sutara, M. Si.dan Drs. Martin Joni, M. Si., atas masukan, kritik, dan sarannya.

KEPUSTAKAAN

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtechnigque and Cytochemistry, The Lowa State University Press. Ames. Lowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperm. Fourth Resived Edition.Vikas Publishing House.PVT.LTD. Delhi.

Budiwati, G. A. N. 2014. Manfaat Tanaman Teratai (Nymphaea sp., Nymphaeaceae) di Desa Adat Sumampan, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, Bali. Universitas Udayana. Jurnal Simbiosis, 2 (1):122-134.

Candra, A. 2013. Pemuliaan Tanaman “Self Incompatibility and Male Sterility”. Jurusan Argoteknologi

Fakultas PertanianUniversitas Riau.

(25)

Erdtman, G. 1952. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palynology I).The Chronica Co. New York.

Kriswiyanti, E., N. K. Y. Sari, dan H. R. Wahyuningtyas. 2010. Uji Viabilitas Serbuk Sari buah Naga (Hylocereus spp.) dengan Metode Pewarnaan, In-Vitro, Hanging-Droff dan Squash Kepala Putik.

Prosiding Seminar Nasional Biologi, Fakultas Biologi UGM, 568:575.

Marwat, S. K., M. A. Khan., M. Ahmad and M. Zafar. 2009. Nymphoides Indica (L.) Kuntze, A New Record For Pakistan. Department of Plant Sciences, Quaid-i-Azam University, Islamabad.

Journal Pakistan, 41(6): 2657-2660.

Ornduff, R. 1966. The Origin of Dioecism From Heterostyly in Nymphoides (Menyanthaceae). Journal Evolution. 20: 309-314.

Parfitt, D. E. and A.A. Almehdi. 1984. Liquid Nitrogen Storage of Pollen From Five Cultivated Prunus Spesies. Departement of Pomology.University of California, Davis, CA 95616. 19(1):69-70. Prana, M. S. 2007. Studi Biologi Pembungaan pada Talas (Colocasia esculenta (L.) Schott.). Pusat

penelitian Bioteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong 16911. Jurnal Biodiversitas. 8 (1): 63-66.

Setiawan dan O. Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Jurnal Teknik Pertanian. Available at :http://pustaka.litbang.deptan.go.id/publikasi/bt10105k.pdf. Opened:14.8.2012

Shivanna, K. R., H. F. Linkens and M.Cresti. 1991. Pollen Viability and Pollen Vigor. Theory Application Genetic.81: 38 – 42

Shibayama, Y.and Y. Kadong. 2003. Floral Morph Composition and Pollen Limitation in The Seed Set of

Nymphoides indica populations. Graduate School of Science and Technology and Faculty of Science, Kobe University. Japan. Ecological Research.18: 725-737

Steenis, C. G. G. J. V. 2005. Flora. Cetakan ke 5.PT Pradnya Paramita. Jakarta.

Tjitrosoepomo, G. 2005. Morfologi Tumbuhan. Cetakan ke-15.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Wang, Z., Y. Ge, M. Scott, G. Spangenberg. 2004. Viability and longevity of Pollen from Transgenic and Non Transgenic Tall Fescue (Festuca arundinacea) (Poaceae) Plants. Available at :www. Biotek.Lipi.go.id/perpus/index.php?=show detail.Opened :30.12.2013

(26)

KARAKTERISTIK DAN VIABILITAS SERBUK SARI RAGAM KELAPA (Cocos nucifera, L.) DI BALI

THE CHARACTERISTICS AND VIABILITY OF COCONUT POLLEN VARIETY (Cocos

nucifera, L.) IN BALI

Eniek Kriswiyanti

FMIPA Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Kuta

Email: eniek_kriswiyanti@yahoo.co.id

INTISARI

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa (Cocos nucifera, L.) di Bali. Sampel serbuk sari yang digunakan dalam penelitian ini 26 ragam kelapa, masing-masing ragam 3 individu. Untuk mengetahui karakteristik serbuk sari ragam kelapa digunakan metode asetolisis dan pewarnaaan 1% safra nin, untuk mengetahui viabilitas serbuk sari digunakan uji wa rna dengan 1% aniline blue dalam lactofenol. Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakter istik serbuk sari dari 26 ragam kelapa di Bali memiliki bentuk bulat - lonjong, media, monosulcate, oblat sferoidal pada kelapa Dalam (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat pada kelapa Genjah (Cocos nucifera, L.var. typica). Panjang aksis polar (P) antar a 24,15 µ m (Genjah Bulan) sampai 40,12 µ m (Coklat Biasa), diameter bidang Equatorial (E) 27,4 µ m (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat Biasa ). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) - 0,973 (Gading Bali). Rata -rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah (0,81-0,87) lebih kecil daripada kelapa Dalam (0,89-0,97). Viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dari pada kelapa Dalam, rata -rata: 41,7±7,3% (bervariasi terendah 28,51±7,5% pada kelapa Naga dan tertinggi 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan).

Kata Kunci : viabilitas, Cocos nucifera, L., monosulcate, oblat sferoidal, suboblat.

ABSTRACT

The aim of this research was to determine the characteristic and pollen viability of coconuts (Cocos nucifera L.) in Bali. Pollen viability was tested in 1% aniline blue in lactophenole, and the characteristic of pollen wa s prepared in acetolysis method and stained 1% Safranine. The result showed that the morphology of pollens from 26 coconut variances was determined as circular -oval, mediate, monosulcate, oblat sferoidal in tall coconuts (Cocos nucifera, L.var. nana), suboblat on drawf coconut (Cocos nucifera, L.var. typica). The length of the polar axis (P) ranged from 27.4 µm (Genjah Udang) to 43.6 µ m (Coklat Biasa ). P/E Indexes ranged from 0.814 µ m in Genjah Hijau to 0.9 73 µ m (Gading Bali). The pollen size of dwarf coconut was 0.81-0.87 µ m, smaller than tall coconut with the pollen size of 0.89 µ m - 0.97 µ m. Pollen viability of dwarf coconut was higher than tall coconut with the average of 41.7±7.3%, with the value of 28.51±7.5% in Naga tall and 60.6±8.8% in Bulan dwarf.

(27)

PENDAHULUAN

Hasil ekplorasi keragaman tanaman kelapa (Cocos nucifera L.) di propinsi Bali berdasarkan kegunaannya dapat dibedakan antara kelapa atau nyuh (bahasa Bali) biasa dan kelapa madan. Kelapa

biasa adalah jenis kelapa yang biasa digunakan untuk membuat bahan makanan dan kopra (minyak), sedang kelapa madan adalah jenis kelapa yang memiliki ciri morfologi khusus (unik) dengan nama sesuai ciri tersebut, diperlukan untuk bahan obat (usada) maupun sarana upakara agama Hindu. Kelapa madan umumnya menghasilkan buah per tandan sedikit dibandingkan kelapa biasa dan kelapa genjah. Keberadaannya belum banyak diketahui, sedikit diantara populasi kelapa biasa (Kriswiyanti, 2013, 2014). Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian tentang penyebab terbentuknya buah sedikit. Beberapa penyebab kegagalan terbentuknya buah dan biji pada Plase (Butea monosperma (Lamk.) Taub.) adalah struktur morfologi alat reproduksi yang tidak menunjang terjadinya penyerbukan: kepala sari lebih rendah dari kepala putik dan keduanya tertutup oleh carina. Viabilitas serbuk sari rendah, self- incompatibility

yaitu buluh serbuksari tidak mau tumbuh pada kepala putik sehingga dapat menyebabkan tidak terjadi pembuahan (Kriswiyanti dan Watiniasih, 2010). Bhojwani dan Bhadnagar (1999) mengatakan bahwa salah satu penyebab kegagalan terbentuknya buah adalah sterilitas serbuk sari. Untuk mengetahui sterilitas serbuk sari dapat dilakukan dengan uji viabilitas serbuk sari dengan uji warna atau in- vitro. Uji viabilitas serbuk sari secara in-vitro pada kelapa Rangda telah dilakukan oleh Nirmala (2013) yaitu < 3%, pada kelapa Ancak oleh Sari (2013) viabilitas lebih rendah yaitu < 2,5%. Berdasar latar belakang diatas maka penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dan viabilitas serbuk sari ragam kelapa (Cocos nucifera, L.) di Bali.

MATERI DAN METODE

Sampel serbuk sari dari 26 ragam (3 individu/ragam) kelapa yang digunakan berasal dari berbagai kabupaten di propinsi Bali. Pengamatan dan pengukuran panjang aksis polar, diameter bidang ekuitorial, untuk menentukan indek Polar/Equatorial (P/E) dari serbuk sari digunakan metode asetolisis (Erdman, 1969; Faegri dan Iversen, 1989). Sedang uji viabilitas serbuk sari menggunakan metode pewarnaan 1%

aniline blue dalam Laktofenol (Berlyne dan Miscke, 1976; Bhojwani dan Bhatnagar, 1999), sebagai berikut:

Asetolisis: serbuk sari diambil dari anther bunga mekar (1-3 individu) difiksasi dalam AAG (45%) 24 jam, sentrifuge 5 menit, kecepatan 3.500 rpm, kemudiaan dicuci air beberapa kali. Serbuk sari diasetolisis dengan campuran AAG dan asam Sulfat pekat (9:1), dipanaskan dalam water bath yang telah berisi air mendidih, biarkan tetap mendidih selama 15 menit. Setelah dingin dicuci dengan air beberapa kali, disentrifuge lagi selama 5 menit 2 x, cuci dengan air. Air dibuang diganti glyserin jelly yang telah dicampur dengan 1 % safranin, biarkan hingga kental. Pengamatan menggunakan mikroskop Merk MEIJI, perbesaran 10, 40X, masing-masing kelapa serbuk sari yang diukur 30 butir dengan menggunakan mikrometri.

Tipe bentuk serbuk sari ditentukan dengan menghitung perbandingan rerata ukuran panjang aksis Polar (P) dan diameter bidang Equatorial (E), yang disebut sebagai indek P/E menurut Erdtman (1969) sebagai berikut :

(28)

Uji Viabilitas Serbuksari : untuk uji viabilitas serbuksari digunakan dengan uji warna dengan 1% aniline blue dalam laktofenol yaitu:

Viabilitas (V) serbuk sari (%) (Bhojwani dan Bhatnagar, 1999):

Keterangan:

a = jumlah serbuk sari viabel adalah serbuk sari dengan dinding berwarna b = jumlah serbuk sari nonviabel ( dinding tidak berwarna dan mengkerut) dengan mikroskop masing-masing jenis kelapa 3 gelas benda.

HASIL

Karakteristik dan Viabilitas Serbuk sari

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk serbuk sari mulai dari bulat hingga lonjong, berukuran media, klas bentuk oblat sferoidal pada kelapa Dalam, suboblat pada kelapa Genjah, viabilitas serbuk sari kelapa Genjah lebih tinggi dibandingka pada kelapa Dalam. Data hasil penelitian ditampilkan pada Tabel 1 berikut.

Tabel 1. Karakteristik dan Viabilitas Serbuk Sari Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.)

(29)

22 Pudak 31.99±5.858 28.71 27.318 0.951

23 Genjah hijau 55.87±10.4 30.45 24.79 0.814

24 Genjah putih 60.62±8.84 27.4 23.92 0.873

25 Genjah kuning 39.025±6.39 29.58 25.23 0.852

26 Genjah coklat 48.1±10.4 27.92 24.15 0.865

Rerata 41.731±7.32 30.64±3.43 28.57±3.53 0.932±0.0406

Rerata panjang aksis polar dan diameter bidang equatorial serbuk sari 26 ragam kelapa bervariasi. Panjang aksis polar (P) antara 24,15 µm (Genjah Bulan) sampai 40,12 µm (Coklat). Diameter bidang Equatorial (E) 27,4 µm (Genjah Udang) sampai 43,6 µm (Coklat). Indek P/E = 0,814 (Genjah Hijau) - 0,973 (Gading Bali). Rata-rata ukuran serbuk sari kelapa Genjah (0,81-0,87/suboblat) lebih kecil daripada kelapa Dalam (0,89-0,97/oblat sferoidal). Contoh beberapa bentuk serbuk sari yang didapat dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Serbuk Sari pada Empat Ragam Kelapa (Cocos nucifera L. )

Keterangan: Serbuk sari empat ragam dengan ukuran bervariasi, A. Serbuk sari kelapa Dalam Coklat

dengan SEM, bercahaya menunjukkan serbuk sari viabel (800x), B. a.Serbuk sari viable kelapa Bluluk, perbesaran 400X, b. serbuk sari non viabel, c. apperture C. Serbuk sari kelapa Rangda dengan dinding eksin dan intin jelas, D. Serbuk sari Genjah Gading dengan ukuran lebih kecil dari serbuk sari kelapa Dalam.

Hasil uji viabilitas serbuk sari kelapa secara umum rata-rata dibawah 50% yaitu: 41,7 ± 7,3% (28,51±7,5% pada kelapa Naga sampai 60,6±8,8% pada kelapa Genjah Bulan), viabilitas tertinggi pada kelapa Dalam: kelapa Udang (48,93± 4,08%) (Table 1, Gambar 2).

a b

A

B

c

C

D

A

30,18µm

25,5 µm

(30)

Gambar 2. Viabilitas Serbuk Sari dari 26 Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.) di Bali

PEMBAHASAN

Menurut Erdman (1965) dan Mulyani (2006) jika serbuk sari memiliki indek P/E antara 0,8-1,0 tergolong klas tipe bentuk oblat sferoidal, berdasar diameter bidang ekuatorialnya = 29,6 µm (25-50 µm) digolongkan dalam serbuk sari media. Berdasar jumlah dan bentuk aperture : satu seperti alur memanjang termasuk serbuk sari monosulcate (Dransfield, et al., 2008).Rata-rata indek P/E hasil penelitian ini lebih besar dari indek P/E menurut Erdmund (1969) indek P/E Cocos nucifera L. <0,8 sehingga digolongkan dalam tipe bentuk oblat, tetapi berdasar jumlah dan bentuk aperture sama yaitu monosulcate.

Armendariz, et al (2006) fertilitas serbuk sari tanaman kelapa sangat menentukan keberhasilan terbentuknya buah. Berbeda dengan Armendariz, et al (2006), Ranasanghe, et al (2010) menyatakan bahwa keberhasilan fruit set selain tergantung oleh kualitas serbuk sari dan persentase perkecambahan serbuk sari, proses pertumbuh an buluh serbuk sari juga berperan dalam keberhasilan pembuahan.Hasil Penelitian Setiawan dan Ruskandi (2005) viabilitas serbuk sari dari tiga kultivar kelapa Dalam Tenga (DTA), Dalam Bali (DBI), dan Dalam Palu (DPU) setelah disimpan 24 minggu masih baik, dan dapat digunakan untuk persilangan karena viabilitasnya di atas 30%. Namun sampai berapa lama viabilitas serbuk sari kelapa tersebut dapat bertahan dalam penyimpanan perlu diteliti lebih lanjut.

Hasil penelitian Ranasinghe et al (2010) pada 6 kultivar kelapa di Sri Lanka menunjukkan bahwa persentase viabilitas serbuk sari tergantung dari letak spikelet bagian mana sampel serbuk sari diambil, apakah bagian ujung, tengah, atau pangkal. Viabilitas serbuk sari kelapa Dalam San Ramon dengan sampel serbuk sari dari spikelet bagian ujung rata-rata viabilatasnya: 77,7%, spikelet bagian tengah 64, 26% dan spikelet bagian angkal aling rendah . Pada te erature aksi al rata-rata viabilitas menurun menjadi hanya 11%.

SIMPULAN

(31)

KEPUSTAKAAN

Armendariz, B.H.C., C.Oropeza , J. L. Chan,. B. Maust, N. Torres, C.D.C Aguilar and L. Sáenz. 2006. Pollen Fertility and Female Flower Anatomy Of Micro propagated Coconut Palms, Rev. Fitotec. Mex. 29 (4) : 373-378.

Berlyn, G. P. and J. P. Miksche. 1976. Botanical Microtachnique and Cytochemistry. The Iowa State University Press Ames. Iowa.

Bhojwani, S. S. and S. P. Bhatnagar. 1999. The Embryology of Angiosperms. Third Rivised Edition. Vikas Publishing House P.V.T., LTD., New Delhi.

Erdtman. G.1969. Handbook of Palinology. Morfology - Taxonomy - Ecology. An Introduction to Study of Pollen Grains and Spores. Hapner Publishing CO. New York.

Erdtman. G. 1972. Pollen Morphology and Plant Taxonomy Angiosperms (An Introduction to Palinology I). The Chronica Botanica Co.Waltham.

Faegri, K and J. Iversen. 1989. Texbook of Pollen Analysis. 4 th Edition (Revised by Faegri, Kaland, K and Krzywinski, P.E.) John Wiley & Sons Ltd Chichester.

Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa (Cocos nucifera L. ) yang digunakan sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII (1) 2013:15-19

Kriswiyanti, E, 2014.Karakteristik Ragam Kelapa (Cocos nucifera, L) di Bali Berdasarkan Morfologi, Anatomi dan Molekuler. Ringkasan Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar

Sari N. L. G. C., E. Kriswiyanti, dan N. N. Darsini. 2013. Perkembangan Mikro gametofit dan Uji Viabilitas Serbuk Sari Kelapa (Cocos nucifera L.”Ancak” Jurnal Simbiosis 1 (1) 2013:51-58 Nirmala S., E. Kriswiyanti dan A. A. K. Darmadi. 2013. Uji Viabilitas Serbuk Sari Secara in-vitro Kelapa

(Cocos nuciferaL.”Rangda” dengan waktu dan suhu Penyi anan yang Berbeda. Simbiosis 1 ( 1 ) 2013: 59-69

Ranasinghe C. S., K. P. Waidyarathna, A. P. C. Pradeep and M. S. K. Meneripitiya. 2010. Approach to Screen Coconut Varieties for High Temperature Tolerance by in-vitro Pollen Germination.

J.Cocos 19 : 01-11

Rhee, H. K., H. R Cho, K. J. Kim, and K. S. Kim. 2005. Comparison of Pollen Morphology in Interspecific Hybrid Lilies after In-Vitro Chromosome Doubling. Acta Hort.673 : 639-643. Setiawan, O dan Ruskandi. 2005. Teknik Penyimpanan Serbuk Sari Tiga Kultivar Kelapa Dalam. Buletin

(32)

TANGGAP TANAMAN KEDELAI TERHADAP PEMBERIAN EKSTRAK KRANDALIT, FRAKSI HUMAT, DAN MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI

RESPONSE OF SOYBEAN DUE TO APPLICATION OF CRANDALLITE EXTRACT, HUMIC FRACTION AND MOLIBDENUM (Mo) PADA INCEPTISOLS PRAFI MANOKWARI

Ishak Musaad, Dwiana Wasgito Purnomo, Murtiningrum, Yohanis Amus Mustamu Fakults Pertanian dan Teknologi Pertanian, Universitas Negeri Papua Manokwari

Email: ishakmusaad@yahoo.com

INTISARI

Lahan pertanian di Indonesia termasuk di Papua Barat umumnya membutuhkan pemupukan fosfor (P) untuk memperoleh hasil tanaman yang optimal. Peneltian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh pemberian ekstrak krandalit, fraksi humat dan unsur mikro Molibdenum (Mo) sebagai pupuk fosfat cair-plus terhadap produksi kedelai pada Inceptisols Prafi Manokwarit. Penelitian terdiri atas dua tahap yaitu: 1) formulasi pupuk fosfat cair dari ekstr ak tanah endapan fosfat krandalit asal Ayamaru Kabupaten Maybrat, fraksi humat dan penambahan unsur mikro Mo. 2). Penentuan dosis optimum dari pupuk fosfat cair-plus yang dhasilkan dan dibandingkan dengan pupuk NPK, NASA, Papua Nutrient, dan krandalit pada t yang diperkaya dengan bahan organik. Penelitian di Lapangan dirancang berasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan 10 perlakuan (0, 20, 30, 40, 50, 60 Lha-1 ) pupuk fosfat cair -plus yang dihasilkan dari penelitian tahap kesatu, dan empat jenis pupuk pemband ing. Masing-masing perlakuan diulang tiga kali sehingga diperoleh 30 satuan percobaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian pupuk fosfat cair -plus yang terdiri atas 60% ekstrak krandalit, 30% fraksi humat, dan 10% unsur mikro Mo pada berbagai dosis meningkatkan bobot kering tanaman, jumlah nodul, dan hasil kedelai (t ha-1). Dosis optimum yang dihasilkan adalah 30 Lha-1 dapat meningkatkan produksi kedelai dari 1,60 t ha-1 menjadi 2,04 t ha-1 pada tanah Inceptisol Prafi Manokwari.

Kata kunci; kranda lit, fosfat, humat, Mo, kedelai

ABSTRACT

Agricultural lands in West Papua commonly require fertilization of Phosphate (P) to attain optimum plant yield. The aims of this resea rch were to study the effect crandallite extract application, combined with humic fraction and Molibdenum (Mo) as fertilizers toward soybean production on Inceptisols Manokwari. The target is to obtain optimum dose recommendation of -liquid phosphate plus fertilizer for soybean on acid Inceptisols. The study were arranged on two pha ses: 1) the production of plus liquid fertilizer formula of sediment soil extract of crandallite phosphate (CPSS) from Ayamaru, cow feces extract, and additional of micro element Mo. 2) Determine of optimum dosage, production, and quality of soybean product by treatment of plus liquid fertilizer formula in the preliminary phase. The field experiments utilised Randomize Block Design with 10 treatments (0, 20, 30, 40, 50, 60 L ha-1 of P-plus liquid fertilizer, NASA, NPK,Papua Nutrient (PN), and Crandllite Phosphate Sediment Soil+ organic matter. Each treatment unit wa s replicated so its produced 30 experiment units. Result showed that P-plus liquid fertilizer (60% crandallite extract: 30% humic fraction, and 10% Mo) application at different level increased dry matter, nodule, and result of soybean (t ha-1). Optimum dose of resulting plus liquid phosphate fertilizer is 30 L ha-1.

(33)

PENDAHULUAN

Konsumsi kedelai terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, sehingga sebagian besar harus diimpor karena produksi di dalam negeri belum mencukupi kebutuhan. Pada tahun 2009 kebutuhan konsumsi kedelai nasional adalah sebesar 1,97 juta ton, sedangkan produksi dalam negeri sebesar 0,92 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2012, produksi kedelai lokal tahun 2011 sebesar 851,29 ribu ton atau 29 persen dari total kebutuhan nasional. Salah satu yang menjadi penyebab rendahnya produktivitas kedelai adalah rendahnya produktivitas lahan pertanian terutama di luar Pulau Jawa termasuk di Provinsi Papua Barat. Produktivitas kedelai di Papua Barat sangat rendah yaitu kurang dari 1,0 ton ha-1.

Lahan pertanian di Papua Barat umumnya didominasi oleh tanah mineral masam yaitu Ultisols dan Inceptisols yang berkendala ganda terutama defisiensi hara fosfor (P), rendahnya bahan organik dan beberapa hara mikro terutama Molibdenum (Mo). Usaha peningkatan produksi kedelai di Papua Barat melalui pemupukan berimbang pada tanah Inceptisols mutlak diperlukan. Provinsi Papua Barat memilki salah satu sumberdaya alam yaitu Tanah Endapan Fosfat Krandalit (TEFK) seluas lebih dari 100 ribu hektar dan sumberdaya organik yang dapat diproses menjadi pupuk fosfat-plus. Kajian tentang pemanfaatan endapan fosfat krandalit dan kotoran ternak untuk diproses menjadi pupuk padat dan cair menghasilkan nutrient tanaman lengkap telah dilakukan dengan menghasilkan produk pupuk “Papua Nutrient” (Musaad, 2011). Ekstrak krandalit yang kaya akan P dan hara mikro Fe, Cu, Zn dan Mn dapat digunakan sebagai nutrisi tanaman. Hasil penelitian tersebut telah memperoleh hak paten sehingga perlu dikembangkan lebih lanjut. Penelitian yang akan dilakukan adalah untuk mengetahui keefektifan pupuk fosfat cair–plus dari ekstrak krandalit, fraksi humat pada tanaman kedelai dengan penambahan unsur Mo, karena Mo berperan penting dalam reaksi enzimatik pembentukan bintil akar dalam fiksasi N sehingga mengurangi penggunaan pupuk N dan meningkatkan konsentrasi asam-asam amino.

Formulasi pupuk yang sesuai dengan kebutuhan tanah dan tanaman kedelai dengan memanfaatkan bahan baku lokal seperti Tanah Endapan Fosfat Krandalit dan bahan organik di Papua Barat merupakan salah satu kajian yang sangat penting dan sangat strategis untuk meningkatkan produktivitas kedelai. Keluaran penelitian ini dapat menghasilkan pupuk untuk tanaman kedelai sehingga dapat mengurangi penggunaan pupuk-pupuk impor yang harganya relatif mahal serta sulit diperoleh petani.

Pertanian organik yang dianjurkan pemerintah saat ini tidak sepenuhnya dapat diterapkan oleh petani karena berbagai kendala. Input pupuk organik untuk memenuhi kebutuhan hara tanaman kedelai pada lahan-lahan yang tidak subur diperlukan takaran tinggi berkisar 10 – 20 ton per hektar karena konsentrasi hara N, P, K, dan hara mikro yang terkandung dalam bahan organik sangat rendah, meskipun bahan organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah lainnya. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk organik perlu dimodifikasi dengan pupuk cair anorganik yang bersumber dari bahan baku lokal untuk memenuhi kebutuhan hara bagi tanaman kedelai. Dalam penelitian ini akan dikaji tanggap tanaman kedelai terhadap pemberian formula pupuk dari ekstrak krandalit, fraksi bahan organik dan Molibdenum (Mo) sehingga dapat meningkatkan produksi kedelai di Papua Barat, khususnya di Kabupaten Manokwari. Hasil formulasi ekstrak krandalit yang kaya akan hara P disertai penambahan fraksi humat dari kotoran ternak dan unsur mikro Mo dalam penelitian ini disebut pupuk fosfat cair-plus. Bagaimana tanggap tanaman kedelai terhadap pemberian formula pupuk fosfat cair-plus dari ekstrak krandalit, fraksi humat dan Mo pada tanah Inceptisols Prafi Manokwari, maka penelitian ini perlu dilakukan.

Gambar

Gambar 2. Viabilitas Serbuk Sari dari 26 Ragam Kelapa (Cocos nucifera L.) di Bali
Gambar 4 . Pengaruh Perlakuan Media Tumbuh dan Varietas terhadap Jumlah Tunas P.tectorius
Gambar 6. Pengaruh Perlakuan  Media Tumbuh dan Varietas terhadap Jumlah Daun Anakan P.tectorius
Gambar 8. Berkas pengangkut pada batang M vaginalis
+7

Referensi

Dokumen terkait