• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Sesar Naik Panangisan Pada Cekungan Barito Selatan, Kalimantan Selatan.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembentukan Sesar Naik Panangisan Pada Cekungan Barito Selatan, Kalimantan Selatan."

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

Executive Summary

PEMBENTUKAN SESAR NAIK PANANGISAN PADA CEKUNGAN BARITO SELATAN, KALIMANTAN SELATAN

Oleh:

Nadhirah Seraphine1, Yoga Andriana Sendjaja2, Ismawan2, Aristo Getriadi3 1

Student at Dept. of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang 2

Lecture at Dept. of Geological Engineering, Padjadjaran University, Jatinangor, Sumedang 3

Altar Resources, S.A. SARI

Penelitian ini membahas tentang pembentukan sesar naik Panangisan pada Cekungan Barito Selatan, Kalimantan Selatan. Data yang digunakan adalah data pemetaan geologi lapangan berupa litologi dan pengukuran kekar, data seismik 2D, dan citra DEM SRTM. Metoda yang digunakan adalah metode pemetaan geologi lapangan, interpretasi citra DEM SRTM, interpretasi seismik, dan analisis stereogram, analisis petrografi, dan analisis paleontologi. Hasil analisis menunjukkan bahwa sesar naik Panangisan terbentuk akibat proses inversi.

Kata Kunci: Sesar naik, Cekungan Barito, Inversi

ABSTRACT

The research is the forming of Panangisan reverse fault in South Barito Basin, South Borneo. This research used the data of field geological mapping such as lithology and fracture measurements, 2D seismic and DEM-SRTM image. The method used are field geological mapping, DEM-SRTM image interpretation, seismic interpretation, and analysis of stereograms, petrographic analysis, and analysis of paleontology. The analysis showed that Panangisan reverse fault formed by the inversion process.

Keyword: Reverse Fault, Barito Basin, Inversion PENDAHULUAN

Cekungan Barito terletak di

provinsi Kalimantan selatan, memiliki

sejarah geologi yang kompleks. Cekungan

Barito dipercaya memiliki potensi

kandungan hidrokarbon dengan Formasi

Tanjung yang berperan sebagai Source Rock (batuan induk) sekaligus Reservoir pada cekungan barito. Hal tersebut

dikarenakan terjadinya berbagai fase

tektonik yang berkembang pada cekungan

barito memunculkan rangkaian sesar naik

yang berpotensi sebagai trap atau jebakan

bagi hidrokarbon yang bermigrasi dari

batuan induk (Kusuma dan Darin, 1989).

Rangkaian sesar naik yang berada

di cekungan barito merupakan hasil

reaktivasi atau inverse sehingga awal mulanya pada periode tektonik

ekstensional (Rifting) terbentuk sesar

normal, dan pada periode kompresional

(Collision) sesar normal yang sebelumnya

terbentuk terangkat ke permukaan

(Satyana & Silitonga, 1994). Sesar naik

Panangisan adalah struktur geologi yang

(2)

sehingga proses keterbentukannya, rezim

tektonik yang mempengaruhinya, serta

struktur geologi lain yang terbentuk pada

daerah penelitian menjadi penting untuk

diketahui. Adapun hasil akhir penelitian

yang diharapkan adalah model tektonik

dan struktur geologi wilayah Rantau.

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiografi Regional

Berdasarkan kenampakan fisik dan

struktural Van Bemmelen (1949) membagi

fisiografi di bagian tenggara pulau

Kalimantan menjadi 4, yakni:

1. Samarinda Antikilinorium

Merupakan zona rangkaian lipatan yang

berarah baratdaya hingga timurlaut (sumbu

lipatan paralel dengan garis pantai).

Melengkung kearah timur yaitu Teluk

Sangkulirang. Rangkaian ini terbentuk

akibat gravitasional tectogenesis sedimen tersier yang bersifat plastis ketika terjadi

pengangkatan di batas Kalimantan Tengah

dan tengah Pulau Laut, akan tetapi lipatan

tersebut terutama akibat adanya subsidence

dan sedimentasi sumbu cekungan.

2. Pegunungan Meratus

Pegunungan Meratus merupakan

pegunungan yang berarah timurlaut hingga

baratdaya dan memisahkan Cekungan

Barito dan Tanah Bumbu. Memiliki batuan

paling tua berumur pra-Mesozoik yaitu

sekis kristalin dan kemudian menjadi

komponen pada sedimen laut dalam yang

lebih muda (Jura hingga Kapur). Pada

bagian tengah zona, didominasi oleh

batuan plutonik berumur Kapur. Pada

daerah disekitarnya, umumnya ditutupi

oleh sedimen tersier yang terdiri dari

batupasir kuarsa, konglomerat, lempung

hingga lanau, batubara dan batugamping

pasiran.

3. Pulau Laut

Batuan pra-Tersier yang tersingkap di

Pulau Laut terdiri dari batuan

metasedimen, peridotit, konglomerat

polimik, dan batuan intrusi porfiri.

Kemudian dijumpai ketidakselarasan

antara batuan pra-tersier dengan batuan

yang memiliki umur Eosen. Ketika jaman

Tersier, daerah ini didominasi oleh fasies

laut, karena daerah ini masih ditutupi oleh

air laut. Daerah ini terangkat pada Neogen

akhir dan pengangkatan ini memicu

terjadinya struktur lipatan pada sedimen di

Tenggara Kalimantan. Pada Kuarter,

puncak dari tinggian ini tererosi dan

membentuk Palung Makasar. Hal ini yang

menyebabkan tidak menerusnya daratan

Tersier antara Sundaland dan Sulawesi.

4. Vulkanik Subresen.

Daerah ini terletak di selatan Pulau Laut

yang merupakan hasil dari produk

(3)

Penyebarannya luas, dikarenakan daerah

ini hanya setempat disekitar selatan Pulau

Laut.

Berdasarkan klasifikasi diatas,

maka daerah penelitian termasuk kedalam

fisiografis pegunungan Meratus.

Stratigrafi Regional

Secara stratigrafi, batuan yang

tersingkap di daerah penelitian, berurutan

dari tua ke muda (Tabel 1) sebagai berikut

(Sikumbang & Heryanto, 1994) :

1. Formasi Pitanak

Formasi Pitanak memiliki ketebalan

sekitar 500 m. Batuan penyusun formasi

ini adalah lava andesit berwarna segar

kelabu dan warna lapuk coklat, porfiritik

dengan fenokris plagioklas, umumnya

terdapat kekar yang terisi mineral zeolit,

kuarsa dan seladonit serta berstruktur

bantal. Berasosiasi dengan

breksi-konglomerat vulkanik dengan komponen

andesit-basal porfiri dan massa dasar

batupasir gunungapi. Formasi ini tersikap

di bagian baratlaut Pegunungan Meratus

sampai melanjut ke Lembar Amuntai yang

dikenal sebagai Formasi Haruyan.

2. Formasi Tanjung

Formasi Tanjung memiliki ketebalan

kurang lebih 750 m. Batuan penyusun

formasi ini adalah batupasir kuarsa

berbutir halus sampai kasar dengan tebal

perlapisan 30-150 cm, berstruktur sedimen

perairan halus dan perlapisan silang siur

dengan sisipan batulempung berwarna

kelabu menyerpih yang biasa dijumpai di

bagian atas formasi. Sisipan batubara

setebal 50-150 cm berwarna hitam,

mengkilat, pejal dan terdapat lensa

batugamping yang mengandung kepingan

moluska, echinoid dan foraminifera besar

biasa dijumpai di bagian bawah formasi.

Selain itu terdapat foraminifera bentos dari

keluarga Millolidae yang menunjukkan

umur Eosen yang terendapkan di

lingkungan paralik-litoral (zona transisi).

3. Formasi Berai

Formasi Berai memiliki ketebalan

sekitar 1000 m. Batuan penyusun formasi

ini adalah batugamping berwarna putih

kelabu, berlapis baik dengan ketebalan 20 – 200 cm, kaya akan koral, foraminifera dan ganggang. Kumpulan foraminifera

besar yang terdapat dalam formasi ini

adalah Nummulites fichteli (Michelotti), Heterostegina sp., Rotalia sp., Lepidocyclina (Eulepidina) sp., yang menunjukkan umur Oligosen Awal -

Miosen Awal. Selain itu, formasi ini

terendapkan dalam lingkungan neritik.

4. Formasi Warukin

Formasi Warukin memiliki ketebalan

sekitar 1250 m. Batuan penyusun formasi

ini adalah perselingan antara batupasir

(4)

konglomeratan (5-30 cm) dan

batulempung dengan sisipan batulempung

pasiran dan batubara (20-50 cm) yang

terendapkan dalam lingkungan paralik.

Dari fosil foraminifera yang terkandung

dalam batulempung pasiran menunjukkan

umur nisbi akhir Miosen Awal – Miosen

Struktur geologi dari Cekungan Barito

dikontrol oleh dua elemen tektonik utama,

yaitu Zona Pegunungan Meratus dan Sesar

Adang yang berorientasi WNW-ESE dengan pergerakan mengiri (Kusuma dan

Darin,1989). Adapun tiga periode tektonik

utama yang mempengaruhi struktur pada

Cekungan Barito adalah :

1. Pemekaran Paleogen (rezim tensional),

2. Pengangkatan Zona Meratus pada

Miosen Tengah, serta

3. Sesar naik dan perlipatan pada

Pliosen-Plistosen.

Pada sudut pandang struktur, Cekungan

Barito merupakan cekungan asimetris yang

terdiri atas slope dengan kemiringan kearah timur pada bagian barat dan

pencuraman secara kasar mendekati Zona

Meratus. Pada bagian timur dari cekungan

ini terpisah dari batuan pre-tersier

diakibatkan oleh adanya sesar naik dengan

dipping yang curam. Sesar ini juga yang memisahkan Cekungan Barito dengan

Cekungan Asem-Asem dan Cekungan

Pasir. Pada bagian selatan dari cekungan

hanya muncul satu sesar naik yang

mengikutkan batuan pra-Tersier yang

mana semakin menghilang kearah selatan.

Jumlah sesar naik semakin bertambah

kearah Utara membentuk thrust-belt. Dan pada bagian utara tredapat Sesar Adang

yang memisahkan Cekungan Barito

dengan Cekungan Kutai (Gambar 2).

Tektonik

Cekungan Barito memiliki sejarah

tektonik yang kompleks, hal ini

dikarenakan pada proses keterbentukan

cekungan tersebut mengalami beberapa

kali periode tektonik. Namun beberapa

penelitian mengenai periode tektonik yang

berlangsung hingga saat ini belum

menghasilkan suatu kesepakatan karena

berbagai perbedaan analisis dan

interpretasi dari masing-masing peneliti.

Berikut ini merupakan ringkasan periode

tektonik (Tabel 2) menurut Satyana &

Silitonga (1994).

Teori Tektonik Inversi

(5)

berubah menjadi sesar naik (thrust fault)

atau reverse fault. Pada periode inversi, suatu sistem geologi regional yang

terbentuk pada masa rifting (extensional) “dimampatkan” kembali dalam hal ini memendek karena tekanan yang terjadi

selama periode inversi (gaya

kompresional) dan menyebabkan sesar

normal yang terbentuk pada masa

ekstensional mengalami displacement dan berubah menjadi sesar naik atau reverse fault. Hal tersebut dapat dikenali dari kenampakan geologi yang unik baik pada

permukaan maupun dibawah permukaan,

namun masih dapat dijelaskan secara

sederhana.

Pada (Gambar 2) terlihat proses

terjadinya inversi dengan A, B dan C

adalah sikuen stratigrafi dimana A adalah

endapan prerift, B adalah endapan synrift, dan C adalah endapan postrift. (A) sesar normal yang terbentuk selama rezim

ekstensional, deformasi menyebabkan

terbentuknya offset pada sikuen yang lebih

tua (unit A dan basement). (B) inversi pada

rezim kompresional mengaktifkan kembali

sesar normal dengan kondisi bahkan dapat

melewati posisinya dalam keadaan

sebelum deformasi terjadi, dan mendorong

hingga ke atas permukaan (Williams,

Powell, dan Cooper, 1989 dalam Davis

dan Reynolds, 1996).

METODOLOGI PENELITIAN

Objek penelitian meliputi

unsur-unsur struktur geologi dan indikasinya

yang dapat digunakan untuk menentukan

jenis dan pola struktur geologi agar

kemudian dapat diolah dan dianalisis lebih

lanjut dalam menentukan struktur geologi

yang berkembang pada daerah penelitian

serta sejarah tektoniknya. Adapun dalam

penelitian ini digunakan metode pemetaan

geologi lapangan, interpretasi citra DEM

SRTM, interpretasi seismik, dan analisis

stereogram, analisis petrografi, dan analisis

paleontologi.

HASIL PENELITIAN

Stratigrafi Daerah Penelitian

Penyusunan stratigrafi dalam

penelitian ini didasarkan pada

litostratigrafi tidak resmi, antara lain atas

dasar ciri litologi, keseragaman gejala

geologi, dan gejala lain setiap satuan

batuan. Selain itu aplikasi dari hukum

superposisi digunakan dalam penentuan

urutan-urutan stratigrafi daerah penelitian.

Hukum superposisi menyatakan bahwa

batuan yang berumur lebih muda berada di

atas batuan yang berumur lebih tua dengan

ketentuan lapisan batuan tersebut masih

normal atau belum mengalami proses

pembalikan.

Kontak antar satuan batuan yang

(6)

ditemukan karena telah tertutup oleh

vegetasi ataupun tanah akibat proses

pelapukan yang tinggi di daerah penelitian.

Karena itu, sebagian batas satuan batuan

ditarik atas pertimbangan topografi dengan

memanfaatkan data DEM (Digital

Elevation Map) dan kedudukan pola jurus

perlapisan batuan serta dominasi batuan.

Analisis paleontologi juga dimanfaatkan

untuk eksistensi atau keberadaan fosil

dalam hal membantu penentuan umur

relatif batuan.

Berdasarkan hal tersebut, daerah

penelitian terbagi atas empat satuan batuan

dari tua ke muda, yaitu :

Satuan Andesit

Satuan andesit terdiri atas batuan

beku andesit. Secara megaskopis memiliki

karakteristik litologi berwarna segar abu

terang, warna lapuk abu kecoklatan,

tekstur porfiritik, bentuk kristal

subhedral-anhedral, hipidiomorf, hipokristalin,

terdapat mineral plagioklas, piroksen,

kuarsa dan biotit serta terdapat urat yang

terisi kalsit. Berdasarkan Travis (1955),

nama batuan ini adalah porfiri andesit.

Berdasarkan karakteristik batuan yang

ditemukan di lapangan dan hasil analisis

petrografi, satuan ini dapat disebandingkan

dengan Formasi Pitanak menurut peneliti

terdahulu, dapat disimpulkan bahwa umur

dari satuan andesit adalah Kapur.

Berdasarkan hasil rekonstruksi data

lapangan, maka hubungan satuan andesit

dengan satuan batupasir kuarsa yang

berada di atas satuan ini adalah tidak

selaras, karena terjadinya peristiwa

tektonik pada akhir Pre-Tersier sehingga

terbentuk hiatus.

Satuan Batupasir Kuarsa

Satuan batupasir kuarsa terdiri dari

batupasir sisipan batulanau dan batubara.

Secara megaskopis batupasir memiliki

warna lapuk abu kecoklatan, warna segar

abu terang, ukuran butir halus - menengah,

bentuk butir membundar-menyudut

tanggung, non-karbonatan, serta di

beberapa stasiun terdapat struktur sedimen

seperti wavy lamination dan lenses.

Batulanau di satuan ini menjadi sisipan

dengan warna lapuk abu kehijauan, warna

segar abu terang, non-karbonatan,

menyerpih, dapat dicungkil dengan palu.

Sementara batubara juga ditemukan

sebagai sisipan. Berdasarkan Pettijohn

(1975) batuan diatas bernama Quartz

Arenite. Berdasarkan karakteristik batuan

yang ditemukan di lapangan dan hasil

analisis petrografi, satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Tanjung

menurut peneliti terdahulu, dapat

disimpulkan bahwa umur dari satuan

batupasir kuarsa adalah Eosen dengan

lingkungan pengendapan transisi.

Hubungan stratigrafi satuan batupasir

(7)

dibawahnya adalah tidak selaras akibat

adanya proses tektonik pada akhir

Pre-Tersier sehingga terbentuk hiatus dan

hubungan dengan satuan batugamping

yang berada di atasnya juga tidak selaras

akibat proses transgresi, sehingga

lingkungan pengendapan transisi berubah

menjadi lingkungan pengendapan laut

dangkal.

Satuan Batugamping

Satuan Batugamping ini secara

megaskopis memiliki warna lapuk abu

kehijauan, warna segar abu terang, matrix

supported, matriks berupa micrite

berukuran pasir pasir sangat halus – halus,

permeabilitas buruk, terdapat mineral

kalsium karbonat (CaCO3), kekerasan

kompak. Berdasarkan Dunham, (1962)

batuan diatas bernama Wackestone.

Berdasarkan hasil analisis fosil, pada

satuan batugamping ditemukan beberapa

fosil foraminifera besar yang dapat

digunakan untuk mengetahui umur satuan

ini (Tabel 4.1). Dalam penentuan

lingkungan pengendapan, menurut Haak

(1955) dapat diketahui dari keberadaan

foraminifera besar. (Gambar 4.5). Dengan

keberadaan foraminifera besar yaitu

Lepidocyclina sp dan Spiroclypeus sp

maka lingkungan pengendapan satuan ini

adalah laut dangkal dengan kedalaman

sekitar 60 meter di bawah permukaan laut.

Jika disebandingkan dengan peneliti

terdahulu, maka satuan batugamping ini

sebanding dengan Formasi Berai

(Sikumbang dan Heryanto, 1994), dapat

disimpulkan bahwa umur dari satuan

batugamping ini adalah Oligosen akhir –

Miosen awal dengan lingkungan

pengendapan adalah neritik (laut dangkal).

Berdasarkan hasil rekonstruksi data

lapangan, satuan batugamping ini

mempunyai hubungan stratigrafi tidak

selaras dengan satuan batupasir kuarsa

yang berada di bawahnya karena

terjadinya proses transgresi, sehingga

lingkungan pengendapan transisi berubah

menjadi lingkungan pengendapan laut

dangkal. Satuan batugamping juga

memiliki hubungan tidak selaras dengan

satuan batupasir sisipan batubara akibat

proses regresi yang menyebabkan

perubahan lingkungan pengen dapan laut

dangkal menjadi lingkungan pengendapan

paralik.

Satuan Batupasir Sisipan Batubara

Satuan batupasir sisipan batubara

terdiri dari perselingan batupasir kasar dan

halus dengan sisipan batubara. Secara

megaskopis batupasir memiliki warna

lapuk putih kecoklatan, warna segar putih,

ukuran butir kasar – sangat halus, bentuk

butir menyudut-menyudut tanggung,

permeabilitas baik, kemas terbuka,

pemilahan buruk, non-karbonatan.

(8)

memiliki warna lapuk hitam kecoklatan,

warna segar hitam, kilap buruk, getas,

tebal 15 - 180cm. Berdasarkan Pettijohn

(1975) dalam batuan diatas bernama Lithic

Graywacke. Berdasarkan karakteristik

batuan yang ditemukan di lapangan dan

hasil analisis petrografi, satuan ini dapat

disebandingkan dengan Formasi Warukin

menurut peneliti terdahulu, dapat

disimpulkan bahwa umur dari satuan

batupasir sisipan batubara ini adalah

Miosen awal – Miosen Tengah dengan

lingkungan pengendapan paralik.

Berdasarkan hasil rekonstruksi di

lapangan, satuan batupasir sisipan batubara

memiliki hubungan stratigrafi tidak selaras

dengan satuan batugamping yang berada di

bawahnya akibat dari proses regresi yang

menyebabkan perubahan lingkungan

pengendapan laut dangkal berubah

menjadi lingkungan pengendapan paralik..

Struktur Geologi Daerah Penelitian

Analisis keterdapatan struktur

geologi pada daerah penelitian dilakukan

berdasarkan indikasi struktur yang

ditemukan di lapangan, seperti hasil

pengukuran jurus kekar. Selain itu,

interpretasi struktur geologi juga didukung

oleh pola-pola kelurusan yang terlihat pada

citra DEM dan kenampakan di lapangan.

Struktur geologi yang berkembang pada

daerah meliputi:

Kekar

Kekar adalah struktur rekahan pada

batuan yang tidak mempunyai atau relatif

sedikit sekali terjadi pergeseran. Struktur

kekar ini terbentuk akibat gaya tensional

dari aktifitas tektonik yang terjadi pada

periode tektonik Eosen, dan gaya

kompresional dari aktifitas tektonik yang

terjadi pada periode tektonik Miosen.

Struktur kekar yang ditemukan pada

daerah penelitian umumnya berkembang

pada satuan andesit, dan satuan

batugamping. Terdapat 2 jenis kekar yang

berkembang, yaitu:

1. Kekar Tarik, dengan kenampakannya

kekar ini di lapangan berupa

rekahan-rekahan dengan pola yang cenderung tidak

teratur. Pada beberapa bagian,

bidang-bidang rekahan dari kekar ini terisi oleh

mineral kalsit dan kuarsa.

2. Kekar Gerus, dengan kenampakannya di

lapangan berupa rekahan-rekahan dengan

pola yang cenderung teratur.

Sesar

1. Sesar Naik Nanawan

Sesar Nanawan berkembang di

(9)

pola kelurusan timurlaut - baratdaya. Sesar

ini dikategorikan sebagai sesar naik yang

mengangkat satuan andesit yang berumur

Kapur Akhir tersingkap ke permukaan.

Indikasi-indikasi yang menunjukkan

keberadaan sesar tersebut adalah:

- Adanya pola kelurusan yang teramati

pada citra SRTM.

- Keberadaan kekar gerus pada stasiun B.5.

Berdasarkan proyeksi stereografis data

kekar tersebut, tegasan yang terdekat dengan pusat bidang stereografis adalah σ3 yang menandakan pergerakan naik.

Sesar ini searah dengan perlapisan

dan merupakan bidang batas antara satuan

batuan andesit dan satuan batupasir kuarsa,

berumur Miosen Awal dan

diinterpretasikan terbentuk akibat gaya

kompresional berarah relatif

baratlaut-tenggara.

2. Sesar Naik Panangisan

Sesar Panangisan berkembang di

bagian tengah daerah penelitian dengan

pola kelurusan timurlaut - baratdaya. Sesar

ini berada di dalam (intra) satuan batupasir

kuarsa yang berumur Eosen sehingga

tersingkap ke permukaan. Indikasi-indikasi

yang menunjukkan keberadaan sesar

tersebut adalah:

- Adanya pola kelurusan yang teramati

pada citra SRTM.

- Terdapat chevron fold yang terbentuk di

sekitar zona sesar.

Sesar ini searah dengan perlapisan

dan merupakan sesar yang terbentuk di

dalam (intra) satuan batupasir kuarsa,

berumur Miosen Awal dan

diinterpretasikan terbentuk akibat gaya

kompresional berarah relatif

baratlaut-tenggara.

3. Sesar Normal Rantaubujur

Sesar Rantaubujur berkembang di

bagian tengah daerah penelitian dengan

pola kelurusan barat - timur. Sesar ini

dikategorikan sebagai sesar normal yang

berada pada satuan andesit dan satuan

batupasir kuarsa yang berumur

Kapur-Eosen. Indikasi-indikasi yang

menunjukkan keberadaan sesar tersebut

adalah:

- Adanya pola yang memotong kelurusan

punggungan yang teramati pada citra

SRTM.

- Keberadaan kekar gerus pada stasiun C.3

dan C.10. Berdasarkan proyeksi

stereografis data kekar tersebut, tegasan

yang terdekat dengan pusat bidang stereografis adalah σ1 yang menandakan pergerakan normal.

Sesar ini memotong dua sesar naik

yaitu Sesar Nanawan dan Sesar

Panangisan, berumur Miosen Awal dan

diinterpretasikan terbentuk akibat gaya

kompresional berarah relatif

(10)

Pembentukan Sesar Naik Panangisan

Sesar naik Panangisan merupakan

sesar yang terbentuk akibat peristiwa

inversi, hal tersebut dikarenakan terdapat

indikasi sesar normal berupa kekar tarik

pada batuan beku andesit yang berumur

kapur, selain itu terdapat morfologi

triangular facet yang semestinya

merupakan tanda atau indikasi adanya

sesar normal namun terdapat di zona sesar

naik, selain itu pada masa pembentukan

cekungan Barito terjadi rifting (pemekaran

kerak samudera) yang menyebabkan

terbentuknya horst-graben system

sehingga terbentuklah serangkaian sesar

normal yang kemudian teraktifasi kembali.

Indikasi terjadinya inversi pada

daerah penelitian juga ditunjukkan pada

hasil interpretasi refleksi seismik yang

menunjukkan keterdapatan reverse fault

pada daerah penelitian yang ditunjukkan

dengan bentuk listric fault yang menangga

yang semestinya merupakan salah satu

jenis sesar normal namun refleksi pada

rekaman seismik menunjukkan

keterdapatan sesar naik.

Menurut Hamblin, 1965 dalam

(Davis & Reynolds, 1996), listric fault

menangga disebabkan oleh jenis batuan

yang lebih cenderung brittle (getas)

sehingga batuan yang semestinya

tergelincir mengikuti bentuk bidang sesar

yang melengkung justru patah sehingga

terbentuk kenampakan yang menangga.

Model McClay menggambarkan

kinematika dari tektonik inversi yang

menunjukkan bidang yang awalnya

merupakan bidang sesar normal teraktifasi

kembali akibat rezim tektonik yang

berubah menjadi rezim tektonik kompresi

dan menyebabkan terbentuknya reverse

fault yang mengikuti arah bidang sesar

normal (zona lemah yang memang sudah

terbentuk sebelumnya pada rezim tektonik

ekstensional).

Berdasarkan teori diatas, dengan

menggunakan hasil interpretasi seismik

(Gambar 3) dilakukan rekonstruksi sejarah

tektonik, yang dapat menunjukan proses

pembentukan sesar naik intra satuan

batupasir kuarsa berupa model geologi

awal daerah penelitian sebelum terjadinya

proses inversi.

Berikut ini adalah rekonstruksi

proses pembentukan sesar naik Panangisan

yang terjadi akibat proses tektonik inversi

pada Miosen Awal (Gambar 4)

menunjukkan (a) merupakan rezim

tektonik ekstensional yang ditandai dengan

pembentukan horst-graben system pada

Eosen Awal hingga Eosen tengah,

terbentuk serangkaian sesar normal pada

batuan beku andesit (Formasi Pitanak), (b)

setelah proses tektonik selesai, pada Eosen

Tengah hingga Oligosen Awal terjadilah

(11)

kemudian akan menjadi satuan batupasir

kuarsa (Formasi Tanjung), (c) pada

Oligosen awal hingga Miosen Awal terjadi

genang laut akibat kenaikan muka air laut

global sehingga terbentuklah satuan

batugamping (Formasi Berai), (d)

merupakan rezim tektonik kompresional

yang ditandai dengan proses inversi dan

re-aktifasi (pembalikan arah) sesar pada

Miosen Awal, (e) selanjutnya terbentuk

satuan batupasir sisipan batubara (Formasi

Warukin) yang terbentuk pada Miosen

Awal hingga Miosen tengah, hingga (f)

sejak terjadinya tektonik inversi hingga

saat ini telah terjadi erosi baik secara

mekanis, kimiawi, maupun organik pada

daerah penelitian sehingga terbentuklah

morfologi yang tampak pada masa kini,

akibat erosi tersebut, kenampakan reverse

fault atau sesar naik inversi terlihat sepeti

berada dalam satu satuan batupasir kuarsa

seperti ditunjukan dalam hasil interpretasi

seismik.

KESIMPULAN

Struktur geologi yang terbentuk

pada daerah penelitian terbagi menjadi 2,

yaitu kekar dan sesar, adapun kekar yang

terbentuk di daerah penelitian adalah kekar

tarik yang terbenuk akibat gaya

ekstensional dan berupa rekahan-rekahan

tak beraturan yang terisi oleh mineral

kalsit dan kuarsa, selain itu terbentuk

kekar gerus akibat gaya kompresional

yang berupa rekahan-rekahan dalam set

yang teratur dan tidak terisi oleh mineral.

Sesar yang terbentuk di daerah penelitian

adalah sesar naik Nanawan, sesar naik

Panangisan, dan sesar normal Rantaubujur,

struktur geologi yang terbentuk

dipengaruhi oleh rezim tektonik yang

berkembang di daerah penelitian, ada 2

rezim yang berlaku di daerah penelitian

yaitu rezim tektonik ekstensional yang

terjadi pada Eosen Awal hingga Eosen

Tengah, selanjutnya tidak terjadi aktifitas

tektonik hingga Miosen Awal, dan pada

Miosen Awal hingga Miosen Tengah

berkembang rezim kompresional pada

daerah penelitian.

Akibat dari perubahan rezim

tektonik pada daerah penelitian terjadilah

peristiwa tektonik inversi yang

menyebabkan sesar normal yang terbentuk

pada rezim tektonik ekstensional

mengalami pembalikan dan berubah

menjadi sesar naik inversi (reverse fault),

sehingga setelah proses inversi selesai dan

terjadi erosi hingga masa kini, terlihat

sesar naik inversi tampak seperti diantara

satuan batupasir kuarsa (intra satuan).

UCAPAN TERIMA KASIH

Kepada Senior Geologist Altar Resources

S.A. Pak Aristo Getriadi, dan Pak Oeke

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Billings, Marland P. 1972. Structural Geology. University of Minnesota: Prentice-Hall, Inc.

Davis, George H. and Stephen J.

Reynolds. 1964. Structural Geology of Rocks and Regions. Second Edition. John Wiley &

Sons, Inc. Canada.

Fleuty, M.J., 1964, The description of fold,

Geologist Association of America

Bulletin.

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996.

Sandi Stratigrafi Indonesia. Ikatan Ahli Geologi Indonesia, 14 h.

Kusuma, Indra dan Thomas Darin. 1989.

The Hydrocarbon Potential of The Lower Tanjung Formation, Barito Basin, S.E. Kalimantan. Proceedings of the IPA 18th

Annual Convention,107-138.

Mason, Anthony D.M. et all. 1993. A Fresh Look at The North Barito Basin, Kalimantan. Proceedings of the IPA 22nd Annual Convention,

589-606.

McClay, K.R. 1987. The Mapping of

Geological Structures, John Wiley and Sons, New York.

Satyana, A.H., Silitonga, P.D. 1994.

Tectonic Reversal in East Barito Basin, South Kalimantan : Consideration of The Types of

Inversion Structures and Petroleum System Significance. Proceedings of the IPA 9th Annual Convention,

57-74.

Streckeisen A. 1976. To each plutonic rock its proper name. Earth Sci. Rev.12. h.1-33.

Travis, Russel B. 1955. Classification of Rocks. Colorado School of Mines, 4thedition, Colorado.

Van Bemmelen, R.W. 1949. The Geology of Indonesia, Volume I A. The Hague Martinus Nijhoff,

(13)

Lampiran

Tabel 1. Stratigrafi Regional daerah penelitian menurut Sikumbang dan Heryanto (1994)

Tabel 2. Periode tektonik menurut Satyana & Silitonga (1994)

Penulis Ringkasan

Satyana & Silitonga

(1994)

F1 (Prerift): Pra-tersier, pembentukan basement complex.

F2 (Synrift): Eosen awal-tengah, rifting (back-arc extension) dan pengendapan Formasi Tanjung bagian bawah (Lower Tanjung).

F3 (Postrift): Eosen tengah-Miosen awal, (Eosen tengah-Oligosen awal) terbentuklah cekungan Barito dan terendapkan sedimen penyusun Formasi Tanjung bagian atas dan (Oligosen awal-Miosen tengah) terjadi penggenangan laut dan terendapkan sedimen penyusun Formasi Berai. F4 (Syn-inversion): (Miosen tengah) Pengangkatan tinggian Kuching akibat collision antara fragmen benua ‘laut cina selatan’ dengan Kalimantan utara. Pada saat yang sama terjadi collision di bagian timur Sulawesi yang menghentikan pemekaran selat makasar (Proto meratus uplift).

(Miosen akhir) Terjadi penurunan pada cekungan Barito dan terendapkan sedimen pembentuk Formasi Warukin.

(Pliosen-Plistosen) Terjadi re-activation pada meratus yang menyebabkan terjadinya tumbukan dengan Barito platform sehingga material yang tererosi akbat peristiwa ini menjadi sedimen penyusun Formasi Dahor.

Keterangan:

Kvpi = Formasi Pitanak

(14)

Gambar 1. Regional Geologi Struktur pada Cekungan Barito (Koesoemadinata, 1993)

(15)

Gambar 3. Hasil interpretasi seismik pada daerah penelitian

Gambar

Tabel 1. Stratigrafi Regional daerah penelitian menurut Sikumbang dan Heryanto (1994)
Gambar 2. Gambaran tektonik inversi
Gambar 3. Hasil interpretasi seismik pada daerah penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Terkait dengan wisata bahari di Meos Mansaar yang mana ekosistem pesisir dan laut yang yang menjadi andalan obyek wisata (ekowisata) bahari adalah terumbu karang dan ikan karang

Bila ada kelebihan volume maka Kromatografi gas adalah sistem kromatografi yang menggunakan fase gerak berupa gas dan fase diam berupa padatan atau cairan yang

Promosi melalui media sosial instagram harus memiliki strategi tertentu dalam membuat rancangan promosi karena menggunakan sarana visual berupa foto dan penjelasan

Dari data yang didapatkan akan dapat diambil kesimpulan secara garis besar untuk tingkat pendengaran yang didapat. Dalam data ini antara telinga kiri dan telinga kanan dapat

(a) Huraikan kaedah yang boleh digunakan oleh alhi arkeologi tersebut untuk mendapatkan isi padu mangkuk tembaga menggunakan radas dan bahan seperti di atas. Anda

Dalam program opsi saham, suatu perusahaan memberikan kepada karyawan secara perorangan hak kontraktual, atau opsi, yang merupakan untuk membeli suatu jumlah tertentu atas

Program Studi Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi UGM harus menentukan tujuan, merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan yang mengarah pada pemberian suasana

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan isolat bakteri yang memiliki potensi sebagai Anti Quorum Sensing (AQS) yang dapat menghambat faktor virulensi bakteri