• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan penerimaan kondisi fisik dari penderita paraplegia korban gampa yang mendapatkan pendampingan psikologis dan yang tidak mendapatkan pendampingan psikologis.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perbedaan penerimaan kondisi fisik dari penderita paraplegia korban gampa yang mendapatkan pendampingan psikologis dan yang tidak mendapatkan pendampingan psikologis."

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

vii

PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI

PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN

PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS

Bonaventura Bhuwana Yudistira

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan penerimaan diri para kurban gempa bumi yang menderita kecacatan fisik yaitu penderita paraplegia. Penelitian ini adalah penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerimaan diri korban bencana yang menderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan penderita paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan wanita yang mendapatkan pendampingan dan 30 orang pria dan wanita yang tidak mendapatkan pendampingan. Data diperoleh dengan menggunakan skala penerimaan diri. Daya diskriminasi

skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien realibilitas sebesar 0,969. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara membandingkan dengan t hitung dengan t tabel. Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar dibandingkan mean empiris yang tidak mendapatkan pendampingan (176 > 133). Dari hasil uji-t didapatkan t hitung 18,584 dan t tabel sebesar 1,671 serta p=0,000. Karena t hitung lebih besar (>) daripada t tabel, dan nilai p < 0,005 dengan demikian hipotesa penelitian ini diterima. Artinya, penerimaan diri penyandang cacat paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar atau lebih baik dibandingkan dengan penyandang cacat paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan.

(2)

viii

THE DIFFERENCES OF PHYSICAL CONDITION ACCEPTANCE OF PARAPLEGIC DISABILITY BECAUSE EARTHQUAKE

WICH RECEIVED PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE AND NOT RECEIVED ANY PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE

Bonaventura Bhuwana Yudistira

ABSTRACT

The purpose of this research was to see the differences of physical condition of acceptance from paraplegic disability keep up with that assistance and not received any resistance.This research was an comparison research. This hypothesis in this research was self acceptance that disaster victims who have suffered paraplegia better mentoring or higher than paraplegia patients who did not received any assistance. Subjects in this study consisted of 30 men and women who received assistance and 30 men and women who did not received any assistance. Data obtained by using self-acceptance scale. Scale using the power of discrimination limit ≥ 0.3 values with reliability coefficient of 0.969. Research data were analyzed using t-tests, and in determining acceptable or reject the hypothesis, carried out by comparing the calculated t with t table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater assistance than the empirical mean not received any assistance (176>133). From the results obtained t-test and t table 18,584 of 1,671, and p = 0.000. Because the calculated t is greater (>) than t table, and the p-value < 0.005 with the hypothesis that this research is received. That is, self-acceptance that disabled people get assistance paraplegia bigger or better than paraplegia with disabilities who do not get assistance.

(3)

PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI

PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN

PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

BONAVENTURA BHUWANA YUDISTIRA

NIM : 029114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(4)

i

PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI

PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN

PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun oleh:

BONAVENTURA BHUWANA YUDISTIRA

NIM : 029114010

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

(5)
(6)
(7)

iv

Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersuka cita.

Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorak

(Mzm 126:3,5)

Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN,

Yang menjadikan langit dan bumi

(8)

v

Kupersembahkan karya untuk, Orang tua ku yang telah mendukung dengan kasih dan memberikan yang terbaik bagiku Adik-adik yang telah membantu dengan semangat yang diberikan

(9)
(10)

vii

PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI

PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN

PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS

Bonaventura Bhuwana Yudistira

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan penerimaan diri para kurban gempa bumi yang menderita kecacatan fisik yaitu penderita paraplegia. Penelitian ini adalah penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerimaan diri korban bencana yang menderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan penderita paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan wanita yang mendapatkan pendampingan dan 30 orang pria dan wanita yang tidak mendapatkan pendampingan. Data diperoleh dengan menggunakan skala penerimaan diri. Daya diskriminasi

skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien realibilitas sebesar 0,969. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara membandingkan dengan t hitung dengan t tabel. Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar dibandingkan mean empiris yang tidak mendapatkan pendampingan (176 > 133). Dari hasil uji-t didapatkan t hitung 18,584 dan t tabel sebesar 1,671 serta p=0,000. Karena t hitung lebih besar (>) daripada t tabel, dan nilai p < 0,005 dengan demikian hipotesa penelitian ini diterima. Artinya, penerimaan diri penyandang cacat paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar atau lebih baik dibandingkan dengan penyandang cacat paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan.

(11)

viii

THE DIFFERENCES OF PHYSICAL CONDITION ACCEPTANCE OF PARAPLEGIC DISABILITY BECAUSE EARTHQUAKE

WICH RECEIVED PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE AND NOT RECEIVED ANY PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE

Bonaventura Bhuwana Yudistira

ABSTRACT

The purpose of this research was to see the differences of physical condition of acceptance from paraplegic disability keep up with that assistance and not received any resistance.This research was an comparison research. This hypothesis in this research was self acceptance that disaster victims who have suffered paraplegia better mentoring or higher than paraplegia patients who did not received any assistance. Subjects in this study consisted of 30 men and women who received assistance and 30 men and women who did not received any assistance. Data obtained by using self-acceptance scale. Scale using the power of discrimination limit ≥ 0.3 values with reliability coefficient of 0.969. Research data were analyzed using t-tests, and in determining acceptable or reject the hypothesis, carried out by comparing the calculated t with t table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater assistance than the empirical mean not received any assistance (176>133). From the results obtained t-test and t table 18,584 of 1,671, and p = 0.000. Because the calculated t is greater (>) than t table, and the p-value < 0.005 with the hypothesis that this research is received. That is, self-acceptance that disabled people get assistance paraplegia bigger or better than paraplegia with disabilities who do not get assistance.

(12)
(13)

x

KATA PENGANTAR

Puji Syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan tuntunan,

penyertaan, dan kasihNYA kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

tugas akhir ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, sehingga

dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaikan penyusunan

skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Tuhan Yesus Kristus, Pelindungku, Tumpuan hidupku, Tujuan hidupku,

Sahabatku, Guruku. Terima kasih Tuhan karena telah menuntun jalanku

hingga saat ini. Walaupun kadang aku tidak setia dengan malas

mengerjakan dan kesalahan-kesalahanku yang lain, Engkau selalu datang

dengan bisikan yang lembut dan meneduhkan hatiku, sehingga aku sering

kali terselamatkan oleh karena Belas Kasihmu. Terima Kasih Tuhan.

2. Dr. Christina Siwi Handayani, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi

3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi selaku Kepala Program Studi Psikologi.

4. Ibu A. Tanti Arini, S Psi., M Psi., selaku dosen pembimbing akademik.

Terimakasih ibu sudah sangat sabar dan memberikan keceriaan sekaligus

(14)

xi

ibu beberapa tahun terakhir kepada saya selama menjadi mahasiswa

Fakultas Psikologi di Universitas Sanata Dharma ini.

5. Ibu M. L. Anantasari yang sudah sangat sabar dalam membimbing

kemajuan skripsi dan selalu memberikan semangat, senyuman dan

dorongan. Terimakasi ibu, atas bimbingan dan nasehat-nasehatnya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Bapak dan ibu dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukkan

yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik

7. Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji dan Mas Doni. Terima kasih atas

keramahan dan sapaan yang diberikan setiap waktu, dan telah banyak

membantu dalam banyak hal dan memberi kemudahan bagi penulis selama

penulis belajar di fakultas psikologi ini

8. Pak Gi, terimakasih atas segala senyuman, semangat, dan ketulusan hati

bapak dalam melayani kami selama kami belajar di fakultas ini

9. Papa dan Mama tercinta yang selalu terus memberikan semangat. Terima

kasih untuk cinta, kasih sayang, doa, dukungan, jerih payah dan

segala-galanya. Kesabaran untuk menunggu sehingga akhirnya bisa

menyelesaikan skripsi ini. I Love You Mam n Pap….

10.Bimo dan Dimas, adik-adikku yang selalu memahamiku dan

mendukungku hingga aku berhasil sampai sejauh ini. Thanks ya bro

11.Tyas Ajeng Chris “cakmano” Putri. Kekasihku, sahabatku dan teman

dalam suka dan duka.Temen ngobrol sekaligus temen berkelahi, berneda

(15)

xii

kepadaku, tanpa itu mustahil bagiku untuk bisa sampai sejauh ini.

Terimakasih untuk bisa selalu disisiku ya….Doaku dan berkat Tuhan

selalu besertamu

12.Eyang Soewondo kakung (alm) dan eyang putri, eyang Roesnawi kakung

dan putri. Matur nuwun kagem doa dan restu yang selalu diberikan terus

menerus. Semoga cucu mu ini bisa memberikan yang terbaik buat eyang

semuanya.

13.Om-om, tante-tante, tante Rita yang memberiku semangat dan pantang

menyerah dan selalu memberiku makanan yang enak-enak, hehehe…. dan

sodara, sepupuku semua yang selalu mendukung, menyemangatiku dan

mendoakanku supaya aku dapat menyelesaikan skripsiku. Dita, makasi ya

uda mau kurepotin untuk cari buku yang jauh letakny, he…Terimakasi

semuanya…. I Love You All

14.Temen-temen seperjuangan yang membuat hidupku lebih bersemangat dan

penuh arti: Aan, Hoany, Tisa, dan Iant “Tiny”. Aan makasih uda jadi

temen ngobrol dalam hal skripsi, kerjaan sampai masalah-masalah yang

pribadi, hehehe….Hoany kapan lagi makan lotek baeng-bareng,

hehe….Thanks ya hany untuk perhatian mu ke aku . Tisa „artis

kita‟…ayo kapan ke perpus lagi nongkrong, hehe…Makasi ya atas doa,

dukungan dan nasehat yang diberikan ke aku, I always remember.

Tinyyy….kapan ngejus bareng lagi neh…makasi uda mau menjadikan

tempatmu berkumpul temen-temen, ngobrol bareng dan terimakasi untuk

(16)

xiii

15.Robot, Kamcik, Bean, Ina dan Kucing. Wah aku akhirnya selesai

neh…..Terimakasi untuk dukungannya. Robot yang selalu kurepotin

pinjem komputer untuk ngerjain statistic dan yang mau nemenin

nongkrong kalo lagi suntuk, kalo mau nonton aja-ajak lagi ye.hehehe….

Ucik “kamcik”, yang selalu mendukungku dan ngajarin aku dari awal

sampai sekarang, wah tidak terbilang sudah bantuan darimu, tunggu aku di

Jakarta ya cik, ntar kita nongrong lagi. Bean yang selalu menyemangatiku

dan mendukungku sampai saat ini. Ina dan Kucing dua ibu muda ini yang

selalu berdoa dan mendukung, walau kalian terpisah jauh, hiks…Betty,

kapan kita di undang ke Singapura bet?  Thanks for all that you have done to me pren….

16.Teman-teman Psikologi angkatan 2002 : Yanuar, Barjo, Windra, Danang,

Niko, Dodi, Dhani, Ellen, Nining, Dika, Dina, Ian “pongky”, Dimas, Ardi

“eyang”, Wiwik, Panji, Ivanty, Obet, Vincent, Irfan, Rio, Ina “penari

ular”, Iput, Echa dan semua temen yang tidak bisa kusebutkan satu

persatu, terimakasi atas pertemanan dan kebersamaan yang indah selama

ini.

17.Karyawan YAKKUM : Ibu Maria, Mbak Retno, Pak Tomo, Ibu Nur, Ibu

Ruth, Dokter Ester, bu Endang, mas Sigit, bu Gita, bu Sari, Bu Isti, Mbak

Yuni, Mbak Yuli, Mbak Sheny, Mas Jimanto, Mas Bodro, Mas Kukuh,

Pak Guruh, Mabak Dania, Mbak Dewi, Mas Sabarno, dan semua orang

yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasihh atas

(17)

xiv

saya bisa bersyukur dan bisa diberikan kesempatan untuk melayani

teman-teman kita yang luar biasa.

18.Temen-temen PS : Wawan, Mbak Lia, Mbak Edina, Vembri, Sius, Tina,

Mas Timbo, Bimo, Mbak Eni, Mbak Ike, pak Frans, Mas Muji. Terima

kasih, kalian adalah guru-guruku dan rekan yang paling TOP dalam

membimbingku untuk mengembangkan kemampuanku. Thanks guys. 19.Mbak Thia. Terimakasih sudah percaya dan menerimaku menjadi bagian

dari pelayan di YAKKUM, sehingga aku bisa belajar menjadi guru,

mendengarkan dan mengatur emosi dalam diriku, dan banyak hal lain

yang diajarkan bagiku.

20.Mbal Lia Alva, terimakasih sudah mau membimbingku dalam

mengerjakan skripsi dan memberikan banyak kesempatan-kesempatan

besar dalam diriku, salah satunya mempertemuakan dengan “kekasihku”.

21.Lisna, guru statistik pertama ku, terimakasih ya atas bantuan dan

kesabaranmu sampai malam-malam mengganggumu hanya untuk

mengajariku statistik . Kalo butuh temen ngobrol aku siap lo lis, he….

22.Temen-temen anak binaan YAKKUM : Mikocik Rohim, Ari, Puji, Ndaru,

Eko, Desta, Roisah, dan buanyak temen-temenku disana. Semangat ya

teman, jangan takut, jangan minder karena kalian sangat hebat. Jadilah

orang yang mandiri dan percaya diri dan kuat dalam hidup. OK. Dan

terimakasih sudah memberikan keceriaan, canda tawa, air mata, semoga

(18)

xv

23.Temen-temen posko di daerah bantul dan sekitarnya. Wawan, kapan neh

kita bisa cari es rujak bareng lagi, makasi uda mau membantu dalam

pengambilan data skripsi dan jadi temen curhat jadi aku gak ketinggalan

berita-berita menghebohkan, hehehe...thanks ya bro…Sigit (sukses buat

kerjaanmu ya), Supri (sering dirumah pri, jaga ibu dan bapak, he…), Mbak

Win (kapan neh kita hunting „salome‟ lagi), Mas Tri ( kapan-kapan kita nginep di posko maneh yo mas, hi...)

24.Bapak dan ibu, mas dan mbak semua yang dengan sudi dan mau

meluangkan waktu untuk mengisi angket ini, saya sangat berterima kasih,

tanpa bantuan dari semuanya mustahil bagi sya untuk dapat menyelesaikan

studi saya. Semoga hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi kita semua

untuk seterusnya.

25. Teman-teman dan sodaraku yang tidak tersebutkan namanya diatas,

namun sudah memberiku semangat dan doa. Dari lubuk hati yang paling

dalam saya mengucapkan banyak terima kasih atas semuanya.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu

dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang

membangun untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini.

Yogyakarta,

Penulis

(19)

xvi DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul ... i

Halaman Persetujuan Pembimbing... ii

Halaman Pengesahan ... iii

Halaman Moto ... iv

Halaman Persembahan ... v

Pernyataan Keaslian Karya ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACK ... viii

Pernyataan Persetujuan Publikasi ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

DAFTAR TABEL ... xxi

(20)

xvii

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

1. Manfaat Teoritis ... 8

2. Manfaat Praktis ... 9

BAB II. LANDASAN TEORI ... 10

A. Penerimaan Diri kondisi Fisik... 10

1. Pengertian Penerimaan Diri Kondisi Fisik ... 10

2. Aspek Penerimaan Diri akan Kondisi Fisik ... 12

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ... 13

B. Penyandang Cacat Penderita Paraplegia ... 15

1. Pengertian Penyandang Cacat ... 15

2. Pengertian Paraplegia ... 17

3. Penyebab Paraplegia ... 18

4. Kondisi Fisik Penyandang Cacat Penderita Paraplegia .... 21

(21)

xviii

C. Pendampingan Psikologis ... 25

1. Pengertian Pendampingan Psikologis ... 25

2. Jenis-Jenis Pendampingan ... 27

3. Fungsi-Fungsi Pendampingan ... 28

D. Dinamika Perbedaan Penerimaan Diri Kondisi Fisik Diri Penyandang Cacat Penderita Paraplegia Korban Gempa yang Mendapatkan Pendampingan psikologis dan yang Tidak Mendapatkan Pendampingan Psikologis ... 30

E. Hipotesis ... 37

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38

A. Jenis Penelitian ... 38

B. Identifikasi Variabel ... 38

C. Definisi Operasional ... 39

D. Subjek Penelitian... 41

E. Prosedur Penelitian ... 43

F. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 44

(22)

xix

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Pelaksanaan Penelitian ... 52

B. Deskripsi Subjek ... 53

C. Uji Asumsi Analisis Data ... 54

1. Uji Normalitas ... 54

2. Uji Homogenitas ... 55

D. Uji Hipotesis ... 56

E. Analisis Tambahan (Kategorisasi) ... 58

F. Pembahasan ... 61

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 73

(23)

xx

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 SKALA UJI COBA

Lampiran 2 DATA UJI COBA (PENELITIAN)

Lampiran 3 RELIABILITAS SKALA

Lampiran 4 SKALA PENELITIAN

Lampiran 5 UJI NORMALITAS

Lampiran 6 UJI HOMOGENITAS

(24)

xxi

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Skor untuk Item Favorable dan Unfavorabe ... 46

Tabel 2 Blue Print Skala Perbedaan Penerimaan Diri ... 47

Tabel 3 Spesifikasi Item Uji Coba dan Penelitian ... 50

Tabel 4 Deskripsi Subjek Penelitian ... 54

Tabel 5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov ... 54

Tabel 6 Ringkasan Hasil Uji-t, pendampingan dan non pendampingan .. 56

Tabel 7 Norma Kategorisasi Skor ... 58

Tabel 8 Kategori Skor Penerimaan Diri Penderita Paraplegia ... 59 Tabel 8.1 Kategori Skor Penerimaan Diri; pendampingan ... 60

(25)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bencana alam berupa gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta dan

sekitarnya pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05:54:00.0 WIB. Gempa Gempa

dengan kekuatan 5,9 Skala Richter dan pusat gempa berada di laut 37,2 km

selatan Yogyakarta dengan posisi 8 LS – 110.31 BT dan kedalaman 11,8 km

(Berita Gempa Bumi No: 66/NSC/V/2006, BMG). Gempa menyisakan kerusakan

yang parah pada aspek fisik dan non-fisik. Akibat utama yang ditimbulkan gempa

bumi adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah. Jatuhnya

korban jiwa biasanya karena tertimpa reruntuhan bangunan, terkena longsor dan

kebakaran (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2006).

Para korban gempa banyak yang mengalami kehilangan orang-orang yang

dicintai, kehilangan barang-barang pribadi yang berharga dan mengalami luka

fisik (Vivinne, dalam Bencana dan Kita, 2006). Hasil dari pendataan Seksi Bina

Program Dinas Kesehatan DIY (pemda-diy.go.id, 2010) mencatat 891 orang

penderita cacat tubuh permanen akibat cedera gempa sehingga menempati urutan

tertinggi dibandingkan penderita cacat yang lain. Salah satu kecacatan permanen

dan yang paling parah adalah cedera sumsum tulang belakang atau paraplegia. Cedera ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan yang memutuskan atau sangat

(26)

Kondisi kecacatan paraplegia ini termasuk dalam kategori kecacatan yang parah karena mereka tidak mampu lagi untuk bisa berjalan kembali, kaki menjadi

layuh yang berakibat terhambatnya mobilitas gerakan. Werner (2002) mengatakan

bahwa ciri-ciri khusus paraplegia adalah penderita merasakan hilangnya gerakan terkendali dan daya rasa di tungkai, panggul dan sebagian batang tubuh mungkin

berpengaruh. Semakin tinggi letak cedera, semakin banyak yang terpengaruh.

Penderita mengalami kehilangan kontrol urine dan usus besar sebagian bahkan

menyeluruh. Selain itu, penderita mengalami spastisitas atau kejang-kejang otot

serta tungkainya lemas dan lunglai.

Kondisi dimana sebelumnya mereka sehat secara fisik dan mampu

melakukan banyak aktivitas menjadi lumpuh, mobilitas terganggu dan berakibat

pada munculnya masalah terhadap mental mereka seperti merasa tidak berdaya,

cemas, takut, dan marah karena tidak bisa menerima kondisi kecacatannya

tersebut (Sharma, 2005). Hal tersebut dipertegas oleh Dianawati (2005) menjadi

cacat diartikan oleh sebagian besar orang adalah menjadi orang yang gagal dan

tidak mampu.

Paraplegia termasuk dalam kategori penyakit akut yang dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan psikologis (Kinshi, Robinson and

Kosier, 2001), mereka menjadi sulit untuk bisa menerima kondisi dirinya karena

menjadi cacat. Hal tersebut bisa disebabkan karena tingkat kesembuhan yang

dialami penderita paraplegia sangat kecil dan penyakit ini bersifat permanen. Hal tersebut dikuatkan oleh Suhartono (1976) berpendapat bahwa mereka yang

(27)

Kompleksnya masalah penerimaan akan kondisi fisik yang dialami oleh

penderita paraplegia seperti terhambatnya mobilitas, gangguan saluran pencernaan, gangguan saluran kemih (O‟Connor, dkk, 2004) hingga masalah

fungsi seksual (Stien, 1999) berakibat pada munculnya gejala psikologis seperti

depresi, kurang percaya diri, malu, kecewa, menjadi pemurung hingga perubahan

perilaku (Brown, 1999). Hal tersebut akan memperkuat seseorang untuk menolak

atau bahkan acuh tak acuh akan kondisi dirinya yang sekarang, atau berpikir

kurang realistis.

Masalah Penerimaan akan kondisi fisik diri pada penderita paraplegia

harus didukung dengan kemampuan untuk mengenal dan mengetahui kondisi fisik

diri, hal tersebut akan memunculkan penerimaan akan dirinya (Jung, dalam

Schultz, 1991). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rubin (Gardner, 2002)

yaitu suatu sikap yang mencerminkan adanya rasa senang sehubungan dengan

kenyataan yang ada sehingga individu memiliki emosi yang spontan, fleksibel

dalam menghadapi perasaannya, disertai sikap dan perilaku yang wajar, tidak

dibuat-buat dan tanpa ada yang disembunyikan.

Penerimaan diri merupakan suatu sikap akan kepuasan terhadap diri akan

perubahan yang terjadi pada kondisi fisiknya (Chaplin, 1999). Rasa puas yang

diikuti rasa bangga, percaya diri akan kondisi diri yang dapat meningkatkan

penerimaan diri yang positif pada dirinya. Menurut Perls (dalam Schultz, 1991)

orang yang sehat secara psikologis memiliki kesadaran dan penerimaan penuh

(28)

Penerimaan akan kondisi fisik diri penderita paraplegia yang diakibatkan karena gempa, tidak begitu saja muncul, memerlukan waktu dan proses yang lama

terlebih karena kecacatannya tersebut bukan dari kecil atau lahir. Seiring dengan

munculnya penerimaan akan kondisi fisik diri yang menimpa penderita

paraplegia dipengaruhi pula oleh dukungan, bantuan, maupun pendampingan dari pihak diluar diri yaitu anggota keluarga, masyarakat dan lembaga yang

dipersiapkan untuk membantu para korban bencana penderita paraplegia.

Dukungan maupun pendampingan dari keluarga sangat dibutuhkan bagi

mereka penderita paraplegia dikarenakan kondisi mereka yang memang membutuhkan bantuan dari pihak luar. Keluarga yang mendampingipun harus

mengetahui bagaimana merawat dan mengetahui kebutuhan dari penderita

paraplegia. Perawatan secara fisik saja tidak cukup untuk membuat penderita

paraplegia dapat menerima kondisi fisik kecacatannya, memerlukan bantuan dan pendampingan dari pihak lain yang memang dipersiapkan untuk membantu secara

psikologis dalam menangani masalah psikologis penderita paraplegia dalam upaya untuk memaksimalkan kemampuan diri.

Pendampingan di dalam keluarga adalah upaya untuk mendampingi

penderita kecacatan supaya mereka dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.

Keluarga mengambil peran yang penting untuk kesembuhan penderitanya, namun

setiap keluarga memiliki sifat dan perlakuan yang berbeda, jika dalam proses

pendampingan ternyata kurang tepat maka akan berakibat buruk pada

(29)

yang dalam kesehariannya kurang mendapat dukungan dari orang sekitarnya

maupun keluarganya karena dianggap tidak mampu (Affrida, 2007).

Jenis bantuan lain yang juga berpengaruh terhadap kesembuhan dan

kehidupan penyandang cacat paraplegia adalah berupa bantuan fisik, yang dapat berupa rumah atau bangunan, sarana kesehatan, dana atau uang, pemberian alat

bantu kecacatan hingga dalam wujud perawatan kesehatan. Kenyataan yang ada

dilapangan banyaknya bantuan fisik yang diberikan oleh pihak pemerintah,

donatur, lembaga sosial baik dari dalam maupun luar negeri, namun terkadang

bantuan secara fisik tidak banyak membantu, hal tersebut dikarenakan

permasalahan yang dihadapi penderita kecacatan paraplegia sangat kompleks. Selain permasalahan secara fisik, mereka juga mengalami permasalahan secara

psikologis, salah satunya adalah penerimaan akan kondisi fisik diri.

Bantuan yang diberikan bukan berupa bantuan fisik adalah bantuan

non-fisik yang salah satunya berupa pendampingan secara psikologis. Pendampingan

adalah salah satu jenis layanan psikologis (Wiryasaputra, 2006), yang hanya bisa

diberikan oleh mereka yang sudah dipersiapkan atau memiliki pengetahuan untuk

mendampingi para korban akibat bencana alam. Pendampingan diberikan supaya

orang yang didampingi dapat sembuh, berdaya dan berfungsi pnuh untuk

mencukupi kebutuhannya secara mandiri.

Tujuan pendampingan psikologis ini adalah membantu seseorang yang

berada dalam keadaan krisis. Krisis yang dimaksud adalah kondisi seseorang yang

(30)

terkait oleh karena menderita suatu penyakit, sakit yang berkepanjangan, bencana

alam, tidak ada harapan, putus, depresi dan stress dalam kehidupan sehari-hari

(Thomas, dalam Wiryasaputra, 2006). Selain itu, pendampingan psikologis juga

bertujuan untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, memperbaiki

hubungan dan mendayagunakan individu untuk kehidupan yang lebih baik.

Proses pendampingan psikologis ini diberikan oleh para tenaga ahli yang

sudah dipersiapkan untuk keadaan darurat melalui suatu program rehabilitasi.

Program rehabilitasi tersebut adalah program yang didalamnya terdapat

serangkaian kegiatan seperti perawatan luka, sosialisasi dan pemberian alat bantu

maupun pendampingan psikologis. Rehabilitasi berarti proses mempercepat

sosialisasi atau berfungsi secara wajar dari keadaan sebelumnya (Latipun, 2001).

Rehabilitasi memiliki tujuan untuk mengembalikan persepsi dan emosi

sehingga para korban dapat memandang dirinya yang ada lebih positif dan dapat

berbuat lebih tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki. Rehabilitasi ini hanya

bisa dilakukan oleh seseorang yang disiapkan dan ahli dalam bidangnya. Proses

ini diberikan oleh suatu lembaga yang bergeak juga dalam bidang rehabilitasi,

yaitu Pusat Reahabilitasi Yakkum, kepada penyandang cacat paraplegia korban gempa.

Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) adalah salah satu lembaga

non-pemerintah yang memberi pelayanan terhadap orang-orang cacat. Visi dan misi

dari PRY adalah merehabilitasi para penyandang cacat agar mereka bisa mandiri

(31)

dalam proses pemulihan pasca gempa di Bantul. Pelayanan yang diberikan

meliputi assesment medis, perawatan luka, pemberian terapi yaitu Fisioterapi dan

Okupasi Terapi. Selain itu, PRY mempunyai program pendampingan psikologi

dari unit Psikososial.

Bantuan dan pelayanan yang diberikan PRY meliputi bantuan fisik dan

non-fisik dengan melibatkan dan diawasi oleh para ahli dibidangnya. Tidak hanya

pada bantuan fisik saja yang diberikan kepada korban gempa Bantul, namun

bantuan lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan diri secara

mental yaitu berupa bantuan psikologis. Pendampingan secara psikologis ini

menjadi salah satu program yang dilakukan oleh PRY yang diberikan kepada

semua korban gempa, terutama mereka yang mengalami luka atau kecacatan yang

ringan maupun parah, yang sementara ataupun permanen, salah satunya adalah

penderita paraplegia.

Penerimaan akan kondisi fisik diri bagi penderita paraplegia adalah salah satu yang utama yang harus dilakukan sebagai proses pemulihan diri, yaitu untuk

menumbuhkan dan mengembangkan mental bagi penderitanya. Hal tersebut

menjadi topik dalam penelitian ini, yaitu melihat perbedaan penerimaan kondisi

(32)

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan

diteliti dalam penelitian ini adalah apakah penerimaan diri penyandang cacat

korban gempa yang mendapatkan pendampingan lebih baik daripada mereka yang

tidak mendapatkan pendampingan?

C. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah dalam penerimaan

diri penyandang cacat penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan, secara psikologis, jauhlebih baik jika dibandingkan dengan penderita paraplegia

yang tidak mendapatkan pendampingan.

D. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Memberi tambahan informasi dalam bidang ilmu psikologi klinis akan

penerimaan diri penyandang cacat penderita paraplegia yang mendapat pendampingan dengan yang tidak mendapatkan pendampingan dalam

proses pemulihan secara psikologis, terutama dalam menerima kondisi

(33)

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Klien, hasil penelitian akan berguna sebagai wacana reflektif

untuk mencapai pemahaman pentingnya menerima diri akan kondisi

fisik penyandang cacat, penderita paraplegia korban gempa terutama untuk perkembangan mental yang lebih baik. Dan bagi keluarga untuk

mau membimbing dan memfasilitasi penderita untuk berkembang

menuju kehidupan yang lebih baik.

b. Bagi Pusat Rehabilitasi Yakkum hasil penelitian ini berguna sebagai

evaluasi pentingnya pengadaan program pendampingan bagi

penyandang cacat, terutama yang mengalami kecacatan yang berat

seperti paraplegia, agar mereka mau menerima kondisi diri dan dapat berfungsi kembali, dan disarankan agar program ini terus diadakan

untuk membantu penyandang cacat berfungsi optimal.

c. Bagi pemerintah dan lembaga sosial yang bergerak dalam penanganan

korban gempa, hasil penelitian sangat berguna sebagai evaluasi

dalampilihan bantuan alternatif selain memberikan bantuan fisik, dan

melihat apakah diperlukan adanya bantuan dalam wujud

pendampingan psikologis bagi mereka yang menjadi cacat karena

gempa, dan sebagai sarana tambahan informasi dalam upaya

menciptakan pemulihan yang optimal bagi penyandang cacat korban

(34)

10 BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENERIMAAN DIRI KONDISI FISIK

1. Pengertian Penerimaan Diri secara Fisik

Secara umum, Penerimaan diri menurut Wiley (dalam Anugrah,

1995; Media Psikologi Indonesia) mengandung pengertian adanya

persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya

untuk digunakan secara efektif. Seseorang yang memiliki penerimaan

diri berarti dapat mengenali kekurangannya sendiri dan berusaha untuk

memperbaiki diri. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri,

akan dapat mengkritik diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap

pilihannya sendiri, serta tidak menyalahkan ataupun mencela orang

lain karena keadaan yang terjadi pada dirinya tersebut.

Gea, dkk (2002) juga menyebutkan penerimaan diri adalah suatu

sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan

memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga

sambil terus mengusahakan kemajuannya.

Pernyataan diatas adalah pernyataan yang melihat penerimaan diri

secara umum, sedangkan penerimaan diri akan kondisi fisik terdiri dari

(35)

Penerimaan diri secara fisik didefinisikan oleh Unger dan

Crawford (1992) sebagai suatu evaluasi dan penilaian tentang raganya.

Jersild (1979) mengatakan bahwa penerimaan diri secara fisik sebagai

tingkat kepuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh dan

penampilan tubuh secara keseluruhan.

Penerimaan diri terhadap kondisi fisik seperti yang dikemukakan

oleh Rubin (Gardner, 2002) menyatakan bahwa penerimaan diri,

terutama keadaan fisik, merupakan suatu sikap yang mencerminkan

adanya rasa senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada

dirinya sehingga membuat individu memiliki emosi yang spontan,

fleksibel, serta mampu menyadari perasaannya. Menerima kondisi

dirinya seperti apa adanya disertai sikap dan perilaku yang wajar, tidak

dibuat-buat dan tanpa ada sesuatu yang disembunyikan.

Dwiamalia (2002) melihat penerimaan diri seseorang akan

penampilan secara fisik adalah suatu perasaan akan gambaran dan

penilaian beserta sikapnya terhadap tubuhnya dilihat dari tingkat

kepuasan terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisiknya

secara menyeluruh.

Chaplin (1999) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap

yang pada dasarnya merupakan rasa puas terhadap dirinya serta

menerima perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya. Pengakuan

(36)

diri, maupun rasa bersalah. Individu harus menerima kodrat mereka

apa adanya, sehingga mereka tidak harus mengubah atau memalsukan

dirinya.

Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan

bahwa yang dimaksud dengan penerimaan diri akan kondisi fisiknya

adalah suatu tingkatan perasaan senang atau puas terhadap diri dan

keadaan fisiknya dengan segala kelebihan dan kekurangannnya,

memiliki kebanggaan dengan keadaannya tersebut tanpa merasa malu

dan rendah diri akan keadaannya tersebut, mampu bertanggung jawab

terhadap dirinya dan perbuatan yang dilakukannya tanpa terikat oleh

orang lain. Mampu memahami dirinya akan potensi yang dimiliki dan

mengembangkan potensi yang dimiliki menjadi sesuatu yang

diharapkan, tidak hanya menerima saja.

2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri akan Kondisi Fisik

Terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi penerimaan diri

seseorang. Burns (dalam Anugrah, 1995; Media Psikologi Indonesia,

1998) dan menurut shere (dalam Hjelle & Zieglaer, 1977)

menyebutkan ada 3 aspek penerimaan diri terhadap kondisi fisik

seseorang, yaitu:

a. Pengetahuan tentang fisik dirinya sendiri, yaitu sejauh mana

individu mengenal dan memahami kondisi fisiknya

(37)

meliputi kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan atau

diperhatikan dengan kondisinya tersebut seperti kebutuhan akan

alat bantu (kursi roda), terapi, medis (rawat luka) sampai pada

pengetahuan akan lingkungan fisik yang sesuai dan baik bagi

kondisi maupun keadaan fisiknya (aksesbilitas), misal jalann yang

rata, tempat tidur yang empuk, pintu kamar mandi yang luas, dan

sebagainya.

b. Pemahaman yang realistik atas kemampuan diri adalah suatu

tingkatan kemampuan dimana seseorang mampu menyadari dan

mengerti akan potensi-potensi yang dimilikinya, dan sejauh mana

individu dapat bersikap dengan tepat sesuai dengan kondis saat ini.

Misalnya ; bersikap dan berpikir secara realistis, mampu bersikap

atau bertindak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

c. Kepuasan terhadap dirinya sendiri adalah suatu tingat penerimaan

diri dengan sungguh (apa adanya) akan apa yang ada pada dirinya

meliputi penampilan fisik besarta perasaan dan penilaian yang

meliputinya, terkait dengan kondisi dirinya yang menjadi cacat.

Selain itu meliputi penilaian positif akan dirinya yang ditunjukkan

dalam perasaan senang (rasa puas) yang terlihat dalam sikap

menerima akan kondisinya (kelebihan maupun kekurangannya)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri pada

(38)

a. Jenis Kelamin

Menurut Ratnawati (1990) jenis kelamin akan mempengaruhi

penerimaan diri dan terdapat perbedaan yang mencolok antara pria

dan wanita. Pria dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif

bila dibandingkan dengan wanita, hal ini berkaitan dengan sifat

serta perlakuan orang tua mereka. Selain itu juga karena wanita

relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif

daripada pria.

b. Lama Cacat yang disandang

Berdasarkan lama kecacatan yang disandang, penerimaan diri pada

penyandang cacat tubuh sejak lahir atau pada masa kanak-kanak

lebih positif dibandingkan penyandang cacat tubuh pada masa

remaja atau dewasa (Suhartono, 1976). Hal itu terjadi karena

mereka sejak kecil terbiasa diperlakukan sebagai anak normal.

Kecacatan tubuh yang mereka sandang seolah-olah merupakan

kejutan psikis, sehingga mereka mengalami gangguan emosi,

berupa rasa rendah diri, apatis, sensitif dan diikuti penolakan diri.

c. Intelegensi

Faktor intelegensi selain menambah kemampuan dalam

membentuk pengertian mengenai bagaimana nilai-nilai sosial

menghendaki penyesuaian juga dapat membuat seseorang lebih

(39)

positif dari kenyataan dirinya berdasarkan nilai-nilai sosial yang

ada. (Siswojo, 1980)

d. Pendidikan

Pendidikan memiliki pengaruh positif dalam penerimaan diri

karena dapat untuk mempermudah penyesuaian diri. Tetapi ada

kalanya pendidikan yang tinggi justru akan menghambat

penerimaan diri pada penyandang cacat tubuh (Siswojo, 1980)

B. PENYANDANG CACAT

1. Pengertian Penyandang Cacat

Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan

fisik yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan

baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang

cacat mempunyai keterbatasan secara fisik sebagai akibat dari tidak

berfungsinya anggota tubuh tertentu, yang mempengaruhi pula pada

faktor-faktor non-fisik, baik faktor psikis maupun faktor sosial. (Sri

Harmini, 2003)

Andari (2000) menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah

seseorang yang mengalami gangguan secara fisik, mental, ekonomi

dan sosial sehingga membawa pengaruh terhadap berkurangnya

(40)

Mangunsong (1998) menyebutkan bahwa cacat fisik atau cacat

tubuh mempunyai pengertian yang luas dimana secara umum

dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan

fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Penyandang cacat tubuh

cenderung menjadi orang yang tidak mampu sehingga membutuhkan

bantuan, perlindungan dan cenderung menghindarkan diri. (Bartel dan

Guskin dalam Cruickshak, 1980)

Hurlock (1999) meninjau dari segi psikologis, masalah yang

dihadapi penyandang cacat tubuh lebih kompleks, mereka yang tidak

dapat menerima dirinya secara realistis cenderung menganggap dirinya

tidak berharga dan merasa orang lain melihatnya dengan penuh

permusuhan dan penghinaan.

Dianawati dkk (2005) mengemukakan bahwa penyandang cacat

fisik cenderung mengalami perasaan inferioritas. Perasaan inferioritas

adalah kecenderungan individu merasa diri kekurangan, tidak mampu

dan gagal.

Pernyataan-pernyataan di atas menggambarkan bahwa penyandang

cacat adalah seseorang yang memiliki hambatan atau kesulitan secara

fisik yang berakibat pada penurunan akitivitas, serta berpengaruh pada

faktor non fisik seperti psikis seperti rendahnya kepercayaan diri dan

(41)

orang lain untuk beraktivitas maupun dalam mencukupi kebutuhannya

sehari-hari.

Berat ringannya suatu keadaan cacat tubuh dapat dilihat dari

kemampuan penyandang cacat tersebut untuk melakukan kegiatan

sehari-hari, atau diistilahkan ADL, Activity of Daily Living. Semakin berat suatu cacat tubuh yang disandang, maka akan semakin sedikit

ADL yang dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan (Siswoyo

dalam Candra Kirana, 1987).

Penderita paraplegia adalah salah satu yang termasuk dalam kategori kecacatan yang berat. Penderita paraplegia atau kelumpuhan pada anggota-anggota geraknya dapat menghambat aktivitas

penderitanya, seperti contohnya kesulitan dalam ADL.

2. Pengertian Paraplegia

Menurut tim Rehabilitasi medis Rumah Sakit Orthopaedi dan

Prothease Solo (1983) paraplegia adalah kelumpuhan kedua anggota tubuh bagian bawah yang disebabkan kerusakan syaraf pada tulang

belakang, sehingga menyebabkan kontak dari otak terputus, dengan

demikian anggota tubuh tersebut tidak berfungsi sebagaimana

mestinya. Berat ringannya gangguan fungsi anggota tubuh tergantung

seberapa berat kerusakan syaraf pada tulang belakang. Reed (1991)

(42)

fungsi sensori di bawah tingkat dari cedera tulang belakang ; biasanya

diantara T10 atau kebawah.

3. Penyebab Paraplegia

Kerusakan atau cedera pada sumsum tulang belakang punggung

mengakibatkan paraplegia (Werner, 2002). Hal ini dijelaskan oleh Fallon (1985) mengenai berbagai macam sebab yang dapat

menyebabkan rusaknya sumsum tulang belakang, secara garis besar

dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :

a. Kerusakan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh

kecelakaan. Kecelakaan ini meliputi berbagai jenis kecalakaan

seperti kecelakaan lalu lintas luka tembak, luka tusukan,

kecelakaan akibat olah raga biasanya menyelam, jatuh dari pohon,

dan sebagainya. Kerusakan pada sumsum tulang belakang yang

diakibatkan oleh kecelakan ini disebut juga sebagai luka traumatic

tulang belakang.

b. Kerusakan tulang belakang yang terjadi karena penyakit yang

merusak sumsum tulang belakang tetapi tidak merusak susunan

tulang belakang dimana kerusakan pada sumsum tulang belakang

ini dapat menjadi lebih baik atau tetap pada kerusakan yang sama.

Kerusakan sumsum tulang belakang ini kemudian disebut sebagai

kelumpuhan yang tidak berkembang, non-progresif. Kerusakan pada sumsum tulang belakang yang terjadi karena penyakit tulang

(43)

pengerasan otak atau pengerasan sumsum tulang belakang, yang

cenderung memburuk. Kerusakan ini kemudian disebut sebagai

kelumpuhan yang berkembang, progresif.

Penderita paraplegia dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kecacatan akibat adanya suatu kecelakaan yaitu tertimpa

benda berat akibat tertimpa runtuhan ataupun benda berat akibat dari

gempa bumi. Pada umumnya kecacatan berdasarkan penyebabnya

dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu cacat sejak lahir dan cacat setelah

lahir atau mengalami kecelakaan.

a. Cacat Sejak Lahir

Kondisi bayi yang mengalami cacat sejak lahir dapat disebabkan

karena ibunya seorang pecandu narkotik dan janin terbiasakan

dengan narkotik selama berada dalam rahim. Narkotika dapat

menyebabkan cacat badani atau cacat mental. Adakalanya anak

normal selama berada dalam rahim ibunya, tetapi menjadi cacat

pada saat kelahirannya. Misalnya dalam kelahiran yang sulit, alat

pembantu medis dapat melukai mata ataupun pendengaran.

Kelalaian atau kurangnya pengetahuan ibu selama mengandung

maupun setelah melahirkan dapat pula mempengaruhi

perkembangan bayi dimasa pertumbuhannya. Misalnya anak akan

terkena polio jika si anak lupa tidak diberi vaksin polio. Sebuah

(44)

seorang ibu terinfeksi protozoa ini, bisa keguguran atau bisa juga

anaknya lahir buta atau dungu. Pada umumnya cacat badani

merupakan akibat kromosom yang cacat, yang diwarisi orang tua.

Apabila kedua orang tua memiliki kelemahan pada kromosom

yang sama, besar kemungkinan anak mereka akan lahir cacat.

b. Cacat Setalah lahir

Banyak peristiwa dapat menyebabkan cacat. Adakalanya orang

mengalami gegar otak atau kehilangan anggota tubuh dalam

kecelakaan lalu lintas. Adapula yang tertembak dalam perang

sehingga mengakibatkan anggota tubuhnya menjadi cacat atau

tidak berfungsi dengan baik. Penggunaan obat-obatan yang

melebihi dosis dapat pula mengakibatkan kelumpuhan tubuh.

(Wulandari, 2004)

Dianawati dkk (2005) menemukan bahwa individu yang mengalami

kecacatan sejak kecil memiliki inferioritas yang lebih rendah

dibanding individu yang mengalami kecacatan di usia yang lebih tua.

Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa

seseorang yang mengalami cacat sejak lahir lebih mudah menerima

dirinya apa adanya daripada mereka yang mengalami kecacatan setelah

lahir. Penelitian ini mengambil subjek sebagai penyandang cacat

(45)

bumi, dimana banyak dari mereka yang menjadi cacat bukan dari sejak

lahir.

4. Kondisi Fisik Penyandang Cacat Penderita Paraplegia

Kondisi fisik merupakan salah satu faktor penunjang penampilan

diri seseorang. Penampilan fisik tersebut secara tidak langsung dapat

mempengaruhi penerimaan diri seseorang, sebagaimana dikemukakan

oleh Dwiamalia (2002) mengenai penerimaan diri terhadap

penampilan fisik adalah perasaan yang dimiliki seseorang yang

meliputi gambaran dan penilaian beserta sikap-sikapnya terhadap

tubuhnya yang dapat dilihat pada tingkat kepuasannya terhadap

bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara menyeluruh.

Menurut ilmu kedokteran, penyandang cacat adalah seseorang

yang dinyatakan mempunyai kelainan baik fisik maupun mental yang

oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk

melakukan kegiatan secara layak (PP no.36, thn. 1980, tentang Usaha

Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat).

Berdasarkan keadaan kelumpuhan itu sendiri, paraplegia dapat digolongkan menjadi dua jenis (Werner, 2002) yaitu :

a. Paraplegia Complete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang rusak secara menyeluruh, dimana pesan tidak dapat

(46)

kontrol dari gerakan di bawah tingkat kerusakan sumsum tulang

belakang hilang secara permanen dan menyeluruh.

b. Paraplegia Incomplete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang rusak sebagian dimana perasaan dan gerakan mungkin

masih ada sebagian atau mungkin perasaan dan gerakan mungkin

akan kembali membaik sedikit demi sedikit selama beberapa bulan.

Pada penderita paraplegia incompletemungkin pada beberapa bagian tubuh mempunyai perasaan dan kemampuan gerakan yang

lebih sedikit jika dibandingkan bagian yang lain. Pada Laporan

Penelitian Sosial (1970) dijelaskan bahwa penderita paraplegia incomplete dimana kelumpuhan tidak total, kadang masih dapat berjalan sendiri dengan bantuan kruek, brace atau tongkat. Sensasi tidak hilang, hanya kadang-kadang sensivitasnya agak berkurang.

Secara fisik, penderita paraplegia memiliki organ yang lengkap

hanya perbedaannya walaupun organ tubuhnya lengkap, ada beberapa

bagian tubuh yang tidak dapat dipergunakan kembali dikarenakan

rusaknya sumsum saraf pusat pada tulang belakang. Hal tersebut dapat

berpengaruh terhadap mobilitas ketika melakukan kegiatan dan

berperilaku. Cacat paraplegia bersifat permanen sehingga dapat mempengaruhi perilakunya (Brown, dkk. 1999).

Kondisi fisik penderita paraplegia sangat rentan terhadap munculnya luka baru. Kondisi kecacatan yang berakibat pada lumpuh

(47)

sehingga berakibat pada sulitnya untuk bergerak bebas dan hilangnya

fungsi perasa pada bagian tubuh tertentu, bisanya terlalu lama pada

posisi yang sama, misal duduk atau tidur yang terlalu lama, hal ini

berakibat pada bagian tertentu dari tubuh yang terkena tekanan terlalu

lama hingga timbul luka tekan, atau disebut decubitus. Luka decubitus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita cedera

tulang belakang (Dijk, dkk. 1999).

5. Akibat Paraplegia

Paraplegia merupakan kecacatan fisik yaitu kelumpuhan yang terjadi pada sebagian anggota tubuh. Paraplegia tidak menyerang daerah kepala, sehingga dapat dipastikan bahwa paraplegia biasanya mempunyai kondisi otak yang baik. Fallon (1985) mengatakan bahwa

secara biologis fungsi otak penderita paraplegia masih normal dan

tidak mengalami masalah maupun mengalami gangguan, termasuk

fungsi hypothalamus yang mengendalikan perilaku seksual tidak mengalami gangguan. Begitu juga fungsi pusat motoriknya, orang

yang menderita paraplegia tidak mengalami masalah pada pusat

motorik di otak dan anggota-anggota gerak itu sendiri masih normal,

tetapi karena kerusakan sumsum tulang belakang yang terjadi, maka

koordinasi saraf-sarafnya menjadi terganggu bahkan terhenti sama

sekali.

Cederanya sumsum saraf pada tulang belakang mengakibatkan

(48)

tubuh menjadi terhenti, demikian pula sebaliknya. Fallon (1985)

menjelaskan bahwa akibat itu kadang-kadang tidak saja terbatas pada

kelumpuhan anggota gerak bawah tetapi sampai juga pada sistem

geniorinal dan alat kelaminnya.

Koordinasi saraf-saraf yang terputus ini menyebabkan bagian

badan yang lumpuh tidak dapat merasakan sensasi dan tekanan.

Meskipun penderita paraplegia dapat merasakan tekanan kemungkinan tidak akan dapat menggerakkan anggota badan tersebut.

Demikian pula dengan aliran darah yang akan memberi nutrisi ke kulit

akan menjadi menurun.

Menurut Werner (1999), akibat kerusakan sumsum tulang belakang

diantaranya adalah :

a. Kehilangan kontrol gerakan dan perasaan.

b. Kehilangan kontrol sebagian atau menyeluruh terhadap buang air

besar (BAB) dan buang air kecil (BAK).

c. Kemungkinan mempengaruhi pinggul dan beberapa bagian tubuh

(tingkat yang lebih tinggi mengakibatkan daerah kelumpuhan yang

lebih luas).

d. Kemungkinan akan mengalami kejang otot atau kaki yang terkulai.

Menurut Powell (1979), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita

(49)

a. Infeksi saluran kencing.

b. Infeksi saluran pernafasan.

c. Peradangan ginjal

d. Paling sering terjadi adalah luka decubitus.

C. PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS

1. Pengertian Pendampingan

Pendampingan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dan

dapat bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok

yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan, dan

mengontrol. Kata pendampingan lebih bermakna pada kebersamaan,

kesejajaran, samping-menyamping, dan karenanya kedudukan antara

keduanya (pendamping dan yang didampingi) sederajat, sehingga tidak

ada dikotomi antara atasan dan bawahan. Hal ini membawa implikasi

bahwa peran pendamping hanya sebatas pada memberikan alternatif,

saran dan bantuan konsultatif dan tidak pada pengambilan keputusan.

(BPKB Jawa timur, 2001; 5)

Pendampingan berarti bantuan dari pihak luar baik perorangan

maupun kelompok untuk menambahkan kesadaran dalam rangka

pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan pribadi maupun

kelompok. Pendampingan diupayakan untuk menumbuhkan

keberdayaan dan keswadayaan agar individu yang didampingi dapat

(50)

Ramli (2005) menyebutkan bahwa kegiatan pendampingan disebut

sebagai suatu proses karena didalamnya terdapat serangkaian kegiatan

dan daya upaya yang dilakukan pendamping baik secara individual

maupun secara kolaboratif bagi pertumbuhan dan perkembangan

seseorang.

Wiryasaputra (2006) menyebutkan bahwa pendampingan

psikologis adalah proses perjumpaan antara pendamping dan orang

yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang

yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan

mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat

menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah,

bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritual, dan

sosial. Dalam pendampingan terjadi interelasi dan interaksi antara

pendamping dan orang yang didampingi. Pendampingan secara umum

dapat dilakukan oleh semua orang, namun jika pendampingan secara

psikologis hanya dapat dilakukan oleh orang yang menguasai bidang

tersebut.

Lebih lanjut Wiryasaputra menyebutkan bahwa pendampingan

yang mengacu pada hubungan bantuan psikologis ini adalah pada

hubungan di antara dua subjek, yakni orang yang “mendampingi” dan

orang yang “didampingi” dalam posisi sederajat. Pada hakikatnya,

pendampingan psikologi merupakan semangat, sikap, kepedulian dan

(51)

(Wiryasaputra, 2006). Krisis yaitu keadaan dimana seseorang

mengalami masa-masa sulit (Thomas C.Oden, 1986; dalam

Wiryasaputra, 2006).

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendampingan

psikologis adalah suatu rangkaian kegiatan yang hanya bisa dilakukan

oleh orang yang dipersiapkan atau memiliki pendidikan dibidang

psikologis. Pendampingan psikologis ditujukan kepada mereka yang

mengalami krisis agar mereka mampu menyadari dirinya sebagai suatu

kesatuan yang utuh, dan juga membuat mereka sadar akan sumber dan

kemampuan yang ada untuk digunakan untuk mengatasi krisis tersebut

dan juga bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya.

Pendampingan terjadi hubungan yang sederajat antara orang yang

mendampingi dengan yang didampingi.

2. Jenis-Jenis Pendampingan

Menurut Wiryasaputra (2006) ada 3 macam pendampingan yang

dibedakan menjadi :

a. Pendampingan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga secara

universal, dimanapun mereka tinggal sebagai perwujudan dari

hakikat dasar keberadaan manusia : holistik dan keperjumpaan.

b. Pendampingan yang dilakukan oleh para pelaku profesi

non-psikologis yang ingin menggunakan konseling sebagai nilai

(52)

c. Pendampingan yang dilakukan oleh kaum profesional secara penuh

waktu. Pelaku pendampingan ini disebut sebagai konselor

psikologis profesional.

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian yang dilakukan oleh

para pelaku kaum profesional, dimana mereka dipersiapkan secara

khusus untuk mendampingi para korban gempa terutama mereka yang

mengalami kecacatan. Para pendamping adalah mereka yang memiliki

latar belakang pendidikan psikologis.

3. Fungsi Pendampingan

Pendampingan melibatkan pendamping dan yang didampingi.

Pendamping adalah sebagai fasilitator dalam menanggapi masalah

ataupun keprihatinan-keprihatinan dalam kehidupan seseorang yaitu

dengan memfungsikan diri dari yang didampingi. Perbedaan

pendampingan psikologis dengan dukungan dan pendampingan dari

keluarga maupun dalam masyarakat dapat terlihat pada fungsi

pendampingan sebagai berikut. Fungsi pendampingan yaitu meliputi :

a. Menyembuhkan. Fungsi ini dipakai oleh pendamping ketika

melihat keadaan yang perlu dikembalikan ke keadaan semula atau

mendekati keadaan semula, dengan kata lain membantu seseorang

untuk menghilangkan tingkah laku disfungsional yang

mengganggu, dan dapat berfungsi dengan keadaannya yang baru.

b. Menopang. Fungsi menopang dipakai untuk membantu seseorang

(53)

kemudian bisa berdiri diatas kedua kaki sendiri dalam keadan yang

baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh.

c. Membimbing. Pendamping berlaku sebagai pembimbing yang

didampingi untuk bisa mandiri dan bertanggung jawab terhadap

keputusannya dengan mempertimbangkan saran dari pendamping

berupa alternative-alternatif, kelebihan dan kelemahan,

kesempatan, tantangan yang mungkin ada, dan sarana apa saja

yang diperlukan untuk dapat mengambil suatu keputusan yang

terbaik yang dipilih seseorang dengan kesadaran akan pilihannya

sendiri.

d. Memperbaiki hubungan. Pendamping sebagai penengah atau

mediator ketika seseorang mengalami konflik batin dengan pihak

lain yang menyebabkan rusaknya hubungan, yang pada akhirnya

mereka (pihak yang berkonflik) mampu memecahkan masalah

secara mandiri. Namun tidak jarang konflik batin dapat mengarah

pada konflik eksistensial yang kemungkinan terburuk

menyebabkan bunuh diri. Maka pendamping sebagai mediator

orang itu dengan dirinya sendiri.

e. Memberdayakan. Fungsi ini dipakai untuk membantu orang yang

didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa

depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Maka diharapkan

orang yang didampingi tersebut tidak selalu tergantung pada

(54)

Dari fungsi-fungsi pendampingan yang sudah dipaparkan diatas dapat

disimpulkan bahwa pendampingan berfungsi untuk membantu orang

yang didampingi untuk dapat hidup secara mandiri dengan menerima

segala kekurangan maupun kelebihan dirinya secara apa adanya, dan

mau menerima kondisi sekarang dengan tidak hanya pasrah namun

bertanggung jawab akan hidupnya dan mau serta tertantang untuk

mengembangkan hidupnya dan berfungsi dengan keadaan yang baru.

D. Dinamika Perbedaan Penerimaan Diri Kondisi Fisik Penderita

Paraplegia Korban Gempa yang Mendapatkan Pendampingan

Dengan yang Tidak Mendapatkan Pendampingan

Gempa yang terjadi pada pertengahan bulan di tahun 2006 telah

membawa derita bagi sebagian masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.

Banyak orang yang menjadi korban meninggal dan luka-luka, banyak juga

diantara mereka yang menjadi cacat. Kecacatannyapun beraneka ragam

dari yang amputasi kaki, ataupun tangan, luka memar dan patah tulang

dibagian anggota tubuh, bahkan sampai ada yang mengalami luka terparah

yaitu kelumpuhan atau disebut sebagai paraplegia.

Para korban gempa bumi tahun 2006 yang silam yang menjadi

penderita paraplegia sebagian besar adalah orang-orang biasa yang tidak mengalami kecacatan yang berarti, tidak cacat, sehingga ketika sekarang

(55)

depresi, menjadi kurang percaya diri, malu, memiliki perasaan inferioritas

dan merasa menjadi orang yang tidak berguna, gagal dan merasa selalu

butuh bantuan orang lain.

Paraplegia adalah kelumpuhan kedua anggota tubuh bagian bawah yang disebabkan kerusakan syaraf pada tulang belakang, sehingga

menyebabkan kontak dari otak terputus, dengan demikian anggota tubuh

tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.

Penderita paraplegia pada umumnya memiliki organ tubuh yang lengkap, namun karena rusaknya susunan saraf pusat pada sumsum tulang

belakang mengakibatkan fungsi gerak tubuh pada bagian bawah menjadi

lumpuh. Fungsi perasa pada bagian bawah tubuh dibawah luka juga tidak

mampu merasakan rangsangan-rangsangan yang ada. Sering mengalami

kekejangan otot atau kaki terkulai. Kontrol terhadap organ pencernaan

tubuh pada bagian pembuangan, misalnya BAB dan BAK, menjadi tidak

berfungsi atau terganggu. Bahkan kemampuan seksual penderitanyapun

juga ikut terganggu.

Kondisi tersebut berpengaruh pada kondisi mental para korban

bencana ketika berhadapan pada kenyataan hidup saat ini yang mereka

alami yang tidak ada satupun dari mereka menginginkannya, yaitu menjadi

cacat, paraplegia. Masalah penerimaan diri akan kondisi kecacatan ini menjadi hal yang penting untuk diperhatikan mengingat bahwa mereka

(56)

penyandang cacat sehingga kemampuan dan pengetahuan akan

penerimaan diri mereka akan kondisi fisik yang baru, cacat, juga sangat

minim.

Penerimaan diri akan kondisi fisik ditandai dengan sikap yang

mencerminkan rasa senang dan puas akan perubahan yang terjadi pada

kondisi dirinya, tidak diikuti oleh perasaan malu, rendah diri, maupun rasa

bersalah, serta mengenal kelebihan maupun kekurangannya untuk

digunakan secara efektif tanpa harus menyembunyikan siapa dirinya.

Bertanggung jawab dan mandiri dalam mencapai kebutuhan sehari-hari.

Penerimaan diri penyandang cacat paraplegia harus dicapai melalui proses dan pengalaman yang terjadi dalam hidupnya. Jersild

(dalam Hurlock, 2002) menyebutkan bahwa penerimaan diri adalah

sebagai suatu proses bertahan dan mempunyai tingkatan. Mereka yang

mengalami kecacatan bukan dari sejak lahir atau karena kecelakaan

biasanya sulit untuk bisa menerima kondisi dirinya secara langsung,

mereka cenderung mengalami perasaan inferioritas, yaitu kecenderungan

merasa diri kekurangan, tidak mampu dan gagal (Dianawati, dkk. 2005).

Kondisi ini dipertegas dengan informasi dan pengetahuan yang kurang

akan penyandang cacat penderita paraplegia, sehingga yang muncul kemudian adalah penolakan dan sikap inferioritas terhadap diri dan

(57)

Individu yang menerima dirinya sendiri akan lebih mengenali

potensi-potensi yang ada pada dirinya (Skinner, dalam Maramis 1994).

Selain itu, individu yang menerima dirinya akan lebih mengenali

kelebihan maupun kekurangan dirinya sehingga individu tersebut dapat

memanfaatkan potensi, kelemahan dan kekurangan dirinya secara optimal,

tepat guna dan terintergrasi.

Masalah maupun keterbatasan yang dihadapi oleh penyandang

cacat penderita paraplegia sangat kompleks, dari masalah kondisi fisik kecacatannya sampai pada kondisi psikologisnya. Mereka cenderung tidak

dapat menerima kondisi dirinya secara realistis dan cenderung

menganggap dirinya tidak berharga. Kondisi penderita paraplegia yang mengalami kelumpuhan pada bagian tubuh bawah dan kesulitan bergerak

yang berakibat pada mobilitas yang terbatas menuntut mereka untuk selalu

membutuhkan alat bantu ataupun orang lain untuk membantu dalam

mobilitas gerak dalam berkegiatan. Mereka membutuhkan pendampingan

dari orang lain supaya mereka dapat bertahan dalam menjalani dan

memenuhi kebutuhan hidupnya.

Setiap orang pasti membutuhkan bantuan, terutama bagi mereka

yang telah menjadi cacat. Bantuan yang diberikanpun bisa

bermacam-macam, dapat berupa bantuan secara materiil maupun secara moril.

Bantuan materiil biasanya dapat berupa barang-barang atau sesuatu yang

dapat membantu meringankan penderitanya, seperti rumah dan alat-alat

Gambar

table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater
table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater
Tabel 1 Skor untuk Item Favorable dan Unfavorable
Tabel 2
+7

Referensi

Dokumen terkait