vii
PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI
PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN
PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS
Bonaventura Bhuwana Yudistira
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan penerimaan diri para kurban gempa bumi yang menderita kecacatan fisik yaitu penderita paraplegia. Penelitian ini adalah penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerimaan diri korban bencana yang menderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan penderita paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan wanita yang mendapatkan pendampingan dan 30 orang pria dan wanita yang tidak mendapatkan pendampingan. Data diperoleh dengan menggunakan skala penerimaan diri. Daya diskriminasi
skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien realibilitas sebesar 0,969. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara membandingkan dengan t hitung dengan t tabel. Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar dibandingkan mean empiris yang tidak mendapatkan pendampingan (176 > 133). Dari hasil uji-t didapatkan t hitung 18,584 dan t tabel sebesar 1,671 serta p=0,000. Karena t hitung lebih besar (>) daripada t tabel, dan nilai p < 0,005 dengan demikian hipotesa penelitian ini diterima. Artinya, penerimaan diri penyandang cacat paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar atau lebih baik dibandingkan dengan penyandang cacat paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan.
viii
THE DIFFERENCES OF PHYSICAL CONDITION ACCEPTANCE OF PARAPLEGIC DISABILITY BECAUSE EARTHQUAKE
WICH RECEIVED PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE AND NOT RECEIVED ANY PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE
Bonaventura Bhuwana Yudistira
ABSTRACT
The purpose of this research was to see the differences of physical condition of acceptance from paraplegic disability keep up with that assistance and not received any resistance.This research was an comparison research. This hypothesis in this research was self acceptance that disaster victims who have suffered paraplegia better mentoring or higher than paraplegia patients who did not received any assistance. Subjects in this study consisted of 30 men and women who received assistance and 30 men and women who did not received any assistance. Data obtained by using self-acceptance scale. Scale using the power of discrimination limit ≥ 0.3 values with reliability coefficient of 0.969. Research data were analyzed using t-tests, and in determining acceptable or reject the hypothesis, carried out by comparing the calculated t with t table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater assistance than the empirical mean not received any assistance (176>133). From the results obtained t-test and t table 18,584 of 1,671, and p = 0.000. Because the calculated t is greater (>) than t table, and the p-value < 0.005 with the hypothesis that this research is received. That is, self-acceptance that disabled people get assistance paraplegia bigger or better than paraplegia with disabilities who do not get assistance.
PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI
PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN
PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
BONAVENTURA BHUWANA YUDISTIRA
NIM : 029114010
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
i
PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI
PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN
PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun oleh:
BONAVENTURA BHUWANA YUDISTIRA
NIM : 029114010
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iv
Tuhan telah melakukan perkara besar kepada kita, maka kita bersuka cita.
Orang-orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorak
(Mzm 126:3,5)
Pertolongan kita adalah dalam nama TUHAN,
Yang menjadikan langit dan bumi
v
Kupersembahkan karya untuk, Orang tua ku yang telah mendukung dengan kasih dan memberikan yang terbaik bagiku Adik-adik yang telah membantu dengan semangat yang diberikan
vii
PERBEDAAN PENERIMAAN KONDISI FISIK DIRI
PENDERITA PARAPLEGIA KORBAN GEMPA YANG MENDAPATKAN PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS DAN YANG TIDAK MENDAPATKAN
PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS
Bonaventura Bhuwana Yudistira
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat perbedaan penerimaan diri para kurban gempa bumi yang menderita kecacatan fisik yaitu penderita paraplegia. Penelitian ini adalah penelitian perbandingan atau komparasi. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah penerimaan diri korban bencana yang menderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih baik atau lebih tinggi dibandingkan dengan penderita paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan. Subjek dalam penelitian ini terdiri dari 30 orang pria dan wanita yang mendapatkan pendampingan dan 30 orang pria dan wanita yang tidak mendapatkan pendampingan. Data diperoleh dengan menggunakan skala penerimaan diri. Daya diskriminasi
skala menggunakan batas nilai ≥ 0,3 dengan koefisien realibilitas sebesar 0,969. Data penelitian dianalisis menggunakan uji-t, dan dalam menentukan diterima atau ditolaknya hipotesis, dilakukan dengan cara membandingkan dengan t hitung dengan t tabel. Hasil perhitungan menunjukkan mean empiris penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar dibandingkan mean empiris yang tidak mendapatkan pendampingan (176 > 133). Dari hasil uji-t didapatkan t hitung 18,584 dan t tabel sebesar 1,671 serta p=0,000. Karena t hitung lebih besar (>) daripada t tabel, dan nilai p < 0,005 dengan demikian hipotesa penelitian ini diterima. Artinya, penerimaan diri penyandang cacat paraplegia yang mendapatkan pendampingan lebih besar atau lebih baik dibandingkan dengan penyandang cacat paraplegia yang tidak mendapatkan pendampingan.
viii
THE DIFFERENCES OF PHYSICAL CONDITION ACCEPTANCE OF PARAPLEGIC DISABILITY BECAUSE EARTHQUAKE
WICH RECEIVED PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE AND NOT RECEIVED ANY PSYCHOLOGICAL ASSISTANCE
Bonaventura Bhuwana Yudistira
ABSTRACT
The purpose of this research was to see the differences of physical condition of acceptance from paraplegic disability keep up with that assistance and not received any resistance.This research was an comparison research. This hypothesis in this research was self acceptance that disaster victims who have suffered paraplegia better mentoring or higher than paraplegia patients who did not received any assistance. Subjects in this study consisted of 30 men and women who received assistance and 30 men and women who did not received any assistance. Data obtained by using self-acceptance scale. Scale using the power of discrimination limit ≥ 0.3 values with reliability coefficient of 0.969. Research data were analyzed using t-tests, and in determining acceptable or reject the hypothesis, carried out by comparing the calculated t with t table. The calculations showed a mean empirical paraplegia patients who received greater assistance than the empirical mean not received any assistance (176>133). From the results obtained t-test and t table 18,584 of 1,671, and p = 0.000. Because the calculated t is greater (>) than t table, and the p-value < 0.005 with the hypothesis that this research is received. That is, self-acceptance that disabled people get assistance paraplegia bigger or better than paraplegia with disabilities who do not get assistance.
x
KATA PENGANTAR
Puji Syukur pada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan tuntunan,
penyertaan, dan kasihNYA kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Penulis menyadari adanya keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, sehingga
dengan bantuan dari berbagai pihaklah penulis dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada :
1. Tuhan Yesus Kristus, Pelindungku, Tumpuan hidupku, Tujuan hidupku,
Sahabatku, Guruku. Terima kasih Tuhan karena telah menuntun jalanku
hingga saat ini. Walaupun kadang aku tidak setia dengan malas
mengerjakan dan kesalahan-kesalahanku yang lain, Engkau selalu datang
dengan bisikan yang lembut dan meneduhkan hatiku, sehingga aku sering
kali terselamatkan oleh karena Belas Kasihmu. Terima Kasih Tuhan.
2. Dr. Christina Siwi Handayani, M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi
3. Ibu Sylvia Carolina MYM., S.Psi selaku Kepala Program Studi Psikologi.
4. Ibu A. Tanti Arini, S Psi., M Psi., selaku dosen pembimbing akademik.
Terimakasih ibu sudah sangat sabar dan memberikan keceriaan sekaligus
xi
ibu beberapa tahun terakhir kepada saya selama menjadi mahasiswa
Fakultas Psikologi di Universitas Sanata Dharma ini.
5. Ibu M. L. Anantasari yang sudah sangat sabar dalam membimbing
kemajuan skripsi dan selalu memberikan semangat, senyuman dan
dorongan. Terimakasi ibu, atas bimbingan dan nasehat-nasehatnya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
6. Bapak dan ibu dosen penguji yang telah memberikan kritik dan masukkan
yang membangun sehingga skripsi ini menjadi lebih baik
7. Mas Gandung, Bu Nanik, Mas Muji dan Mas Doni. Terima kasih atas
keramahan dan sapaan yang diberikan setiap waktu, dan telah banyak
membantu dalam banyak hal dan memberi kemudahan bagi penulis selama
penulis belajar di fakultas psikologi ini
8. Pak Gi, terimakasih atas segala senyuman, semangat, dan ketulusan hati
bapak dalam melayani kami selama kami belajar di fakultas ini
9. Papa dan Mama tercinta yang selalu terus memberikan semangat. Terima
kasih untuk cinta, kasih sayang, doa, dukungan, jerih payah dan
segala-galanya. Kesabaran untuk menunggu sehingga akhirnya bisa
menyelesaikan skripsi ini. I Love You Mam n Pap….
10.Bimo dan Dimas, adik-adikku yang selalu memahamiku dan
mendukungku hingga aku berhasil sampai sejauh ini. Thanks ya bro…
11.Tyas Ajeng Chris “cakmano” Putri. Kekasihku, sahabatku dan teman
dalam suka dan duka.Temen ngobrol sekaligus temen berkelahi, berneda
xii
kepadaku, tanpa itu mustahil bagiku untuk bisa sampai sejauh ini.
Terimakasih untuk bisa selalu disisiku ya….Doaku dan berkat Tuhan
selalu besertamu
12.Eyang Soewondo kakung (alm) dan eyang putri, eyang Roesnawi kakung
dan putri. Matur nuwun kagem doa dan restu yang selalu diberikan terus
menerus. Semoga cucu mu ini bisa memberikan yang terbaik buat eyang
semuanya.
13.Om-om, tante-tante, tante Rita yang memberiku semangat dan pantang
menyerah dan selalu memberiku makanan yang enak-enak, hehehe…. dan
sodara, sepupuku semua yang selalu mendukung, menyemangatiku dan
mendoakanku supaya aku dapat menyelesaikan skripsiku. Dita, makasi ya
uda mau kurepotin untuk cari buku yang jauh letakny, he…Terimakasi
semuanya…. I Love You All
14.Temen-temen seperjuangan yang membuat hidupku lebih bersemangat dan
penuh arti: Aan, Hoany, Tisa, dan Iant “Tiny”. Aan makasih uda jadi
temen ngobrol dalam hal skripsi, kerjaan sampai masalah-masalah yang
pribadi, hehehe….Hoany kapan lagi makan lotek baeng-bareng,
hehe….Thanks ya hany untuk perhatian mu ke aku . Tisa „artis
kita‟…ayo kapan ke perpus lagi nongkrong, hehe…Makasi ya atas doa,
dukungan dan nasehat yang diberikan ke aku, I always remember.
Tinyyy….kapan ngejus bareng lagi neh…makasi uda mau menjadikan
tempatmu berkumpul temen-temen, ngobrol bareng dan terimakasi untuk
xiii
15.Robot, Kamcik, Bean, Ina dan Kucing. Wah aku akhirnya selesai
neh…..Terimakasi untuk dukungannya. Robot yang selalu kurepotin
pinjem komputer untuk ngerjain statistic dan yang mau nemenin
nongkrong kalo lagi suntuk, kalo mau nonton aja-ajak lagi ye.hehehe….
Ucik “kamcik”, yang selalu mendukungku dan ngajarin aku dari awal
sampai sekarang, wah tidak terbilang sudah bantuan darimu, tunggu aku di
Jakarta ya cik, ntar kita nongrong lagi. Bean yang selalu menyemangatiku
dan mendukungku sampai saat ini. Ina dan Kucing dua ibu muda ini yang
selalu berdoa dan mendukung, walau kalian terpisah jauh, hiks…Betty,
kapan kita di undang ke Singapura bet? Thanks for all that you have done to me pren….
16.Teman-teman Psikologi angkatan 2002 : Yanuar, Barjo, Windra, Danang,
Niko, Dodi, Dhani, Ellen, Nining, Dika, Dina, Ian “pongky”, Dimas, Ardi
“eyang”, Wiwik, Panji, Ivanty, Obet, Vincent, Irfan, Rio, Ina “penari
ular”, Iput, Echa dan semua temen yang tidak bisa kusebutkan satu
persatu, terimakasi atas pertemanan dan kebersamaan yang indah selama
ini.
17.Karyawan YAKKUM : Ibu Maria, Mbak Retno, Pak Tomo, Ibu Nur, Ibu
Ruth, Dokter Ester, bu Endang, mas Sigit, bu Gita, bu Sari, Bu Isti, Mbak
Yuni, Mbak Yuli, Mbak Sheny, Mas Jimanto, Mas Bodro, Mas Kukuh,
Pak Guruh, Mabak Dania, Mbak Dewi, Mas Sabarno, dan semua orang
yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Terimakasihh atas
xiv
saya bisa bersyukur dan bisa diberikan kesempatan untuk melayani
teman-teman kita yang luar biasa.
18.Temen-temen PS : Wawan, Mbak Lia, Mbak Edina, Vembri, Sius, Tina,
Mas Timbo, Bimo, Mbak Eni, Mbak Ike, pak Frans, Mas Muji. Terima
kasih, kalian adalah guru-guruku dan rekan yang paling TOP dalam
membimbingku untuk mengembangkan kemampuanku. Thanks guys. 19.Mbak Thia. Terimakasih sudah percaya dan menerimaku menjadi bagian
dari pelayan di YAKKUM, sehingga aku bisa belajar menjadi guru,
mendengarkan dan mengatur emosi dalam diriku, dan banyak hal lain
yang diajarkan bagiku.
20.Mbal Lia Alva, terimakasih sudah mau membimbingku dalam
mengerjakan skripsi dan memberikan banyak kesempatan-kesempatan
besar dalam diriku, salah satunya mempertemuakan dengan “kekasihku”.
21.Lisna, guru statistik pertama ku, terimakasih ya atas bantuan dan
kesabaranmu sampai malam-malam mengganggumu hanya untuk
mengajariku statistik . Kalo butuh temen ngobrol aku siap lo lis, he….
22.Temen-temen anak binaan YAKKUM : Mikocik Rohim, Ari, Puji, Ndaru,
Eko, Desta, Roisah, dan buanyak temen-temenku disana. Semangat ya
teman, jangan takut, jangan minder karena kalian sangat hebat. Jadilah
orang yang mandiri dan percaya diri dan kuat dalam hidup. OK. Dan
terimakasih sudah memberikan keceriaan, canda tawa, air mata, semoga
xv
23.Temen-temen posko di daerah bantul dan sekitarnya. Wawan, kapan neh
kita bisa cari es rujak bareng lagi, makasi uda mau membantu dalam
pengambilan data skripsi dan jadi temen curhat jadi aku gak ketinggalan
berita-berita menghebohkan, hehehe...thanks ya bro…Sigit (sukses buat
kerjaanmu ya), Supri (sering dirumah pri, jaga ibu dan bapak, he…), Mbak
Win (kapan neh kita hunting „salome‟ lagi), Mas Tri ( kapan-kapan kita nginep di posko maneh yo mas, hi...)
24.Bapak dan ibu, mas dan mbak semua yang dengan sudi dan mau
meluangkan waktu untuk mengisi angket ini, saya sangat berterima kasih,
tanpa bantuan dari semuanya mustahil bagi sya untuk dapat menyelesaikan
studi saya. Semoga hasil dari penelitian ini dapat berguna bagi kita semua
untuk seterusnya.
25. Teman-teman dan sodaraku yang tidak tersebutkan namanya diatas,
namun sudah memberiku semangat dan doa. Dari lubuk hati yang paling
dalam saya mengucapkan banyak terima kasih atas semuanya.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
dengan segenap kerendahan hati penulis menerima kritik dan saran yang
membangun untuk menunjang kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta,
Penulis
xvi DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Halaman Persetujuan Pembimbing... ii
Halaman Pengesahan ... iii
Halaman Moto ... iv
Halaman Persembahan ... v
Pernyataan Keaslian Karya ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACK ... viii
Pernyataan Persetujuan Publikasi ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xx
DAFTAR TABEL ... xxi
xvii
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian... 8
D. Manfaat Penelitian ... 8
1. Manfaat Teoritis ... 8
2. Manfaat Praktis ... 9
BAB II. LANDASAN TEORI ... 10
A. Penerimaan Diri kondisi Fisik... 10
1. Pengertian Penerimaan Diri Kondisi Fisik ... 10
2. Aspek Penerimaan Diri akan Kondisi Fisik ... 12
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri ... 13
B. Penyandang Cacat Penderita Paraplegia ... 15
1. Pengertian Penyandang Cacat ... 15
2. Pengertian Paraplegia ... 17
3. Penyebab Paraplegia ... 18
4. Kondisi Fisik Penyandang Cacat Penderita Paraplegia .... 21
xviii
C. Pendampingan Psikologis ... 25
1. Pengertian Pendampingan Psikologis ... 25
2. Jenis-Jenis Pendampingan ... 27
3. Fungsi-Fungsi Pendampingan ... 28
D. Dinamika Perbedaan Penerimaan Diri Kondisi Fisik Diri Penyandang Cacat Penderita Paraplegia Korban Gempa yang Mendapatkan Pendampingan psikologis dan yang Tidak Mendapatkan Pendampingan Psikologis ... 30
E. Hipotesis ... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38
A. Jenis Penelitian ... 38
B. Identifikasi Variabel ... 38
C. Definisi Operasional ... 39
D. Subjek Penelitian... 41
E. Prosedur Penelitian ... 43
F. Metode dan Alat Pengumpul Data ... 44
xix
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52
A. Pelaksanaan Penelitian ... 52
B. Deskripsi Subjek ... 53
C. Uji Asumsi Analisis Data ... 54
1. Uji Normalitas ... 54
2. Uji Homogenitas ... 55
D. Uji Hipotesis ... 56
E. Analisis Tambahan (Kategorisasi) ... 58
F. Pembahasan ... 61
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70
A. Kesimpulan ... 70
B. Saran ... 71
DAFTAR PUSTAKA ... 73
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 SKALA UJI COBA
Lampiran 2 DATA UJI COBA (PENELITIAN)
Lampiran 3 RELIABILITAS SKALA
Lampiran 4 SKALA PENELITIAN
Lampiran 5 UJI NORMALITAS
Lampiran 6 UJI HOMOGENITAS
xxi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Skor untuk Item Favorable dan Unfavorabe ... 46
Tabel 2 Blue Print Skala Perbedaan Penerimaan Diri ... 47
Tabel 3 Spesifikasi Item Uji Coba dan Penelitian ... 50
Tabel 4 Deskripsi Subjek Penelitian ... 54
Tabel 5 Hasil Perhitungan Uji Normalitas Kolmogorov Smirnov ... 54
Tabel 6 Ringkasan Hasil Uji-t, pendampingan dan non pendampingan .. 56
Tabel 7 Norma Kategorisasi Skor ... 58
Tabel 8 Kategori Skor Penerimaan Diri Penderita Paraplegia ... 59 Tabel 8.1 Kategori Skor Penerimaan Diri; pendampingan ... 60
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bencana alam berupa gempa bumi melanda wilayah Yogyakarta dan
sekitarnya pada hari Sabtu, 27 Mei 2006 pukul 05:54:00.0 WIB. Gempa Gempa
dengan kekuatan 5,9 Skala Richter dan pusat gempa berada di laut 37,2 km
selatan Yogyakarta dengan posisi 8 LS – 110.31 BT dan kedalaman 11,8 km
(Berita Gempa Bumi No: 66/NSC/V/2006, BMG). Gempa menyisakan kerusakan
yang parah pada aspek fisik dan non-fisik. Akibat utama yang ditimbulkan gempa
bumi adalah hancurnya bangunan-bangunan karena goncangan tanah. Jatuhnya
korban jiwa biasanya karena tertimpa reruntuhan bangunan, terkena longsor dan
kebakaran (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, 2006).
Para korban gempa banyak yang mengalami kehilangan orang-orang yang
dicintai, kehilangan barang-barang pribadi yang berharga dan mengalami luka
fisik (Vivinne, dalam Bencana dan Kita, 2006). Hasil dari pendataan Seksi Bina
Program Dinas Kesehatan DIY (pemda-diy.go.id, 2010) mencatat 891 orang
penderita cacat tubuh permanen akibat cedera gempa sehingga menempati urutan
tertinggi dibandingkan penderita cacat yang lain. Salah satu kecacatan permanen
dan yang paling parah adalah cedera sumsum tulang belakang atau paraplegia. Cedera ini biasanya diakibatkan oleh kecelakaan yang memutuskan atau sangat
Kondisi kecacatan paraplegia ini termasuk dalam kategori kecacatan yang parah karena mereka tidak mampu lagi untuk bisa berjalan kembali, kaki menjadi
layuh yang berakibat terhambatnya mobilitas gerakan. Werner (2002) mengatakan
bahwa ciri-ciri khusus paraplegia adalah penderita merasakan hilangnya gerakan terkendali dan daya rasa di tungkai, panggul dan sebagian batang tubuh mungkin
berpengaruh. Semakin tinggi letak cedera, semakin banyak yang terpengaruh.
Penderita mengalami kehilangan kontrol urine dan usus besar sebagian bahkan
menyeluruh. Selain itu, penderita mengalami spastisitas atau kejang-kejang otot
serta tungkainya lemas dan lunglai.
Kondisi dimana sebelumnya mereka sehat secara fisik dan mampu
melakukan banyak aktivitas menjadi lumpuh, mobilitas terganggu dan berakibat
pada munculnya masalah terhadap mental mereka seperti merasa tidak berdaya,
cemas, takut, dan marah karena tidak bisa menerima kondisi kecacatannya
tersebut (Sharma, 2005). Hal tersebut dipertegas oleh Dianawati (2005) menjadi
cacat diartikan oleh sebagian besar orang adalah menjadi orang yang gagal dan
tidak mampu.
Paraplegia termasuk dalam kategori penyakit akut yang dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan psikologis (Kinshi, Robinson and
Kosier, 2001), mereka menjadi sulit untuk bisa menerima kondisi dirinya karena
menjadi cacat. Hal tersebut bisa disebabkan karena tingkat kesembuhan yang
dialami penderita paraplegia sangat kecil dan penyakit ini bersifat permanen. Hal tersebut dikuatkan oleh Suhartono (1976) berpendapat bahwa mereka yang
Kompleksnya masalah penerimaan akan kondisi fisik yang dialami oleh
penderita paraplegia seperti terhambatnya mobilitas, gangguan saluran pencernaan, gangguan saluran kemih (O‟Connor, dkk, 2004) hingga masalah
fungsi seksual (Stien, 1999) berakibat pada munculnya gejala psikologis seperti
depresi, kurang percaya diri, malu, kecewa, menjadi pemurung hingga perubahan
perilaku (Brown, 1999). Hal tersebut akan memperkuat seseorang untuk menolak
atau bahkan acuh tak acuh akan kondisi dirinya yang sekarang, atau berpikir
kurang realistis.
Masalah Penerimaan akan kondisi fisik diri pada penderita paraplegia
harus didukung dengan kemampuan untuk mengenal dan mengetahui kondisi fisik
diri, hal tersebut akan memunculkan penerimaan akan dirinya (Jung, dalam
Schultz, 1991). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rubin (Gardner, 2002)
yaitu suatu sikap yang mencerminkan adanya rasa senang sehubungan dengan
kenyataan yang ada sehingga individu memiliki emosi yang spontan, fleksibel
dalam menghadapi perasaannya, disertai sikap dan perilaku yang wajar, tidak
dibuat-buat dan tanpa ada yang disembunyikan.
Penerimaan diri merupakan suatu sikap akan kepuasan terhadap diri akan
perubahan yang terjadi pada kondisi fisiknya (Chaplin, 1999). Rasa puas yang
diikuti rasa bangga, percaya diri akan kondisi diri yang dapat meningkatkan
penerimaan diri yang positif pada dirinya. Menurut Perls (dalam Schultz, 1991)
orang yang sehat secara psikologis memiliki kesadaran dan penerimaan penuh
Penerimaan akan kondisi fisik diri penderita paraplegia yang diakibatkan karena gempa, tidak begitu saja muncul, memerlukan waktu dan proses yang lama
terlebih karena kecacatannya tersebut bukan dari kecil atau lahir. Seiring dengan
munculnya penerimaan akan kondisi fisik diri yang menimpa penderita
paraplegia dipengaruhi pula oleh dukungan, bantuan, maupun pendampingan dari pihak diluar diri yaitu anggota keluarga, masyarakat dan lembaga yang
dipersiapkan untuk membantu para korban bencana penderita paraplegia.
Dukungan maupun pendampingan dari keluarga sangat dibutuhkan bagi
mereka penderita paraplegia dikarenakan kondisi mereka yang memang membutuhkan bantuan dari pihak luar. Keluarga yang mendampingipun harus
mengetahui bagaimana merawat dan mengetahui kebutuhan dari penderita
paraplegia. Perawatan secara fisik saja tidak cukup untuk membuat penderita
paraplegia dapat menerima kondisi fisik kecacatannya, memerlukan bantuan dan pendampingan dari pihak lain yang memang dipersiapkan untuk membantu secara
psikologis dalam menangani masalah psikologis penderita paraplegia dalam upaya untuk memaksimalkan kemampuan diri.
Pendampingan di dalam keluarga adalah upaya untuk mendampingi
penderita kecacatan supaya mereka dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
Keluarga mengambil peran yang penting untuk kesembuhan penderitanya, namun
setiap keluarga memiliki sifat dan perlakuan yang berbeda, jika dalam proses
pendampingan ternyata kurang tepat maka akan berakibat buruk pada
yang dalam kesehariannya kurang mendapat dukungan dari orang sekitarnya
maupun keluarganya karena dianggap tidak mampu (Affrida, 2007).
Jenis bantuan lain yang juga berpengaruh terhadap kesembuhan dan
kehidupan penyandang cacat paraplegia adalah berupa bantuan fisik, yang dapat berupa rumah atau bangunan, sarana kesehatan, dana atau uang, pemberian alat
bantu kecacatan hingga dalam wujud perawatan kesehatan. Kenyataan yang ada
dilapangan banyaknya bantuan fisik yang diberikan oleh pihak pemerintah,
donatur, lembaga sosial baik dari dalam maupun luar negeri, namun terkadang
bantuan secara fisik tidak banyak membantu, hal tersebut dikarenakan
permasalahan yang dihadapi penderita kecacatan paraplegia sangat kompleks. Selain permasalahan secara fisik, mereka juga mengalami permasalahan secara
psikologis, salah satunya adalah penerimaan akan kondisi fisik diri.
Bantuan yang diberikan bukan berupa bantuan fisik adalah bantuan
non-fisik yang salah satunya berupa pendampingan secara psikologis. Pendampingan
adalah salah satu jenis layanan psikologis (Wiryasaputra, 2006), yang hanya bisa
diberikan oleh mereka yang sudah dipersiapkan atau memiliki pengetahuan untuk
mendampingi para korban akibat bencana alam. Pendampingan diberikan supaya
orang yang didampingi dapat sembuh, berdaya dan berfungsi pnuh untuk
mencukupi kebutuhannya secara mandiri.
Tujuan pendampingan psikologis ini adalah membantu seseorang yang
berada dalam keadaan krisis. Krisis yang dimaksud adalah kondisi seseorang yang
terkait oleh karena menderita suatu penyakit, sakit yang berkepanjangan, bencana
alam, tidak ada harapan, putus, depresi dan stress dalam kehidupan sehari-hari
(Thomas, dalam Wiryasaputra, 2006). Selain itu, pendampingan psikologis juga
bertujuan untuk menyembuhkan, menopang, membimbing, memperbaiki
hubungan dan mendayagunakan individu untuk kehidupan yang lebih baik.
Proses pendampingan psikologis ini diberikan oleh para tenaga ahli yang
sudah dipersiapkan untuk keadaan darurat melalui suatu program rehabilitasi.
Program rehabilitasi tersebut adalah program yang didalamnya terdapat
serangkaian kegiatan seperti perawatan luka, sosialisasi dan pemberian alat bantu
maupun pendampingan psikologis. Rehabilitasi berarti proses mempercepat
sosialisasi atau berfungsi secara wajar dari keadaan sebelumnya (Latipun, 2001).
Rehabilitasi memiliki tujuan untuk mengembalikan persepsi dan emosi
sehingga para korban dapat memandang dirinya yang ada lebih positif dan dapat
berbuat lebih tepat sesuai dengan potensi yang dimiliki. Rehabilitasi ini hanya
bisa dilakukan oleh seseorang yang disiapkan dan ahli dalam bidangnya. Proses
ini diberikan oleh suatu lembaga yang bergeak juga dalam bidang rehabilitasi,
yaitu Pusat Reahabilitasi Yakkum, kepada penyandang cacat paraplegia korban gempa.
Pusat Rehabilitasi Yakkum (PRY) adalah salah satu lembaga
non-pemerintah yang memberi pelayanan terhadap orang-orang cacat. Visi dan misi
dari PRY adalah merehabilitasi para penyandang cacat agar mereka bisa mandiri
dalam proses pemulihan pasca gempa di Bantul. Pelayanan yang diberikan
meliputi assesment medis, perawatan luka, pemberian terapi yaitu Fisioterapi dan
Okupasi Terapi. Selain itu, PRY mempunyai program pendampingan psikologi
dari unit Psikososial.
Bantuan dan pelayanan yang diberikan PRY meliputi bantuan fisik dan
non-fisik dengan melibatkan dan diawasi oleh para ahli dibidangnya. Tidak hanya
pada bantuan fisik saja yang diberikan kepada korban gempa Bantul, namun
bantuan lain yang berguna untuk meningkatkan dan mengembangkan diri secara
mental yaitu berupa bantuan psikologis. Pendampingan secara psikologis ini
menjadi salah satu program yang dilakukan oleh PRY yang diberikan kepada
semua korban gempa, terutama mereka yang mengalami luka atau kecacatan yang
ringan maupun parah, yang sementara ataupun permanen, salah satunya adalah
penderita paraplegia.
Penerimaan akan kondisi fisik diri bagi penderita paraplegia adalah salah satu yang utama yang harus dilakukan sebagai proses pemulihan diri, yaitu untuk
menumbuhkan dan mengembangkan mental bagi penderitanya. Hal tersebut
menjadi topik dalam penelitian ini, yaitu melihat perbedaan penerimaan kondisi
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan yang akan
diteliti dalam penelitian ini adalah apakah penerimaan diri penyandang cacat
korban gempa yang mendapatkan pendampingan lebih baik daripada mereka yang
tidak mendapatkan pendampingan?
C. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat apakah dalam penerimaan
diri penyandang cacat penderita paraplegia yang mendapatkan pendampingan, secara psikologis, jauhlebih baik jika dibandingkan dengan penderita paraplegia
yang tidak mendapatkan pendampingan.
D. Manfaat
1. Manfaat Teoritis
Memberi tambahan informasi dalam bidang ilmu psikologi klinis akan
penerimaan diri penyandang cacat penderita paraplegia yang mendapat pendampingan dengan yang tidak mendapatkan pendampingan dalam
proses pemulihan secara psikologis, terutama dalam menerima kondisi
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Klien, hasil penelitian akan berguna sebagai wacana reflektif
untuk mencapai pemahaman pentingnya menerima diri akan kondisi
fisik penyandang cacat, penderita paraplegia korban gempa terutama untuk perkembangan mental yang lebih baik. Dan bagi keluarga untuk
mau membimbing dan memfasilitasi penderita untuk berkembang
menuju kehidupan yang lebih baik.
b. Bagi Pusat Rehabilitasi Yakkum hasil penelitian ini berguna sebagai
evaluasi pentingnya pengadaan program pendampingan bagi
penyandang cacat, terutama yang mengalami kecacatan yang berat
seperti paraplegia, agar mereka mau menerima kondisi diri dan dapat berfungsi kembali, dan disarankan agar program ini terus diadakan
untuk membantu penyandang cacat berfungsi optimal.
c. Bagi pemerintah dan lembaga sosial yang bergerak dalam penanganan
korban gempa, hasil penelitian sangat berguna sebagai evaluasi
dalampilihan bantuan alternatif selain memberikan bantuan fisik, dan
melihat apakah diperlukan adanya bantuan dalam wujud
pendampingan psikologis bagi mereka yang menjadi cacat karena
gempa, dan sebagai sarana tambahan informasi dalam upaya
menciptakan pemulihan yang optimal bagi penyandang cacat korban
10 BAB II
LANDASAN TEORI
A. PENERIMAAN DIRI KONDISI FISIK
1. Pengertian Penerimaan Diri secara Fisik
Secara umum, Penerimaan diri menurut Wiley (dalam Anugrah,
1995; Media Psikologi Indonesia) mengandung pengertian adanya
persepsi terhadap diri sendiri mengenai kelebihan dan keterbatasannya
untuk digunakan secara efektif. Seseorang yang memiliki penerimaan
diri berarti dapat mengenali kekurangannya sendiri dan berusaha untuk
memperbaiki diri. Penerimaan diri akan meningkatkan penilaian diri,
akan dapat mengkritik diri sendiri dan bertanggung jawab terhadap
pilihannya sendiri, serta tidak menyalahkan ataupun mencela orang
lain karena keadaan yang terjadi pada dirinya tersebut.
Gea, dkk (2002) juga menyebutkan penerimaan diri adalah suatu
sikap memandang diri sendiri sebagaimana adanya dan
memperlakukannya secara baik disertai rasa senang serta bangga
sambil terus mengusahakan kemajuannya.
Pernyataan diatas adalah pernyataan yang melihat penerimaan diri
secara umum, sedangkan penerimaan diri akan kondisi fisik terdiri dari
Penerimaan diri secara fisik didefinisikan oleh Unger dan
Crawford (1992) sebagai suatu evaluasi dan penilaian tentang raganya.
Jersild (1979) mengatakan bahwa penerimaan diri secara fisik sebagai
tingkat kepuasan individu terhadap bagian-bagian tubuh dan
penampilan tubuh secara keseluruhan.
Penerimaan diri terhadap kondisi fisik seperti yang dikemukakan
oleh Rubin (Gardner, 2002) menyatakan bahwa penerimaan diri,
terutama keadaan fisik, merupakan suatu sikap yang mencerminkan
adanya rasa senang sehubungan dengan kenyataan yang ada pada
dirinya sehingga membuat individu memiliki emosi yang spontan,
fleksibel, serta mampu menyadari perasaannya. Menerima kondisi
dirinya seperti apa adanya disertai sikap dan perilaku yang wajar, tidak
dibuat-buat dan tanpa ada sesuatu yang disembunyikan.
Dwiamalia (2002) melihat penerimaan diri seseorang akan
penampilan secara fisik adalah suatu perasaan akan gambaran dan
penilaian beserta sikapnya terhadap tubuhnya dilihat dari tingkat
kepuasan terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisiknya
secara menyeluruh.
Chaplin (1999) berpendapat bahwa penerimaan diri adalah sikap
yang pada dasarnya merupakan rasa puas terhadap dirinya serta
menerima perubahan-perubahan yang terjadi pada fisiknya. Pengakuan
diri, maupun rasa bersalah. Individu harus menerima kodrat mereka
apa adanya, sehingga mereka tidak harus mengubah atau memalsukan
dirinya.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan penerimaan diri akan kondisi fisiknya
adalah suatu tingkatan perasaan senang atau puas terhadap diri dan
keadaan fisiknya dengan segala kelebihan dan kekurangannnya,
memiliki kebanggaan dengan keadaannya tersebut tanpa merasa malu
dan rendah diri akan keadaannya tersebut, mampu bertanggung jawab
terhadap dirinya dan perbuatan yang dilakukannya tanpa terikat oleh
orang lain. Mampu memahami dirinya akan potensi yang dimiliki dan
mengembangkan potensi yang dimiliki menjadi sesuatu yang
diharapkan, tidak hanya menerima saja.
2. Aspek-Aspek Penerimaan Diri akan Kondisi Fisik
Terdapat beberapa aspek yang mempengaruhi penerimaan diri
seseorang. Burns (dalam Anugrah, 1995; Media Psikologi Indonesia,
1998) dan menurut shere (dalam Hjelle & Zieglaer, 1977)
menyebutkan ada 3 aspek penerimaan diri terhadap kondisi fisik
seseorang, yaitu:
a. Pengetahuan tentang fisik dirinya sendiri, yaitu sejauh mana
individu mengenal dan memahami kondisi fisiknya
meliputi kebutuhan-kebutuhan apa saja yang diperlukan atau
diperhatikan dengan kondisinya tersebut seperti kebutuhan akan
alat bantu (kursi roda), terapi, medis (rawat luka) sampai pada
pengetahuan akan lingkungan fisik yang sesuai dan baik bagi
kondisi maupun keadaan fisiknya (aksesbilitas), misal jalann yang
rata, tempat tidur yang empuk, pintu kamar mandi yang luas, dan
sebagainya.
b. Pemahaman yang realistik atas kemampuan diri adalah suatu
tingkatan kemampuan dimana seseorang mampu menyadari dan
mengerti akan potensi-potensi yang dimilikinya, dan sejauh mana
individu dapat bersikap dengan tepat sesuai dengan kondis saat ini.
Misalnya ; bersikap dan berpikir secara realistis, mampu bersikap
atau bertindak sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.
c. Kepuasan terhadap dirinya sendiri adalah suatu tingat penerimaan
diri dengan sungguh (apa adanya) akan apa yang ada pada dirinya
meliputi penampilan fisik besarta perasaan dan penilaian yang
meliputinya, terkait dengan kondisi dirinya yang menjadi cacat.
Selain itu meliputi penilaian positif akan dirinya yang ditunjukkan
dalam perasaan senang (rasa puas) yang terlihat dalam sikap
menerima akan kondisinya (kelebihan maupun kekurangannya)
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penerimaan Diri
Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi penerimaan diri pada
a. Jenis Kelamin
Menurut Ratnawati (1990) jenis kelamin akan mempengaruhi
penerimaan diri dan terdapat perbedaan yang mencolok antara pria
dan wanita. Pria dinilai memiliki penerimaan diri yang lebih positif
bila dibandingkan dengan wanita, hal ini berkaitan dengan sifat
serta perlakuan orang tua mereka. Selain itu juga karena wanita
relatif lebih sensitif serta lebih menitikberatkan pada afektif
daripada pria.
b. Lama Cacat yang disandang
Berdasarkan lama kecacatan yang disandang, penerimaan diri pada
penyandang cacat tubuh sejak lahir atau pada masa kanak-kanak
lebih positif dibandingkan penyandang cacat tubuh pada masa
remaja atau dewasa (Suhartono, 1976). Hal itu terjadi karena
mereka sejak kecil terbiasa diperlakukan sebagai anak normal.
Kecacatan tubuh yang mereka sandang seolah-olah merupakan
kejutan psikis, sehingga mereka mengalami gangguan emosi,
berupa rasa rendah diri, apatis, sensitif dan diikuti penolakan diri.
c. Intelegensi
Faktor intelegensi selain menambah kemampuan dalam
membentuk pengertian mengenai bagaimana nilai-nilai sosial
menghendaki penyesuaian juga dapat membuat seseorang lebih
positif dari kenyataan dirinya berdasarkan nilai-nilai sosial yang
ada. (Siswojo, 1980)
d. Pendidikan
Pendidikan memiliki pengaruh positif dalam penerimaan diri
karena dapat untuk mempermudah penyesuaian diri. Tetapi ada
kalanya pendidikan yang tinggi justru akan menghambat
penerimaan diri pada penyandang cacat tubuh (Siswojo, 1980)
B. PENYANDANG CACAT
1. Pengertian Penyandang Cacat
Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan
fisik yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan
baginya untuk melakukan kegiatan secara selayaknya. Penyandang
cacat mempunyai keterbatasan secara fisik sebagai akibat dari tidak
berfungsinya anggota tubuh tertentu, yang mempengaruhi pula pada
faktor-faktor non-fisik, baik faktor psikis maupun faktor sosial. (Sri
Harmini, 2003)
Andari (2000) menyebutkan bahwa penyandang cacat adalah
seseorang yang mengalami gangguan secara fisik, mental, ekonomi
dan sosial sehingga membawa pengaruh terhadap berkurangnya
Mangunsong (1998) menyebutkan bahwa cacat fisik atau cacat
tubuh mempunyai pengertian yang luas dimana secara umum
dikatakan ketidakmampuan tubuh secara fisik untuk menjalankan
fungsi tubuh seperti dalam keadaan normal. Penyandang cacat tubuh
cenderung menjadi orang yang tidak mampu sehingga membutuhkan
bantuan, perlindungan dan cenderung menghindarkan diri. (Bartel dan
Guskin dalam Cruickshak, 1980)
Hurlock (1999) meninjau dari segi psikologis, masalah yang
dihadapi penyandang cacat tubuh lebih kompleks, mereka yang tidak
dapat menerima dirinya secara realistis cenderung menganggap dirinya
tidak berharga dan merasa orang lain melihatnya dengan penuh
permusuhan dan penghinaan.
Dianawati dkk (2005) mengemukakan bahwa penyandang cacat
fisik cenderung mengalami perasaan inferioritas. Perasaan inferioritas
adalah kecenderungan individu merasa diri kekurangan, tidak mampu
dan gagal.
Pernyataan-pernyataan di atas menggambarkan bahwa penyandang
cacat adalah seseorang yang memiliki hambatan atau kesulitan secara
fisik yang berakibat pada penurunan akitivitas, serta berpengaruh pada
faktor non fisik seperti psikis seperti rendahnya kepercayaan diri dan
orang lain untuk beraktivitas maupun dalam mencukupi kebutuhannya
sehari-hari.
Berat ringannya suatu keadaan cacat tubuh dapat dilihat dari
kemampuan penyandang cacat tersebut untuk melakukan kegiatan
sehari-hari, atau diistilahkan ADL, Activity of Daily Living. Semakin berat suatu cacat tubuh yang disandang, maka akan semakin sedikit
ADL yang dapat dilakukan oleh individu yang bersangkutan (Siswoyo
dalam Candra Kirana, 1987).
Penderita paraplegia adalah salah satu yang termasuk dalam kategori kecacatan yang berat. Penderita paraplegia atau kelumpuhan pada anggota-anggota geraknya dapat menghambat aktivitas
penderitanya, seperti contohnya kesulitan dalam ADL.
2. Pengertian Paraplegia
Menurut tim Rehabilitasi medis Rumah Sakit Orthopaedi dan
Prothease Solo (1983) paraplegia adalah kelumpuhan kedua anggota tubuh bagian bawah yang disebabkan kerusakan syaraf pada tulang
belakang, sehingga menyebabkan kontak dari otak terputus, dengan
demikian anggota tubuh tersebut tidak berfungsi sebagaimana
mestinya. Berat ringannya gangguan fungsi anggota tubuh tergantung
seberapa berat kerusakan syaraf pada tulang belakang. Reed (1991)
fungsi sensori di bawah tingkat dari cedera tulang belakang ; biasanya
diantara T10 atau kebawah.
3. Penyebab Paraplegia
Kerusakan atau cedera pada sumsum tulang belakang punggung
mengakibatkan paraplegia (Werner, 2002). Hal ini dijelaskan oleh Fallon (1985) mengenai berbagai macam sebab yang dapat
menyebabkan rusaknya sumsum tulang belakang, secara garis besar
dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu :
a. Kerusakan sumsum tulang belakang yang disebabkan oleh
kecelakaan. Kecelakaan ini meliputi berbagai jenis kecalakaan
seperti kecelakaan lalu lintas luka tembak, luka tusukan,
kecelakaan akibat olah raga biasanya menyelam, jatuh dari pohon,
dan sebagainya. Kerusakan pada sumsum tulang belakang yang
diakibatkan oleh kecelakan ini disebut juga sebagai luka traumatic
tulang belakang.
b. Kerusakan tulang belakang yang terjadi karena penyakit yang
merusak sumsum tulang belakang tetapi tidak merusak susunan
tulang belakang dimana kerusakan pada sumsum tulang belakang
ini dapat menjadi lebih baik atau tetap pada kerusakan yang sama.
Kerusakan sumsum tulang belakang ini kemudian disebut sebagai
kelumpuhan yang tidak berkembang, non-progresif. Kerusakan pada sumsum tulang belakang yang terjadi karena penyakit tulang
pengerasan otak atau pengerasan sumsum tulang belakang, yang
cenderung memburuk. Kerusakan ini kemudian disebut sebagai
kelumpuhan yang berkembang, progresif.
Penderita paraplegia dalam penelitian ini adalah mereka yang mengalami kecacatan akibat adanya suatu kecelakaan yaitu tertimpa
benda berat akibat tertimpa runtuhan ataupun benda berat akibat dari
gempa bumi. Pada umumnya kecacatan berdasarkan penyebabnya
dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu cacat sejak lahir dan cacat setelah
lahir atau mengalami kecelakaan.
a. Cacat Sejak Lahir
Kondisi bayi yang mengalami cacat sejak lahir dapat disebabkan
karena ibunya seorang pecandu narkotik dan janin terbiasakan
dengan narkotik selama berada dalam rahim. Narkotika dapat
menyebabkan cacat badani atau cacat mental. Adakalanya anak
normal selama berada dalam rahim ibunya, tetapi menjadi cacat
pada saat kelahirannya. Misalnya dalam kelahiran yang sulit, alat
pembantu medis dapat melukai mata ataupun pendengaran.
Kelalaian atau kurangnya pengetahuan ibu selama mengandung
maupun setelah melahirkan dapat pula mempengaruhi
perkembangan bayi dimasa pertumbuhannya. Misalnya anak akan
terkena polio jika si anak lupa tidak diberi vaksin polio. Sebuah
seorang ibu terinfeksi protozoa ini, bisa keguguran atau bisa juga
anaknya lahir buta atau dungu. Pada umumnya cacat badani
merupakan akibat kromosom yang cacat, yang diwarisi orang tua.
Apabila kedua orang tua memiliki kelemahan pada kromosom
yang sama, besar kemungkinan anak mereka akan lahir cacat.
b. Cacat Setalah lahir
Banyak peristiwa dapat menyebabkan cacat. Adakalanya orang
mengalami gegar otak atau kehilangan anggota tubuh dalam
kecelakaan lalu lintas. Adapula yang tertembak dalam perang
sehingga mengakibatkan anggota tubuhnya menjadi cacat atau
tidak berfungsi dengan baik. Penggunaan obat-obatan yang
melebihi dosis dapat pula mengakibatkan kelumpuhan tubuh.
(Wulandari, 2004)
Dianawati dkk (2005) menemukan bahwa individu yang mengalami
kecacatan sejak kecil memiliki inferioritas yang lebih rendah
dibanding individu yang mengalami kecacatan di usia yang lebih tua.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
seseorang yang mengalami cacat sejak lahir lebih mudah menerima
dirinya apa adanya daripada mereka yang mengalami kecacatan setelah
lahir. Penelitian ini mengambil subjek sebagai penyandang cacat
bumi, dimana banyak dari mereka yang menjadi cacat bukan dari sejak
lahir.
4. Kondisi Fisik Penyandang Cacat Penderita Paraplegia
Kondisi fisik merupakan salah satu faktor penunjang penampilan
diri seseorang. Penampilan fisik tersebut secara tidak langsung dapat
mempengaruhi penerimaan diri seseorang, sebagaimana dikemukakan
oleh Dwiamalia (2002) mengenai penerimaan diri terhadap
penampilan fisik adalah perasaan yang dimiliki seseorang yang
meliputi gambaran dan penilaian beserta sikap-sikapnya terhadap
tubuhnya yang dapat dilihat pada tingkat kepuasannya terhadap
bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara menyeluruh.
Menurut ilmu kedokteran, penyandang cacat adalah seseorang
yang dinyatakan mempunyai kelainan baik fisik maupun mental yang
oleh karenanya dapat merupakan rintangan atau hambatan untuk
melakukan kegiatan secara layak (PP no.36, thn. 1980, tentang Usaha
Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat).
Berdasarkan keadaan kelumpuhan itu sendiri, paraplegia dapat digolongkan menjadi dua jenis (Werner, 2002) yaitu :
a. Paraplegia Complete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang rusak secara menyeluruh, dimana pesan tidak dapat
kontrol dari gerakan di bawah tingkat kerusakan sumsum tulang
belakang hilang secara permanen dan menyeluruh.
b. Paraplegia Incomplete, yaitu paraplegia yang terjadi karena tulang belakang rusak sebagian dimana perasaan dan gerakan mungkin
masih ada sebagian atau mungkin perasaan dan gerakan mungkin
akan kembali membaik sedikit demi sedikit selama beberapa bulan.
Pada penderita paraplegia incompletemungkin pada beberapa bagian tubuh mempunyai perasaan dan kemampuan gerakan yang
lebih sedikit jika dibandingkan bagian yang lain. Pada Laporan
Penelitian Sosial (1970) dijelaskan bahwa penderita paraplegia incomplete dimana kelumpuhan tidak total, kadang masih dapat berjalan sendiri dengan bantuan kruek, brace atau tongkat. Sensasi tidak hilang, hanya kadang-kadang sensivitasnya agak berkurang.
Secara fisik, penderita paraplegia memiliki organ yang lengkap
hanya perbedaannya walaupun organ tubuhnya lengkap, ada beberapa
bagian tubuh yang tidak dapat dipergunakan kembali dikarenakan
rusaknya sumsum saraf pusat pada tulang belakang. Hal tersebut dapat
berpengaruh terhadap mobilitas ketika melakukan kegiatan dan
berperilaku. Cacat paraplegia bersifat permanen sehingga dapat mempengaruhi perilakunya (Brown, dkk. 1999).
Kondisi fisik penderita paraplegia sangat rentan terhadap munculnya luka baru. Kondisi kecacatan yang berakibat pada lumpuh
sehingga berakibat pada sulitnya untuk bergerak bebas dan hilangnya
fungsi perasa pada bagian tubuh tertentu, bisanya terlalu lama pada
posisi yang sama, misal duduk atau tidur yang terlalu lama, hal ini
berakibat pada bagian tertentu dari tubuh yang terkena tekanan terlalu
lama hingga timbul luka tekan, atau disebut decubitus. Luka decubitus merupakan komplikasi yang paling sering terjadi pada penderita cedera
tulang belakang (Dijk, dkk. 1999).
5. Akibat Paraplegia
Paraplegia merupakan kecacatan fisik yaitu kelumpuhan yang terjadi pada sebagian anggota tubuh. Paraplegia tidak menyerang daerah kepala, sehingga dapat dipastikan bahwa paraplegia biasanya mempunyai kondisi otak yang baik. Fallon (1985) mengatakan bahwa
secara biologis fungsi otak penderita paraplegia masih normal dan
tidak mengalami masalah maupun mengalami gangguan, termasuk
fungsi hypothalamus yang mengendalikan perilaku seksual tidak mengalami gangguan. Begitu juga fungsi pusat motoriknya, orang
yang menderita paraplegia tidak mengalami masalah pada pusat
motorik di otak dan anggota-anggota gerak itu sendiri masih normal,
tetapi karena kerusakan sumsum tulang belakang yang terjadi, maka
koordinasi saraf-sarafnya menjadi terganggu bahkan terhenti sama
sekali.
Cederanya sumsum saraf pada tulang belakang mengakibatkan
tubuh menjadi terhenti, demikian pula sebaliknya. Fallon (1985)
menjelaskan bahwa akibat itu kadang-kadang tidak saja terbatas pada
kelumpuhan anggota gerak bawah tetapi sampai juga pada sistem
geniorinal dan alat kelaminnya.
Koordinasi saraf-saraf yang terputus ini menyebabkan bagian
badan yang lumpuh tidak dapat merasakan sensasi dan tekanan.
Meskipun penderita paraplegia dapat merasakan tekanan kemungkinan tidak akan dapat menggerakkan anggota badan tersebut.
Demikian pula dengan aliran darah yang akan memberi nutrisi ke kulit
akan menjadi menurun.
Menurut Werner (1999), akibat kerusakan sumsum tulang belakang
diantaranya adalah :
a. Kehilangan kontrol gerakan dan perasaan.
b. Kehilangan kontrol sebagian atau menyeluruh terhadap buang air
besar (BAB) dan buang air kecil (BAK).
c. Kemungkinan mempengaruhi pinggul dan beberapa bagian tubuh
(tingkat yang lebih tinggi mengakibatkan daerah kelumpuhan yang
lebih luas).
d. Kemungkinan akan mengalami kejang otot atau kaki yang terkulai.
Menurut Powell (1979), komplikasi yang dapat terjadi pada penderita
a. Infeksi saluran kencing.
b. Infeksi saluran pernafasan.
c. Peradangan ginjal
d. Paling sering terjadi adalah luka decubitus.
C. PENDAMPINGAN PSIKOLOGIS
1. Pengertian Pendampingan
Pendampingan merupakan suatu aktivitas yang dilakukan dan
dapat bermakna pembinaan, pengajaran, pengarahan dalam kelompok
yang lebih berkonotasi pada menguasai, mengendalikan, dan
mengontrol. Kata pendampingan lebih bermakna pada kebersamaan,
kesejajaran, samping-menyamping, dan karenanya kedudukan antara
keduanya (pendamping dan yang didampingi) sederajat, sehingga tidak
ada dikotomi antara atasan dan bawahan. Hal ini membawa implikasi
bahwa peran pendamping hanya sebatas pada memberikan alternatif,
saran dan bantuan konsultatif dan tidak pada pengambilan keputusan.
(BPKB Jawa timur, 2001; 5)
Pendampingan berarti bantuan dari pihak luar baik perorangan
maupun kelompok untuk menambahkan kesadaran dalam rangka
pemenuhan kebutuhan dan pemecahan permasalahan pribadi maupun
kelompok. Pendampingan diupayakan untuk menumbuhkan
keberdayaan dan keswadayaan agar individu yang didampingi dapat
Ramli (2005) menyebutkan bahwa kegiatan pendampingan disebut
sebagai suatu proses karena didalamnya terdapat serangkaian kegiatan
dan daya upaya yang dilakukan pendamping baik secara individual
maupun secara kolaboratif bagi pertumbuhan dan perkembangan
seseorang.
Wiryasaputra (2006) menyebutkan bahwa pendampingan
psikologis adalah proses perjumpaan antara pendamping dan orang
yang didampingi. Perjumpaan itu bertujuan untuk menolong orang
yang didampingi agar dapat menghayati keberadaannya dan
mengalami pengalamannya secara penuh dan utuh, sehingga dapat
menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk berubah,
bertumbuh, dan berfungsi penuh secara fisik, mental, spiritual, dan
sosial. Dalam pendampingan terjadi interelasi dan interaksi antara
pendamping dan orang yang didampingi. Pendampingan secara umum
dapat dilakukan oleh semua orang, namun jika pendampingan secara
psikologis hanya dapat dilakukan oleh orang yang menguasai bidang
tersebut.
Lebih lanjut Wiryasaputra menyebutkan bahwa pendampingan
yang mengacu pada hubungan bantuan psikologis ini adalah pada
hubungan di antara dua subjek, yakni orang yang “mendampingi” dan
orang yang “didampingi” dalam posisi sederajat. Pada hakikatnya,
pendampingan psikologi merupakan semangat, sikap, kepedulian dan
(Wiryasaputra, 2006). Krisis yaitu keadaan dimana seseorang
mengalami masa-masa sulit (Thomas C.Oden, 1986; dalam
Wiryasaputra, 2006).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendampingan
psikologis adalah suatu rangkaian kegiatan yang hanya bisa dilakukan
oleh orang yang dipersiapkan atau memiliki pendidikan dibidang
psikologis. Pendampingan psikologis ditujukan kepada mereka yang
mengalami krisis agar mereka mampu menyadari dirinya sebagai suatu
kesatuan yang utuh, dan juga membuat mereka sadar akan sumber dan
kemampuan yang ada untuk digunakan untuk mengatasi krisis tersebut
dan juga bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan dirinya.
Pendampingan terjadi hubungan yang sederajat antara orang yang
mendampingi dengan yang didampingi.
2. Jenis-Jenis Pendampingan
Menurut Wiryasaputra (2006) ada 3 macam pendampingan yang
dibedakan menjadi :
a. Pendampingan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga secara
universal, dimanapun mereka tinggal sebagai perwujudan dari
hakikat dasar keberadaan manusia : holistik dan keperjumpaan.
b. Pendampingan yang dilakukan oleh para pelaku profesi
non-psikologis yang ingin menggunakan konseling sebagai nilai
c. Pendampingan yang dilakukan oleh kaum profesional secara penuh
waktu. Pelaku pendampingan ini disebut sebagai konselor
psikologis profesional.
Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian yang dilakukan oleh
para pelaku kaum profesional, dimana mereka dipersiapkan secara
khusus untuk mendampingi para korban gempa terutama mereka yang
mengalami kecacatan. Para pendamping adalah mereka yang memiliki
latar belakang pendidikan psikologis.
3. Fungsi Pendampingan
Pendampingan melibatkan pendamping dan yang didampingi.
Pendamping adalah sebagai fasilitator dalam menanggapi masalah
ataupun keprihatinan-keprihatinan dalam kehidupan seseorang yaitu
dengan memfungsikan diri dari yang didampingi. Perbedaan
pendampingan psikologis dengan dukungan dan pendampingan dari
keluarga maupun dalam masyarakat dapat terlihat pada fungsi
pendampingan sebagai berikut. Fungsi pendampingan yaitu meliputi :
a. Menyembuhkan. Fungsi ini dipakai oleh pendamping ketika
melihat keadaan yang perlu dikembalikan ke keadaan semula atau
mendekati keadaan semula, dengan kata lain membantu seseorang
untuk menghilangkan tingkah laku disfungsional yang
mengganggu, dan dapat berfungsi dengan keadaannya yang baru.
b. Menopang. Fungsi menopang dipakai untuk membantu seseorang
kemudian bisa berdiri diatas kedua kaki sendiri dalam keadan yang
baru, serta bertumbuh secara penuh dan utuh.
c. Membimbing. Pendamping berlaku sebagai pembimbing yang
didampingi untuk bisa mandiri dan bertanggung jawab terhadap
keputusannya dengan mempertimbangkan saran dari pendamping
berupa alternative-alternatif, kelebihan dan kelemahan,
kesempatan, tantangan yang mungkin ada, dan sarana apa saja
yang diperlukan untuk dapat mengambil suatu keputusan yang
terbaik yang dipilih seseorang dengan kesadaran akan pilihannya
sendiri.
d. Memperbaiki hubungan. Pendamping sebagai penengah atau
mediator ketika seseorang mengalami konflik batin dengan pihak
lain yang menyebabkan rusaknya hubungan, yang pada akhirnya
mereka (pihak yang berkonflik) mampu memecahkan masalah
secara mandiri. Namun tidak jarang konflik batin dapat mengarah
pada konflik eksistensial yang kemungkinan terburuk
menyebabkan bunuh diri. Maka pendamping sebagai mediator
orang itu dengan dirinya sendiri.
e. Memberdayakan. Fungsi ini dipakai untuk membantu orang yang
didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada masa
depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Maka diharapkan
orang yang didampingi tersebut tidak selalu tergantung pada
Dari fungsi-fungsi pendampingan yang sudah dipaparkan diatas dapat
disimpulkan bahwa pendampingan berfungsi untuk membantu orang
yang didampingi untuk dapat hidup secara mandiri dengan menerima
segala kekurangan maupun kelebihan dirinya secara apa adanya, dan
mau menerima kondisi sekarang dengan tidak hanya pasrah namun
bertanggung jawab akan hidupnya dan mau serta tertantang untuk
mengembangkan hidupnya dan berfungsi dengan keadaan yang baru.
D. Dinamika Perbedaan Penerimaan Diri Kondisi Fisik Penderita
Paraplegia Korban Gempa yang Mendapatkan Pendampingan
Dengan yang Tidak Mendapatkan Pendampingan
Gempa yang terjadi pada pertengahan bulan di tahun 2006 telah
membawa derita bagi sebagian masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya.
Banyak orang yang menjadi korban meninggal dan luka-luka, banyak juga
diantara mereka yang menjadi cacat. Kecacatannyapun beraneka ragam
dari yang amputasi kaki, ataupun tangan, luka memar dan patah tulang
dibagian anggota tubuh, bahkan sampai ada yang mengalami luka terparah
yaitu kelumpuhan atau disebut sebagai paraplegia.
Para korban gempa bumi tahun 2006 yang silam yang menjadi
penderita paraplegia sebagian besar adalah orang-orang biasa yang tidak mengalami kecacatan yang berarti, tidak cacat, sehingga ketika sekarang
depresi, menjadi kurang percaya diri, malu, memiliki perasaan inferioritas
dan merasa menjadi orang yang tidak berguna, gagal dan merasa selalu
butuh bantuan orang lain.
Paraplegia adalah kelumpuhan kedua anggota tubuh bagian bawah yang disebabkan kerusakan syaraf pada tulang belakang, sehingga
menyebabkan kontak dari otak terputus, dengan demikian anggota tubuh
tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya.
Penderita paraplegia pada umumnya memiliki organ tubuh yang lengkap, namun karena rusaknya susunan saraf pusat pada sumsum tulang
belakang mengakibatkan fungsi gerak tubuh pada bagian bawah menjadi
lumpuh. Fungsi perasa pada bagian bawah tubuh dibawah luka juga tidak
mampu merasakan rangsangan-rangsangan yang ada. Sering mengalami
kekejangan otot atau kaki terkulai. Kontrol terhadap organ pencernaan
tubuh pada bagian pembuangan, misalnya BAB dan BAK, menjadi tidak
berfungsi atau terganggu. Bahkan kemampuan seksual penderitanyapun
juga ikut terganggu.
Kondisi tersebut berpengaruh pada kondisi mental para korban
bencana ketika berhadapan pada kenyataan hidup saat ini yang mereka
alami yang tidak ada satupun dari mereka menginginkannya, yaitu menjadi
cacat, paraplegia. Masalah penerimaan diri akan kondisi kecacatan ini menjadi hal yang penting untuk diperhatikan mengingat bahwa mereka
penyandang cacat sehingga kemampuan dan pengetahuan akan
penerimaan diri mereka akan kondisi fisik yang baru, cacat, juga sangat
minim.
Penerimaan diri akan kondisi fisik ditandai dengan sikap yang
mencerminkan rasa senang dan puas akan perubahan yang terjadi pada
kondisi dirinya, tidak diikuti oleh perasaan malu, rendah diri, maupun rasa
bersalah, serta mengenal kelebihan maupun kekurangannya untuk
digunakan secara efektif tanpa harus menyembunyikan siapa dirinya.
Bertanggung jawab dan mandiri dalam mencapai kebutuhan sehari-hari.
Penerimaan diri penyandang cacat paraplegia harus dicapai melalui proses dan pengalaman yang terjadi dalam hidupnya. Jersild
(dalam Hurlock, 2002) menyebutkan bahwa penerimaan diri adalah
sebagai suatu proses bertahan dan mempunyai tingkatan. Mereka yang
mengalami kecacatan bukan dari sejak lahir atau karena kecelakaan
biasanya sulit untuk bisa menerima kondisi dirinya secara langsung,
mereka cenderung mengalami perasaan inferioritas, yaitu kecenderungan
merasa diri kekurangan, tidak mampu dan gagal (Dianawati, dkk. 2005).
Kondisi ini dipertegas dengan informasi dan pengetahuan yang kurang
akan penyandang cacat penderita paraplegia, sehingga yang muncul kemudian adalah penolakan dan sikap inferioritas terhadap diri dan
Individu yang menerima dirinya sendiri akan lebih mengenali
potensi-potensi yang ada pada dirinya (Skinner, dalam Maramis 1994).
Selain itu, individu yang menerima dirinya akan lebih mengenali
kelebihan maupun kekurangan dirinya sehingga individu tersebut dapat
memanfaatkan potensi, kelemahan dan kekurangan dirinya secara optimal,
tepat guna dan terintergrasi.
Masalah maupun keterbatasan yang dihadapi oleh penyandang
cacat penderita paraplegia sangat kompleks, dari masalah kondisi fisik kecacatannya sampai pada kondisi psikologisnya. Mereka cenderung tidak
dapat menerima kondisi dirinya secara realistis dan cenderung
menganggap dirinya tidak berharga. Kondisi penderita paraplegia yang mengalami kelumpuhan pada bagian tubuh bawah dan kesulitan bergerak
yang berakibat pada mobilitas yang terbatas menuntut mereka untuk selalu
membutuhkan alat bantu ataupun orang lain untuk membantu dalam
mobilitas gerak dalam berkegiatan. Mereka membutuhkan pendampingan
dari orang lain supaya mereka dapat bertahan dalam menjalani dan
memenuhi kebutuhan hidupnya.
Setiap orang pasti membutuhkan bantuan, terutama bagi mereka
yang telah menjadi cacat. Bantuan yang diberikanpun bisa
bermacam-macam, dapat berupa bantuan secara materiil maupun secara moril.
Bantuan materiil biasanya dapat berupa barang-barang atau sesuatu yang
dapat membantu meringankan penderitanya, seperti rumah dan alat-alat