• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PRAKTIK POLIGAMI DALAM MASYARAKAT ADAT DI DESA GAURA SUMBA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB III PRAKTIK POLIGAMI DALAM MASYARAKAT ADAT DI DESA GAURA SUMBA BARAT"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

55 BAB III

PRAKTIK POLIGAMI DALAM MASYARAKAT ADAT DI DESA GAURA SUMBA BARAT 3.1. Pengantar

Gaura merupakan salah satu desa yang terletak di kecamatan Laboya Barat Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur. Desa Gaura berjarak sekitar 50 kilometer dari kota Waikabubak yang merupakan pusat dari Kabupaten Sumba Barat. Masyarakat di desa Gaura sangat mempertahankan nilai leluhur nenek moyang yang terpancar dalam kehidupan sosial masyarakat. Nilai-nilai tersebut antara lain; gotong royong, sikap toleransi dan semangat persatuan yang diikat dalam suatu lembaga yang disebut adat. Jika kita hendak berkunjung ke desa Gaura maka kita akan menjumpai rumah-rumah penduduk yang masih berupa rumah adat yang disebut rumah menara atau toko umma. Selain berfungsi sebagai tempat berlindung, rumah menara atau toko umma menggambarkan realita kehidupan masyarakat di desa Gaura yang masih menjunjung tinggi hal-hal yang bersifat adat.

Di desa Gaura, terdapat masyarakat yang masih menganut kepercayaan Marapu yang merupakan kepercayaan asli masyarakat Sumba.1 Dari 752 Kepala Keluarga (KK), 249 KK adalah penganut kepercayaan Marapu, sementara 486 KK beragama Kristen dan 17 KK lainnya beragama Katolik. Menurut sejarahnya, seluruh masyarakat di desa Gaura awalnya beragama Marapu. Namun sekitar tahun 1966 ketika Injil masuk ke desa Gaura, dilakukannya baptisan masal yang membuat sebagian besar masyarakat memutuskan untuk dibaptis dan menjadi Kristen. Namun demikian masih terdapat beberapa orang yang tetap menganut kepercayaan Marapu.2

1Terdapat beragam definisi tentang Marapu, namun definisi Marapu yang menjadi rujukan dalam tulisan ini adalah pengertian yang diberikan oleh C. Nooteboom bahwa Marapu merupakan kekuatan supranatural, baik yang bersifat oknum maupun yang tidak, yang tampil dalam berbagai macam bentuk. Kata Marapu dapat pula berarti suci, mulia, dan sakti sehingga harus dihormati dan tak dapat diperlakukan sembarangan. F.D Wellem, Injil dan Marapu, (Jakarta:BPK Gunung Mulia,2004),41.

2 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

(2)

56

Kepercayaan Marapu adalah kepercayaan kepada arwah para leluhur. Arwah para leluhur dipercayai dapat memberikan malapetaka jika tidak dipedulikan. Pada umumnya setiap Marapu terikat pada klan (kabihunya). Setiap klan mempunyai Marapu sendiri. Di samping para leluhur dijadikan objek penyembahan, klan-klan tertentu menyembah binatang- binatang tertentu. Misalnya klan Kabuling, Marapunya adalah ular. Penganut Marapu ini tidak diizinkan untuk membunuh ular karena ular adalah Marapunya. Marapu juga sekaligus dipandang sebagai perantara antara Sang Pencipta dan manusia. Sang Marapulah yang menyampaikan permohonan manusia kepada Sang Pencipta dan Sang Pencipta menjawabnya melalui Marapu.3

Bagi penganut kepercayaan Marapu, Yang Tertinggi (Tuhan) disebut sebagai Madaka Watmata (di manapun kita, Dia pasti melihat), Baleka Rokatillu (dimanapun kita, Dia pasti

mendengar) dan Dapanuangara Dapataktamo (Tidak boleh nama itu disebutkan sembarangan) sedangkan Marapu yang merupakan perantara untuk menyampaikan pesan kepada Yang Tertinggi disebut Tedaipala, Lamagege Lamatara Heka dan nama-nama lain sesuai dengan suku-sukunya. Umumnya setiap suku memiliki Marapunya masing-masing dan setiap anggota wajib untuk mengikuti berbagai ritual penyembahan kepada Marapunya.4

Ritual penyembahan dalam kepercayaan Marapu juga serupa dengan berbagai ritual adat yang masih terus dijumpai hingga saat ini. Hal tersebut membuat adat dan masyarakat Sumba sangat berkaitan erat. Bahkan masyarakat yang sudah Kristen masih tetap melakukan tradisi-tradisi dalam kepercayaan Marapu, misalnya dalam proses kelahiran anak terdapat satu ritual yaitu melihat masa depan anak yang lahir dari hati babi. Contoh ini sekaligus menampilkan sebuah realita masyarakat di desa Gaura yang masih sangat erat dengan adat.5

3 Wellem, Injil dan Marapu,45-46.

4 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota pada Tanggal 17 Mei 2021.

5 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota pada Tanggal 17 Mei 2021.

(3)

57

Adat dan masyarakat di desa Gaura adalah dua hal yang tak terpisahkan. Tatanan masyarakat adat di desa Gaura sangat menjunjung tinggi hukum adat terutama adat perkawinan dan adat orang mati. Kedua hal ini terus diwarisi hingga saat ini. Masyarakat adat di desa Gaura menganggap upacara adat perkawinan dan orang mati sebagai bentuk penghargaan kepada leluhur serta sebagai bentuk ikatan kekerabatan yang dipertahankan turun-temurun. Dengan demikian, adat memegang peranan penting dalam melegitimasi sebuah perkawinan antara laki-laki dan perempuan. 6

Namun perkawinan yang terjadi di desa Gaura Sumba Barat, tidak hanya terjadi perkawinan monogami tetapi juga perkawinan dengan lebih dari satu perempuan atau poligami. Adalah hal yang tidak mengherankan di desa Gaura jika kita menjumpai seorang laki-laki yang memiliki dua atau lebih perempuan sebagai istri dan mereka hidup serta tinggal bersama dalam satu rumah bersama anak-anak mereka. Secara adat, poligami pada masa lampau banyak dilakukan oleh golongan bangsawan dan tua adat namun dalam perkembangannya dilarang oleh agama khususnya Kristen dan Katolik. Dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, praktik poligami masih sering dilakukan oleh masyarakat yang menganut aliran kepercayaan Marapu dikarenakan dalam ajaran Marapu tidak terdapat pengaturan terkait perkawinan monogami.

Dengan demikian pada bagian ini, penulis akan menyajikan hasil temuan berdasarkan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara tentang praktik poligami yang terjadi dalam masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat. Penulis juga menggunakan beberapa dokumen tertulis lainnya sebagai sumber data sekunder berkaitan dengan masalah yang diteliti. Penulis membaginya ke dalam 6 sub-bab yaitu pertama, latar belakang yang meliputi letak geografis dan iklim desa Gaura Sumba Barat, sejarah singkat masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat, jumlah masyarakat adat di desa Gaura Sumba Barat, keadaan ekonomi

6 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Lukas Haingu pada Tanggal 20 Mei 2021.

(4)

58

dan mata pencaharian serta pendidikan. Pada sub-bab kedua penulis akan membahas perkawinan poligami di desa Gaura Sumba Barat. Pada sub-bab ketiga penulis akan membahas alasan-alasan poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura. Pada sub-bab keempat penulis akan memaparkan peran dan status suami, istri, anak dalam perkawinan poligami. Pada sub-bab kelima penulis akan membahas masalah-masalah yang ditemukan dalam perkawinan poligami. Pada bagian akan terakhir akan berisi kesimpulan dari keseluruhan bab 3.

3.2. Latar Belakang

3.2.1. Letak Geografis dan Iklim

Desa Gaura merupakan ibu kota kecamatan Laboya Barat dengan luas wilayah 67.180 HA, dengan batas-batas wilayah yaitu sebelah utara berbatasan dengan Dangga Mangu Kabupaten Sumba Barat, sebelah selatan berbatasan dengan Laut Indonesia, sebelah timur berbatasan dengan desa Patiala Dete dan sebelah barat berbatasan dengan desa Wetana.

Topografi desa Gaura berbukit-bukit dengan dataran tersebar secara sporadik pada gugusan yang diapit dataran tinggi atau perbukitan sedangkan lahan yang berada di bawah perbukitan dimanfaatkan untuk persawahan karena desa Gaura memiliki tanah yang subur.7

Dengan kualitas tanah yang sangat subur jika dibandingkan dengan wilayah lain, wilayah desa Gaura sekitar 85% terdapat lahan yang tidak berbatuan dan sekitar 15%

merupakan lahan yang berbatuan yang terdapat di pesisir pantai. Kondisi tanah yang tidak berbatuan sangat cocok untuk pengembangan tanaman pertanian seperti padi ladang, padi sawah, jagung, ubi kayu, dan tanaman komoditi seperti kopi, kelapa, jambu, pinang, mahoni, jati, pisang, cendana, dan tanaman komoditi lainnya serta memiliki kompetensi lautan yang sangat baik karena beberapa bagian wilayah desa langsung berada di bibir pantai selatan.

7Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes) Gaura Kecamatan Laboya Barat, Kabupaten Sumba Barat.Tahun 2016-2021.

(5)

59

Dengan kondisi tersebut maka mayoritas mata pencaharian masyarakat desa adalah petani dan beberapa di antaranya adalah nelayan.8

Keadaan iklim di desa Gaura pada umumnya sama dengan wilayah desa lainnya yang dikenal dengan 2 musim yaitu, musim kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni-September mengalami musim kemarau dan pada bulan Desember-Maret mengalami musim hujan.

Keadaan seperti ini berganti setiap setengah tahun setelah melewati masa peralihan pada bulan April-Mei dan Oktober-November.9

3.2.2. Sejarah Singkat Masyarakat Adat di Desa Gaura

Desa Gaura berada di bagian selatan, Kecamatan Laboya Barat-Kabupaten Sumba Barat. Menurut sejarah masyarakat desa Gaura ditemukan pertama kali oleh tiga nenek moyang yaitu Tadu Hadungo-Moto Boro, Mete Bara dan Ubu Wula. Ketiga nenek moyang desa Gaura ini tidak sengaja bertemu dan saling menyapa menggunakan kata “Garapu” yang artinya siapa yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya wilayah yang disebut Garo yang sampai saat ini dikenal dengan nama Gaura.10

Pola kehidupan masyarakat desa Gaura berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain (nomaden) untuk mencari nafkah dengan berburu babi hutan, mencari ikan di laut dan bertani di sawah atau ladang. Masyarakat desa ini melakukan barter ke wilayah-wilayah lainnya seperti Kodi dan Wawewa. Lambat laun pertumbuhan masyarakat Gaura terus berkembang namun pola hidup beternak dan bertani masih terus dilakukan hingga saat ini.

Desa Gaura terdiri dari 7 buah suku kabisu yang terdiri dari 2 kampung yaitu kampung Rungo (desa Wetana) dan kampung Tidi (desa Gaura). Sebelum masuk dalam pemerintahan desa, masyarakat Gaura pada zaman dahulu dipimpin oleh Rato yaitu Rato Yadi dan Rato Tede. Sebelum menggunakan sebutan desa dikenal sebutan kepala kampung yang kemudian

8Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes),Tahun 2016-2021.

9Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes), Tahun 2016-2021.

10Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

(6)

60

berubah meningkat menjadi Leti (Raja Kecil). Pada tahun 1963 barulah diubah menjadi desa.

Pada zaman Leti, Gaura dipimpin oleh Rato Baroka dan diganti Tara Rowa. Pada tahun 1963- 2002 barulah disebut desa dan desa Gaura dipimpin oleh S.B NoeNoe. Pada tahun 2002 desa Gaura dipimpin oleh Hurka Jora. Untuk periode ini kepala desa Gaura dijabat oleh Herman Horo Nyanyi dengan masa jabatan 6 (enam) tahun yaitu dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2021.11

3.2.3. Jumlah Penduduk di Desa Gaura

Desa Gaura memiliki penduduk dengan jumlah 2.776 jiwa yang terbagi di empat (4) dusun, delapan (8) RW dan enam belas (16) RT. Jumlah penduduk di desa Gaura pada bagian ini dimuat berdasarkan beberapa hal yaitu, jumlah penduduk keseluruhan berdasarkan dusun, jumlah penduduk menurut rentang usia, dan jumlah penduduk menurut aliran kepercayaan.

Ketiga hal tersebut dapat dilihat menurut beberapa tabel di bawah ini:

Tabel 2: Jumlah Penduduk Desa Gaura Menurut Dusun

Dusun Jumlah Penduduk Jumlah KK Keterangan

Dusun I 836 231 Laki-Laki :

1534(55,3%) Perempuan: 1242

(44,7%)

Dusun II 783 199

Dusun III 695 188

Dusun IV 462 134

Total 2.776 752

Sumber :Data Statistik Pemerintah Desa Gaura

Desa Gaura merupakan wilayah di kecamatan Laboya Barat yang memiliki jumlah penduduk terbanyak dari antara tiga desa lainnya yaitu Wetana (2.600 jiwa), Patiala Dete (2.198 jiwa) dan Harona Kalla (1.989 jiwa).12 Penduduk desa Gaura terdiri dari penduduk asli dan pendatang yang biasanya di sebut dengan istilah ata jawa. Dalam perkembangannya, masyarakat desa Gaura sudah mengalami perubahan sosial yang dipengaruhi oleh pola hidup

11Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMDes) GauraKecamatan Laboya Barat, Kabupaten Sumba Barat.Tahun 2016-2021.

12 Katalog BPS 1102001.5301023, Kecamatan Laboya Barat Dalam Angka 2020, (Sumba Barat:

BPS Sumba Barat:2020), 13

(7)

61

pendatang (ata jawa). Namun pada beberapa pihak yang masih menjunjung tinggi adat dan budaya, mereka tetap mempertahankan pola hidup yang lama. Misalnya: tidak wajar bagi laki- laki untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga.

Tabel 3: Jumlah Penduduk Menurut Usia

Rentang Usia Jumlah Penduduk Persentasi

0-20 tahun 724 jiwa 26,0%

21-30 tahun 600 jiwa 21,6%

31-40 tahun 454 jiwa 16,4%

41-50 tahun 468 jiwa 16,9%

51-60 tahun 404 jiwa 14,6%

60 tahun ke atas 126 jiwa 4,5%

Sumber :Data Statistik Pemerintah Desa Gaura

Berdasarkan tabel rentang usia di atas, penduduk desa Gaura terbanyak adalah pada usia 0-20 tahun. Hal ini dikarenakan dalam pandangan masyarakat di desa Gaura, memiliki banyak anak sama dengan memiliki banyak tenaga/pekerja. Realita kehidupan keluarga di desa Gaura menampilkan bahwa rata-rata satu keluarga memiliki 5-7 anak dengan perbedaan usia antara anak pertama dan anak berikutnya hanya kisaran 1 sampai 2 tahun. Di desa Gaura sendiri rata-rata usia perkawinan adalah di mulai dari usia 15 tahun karena perkawinan tidak berdasarkan usia anak melainkan bergantung kesepakatan atau restu orang tua.

Tabel 4: Jumlah Agama Kepercayaan Menurut Dusun.13

Dusun Kristen Katolik Kepercayaan/

Marapu

Dusun I 176 KK 3 KK 52 KK

Dusun II 180KK 14 KK 5 KK

Dusun III 73 KK - 115 KK

Dusun IV 57 KK - 77 KK

Jumlah 486 KK 17 KK 249 KK

Sumber :Data Statistik Pemerintah Desa Gaura

Masyarakat adat di desa Gaura sebagian besar menganut agama Kristen dan aliran kepercayaan Marapu dengan persentasi 64,6% keluarga yang beragama Kristen, dan 33,1%

13Masyarakat di desa Gaura menganut sistem patriakat di mana agama ayah menentukan agama seluruh anggota keluarga sehingga data agama dan kepercayaan di desa gaura adalah menurut KK atau Kepala Keluarga.

(8)

62

beragama Marapu sementara sisanya 2,3% adalah beragama Katolik. Jika kita melihat sejarahnya, sejak awal seluruh masyarakat di desa Gaura beragama Marapu. Namun dalam perkembangannya, seiring masuknya Injil di tanah Sumba maka sebagian masyarakat memutuskan untuk dibaptis dan menganut agama Kristen. Meskipun demikian, masih banyak masyarakat yang tetap mempertahankan kepercayaan Marapu.14

3.2.4. Keadaan Ekonomi dan Mata Pencaharian Masyarakat di Desa Gaura

Keadaan ekonomi masyarakat adat di desa Gaura sangat ditentukan oleh mata pencahariannya. Terdapat beberapa mata pencaharian dari masyarakat tersebut yang dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 5: Mata Pencaharian Penduduk Desa Gaura

NO Jenis Pekerjaan Jumlah Persentase

1 PNS 18 0,64 %

2 Belum Sekolah/ Pelajar Mahasiswa

793 28,56%

2 Aparat Desa 12 0,43%

3 TNI/Polisi 1 0,036%

4 Pegawai Kontrak Pemerintah

40 0,83%

5 Wiraswasta 10 0,36%

6 Nelayan 10 0,36%

7 Peternak 532 19,16%

8 Petani 1.354 48,77 %

9 Pensiunan 6 0,21 %

Sumber :Data Statistik Pemerintah Desa Gaura

Berdasarkan data di atas dapat disimpulkan bahwa, sebagian besar masyarakat adat di desa Gaura bermata pencaharian sebagai petani. Penduduk yang bermata pencaharian petani biasanya terdiri dari laki-laki dan perempuan. Di desa Gaura semua perempuan yang bermata pencaharian sebagai petani juga sekaligus menjadi ibu rumah tangga. Hal ini dikarenakan perempuan di desa Gaura umumnya dianggap memegang peranan ganda selain sebagai ibu rumah tangga, mereka juga harus bekerja di sawah untuk membantu suami. Dalam proses

14Hasil Wawancara dengan Ibu Pendeta Antoneta Dade, Ketua Badan Pengurus Majelis Jemaat GKS Pusat Gaura, 09 Mei 2021.

(9)

63

pembagian kerja di sawah/ladang laki-laki biasanya bertugas mencabut bibit sedangkan yang menanam adalah perempuan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala desa Gaura, maka ditemukan rata-rata penghasilan per-tahun masyarakat di desa Gaura yaitu setara dengan 10 karung padi atau jika diuangkan maka sekitar 7-8 juta per-tahun. Perputaran uang di desa Gaura pada kenyataannya cukup lambat namun masyarakat umumnya memiliki aset seperti lahan, kebun, tanah, ternak sebagai bagian dari penghidupan mereka.15

3.2.5. Pendidikan

Dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, kesadaran akan pendidikan mulai berkembang namun masih terdapat masyarakat yang kurang menyadari akan pentingnya pendidikan. Hal ini dikarenakan, kebiasaan masyarakat zaman dulu bahwa pendidikan tidak menjadi penting. Seorang anak laki-laki lebih dituntut untuk membantu orang tua mengurus sawah/ladang dan ternak sedangkan anak perempuan sejak kecil sudah dijodohkan dengan laki-laki pilihan orang tua. Dalam beberapa kasus, terdapat anak perempuan yang bahkan sudah dijodohkan oleh orang tua sejak dalam kandungan. Jika dirinya telah mencapai usia reproduksi maka segera dikawinkan dengan laki-laki yang dijodohkan dengannya.16

Umumnya terdapat beberapa alasan mengapa masyarakat Sumba tidak suka menyekolahkan anak mereka adalah:

1. Masuk sekolah berarti langkah pertama untuk menjadi Kristen sehingga mereka akan melupakan Marapu.

2. Masuk sekolah akan membuat mereka semakin pintar dan meninggalkan tradisinya.

3. Jikalau anaknya pintar akan dikirim ke Jawa atau ke Belanda

15Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Kepala Desa Gaura Periode 2016-2021, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

16Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

(10)

64

4. Anak mereka akan bodoh seperti kerbau dalam hal ini mereka akan dikontrol pada aturan yang dibuat pemerintah.

5. Orang tua akan kehilangan anaknya

6. Tidak memiliki biaya untuk membeli pakaian 7. Rambut mereka akan digunting. 17

Beberapa hal di atas menyebabkan orang tua cenderung untuk tidak mau menyekolahkan anak mereka. Namun demikian, perlu disadari bahwa pendidikan menjadi penting dalam mempengaruhi kepribadian dan karakter dari masyarakat. Pendidikan juga menjadi salah satu faktor yang menentukan pola pikir manusia sebagai makhluk sosial dalam menjalankan peran- peran sosialnya, serta dapat menentukan kehidupan ekonomi individu. Berdasarkan pemahaman tersebut maka penulis merasa penting untuk menampilkan tingkat pendidikan dalam masyarakat di desa Gaura yang dapat dilihat dalam tabel berikut:

Tabel 6: Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Gaura

No. Tingkat Pendidikan Jumlah Persentase

1 Belum Sekolah/ Pelajar/ Mahasiswa 793 28,56%

2 Tidak Tamat SD 247 8,89%

3 Tamat SD 1084 39,04%

4 Tamat SMP 305 10,98%

5 Tamat SMA 276 9,94%

6 Perguruan Tinggi 71 2,55%

Sumber :Data Statistik Pemerintah Desa Gaura

Berdasarkan data di atas jelas bahwa rata-rata tingkat pendidikan penduduk desa Gaura pada persentasi tertinggi ada pada tingkat Sekolah Dasar yaitu 39,04%. Hal ini dikarenakan kurangnya kesadaran masyarakat di desa Gaura akan pentingnya pendidikan.

Dalam pandangan masyarakat di desa Gaura pendidikan tidak menjadi penting, karena yang paling utama adalah anak laki-laki sudah bisa ke sawah dan mengerjakan pekerjaan di sawah sedangkan anak perempuan sudah dapat mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga.

17 F.D Wellem ,Injil dan Marapu, 156

(11)

65

3.3. Poligami dalam Masyarakat Adat di Desa Gaura 3.3.1. Data Pasangan yang Terlibat dalam Praktik Poligami

Dalam sub-bab ini, penulis pertama-tama akan memaparkan data pasangan yang terlibat dalam praktik poligami yang tersebar di setiap wilayah/dusun. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, di seluruh wilayah di desa Gaura terdapat laki-laki yang memiliki dua istri bahkan lebih. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel di bawah ini.

Tabel 7: Pasangan yang Terlibat dalam Praktik Poligami Dusun Jumlah Laki-Laki yang

Melakukan Poligami

Jumlah Perempuan yang di Poligami

Dusun 1 11 laki-laki 23 Perempuan

Dusun 2 4 laki-laki 10 perempuan

Dusun 3 14 laki-laki 32 perempuan

Dusun 4 7 laki-laki 17 perempuan

Jumlah 36 laki-laki 82 perempuan

Sumber :Penelusuran Penulis

Data di atas menampilkan tidak sedikitnya laki-laki yang melakukan praktik poligami dan perempuan yang dipoligami Adapun yang melakukan poligami terdiri dari aparatur desa, tenaga kontrak, guru, petani, rato atau ketua adat, dan masyarakat biasa atau yang tidak bekerja sekalipun.18

Masyarakat yang melakukan poligami pada umumnya menganut kepercayaan Marapu. Dari 36 laki-laki yang melakukan poligami, 35 laki-laki berasal dari aliran kepercayaan Marapu sementara hanya 1 laki-laki yang beragama Kristen. Hal ini menunjukkan bahwa poligami dan Marapu merupakan dua hal yang tidak terpisahkan dalam masyarakat adat di desa Gaura.

3.3.2. Poligami dalam Marapu

Dalam pandangan Marapu, poligami merupakan suatu hal yang wajar. 19 Tidak heran jika poligami yang terjadi di desa Gaura sebagian besar dilakukan oleh penganut kepercayaan

18Berdasarkan Hasil Wawancara dengan bapak Herman Horo, Pada Tanggal 13 Mei 2021.

19 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota, Pada Tanggal 17 Mei 2021.

(12)

66

Marapu. Realita ini tidak terlepas dari tujuan utama perkawinan dalam Marapu yaitu untuk memenuhi perintah nenek moyang (Marapu). Marapu memerintahkan supaya perkawinan dilaksanakan sehingga terdapat keturunan yang meneruskan pemujaan kepadanya. Oleh karena itu, seorang yang tidak mempunyai anak dipandang tidak dapat meneruskan pemujaan kepada Marapu.20 Dengan demikian untuk memperoleh keturunan maka penganut kepercayaan Marapu diizinkan untuk melakukan poligami.

Keturunan dalam Marapu memegang peranan penting. Apabila seorang perempuan tidak mempunyai anak maka sang istri harus kembali ke rumah orang tuanya untuk mempersembahkan korban kepada Marapu ayahnya dan memohon agar Marapu memberikan anak atau sang istri harus mengizinkan sang suami untuk mengambil istri yang ke dua (berpoligami).21 Berdasarkan data yang penulis dapatkan berdasarkan wawancara kepada partisipan, ditemukan bahwa keputusan untuk berpoligami diyakini datang dari perintah Marapu melalui mimpi. Ketika sang istri memberikan persembahan kepada Marapu dan memohon petunjuk, biasanya sang suami akan bermimpi melihat 2, 3 bahkan sampai 7 tiang.

Jumlah tiang menunjukkan jumlah istri yang harus laki-laki miliki. Menurut kepercayaan mereka, apabila perintah dari Marapu tidak dipenuhi maka mereka akan mengalami kesusahan dalam hidup.22

Dalam aliran kepercayaan Marapu, poligami juga terjadi karena tidak terdapat pengaturan terkait dengan perkawinan monogami. Perkawinan dalam Marapu umumnya hanya berkaitan dengan perkawinan yang sah secara adat. Apabila laki-laki mampu melaksanakan segala urusan belis bagi perempuan, maka ia diizinkan untuk memiliki istri sesuai dengan kemampuannya dalam membelis perempuan tersebut. Ketika laki-laki telah

20F.D Wellem, Injil dan Marapu, 61-63

21 Berdaarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota, Pada Tanggal 17 Mei 2021.

22 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan bapak AB pada Tanggal 23 Mei 2021.

(13)

67

memenuhi semua kewajiban belis, maka sahnya sebuah perkawinan dalam Marapu hanya ditandai dengan penikaman babi sebagai simbol bahwa segala urusan adat telah berakhir.23

Terjadinya poligami dalam Marapu juga tidak terlepas dari tugas perempuan yang dianggap sebagai pelayan Marapu yang bertugas menyiapkan persembahan bagi Marapu.

Selain itu pandangan bahwa laki-laki baru dianggap sempurna apabila ia telah memiliki istri.

Pandangan ini sekaligus menempatkan perempuan hanya sebagai media untuk memperkuat kesempurnaan laki-laki dalam sudut pandang kepercayaan Marapu.24 Sehingga dalam padangan beberapa orang yang melakukan poligami meyakini bahwa semakin banyak istri maka semakin banyak pula yang dapat mempersiapkan persembahan bagi Marapu.25

Beberapa fakta yang telah dikemukakan di atas terkait poligami dalam Marapu menunjukkan bahwa poligami yang terjadi di desa Gaura tidak terpisahkan dari nilai-nilai religius yang terdapat dalam ajaran Marapu. Nilai-nilai ini tanpa disadari melanggengkan praktik poligami di desa Gaura dan membuat poligami dianggap sebagai suatu hal yang wajar.

Namun demikian agama Kristen menentang poligami karena aturan dalam agama Kristen sangat menjunjung tinggi asas monogami.

3.3.3. Poligami dalam Kekristenan di desa Gaura

Perkawinan yang dikenal dalam masyarakat Sumba umumnya adalah perkawinan dalam adat istiadat yang dipengaruhi oleh ajaran dalam Marapu. Namun para pekabar Injil mula-mula memberitakan bahwa dalam agama Kristen perkawinan merupakan perintah Allah yang suci kepada manusia. Dalam pemberitaan pekabar Injil mula-mula menyatakan bahwa Tuhan Allah memberikan seorang istri yang sejodoh dengan Adam (Kej 2:18). Itu berarti bahwa sang suami atau istri merupakan jodoh yang diberikan oleh Tuhan Allah kepada

23 Berdaarkan Hasil Wawancara denga bapak Lukas Haingu pada 23 Mei 2021.

24 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota, Pada Tanggal 7 Mei 2021.

25 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan bapak MK dan SN pada Tanggal 13 Mei 2021.

(14)

68

seseorang. Oleh sebab itu seorang perempuan hanya boleh kawin dengan seorang laki-laki.

Dengan demikian, asas perkawinan Kristen adalah monogami.26

Gereja Kristen Sumba (GKS) di desa Gaura juga menolak secara tegas praktik poligami yang terjadi karena tujuan pernikahan adalah seorang dapat menolong seorang yang lain.27 Sekalipun gereja menolak, namun poligami masih tetap terjadi karena dalam pandangan adat di desa Gaura praktik poligami dapat dibenarkan. Penting untuk diketahui bahwa sebagian besar laki-laki yang melakukan poligami adalah berasal dari aliran kepercayaan Marapu. Berdasarkan hasil penelusuran penulis, dari 36 laki-laki yang melakukan poligami hanya satu yang merupakan anggota jemaat dari GKS Gaura.

Dalam menyikapi persoalan poligami, gereja biasanya menjalankan disiplin gereja bagi mereka yang terlibat dalam praktik poligami. Seorang yang menjalani disiplin gereja maka anaknya tidak dapat dibaptis dan dia juga tidak diperkenankan mengikuti perjamuan kudus. Pihak yang mengalami disiplin gereja biasanya harus melalui tahap mengaku dosa.

Pengakuan dosa di GKS dapat dipahami sebagai tindakan pemulihan kembali terhadap pelanggaran adat istiadat perkawinan Kristen yang telah dilakukan dalam hal ini poligami.

Jika dalam perjalanan rumah tangga perkawinan poligami, laki-laki menunjukkan tiga buah pertobatan antara lain; jika ia tetap rajin bergeraja, hubungan kekeluargaannya baik dan jika dia menyatakan pertobatannya dalam suatu tanda ungkapan syukur melalui keterlibatannya dalam berbagai kegiatan gereja maka dirinya diizinkan untuk mengaku dosa untuk memulihkan kembali hubungannya dengan Tuhan. Setelah melewati tahap ini, anak dari pasangan poligami dapat dibaptis namun tetap saja tidak ada pemberkatan nikah bagi mereka.28

26 Wellem, Injil dan Marapu, 329-330

27Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu Pendeta Antoneta Dade Pada Tanggal 09 Mei 2021.

28Berdasarkan Hasil Wawancara bersama Ibu Pendeta Antoneta Dade.Pada Tanggal 09 Mei 2021.

(15)

69

Namun berkaitan dengan praktik poligami, berdasarkan hasil penelusuran penulis, sejauh ini belum terdapat tindakan pastoral atau pendampingan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam praktik poligami. Menurut pendeta, hal ini disebabkan karena watak atau karakteristik jemaat yang sangat keras. Selain itu pandangan jemaat yang masih sangat menjunjung tinggi adat membuat gereja sulit untuk melakukan pengajaran terkait peraturan gereja tentang perkawinan. Namun demikian gereja masih terus bergumul dan berharap akan dapat melakukan pastoral yang tepat untuk mengatasi persoalan poligami.29

3.4. Alasan-alasan Poligami dalam Masyarakat Adat di Desa Gaura

Poligami di desa Gaura disebabkan oleh beberapa hal. Selain karena legitimasi nilai- nilai religius dalam aliran kepercayaan Marapu, terjadinya poligami juga didorong oleh beberapa faktor lain seperti kemandulan, kekayaan (seorang yang kaya di dorong untuk menambah istri karena ia mampu membayar belis), memperluas prestise dan kekuasaan masyarakat, untuk memperoleh tenaga kerja serta karena dorongan seksual laki-laki.30

3.4.1. Untuk Mendapatkan Keturunan

Berdasarkan data yang penulis dapatkan dari hasil wawancara kepada beberapa partisipan, menunjukkan bahwa poligami terjadi pada umumnya karena istri pertama tidak dapat memberikan keturunan khususnya anak laki-laki sehingga motivasi suami dalam melakukan poligami adalah untuk memperoleh keturunan.31 Berkaitan dengan keturunan, penting untuk diketahui bahwa dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, anak laki-laki memegang peranan yang sangat penting yaitu sebagai penerus keluarga ayah serta yang berhak atas setiap harta warisan.32 Hal ini mendorong laki-laki untuk melakukan poligami ketika sang istri tidak mampu memberikan keturunan karena laki-laki yang kaya biasanya

29Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Pendeta Lukas Legahodi Pada Tanggal 14 Mei 2021.

30 Wellem, Injil dan Marapu, 78.

31Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak IN , Bapak LD, Bapak ND dan Bapak AM. Pada Tanggal 18Mei 2021.

32Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak A.B Pada Tangga 14 Mei 2021.

(16)

70

menganggap perlu untuk memiliki banyak anak laki-laki sehingga tidak menyulitkan dalam proses pembagian warisan.33

Dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, anak khususnya anak laki-laki menjadi penerus dalam garis keturunan ayahnya. Sehingga mendapatkan anak laki-laki lebih utama dibandingkan anak perempuan. Apabila dalam pernikahan, istri pertama hanya mampu melahirkan anak perempuan maka laki-laki akan terdorong untuk mengambil istri lagi hingga bisa mendapatkan anak laki-laki.34 Dengan demikian keturunan khususnya anak laki-laki memegang peranan penting dalam menentukan stabilitas perkawinan di desa Gaura.

3.4.2. Budaya Belis

Terjadinya poligami tidak terlepas dari budaya Belis yang menjadi syarat perkawinan di desa Gaura. Belis memegang peranan penting dalam adat perkawinan di desa Gaura baik bagi masyarakat yang beragama Kristen maupun yang beragama Marapu. Belis adalah barang- barang yang diserahkan oleh pihak pengambil istri (laki-laki) kepada pihak pemberi istri (perempuan) berupa hewan (terutama kuda dan kerbau), mamuli atau perhiasan yang terbuat dari emas, perak dan tembaga.35 Umumnya perkawinan baru dikatakan sah apabila segala kewajiban belis telah terpenuhi. Apabila laki-laki mampu melunasi belis bagi beberapa perempuan maka dirinya diizinkan untuk memiliki beberapa istri sesuai kemampuannya. Hal ini tanpa disadari mendorong laki-laki yang kaya untuk dapat memiliki lebih dari satu istri untuk memperluas prestise dan kekuasaan.36

Belis pada dasarnya merupakan simbol penghargaan kepada perempuan dan

keluarganya karena telah membesarkan anak perempuan mereka dengan baik. Namun yang terjadi di desa Gaura seorang laki-laki yang mampu membelis perempuan maka dengan

33 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak IN , Bapak LD, Bapak ND dan Bapak AM. Pada Tanggal 18Mei 2021.

34 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak IN , Bapak LD, Bapak ND dan Bapak AM. Pada Tanggal 18Mei 2021.

35 Wellem, Injil dan Marapu, 63

36 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo Pada Tanggal 21 Mei 2021.

(17)

71

sendirinya berkuasa atas istrinya. Seorang perempuan yang dibelis harus tunduk kepada suaminya dan apabila perempuan tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam perkawinan maka dirinya harus siap menerima segala perlakuan yang diberikan oleh pihak laki-laki salah satunya adalah poligami.37

Berdasarkan data hasil penelitian menunjukkan bahwa, umumnya perempuan menerima untuk dipoligami dikarenakan mereka telah dibelis. Apabila perempuan yang dibelis pulang ke rumah orang tua tanpa diusir oleh suaminya maka keluarga perempuan

harus mengembalikan belis kepada keluarga laki-laki.38 Oleh sebab itu perempuan yang dibelis dituntut untuk selalu menerima keputusan suami termasuk keputusan untuk berpoligami.

Sekalipun belis menjadi kerak dari berbagai masalah ketidakadilan di desa Gaura, namun belis tetap menjadi bagian terpenting dalam adat perkawinan. Masyarakat di desa Gaura menganggap bahwa perempuan yang tidak dibelis tidak bernilai dan akan kurang dihargai dalam keluarga. Pemberian belis kepada anak perempuan juga menjadi penting dengan pertimbangan bahwa belis dari seorang perempuan menentukan belis anaknya.

Semakin besar perempuan dibelis maka semakin besar juga belis pada anak-anaknya kelak.

Dalam adat perkawinan di desa Gaura, seorang anak perempuan juga biasanya diharuskan untuk segera kawin karena belis atas dirinya akan digunakan untuk membelis saudara laki- lakinya.39 Dengan demikian budaya belis tidak dapat dipisahkan dari potret perempuan di desa Gaura. Tanpa disadari budaya ini menjadi salah satu alasan poligami dalam masyarakat adat di desa Gaura.

37Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo Pada Tanggal 21 Mei 2021.

38Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu SN, Ibu AB dan Ibu JL Pada Tanggal 18 Mei 2021.

39Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Lukas Haingu Pada Tanggal 22 Mei 2021.

(18)

72

3.4.3. Bias Gender : Perempuan Sebagai Tenaga Kerja Gratis Dalam Keluarga

Salah satu alasan penting mengapa poligami dapat terjadi di desa Gaura adalah untuk mendapatkan tenaga kerja gratis. Hal ini tidak terlepas dari sejarahnya bahwa poligami sering terjadi di kalangan bangsawan. Umumnya para bangsawan memiliki lahan yang luas dan ternak yang banyak. Oleh sebab itu akan sangat sulit jika mereka hanya memiliki satu istri.

Keputusan untuk memiliki banyak istri juga terjadi atas beberapa pertimbangan antara lain;

untuk pembagian peran dan tugas antara para istri. Istri yang satu bertugas di dapur untuk mengurus seluruh pekerjaan rumah tangga, dan istri yang lain membantu laki-laki untuk bekerja di ladang dan mengurus hewan ternak. Selain itu dalam pandangan laki-laki, memiliki istri yang banyak adalah sama dengan memiliki anak yang banyak. Tenaga dari anak-anaknya dapat menolong laki-laki untuk pengurusan properti/aset maupun warisan.40

Dengan demikian poligami yang terjadi di desa Gaura tidak terlepas dari representasi perempuan di desa Gaura yang dianggap sebagai tenaga kerja gratis. Sejak kecil gender telah membagi peran dari perempuan atau Lawai serta laki-laki atau Kabani. Tugas Lawai adalah di dapur untuk mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga. Masyarakat Sumba menyebutnya dengan dua istilah yaitu tiup api dan masak nasi babi. Sementara laki-laki menjadi pusat komunitas yang berhak mengambil keputusan serta mengontrol segala hal dalam keluarga. 41

Dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, tugas dan peran seorang perempuan dan laki-laki sudah dikonstruksikan oleh budaya yang terus diwarisi secara turun menurun melalui proses sosialisasi dari satu generasi ke generasi berikutnya bahwa tugas perempuan hanya sebagai pekerja atau pelayan dalam keluarga. Merupakan suatu hal yang lazim di desa Gaura

40Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak IN , Bapak LD, Bapak ND dan Bapak AM. Pada Tanggal 18Mei 2021.

41Tiup api adalah istilah yang menggambarkan tugas perempuan untuk memasak makanan dan menyediakan minuman bagi seluruh anggota keluarga. Sedangkan masak nasi babi adalah istilah yang menggambarkan tugas perempuan dalam proses memasak makanan binatang yang kemudian meluas kepada tugas membesarkan binatang piaraan.

(19)

73

jika ditemukan laki-laki mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti menimba air, memasak makanan binatang dan menjaga anak.42 Menjadi perempuan di desa Gaura berarti harus siap memikul tugas dan tanggung jawab yang besar baik mengerjakan pekerjaan rumah tangga, mengurus ternak serta membantu suami bekerja di ladang. Hal ini membuat beberapa perempuan di desa Gaura menanggap poligami sebagai suatu keberuntungan karena mereka dapat membagi pekerjaan dengan istri selanjutnya.43

3.4.4. Dorongan Seksual Laki-Laki

Terjadinya poligami juga tidak terlepas dari dorongan seksual laki-laki yang memang tinggi jika dibanding dengan perempuan. Berdasarkan hasil observasi di lapangan terdapat beberapa realita yang dapat menunjukkan bahwa hasrat atau dorongan seksual laki-laki tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu alasan terjadinya praktik poligami. Pandangan tersebut dapat diperkuat dengan beberapa hal yaitu pertama, terdapat banyak kasus perselingkuhan yang terjadi dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura di mana laki-laki selalu menjadi pelaku perselingkuhan. Dalam pandangan lembaga adat, poligami menjadi pilihan karena pasangan yang melakukan poligami tidak diberi denda adat tetapi yang melakukan perselingkuhan harus membayar denda yang besar kepada keluarga istrinya. Oleh sebab itu laki-laki lebih memilih untuk melakukan poligami dibanding perselingkuhan.44

Kedua, dalam beberapa kasus poligami, masih terdapat laki-laki yang tetap mengambil istri kedua sekalipun istri pertama mampu memberikan keturunan baik anak laki-laki maupun perempuan. Mereka juga melakukan poligami tanpa mempertimbangkan status ekonomi. Dan berdasarkan data yang penulis peroleh dari kantor desa Gaura, menyatakan bahwa sejauh ini belum pernah terjadi praktik poliandri melainkan hanya terdapat kasus poligami.45

42Berdasarkan Hasil Wwancara dengan Bapak Herman Horo.Pada Tanggal 15 Mei 2021.

43 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu SN pada Tanggal 18 Mei 2021.

44Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Rato Edu Bota pada Tanggal 13 Mei 2021.

45 Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Kepala Desa Gaura Periode 2016- 2021.

(20)

74

Berdasarkan uraian di atas, penulis kemudian melakukan wawancara mendalam kepada beberapa partisipan yang terlibat dalam praktik poligami. Dari pengakuan beberapa partisipan tersebut, ditemukan bahwa dorongan seksual laki-laki tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu penyebab dirinya melakukan poligami.46

Umumnya laki-laki melakukan poligami karena istri pertama telah memasuki masa menopause dan tidak aktif lagi secara seksual. Selain itu mereka memutuskan untuk poligami

dengan alasan bahwa perkawinan dengan istri pertama atas dasar perjodohan dari orang tua bukan atas dasar kemauan pribadi, sementara perkawinan dengan istri kedua atas dasar cinta.

Oleh sebab itu laki-laki biasanya lebih memilih tinggal bersama istri yang paling muda.47 3.5. Peran dan Status Suami, Istri dan Anak dalam Perkawinan Poligami

Peran dan status suami dan istri dalam perkawinan poligami umumnya tidak jauh berbeda dengan peran mereka dalam perkawinan yang bersifat monogami. Peran dari kedua jenis kelamin tersebut selama ini telah berada di bawah tempurung agama, adat istiadat dan kebudayaan yang membatasi pandangan, persepsi dan sikap mereka. Dalam pembagian peran antara laki-laki dan perempuan secara umum, peran dan status laki-laki telah diatur sebagai kepala keluarga yang memimpin dan mengatur seluruh anggota keluarga baik istri maupun anak-anak, sementara istri dan anak sebagai pihak yang harus tunduk kepada suaminya.

Namun demikian dalam perkawinan poligami, terdapat beberapa hal yang dapat membedakan peran dan kedudukan laki-laki dan perempuan dalam perkawinan monogami.

Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala pemerintahan di desa Gaura, menyatakan bahwa dalam pembagian status dan peran antara istri pertama dan seterusnya terdapat perbedaan- perbedaan baik status maupun peran yang dapat diuraikan sebagai berikut. 48

46Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak AM, AL dan ND Pada Tanggal 18 Mei 2021.

47Berdasakan Hasil Wawancara dengan Bapak AM, AL dan ND Pada Tanggal 18 Mei 2021.

48Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 18 Mei 2021.

(21)

75

1. Istri pertama dan kedua sama-sama berkewajiban melayani suami dan keluarganya.

Biasanya terdapat pembagian peran dan tugas misalnya istri pertama di rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus ternak sementara istri kedua bertugas membantu suami bekerja di sawah atau ladang.

2. Dalam pembagian harta benda, istri pertama yang berhak atas rumah suaminya sementara istri kedua biasanya tinggal di rumah kebun.49 Sementara untuk aset lain seperti sawah atau ternak akan diwariskan kepada anak laki-laki dari istri pertama atau jika istri pertama tidak mempunyai anak maka warisan tersebut akan diberikan kepada anak laki-laki dari istri kedua. Namun demikian, anak dari istri kedua harus dimasukkan ke dalam kartu keluarga suami dengan istri pertama. Dan di mata hukum, ibu dari anak tersebut adalah perempuan yang merupakan istri pertama.

3. Berkaitan dengan gaji, apabila yang melakukan poligami adalah Aparatur Sipil Negara (ASN) maka yang berhak masuk ke dalam daftar gaji suaminya adalah istri pertama dan anak-anaknya. Namun dalam kasus yang terjadi di desa Gaura, Gaji maupun hasil dari bercocok tanam maupun penjualan ternak lebih banyak diberikan kepada istri kedua dengan alasan laki-laki umumnya lebih banyak tinggal bersama istri kedua. Dalam tujuh hari atau satu minggu, biasanya lima hari laki-laki berada di rumah istri kedua sedangkan dua hari di rumah istri pertama.50

4. Dalam berbagai urusan adat, istri pertama yang diakui untuk dapat terlibat sementara istri kedua tidak diharuskan. Penting untuk diketahui bahwa, dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura nama suami dan istri biasanya digabung. Misalnya, nama suami adalah Tamo dan nama istri adalah Ina maka dalam berbagai urusan adat suami akan dikenal dengan nama Tamo Ina (gabungan namanya dengan istrinya). Namun dalam perkawinan poligami

49Rumah kebun merupakan sebuah istilah untuk menyebutkan rumah atau tempat tinggal lain selain rumah sebenarnya dari laki-laki. Jadi apabila terdapat rumah lain selain rumah utama maka rumah tersebut disebut dengan istilah rumah kebun.

50Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu JL Pada Tanggal 18 Mei 2021.

(22)

76

biasanya nama istri pertama yang digabung dengan nama suaminya. Sementara nama istri kedua tidak digunakan.

5. Dalam sudut pandang agama Kristen, istri pertama yang merupakan istri yang diakui dan dilegalkan di gereja. Di mata pemerintah pun demikian, pernikahan dengan istri pertama yang memiliki legalitas hukum.

6. Berkaitan dengan anak, dalam praktik poligami anak istri pertama yang diakui di mata pemerintah. Dalam penyusunan akta kelahiran biasanya akta lahir anak dari istri kedua hanya dicantumkan nama ibunya. Atau dalam beberapa kasus misalnya, jika suami memiliki istri pertama yang tidak dapat melahirkan keturunan maka anak dari istri kedua akan dimasukkan ke dalam kartu keluarga ayahnya dengan menggunakan nama dari istri pertama sebagai ibu dari anak tersebut.

7. Dalam peraturan gereja, anak dari pasangan poligami dapat dibaptis apabila orang tuanya telah mengikuti disiplin gereja dan menunjukkan sikap pertobatan namun tetap saja tidak ada pemberkatan nikah bagi pasangan poligami tersebut. Selain itu, gereja dapat melakukan pembaptisan bagi anak-anak dari perkawinan poligami apabila anak tersebut telah dewasa atas keputusan pribadinya, membawa diri ke gereja untuk dibaptis.51

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa poligami bukanlah persoalan yang sederhana. Dari pembagian status dan peran antara suami, istri maupun anak kemudian menimbulkan berbagai masalah dalam praktik poligami di desa Gaura Sumba Barat, yang akan dijelaskan pada sub-bab selanjutnya.

3.6. Masalah-Masalah yang di Temukan Dalam Praktik Poligami di Desa Gaura Peraturan perkawinan di Indonesia mengizinkan poligami dengan keadilan sebagai syarat utamanya. Namun realita yang ditampilkan dalam masyarakat adat di desa Gaura menunjukkan bahwa praktik poligami nyatanya masih jauh dari konsep keadilan. Dengan

51 Berdasarakan Hasil Wawancara bersama Ibu Pendeta Antoneta Dade. Pada Tanggal 09 Mei 2021.

(23)

77

demikian dalam sub bab ini, penulis akan memuat masalah-masalah yang ditemukan dalam praktik poligami yang terjadi di desa Gaura.

3.6.1. Masalah Psikologis

Terdapat berbagai dampak dari praktik poligami yang terjadi di desa Gaura, yang paling utama adalah dampak psikologis dari perempuan khususnya istri pertama. Hal ini bermula dari anggapan masyarakat di desa Gaura yang masih tergolong dalam masyarakat tradisional di mana menempatkan perempuan di dapur bukan di kamar tamu. Terdapat suatu realita di desa Gaura di mana perempuan ketika ia telah mendapatkan haid pertama atau Menarche maka perempuan tersebut dapat dikawinkan dengan seorang pria yang merupakan

pilihan orang tua. Dalam proses perundingan adat perkawinan, perempuan yang bersangkutan tidak diizinkan untuk terlibat. Hal ini kemudian menjadi persoalan di mana masa depan perempuan dalam hal ini dengan siapa ia berjodoh telah ditentukan oleh orang tuanya. Seorang partisipan menyatakan bahwa, ketika hari perjodohan itu tiba, ia sudah siap menerima nasibnya kelak untuk diceraikan atau dipoligami dengan alasan misalnya karena mandul atau tidak dapat melahirkan anak laki-laki. 52 Hal ini secara tidak langsung, sangat mempengaruhi psikologis dari perempuan sehingga dalam relasi perkawinannya, ia selalu merasa ketakutan apabila ia gagal melaksanakan fungsi-fungsinya dalam perkawinan.

Berdasarkan hasil penelusuran penulis, ditemukan bahwa seorang perempuan yang dipoligami, biasanya akan terus hidup dalam rasa bersalah. Perempuan biasanya menganggap bahwa terjadinya poligami karena kesalahan mereka. Oleh sebab itu seumur hidupnya, seorang perempuan akan diikuti dengan perasaan-perasaan gagal, rendah diri dan bahkan rasa tidak percaya diri.53

52Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu AN Pada Tanggal 13 Mei 2021.

53 Pernyataan ini penulis rumuskan berdasarkan hasil wawancara mendalam penulis dengan beberapa Partisipan yang dipoligami. Antara Lain Ibu SN, Ibu MK, Ibu JL, Ibu SN.

(24)

78

Dalam perkawinan poligami juga sering terjadi kecemburuan antara istri pertama dengan istri-istri yang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan seorang partisipan yang merupakan istri pertama, menyatakan bahwa dirinya merasa suaminya lebih memperhatikan istri kedua namun ia menerima hal tersebut karena ia menyadari bahwa istri kedua memiliki usia yang lebih muda.54 Berkaitan dengan hal tersebut, Soewondo menyatakan bahwa pada umumnya istri yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa suami telah berpoligami pada umumnya akan mengalami kelabilan emosi, istri menjadi sensitif, memiliki sikap yang tidak terkontrol karena emosinya, sering curiga berlebihan bahkan seorang istri akan memiliki perasaan rendah diri.55 Namun perempuan umumnya lebih memilih diam dan menerima setiap perlakuan yang ada karena budaya telah mengonstruksikan perempuan untuk selalu tunduk kepada laki-laki.

3.6.2. Masalah Ekonomi: Pengabaian terhadap Masa depan Istri dan Anak

Selain masalah psikologis perempuan, masalah ekonomi juga timbul dalam perkawinan poligami. Dalam beberapa kasus, masalah ekonomi dalam perkawinan poligami menimbulkan kekerasan fisik dan kekerasan verbal dari suami kepada istri dan anak-anaknya.

Hal tersebut disebabkan karena kewajiban laki-laki sebagai pencari nafkah memiliki tanggung jawab yang besar kepada istrinya-istrinya. Ketika laki-laki gagal melaksanakan kewajibannya, maka ia akan melampiaskan dengan melakukan kekerasan kepada anggota keluarga yang lain. Berdasarkan data hasil penelitian yang di peroleh dari kantor desa Gaura, ditemukan bahwa di tahun 2021 ini terdapat 4 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dalam perkawinan poligami. Dari 4 kasus tersebut, 3 kasus telah dilakukan proses mediasi

54Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Ibu SN Pada Tanggal 13 Mei 2021.

55Soewondo, S, Keberadaan Pihak Ketiga, Poligami dan Permasalahan Perkawinan (Keluarga) Ditinjau DariAspek Psikologi, dalam Munandar, (ed), Bunga Rampai, Psikologi Perkembangan Kepribadian dari Bayi sampai lanjut usia, Jakarta: UI Press, 2001), hlm 154-184.

(25)

79

namun 1 kasus masih belum ada penyelesaian. Adapun penyebab utama dari KDRT adalah karena faktor ekonomi.56

Masalah ekonomi dalam perkawinan poligami timbul karena poligami yang terjadi saat ini lebih banyak dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah. Berbeda dengan zaman dulu, di mana poligami hanya dilakukan oleh kaum bangsawan atau orang-orang yang memiliki harta dan aset antara lain sawah, tanah dan ternak yang banyak.57 Hal ini menimbulkan pengabaian terhadap masa depan istri dan anak karena ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Ketidakadilan juga sering terjadi karena suami umumnya lebih mementingkan kebutuhan istri yang lebih muda. Selain itu, data hasil penelitian juga menunjukkan bahwa anak-anak dari pasangan poligami umumnya tidak dapat menempuh pendidikan ke bangku SMA hingga perguruan tinggi dikarenakan tidak memiliki biaya.

Dengan demikian terdapat berbagai masalah-masalah yang ditimbulkan dari perkawinan poligami yang terjadi di desa Gaura. Namun poligami masih terjadi hingga saat ini dikarenakan masyarakat menganggap bahwa poligami merupakan hal yang lebih baik jika dibandingkan dengan perselingkuhan. Perselingkuhan adalah hal yang dilarang dan melanggar hukum adat perkawinan di desa Gaura, sementara poligami diizinkan karena laki- laki yang sudah melakukan poligami sekaligus berkuasa atas perempuan yang telah dibelisnya. Namun demikian, banyak laki-laki yang melakukan poligami tanpa memikirkan

tanggung jawab atas istri-istrinya. Hal ini yang kemudian menjadi kerak dari masalah- masalah dalam perkawinan poligami di desa Gaura.58

56Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

57Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021.

58Berdasarkan Hasil Wawancara dengan Bapak Herman Horo, Pada Tanggal 08 Mei 2021

(26)

80 3.7. Kesimpulan

Poligami merupakan persoalan seksualitas yang dapat dijumpai di kalangan muslim dan dalam berbagai lingkungan masyarakat adat. Namun poligami yang terjadi di desa Gaura, tidak terlepas dari legitimasi nilai-nilai religius dalam aliran kepercayaan Marapu yang sangat menunjukkan keberpihakan pada laki-laki. Data hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 laki-laki yang melakukan poligami, 35 di antaranya berasal dari aliran kepercayaan Marapu.

Dalam tatanan masyarakat adat di desa Gaura, terdapat beberapa alasan penyebab poligami yang membuat poligami dilihat sebagai suatu hal yang wajar. Selain karena legitimasi nilai-nilai religius dalam aliran kepercayaan Marapu alasan-alasan penyebab poligami di desa Gaura yang penulis peroleh dari hasil penelitian yaitu pertama untuk mendapatkan keturunan. Berkaitan dengan keturunan, perempuan menjadi pihak yang disalahkan ketika dalam perkawinan tidak mendapatkan keturunan. Dengan demikian, untuk memperoleh keturunan maka laki-laki diizinkan untuk melakukan poligami.

Alasan kedua penyebab terjadinya poligami di desa Gaura adalah budaya belis. Belis merupakan syarat terpenting dalam perkawinan adat di desa Gaura. Namun belis menjadi kerak dari beragam persoalan ketidakadilan yang dihadapi perempuan. Seorang perempuan yang dibelis dituntut untuk tunduk pada setiap keputusan suami termasuk keputusan laki-laki untuk melakukan poligami.

Alasan ketiga yang menjadi penyebab poligami di desa Gaura adalah representasi perempuan di desa Gaura sebagai tenaga kerja gratis. Pandangan ini tanpa disadari memberikan perempuan beban kerja yang berat sehingga bagi beberapa perempuan, poligami merupakan sebuah anugerah karena dirinya dapat membagi bebannya dengan perempuan lain.

Alasan keempat yang mendorong terjadinya poligami di desa Gaura adalah dorongan seksual laki-laki. Dorongan seksual laki-laki yang memang tinggi jika dibandingkan dengan perempuan tanpa disadari mendorong laki-laki untuk melakukan poligami namun demikian

(27)

81

masyarakat lebih sering melihat faktor penyebab poligami sebagai bentuk kegagalan dari pihak perempuan padahal pengakuan dari beberapa partisipan yang melakukan poligami menyatakan bahwa terjadinya poligami tidak dapat dilepaskan dari faktor dorongan seksual laki-laki.

Berkaitan dengan poligami, masyarakat adat di desa Gaura selalu melihat poligami suatu hal yang wajar namun terdapat beragam penyimpangan yang membuat poligami tidak dapat terus dilihat dari perseptif tersebut. Masalah-masalah yang ditimbulkan dari perkawinan poligami antara lain, masalah psikologis yang dialami perempuan, masalah ekonomi yang menimbulkan kekerasan fisik dan kekerasan verbal yang dialami perempuan dan anak, pengabaian terhadap masa depan anak serta beragam ketidakadilan yang dialami perempuan.

Gambar

Tabel 2: Jumlah Penduduk Desa Gaura Menurut Dusun
Tabel 3: Jumlah Penduduk Menurut Usia
Tabel 5:  Mata Pencaharian Penduduk Desa Gaura
Tabel 6: Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Gaura
+2

Referensi

Dokumen terkait

Kecenderungan kemiripan tema-tema ideologi negara yang muncul dalam teks pendidikan di masa Orde Baru dan 5HIRUPDVL MXJD PHQXQMXNNDQ NXDWQ\D UHSUHVHQWDVL 2UGH

Hasil dari penelitian ini yaitu, dari 10 Satuan Lahan pada daerah penelitian memiliki dua kelas kesesuaian lahan, yaitu kelas S1 : Sangat Sesuai yang tersebar pada tiga satuan

‫‪Tim Revisi, Pedoman Penulisan Skripsi Jurusan Pendidikan Bahasa Arab, Yogyakarta : Fak.‬‬ ‫‪Ilmu Tarbiyah dan Kguruan UIN Sunan Kalijaga, 2015, hal.10.‬‬

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan sintesis senyawa dibenzalaseton dan dianisalaseton pada kondisi yang sama untuk menentukan pengaruh gugus metoksi pada posisi

Tahapan analisis hidrologi diawali dengan menganalisis data hujan dari beberapa stasiun penakar hujan untuk menentukan hujan harian maksimum rerata yang selanjutnya

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara pada 17 informan yang dilakukan pada masyarakat suku buton di Kecamatan Binongko yaitu 35 famili

Pada pemeriksaan darah yang diperiksa adalah golongan darah ibu, kadar haemoglobin dan HbsAg. Pemeriksaan haemoglobin untuk mendeteksi faktor resiko kehamilan yang

Motif yang paling tinggi menjadi alasan masyarakat Surabaya menonton acara Indonesia Lawyers Club adalah motif identitas personal meliputi meningkatkan pemahaman