• Tidak ada hasil yang ditemukan

SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)"

Copied!
71
0
0

Teks penuh

(1)

TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL

SKRIPSI

D i a j u k a n U n t u k M e m e n u h i S a l a h S a t u S y a r a t M e m p e r o l e h G e l a r S a r j a n a H u k u m ( S . H . )

Oleh

AHMAD FARHAN HADAD NIM: 11160480000099

PRO G RA M S T U DI I L MU H UK UM FAK UL T AS S Y ARI AH DA N H UK UM

UNI VE RS I T AS I S L AM NE G E RI S YARI F H I DA YAT UL L AH J AK ART A

1 4 4 2 H / 2 0 2 0 M

(2)

i

BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484

TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL

SKRIPSI

D i a j u k a n U n t u k M e m e n u h i S a l a h S a t u S y a r a t M e m p e r o l e h G e l a r S a r j a n a H u k u m ( S . H . )

Oleh

AHMAD FARHAN HADAD NIM: 11160480000099

PRO G RA M S T U DI I L MU H UK UM FAK UL T AS S Y ARI AH DA N H UK UM

UNI VE RS I T AS I S L AM NE G E RI S YARI F H I DA YAT UL L AH J AK ART A

1 4 4 2 H / 2 0 2 0 M

(3)

ii

BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484

TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL

SKRIPSI

D i a j u k a n U n t u k M e m e n u h i S a l a h S a t u S y a r a t M e m p e r o l e h G e l a r S a r j a n a H u k u m ( S . H . )

Oleh

AHMAD FARHAN HADAD NIM: 11160480000099

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Hasanudin, M.Ag.

NIP. 19610304 199503 1 001

Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

NIDN. 2021088601

PRO G RA M S T U DI I L MU H UK UM FAK UL T AS S Y ARI AH DA N H UK UM

UNI VE RS I T AS I S L AM NE G E RI S YARI F H I DA YAT UL L AH J AK ART A

1 4 4 2 H / 2 0 2 0 M

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484 TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 30 September 2020. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata Satu (S-1) pada Program Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, Oktober 2020 Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H., M.A.

NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. (……….) NIP. 19670203 201411 1 101

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. (……….) NIP. 19650908 199503 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Hasanudin, M.Ag. (……….)

NIP. 19610304 199503 1 001

Pembimbing II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. . (……….) NIDN. 2021088601

4. Penguji I : Prof. Dr. Abdullah Sulaiman, S.H., M.H. (……….) NIP. 19591231 198609 1 003

5. Penguji II : Dr. Nurhasanah, M.Ag. (……….) NIP. 19740817 200212 2 013

(5)

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, Saya:

Nama : Ahmad Farhan Hadad

NIM : 11160480000099

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Jalan Caraka Buana SLT 7/33B, Jurang Mangu Timur, Pondok Aren, Tangerang Selatan.

No. Telp : 0859 4573 6117

Email : farhan.hadad08@gmail.com /

ahmadfarhan.hadad16@mhs.uinjkt.ac.id Dengan ini Saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya Saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata Satu (S-1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penelitian ini telah Saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli Saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 9 September 2020

Ahmad Farhan Hadad NIM. 11160480000099

(6)

v

ABSTRAK

AHMAD FARHAN HADAD, NIM 11160480000099, “BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484 TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2020 M.

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah bagaimana penerapan jaminan produk halal yang menimbulkan barrier to entry berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menurut Putusan Dispute Settlement Body nomor 484.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yuridis. Normatif yuridis pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum primer dan sekunder. Sumber hukum primer merujuk Putusan Dispute Settlement Body Nomor 484 dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Adapun sumber hukum sekunder merujuk pada buku karya Huala Adolf berjudul Hukum Perdagangan Internasional.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa putusan Dispute Settlement Body memiliki daya ikat bagi negara Indonesia karena Indonesia bagian dari WTO.

Putusan tersebut juga memberi dampak terbentuknya ketidak pastian dalam hukum terutama tentan Jaminan Produk Halal. Upaya negara Indonesia dalam melindungi Jaminan Produk Halal dengan melakukan banding kepada Dispute Settlement Body walaupun hasilnya tetap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan Indonesia.

Kata Kunci : Jaminan Produk Halal, Dispute Settlement Body, World Trade Organization.

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Hasanudin, M.Ag.

2. Indra Rahmatullah, SH.I., MH.

Daftar Pustaka : Tahun 1985 sampai Tahun 2019

(7)

vi

KATA PENGANTAR

ﲓﺣﺮﻟا ﻦﲪﺮﻟا ﷲ ﻢﺴ

Segala puji bagi Allah Swt yang telah memberikan nikmat dan karunia yang tidak terhinggga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda Nabi Muhammad Saw, beserta seluruh keluarga, sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Dengan mengucap Alhamdulillâhi rabbil ‘âlamîn, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan penelitian skripsi dengan judul “BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484 TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL.”

Skripsi ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa selain Allah Swt dan bantuan serta dukungan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini berlangsung.

Peneliti ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada para pihak yang telah memberikan peranan secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh peneliti, yaitu antara lain kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan arahan untuk menyelesaikan skripsi ini.

3. Dr. Hasanudin, M.Ag. dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing Skripsi. Prof. Dr. Abdullah Sulaeman, S.H., M.H. Dosen Penasehat Akademik

(8)

vii

yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Kepala Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas dan mengizinkan peneliti untuk mencari dan meminjam buku-buku referensi dan sumber-sumber data lainnya yang diperlukan.

5. Kepada kedua orang tua peneliti, Bapak H. Dadang Hermawan, S.E. dan Ibu Dra. Asde Murni dan juga kepada saudara/i peneliti Aisatul Mustaqimah Hadad, Zulfikar Hadad dan Audi Rahman Hadad yang selalu memberikan dukungan, baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana ini.

6. Pihak-pihak lainnya yang telah memberi kontribusi dalam penyelesaian skripsi ini.

Demikian ucapan terima kasih ini, semoga Allah memberikan balasan yang setara kepada para pihak yang telah berbaik hati terlibat dalam penyusunan skripsi ini dan semoga pula skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Jakarta, 9 September 2020

Ahmad Farhan Hadad NIM. 11160480000099

(9)

viii DAFTAR ISI

JUDUL...i

PERSETUJUAN PEBIMBING...ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SKRIPSI...iii

LEMBAR PERNYATAAN...iv

ABSTRAK...v

KATA PENGANTAR...vi

DAFTAR ISI...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah...1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah...6

C. Manfaat dan Tujuan Penelitian ...7

D. Metode Penelitian...8

E. Sistematika Pembahasan...10

BAB II JAMINAN PRODUK HALAL DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL A. Kerangka Konseptual...13

1. Jaminan Produk Halal di Indonesia...13

a. Pengertian Produk Halal...13

b. Jaminan Produk Halal...15

2. Tinjauan Umum Perdagangan Internasional...17

a. Pengertian Perdagangan Internasional...17

b. Asas – Asas Perdagangan Internasional...19

c. Teori Perdagangan Internasional...22

B. Kerangka Teori...23

1. Teori Proteksionisme...23

2. Prinsip Most-favoured-Nation...25

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu...26

(10)

ix

BAB III WORLD TRADE ORGANIZATION DAN DISPUTE SETTLEMENT BODY

A. Tinjauan Umum World Trade Organization...28

1. Profile World Trade Organization...28

2. Peran World Trade Organization...30

3. Putusan Dispute Settlement World Trade Organization...31

B. Putusan Dispute Settlement Body World Trade Organization Nomor 484...33

BAB IV IMPLIKASI PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT NOMOR 484 ATAS MUNCULNYA BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL A. Daya Ikat Putusan Dispute Settlement Body nomor 484 pada Negara Republik Indonesia...39

B. Dampak Putusan Dispute Settlement Nomor 484 terhadap Jaminan Produk Halal di Indonesia...47

C. Upaya Pemerintah Negara Indonesia terhadap Putusan Dispute Settlement Body Nomor 484...52

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan...56

B. Rekomendasi...58

DAFTAR PUSTAKA...59

(11)

1

Halalnya suatu produk menjadi kebutuhan wajib bagi setiap konsumen, terutama konsumen muslim di Indonesia. Baik itu produk berupa makanan, obat-obatan maupun barang-barang konsumsi lainnya. Seiring besarnya kuantitas konsumen muslim di Indonesia yang jumlahnya mencapai berjuta- juta jiwa penduduk Indonesia, dengan sendirinya pasar Indonesia menjadi pasar konsumen muslim yang sangat besar. Oleh karena itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara. Sebagaimana yang tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) bahwa Negara berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan mewujudkan kesejahteraan umum.

Dalam industri pangan saat ini, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Namun demikian perlu diingat bahwa sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat regional, internasional, dan global, Indonesia sedang dibanjiri produk pangan dan produk lainnya yang mengandung atau terkontaminasi unsur haram. Dalam teknik pemrosesan, penyimpanan, penanganan, dan pengepakan acapkali digunakan bahan pengawet yang membahayakan kesehatan atau bahan tambahan yang mengandung unsur haram yang dilarang dalam agama Islam.

Masalah sertifikasi kehalalan produk dalam sistem perdagangan internasional mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia, sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam

(12)

2

kerangka ASEAN-AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO. Bahkan gaya hidup halal saat ini sedang melanda dunia. Tidak hanya menggejala pada negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga negara berpenduduk mayortas nonmuslim.

Perusahaan berskala global juga saat ini telah menerapkan sistem halal. Sebut saja seperti Japan Airlaines, Singapore AirLines, Qantas, America Airlines, yang menyediakan menu halal (Moslem meal). Gejala halal juga merambah negara Amerika, Australia, Jepang, Cina, India, dan negara-negara Amerika Latin.1

Respon positif terhadap masalah kehalalan terutama terkait makanan, obat-obatan, dan kosmetik telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang-undangan.

Namun peraturan-peraturan tersebut dibuat secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik sehingga secara teknis belum dapat dijadikan payung hukum yang kuat dan secara spesifik dapat mengikat terhadap persoalan kehalalan produk kepada produsen (pelaku usaha) maupun jaminan kepada konsumen. Hal inilah yang menyebabkan belum ada jaminan kepastian hukum yang mengatur tentang produk halal, padahal kebutuhan akan jaminan produk halal menjadi keniscayaan dan sangat mendesak terutama dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dan kancah perdagangan global.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menjadi langkah pilihan bagi Indonesia demi terciptanya kenyamanan dan juga keamanan bagi setiap konsumen muslim di Indonesia.

Berbagai macam kekhawatiran dalam menghadapi perdagangan bebas tingkat

1 Asrorun Ni’am Sholeh, “Halal Jadi Tren Global” dalam GATRA Edisi 29 Juli 2015, h.

34-35.

(13)

regional, internasional dan global akan berkurang karena adanya undang- undang tersebut. Pada Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sesungguhnya semakin mempertegas betapa mendesaknya persoalan halal-haram dalam rantai produksi dari pelaku usaha hingga sampai di tangan konsumen dan dikonsumsi oleh konsumen, dimana terdapat pula peran pihak perantara seperti distributor, subdistributor, grosir, maupun pengecer sebelum sampai ke tangan kosnumen akhir.

Setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda baik dari sumber daya alam maupun dari sumber daya manusia sehingga 3 menyebabkan perbedaan-perbedaan produk yang dihasilkan baik dari segi kualitas, kuantitas maupun biaya yang diperlukan selama proses produksi. Maka dari itu untuk memenuhi kebutuhan tiap–tiap negara di dunia sangat dibutuhkan adanya suatu pelaksanaan hubungan transaksi internasional, baik transaksi barang maupun jasa melalui perdagangan internasional. Pelaksanaan kegiatan perdagangan internasional tidak mudah karena langsung berhadapan dengan sistem hukum sebuah negara. Perbedaan sistem hukum masing– masing negara menuntut adanya unifikasidan harmonisasi hukum yang menyebabkan lahirnya aturan–

aturan atau hukum di dalam perdagangan internasional.2

Perdagangan Internasional adalah interaksi dari berbagai negara yang berpengaruh terhadap perekonomian suatu bangsa. Arti dari perdagangan internasional menurut Elliot M. Burg adalah sebagai pertukaran barang dan jasa lintas negara, yang dilakukan antar negara atau bangsa.3 Sebagai salah satu bagian dari kegiatan ekonomi atau kegiatan bisnis yang akhir-akhir ini mengalami perkembangan yang sangat pesat, perhatian dunia terhadap kegiatan bisnis dalam perdagangan internasional juga semakin meningkat, hal

2 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Transaksi Bisnis Internasional (Ekspor Impor dan Imbal Beli), (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada), h. 1.

3 Eliot Burg, 2008, Law and Development: A Review of Literature & a Critique of Scholar in Self Estrangement, Journal Comparative Law, Canada, h. 508

(14)

4

ini terlihat jelas dari semakin berkembangnya arus peredaran barang, jasa, modal, dan tenaga kerja antar negara.4

Sebagai negara yang cukup aktif dalam perdagangan internasional, Indonesia telah bergabung menjadi anggota World Trade Organisation atau selanjutnya disebut WTO sejak tahun 1995. Pada dasarnya, WTO adalah tempat negara-negara anggotanya untuk menyelesaikan masalah perdagangan yang mereka hadapi satu sama lain. WTO adalah organisasi international yang diciptakan untuk memfasilitasi pelaksanaan, administrasi, dan operasi serta untuk mencapai tujuan dari perjanjian tersebut. Selain dari tujuan umum WTO tersebut, setidaknya terdapat 4 tujuan spesifik antara lain (1) menyediakan forum mediasi antar negara anggota untuk permasalahan-permasalahan yang ada maupun yang akan ada dikemudian hari; (2) untuk mengatur sistem penyelesaian sengketa; (3) untuk mengatur mekanisme kebijakan perdagangan; (4) untuk menjalin kerjasama dengan International Monetary Fund atau disebut dengan IMF dan World Bank.5

Dengan menjadi anggota WTO, Indonesia meratifikasi segala jenis perjanjian-perjanjian terkait perdagangan yang dituangkan pula menjadi undang-undang yang mengatur terkait hasil perjanjian-perjanjian/konvensi yang dilakukan dengan anggota WTO lainnya. Namun, adanya Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menimbulkan suatu kerancuan terkait kegiatan impor suatu produk dalam kacamata perdagangan internasional.

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 menyatakan : “produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal” Dari isi Pasal 4 tersebut dapat disimpulkan bahwa pengenaan aturan mengenai jaminan produk halal tidak hanya memberi

4Muhammad Sood, 2012, Hukum Perdagangan Internaional, (Jakarta : Rajawali Pers), h. 1

5World Trade Organiza on, ―WTO and the TRIPS agreement‖, http//www.who.int/medicines/areas/policy/wto_trips/en/ diakses pada tanggal 16 Desember 2019

(15)

dampak pada produk dalam negeri tetapi juga untuk produk dari luar negeri atau produk impor. Hal ini berarti bahwa sedikit atau banyak Undang-undang jaminan produk halal tersebut akan mempengaruhi perdagangan internasional, sehingga Indonesia sebagai anggota World Trade Organization atau yang selanjutnya disebut dengan WTO harus menyelaraskan undang-undang nasionalnya dengan hukum-hukum internasional terkait.

Kewajiban sertifikat halal yang ditetapkan oleh Pemerintah Republik Indonesia dinilai beberapa negara eksportir sebagai syarat yang menghambat pelaksanaan ekspor barang ke Indonesia. Hal ini pun menarik perhatian pemerintah Brazil yang menganggap bahwa adanya kewajiban sertifikasi halal tersebut diskriminatif, hingga akhirnya pada tahun 2016 Brazil menggugat pemerintah Republik Indonesia di WTO.6 Dalam gugatannya yang terdaftar dalam nomor DS: 484, Indonesia measures concerning the importation of chicken meat and chicken products, Brazil menganggap bahwa syarat halal yang diwajibkan dalam importasi daging adalah upaya untuk proteksi perdagangan.7

Hal ini sangat menarik untuk dilakukan penelitian, karena perselisihan hubungan industrial merupakan suatu masalah yang harus diselesaikan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pimpinan perusahaan agar terciptanya hubungan pekerjaan yang harmonis, demokrasi, dan pada dasarnya antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pimpinan perusahaan haruslah menjalin kerjasama yang baik.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji dan membahas permasalahan tersebut yang dituangkan dalam bentuk penulisan skripsi yang berjudul “BARRIER TO ENTRY DALAM

6 Aprilia Ika, ―Brasil Gugat Indonesia Terkait Syarat Importasi Daging dan Produk Ayam

yang Hala‖,

http://ekonomi.kompas.com/read/2016/10/15/100000826/brasil.gugat.indonesia.terkait.syarat.impo rta si.daging.dan.produk.ayam.yang.halal, diakses pada tanggal 16 Desember 2019

7 Handoyo, ―Brazil Gugat Indonesia Soal Kebijakan Impor Ayam‖, http://nasional.kontan.co.id/news/brazil-gugat-indonesia-soal-kebijakan-impor-ayam, diakses pada tanggal 16 Desember 2019

(16)

6

KEBIJAKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL MENURUT PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY NOMOR 484 TENTANG KASUS IMPOR DAGING AYAM DAN OLAHAN DAGING AYAM OLEH BRAZIL

.

B.

Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1.

Identifikasi Masalah

Berdasarkan pemaparan di atas, terdapat beberapa masalah yang dapat diidentifikasikan yang terkait dengan tema yang diteliti, antara lain:

a. Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal.

b. Fungsi dan Sistem Jaminan Produk Halal.

c. Penetapan Kehalalan Produk.

d. Standar proteksi perdagangan dalam negara.

e. Faktor penyebab barrier to entry dalam penerapan Jaminan Produk Halal.

f. Pertimbangan hukum atas Barrier to entry yang dalam kebijakan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

g. Kepastian hukum barrier to entry dalam penerapan jaminan produk halal dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam putusan Dispute Settlement Body 484.

2. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan masalah dalam penelitian ini lebih terfokus dan tidak meluas, peneliti membatasi masalah yang akan dibahas sehingga pembahasannya lebih jelas dan terarah sesuai yang diharapkan peneliti.

Disini peneliti hanya akan membahas terkait bagaimana penerapan jaminan produk halal yang menimbulkan barrier to entry berdasarkan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menurut Putusan Dispute Settlement Body 484.

3. Perumusan Masalah

(17)

Berdasarkan pembatasan masalah yang difokuskan, perumusan masalah yang diangkat adalah proses penerapan jaminan produk halal dalam produk impor yang dianggap menjadi Barrier bagi perdagangan Internasional menurut Putusan Dispute Settlement 484. Untuk mempertegas perumusan masalah, peneliti tuangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana daya ikat bagi negara Indonesia atas Putusan WTO Dispute Settlement 484 terkait timbulnya barrier to entry dalam kebijakan Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal?

b. Apa dampak barrier to entry dari Putusan WTO Dispute Settlement Body nomor 484 Terhadap jaminan produk halal di Indonesia?

c. Bagaimana upaya negara Indonesia dalam menghadapi putusan Putusan WTO Dispute Settlement Body nomor 484?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitan 1. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Diharapkan hasil penelitian ini memiliki manfaat untuk perkembangan ilmu hukum, khususnya yang berkaitan dengan hukum bisnis di bidang perdagangan internasional.

b. Manfaat Praktis 1) Bagi Peneliti

Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat mengetahui tentang bagaimana penerapan jaminan produk halal ditinjau dari Undang-Undang nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Dan dapat menambah peluang untuk menekuni profesi hukum di bidang perdagangan internasional.

2) Bagi Akademis

Bagi kalangan Akademisi, khususnya mahasiswa yang menekuni hukum bisnis, hukum dagang, penulis berharap penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk memahami hukum dagang

(18)

8

khususnya dibidang perdagangan internasional di Indonesia dengan baik.

2. Tujuan Penelitian

Untuk menjawab seluruh pertanyaan masalah di atas, dirumuskan tujuan penelitian yang ingin dicapai, antara lain:

a. Untuk mengetahui dan menganalisa daya ikat bagi negara Indonesia dari Putusan WTO Dispute Settlement Body nomor 484 terkait timbulnya barrier to entry yang diciptakan Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

b. Untuk mengetahui dampak bagi negara atas Putusan WTO Dispute Settlement Body nomor 484.

c. Untuk mengetahui langkah negara dalam menghadapi Putusan WTO Dispute Settlement Body nomor 484 terkait timbulnya barrier to entry yang diciptakan Undang-Undang nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dalam hal perlindungan produk halal.

D. Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang diperlukan, digunakan metode pengumpulan data sebagai berikut:

1. Pendekatan Penelitian

Dalam kaitannya dengan penelitan kualitatif, dapat digunakan pendekatan yuridis, yaitu suatu penelitan kualitatif tentu harus menggunakan pendekatan yuridis, karena yang akan diteliti adalah mengetahui penerapan- penerapan hukum dengan mengacu pada suatu undang-undang yang menatur hal tersebut.

2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah penelitian normatif yuridis, yaitu dengan mencari perundang-undangan faktafakta yang ada atau terjadi dalam lapangan (masyarakat) dilokasi penelitian dengan mengumpulkan informasi-informasi tentang kejadian yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas. Dan meninjau lebih lanjut antara fakta dilapangan dengan perundang-undangan mengenai

(19)

penerapan jaminan produk halal berdasarkan UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menurut Putusan WTO Dispute Settlement Body Nomor 484..

3. Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer (primary data), data sekunder (secondary data), dan data tersier.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer ini dapat diperoleh dari Putusan Dispute Settlement Body Nomor 484.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum yang menjelaskan bahan hukum sekunder, yaitu terdiri atas perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan terdiri dari:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

2) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum yang dapat memberikan petunjuk atau penjelasan lebih lanjut terhadap bahan hukum primer dan sekuder, seperti materi dari buku, artikel pada jurnal, publikasi media yang terdapat di internet, hasil- hasil penelitian seperti makalah, skripsi, tesis dan disertasi.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini yaitu studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mencari perbandingan antara satu perundang-perundangan dengan perundang-undangan lainnya.

5. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan kegiatan pendahuluan dari suatu analisis, penelitian ini melakukan pengolahan bahan hukum dengan menginterpretasi apa yang tertulis dalam literatur dan sumber tertulis lainnya.

6. Teknik Analisis Data

(20)

10

Penelitian ini menggunakan teknik analisis yang bersifat deskripstif kualitatif yang berusaha menyimpulkan dengan menarik bagian atau hal yang bersifat khusus dan berdasarkan kepada data yang bersifat umum. Dan karenanya penelitian ini menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach) maka dilakukan dengan menelaah undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Teknis analisis dengan pendekatan undang-undang untuk penelitian kegiatan praktis, membuka kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang lainnya atau antara undang-undang dan Undang-undang Dasar atau antara regulasi dan undang-undang hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu yang dihadapi.8

7. Metode Penulisan

Dalam penyusunan penelitian ini, peneliti mengacu kepada sistematika penulisan dalam Buku Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017.

E. Sistematika Pembahasan

Berdasarkan berbagai uraian di atas, Peneliti merumuskan rancangan sistematika penelitian yang terdiri dari lima bab. Adapun uratan dan tata letak masing-masing bab terdiri atas :

BAB I : PENDAHULUAN

Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar Belakang, Pembatasan masalah dan Perumusan masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan Sistematika Penelitian.

BAB II : JAMINAN PRODUK HALAL DAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL

Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan konsep dasar dan kerangka teori serta kerangka

8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,… h. 94

(21)

konseptual mengenai tinjauan perselisihan hubungan industrial. Pada bab ini juga dibahas review kajian terdahulu yang relavan dengan tema penelitian dengan menganalisis persamaan dan perbedaan studi-studi terdahulu.

BAB III : WORLD TRADE ORGANIZATION DAN DISPUTE SETTLEMENT BODY

Bab ini berisikan Data Penelitian yang merupakan data yang berkenaan dengan objek yang diteliti yaitu perselisihan hubungan industrial.

BAB IV : IMPLIKASI PUTUSAN DISPUTE SETTLEMENT BODY 484 ATAS MUNCULNYA BARRIER TO ENTRY DALAM KEBIJAKAN UNDANG- UNDANG NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL

Bab ini merupakan analisis permasalahan yang akan membahas dan menjawab permasalahan pada penelitian ini diantaranya mengenai apa yang menjadi hambatan dalam proses penyelesaian sengketa hubungan industrial melalui jalur non litigasi antara pengusaha dengan serikat pekerja/buruh dan bagaimana kepastian hukum dalam penerapan iuran anggota serikat pekerja/buruh dalam hubungan industrial.

BAB V : PENUTUP

Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan masalah yang telah diterapkan dan pertanyaan penelitian yang akan lahir setelah pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi.

(22)

13 BAB II

PRODUK HALAL DAN PERDAGANGAN INTERNASIONAL

A. Kerangka Konseptual

1. Jaminan Produk Halal di Indonesia a. Pengertian Produk Halal

Kehalalan suatu produk menjadi kebutuhan dalam industri pangan saat ini, bahan pangan diolah melalui berbagai teknik dan metode pengolahan baru dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga menjadi produk yang siap dilempar untuk dikonsumsi masyarakat di seluruh dunia. Namun demikian perlu diingat bahwa sebagian besar produk industri pangan dan teknologi pangan dunia tidak menerapkan sistem sertifikasi halal. Seiring besarnya kuantitas konsumen muslim di Indonesia yang jumlahnya mencapai 204,8 juta jiwa penduduk Indonesia, dengan sendirinya pasar Indonesia menjadi pasar konsumen muslim yang sangat besar. Oleh karena itu, jaminan akan produk halal menjadi suatu hal yang penting untuk mendapatkan perhatian dari negara.

Masalah sertifikasi dan penandaan kehalalan produk dalam sistem perdagangan internasional mendapat perhatian baik dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen umat Islam di seluruh dunia, sekaligus sebagai strategi menghadapi tantangan globalisasi dengan berlakunya sistem pasar bebas dalam kerangka ASEAN-AFTA, NAFTA, Masyarakat Ekonomi Eropa, dan Organisasi Perdagangan Internasional (World Trade Organization). Sistem perdagangan internasional sudah lama mengenal ketentuan halal dalam CODEX yang didukung oleh organisasi internasional berpengaruh antara lain WHO, FAO, dan WTO.

Bahkan gaya hidup halal saat ini sedang melanda dunia. Tidak hanya

(23)

menggejala pada negara-negara yang mayoritas penduduknya muslim, tetapi juga negara berpenduduk mayortas non muslim.

Perusahaan berskala global juga saat ini telah menerapkan sistem halal. Sebut saja seperti Japan Airlaines, Singapore AirLines, Qantas, America Airlines, yang menyediakan menu halal (Moslem meal). Gejala halal juga merambah negara Amerika, Australia, Jepang, Cina, India, dan negara-negara Amerika Latin.1

Pada tahun 2010 di London telah dilaksanakan World Halal Forum Europe, dimana dalam forum tersebut dihadirkan banyak ahli, termasuk ahli hukum. Perkembangan teoritis dan praksis dipertemukan menyangkut isu utama yang dibahas, yaitu: “Halal Products and Services–Going Mainstream”. Dari isu utama tersebut dibicarakan 6 (enam) topik, yaitu:

(1) Akreditasi dan sertifikasi halal internasional; (2) Isu dan tantangan pasar Uni Eropa; (3) Masalah jaminan keamanan dan kualitas pangan bagi pelaku usaha produk halal; (4) Pentingnya pertumbuhan sektor halal dalam iklim ekonomi saat itu (hingga saat ini); (5) Pertumbuhan produk halal di pasar retail Uni Eropa dan Inggris (UK); serta (6) Pengaruh perubahan tingkat preferensi dan kepedulian konsumen2 Di India pelaksanaan sertikasi produk halal mengalami perkembangan yang kondusif serta penerimaan yang positif dari masyarakat setempat.3 Sejumlah restoran di New Zealand juga sangat memperhatikan pentingnya tersedianya produk halal di negara tersebut, sehubungan dengan kedatangan para wisatawan dari negara-negara muslim. Namun tetap saja mayoritas dari 99 (sembilan puluh sembilan) restoran yang diteliti menolak untuk mempromosikan produk makanan halal dengan alasan tidak menguntungkan bisnis restoran mereka. Di Belanda, sama halnya dengan negara-negara Eropa lainnya,

1 Asrorun Ni’am Sholeh, “Halal Jadi Tren Global” dalam GATRA Edisi 29 Juli 2015, h.

34-35.

2 The Premier Global Halal Industry Event: World Halal Forum Europe (The Executive Review), London, UK, 10-11 November 2010 di London.

3 Yasmin Saeed and James Ondracek, “Dakota Halal Processing: A Case Study and Halal Food Management Framework”, Delhi Business Review, Vol.5 No.2, July – December 2004, pp.33- 45.

(24)

15

pasar bagi produk makanan halal sedang berkembang, bersesuaian dengan perundang-undangan makanan yang Islamis (Islamic food laws). Jepang juga memiliki perhatian sangat serius terhadap tren halal. Salah satu indikasinya yaitu dengan digelarnya Japan Halal Expo yang memuat produk halal buatan jepang.4 Pergelaran ini berhasil menyedot perhatian dan minat berbagai pihak.

b. Jaminan Produk Halal

Respon positif terhadap masalah kehalalan terutama terkait makanan, obat-obatan, dan kosmetik telah dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia dengan diterbitkannya beberapa peraturan perundang- undangan. Namun peraturan-peraturan tersebut dibuat secara parsial, tidak konsisten, terkesan tumpang tindih, dan tidak sistemik sehingga secara teknis belum dapat dijadikan payung hukum yang kuat dan secara spesifik dapat mengikat terhadap persoalan kehalalan produk kepada produsen (pelaku usaha) maupun jaminan kepada konsumen. Hal inilah yang menyebabkan belum ada jaminan kepastian hukum yang mengatur tentang produk halal, padahal kebutuhan akan jaminan produk halal menjadi keniscayaan dan sangat mendesak terutama dalam kaitannya dengan perlindungan konsumen dan kancah perdagangan global.

Doktrin halalan thoyyib (halal dan baik) sangat perlu untuk diinformasikan secara efektif dan operasional kepada masyarakat disertai dengan tercukupinya sarana dan prasarana. Salah satu sarana penting untuk mengawal doktrin halalan thayyib adalah dengan hadirnya pranata hukum yang mapan, sentral, humanis, progresif, akamodatif dan tidak diskriminatif yakni dengan hadirnya Undang- Undang Jaminan Produk Halal.5

Beberapa faktor yang mendasari pentingnya UU-JPH antara lain,6 pertama berbagai peraturan perundang-undangan yang telah ada yang

4 Japan Halal Expo 2015, Jurnal Halal No. 113/Mei-Juni Th.XVIII 2015, h. 18.

5 Sofyan Hasan, Sertifikasi Halal dalam Hukum Positif, Regulasi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta: Aswaja Pressindo,2014, h. 351

6 Naskah Akademik RUU-JPH, h. 6-7

(25)

mengatur atau yang berkaitan dengan produk halal belum memberikan kepastian hukum dan jaminan hukum bagi konsumen untuk dapat mengkonsumsi produk halal, sehingga masyarakat mengalami kesulitan dalam membedakan antara produk yang halal dan produk yang haram.

Selain itu, pengaturan produknya masih sangat terbatas hanya soal pangan dan belum mecakup obat-obatan, kosmetika, produk kimia biologis, maupun rekayasa genetik. Kedua, tidak ada kepastian hukum kepada institusi mana keterlibatan negara secara jelas di dalam jaminan produk halal. Sistem yang ada belum secara jelas memberikan kepastian wewenang, tugas, dan fungsi dalam kaitan implementasi JPH, termasuk koordinasinya. Ketiga, peredaran dan produk di pasar domestik makin sulit dikontrol akibat meningkatnya teknologi pangan, rekayasa teknomoli, bioteknologi, dan proses kimia biologis. Keempat, produk halal Indonesia belum memiliki standar dan tanda halal resmi (standar halal nasional) yang ditetapkan oleh pemerintah sebagaimana di Singapura, Amerika Serikat, dan Malaysia. Kelima, sistem informasi produk halal belum sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kebutuhan masyarakat tentang produk-produk yang halal.7

Setelah melewati proses yang panjang akhirnya DPR mengesahkan Undang-Undang Nomor 33 tentang Jaminan Produk Halal (UUJPH). Undang-undang tersebut digagas oleh DPR RI periode tahun 2004-2009 dan kemudian dibahas oleh DPR RI bersama pemerintah pada periode 2009-2014. Yang cukup menarik adalah semua fraksi di DPR yang merupakan perwakilan dan perpanjangan tangan dari partai politik secara aklamasi memberikan persetujuan terhadap UUJPH. RUU Jaminan Produk Halal (RUU-JPH) sempat mendapatkan penolakan dari Fraksi Partai Damai Sejahtera (PDS). Melalui anggotanya PDS menolak jaminan produk halal ini diatur undang-undang.8Pemahaman tentang halal tidaknya

7 Naskah Akademik RUU-JPH, h. 3-4

8 PDS Tolak RUU Jaminan Produk Halal, republika.co.id sebagaimana dalam http://www.republika.co.id/berita/shortlink/31828

(26)

17

sebuah produk atau makanan menurut partai tersebut cukup diserahkan kepada agamanya sendiri untuk memberikan aturan. RUU ini hal positif bagi umat Islam, tetapi di sisi lain mungkin sebaliknya untuk umat agama lain. Seperti halnya daging babi, untuk umat Islam daging babi sebuah makanan yang haram, tapi sebaliknya untuk umat Kristen mengkonsumsi babi diperbolehkan.

Artinya, haramnya umat Islam belum tentu haram untuk umat beragama lainnya. Hal ini menunjukan bahwa haram atau tidaknya sebuah makanan tidak bisa dimonopoli oleh agama. Meski begitu, PDS tidak meminta RUU-JPH dihentikan dibahas. Mereka ingin melihat substansi dari undang-undang tersebut yang harus meliputi prinsip keadilan dan kesetaraan, sehingga diperlukan adanya perubahan-perubahan dalam RUU tersebut agar dapat diterima oleh seluruh warga negara Indonesia.9

Dalam proses berikutnya, RUU-JPH terus melaju dan kekhawatiran PDS tersebut pelan-pelan mulai terjawab. Perdebatan demi perdebatan yang menjadi ciri khas di dalam perumusan perundang- undangan menjadi bumbu penyedap. Semua itu menggambarkan dinamika perumusan perundang-undangan yang terjadi. Melalui jalan berliku yang seperti itu, akhirnya RUU-JPH ini disepakati dan disahkan DPR.

2. Tinjauan Umum Hukum Perdagangan Internasional a. Pengertian Hukum Perdagangan Internasional

Perdagangan internasional adalah kegiatan perdagangan yang dilakukan oleh penduduk suatu negara dengan penduduk negara lain, berdasar pada asas kesepakatan antara keduanya. Penduduk sebagaimana dimaksud di atas dapat berupa individu dengan individu, individu dengan pemerintah, ataupun antara pemerintah dengan pemerintah negara lain.10

9 Fraksi PDS Tolak Jaminan Produk Halal dijadikan Undang-undang, hukumoline.com sebagaimana dalam, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol21214/fraksi-pds-tolak-jaminan- produk-halal-dijadikan-uu.

10 Heri Setiawan dan Sari Lestari, Perdagangan Internasional, (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2011), h. 11.

(27)

Menurut Oxlay Summary, perdagangan internasional, atau dapat pula disebut dengan kegiatan ekonomi internasional, dapat dilihat dari dua segi, pertama, segi ilmiah, dari segi ini, perdagangan internasional diartikan sebagai bagian atau cabang dari ilmu ekonomi yang diterapkan pada kegiatan-kegiatan ekonomi antarnegara. Kedua, segi praktis, perdagangan internasional adalah seluruh kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh antar negara, antar orang perseorangan yang berbeda negara, ataupun antar orang dan negara.

Menurut Amir MS, perdagangan internasional mencakup seluruh rangkaian kegiatan perdagangan dari suatu negara terhadap negara lain melalui transaksi ekspor dan impor.11 Transaksi ekspor menurut Keputusan Menteri Perdagangan No. 331/KP/II/1987 tentang Penyederhanaan Tata Cara Ekspor, ialah perdagangan dengan cara mengeluarkan barang dari dalam wilayah pabean Indonesia dengan memenuhi ketentuan yang berlaku. Adapun transaksi impor menurut Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No.

229/MMP/Kep/1997 tentang Ketentuan Umum di Bidang Impor, adalah perdagangan dengan cara memasukkan barang dari luar ke dalam wilayah pabean Indonesia sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam hukum terkait perdagangan yang dimiliki Indonesia tepatnya pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang perdagangan, perdagangan internasional disebut juga perdagangan luar negeri. Menurut Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, perdagangan luar negeri adalah suatu kegiatan kegiatan Ekspor dan/atau Impor atas Barang dan/atau Perdagangan Jasa yang melampaui batas wilayah negara.

Adapun, yang dimaksud dengan Hukum Perdagangan Internasional ialah kumpulan aturan yang mengatur hubungan-hubungan komersial yang bersifat keperdataan, karena hukum perdata mengatur

11 Amir MS, Ekspor Impor, (Jakarta: PPM, 2005), h. 2.

(28)

19

hubungan antarperseorangan dengan mengacu pada kepentingan para pihak tersebut.12 Hukum Perdagangan internasional yang dimaksud di atas pada dasarnya hanyalah sebagian lingkkup dari luasnya definisi dari Hukum Perdagangan Internasional. Hukum perdagangan internasional terbagi menjadi dua bagian, yakni hukum perdagangan internasional publik (public international trade law), yang mengatur perilaku dagang antarnegara dan hukum perdagangan internasional privat (private international trade law), yang mengatur perilaku dagang secara perorangan (private traders) di negara yang berbeda-beda.13

Ruang lingkup hukum perdagangan internasional dapat dikaji dengan kacamata hukum perdagangan internasional publik (public international trade law) dan dapat pula dengan perspektif hukum perdagangan internasional privat (private international trade law). Dalam ruang lingkup hukum perdagangan internasional publik, perdagangan internasional merupakan bagian dari hukum internasional yang melibatkan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional, yang mengacu pada ketentuan dan prinsip-prinsip yang disepakati dalam GATT-WTO.

Adapun dalam ruang lingkup hukum perdagangan internasional privat, hukum internasioal termasuk dalam bagian hak dan kewajiban individu ataupun lembaga lain selain pemerintah sebagai para pihak, yang mengacu pada prinsip hukum perjanjian yang disepakati para pihak dan konvensi perdagangan internasional (international trade convention).14

b. Asas-Asas Perdagangan Internasional

Pertama, prinsip most-favoured-nation yang termuat dalam Pasal 1 General Agreement of Tariff and Trade (GATT), yang pada pokoknya mengatur bahwa setiap kebijakan dalam perdagangan internasional harus dilakukan dengan didasarkan asas nondiskriminatif. Nondiskriminatif di

12 Imre Gal, The Commercial Law of Nations and the Law of International Trade”, Cornell International Law Journal, Volume 6, Issue 1, Article 3, Fall 1972, h. 56.

13 M. Sanson, Essential International Trade Law, (Sydney: Cavendish, 2002), h. 4.

14 Ray August, International Business Law: Tax Cases and Readings, (New Jersey: Pearson Education, 2004), h. 1.

(29)

sini bermakna bahwa semua negara memberikan perlakuan yang sama dalam hal kebijakan dan pelaksanaan impor dan ekspor serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan itu. Namun, terdapat beberapa pengecualian terhadap prinsip ini yang diatur oleh pasal-pasal GATT dan dalam putusan konferensi-konferensi GATT, yakni sebagai berikut.

1) Keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas (frontier traffic advantage).

2) Perlakuan preferensi di wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada tetap boleh dilaksanakan, namun dengan catatan tidak boleh menaikkan tingkat batas preferensinya. Semisal pada British Commonwealth.

3) Suatu negara dapat mengajukan permohonan menegnai pengecualian dari kewajiban atas keberadaan prinsip ini, dengan membentuk customs union atau free trade yang ditetapkan oleh GATT apabila keadaan ekonomi dan perdagangannya dalam keadaan sulit.

4) Pemberian preferensi trafi oleh negara-negara maju terhadap produk impor dari negara-negara berkembang ataupun negara terbelakang melalui fasilitas generalized system of preference (sistem preferensi umum).15

Kedua, prinsip national treatment diatur dalam Pasal III GATT.

Dalam prinsip ini, diatur bahwa produk dari suatu negara yang diimpor ke dalam suatu negara yang dimpor ke dalam suatu negara harus diperlakukan sama seperti halnya produk dalam negeri.16 Prinsip ini juga berlaku terhadap semua macam pajak, pungutan-pungutan lain serta terhadap peraturan perundang-undangan mengenai penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk-produk di pasar dalam negeri.prinsip ini disebut juga sebagai prinsip proteksionisme, karena

15 Huala Adolf, Hukum Ekonomi Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.

89.

16 Ni Ketut Supasti Dharmawan dan Wayan Wiryawan, Keberadaan dan Implikasi Prinsip MFN dan NT dalam Pengaturan Hak Kekayaan Intelektual di Indonesia, Jurnal Magister Hukum Udayana, ISSN: 2302-528X, Vol. 6 No. 2 2014, h. 261.

(30)

21

memberikan upaya perlindungan terhadap kebijakan administratif maupun legislatif.

Ketiga, prinsip penghapusan restriksi (hambatan) kuantitatif, yakni yang menjadi restriksi kuantitatif di dalam ketentuan dasar GATT adalah terhadap kegiatan ekspor ataupun impor dalam bentuk apapun, karena akan mengganggu praktek perdagangan yang normal. Meskipun dilarang oleh GATT, namun restriksi kuantitaif dapat pula diadakan apabila dilakukan demi mencegah terkurasnya produk-produk esensial di negara pengekspor, untuk melindungi pasal dalam negeri khususnya mengenai produk pertanian dan perikanan, untuk mengamankan produk dalam negeri dari meningkatnya persentase impor yang berlebihan (increase of imports), dan untuk melindungi neraca pembayaran suatu negara.17

Keempat, prinsip perdagangan yang adil (fairness principle).

Prinsip keadilan dalam perdagangan internasional yang dimaksud adalah untuk memberikan kesempatan dan kedudukan yang seimbang antara negara-negara yang maju, berkembang dan terbelakang tanpa dipengaruhi aspek-aspek tertentu. Hal ini perlu diatur karena negara merupakan aktor utama dalam kegiatan perdagangan internasional.

Kelima, prinsip tarif mengikat (tarif binding principle), yang diatur oleh GATT adalah untuk melakukan tindakan proteksi terhadap industri dalam negeri dengan cara menaikkan tingkat tarif bea masuk dan tidak melalui upaya-upaya perdagangan lainnya (non-tariff commercial measures) yang berguna pula bagi pemasukan negara yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan prinsip ini, tetap untuk memperhatikan ketentuan GATT mengenai larangan perlakuan diskriminatif dan harus patuh pada komitmen tarifnya kepada GAT ataupun WTO.18

Keenam, prinsip resiprositas, ialah prinsip yang fundamental dalam GATT yang memiliki arti bahwa perundingan tarif didasarkan pada

17 Peter Van Den Bossche, dkk, Pengantar Hukum World Trade Organization, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2010), h. 69.

18 World Trade Organization, Understanding the WTO, (Geneva: World Trade Organization, 2015),h. 12.

(31)

asas timbal balik dan saling menguntungkan kedua belah pihak. Prinsip ini diatur dalam Paragraf 3 Preambul GATT yang berbunyi:

Being desirous of contributing to these objectives by entering into reciprocal and mutually advantageous arrangements directed to the substantial reduction of tarifs and other variers to trade and to the eliminations of discrimatory treatment in international commerce.

c. Teori Perdagangan Internasional 1) Teori Keunggulan Absolut

Disebut juga sebagai teori murni perdagangan internasional.

Adam Smith, yakni pencetus teori ini berpendapat dalam bukunya yang berjudul an Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth, bahwa suatu negara pasti akan membuat spesialisasi produksi agar memiliki keunggulan dan tidak akan megadakan produksi barang yang tidak memiliki keunggulan absolut dengan barang produksi negara lain, karena apabila hal tersebut dilakukan maka akan tidak efisien bagi ekonomi negara.19

2) Teori Keunggulan Komparatif

David Ricardo mengemukakan pendapatnya mengenai teori keungulan absolut bahwa meskipun suatu negara tidak memiliki keunggulan absolut dengan negara lain, tetap negara tersebut dapat memiliki keuntungan karena dalam perdagangan yang menentukan bukan pada keunggulan mutlaknya, namun pada keunggulan komparatif, asalkan negara tersebut memiliki harga relatif dalam negeri lebih tinggi dibanding dengan negara lain. David Ricardo pun menjelaskan faktor yang dapat menaikkan harga relatif dalam negeri adalah faktor tenaga kerja.

Haberler, dalam teori keunggulan komparatif miliknya menjelaskan bahwa perbedaan biaya produksi suatu barang tidak hanya dipengaruhi oleh tenaga kerja, namun juga disebabkan oleh kombinasi

19 Hadi Prayitno dan Budi Sentosa, Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1996), h. 261.

(32)

23

dari faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, dan kapital.

Apabila sebelumnya David Ricardo mendasarkan opportunity cost pada tenaga kerja, maka Harbeler menambahkan konsep opportunity cost dengan possibility curve dan indifference curve.

Hescher-Ohlin, yakni ekonom Swedia, Eli Hercher dan muridnya Bertil Olin mengajukan teori bahwa negara yang kaya akan faktor produksi akan melakukan kegiatan ekspor dan dengan begitu maka negara tersebut akan memperoleh keuntungan, akibatnya, dengan adanya perdagangan internasional, maka akan membuat suatu negara yang memiliki faktor produksi yang melimpah akan memperoleh keuntungan, sedangkan negara yang miskin akan faktor produksi akan mengalami kerugian.20

3) Teori Radikal

Teori ekonomi radikal (radical economcs) memandang dari segi yang terlupakan dalam pandangan teori keunggulan absolut dan teori keunggulan komparatif, yakni mengenai kelembagaan, perbedaan kekuatan ekonomi para pelaku ekonomi, dan segi ekonomis-politis.

Pandangan teori ekonomi radikal berseberangan dengan pandangan teori-teori sebelumnya. Peneliti teori-teori sebelumnya berpendapat bahwa perdagangan internasional akan menciptakan pemerataan distribusi pendapatan, sementara peneliti teori radikal justru berpendapat perdagangan internasional akan meningkatkan ketimpangan pendapatan, dikarenakan akan selalu terdapat ketidakseimbangan kekuatan antarpihak dalam perdagangan internasional.21

B. Kerangka Teori

1. Teori Proteksionisme

20 H.S. Kartadjoemana, GATT dan WTO Sistem, Forum dan Lembaga Internasional di Bidang Perdagangan Internasional, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1996), h. 23.

21 Boediono, Ekonomi Moneter dan Internasional, (Yogyakarta: BPFE, 1997), h. 73.

(33)

Prinsip proteksionisme secara umum bermakna sebagai bentuk kebijakan yang dibuat oleh pemerintah untuk melindungi produsen domestik dari persaingan perdagangan internasional. Prinsip ini cukup kontoversial dalam dunia perdagangan internsional, karena menghambat sektor perekonomian global. Namun, prinsip ini tetap berkembang karena di satu sisi, prinsip ini menyelamatkan pasar domestik serta usaha kecil dan menengah dari sistem kapitalis perdagangan internasional. 22 Philip I Levy membagi prinsip proteksionisme dalam tiga kategori, yakni sebagai berikut.

Pertama, intentional protectionism, ialah kategori proteksionisme yang paling transparan dan dinyatakan secara eksplisit dalam kebijakan suatu negara, berupa penerapan tarif impor, subsidi ekspor, dan kuota. Kategori ini sering ditemukan dalam kebijakan ekonomi negara-negara berkembang untuk komoditas manufaktur dan produk pertanian, serta tidak dianjurkan untuk kebutuhan pendidikan dan pengembangan teknologi karena hanya akan merugikan negara itu sendiri.23

Kedua, incidental protectionism, ialah kategori proteksionisme yang memberi dampak hampir sama dengan intentional protectionism namun tidak bekerja secara langsung. Dalam suatu kebijakan, jenis proteksionisme ini dicantumkan dengan menerapkan berbagai ketetapan sebagai dasar legitimasi yang kuat sebagai persyaratan terhadap produk luar yang akan masuk ke pasar domestik. Sebagai contoh, yakni kebijakan anti-dumping yang secara eksplisit bertujuan guna menghindari adanya kebijakan perdagangan negara lain yang bersifat predator terhaap pasar domestik.

Ketiga, yaitu istrumental pretectionism, ialah bentuk proteksionisme yang paling tidak transparan dan diterapkan dengan cara menggunakan kebijakan perdagangan sebagai alat politik untuk mengadakan perubahan terhadap kebijakan perdagangan negara lain.24

22 Graham Dunkley, Free Trade: Myth, Reality, and Alternavites, (New York: Palgrave Macmillan, 2004), h. 3.

23 Philip I Levy, Imaginative Obstruction: Modern Protectionisn in the Global Economy, Goergetown Journal of International Affairs, Summer/Fall: 9, 2009, h. 9.

24 Muhammad Hanif, Proteksionisme di Tengah Liberisasi Perdagangan Dunia, Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Juni 2014, h. 19.

(34)

25

2. Prinsip Most-Favoured-Nation

Most-Favoured-Nation (MFN) adalah prinsip utama yang tercantum pada Article 1 General Agreement of Tarriffs and Trade (GATT) yang berbunyi:

“With respect to customs duties and changes of any kind imposed on or in connection with importation or exportation or imposed on the international transfer of payments for imports and exports, and with respect to the method of levying such duties and charges, and with respect to all rules and formalities in connection with importation and exportation, and with respect to all matters referred to in paragraphs 2 and 4 of Article III, any advantange, favour, privilege or immunity granted by any contracting party to any product originating in or destined for any other country shall be accorded immediately and unconditionally to the like product originating in or destined for the territories of all other contracting parties.”

Konsep Most-Favoured-Nation memuat prinsip antidiskriminasi tidak hanya antarnegara anggota, namun negara-negara lainnya yang non-anggota.

Konsep ini berisi bahwa setiap negara harus memperlakukan suatu negara dengan negara yang lain dengan perlakukan yang sama.25 Namun demikian, terdapat pengecualian-pengeculian terhadap konsep Most-Favoured-Nation dalam General Agreement of Tarriffs and Trade (GATT), yakni; (1) keuntungan yang diperoleh karena jarak lalu lintas, (2) perlakuan preferensi pada wilayah-wilayah tertentu yang sudah ada, (3) negara anggota yang membentuk Customs Union atau Free Trade Area, (4) pemberian preferensi tarif oleh negara-negara maju kepada produk impor dari negara yang sedang berkembang atau negara yang terbelakang, melalui failitas Generalised System of Preference (sistem preferensi umum).26

Terdapat 2 (dua) konsep Most-Favoured-Nation, yakni yang tidak memiliki syarat dan yang memiliki syarat. Pertama, Most-Favoured-Nation dengan tanpa syarat, sebagai ilustrasi, jika negara A memiliki kewajiban untuk tidak melakukan tindakan diskriminatif kepada negara B, maka segala

25 Rusli Pandika, Sanksi Dagang Unilateral di Bawah Sistem Hukum WTO, (Bandung: PT.

Alumni, 2010), h. 132.

26 United Nations Conference on Trade and Development, Most-Favoured-Nation Treatment: UNCTAD Series in Issues in International Investment Agreements II, (New York and Geneva: United Nations, 2010), h. 21.

(35)

tindakan yang dilakukan oleh negara A terhadap negara C juga dapat dinikmati oleh negara B. Kedua, Most-Favoured-Nation dengan syarat, yakni apabila negara A memberikan suatu tindakan yang menguntungkan bagi negara B berdasarkan pada perjanjian, maka negara A juga memiliki kewajiban untuk menawarkan tersebut kepada negara C, dengan catatan negara C pun diberi persyaratan lain yang termuat pada klausa perjanjian.

Dengan begitu, negara C memperoleh tindakan yang menguntungkan tersebut apabila ia bersedia memenuhi persyaratan lain dalam klausa perjanjian.27

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Peneliti menemukan beberapa kajian terdahulu yang berkaitan dengan hubungan indsutrial, diantaranya adalah:

1. Skripsi yang ditulis oleh NURUL MAFTAHUL JANNAH Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2020.

VALIDITAS HUKUM PERMENDAG NOMOR 29 TAHUN 2019 TENTANG KETENTUAN EKSPOR DAN IMPOR HEWAN DAN PRODUK HEWAN TERHADAP EKSTENSI UNDANG-UNDANG JAMINAN PRODUK HALAL INDONESIA. Skripsi ini membahas mengenai Kesesuaian kewajiban menyediakan sertifikat halal di Indonesia terhadap prinsip non diskriminasi dalam Technical Barrier to Trdae Agrement. Persamaannya dengan penelitian ini yaitu membahas bagaimana adanya jaminan produk hal dalam hal ini sertifikasinya menghambat masuknya suatu produk ke Indonesia. Namun dipenelitian ini tidak membahas terkait tinjauan yuridis terkait barrier to entry dalam penerapan jaminan produk halal.

2. Jurnal yang ditulis oleh Nidya Waras Sayekti P3DI Bidang Ekonomi &

Kebijakan Publik 2014. Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik, Vol. 5 No. 2, Desember 2014. JAMINAN PRODUK HALAL DALAM PERSPEKTIF

27 Gusman Pauwelyn, International Trade Law, (New York: Aspen Publishers, 2009), h.

290.

(36)

27

KELEMBAGAAN. Jurnal ini membahas terkait penjaminan kehalalan dalam suatu produk setelah lahirnya Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014.

Persamaan yang terdapat pada jurnal ini yaitu membahas penerapan jaminan produk halal dalam produk yang beredar terkait pernyelenggaraan dari jaminan produk halal dan perbedaannya ialah dalam jurnal ini tidak membahas terkait hambatan-hambatan adanya jaminan produk halal ini.

(37)

28 BAB III

WORLD TRADE ORGANIZATION DAN DISPUTE SETTLEMENT BODY

A. Tinjauan Umum World Trade Organization 1. Profile World Trade Organization

World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan organisasi internasional yang beranggotakan negara-negra di dunia yang bertugas mengatur dan mengawasi perdagangan dunia dengan mengatur mengenai perdagangan bebas. Organisasi ini terbentuk pada 1 Januari 1995, sebelumnya, perdagangan bebas diatur pada 1947 melalui Perjanjian Umum atas Tarif dan Perdagangan atau General Agreement of Tarriffs and Trade (GATT).1 Dengan adanya Kesepatakan Putaran Urugay di Maroko pada 1994, dibentuklah World Trade Organizaion sebagai wadah hubungan perdagangan internasional yang diharapkan dapat menciptakan atmosfer perdagangan dunia yang bebas, adil dan terbuka tanpa hambatan akses pasar, menyempurnakan berbagai kebijakan di sektor perdagangan dunia, serta mempertegas fungsi kelembagaan perdagangan internasional.2

Di dalam tubuh organisasi World Trade Organization terdapat struktural badan-badan dengan fungsinya tersendiri, antara lain sebagai berikut.

a. Ministerial Conference (Pertemuan Tingkat Menteri), ialah pertemuan anggota-anggota3 negara organisasi yang diadakan paling tidak sekali dalam 2 tahun serta berkewajiban merancang kebijakan-kebijakan serta

1 Indonesia for Global Justice dan Gerak Lawan, Ancaman WTO dan FTA: Seri Buku Panduan Memahami WTO dan Perjanjian Perdagangan Bebas untuk Masyarakat, buku tidak diterbitkan, h. 1.

2 Syahman, Hukum Dagang Internasional, (Jakarta: Raja Grafindo, 2006), h. 226.

3 Negara anggota World Trade Organization tidak dsebut dengan istilah anggota atau member, melainkan menggunakan istilah contracting party. Maka dari itu, untuk menjadi contracting party, perlu adanya putusan suara dua pertiga dari contracting parties yang ada. Atau melalui jalur sponsorship, namun jalur ini hanya untuk negara yang ataupun belum merdeka karena berada dibawah pengawasan negara anggota GATT. Lihat Huala Adolf dan A. Chandrawulan, Masalah-Masalah Hukum dalam Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers, 1995), h. 9.

(38)

29

mengambil keputusan dari persoalan yang diatur dalam Multilateral Trade Agreement.

b. General Council (Dewan Umum), ialah perwakilan negara-negara anggota yang melakukan pertemuan secara bulanan dan merupakan pelaksana dari Ministerial Conference dan World Trade Organization itu sendiri.

c. World Trade Organization Secretariat, ialah pelaksana bagian administratif dan pelaksana harian dari seluruh kegiatan dan organisasi World Trade Organization.4

d. Council for Trade in Goods (Dewan Perdagangan Barang), ialah badan yang bertanggung jawab kepada General Council, yang bertugas mengawasi pelaksanaan perjanjian Multilateral Trade Agreement dalam Annex 1A mengenai perdagnagan barang. Badan ini membawahi Textiles Monitoring Body (TMB) dan beberapa komite, yakni Komite Market Access, Komite Agriculture, Komite Sanitary and Phytosanitary, Komite Ruls of Origin, Komite Subsidies and Countervailing Measures, Komite Antidumping Practices, Komite Import Licensing, dan Komite Safeguard.

e. Council for Trade in Services (Dewan Pengadaan Jasa), ialah badan yang bertanggung jawab kepada General Council, bertugas memantau pelaksanaan persetujuan yang dicapai di bidang perdagangan jasa berdasarkan pada General on Trade in Service (GATS) pada Annex 1B.

f. Council for Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (Dewan Hak Kekayaan Intelektual), ialah badan yang bertanggung jawab kepada General Council, mengawasi pelaksanaan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Right (TRIPS) pada Annex 1C yakni di bidang perdagangan hak atas kekayaan intelektual.5

4 World Trade Organization, Agreement Establishing the World Trade Organization, Pasal IV, 1994.

5 Hatta, Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO: Aspek-Aspek Hukum dan Nonhukum, (Bandung: Refika Aditama), h. 89.

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Dari penjelasan tersebut dapat peneliti pahami bahwa pengelompokan yang dilakukan dengan tidak memperhatikan karakteristik yang terdapat pada individu akan

Objek penelitian ini adalah aplikasi untuk mendiagnosa penyakit sistem saraf pusat pada manusia berbasis android menggunakan metode forward chaining. Sistem ini

Spam, komplain spam, respon, network incident, Hak atas Kekayaan Intelektual, fraud, spoofing/phising, dan malware merupakan kategori yang dipilih untuk

Hasil dari penelitian ini diharapkan sistem dapat dimanfaatkan lebih lanjut oleh para tenaga medis dalam memberikan informasi tentang resiko penyakit ginjal kepada para pasien..

Data-data yang telah didapat tersebut digunakan untuk mendapatkan nilai hidrodinamik koefisien yang terdiri atas drag coefficient dan lift coefficient .Dari hasil

Sapi betina yang sedang bunting akan membutuhkan zat pakan yang lebih tinggi, sementara pada saat kemarau kebutuhan nutrisi yang tinggi tersebut tidak sepenuhnya bisa

Hasil dari observasi dan identifikasi larva lalat yang diletakkan pada 3 letak geografis di Bali dapat ditemukan 3 genus larva lalat yaitu genus Lucilia dan Calliphora dari