• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Studi Kultural Representasi Wacana Sultanah Keraton Yogyakarta di Media Massa Daring

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Jurnal Studi Kultural Representasi Wacana Sultanah Keraton Yogyakarta di Media Massa Daring"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Studi Kultural (2019) Volume IV No.2: 63-74

Jurnal Studi Kultural

https://journals.an1mage.net/index.php/ajsk

Laporan Riset

Representasi Wacana Sultanah Keraton Yogyakarta di Media Massa Daring

Wempy Gunarto*

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Info Artikel Abstrak

Sejarah artikel:

Dikirim 16 April 2019 Direvisi 25 April 2019 Diterima 29 Mei 2019

Kata Kunci:

Representasi Wacana Sultanah Keraton Yogyakarta

1. Pendahuluan

Pada tahun 2015, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengeluarkan Sabda Raja, Dawuh Raja, dan Sabda Jejering Raja yang menimbulkan polemik di masyarakat Yogyakarta. Tiga perintah raja tersebut meski memiliki kedudukan yang berbeda, namun saling berkaitan.

Pada Sabda Raja, isinya pemberitahuan sultan bahwa dirinya mengganti nama dan gelar, dari yang semula Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati-ing- Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah ingkang Jumeneng Kaping Sadasa ing Ngayogyakarta Hadiningrat (Sultan Hamengku Buwono X).

Kini menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Sri Sultan Hamengku Bawono ingkang Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram Senopati-ing- Ngalaga Langgeng ing Bawana, Langgeng, Langgeng ing Tata Panatagama (Sultan Hamengku Bawono ka 10).

Selain itu dengan Sabda Raja, Sultan mengakhiri perjanjian pendiri Mataram antara Ki Ageng Giring dan Ki Ageng Pemanahan, serta menyempurnakan Keris Kanjeng Kiai Ageng Kopek (pusaka Sultan) dan Keris Kanjeng Kiai Joko Piturun (pusaka putra mahkota).

Selanjutnya pada 5 Mei 2015, Sultan Hamengku Bawono ka 10 (selanjutnya ditulis Sultan HB ka 10) mengeluarkan Dawuh Raja yang isinya menobatkan putri sulungnya, GKR Pembayun menjadi calon putri mahkota dengan nama dan gelar lengkapnya Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayuning Pasca Sabda Raja, Dawuh Raja, dan Sabda Jejering Raja yang dikeluarkan Sultan Hamengku Bawono ka 10 sepanjang tahun 2015, perpecahan terjadi di internal Keraton Yogyakarta. Sultan dianggap telah melanggar paugeran (aturan pokok dalam Keraton), di antaranya melepas gelar khalifatullah dan mengangkat putri sulungnya sebagai calon putri mahkota dengan memberinya nama GKR Mangkubumi, nama yang selama ini selalu digunakan oleh laki-laki yang akan menjadi pewaris takhta di Keraton Yogyakarta.

Posisi seorang raja di Jawa yang selama ini diagungkan dan dipandang sebagai pusat kekuasaan pun seakan terdegradasi, dengan munculnya kritik terbuka terhadap sultan oleh kelompok yang menolak Sabda Raja tersebut. Menggunakan Analisis Wacana Kritik model Teun A. van Dijk, peneliti menunjukkan bagaimana wacana tentang seorang pemimpin perempuan (sultanah) ditampilkan secara negatif oleh media daring paugeran.com dan sebaliknya ditampilkan secara positif oleh Keratonjogja.id selama periode tahun 2017. Kontruksi citra positif dan negatif tersebut ditampilkan dengan menggunakan elemen-elemen teks berita.

© 2019 Komunitas Studi Kultural Indonesia. An1mage. All rights reserved.

Peneliti koresponden: Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, wempi.gunarto@gmail.com

(2)

Bawana Langgeng ing Mataram (GKR Mangkubumi), nama yang lazimnya digunakan oleh laki-laki yang menjadi pewaris takhta di Keraton Yogyakarta.

Penobatan GKR Mangkubumi langsung mendapat reaksi keras dari keluarga besar sultan, khususnya adik-adik Sultan HB ka 10, sehingga internal Keraton Yogyakarta terbelah antara yang kelompok yang mendukung dan yang menolak wacana sultanah (queen) di Keraton Yogyakarta.

Untuk menormalisasi gejolak yang terjadi sultan pun mengeluarkan Sabda Jejering Raja pada 31 Desember 2015, yang isinya meminta abdi dalem, dan keluarga Keraton mematuhi Sabda Raja dan Dawuh Raja, jika tidak ancamannya pencopotan jabatan hingga dikeluarkan dari Bumi Mataram.

Penelitian Dardias [1] menunjukkan pasca Sabda Raja efektivitas rezim HB ka 10 semakin lemah di kalangan internal Keraton, karena meski Sultan menggunakan legitimasi langit (wahyu tuhan) sebagai dasar Sabda Raja dan Dawuh Raja, tak membuat adik-adik sultan menerima argumen tersebut, mereka bahkan terang- terangan mengatakan "sulit untuk memercayai argumentasi itu seperti dalam berita di tautan berikut ini https://news.detik.com/berita/2921379/sultan-sebut- sabda-raja-wangsit-leluhur-adik-kami-sulit-percaya-itu, diakses 12 Februari 2018.

Penelitian yang dilakukan Alimin [2] menunjukkan ada tiga kelompok yang muncul pasca Sabda Raja dan Dawuh Raja; yakni kelompok yang pro, kontra, dan netral. Kelompok yang mendukung wacana sultanah menilai wacana sultanah sebagai perubahan yang mengikuti perkembangan zaman, dan masyarakat mendukung selama mampu membuat masyarakat, makmur sejahtera.

Sedangkan alasan yang disampaikan oleh kelompok yang menolak wacana sultanah dikarenakan bertentangan dengan Paugeran Keraton Yogyakarta yang didirikan berdasarkan aturan Agama Islam. Jika Keraton dipimpin perempuan, maka akan menghilangkan keistimewaan Jogja yang salah satunya keberadaan Keraton Yogyakarta selama ini dipimpin raja laki-laki.

Hasil penelitian yang dilakukan Alimin [2] juga menunjukkan mereka yang menolak (kontra) terhadap wacana sultanah seluruhnya merupakan laki-laki.

kelompok lainnya, yang netral menilai persoalan suksesi di keraton merupakan urusan internal keraton sehingga masyarakat tidak perlu ikut campur asalkan membuat masyarakat sejahtera dan demi kebaikan Yogyakarta ke depan.

Namun pendapat masyarakat ini perlu dikritisi, pasalnya posisi sultan sebagai gubernur otomatis menjadi pejabat publik, sehingga kebijakannya akan berdampak luas pada masyarakat. Karena itu mau tidak mau mengharuskan adanya peran serta masyarakat dalam menentukan siapa sosok yang layak menjadi gubernur.

2. Metode

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan analisis wacana kritis model Teun van Dijk. Peneliti menganalisis strategi pemberitaan yang dijalankan paugeran.com dan keratonjogja.id melalui langkah-langkah studi wacana kritis (van Dijk, 2009: 67-83) [3].

Dalam konteks penelitian ini yang menjadi objek analisis adalah wacana sultanah yang tersebar di media daring www.paugeran.com, dan www.keratonjogja.id selama periode Januari - Desember 2017.Adapun tema yang dipilih pada penelitian ini adalah: Wacana Sultanah sebagai alternatif pemimpin Keraton Yogyakarta.

(3)

3. Diskusi

Berkaca dari dualisme raja yang mengakibatkan krisis kepemimpinan di Keraton Surakarta yang merupakan saudara dekat Keraton Yogyakarta, kelompok yang mendukung dan menolak wacana sultanah kemudian saling membangun citra di media massa agar dapat meraih dukungan dari masyarakat.

Kedua kelompok sampai dengan saat ini masih terus menggalang dukungan melalui media masing-masing, dalam hal ini media online (dalam jaringan atau daring).

Media yang mereka gunakan di antaranya adalah www.paugeran.com yang digunakan oleh kelompok yang kontra-wacana sultanah, dan www.keratonjogja.id yang digunakan oleh kelompok pro-wacana sultanah.

Dipilihnya media daring dilatarbelakangi keinginan menjangkau segmentasi khalayak yang luas.

Baik paugeran.com maupun keratonjogja.id dimiliki dan dioperasikan oleh kalangan internal Keraton Yogyakarta sendiri. Penelitian ini menjawab bagaimana representasi wacana sultanah sebagai pemimpin alternatif Keraton Yogyakarta di paugeran.com dan di keratonjogja.id.

Wacana (discourse) memiliki definisi yang beragam, sebab istilah tersebut banyak digunakan dalam berbagai disiplin ilmu. Konsekuensinya adalah masing-masing disiplin ilmu tersebut memiliki definisi yang berbeda- beda satu dengan yang lain. Seperti halnya dikatakan Teun van Dijk: “The notion of discourse is essentially fuzzy” [3].

Meski begitu van Dijk memiliki rumusannya sendiri tentang konsep wacana. Menurut van Dijk, secara common sense wacana yang kita pahami sehari-hari berasal dari bahasa yang kita gunakan sehari-hari juga, maupun yang ada di dalam kamus. Lebih lanjut van Dijk mengatakan“Discourse usually refers to a form a langue use, public speech, or more generally to spoken language or ways of speaking” (van Dijk, 1997:1).

Teun van Dijk lebih jauh menawarkan tiga dimensi untuk berbicara tentang konsep wacana. Menurut van Dijk, (1) wacana dapat diartikan sebagai language use, (2) wacana sebagai communication of beliefs, dan (3) wacana sebagai interaction in social situation (van Dijk, 1997: 2).

Dengan demikian pemahaman tentang wacana tidak lagi selalu mengenai persoalan kebahasaan. Implikasi yang nyata adalah analisis terhadap wacana tidak lagi dimonopoli oleh linguistik. Namun demikian bahasa masih menjadi locus utama dalam membicarakan wacana, terlebih lagi dalam kaitan antara wacana dan representasi sosio-kultural (Barker, 2001; Bourdieu, 1991; van Dijk, 1997; Hall, 1997) [4] [5] [3] [6].

Sementara itu wacana bagi Michel Foucault [7] memiliki kaitan erat dengan kekuasaan. Kekuasaan menurut Foucault memiliki empat ciri penting. Pertama, kekuasaan bukanlah milik melainkan strategi. Kedua, strategi kuasa tidak bekerja melalui jalan penindasan melainkan melalui normalisasi dan regulasi, apa yang dinamakannya dalam menjaga dan menghukum sebagai disiplin.

Ketiga, kuasa tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana- mana. di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja.

Keempat, kuasa tidak menghancurkan tetapi menghasilkan sesuatu, dalam kata lain kuasa ini bersifat produktif bukan represif. Kekuasaan tidak bisa dilepaskan dari pengetahuan. Foucault menyebutkan bahwa pengetahuan merupakan cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri tanpa memberi kesan ia datang dari subjek tertentu karena kriteria keilmiahan

(4)

pengetahuan yang sekan-akan mandiri terhadap subjek (Haryatmoko, 2005:6) [8].

Di Indonesia, wacana pemimpin perempuan masih relatif baru (Rohmatullah, 2017) [9] . Wacana ini muncul saat Megawati Soekarnoputri tampil sebagai presiden perempuan pertama Republik Indonesia menggantikan Abdurrahman Wahid, selama periode tahun 2001 - 2004.

Sebelum Megawati menduduki kursi presiden, sempat juga terjadi perdebatan boleh-tidaknya seorang perempuan menjadi pemimpin, terlebih masyarakat Indonesia mayoritas merupakan penganut Islam.

Di negara muslim seperti Pakistan dan Bangladesh sendiri, fenomena kepala negara wanita sudah pernah terjadi. Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menjadi Kepala Negara Pakistan dua periode yang pertama pada tahun 1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.

Bangladesh, negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh dua kepala negara wanita yaitu Khaleda Zia (1991-2006) dan Sheikh Hasina yang berkuasa dua periode yakni tahun 1996-2001 dan 2009- sampai sekarang.

Namun untuk konteks Keraton Yogyakarta, menerima adanya perempuan sebagai pemimpin keraton (sultanah) tidaklah mudah, karena kerajaan ini dibangun dengan pondasi agama Islam dan telah mengakar kuat sejak berabad-abad lamanya.

Argumen yang sering digunakan oleh kelompok yang menolak wacana sultanah adalah aspek filosofis kasultanan yang berarti pemimpinnya adalah sultan yang berkelamin laki-laki. Hal ini diperkuat dengan gelar Sayidin Panatagama Khalifatullah yang digunakan oleh leluhur raja Mataram, yakni Sunan Amangkurat IV (1719-1724) dan diteruskan oleh Raja Keraton Yogyakarta.

Oleh karena itu dengan dikeluarkannya Sabda Raja dan Dawuh Raja dinilai sebagai upaya Sultan untuk melenyapkan kendala kultural dan struktural bagi perempuan agar bisa menjadi pemimpin di keraton.

Meski sejumlah kerajaan yang berbentuk kasultanan di nusantara pernah dipimpin oleh seorang perempuan (ratu) namun hal itu tidak membuat wacana sultanah di Keraton Yogyakarta bisa diterima. Berikut analisis berita dalam paugeran.com dan keratonjogja.id dalam menampilkan wacana sultanah.

Judul: Mewujudkan Kerajaan Perempuan Jogjaropa (paugeran.com, 11 September 2017)

Konteks :

Artikel ini menggunakan struktur tanya jawab imajiner antara Sedulur Sabrang (penanya) dan Kawula Mataram (penjawab). Sejak zaman kuno, orang Jawa menggunakan tempat tinggal raja sebagai nama negara.

Seperti penyebutan Mataram dan Bintara, diberi nama menurut daerah tempat kerajaan itu mula-mula didirikan.

Secara kosmologis, ibukota tempat tinggal raja (negara) merupakan pusat kekuatan magis dari kerajaan itu (Heine-Geldern dalam Moertono, 1985: 130) [10].

Dalam Nagarakrtagama bisa ditemukan tiga wilayah pengaruh kekuasaan, yaitu Jawa, daerah-daerah dan pulau-pulau di luar Jawa termasuk bagian selatan Semenanjung Malaka, dan luar negeri.

Dalam zaman Mataram Baru (Islam) suatu daerah digolongkan menjadi tiga, yaitu negara (ibukota), nagaragung (daerah inti), mancanagara (pesisir), kemudian tanah sabrang (tanah di seberang laut). Suatu wilayah dimasukkan ke dalam salah satu dari tiga golongan itu berdasarkan besarnya pengaruh pusat, yaitu pengaruh raja, yang dijalankan di daerah itu. Maka penyebutan antara Kawula Mataram dan Sedulur Sabrang menunjukkan relasi kuasa yang tidak seimbang,

(5)

antara pusat dan wilayah yang jauh dari pusat, yakni kelompok yang diwakili kawula mataram berada dalam posisi superior, sementara kelompok yang diwakili sedulur sabrang dalam posisi inferior.

Artikel ini dipublikasikan paugeran.com pada 11 September 2017. Artikel tersebut untuk untuk merespon peringatan peristiwa maklumat 5 September 1945, yakni peristiwa bergabungnya Keraton Yogyakarta ke dalam NKRI.

Topik :

Judul : Mewujudkan Kerajaan Perempuan Jogjaropa Sub topik :

a. Cara yang tidak menyusahkan dan tidak memusingkan Presiden, Mahkamah Konstitusi membahas yudicial review UUK No 13 yang berlarut-larut.

b. Cara yang tidak memusingkan DPRD dan tidak membingungkan desainer ageman jumenengan Sultanah.

c. Cara yang tidak menabrak sekian banyak paugeran dan pranatan kasultanan maupun kesepakatan luhur kasultanan Jogjakarta dengan NKRI.

d. Cara ampuh untuk menghindarkan diri dari konflik konflik batin dan konflik kekerasan horizontal.

e. Sultan dan Kasultanan Jogja dituntut kepekaannya terhadap kondisi sosial kemasyarakatan Jogjakarta yang mayoritas muslimin yang terjadi sekarang ini, di mana kesetaraan perempuan baru menjadi wacana.

f. Sebagai negarawan bijaksana sebaiknya Sultan Hamengku Bawono berkenan membeli laut atau teluk untuk pulau reklamasi di Eropa yang masyarakatnya telah “buta gender” sebagai wilayah Kasultanan Hamengku Bawono

Selanjutnya dari subtopik atau proposisi di atas dapat direduksi ke level yang lebih tinggi, yakni makroposisi secara keseluruhan (topik): Berdasarkan fakta sejarah, perempuan memimpin pemerintahan tidak pernah dilakukan oleh kasultanan penganut Islam di masa Demak hingga Kasultanan Jogja. Maka sebaiknya Sultan Hamengku Bawono berkenan membeli laut dan teluk sebagai wilayah Kasultanan Hamengku Bawono.

Skematik:

Artikel dengan judul “Mewujudkan Kerajaan Perempuan Jogjaropa” disusun dengan bentuk tanya jawab.

Pertanyaan yang disampaikan adalah :

Berdasarkan fakta sejarah, perempuan memimpin pemerintahan tidak pernah dilakukan oleh kasultanan Islam di Demak hingga Kasultanan Jogja. Bagaimana jika sekarang ini Sultan HB X memaksakan kehendaknya untuk mengangkat perempuan sebagai penggantinya?

Adakah cara win-win solution sehingga tidak menyusahkan semua pihak yang terkait? Pertanyaan ini menggunakan gaya bahasa ironi. Majas ironi merupakan gaya bahasa sindiran yang paling halus. Gaya bahasa ini digunakan, karena orang Jawa terbiasa dalam mengkritik sesuatu secara santun agar yang dikritik tidak sakit hati.

Selain itu dalam konteks ini, yang dikritik adalah seorang sultan yang merupakan pemimpin tertinggi di Keraton Yogyakarta. Jadi artikel dalam bentuk tanya jawab ini memiliki makna merendahkan orang lain secara halus.

Latar :

Elemen latar terlihat dari pertanyaan yang disampaikan :“Bagaimana jika sekarang ini Sultan HB X memaksakan kehendaknya untuk mengangkat perempuan sebagai penggantinya? Adakah cara win-win solution sehingga tidak menyusahkan semua pihak yang

(6)

terkait?” Elemen latar ini ingin menyampaikan bahwa wacana sultanah akan mendapat penolakan dari masyarakat Yogyakarta dan justru menyusahkan banyak pihak. Hal ini sekaligus menunjukkan kelompok dominan yang enggan berubah.

Detail:

Ada cara jitu dan sederhana. Cara ini tidak menyusahkan dan tidak memusingkan Presiden, Mahkamah Konstitusi membahas yudicial review UUK No 13 yang berlarut- larut. Cara ini juga tidak memusingkan DPRD dan tidak membingungkan desainer ageman jumenengan sultanah.

Cara ini juga tidak menabrak sekian banyak paugeran dan pranatan Kasultanan maupun kesepakatan luhur Kasultanan Jogjakarta dengan NKRI. Dan cara ini ampuh untuk menghindarkan diri dari konflik-konflik batin dan konflik kekerasan horizontal.

Keistimewaan pendirian Sultan Hamengku Bawono di Eropa ini antara lain:

1. Sultan perempuan yang baru akan lebih memungkinkan berkreasi dan inovasi tanpa hambatan kaum adat maupun norma-norma agama.

2. Semua fraksi DPRD pun tentu akan mengapresiasi ide cemerlang ini, sebagai NTW (negeri tujuan wisata) yang menarik.

3. Musyawarah ring 1, Keraton Jogja yang terdiri dari adik-adik Sultan HB X alias Putra-putri Sultan HB IX yang berjumlah 15 keluarga akan mendukungnya.

4. Sultan Hamengku Buwono XI tetap dari trah Hamengku Buwono, yakni salah satu putra dari putra Sultan HB IX.

5. Bangsa dan Negara Indonesia tetap memiliki Jogjakarta sebagai cagar budaya yang mewarisi Kasultanan Hamengku Buwono sebagaimana dikehendaki bangsa Indonesia yang dituangkan dalam UUK 13.

6. Dengan demikian keinginan Sultan Hamengku Bawono memperempuankan kasultanan terwujud

dengan dukungan masyarakat Jogja dan bangsa Indonesia yang gigih memperjuangkan: Save Paugeran, Save UUK 13, Save Kasultanan Ngayogyakarta, Save Pancasila, Save Bhinneka Tunggal Ika, Save NKRI terwujud secara damai dan berkemajuan.

7. Siapa tahu, Kerajaan Hamengku Bawono dan Sultan perempuan yang digagasnya akan mendapat simpati dan dukungan penuh masyarakat Eropa yang telah

“buta gender” dalam monarki mereka.

Metafora:

Pada artikel di atas menggunakan beberapa metafora seperti “win-win solution”, “gender blind” untuk memperkuat pesan utama yakni tidak setuju dengan wacana sultanah yang akan menyebabkan keresahan masyarakat dan menyusahkan banyak pihak.

Penggunaan metafora berbahasa Inggris selain untuk menyindir ide sultanah sebagai produk pemikiran Barat, juga untuk membuat kesan negatif terhadap wacana sultanah, sehingga akan menguntungkan bagi pihak dominan.

Sekarang cermati bagaimana keratonjogja.id merepresentasikan wacana sultanah sebagai alternatif pemimpin keraton dalam berita berikut ini.

Judul: Peringatan 270 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (Keratonjogja.id, 1 Maret 2017)

Konteks:

Berita ini dipublikasikan Keratonjogja.id pada 1 Maret 2017 untuk menyampaikan bahwa Keraton Yogyakarta masih tetap ada (berusia 270 tahun).

Munculnya berita ini untuk menanggapi persoalan Sabda Raja, Dawuh Raja, dan Sabda Jejering Raja yang kemudian memunculkan persepsi di masyarakat bahwa

(7)

sultan yang bertakhta saat ini tidak sah, dengan demikian terjadi kekosongan dalam pemerintahan raja di Keraton Yogyakarta.

Persoalan yang terjadi di dalam Keraton yang kemudian menyita perhatian masyarakat Yogyakarta ditampilkan dengan informasi munculnya pertanyaan dari salah satu takmir masjid perihal suksesi di Keraton Yogyakarta.

Terkait pertanyaan tersebut sri sultan tidak memberi jawaban tegas. Jawaban sri sultan tersebut bisa dipandang sebagai upaya sri sultan melokalisir polemik suksesi yang akan berdampak pada jalannya pemerintahan di Keraton Yogyakarta dan di pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Topik:

Judul: Peringatan 270 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat

Sub topik :

a. Pada 13 Maret 1755 (29 Jumadil Awal, Jimawal 1680), atau sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Keraton Yogyakarta yang baru saja dibangun dan meresmikan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat.

b. Untuk memperingati 270 tahun peristiwa yang jatuh pada 26 Februari 2017 (29 Jumadil Awal, Jimawal 1950) tersebut, Keraton Yogyakarta mengadakan serangkaian kegiatan.

c. Dalam agenda tersebut, Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 memaparkan bahwa peringatan sejarah Hadeging Nagari berperan sebagai upaya menjaga tradisi leluhur sekaligus sebagai wahana silaturahmi bagi seluruh Takmir Masjid Kagungan dalem.

d. Masyarakat tampak antusias, bagi mereka kegiatan seperti ini dapat menjadi sarana untuk bertemu raja secara langsung.

Selanjutnya dari subtopik atau proposisi di atas dapat direduksi ke level yang lebih tinggi, yakni makropoisisi secara keseluruhan (topik): Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat menjadi sarana untuk bertemu raja secara langsung.

Skematik:

Judul: Peringatan 270 Tahun Hadeging nagari Ngayogyakarta Hadiningrat

Lead:

Pada 13 Maret 1755 (29 Jumadil Awal, Jimawal 1680), atau sebulan setelah ditandatanganinya Perjanjian Giyanti (13 Februari 1755), Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwono I pindah dari Pesanggrahan Ambarketawang ke Keraton Yogyakarta yang baru saja dibangun dan meresmikan Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadininingrat.

Untuk memperingati 270 tahun peristiwa yang jatuh pada 26 Februari 2017 (29 Jumadil Awal, Jimawal 1950) tersebut, Keraton Yogyakarta mengadakan serangkaian kegiatan.

Story :

a. Rangkaian kegiatan dimulai pada hari Sabtu 25 Februari, dengan ziarah ke makam Imogiri.

Ziarah diikuti oleh para abdi dalem dan keluarga sultan.

b. Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 memaparkan bahwa peringatan Hadeging Nagari sebagai upaya menjaga tradisi leluhur sekaligus sebagai wahana silaturahmi bagi seluruh Takmir Masjid Kagungan Dalem.

(8)

c. Dalam sesi tanya jawab, seorang takmir menyinggung perihal suksesi di Keraton Yogyakarta.

d. Acara hari itu (Sabtu, 25 Februari) ditutup dengan pengajian/Mujahadah di Masjid Gedhe.

e. Hari Minggu, 26 Februari digelar Sema’an Al Quran yang diikuti seluruh lapisan masyarakat di Bangsal pagelaran Keraton Yogyakarta.

f. Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 berpesan kegiatan seperti Mujadahan tetap dilestarikan sebagai upaya tetap teteg (tidak merasa was- was) di era gempuran zaman dan globalisasi.

g. Masyarakat tampak antusias, bagi mereka kegiatan seperti ini dapat menjadi saran untuk bertemu raja secara langsung.

Comment :

a.

“Saya tidak tahu yang tinitik itu siapa, saya tidak tahu apakah penerus saya itu laki-laki atau wanita. Kita sama-sama istiqarah. Saya hanya menunggu petunjuk." (Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10, Raja Kasultanan Keraton Yogyakarta).

Latar :

Elemen latar pada berita di atas ditampilkan di paragraf ke-1 yang menjadi lead dari berita. “Untuk memperingati 270 tahun peristiwa yang jatuh pada 26 Februari 2017 (29 Jumadil Awal, Jimawal 1950) tersebut,

Keraton Yogyakarta mengadakan serangkaian kegiatan”. Latar peristiwa yang disampaikan ingin menunjukkan hendak dibawa ke mana makna teks, yakni untuk melestarikan peringatan sejarah berdirinya Keraton Yogyakarta.

Hal ini juga memberikan efek positif mengapa Keraton Yogyakarta di bawah kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Bawono ka 10 tetap melaksanakan

peringatan Hadeging Nagari Ngayuogyakarta Hadiningrat. Sementara di masyarakat muncul polemik terkait Sabda Raja yang mengikis kedaulatan kepemimpinan sri sultan.

detail:

Elemen detail pada kalimat ini ditampilkan dengan menerangkan orang-orang yang menghadiri kegiatan peringatan Hadeging nagari Ngayogyakarta hadiningrat pada 25 Februari 2017, yakni para Abdi Dalem dan keluarga sultan, seluruh Takmir Masjid Kagungan Dalem, serta pejabat di lingkungan Keraton Yogyakarta: KPH Pujaningrat, KRT Purwodiningrat, KRT Hastononingrat, dan KRT Jati Hadiningrat.

Sementara pada rangkaian kegiatan tanggal 26 Februari peserta yang hadir juga tak kalah banyak, yakni Sri Sultan Hamengku Bawono Ka 10, KPH.

Wironegoro, KPH. Purbodiningrat, KPH.

Yudahadiningrat, KPH. Suryohadiningrat, dan para Abdi Dalem Pengulon juga masyarakat dari berbagai lapisan.

Berita tersebut tidak menyinggung ketidakhadiran adik-adik sri sultan yang merupakan salah satu basis massa pendukung Keraton Yogyakarta yang kini berseberangan dengan sri sultan.

Sedangkan kehadiran masyarakat banyak dan tokoh- tokoh masyarakat yang disampikan dalam berita ini bertujuan untuk menyampaikan pesan bahwa sri sultan HB ka 10 dan Keraton Yogyakarta yang dipimpinnya tetap memiliki legitimasi, terutama jika dikaitkan dengan ruh kepemimpinan sri sultan, yakni

“Meneguhkan Takhta untuk Rakyat”.

Kata Ganti

Elemen kata ganti ditunjukkan dalam jawaban sri sultan mengenai suksesi di Keraton Yogyakarta berikut ini: “Sultan menanggapi sambil memberi

(9)

penekanan bahwa siapa pun yang akan menjadi penerusnya tetap harus berproses laku lakon, "Saya tidak tahu yang tinitik itu siapa, saya tidak tahu apakah penerus saya itu laki-laki atau wanita. Kita sama-sama istiqarah. Saya hanya menunggu petunjuk."

Penggunaan kata ganti "saya" menggambarkan bahwa sikap tersebut merupakan sikap resmi komunikator.

Akan tetapi, pemakaian kata ganti “kita” menjadikan sikap tersebut sebagai representasi dari sikap bersama dalam suatu komunitas tertentu.

Batas antara komunikator dengan khalayak dengan sengaja dihilangkan untuk menunjukkan apa yang menjadi sikap komunikator juga menjadi sikap komunitas secara keseluruhan. Pemakaian kata ganti

"kita" (atau "kami") mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi (hanya) kepada diri sendiri.

Metafora :

Berita “Peringatan 270 Tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat” juga memuat beberapa metafora yang digunakan untuk memperkuat pesan utama yakni terkait keberadaan Keraton Yogyakarta dan orang-orang di dalamnya. Dalam metafora Jawa

“laku lakon”, “istiqarah”, dan “teteg” ingin menunjukkan bahwa nilai-nilai keluhuran masyarakat Jawa yang dijalankan dengan sungguh-sungguh akan membawa pada tegaknya Keraton.

Hal ini bisa dipandang bahwa Sri Sultan HB ka 10 sedang mempraktikkan strategi kuasanya sebagai raja yang ucapannya harus dijalankan oleh rakyatnya.

Peneliti telah memaparkan hasil analisis struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro bagaimana media daring paugeran.com dan keratonjogja.id menampilkan topik keistimewaan Yogyakarta Pasca Sabda Raja,

Topik Sabda Raja sebagai Prerogatif Sultan HB ka 10, dan topik sultanah sebagai pemimpin Keraton Yogyakarta. Selanjutnya dari analisis tersebut bisa ditarik kesimpulan tentang representasi wacana sultanah di media daring paugeran.com dan keratonjogja.id.

Media

Massa Representasi Topik Keistimewaan Yogyakarta Pasca Sabda Raja

Representa si Topik Sabda Raja sebagai HakPrerogratif Sultan HB ka 10

Representasi Topik Sultanah Pemimpin Keraton Yogyakarta

Pauger an.co m

Negatif, Mempertanyak anKeistimewaan Yogyakarta pasca

disampaikanny a Sabda Raja, Dawuh Raja, dan Sabda Jejering Raja

Negatif, mengangga p sultan yangbertakhta tidak sah

Negatif, Sultanah dalam Keraton Yogyakarta bertentangan dengan al-Qur’an, al-Hadits, ijma’, qiyas, dan adat (‘urf) yang menjadi dasar pendirian Keraton Yogyakarta Kerato

njogja.

id

Positif, adanya Sabda Raja, Dawuh Raja, dan Sabda Jejejering Rajamerupakan upaya dari Sultan HB ka 10 yang bertahta dalam merespon perubahan zaman.

positif, Sri Sultan HB ka 10 yang bertakhta merupakan sultan yang berkuasa menentukan kebijakan di dalam Keraton Yogyakarta.

Netral, Sultanah dalam Keraton Yogyakarta merupakan kepemimpinan altenatif.

Tabel 1. Representasi Wacana Sultanah di Media paugeran.com dan Keratonjogja.id

4. Konklusi

Hasil analisis di atas terlihat apa yang oleh Foucault dikatakan sebagai kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi, di mana ada relasi di sana ada kekuasaan.

Dalam hal ini, meski seorang raja dikatakan memiliki kekuasaan mutlak, absolut bukan berarti kekuasaan tersebut menjadi terpusat. Justru dengan relasi-relasi yang terbangun antara sultan, permaisuri, puteri-puteri dalem, rayi-rayi dalem, dan abdi dalem menjadikan kekuasaan menyebar.

(10)

Selanjutnya, karena kekuasaan menyebar tanpa bisa dilokalisasi dan meresap ke dalam seluruh jalinan sosial, maka kekuasaan memiliki sifat menormalisasikan susunan-susunan masyarakat. Namun, kekuasaan di saat yang sama juga menimbulkan kontradiksi kekuasaan, yakni resistensi atau perlawanan.

Semua tempat berlangsugnya kekuasaan (beragam wacana) menjadi tempat pembentukan dan perkembangan pengetahuan. Melalui wacana, kehendak mengetahui terumus dalam pengetahuan. semua pengetahuan memungkinkan dan menjamin beroperasinya kekuasaan, karena ingin mengetahui adalah proses dominasi terhadap objek-objek dan manusia.

Munculnya wacana seorang perempuan dapat menjadi pemimpin di Keraton Yogyakarta (wacana sultanah) telah menghasilkan objek pengetahuan; mengarahkan cara bagaimana suatu topik bisa dibicarakan secara bermakna dan menentukan bentuk rasionalitasnya.

Dalam berita "Mewujudkan Kerajaan Perempuan Jogjaropa" begitu terlihat bagaimana pengetahuan yang dimiliki kelompok yang menolak wacana sultanah, yang diwakili oleh penulis berita (wartawan) digunakan untuk memengaruhi pembaca dan masyarakat.

Sedangkan resistensi atas pandangan tersebut bisa dilihat pada berita "Peringatan 270 tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Pernyataan sri sultan ketika ditanya tentang suksesi di dalam Keraton yang memungkinkan untuk dipimpin seorang perempuan,

“Saya tidak tahu yang tinitik itu siapa, saya tidak tahu apakah penerus saya itu laki-laki atau wanita. Kita sama-sama istiqarah. Saya hanya menunggu petunjuk", merupakan cara bagaimana gagasan-gagasan sultan akan hadirnya wacana sultanah dipraktikkan dan digunakan untuk mengatur perilaku.

Akhirnya, aspek yang secara jeli perlu diperhatikan ialah bahwa wacana bisa menentukan perspektif, karena mengatur cara membahas sesuatu, mendefinisikan cara bicara, cara menulis dan bertindak. Hubungan kekuasaan menimbulkan saling ketergantungan antara berbagai pihak mulai dari pihak yang memegang kekuasaan dengan pihak yang menjadi objek kekuasaan.

Dominasi simbolis tidak dirasakan sebagai bentuk kekerasan, bahkan yang didominasi menyetujuinya.

Pemarginalan melalui unsur mikro dari wacana, yakni teks menandai adanya kuasa yang dimiliki penulis berita atau media massa terhadap realitas yang dimaknainya, yakni wacana sultanah.

Seperti yang dipaparkan oleh van Dijk bahwa media massa memiliki kecenderungan untuk memiliki kontrol atas realitas melalui praktik pemaknaan yang dilakukannya, meskipun pada praktiknya seringkali mendapat resistensi dari khalayak.

Praktik pemaknaan atas realitas yang dilakukan oleh media massa berupa suatu laporan berita merupakan keistimewaan (privilige) yang tidak semua entitas sosial memilikinya. Dengan privilige yang dimilikinya media massa laten melakukan dominasi, khususnya melalui praktik penilaian (evaluation), kategorisasi (categorization), dan prasangka (prejudice) terhadap entitas sosial yang lain.

Ketika seseorang penulis berita meliput suatu peristiwa, menulisnya dan lalu memberitakannya, dia sekaligus telah melakukan proses penilaian, kategorisasi, dan prasangka. Ini disebabkan oleh kenyataan bahwa peristiwa sosial yang terjadi masih perlu untuk dinilai (ditaksir) dan dikategorisasikan untuk dapat dituliskan oleh penulis berita.

Stuart Hall [6] menyatakan, peristiwa sosial tidak memiliki makna siap pakai pada dirinya sehingga perlu

(11)

pengkonstruksian suatu makna melalui proses menilai dan mengategorisasikan. Cara memandang terhadap suatu peristiwa (mental model) yang dimiliki seseorang penulis berita memengaruhi praktik penilaian dan kategorisasi, sehingga praktik konstruksi makna yang dilakukan oleh penulis berita terhadap peristiwa yang dihadapinya tidak seutuhnya bersifat objektif. Unsur prasangka (prejudice) juga terdapat pada praktik pemaknaan tersebut.

Melalui berbagai strategi yang dilakukan pada level mikro dari suatu wacana (teks) mengimplisitkan satu relasi kuasa bersifat diskursif yang tidak selalu seimbang, yang juga menandai adanya satu dominasi.

Meski kelompok yang pro maupun kontra dengan Sabda Raja sama-sama memiliki media untuk menyuarakan pendapat mereka, namun dengan posisinya masing- masing, baik kelompok pro maupun kontra terlihat tidak ingin menyerang secara frontal.

Hal ini dimungkinkan karena masing-masing kelompok dipengaruhi nilai-nilai sosial masyarakat yang sama, salah satunya ewuh pakeweuh.1 Menggunakan perspektif van Dijk tentang media massa dan kekuasaan, dapat dikatakan bahwa kekuassaan yang dimiliki media massa lebih bersifat simbolik daripada koersif. Artinya, kekuasaan yang dimiliki oleh media massa lebih disebabkan oleh kemampuannya untuk melakukan kontrol terhadap cara berpikir khalayak luas.

Dilihat dari strategi wacana melalui unsur leksikon, misalnya munculnya wacana sultanah sebagai keinginan pribadi sultan untuk melanjutkan kekuasaan keluarga, dan juga bertentangan dengan paugeran adat merupakan

1 Ewuh Pakewuh atau rasa sungkan merupakan sifat khas masyarakat budaya di Jawa. Budaya tersebut di satu sisi dipandang baik karena mendorong sikap saling menghormati.

Di sisi lain, ewuh pakewuh bisa menghambat bergulirnya roda organisasi yang sudah diterapkan. Misalnya sungkan menegur langsung pada atasan yang berbuat salah.

hasil dari praktik penilaian (evaluation) dan kategorisasi (categorization) yang dilakukan media massa, bahkan praktik prasangka (prejudice).

Selanjutnya jika ketika praktik penilaian, kategorisasi, dan prasangka yang dilakukan oleh penulis berita sebagai agen media massa menghasilkan suatu relasi yang merugikan subjek wacana sultanah (sultan dan keluarganya). Maka dapat dikatakan bahwa telah terjadi suatu dominasi simbolik kelompok patriarki terhadap perempuan.

Melalui dominasi simbolik itu terlihat bagaimana pandangan dominan (patriarki) dengan menggunakan basis sejarah dan agama memosisikan perempuan, dan perempuan selama ini menganggapnya sebagai hal yang wajar.

Referensi

[1] Dardias, Bayu., 2016, Menyiapkan Sultan Perempuan:

Legitimasi Langit dan Efektivitas Rezim Sultan Hamengku Buwono X, Jurnal Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016.

[2] Alimin, La Ode., 2016, Analisis Persepsi Masyarakat Kota Yogyakarta terhdap Sabda Raja Sri Sultan Hamengku Buwono ke X dalam Konflik Internal Keraton, Skripsi, Universitaqs Muhammadiyah Yogyakarta.

[3] van Dijk.,1997, Discourse as Interaction in Society.

Dalam Teun A. van Dijk (ed.), Discourse as Social Interaction: Discourse Studies A Multidisciplinary Introduction, Vol. 2, London: Sage Publication.

[4] Barker, Chris., 2008, Cultural Studies: Teori dan Praktik, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta.

[5] Bourdieu, Pierre., 1990, In Other Words: Essays Towards a Reflexive Sosiology. Cambridge, Polity Press.

[6] Hall, Stuart., 1997, Representation: Cultural Representations and Signifying Practises, London:

Sage

[7] Foucault, Michel., 2000, Seks dan Kekuasaan.

Sejarah Seksualitas, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

[8] Haryatmoko., 2001, Dominasi Penuh Muslihat, Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

(12)

[9] Rohmatullah, Yuminah.,2017, Kepemimpinan Perempuan dalam Islam: Melacak Sejarah Feminisme Melalui Pendekatan Hadits dan Hubungannya dengan Hukum Tata Negara, dalam Jurnal Syariah Juni 2017, STAI Al Karimiyah, Depok.

[10] Moertono, Soemarsaid., 1985, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau. Studi Tentang Masa Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

[11] Yoce Aliah Darma., 2008, Pendidikan Politik untuk Perempuan, dalam dalam Sastriyani (ed.), Women in Public Sector, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta.

[12] _________., 2010, Membongkar Rezim Kepastian:

Pemikiran Kritis Post-Strukturalis, Kanisius, Yogyakarta.

[13] _________., 2016, Critical Discourse Analysis (Analisis Wacana Kritis), PT. Raja Grafindo Persada, Yogyakarta.

[14] Udasmoro, Wening., 2007, Memahami Wacana Bio Power Michel Foucault, dalam Udasmoro, Wening dan Firmonasari, Aprilia (Ed.),Wacana Pemikiran Prancis Kontemporer dalam Teori dan Praktik, Bagaskara, Yogyakarta.

[15] _______ ., 2009, Society and Discourse, Cambridge University Press, Cambridge

[16] Peringatan 270 tahun Hadeging Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat, dalam https://www.kratonjogja.id/peristiwa/9/peringatan- 270-tahun-hadeging-nagari-ngayogyakarta-

hadiningrat, Diakses terakhir kali pada 6 Juli 2018, pukul 15.00 WIB.

[17] Mewujudkan Kerajaan Perempuan Jogjaropa, dalam https://www.paugeran.com/2017/09/mewujudkan- kerajaan-perempuan-jogjaropa.html, diakses terakhir kali 6 Juli 2018, pukul 11.15 WIB.

[18] Sultan Sebut Sabda Raja Wangsit Leluhur, adik:

Kami Sulit Percaya itu, dalam

https://news.detik.com/berita/2921379/sultan-sebut- sabda-raja-wangsit-leluhur-adik-kami-sulit-percaya- itu, diakses 12 Februari 2018, pukul 15.10 WIB.

Referensi

Dokumen terkait

dengan jenis media lain untuk digunakan dalam pengajaran suatu bahan pelajaran tertentu... Posisi Media

Pada bagian ini akan diberikan simulasi menggunakan program Mathematica 9.0 untuk menunjukkan grafik hubungan dua variabel, yaitu hubungan posisi kendaraan terhadap

Pada era dinasti Hàn 汉 huruf xiǎozhuàn 小篆 ini mengalami perubahan bentuk lagi menjadi huruf yang dinamakan lìshū 隶书 yang ditulis berdasarkan guratan, sehingga

Kesimpulan dari penelitian ini adalah pada pengujian aktivitas ekstrak etanol buah lerak (Sapindus rarak) menunjukkan terdapat daya hambat atau memiliki aktivitas antibakteri

Pada gambar diatas adalah halaman data calon ketua yang digunakan oleh admin yaitu bagian Sekertaris Land Cruiser Makassar.. Pada bagian ini admin melakukan approve

Hasil dari kromatogram uji kualitatif dan nilai Rf standar dari kedua sampel dapat dilihat pada Gambar 6 menunjukkan nilai Rf yang sama yaitu 0,52 maka

Tujuan dari penelitian ini adalah meningkatkan pengetahuan mengenai perancangan arsitektur analytical CRM untuk mendukung segmentasi pelanggan (khususnya calon

Hasil penelitian yang sudah peneliti lakukan adalah dari 54 responden yang berjenis kelamin laki-laki yang mengalami keluhan MSDs sebanyak 36 orang (66,7%)