• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN NONFORMAL (NONFORMAL EDUCATION) MENUJU MASYARAKAT BELAJAR (LEARNING SOCIETY) DI MASJID JOGOKARIYAN MANTRIJERON YOGYAKARTA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN NONFORMAL (NONFORMAL EDUCATION) MENUJU MASYARAKAT BELAJAR (LEARNING SOCIETY) DI MASJID JOGOKARIYAN MANTRIJERON YOGYAKARTA."

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

PEMB NONFORM BELA P BERDAYA MAL (NON AJAR (LEAR M Dia u gun PROGRAM JURUS FA UNIVE AAN MASY NFORMAL E RNING SOC MANTRIJER ajukan kepad Universita untuk Memen na Memperole Au NIM

M STUDI PE SAN PENDI AKULTAS ERSITAS N

YARAKAT M EDUCATIO CIETY) DI M RON YOGY

SKRIPSI

da Fakultas Ilm as Negeri Yog nuhi Sebagian

eh Gelar Sarja

Oleh ulia Ul Makr M 071022410

ENDIDIKA IDIKAN LU S ILMU PEN NEGERI YO JUNI 2013 MELALUI ON) MENUJ MASJID JO YAKARTA mu Pendidika gyakarta n Persyaratan ana Pendidika ro 013

(2)

PEMB NONFORM

BELA

P

BERDAYA MAL (NON AJAR (LEAR

M Dia u gun PROGRAM JURUS FA UNIVE AAN MASY NFORMAL E RNING SOC MANTRIJER ajukan kepad Universita untuk Memen na Memperole Au NIM

M STUDI PE SAN PENDI AKULTAS ERSITAS N

YARAKAT M EDUCATIO CIETY) DI M RON YOGY

SKRIPSI

da Fakultas Ilm as Negeri Yog nuhi Sebagian

eh Gelar Sarja

Oleh ulia Ul Makr M 071022410

ENDIDIKA IDIKAN LU S ILMU PEN NEGERI YO

MELALUI ON) MENUJ

MASJID JO YAKARTA mu Pendidika gyakarta n Persyaratan ana Pendidika ro 013

(3)
(4)
(5)
(6)

HALAMAN MOTTO

™

{

}

اﺮ ﻳﺮ ﻌ ا

ﻊﻣ

نا

{

}

اﺮ ﻳﺮ ﻌ ا

ﻊﻣ

نﺎ

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan” (QS. Al-insyirah: 4-5)

™

…….

ﺎﻬﻌ و

ﻻا

ﺎ ﻧ

ﷲا

ﻜﻳ

"Tidak akan Allah membebankan seseorang kecuali sesuai kemampuannya” (QS. Al-Baqoroh: 286)

™

You too proud, you will suffer (ŵŶ)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan kepada :

1. Bapak dan Ibu tercinta yang tidak hanya

mendoakan tapi mensuport lahir dan batin

2. Almamaterku, FIP Universitas Negeri

Yogyakarta

(8)

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN NONFORMAL (NONFORMAL EDUCATION) MENUJU MASYARAKAT

BELAJAR (LEARNING SOCIETY) DI MASJID JOGOKARIYAN MANTRIJERON YOGYAKARTA

Oleh Aulia Ul Makro NIM 07102241013

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses, dampak, faktor pendukung dan penghambat proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal menuju masyarakat belajar di masjid Jogokariyan.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Subyek penelitian adalah takmir, jamaah dan tokoh masyarakat Jogokariyan. Objek penelitian ini adalah masjid Jogokariyan dan kegiatannya. Setting penelitian mengambil tempat di Masjid Jogokariyan, Mantrijeron Yogyakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode observasi, wawancara, dan dokumentasi. Analisis data menggunakan teknik reduksi data, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan. Trianggulasi dilakukan untuk menjelaskan keabsahan data dengan menggunakan beberapa sumber dan teknik yang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1. Pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal menuju masyarakat belajar (learning society) di masjid Jogokariyan dilaksanakan oleh takmir masjid Jogokariyan melalui pendekatan pelayanan dan pembinaan, 2. Dampak pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal di masjid Jogokariyan: Terbentuknya masyarakat belajar (learning society), 3. Faktor pendukung dalam pelaksanaan pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal menuju masyarakat belajar di masjid Jogokariyan: a) fasilitas yang dimiliki oleh masjid Jogokariyan cukup lengkap, b) adanya respon yang positif dari masyarakat, c) komitmen dan semangat yang tinggi dari pengurus, d) serta adanya sumber dana yang memadai. Faktor penghambat: pasang surut semangat jamaah.

(9)

COMMUNITY EMPOWERMENT THROUGH NONFORMAL EDUCATION TO BECOME A LEARNING SOCIETY IN JOGOKARIYAN MOSQUE

MANTRIJERON YOGYAKARTA

By : Aulia Ul Makro 07102241013

ABSTRACT

This study aimed to describe a process, an impact, and supporting and inhibiting factors of community empowerment through nonformal education to become a learning society in Jogokariyan mosque.

This study was a descriptive study with qualitative approach. The subjects of this study were takmir of Jogokariyan mosque, congregants of Jogokariyan mosque and Jogokariyan community leaders. Data was collected using observation, interview, and documentation. Techniques used in data analysis were data reduction, data presentation, and drawing conclusion. Triangulation was performed to explain data validity using several different sources and techniques.

Research results showed that: 1. Community empowerment through non-formal education to become a learning society in Jogokariyan mosque was performed by the takmir of Jogokariyan mosque, was done by service and guidance process 2. The effects were: learning society was implemented. 3. Supporting factors were: a) Jogokariyan mosque was well-equipped in facilities, b) positive response from the society, c) high commitment and spirit of the management, d) sufficient sources of funding. Meanwhile, the inhibiting factors were; the ebb and flow of congregants' spirit.

Keywords: Community Empowerment, Nonformal Education, Learning Society, Jogokariyan Mosque

 

 

 

 

 

(10)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi yang

disusun sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana kependidikan di

Universitas Negeri Yogyakarta.

Penulis menyadari dalam menyelesaikan skripsi ini tidak lepas dari adanya

bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis

mengucapkan terimakasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang

telah memberikan fasilitas sehingga skripsi saya menjadi lancar.

2. Bapak Ketua Jurusan Pendidikan Luar Sekolah, yang telah memberikan

kelancaran dalam pembuatan skripsi ini.

3. Bapak H. Hiryanto, M.Si selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Pujiyanti

Fauziah selaku dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing saya

4. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan Luar Sekolah Fakultas Ilmu

Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta yang telah mendidik dan

memberikan ilmu pengetahuan

5. Bapak Tunggul Tejo Iswanto selaku Sekretaris I masjid Jogokariyan yang telah

memberikan ijin untuk mengadakan penelitian.

6. Bapak dan Ibu dan teman-teman jajaran takmir dan jamaah masjid Jogokariyan

yang telah memberikan info yang luas mengenai pemberdayaan masyarakat di

(11)

7. Semua teman-teman Pendidikan Luar Sekolah 2007 yang selalu memberikan

suport waktu dan tenaganya kepada saya. Terutama Ai, Ry dan Mbak Pim yang

entah somehow membuat saya kuat menjalani hari-hari penuh beban.

8. Teman-teman Pendidikan Luar Sekolah angkatan 2004, 2005, 2006, 2007,

2008, 2009 atas motivasi dan dukungannya.

9. Semua pihak yang tidak dapat penulis tuliskan satu persatu yang telah banyak

memberikan bantuan baik moril maupun materiil, selama penyelesaian skripsi

ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

pihak-pihak yang peduli terhadap pendidikan terutama pendidikan luar sekolah

dan bagi pembaca. Amin.

Yogyakarta, Juni 2013

(12)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……… i

HALAMAN PERSETUJUAN ……….... ii

SURAT PERNYATAAN ……….... iii

HALAMAN PENGESAHAN ………. iv

HALAMAN MOTTO ………..  v

HALAMAN PERSEMBAHAN……… vi

ABSTRAK ………... vii

KATA PENGANTAR ………. ix

DAFTAR ISI ……… xi

DAFTAR TABEL ………... xiv

DAFTAR GAMBAR ………... xv

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvi

BAB I PENDAHULUAN………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………. 1

B. Identifikasi Masalah ……… 11

C. Batasan Masalah ……….. 12

D. Rumusan Masalah ………... 12

E. Tujuan Penelitian ………. 13

F. Manfaat Penelitian ………... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA ………... 15

A. Kajian Pustaka ……… 15

1. Kajian tentang Pendidikan Nonformal ………... 15

a. Pengertian Pendidikan Nonformal ………... 15

b. Filsafat dan Teori Pendidikan Nonformal ……… 18

2. Kajian tentang Pemberdayaan Masyarakat ……… 20

a. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat ………. 21

b. Tujuan Pemberdayaan ………... 23

(13)

d. Tahap-tahap Pemberdayaan Masyarakat ……….. 26

e. Pendidikan Nonformal dalam Pemberdayaan Masyarakat 28 3. Kajian Tentang Masyarakat Belajar (Learning Society) …… 29

a. Konsep Learning Society ……….... 29

b. Pelaksanaan Learning Society ……… 32

c. Learning Society Sebagai Proses Pemberdayaan ……….. 41

4. Kajian Teori tentang Masjid ……….. 44

a. Pengertian Masjid ………... 44

b. Fungsi dan Peran Masjid ………... 45

c. Organisasi Masjid ……….. 49

d. Potensi Dana Masjid ………. 51

B. Kerangka Berfikir ………... 53

C. Pertanyaan Penelitian ………. 57

BAB III METODE PENELITIAN ………... 59

A. Pendekatan Penelitian ………... 59

B. Setting Penelitian ………... 60

C. Subyek Penelitian ……….. 60

D. Metode Pengumpulan Data . ………. 61

E. Instumen Penelitian . ………. 64

F. Teknik Analisis Data ………. 65

G. Teknik Keabsahan Data ……… 67

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………. 69

A. Deskripsi Masjid Jogokariyan ………... 69

1. Deskripsi Sejarah Berdirinya Masjid Jogokariyan ………... 69

2. Profil Masjid Jogokariyan ………. 71

a. Letak, Sasaran Dakwah dan Perkembangan Masjid Jogokariyan Kini ……… 71 b. Visi, Misi dan Slogan Masjid Jogokariyan ………... 72

c. Manajemen Masjid Jogokariyan ………... 74

d. Struktur Takmir Masjid Jogokariyan ……… 75

(14)

f. Pendanaan ………. 113

B. Data Hasil Penelitian ………. 117

1. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……….... 117

2. Dampak Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……… 124

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……….... 130

C. Pembahasan ………... 132

1. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……….... 132

2. Dampak Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……… 141

3. Faktor Pendukung dan Penghambat Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan ……….... 146

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………... 148

A. Kesimpulan ……… 148

B. Saran ………... 149

DAFTAR PUSTAKA ……….. 151

LAMPIRAN ………. 154

 

 

(15)

DAFTAR TABEL

1. Tabel 1. Teknik Pengumpulan Data ... 63

2. Tabel 2. Perolehan dana masjid Jogokariyan ………… ... 115

3. Tabel 3. Bangunan Masjid Jogokariyan ………... 116

4. Tabel 4. Pengurus Biro Masjid Jogokariyan………... 118

(16)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Susunan Pengurus (takmir) masjid Jogokariyan ... 76

2. Gambar 2.Sistem “Infak Mandiri” ………... 113

3. Gambar 3. Penggunaan sistem “Infak Mandiri”... 114

4. Gambar 4. Masjid Jogokariyan ……….. 191

5. Gambar 5. Kegiatan TPA Masjid Jogokariyan ………... 191

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Pedoman Observasi ………... 155

2. Pedoman Dokumentasi ………... 156

3. Pedoman Wawancara ………... … 157

4. Catatan Lapangan ………... 166

5. Analisis Data, Reduksi, Display dan Kesimpulan Wawancara ... 177

6. Foto Kegiatan ………... … 198

7. Perizinan ……….. … 200

       

 

(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Suatu bangsa yang miskin sumber daya alamnya namun memiliki sumber daya manusia yang berkualitas akan dapat mencapai kemakmuran lebih cepat dibandingkan dengan bangsa yang kaya sumber daya alamnya tetapi kurang didukung oleh kualitas sumber daya manusianya (Nila Kesuma: 2011).

Pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa kemakmuran berbanding lurus dengan tingkat sumberdaya manusia. Oleh sebab itulah pengembangan sumber daya manusia selalu dilakukan diantaranya melalui pendidikan.

Mengenai pendidikan itu sendiri, menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 tentang jalur pendidikan Pasal 13 ayat (1) ”Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya”. Pasal ini dapat diartikan bahwa di negara Indonesia terdapat 3 jalur pendidikan yang diakui oleh negara yakni pendidikan formal, nonformal dan informal.

(19)

semata, yakni program pendidikan yang berjenjang dari Sekolah Dasar (SD) hingga Perguruan Tinggi (PT). Mereka yang telah menempuh pendidikan formal tersebutlah yang biasa dianggap sebagai manusia ”berpendidikan”.

Di samping itu, pendidikan formal di Indonesia masih menjadi acuan utama bagi pemerintah maupun masyarakat sebagai ukuran keberhasilan dalam pendidikan nasional. Pemerintah sebagai regulator selalu menempatkan pendidikan formal sebagai tolak ukur terhadap kebijakan-kebijakan dibidang pendidikan dan terkesan mengensampingkan jalur pendidikan nonformal dan informal, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal lebih kuat dibanding dengan jalur pendidikan lainnya (Sagita, 2009).

Padahal, pendidikan formal, informal dan nonformal sebagai bagian dari contuining education dan lifelong education

(20)

pendidikan sepanjang hayat. Pendidikan formal, nonformal dan informal yang terintegrasi akan memudahkan masyarakat dalam memilih pendidikan mana yang cocok dan sesuai dengan kebutuhan pengemabangan diri mereka. Contoh praktek integrasi pendidikan formal, nonformal dan informal tersebut dapat digambarkan dengan analogi berikut:

Ketika seseorang memilih pendidikan formal, kemudian berhenti pada satu titik tertentu karena pendidikan formal dibatasi kesempatan dan waktu, atau dia tidak diperkenankan untuk memperoleh pendidikan formal karena usia, atau putus pendidikan formal (drop out) karena seseorang tersebut tidak dapat mengikuti pendidikan formal maka pada saat itulah pendidikan nonformal dibutuhkan untuk melayaninya (subtituto), atau karena seseorang tidak cocok dengan pendidikan formal atau ada beberapa materi yang tidak diperoleh melalui pendidikan formal dia akan mendapat tambahan secara bebas melalui pendidikan nonformal atau informal (supplementary) (Mustofa Kamil, 2009: 2).

(21)

Dibalik fungsinya yang sama pentingnya dengan pendidikan lainnya, pendidikan nonformal justru mengalami permasalahan dalam tubuhnya. Diantaranya mengenai kualitas penyelenggaraan dan keluaran/ lulusannya. Keadaan yang sering terjadi, pendidikan nonformal dianggap sebagai ”program proyek”. Dengan kata lain, lembaga atau organisasi penyengggara pendidikan nonformal hanya mengandalkan perintah dari pemerintah. Hal tersebut berkaitan dengan pembiayaan program pendidikan. Penyenggara pendidikan nonformal masih banyak yang belum dapat mandiri dalam menjalankan programnya. Oleh karena itu seringkali terdapat program pendidikan yang mati suri (berhenti jika dana sudah habis dan dapat berjalan kembali jika mendapat suntikan dana), bahkan ada yang kemudian mati sama sekali karena tidak ada dana untuk melanjutkan (Sagita, 2009). Hal-hal tersebut membuat kredibilitas pendidikan nonformal dipertanyakan.

(22)

terutama berkaitan dengan; (1) pertambahan penduduk, (2) keinginan untuk maju, (3) perkembangan alat komunikasi dan, (4) terbentuknya bermacam-macam organisasi sosial (Mustofa Kamil, 2009: 16).

Dengan adanya permasalahan tersebut dan kesadaran akan potensi yang dapat digali dalam pendidikan nonformal seluruh penggerak pendidikan nonformal tertantang untuk senantiasa mengembangkan diri dan bertindak lebih kreatif. Diantaranya adalah dengan mengadakan pendidikan nonformal yang lebih terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. Salah satu yang kini sedang berkembang pesat adalah penyelenggaraan pendidikan nonformal berbasis keagamaan.

(23)

Secara lebih rinci M. Quraish Shihab dalam bukunya

Wawasan Alquran menyebutkan beberapa fungsi Masjid sebagaimana dicontohkan oleh panutan para muslim yakni Nabi Muhammad SAW ; 1) Sebagai tempat ibadah (salat dan zikir), 2) Tempat konsultasi dan komunikasi (masalah sosial, ekonomi dan budaya), 3) Tempat pendidikan, 4) Tempat santunan sosial, 5) Tempat latihan keterampilan militer dan persiapan alat-alatnya, 6) Tempat pengobatan para korban perang, 7) Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, 8) Aula dan tempat menerima tamu, 9) Tempat menawan tahanan, dan 10) Pusat penerangan atau pembelaan agama.

(24)

matang. Dalam konteks itulah pendidikan nonformal di dalam masjid dapat ikut berkembang.

Salah satu masjid yang telah sukses melaksanakan bentuk pendidikan nonformal di dalamnya adalah masjid Jogokariyan. Masjid Jogokariyan terletak di daerah selatan kota Yogyakarta. Tepatnya di kecamatan Mantrijeron. Menurut hasil wawancara dari salah seorang pengurus masjid Jogokariyan, kegiatan yang diprogramkan oleh masjid Jogokariyan tidak hanya berkisar pada kegiatan yang tampak seperti kegiatan keagamaan pada umumnya, seperti shalat jama’ah lima waktu, pengajian rutinan dan kegiatan semacamnya. Kegiatan masjid Jogokariyan juga meliputi aspek-aspek kehidupan yang lebih umum.

(25)

Kegiatan-kegiatan masjid Jogokarian tidak hanya ditujukan bagi jamaah dewasa. Takmir menyediakan kegiatan bagi anak-anak, remaja dan bahkan bagi pasangan-pasangan muda yang baru menikah. Bagi jamaah anak-anak masjid Jogokariyan mengadakan kegiatan Taman Pengajian Al-qur’an (TPA) yang didalamnya terdapat berbagai macam kegiatan. Bagi jamaah remaja masjid Jogokariyan menyelenggarakan organisasi Remaja Masjid Jogokariyan (RMJ). Kegiatan khsusus yang diberikan bagi pasangan muda adalah kegiatan-kegiatan yang umumnya diberikan dalam rangka menambah pengetahuan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga.

(26)

dan tempat untuk pelatihan. Sehingga nantinya masjid Jogokariyan dapat dijadikan tempat diklat yang representatif di Yogyakarta.

Selain itu masjid Jogokariyan memiliki salah satu kegiatan tahunan yang cukup besar yakni ”Kampung Ramadhan”. ”Kampung Ramadhan” merupakan kegiatan masjid Jogokariyan dalam rangka menarik perhatian masyarakat agar mau mengenal Islam lebih dekat. Kegiatan tersebut berhasil menarik perhatian masyarakat luas. Bukan hanya masyarakat Yogyakarta, bahkan sampai tingkat Nasional. Karena kegiatan ”Kampung Ramadhan” Masjid Jogokariyan beberapa kali masuk dalam liputan stasiun Televisi Nasional. Dalam wadah ”Kampung Ramadhan” masjid Jogokariyan menawarkan program-program yang bernuansa rohani sekaligus media pengembangan aspek kehidupan lainnya dengan kemasan yang menarik berupa talk show, lomba mewarnai, telling story dan sebagainya.

Dilihat dari program dan pelaksanaan kegiatan pengurus masjid Jogokariyan sangat responsif terhadap perkembangan masyarakat, sehingga mampu menarik masyarakat untuk turut serta dalam pemakmuran masjid, disisi lain masyarakat pun turut belajar untuk mengembangkan diri dan masyarakat disekitarnya. Hal tersebut mengingatkan peneliti tentang konsep learning society.

(27)

ditengah-tengah masyarakat atau dikenal dengan istilah learning society. Terciptanya masyarakat gemar belajar (learning society) sebagai wujud nyata model pendidikan sepanjang hayat mendorong terbukanya kesempatan menuntut setiap orang, masyarakat, organisasi, institusi sosial untuk belajar lebih luas. Sehingga tumbuh semangat dan motivasi untuk belajar mandiri terutama dalam memenuhi kebutuhan belajar sepanjang hayat dan memperkuat keberdayadidikan (educability) agar mampu mendidik diri dan lingkungannya.

Masjid Jogokariyan tidak hanya menjadi wadah belajar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan mampu membawa perubahan kepada masyarakat. Dengan itu masjid Jogokariyan dapat dikatakan telah turut serta dalam upaya pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat belajar (learning society) melalui pendidikan nonformal. Karena menurut Ace suryadi (2009: 24) learning society merupakan sebuah proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan tersebut mencakup proses merubah sikap dan perilaku budaya dari masyarakat yang tidak gemar belajar menjadi masyarakat gemar belajar (learning society).

(28)

Masyarakat Belajar (Learning society) di Masjid Jogokariyan

Mantrijeron Yogyakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas dapat diidentifikasikan masalah sebagai berikut :

1. Pemberdayaan masyarakat dapat dilaksanakan diantaranya melalui Pendidikan nonformal. Namun seiring dengan adanya permasalahan dalam tubuh pendidikan nonformal sendiri menjadikan kredibilitasnya dipertanyakan oleh masyarakat. 2. Pemerintah sebagai regulator selalu menempatkan pendidikan

formal sebagai tolak ukur terhadap kebijakan-kebijakan dibidang pendidikan sehingga kepercayaan masyarakat terhadap pendidikan formal lebih kuat dibanding dengan pendidikan informal dan nonformal.

3. Masjid berpotensi menjadi salah satu sumber belajar masyarakat dalam pengembangan Pendidikan berbasis keagamaan. Namun pemanfaatanya belum optimal.

4. Sebagian besar masjid masih dikelola secara tradisional dan biasanya masjid hanya dikelola oleh orang-orang tertentu saja dengan suka rela.

(29)

C. Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah yang diuraikan di atas, tidak seluruhnya dikaji dalam penelitian ini. Karena adanya keterbatasan waktu, kemampuan, dan dana, agar penelitian ini lebih mendalam, maka penelitian ini dibatasi pada masalah Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Nonformal (Nonformal Education) Menuju Masyarakat Belajar (Learning Society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta pada periode kepengurusan tahun 2009-2012 .

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan permasalahan yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini sebagi berikut:

1. Bagaimana proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar (learning society) di masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?

2. Apa dampak pemberdayaan masyarakat melaui pendidikan nonformal (nonformal education) di masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?

(30)

Nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar

(learning society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?

E. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar (learning society) di masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta

2. Untuk mengetahui dampak pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar (learning society) di masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta

3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar

(learning society) di masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta

F. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam hal :

(31)

serta memperoleh pengalaman langsung mengenai pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat.

2. Sebagai masukan bagi masjid Jogokariyan dalam kegiatan-kegiatan yang dirancang dalam rangka pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal (nonformal education) menuju masyarakat belajar (learning society).

(32)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A.Kajian Pustaka

1. Kajian tentang Pendidikan Nonformal a. Pengertian Pendidikan Nonformal

Secara mendasar pendidikan formal, informal dan nonformal sebagai sebuah konsep pendidikan dalam rangka pendidikan sepanjang hayat dan belajar sepanjang hayat memiliki berbagai ragam program sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat masa kini maupun masa depan. Masyarakat tidak akan berkembang pengetahuan dan keterampilannya apabila hanya mengandalkan pendidikan formal, oleh karena itu kebutuhan akan layanan pendidikan informal dan nonformal sangat dirasakan dalam menunjang kehidupan yang lebih baik. Sehingga variasi layanan program pendidikan nonformal yang terintegrasi dengan kehidupan masyarakat merupakan sebuah wujud dari lifelong education (Mustofa Kamil, 2009: 3). Hal tersebut sejalan dengan ketetapan UU RI No.20 tahun 2003 Pasal 26 Ayat 1, menyebutkan bahwa Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan, yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/ pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(33)

mencapai tujuan belajarnya”. Selanjutnya Harmojoyo (1973) dalam Mustofa Kamil (2009: 13-14) mengungkapkan bahwa pendidikan nonformal adalah ”usaha yang terorganisir secra sistematis dan kontinyu di luar sistem persekolahan, melalui hubungan sosial untuk membimbing individu, kelompok dan masyarakat agar memiliki sikap dan cita-cita sosial (yang efektif) guna meningkatkan taraf hidup dibidang materil, sosial dan mental dalam rangka usaha mewujudkan kesejahteraan sosial”.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan nonformal adalah setiap kegiatan yang terorganisir dan sistematis, di luar sistem persekolahan yang mapan baik dilembagakan maupun tidak, melalui kegiatan belajar mengajar yang tidak harus berjenjang dan berkesinambungan, yang diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/ atau pelengkap pendidikan nonformal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.

(34)

keluaran (out put) dan tujuan akhir (final goal) yaitu dampak (outcome) program pendidikan (Sudjana, 2004: 163).

Membicarakan pendidikan nonformal bukan berarti hanya membahas pendidikan nonformal sebagai sebuah pendidikan alternatif bagi masyarakat, akan tetapi berbicara pendidikan nonformal adalah berbicara tentang konsep, teori dan kaidah-kaidah pendidikan yang utuh sesuai dengan kondisi dan kebutuhan kehidupan masyarakat. Karena pendidikan nonformal sebuah layanan pendidikan yang tidak dibatasi dengan waktu, usia, jenis kelamin, ras (suku), keturunan, kondisi sosial budaya, ekonomi, agama, dan lain-lain. Meskipun pendidikan formal merupakan komponen yang penting dalam pendidikan sepanjang hayat. Akan tetapi, peran pendidikan nonformal dan pendidikan informal dalam rangka pendidikan sepanjang hayat bagi masyarakat sangat dibutuhkan saat ini dan kedepan (Mustofa Kamil, 2009: 2-3).

(35)

meningkatkan penghasilan dan status hidupnya serta pendidikan yang berorientasi pada hobby atau kesenangan (4) memberikan layanan pendidikan pendukung dan pelengkap bagi warga belajar di bidang tertentu sesuai dengan kebutuhan (Depdiknas, 2006:4).

Menurut UU tentang Sistem Pendidikan Nasional No.20 tahun 2003 pendidikan nonformal adalah satu jalur pendidikan yang meliputi: pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan latihan kerja, pendidikan kesetaraan serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fugsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional.

b. Filsafat dan Teori Pendidikan Nonformal

Berbicara tentang philosophy dan teori pendidikan nonformal, tidak terlepas dari pemahaman konsep tentang kegiatan belajar yang terjadi ditengah-tengah masyarakat atau dikenal dengan istilah

(36)

Masyarakat gemar belajar dapat menciptakan peluang pendidikan nonformal ditempat yang mudah dijangkau dengan cara-cara yang sesuai dengan; potensi, keterampilan dan kecakapan warga belajar serta sesuai dengan kebutuhan dalam kehidupannya. Meta-konsep ”educability” ini memungkinkan warga belajar lebih giat mencari informasi baru yang berkaitan dengan kepentingan hidupnya melalui media elektronika, media cetak, nara sumber, obyek langsung dan lainnya. Dengan konsep itu warga belajar dapat menambah pengetahuan dengan membaca buku, jurnal, surat kabar, majalah, menulis, dan menyampaikan informasi mengenai pengalaman kerjanya serta belajar berkelanjutan untuk memperkaya pengetahuan dan keterampilan, belajar memecahkan masalah dan meningkatkan kualitas kehidupan diri dan masyarakat (Mustofa kamil, 2009: 23-24).

Pendidikan nonformal selalu terkait dengan norma tertentu, fakta empiris pendidikan nonformal selalu sarat nilai dalam arti bahwa setiap fakta selalu ditafsirkan dengan mengacu pada norma tertentu serta dalam kontekstujuan tertentu. Sehubungan dengan itu Sutaryat trisnamansyah (1995: 3-4) dalam Mustofa Kamil (2009: 27-28) menyimpulkan bahwa:

(37)

2) Tujuan pendidikan nonformal yang ingin dicapai melalui interaksi tersebut terkandung makna pengembangan manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur , memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Secara lebih khusus tujuan itu juga mencakup; pelayanan terhadap warga belajar, pembinaan warga belajar dan memenuhi kebutuhan warga belajar dan masyarakat yang tidak terpenuhi melalui jalaur formal (sekolah). 2. Kajian Tentang Pemberdayaan Masyarakat

a. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat

Secara etimologis pemberdayaan berasal pada kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memilki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Ambar Teguh S, 2004:77).

Suparjan Hempri Suyatno mengatakan bahwa pembedayaan pada hakekatnya mencakup dua aspek yaitu to give or authority to

(38)

makna pemberdayaan ini Gunawan Sumadiningrat mengatakan bahwa Pemberdayaan yang kita maksud adalah memberi “daya” bukanlah “kekuasaan”. Empowerment dalam khasanah barat lebih bernuansa “pemberian kekuasaan dan kekuatan” dari pada ‘pemberdayaan” itu sendiri. Barangkali istilah yang paling tepat adalah “energize” atau katakan “memberi energi”. Pemberdayaan adalah memberi energi agar yang bersangkutan mampu untuk bergerak secara mandiri. (Sumadiningrat, 2000: 58).

(39)

Hempri Suyatno, 2003:44). Pemberdayaan masyarakat dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk memulihkan atau meningkatkan keberdayaan suatu komunitas agar mampu berbuat sesuai dengan harkat dan martabat mereka dalam melaksanakan hak–hak dan tanggung jawab mereka sebagai komunitas manusia dan warga negara. Tujuan akhir pemberdayaan masyarakat adalah pulihnya nilai – nilai manusia sesuai harkat dan martabatnya sebagai pribadi yang unik, merdeka dan mandiri. (1) unik dalam konteks kemajemukan manusia; (2)merdeka dari segala belenggu internal maupun eksternal termasuk belenggu keduniawian dan kemiskinan; (3) mandiri untuk mampu menjadi programer

(40)

b. Tujuan Pemberdayaan

Tujuan pemberdayaan masyarakat yaitu untuk membentuk individu dan masyarakat menjadi mandiri. Kemandirian tersebut meliputi kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan tesebut. Kemandirian masyarakat adalah merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan yang terdiri atas kemampuan kognitif, konatif, psikomotorik, afektif, dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut. Dengan demikian untuk menjadi mandiri perlu dukungan kemampuan berupa sumber daya manusia yang utuh dengan kondisi kognitif, konatif, psikomotorik dan afektif, dan sumber daya lainnya yang bersifat fisik-material (Ambar Teguh Sulistiyani, 2004:80).

(41)

diharapkan dapat diintervensi untuk mencapai keberdayaan dalam sikap dan perilaku. Kemampuan psikomotorik merupakan kecakapan keterampilan yang dimiliki masyarakat sebagai upaya pendukung masyarakat dalam rangka melakukan aktivitas pembangunan.

Jadi tujuan dari pemberdayaan masyarakat yaitu untuk memberikan kontribusi untuk mencapai kemandirian masyarakat yang diperlukan untuk menghadapi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Dan menjadikan masyarakat yang dapat mempergunakan daya kognitif, afektif serta psikomotorik yang dimilikinya untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi di lingkungan internal maupun eksternal masyarakat.

c. Prinsip-prinsip Pemberdayaan Masyarakat

Prinsip-prinsip pemberdayaan yang dapat digunakan sebagai panduan dalam upaya pemberdayaan masyarakat meliputi:

1) Prinsip Berkelompok

Kelompok tumbuh dari, oleh dan untuk kepentingan masyarakat. Selain dengan anggota kelompoknya sendiri, kerjasama juga dikembangkan antar kelompok dan mitra kerja lainnya agar usaha mereka berkembang, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan.

(42)

Seluruh kegiatan penumbuhan dan pengembangan diorientasikan pada terciptanya sistem dan mekanisme yang mendukung pemberdayaan masyarakat secara berkelanjutan. Berbagai kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang memiliki potensi untuk berlanjut dikemudian hari.

3) Prinsip Keswadayaan

Masyarakat diberi motivasi dan didorong untuk berusaha atas dasar kemauan dan kemampuan mereka sendiri dan tidak selalu tergantung pada bantuan dari luar.

4) Prinsip Kesatuan Keluarga

Masyarakat tumbuh dan berkembang sebagai satu kesatuan keluarga yang utuh. Kepala keluarga beserta anggota keluarga merupakan pemacu dan pemicu kemajuan. Prinsip ini menuntut para pendamping untuk memberdayakan seluruh anggota keluarga.

5) Prinsip Belajar Menemukan Sendiri

(43)

c. Tahap-tahap Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan sampai target masyarakat mampu untuk mandiri dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh dijaga agar tidak jatuh lagi. Ini berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Meskipun demikian dalam rangka menjaga kemandirian tersebut tetap dilakukan pemeliharaan semangat, kondisi dan kemampuan secara terus menerus supaya tidak mengalami kemunduran lagi (Sumodiningrat, 2000:48).

Pemberdayaan masyarakat dilaksanakan secara bertahap. Tahap-tahap yang harus dilalui tersebut adalah meliputi :

1) Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri.

2) Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan-keterampilan agar terbuka wawasan pengetahuannya. 3) Tahap peningkatan kemampuan intelektual,

kecakapan-keterampilan sehingga terbentuk inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada tahap kemandirian (Modul Pemberdayaan Masyarakat PNPM: 2011).

(44)

berupaya menciptakan prakondisi, supaya dapat memfasilitasi berlangsungnya proses pemberdayaan yang efektif. Sentuhan penyadaran akan lebih membuka keinginan dan kesadaran masyarakat tentang kondisinya saat ini dan dengan demikian akan dapat merangsang kesadaran mereka tentang perlunya memperbaiki kondisi untuk menciptakan masa depan yang lebih baik. Sentuhan rasa ini akan membawa kesadaran masyarakat bertumbuh, kemudian merangsang semangat kebangkitan mereka untuk meningkatkan kemampuan diri dan lingkungan. Dengan adanya semangat tersebut diharapkan dapat mengantar masyarakat untuk sampai pada kesadaran dan kemauan untuk belajar.

Pada tahap kedua yaitu proses tranformasi pengetahuan dan kecakapan-keterampilan dapat berlangsung baik, penuh semangat dan berjalan efektif jika tahap pertama telah terkondisi. Masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-keterampilan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi ketentuan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan keterampilan dasar yang mereka butuhkan.

(45)

masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi dan melakukan inovasi di dalam lingkungannya. Apabila masyarakat telah mencapai tahap ketiga ini maka masyarakat dapat secara mandiri melakukan pembangunan untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya.

d. Pendidikan Nonformal dalam Pemberdayaan Masyarakat

Kindervatter (1979) memberi peran secara jelas tentang pendidikan nonformal dalam rangka proses pemberdayaan (empowering prosses), peran pendidikan nonformal tidak saja mengubah individu, tetapi juga kelompok, organisasi dan masyarakat. Pendidikan nonformal sebagai proses pemberdayaan mengandung arti luas, yakni mencakup peningkatan pengetahuan, sikap, ketrampilan dan pengembangan kemmapuan lainnya kearah kemandirian hidup. Kindervatter (1979: 13) menjelaskan bahwa: peran pendidikan nonformal sebagai proses pemberdayaan didalamnya meliputi peningkatan dan perubahan sumberdaya manusia sehingga mampu membangun masyarakat dan lingkungannya. Labelle (1976) mengartikannya sebagai perubahan sosial (Mustofa Kamil, 2009: 54-55).

(46)

nonformal: 1) Pendekatan yang didasarkan kepada kebutuhan masyarakat. Artinya pendidikan nonformal senantiasa harus dikembangkan dan dibangun berdasarkan pada kebutuhan masyarakat. 2) Pendekatan dengan cara menggunakan dan menggali potensi yang dimiliki masyarakat setempat, 3) sikap yang perlu diciptakan pada setiap ornag atau setiap warga belajar agar percaya diri atau memiliki sikap mandiri. 4) Pendekatan yang memperhatikan dan mempertimbangkan aspek lingkungan.

3. Kajian Tentang Masyarakat Belajar (Learning Society) a. Konsep Learning Society

Pendidikan sepanjang hayat adalah landasan yang kuat untuk menumbuhkan masyarakat gemar belajar (learning society), pengertian learning society menurut faisal (1981) dalam Elia Tambunan (2008) bahwa:

Istilah Learning Society menunjuk pada kenyataan dimana warga msayarakat secara aktif memnggali pengalaman belajar didalam setiap sela dan segi kehidupannya. Dalam hubungan ini, bukan lagi warga masayrakat yang ditarik-tarik atau malah digiring-giring untuk mengikuti pendidi/kan suatu lebaga resmi (sekolah atau kursus-kursus) akan tetapi setiap warga masyarakat (yang gemar belajar, tentunya) secara sadar melakukan aktifitas belajar invidual mandiri (Faisal, 1981: 46).

(47)

untuk belajar menjadi (learning to be), belajar melakukan sendiri (learning to do), belajar untuk memahami bukan untuk mengetahui (learning to understand), belajar hidup bersama (learning to life together) saling diajar dan membelajarkan untuk trangformasi kebutuhan dan kehidupan. Belajar untuk perubahan masyarakat. Perubahan masyarakat untuk perubahan individu dengan sumberdaya belajar yang tersedia luas dimasyarakat.

Pendidikan sepanjang hayat merupakan landasan kuat untuk menumbuhkan masyarakat gemar belajar (Learning Society). Sesuai pendapat Cresson, (Sudjana, S, 2004), tahun 1996 merupakan tahun pengakuan terhadap penerapan azas belajar sepanjang hayat di Eropa. Sejak saat itu terdapat peningkatan kesadaran mengenai pentingnya belajar sepanjang hidup. Berbagai kegiatan dilakukan oleh 12 negara anggota Uni eropa dengan tujuan pokok tumbuhnya masyarakat belajar. Upaya-upaya itu adalah: 1) Merangsang perolehan pengetahuan baru oleh masyarakat 2) Mempersatukan sekolah dnegna sector usaha supaya keduanya lebih dekat 3) memerangi pendidikan yang eksklusif 4) meningkatkan kemampuan tiga bahasa bagi masyarakat dan 5) memperlakukan sama pentingnya terhadap investasi modal dan investasi pelatihan.

(48)

Jadi yang diciptakan dalam Learning Society adalah pertama, aktifitas belajar mandiri yang diarahkan oleh pembelajaran sendiri untuk menggali pengalaman dengan cara baru untuk perubahan system sosial. Kedua, membuadayakan gemar belajar di pusat-pusat belajar masyarakat entah lewat pendidikan formal, nonformal maupun informal. Masyarakat berorientasi pada belajar lebih dari sekedar pengajaran. Ketiga, membudayakan belajar bersama dengan masyarakat dimana saja dan kapan saja. Keempat, adalah menjadi teladan pembelajar dan saling menyuarakan belajar dalam setiap aktivitasnya.

(49)

kompetitif dalam suasana kooperatif, penuh persaudaraan dengan bangsa-bangsa lain dengan semangat kemanusiaan yang universal; (7) Terwujudnya tatanan masyarakat yang beradab yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan martabat manusia; (8) Mewujudkan masyarakat belajar yang tumbuh dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. (Pudji Mulyono, Learning Society, Penyuluhan, Dan pembangunan).

Dampaknya adalah keleluasaan masyarakat membangun kapasitasnya sejak usia prasekolah hingga orang dewasa, perubahan kualitas hidup masyarakat yang semakin baik, belajar sepanjang hidup, mengagungkan atau menomorsatukan belajar (triumph of learning) dengan berbagai cara. Dengan demikian. Learning Society

penting dianalisis sebagai pemikiran dan kesadaran baru tentang arti belajar dan masyarakat. Sehingga itu menjadi suatu kesadaran, kebiasaan dan budaya baru dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, tentang kesenangan belajar (Elia Tambunan, 2008). b. Pelaksanaan Learning Society

(50)

1) Masyarakat gemar belajar secara mandiri

Belajar mandiri dilakukan, diarahkan diri sendiri (self directed). Belajar menjadi diri sendiri tidak tergantung pada pengaruh luar. Belajar adalah belajar memikirkan cara yang baru menghadapi masalah. Belajar adalah proses transformasi untuk mengatasi perubahan diri sendiri dan perubahan masyarakat yang selalu terjadi. Belajar transformasi individu dilakukan lewat aktivitas kompleks yang melibatkan seluruh kehidupan. Belajar transformasi masyarakat dilakukan lewat interaksi dengan masyarakat lain dan tidak terpisah dari socio-cultral masyarakat. Perubahan belajar memampukan pembelajar mengatasi perubahan sosial, memperbaharui cara memahami sesuatu. Belajar kreatif merancang bentuk dan sisitem sosial yang baru. Laszlo and Laszlo (2000) dalam Elia Tambunan, (2009: 59).

Salah satu pertanda learning society adalah ketika tanggung jawab belajar dilakukan oleh setiap orang selama hidupnya. Adanya dorongan dan keberanian setiap orang belajar bertanggung jawab untuk belajar sendiri tidak mengharuskannya dipisahkan dari pendidikannya. Pembelajar dan belajar sendiri adalah satu bagian. 2) Masyarakat belajar di pusat-pusat belajar masyarakat

(51)

diantaranya, sekolah formal; TK, SD, SMP, SMA dan sekolah tinggi/universitas. Nonformal misalnya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), organisasi sosial kemasyarakatan keagamaan, pendidikan informal misalnya keluarga, rumah, masjid yang semua dituntut terbuka dan informal.

Salah satu pusat belajar di masyarakat secara informal misalnya masjid sebagai “model of learning communities”.

Sebagai pusat belajar, masjid adalah Salah satu pusat belajar di masyarakat secara informal misalnya masjid sebgai “model of learning communities”. Sebagai pusat belajar, masjid adalah lingkaran makna yang akan mempersatukan konfigurasi budaya umat islam, mempersatukan aspek-aspek budaya menjadi satuan yang koheren. Oleh karena kedudukan masjid sebagai pusat budaya dan kehidupan umat islam. (Kuntowijoyo, 2006) masjid berarti tempat untuk bersujud. Setiap masjid yang dibangun adalah milik umat Islam dan setiap muslim berhak beribadah di dalamnya, bukna hanya untuk golongan atau organisasi tertentu saja, meskipun mereka yang membangunnya.

Semua orang di dalam pusat-pusat belajar masyarakat saling belajar bersama sehingga masyarakat gemar belajar sepanjang hidup masyarakat. Miller (2000) berkata :

(52)

learning centre” as a seed for social and cultural renewal…but this society would no longer be obbessed with, or limited by, the mechanistic trappings of control and efficiency that for more than a century have made educational processes subservient to political and economic agenda, Miller, (2000),

Pendapat Miller mengarahkan belajar karena masyarakat selalu diarahkan dan didominasi oleh control politik dan agenda ekonomi. Tidak demikian pemahaman belajar di pusat-pusat belajar masyarakat. Politik dan agenda ekonomi diintegrasikan sebagia sumber atau hal yang harus dipelajari untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Alasan lain, individu dan masyarakat ada yang gemar belajar tentang hal itu bahkan yang lain.

Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan adanya pusat-pusat belajar di masyarakat yaitu:

a) Anak-anak, pemuda dan orang dewasa yang belajar di pusat-pusat belajar berkesempatan untuk berkembang. b) Pusat-pusat belajar memperluas pemilihan ahli yang

sesuai dengan pembelajar.

c) Anak-anak, pemuda dan orang dewasa yang belajar di pusat-pusat belajar berbagi tanggung jawab dengan yang lain.

(53)

e) Bagi orang tua yang bekerja diluar rumah atau pengasuh tunggal yang mengikut sertakan anaknya belajar dipusat-pusat belajar dapat terlibat tanpa harus bertanggung jawab penuh.

f) Anak-anak dapat mempelajari ketertarikannya terhadap orang dewasa.

g) Pusat-pusat belajar diciptakan dengan akses yang mudah. h) Pusat-pusat belajar memberi kesempatan untuk belajar

bersiosialisasi dan interaksi sosisal.

i) Pusat-pusat belajar meningkatkan kesempatan antara orangtua dan anak untuk belajar bersosialisasi dan interaksi sosial.

j) Pusat-pusat belajar menciptakan kesempatan menyatukan aktivitas belajar, berbicara di depan umum, proyek-proyek, demonstrasi pertunjukan atua perayaan sederhana.

Jennings, (2000) menjelaskan 9 tindakan yang mengarahkan setiap orang yang harus ada di dalam pusat-pusat belajar masyarakat yaitu :

(54)

mandiri sepanjang hidup, pemeliharaan kesehatan masyarakat dan mengatasi masalah masyarakat. Untuk itu pembelajaran berperspektif realis masyarakat . Di lembaga persekolahan misalnya, pembelajaran dikelola agar bagaimana murid guru bukan hanya belajar diajar bersama tetapi sampai mengalaminya sendiri, bukan hanya berkunjung dan mengobservasi, mengamati dan bertanya tentang masyarakat.

(2) Belajar pengalaman (learning experiences). Materi pembelajaran dihasilkan dan diarahkan untuk mengalami sendiri. Belajar dilakukan dengan benar-benar melakukan langsung. Bukan sebatas teori, sebatas tembok, ruang sekolah, sebatas kelompok belajar tetapi pengalaman luas. Misalnya pekerjaan-pekerjaan persekolahan diarahkan untuk belajar bersama dengan masyarakat.

(3) Mengobservasi (work by observing). Belajar dengan cara mengobservasi dengan penelitian tindakan atau penelitian keterlibatan langsung. Sehingga pembelajar benar mengalami langsung.

(55)

bagaimana untuk apa, apa manfaatnya bagi setiap orang atau bagi masyarakat. Apa yang sangat sesuai dengan kebutuhannya.

(5) Fasilitator belajar, (fasilitators of learning). Semua orang, tempat, lembaga, ruang, situasi, benda dan alam semesta menjadi fasilitas belajar yang saling membangun.

(6) Tidak terpusat (desentralized). Keputusan, kebijakan, penganggaran dan semua berpusat dari pembelajaran bukan pengaruh atau dominasi luar.

(7) Merelokasi dan mengembangkan sumber belajar (realocate or redeploy resources). Belajar bukan sebatas aktifitas atau pemanfaatan tetapi belajar adalah kegemaran yang menyenangkan dan semua sumber belajar terus dikembangkan bukan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan pembelajar. Tetapi sama-sama berkembang saling melengkapi.

(56)

Bahkan hasil belajar untuk memajukan teknologi dan pembelajar. Staff yang terlibat saling belajar dari teknologi dan pembelajar lainnya.

(9) Persahabatan (partnerships). Persahabatan antar pemerintah, umum lembaga, swasta, pribadi. Bukan sebatas kerjasama dan kolaborasi. Tetapi upaya untuk membangun kegemaran belajar bersama dengan masyarakat.(Elia Tambunan, 2008 : 65-71)

3) Masyarakat belajar saling belajar bersama masyarakat

Sudah saatnya setiap orang harus belajar dengan masyarakat bukan lagi hanya pendidikan atau belajar berbasis masyarakat yang sering dianggap :

“Pendidikan bertumpu pada prinsip “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat….masyarakat ditempatkan sebagai subjek/pelaku pendidikan, bukan objek pendidikan…masyarakat dituntut peran dan partisipasi efektifnya dalam setiap program pendidikan…masyarakat diikutsertakan, dalam semua program yang dirancang untuk menjawab kebutuhan mereka, (Zubaedi, 2006: 131) dalam Elia tambunan :71)

(57)

atau playgroup, taman kanak-kanak adalah tanggung jawab guru dan administrasi pendidikan. Pendidikan seorang anak sebagai awal dari tanggung jawabnya yang diarahkan dan asuhan oleh orang tua atau pendampingan orang dewasa lainnya. Sehingga, setiap orang telah diseret masuk ke sekolah. Hal ini menyebabkan sekolah menguasai, tak tertandingi dan mahakuasa. Rumah dan masyarakat dianggap tidak membelajarkan. (Suzuki 2000, Elia Tambunan, 2009).

Masyarakat belajar saling belajar bersama tidak lagi dilihat sebagai pesiapan untuk hidup, tetapi belajar selagi masih hidup dan hidup berada ditengah belajar. Belajar dan kehidupan sejajar saling mendukung. Saling menginformasikan dalam seluruh konteks kehidupan. Belajar dalam hidup dan hidup dalam belajar dalam seluruh kehidupan manusia.

4) Masyarakat belajar menjadi teladan pembelajar

(58)

seorangpun yang dapat menyangkal kenyataan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat. Ia selalu berhubungan dengan manusia-manusia lain.

c. Learning Society Sebagai Proses Pemberdayaan

Mewujudkan masyarakat belajar (learning society) adalah juga sebuah proses pemberdayaan yang harus terus menerus dilakukan. Proses pemberdayaan tersebut mencakup proses merubah sikap dan perilaku budaya dari masyarakat yang tidak gemar belajar menjadi masyarakat yang gemar belajar (learning society). Belajar merupakan proses interaksi terus menerus antara pembelajar dengan suatu sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Pembelajar yang berhasil, dapat dikatakan bahwa ia telah sukses memberdayakan dirirnya menjadi lebih unggul dibanding sebelumnya.

Konsep pemberdayaan dalam kaitannya dengan mewujudkan

(59)

luas untuk pertumbuhan yang berkelanjutan. Pemberdayaan dalam perwujudan masyarakat pembelajar secara otomatis menumbuhkan daya keunggulan seorang pembelajar melalui pengetahuan yang diserapnya selama proses pembelajaran. Dalam kerangka pemikiran demikian, upaya pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat pembelajar (learning society) dapat dilihat dari tiga sisi (Kartasasmita, 1997: 5, Ace Suryadi, 2009: 25), yakni: a) menciptakan suasana dan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Artinya tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. b) memperkuat daya atau potensi yang dimiliki. Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah positif, selain menciptakan iklim dan suasana. Langkah tersebut antara lain; menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang yang akan membuat masyarakat yang kurang berdaya sangat diperlukan. c) memberdayakan mengandung arti pula melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dapat dicegah yang lemah semakin lemah, tetapi diberi dorongan agar yang lemah mempunyai kekuatan. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi diri dari interaksi dengan lingkungan baik internal maupun eksternal.

(60)

pemberdayaan yang diarahkan untuk kepentingan hidup ekonomi masyarakat menjadi penting dilaksanakan. Konsep pemberdayaan dilihat dari pendekatan dalam proses pemberdayaan antara lain: melalui self reliance yaitu pendekatan dengan berorientasi pada terciptanya rasa mampu diri, percaya pada diri sendiri dan mandiri. Kidervatter (1974: 46) mengemukakan bahwa pendekatan pendidikan nonformal sebagai proses pemberdayaan meliputi: pendekatan berdasarkan kebutuhan (need oriented), pendekatan berdasarkan keadaan setempat (indigeous), pendekatan berdasarkan terciptanya rasa percaya diri dan kemandirian (self reliant), pendekatan yang mengutamakan aspek lingkungan (ecological sound), pendekatan yang berorientasi transformasi struktural (based on structural transformation).

(61)

Dalam posisi ini, pemberdayaan masyarakat melalui perwujudan masyarakat belajar adalah proses mengangkat harkat dan martabat seseorang atau kelompok masyarakat menjadi memiliki pengetahuan yang didapatnya melalui proses pembelajaran. Pengetahuan ini kemudian mengubah perilakunya dan difungsikan dalam kehidupan sehari-hari. Mewujudkan masyarakat gemar belajar merupakan suatu bentuk kegiatan budaya maka untuk mengubah perilaku tersebut membutuhkan suatu perubahan budaya atau perubahan tingkah laku dari anggota masyarakat. Perubahan budaya tersebut salah satunya dapat dilakukan melalui pendidikan nonformal.

4. Kajian Teori Tentang Masjid a. Pengertian Masjid

Masjid dari segi bahasa berasal dari asal kata “Sajada Yasjudu-Sujuudan” yang berarti patuh, taat, tunduk, hormat. Hal ini tergambar dalam gerakan, meletakkan dahi, kedua tangan, lutut dan kaki ke tanah sebagai lambang ketundukkan sepenuhnya kepada Allah, bangunan tempat ibadah kaum muslimin itu dinamakan “masjid”. Masjid dapat diartikan sebagai tempat mengekspresikan ketundukan, ketaatan dan penghormatan kepada sang pencipta. (Muhammad Jazir: 1) .

(62)

yang paling nyata dari makna-makna diatas. Itulah sebabnya mengapa bangunan yang dikhususkan untuk melaksanakan shalat dianami masjid, yang artinya “tempat bersujud” (Quraish shihab, 2007: 606).

Masjid merupakan suatu bangunan yang didirikan untuk tempat beribadah kepada Allah SWT, khususnya untuk mengerjakan salat lima waktu, salat jum’at, dan ibadah lainnya, juga digunakan untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama, perniagaan dan kegiatan yang bersifat sosial. Masjid merupakan sarana yang sangat penting dan strategis untuk membangun kualitas umat (masyarakat) (Quraish Shihab. 2007: 611).

Dari pengertian-pengertian diatas maka dapat disimpulkan bahwa masjid dapat diartikan sebagai suatu bangunan yang didirikan untuk mengekspresikan ketundukan, ketaatan dan penghormatan kepada sang pencipta, juga digunakan untuk kegiatan syiar Islam, pendidikan agama, perniagaan dan kegiatan yang bersifat sosial, sarana untuk membangun kualitas dan kuantitas masyarakat.

b. Fungsi dan Peran Masjid

(63)

tempat salat saja, tetapi juga sebagai pusat kegiatan sosial kemasyarakatan.

Quraish Shihab dalam bukunya wawasan alquran dalam bab mengenai Masjid menyebutkan beberapa fungsi Masjid sebagaimana di contohkan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu :

1) Tempat ibadah (salat dan zikir),

2) Tempat konsultasi dan komunikasi ( masalah sosial, ekonomi dan budaya),

3) Tempat pendidikan, 4) Tempat santunan sosial,

5) Tempat latihan ketrampilan militer dan persiapan alat-alatnya,

6) Tempat pengobatan para korban perang, 7) Tempat perdamaian dan pengadilan sengketa, 8) Aula dan tempat menerima tamu,

9) Tempat menawan tahanan dan,

10) Pusat penerangan atau pembelaan agama.

Sedangkan menurut Moh. E. Ayub (1997) dalam Umar Said (2005) mengemukakan paling sedikit ada sembilan fungsi yang dapat diperankan oleh masjid dalam rangka pemberdayaan masyarakat, yakni:

1) Masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

(64)

3) Masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat.

4) Masjid adalah tempat berkonsultasi mengajukan kesulitan-kesulitan meminta bantuan dan pertolongan.

5) Masjid adalah tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan gotong royong untuk meningkatkan kesejahteraan bersama. 6) Masjid dengan Majlis Ta’limnya merupakan wahana untuk

meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan.

7) Masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pemimpin umat.

8) Masjid adalah tempat menghimpun dana, menyimpan dan membagikannya.

9) Masjid adalah tempat melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa masjid merupakan pusat ibadah dalam pengertian yang luas yang mencakup juga kegiatan-kegiatan sosial, politik, budaya serta ekonomi hingga kesehatan dan kegiatan yang memang ditujukan untuk mencapai kesejahteraan umat (masyarakat). Fakta historis menyatakan bahwa para Nabi dan Rasul mendidik umatnya melalui institusi pendidikan nonformal dengan hasil yang gemilang.

(65)

has been the centre of all activities. It was the place from which the prophet, and caliphs after him, managed affairs of state, it also served as the centre for the education of the Muslim Community” (Suprayetno, 2010).

Masjid dapat di fungsikan kembali sebagai institusi pendidikan nonformal sebagai upaya untuk menciptakan sumber daya manusia Muslim yang handal. Revolusi ilmu pengetahuan dan teknologi, derasnya arus informasi, dan faktor-faktor sosial ekonomi lainnya, telah banyak mengubah sistem pendidikan di dunia, dan memaksa manusia untuk menggunakan sejumlah besar sektor pendidikan nonformal, sebab pendidikan formal ternyata tidak mampu menampung seluruh aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Jika pendidikan telah diterima sebagai dan semakin menjadi kebutuhan pokok setiap individu, maka pendidikan bukan saja harus dikembangkan, diperkaya, dan dilipat gandakan tetapi juga harus ditingkatkan dengan memperluas fungsinya sampai kepada dimensi masyarakat secara keseluruhan (http://www.scribd.com).

(66)

pendidikan nonformal dalam usaha mencapai masyarakat Islam yang tidak saja bertaqwa, melainkan juga dinamis dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. Tentu saja usaha pendidikan ini harus dianekaragamkan sesuai dengan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Sebab bagaimanapun setiap sistem pendidikan merupakan komponen dari lingkungan tempat kelompok individu hidup, dan ia turut membentuk metode, isi dan program pendidikan.

c. Organisasi Masjid

Struktur organisasi Masjid adalah susunan unit-unit kerja yang saling berhubungan satu sama lainnya. Masing-masing unit mempunyai fungsi yang berbeda, tetapi dihubungkan dengan garis koordinasi. Adanya koordinasi inilah yang menyebabkan antar unit kerja menjadi satu kesatuan.

Biasanya struktur organisasi digambarkan dalam sebuah bagan organisasi yang menggambarkan masing-masing unit kerja dan hubunganya. Tentang bentuk bagan organisasi ini biasanya ditentukan berdasarkan kebutuhan (tujuan program) dari tiap-tiap masjid.

(67)

pengerahan (directing), pengawasan (controlling) dan komunikasi (communication).

Dalam pengelolaan masjid, pengelola disebut sebagai takmir. Ada beberapa unsur dalam takmir masjid yakni:

1) Imam masjid

Imam masjid bertugas memimpin dan mengorganisasikan kegiatan pengurus masjid dalam melaksanakan tugasnya, mengawasi program kerja, memimpin evaluasi atas pelaksanaan kerja.

2) Manajer dan tata usaha

Dalam sebuah organisasi bagian manajerial dan tata usaha biasanya terdiri dari sekretaris dan bendahara. Tugas bagian ini diantaranya adalah mewakili ketua dan wakil ketua jika keduanya berhalangan dalam melaksanakan tugas. Bertanggung jawab terhadap segala bentuk administrasi masjid dan melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugas-tugasnya. Mengelola keuangan masjid, merencanakan sumber dana masjid, menerima, menyimpan dan membukukan keuangan,menyimpan tanda bukti penerimaan dan pengeluaran, serta membuat laporan keuangan rutin.

(68)

Bagian operasional biasa terdiri dari bagian yang mengurusi bidang pendidikan, sosial dan usaha (Abu Bakar, 2007: 24). d. Potensi Dana Masjid

Tidak sedikit potensi dana yang bisa digali oleh suatu masjid. Jumlah umat Islam yang besar tentu bisa menghasilkan dana yang besar pula. Berikut uraian yang dapat digali oleh masjid:

1) Zakat

Dalam ajaran agama Islam. Setiap pemeluknya wajib membayar zakat. Zakat merupakan pajak tahunan bercorak khusus yang berasal dari harta bersih seseorang Muslim. Zakat dipungut terutama untuk pemerataan dan jaminan sosial dalam masyarakat Islam. Semua jenis harta – termasuk tabungan- yang terus bertambah setiap tahunnya akan dikenai zakat. Sedangkan besar kecilnya pesentasenya telah ditentukan sesuai hukum Islam.

(69)

Pada perkembangannya, pembayaran maupun distribusi zakat yang dulunya lebih sering dikelola sendiri. Kini masyarakat banyak yeng mempercayakannya pada badan zakat atau masjid. Karena kedua institusi tersebut dianggap akan lebih memeratakan pemanfaatan zakat. 2) Infak atau Sedekah

Berbeda dengan zakat yang wajib hukumnya, infak merupakan pemberian yang bersifat sukarela. Biasanya, infak ditetapkan oleh pengurus masjid guna pembangunan/pengembangan masjid. Besarnya pun bervariasi, sesuai dengan kemampuan masing-masing individu. Jika masjid dapat mengelola infak/sedekah dengan baik, maka tiap masjid akan memiliki baitul maal

yang akan banyak sekali manfaatnya. 3) Wakaf

Dalam sejarah Islam, wakaf memegang peranan penting, baik dalam pembangunan tempat-tempat ibadah maupun fasilitas umum (sekolah, rumah sakit, dan lain lain). Tentang jumlah yang diwakafkan tidak ada batasnya, bisa beratus-ratus hektar atau hanya satu meter persegi.

(70)

bisa menjadi potensi ekonomi yang memungkinkan seluruh umat Islam bisa hidup dengan berkecukupan. Disinilah peran masjid sebagai salah satu tempat yang bisa menerima harta wakaf, memegang peran kunci.

B. Kerangka Berfikir

Proses pemberdayaan Sumber Daya Manusia (SDM) harus selalu dilakukan demi menyelaraskan adanya ketersediaan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlimpah di negeri kita ini. Pemberdayaan SDA dilakukan diantaranya melalui Pendidikan.

(71)

penyengggara pendidikan nonformal hanya mengandalkan perintah dari pemerintah. Oleh karena itu seringkali terdapat program pendidikan yang mati suri (berhenti jika dana sudah habis dan dapat berjalan kembali jika mendapat suntikan dana), bahkan ada yang kemudian mati sama sekali karena tidak ada dana untuk melanjutkan. Hal-hal tersebut membuat kredibilitas pendidikan nonformal dipertanyakan.

Sesungguhnya pendidikan nonformal sendiri sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Pendidikan nonformal dapat melengkapi, menambah dan atau mengganti fungsi jalur pendidikan lainnya. Dengan adanya permasalahan tersebut dan kesadaran akan potensi yang dapat digali dalam pendidikan nonformal seluruh penggerak pendidikan nonformal tertantang untuk senantiasa mengembangkan diri dan bertindak lebih kreatif. Diantaranya adalah dengan mengadakan pendidikan nonformal yang lebih terintegrasi dengan kehidupan masyarakat. Salah satu yang kini sedang berkembang pesat adalah penyelenggaraan pendidikan nonformal berbasis keagamaan.

(72)

masjid juga merupakan institusi sosial tempat kepedulian sosial, distribusi kekayaan dan kebersamaan manusia dibangun demi terciptanya kesejahteraan bangsa pada umumnya dan masyarakat Islam khususnya. Sayangnya potensi ini belum tergarap dengan baik. Masih banyak kendala yang dihadapi oleh pengelola masjid, diantaranya adalah masalah sumber daya manusia dan manajemen.

Proses pemberdayaan membutuhkan wadah di mana masyarakat dapat berkumpul untuk saling menyatukan pikiran dan mengembangkan diri secara nyaman dan dinamis. Masjid yang merupakan salah satu institusi kemasyarakatan agama Islam yang merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk negara Indonesia tentunya dapat dijadikan wadah yang prospektif bagi perkembangan proses pemberdayaan.

(73)

Selain itu masjid Jogokariyan telah mampu menciptakan

learning society dalam lingkungan jamaahnya. hal tersebut dapat dilihat dari program dan pelaksanaan kegiatan pengurus masjid Jogokariyan sangat responsif terhadap perkembangan masyarakat, sehingga mampu menarik masyarakat untuk turut serta dalam pemakmuran masjid, disisi lain masyarakat pun turut belajar untuk mengembangkan diri dan masyarakat disekitarnya.

Masjid Jogokariyan tidak hanya menjadi wadah belajar bagi masyarakat sekitarnya, bahkan mampu membawa perubahan kepada masyarakat dari segi budaya, maupun perekonomian. Dengan itu masjid Jogokariyan dapat dikatakan telah turut serta dalam upaya pemberdayaan masyarakat menuju masyarakat belajar (learning society ). Karena learning society

merupakan sebuah proses pemberdayaan. Proses pemberdayaan tersebut mencakup proses merubah sikap dan perilaku budaya dari masyarakat yang tidak gemar belajar menjadi masyarakat gemar belajar (learning society ).

(74)

C. Pertanyaan Penelitian

Untuk mengarahkan penelitian yang dilaksanakan agar dapat memperoleh hasil yang optimal, maka perlu adanya pertanyaan penelitian antara lain:

1. Siapakah pelaksana pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal (Nonformal Education) menuju masyarakat belajar (learning society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?

2. Dimanakah proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal dilaksanakan?

3. Kapan proses pemberdayaan masyarakat melalui pendidikan nonformal dilaksanakan?

4. Bagaimana upaya Masjid Jogokariyan dalam proses pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal menuju masyarakat belajar (learning society)?

5. Siapa saja yang menjadi sasaran dalam pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal menuju masyarakat belajar (learning society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?

(75)

7. Apa dampak pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal menuju masyarakat belajar (learning society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta?  

8. Apa saja faktor pendukung dalam pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal menuju masyarakat belajar

(learning society) di Masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta? 

9. Apa saja faktor penghambat dalam pemberdayaan masyarakat melalui Pendidikan Nonformal menuju masyarakat belajar

(76)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah adalah pendekatan kualitatif dan metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian deskriptif. Sifat data yang ditampilkan adalah data kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskripsi berupa kata-kata tertulis dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Beberapa karakteristik utama penelitian ini adalah bahwa sumber data ialah yang wajar, peneliti sebagai instrumen penelitian, mencari makna sejauh kejadian atau peristiwa atau sebagainya (Moleong, 2008: 3).

Penelitian kualitatif pada hakekatnya ialah mengamati orang dan lingkungan hidupnya berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya (Nasution, 2006: 5).

(77)

masyarakat belajar (learning society) di masjid Jogokariyan, serta apasaja faktor pendukung dan penghambatnya.

B. Setting Penelitian

Setting penelitian yang ditetapkan dalam penelitian ini adalah masjid Jogokariyan Mantrijeron Yogyakarta dengan alasan sebagi berikut :

a. Masjid Jogokariyan adalah salah satu institusi yang bergerak dibidang pemberdayaan masyarakat.

b. Letak masjid Jogokariyan strategis sehingga memudahkan akses penelitian

c. Keterbukaan dari pihak masjid Jogokariyan sehingga memungkinkan lancarnya dalam memperoleh informasi atau data yang berkaitan dengan penelitian.

C. Subyek Peneliti

(78)

Gambar

Tabel 1 Teknik Pengumpul Data
  Gambar 1. Susunan Pengurus (Takmir) Jogokariyan
Tabel 2
Tabel 3 Bangunan Masjid Jogokariyan
+5

Referensi

Dokumen terkait