• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (ULTRA VIRES).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (ULTRA VIRES)."

Copied!
67
0
0

Teks penuh

(1)

i

AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI

YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (

ULTRA

VIRES

)

I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum

pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

iii

SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 MARET 2016

Pembimbing I

Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U NIP. 19560419 198303 1 003

Pembimbing II

(4)

iv

Panitia Penguji Skripsi

Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana

Nomor : 119/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 04 April 2016

Ketua : Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U (...) NIP. 19560419 198303 1 003

Sekretaris : I Nyoman Darmadha, S.H, M.H (...)

NIP. 19541231 198103 1 003

Anggota : 1. Ngakan Ketut Dunia, S.H, M.Hum (...) NIP. 19520104 198003 1 001

2. Ida Bagus Putra Atmadja, S.H, M.H (...) NIP. 19541231 198303 1 018

(5)

v

Esa karena atas rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui Anggaran Dasar (Ultra Vires)” dapat terselesaikan. Selain tujuan membuat skripsi ini untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Udayana, penulis juga merasa

bangga karena melalui skripsi ini dapat memberikan sebuah karya tulis bagi seluruh

civitas academica Universitas Udayana.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan

yang dialami dan tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan dari berbagai pihak

secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena demikian, izinkan penulis

dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H, M.Hum, Dekan Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

2. Bapak Dr. Gede Made Swardhana, S.H, M.H, Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Udayana.

3. Bapak Dr. Ni Ketut Sri Utari S.H, M.H, Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Udayana.

4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H, M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Udayana.

5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H, M.H, Ketua Bagian Hukum Bisnis

Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai Pembimbing

Akademik penulis yang telah memberikan bimbingan kepada penulis

(6)

vi

dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam

menyusun skripsi ini.

7. Bapak I Nyoman Darmadha, S.H, M.H, Dosen Pembimbing II yang

dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam

menyusun skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Pengajar, terutama Dosen Bidang Hukum Bisnis di

Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan wawasan

keilmuan kepada penulis.

9. Seluruh Staff Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha

Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan

selama penulis mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

10.Bapak I Nengah Suandra, S.H dan Ibu Ni Ketut Suci Anggreni, kedua

orang tua penulis yang sangat penulis hormati yang selama ini telah

memberikan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti serta seluruh

keluarga besar penulis yang selama ini mendukung penulis selama

penyusunan skripsi ini.

11.Bapak Ida Bagus Made Parwata, S.E, M.Si, Kepala Badan Penanaman

Modal dan Perizinan Provinsi Bali yang telah memberikan bantuan

kepada penulis dengan menugaskan Staffnya menerbitkan izin

(7)

vii

Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali yang telah memberikan

bantuan kepada penulis dengan menugaskan Staffnya, yaitu Kepala Seksi

Pelayanan dan Badan Hukum Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Provinsi Bali untuk memberikan informasi yang penulis

perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

13.Bapak I Nengah Taman, S.Sos, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik

dan Perlindungan Masyarakat (KESBANGPOLINMAS) Kabupaten

Karangasem yang telah memberikan bantuan kepada penulis dengan

menugaskan Staffnya menerbitkan izin rekomendasi sebagai landasan

untuk melakukan penelitian di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Kabupaten Karangasem.

14.Bapak I Nengah Mindra, S.E, M.M, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha

Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem yang telah menugaskan

Staffnya, yaitu Kepala Seksi Bina Usaha Koperasi Dinas Koperasi Usaha

Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem untuk memberikan

informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.

15.Rekan-rekan di Asian Law Student’s Association Local Chapter

Universitas Udayana, terutama rekan-rekan di Public Relation Division

selama periode kepengurusan tahun 2014-2015 yang saling mendukung

serta tidak pernah berhenti memberikan motivasi kepada penulis untuk

(8)

viii

17.Rekan-rekan di Fakultas Hukum Universitas Udayana, khususnya

Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2012 yang telah mendukung

penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas

Udayana.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna sehingga dengan

demikian maka penulis dengan terbuka mengharapkan adanya kritik dan saran yang

membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca

dan menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan secara

akademis.

Denpasar, 21 Maret 2016

(9)

ix

ini merupakan hasil karya penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk

memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang

pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau

diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan

disebutkan dalam daftar pustaka.

Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan

duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja

mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka

penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.

Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah

tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.

Denpasar, 21 Maret 2016

Yang Menyatakan,

I Gede Parama Iswara

(10)

x

HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii

HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv

KATA PENGANTAR ... v

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

ABSTRAK ... xiii

ABSTRACT ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9

1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11

1.5 Tujuan Penelitian ... 13

1.5.1 Tujuan umum ... 13

1.5.2 Tujuan khusus ... 14

1.6 Manfaat Penelitian ... 14

1.6.1 Manfaat teoritis ... 14

1.6.2 Manfaat praktis ... 14

1.7 Landasan Teoritis ... 15

(11)

xi

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 29

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum... 29

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOPERASI DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR KOPERASI 2.1 Koperasi ... 31

2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum ... 31

2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi ... 31

2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia ... 33

2.2.1 Zaman penjajahan Belanda ... 33

2.2.2 Zaman penjajahan Jepang ... 36

2.2.3 Zaman pembangunan atau kemerdekaan ... 38

2.2.4 Zaman orde baru ... 40

2.2.5 Zaman reformasi ... 42

2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Koperasi ... 45

2.3.1 Asas koperasi ... 45

2.3.2 Keanggotaan ... 45

2.3.3 Struktur organisasi koperasi ... 47

(12)

xii

3.1 Perbandingan Konsep Ultra Vires dengan Perbuatan Melawan

Hukum (Onrechtmatigedaad) ... 54

3.2 Ultra Vires Sebagai Konsep Tindakan Pengurus Koperasi Yang

Melampaui Anggaran Dasar ... 65

3.3 Dasar Hukum Penerapan Konsep Ultra Vires Dalam UU

Perkoperasiaan Tahun 1992 dan Anggaran Dasar KKM... 74

BAB IV UPAYA RAPAT ANGGOTA DALAM MELAKUKAN

PEMULIHAN ATAS TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG

MELAMPAUI ANGGARAN DASAR

4.1 Keabsahan Rapat Anggota ... 77

4.2 Peluang Pemulihan Tindakan Pengurus Koperasi Yang Melampaui

Anggaran Dasar Oleh Rapat Anggota ... 80

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan ... 99

5.2 Saran-Saran ... 100

(13)

xiii

Cooperatieve Alliance (ICA) dimana dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi menjadi suatu gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi dinyatakan sebagai the third way atau jalan ketiga dimana maksud dari ungkapan the third way atau jalan ketiga tersebut adalah koperasi difungsikan sebagai sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme.

Dalam pengelolaan koperasi tidak menutup kemungkinan pengurus koperasi melakukan tindakan yang melampaui anggaran dasar oleh karena pengurus koperasi bertanggung jawab penuh atas pengurusan koperasi sehingga memiliki peluang untuk melakukannya. Tindakan melampaui anggaran dasar ini serupa dengan ultra vires

yang pada umumnya dikenal dalam lingkup Perseroan Terbatas dan dapat merugikan pihak ketiga yang berperan dalam menunjang kelangsungan usaha koperasi. Oleh karena demikian pihak ketiga tersebut sangat membutuhkan perlindungan hukum, akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan tidak mengaturnya secara jelas. Bertumpu pada istilah ultra vires

tersebut maka yang menjadi persoalan adalah apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires dan bagaimana akibat hukum atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar tersebut ?

Untuk mendapatkan jawaban dan menguraikan masalah yang dibahas maka jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang dianalisis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang pengumpulannya dilakukan dengan teknik studi dokumen ditunjang dengan data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang perkoperasiaan. Bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi.

Hasil yang diperoleh adalah bahwa tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires karena istilah ultra vires sering disebut sebagai doktrin dimana konsekuensi dari doktrin adalah menciptakan dasar-dasar yang sifatnya umum sehingga dengan demikian konsep ultra vires dikenal pula dalam lingkup badan hukum koperasi disamping dikenal secara umum dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Kemudian akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar adalah rapat anggota dapat melakukan ratifikasi atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dengan catatan tindakan melampaui anggaran dasar yang diratifikasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan kebiasaan yang terjadi dalam praktek dunia usaha. Langkah ratifikasi ini didukung dengan upaya pemberian ganti rugi yang dikenal dengan substitution.

(14)

xiv

formation of cooperative into an international movement. In discourse of world economic system the cooperative declared as third way, cooperative is functioned as a economic system that serves as a mediator between capitalism and socalism economic system.

The cooperative administrator can act beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative because hold full responsible cooperative management. That act is similar with ultra vires commonly known in corporate limited veil. Ultra vires may damage to the third party that hold significant role for the business of the cooperative. There is no clear and specific certain provisions concerning ultra vires in Indonesia Cooperative Act (Act of 1992 Number 25 about Cooperative). Therefore its legal problems emerged are about the terminology of cooperative administrator act that beyond the scope of powers and remedial means for the third party’s damages.

This research is designed as a normative legal research that employs three kind approach namely the statute approach, the analitical and conceptual approach, and the comparative approach. The legal materials are collected through the library research and support by interview with the parties that competent in cooperative. The legal materials also employs five kind technic of legal analysis like description, evaluation, argumentation, construction and systematization technic.

Beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative act that did by cooperative administrator can be defined as ultra vires act because ultra vires terminology is known as doctrine which consequention the doctrine is invent common based so that the ultra vires concept is also known in cooperative legal entity beside in limited corporate legal entity and meeting members can ratificate that act according not against the statute, decency, and custom in exertion practice. The ratification can be implemented through the process of substitutions.

(15)

1

1.1 Latar Belakang

Sejarah koperasi di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah

koperasi di dunia. Sejarah lahirnya koperasi di dunia untuk pertama

kalinya disebabkan oleh karena bergulirnya Revolusi Industri di Inggris.

Revolusi Industri di Inggris sebenarnya dimulai bukan pada saat terjadi

penemuan mesin industri pertama kali, yaitu mesin pintal oleh R.

Hargreaves pada tahun 1764 melainkan telah dimulai dalam bentuk

pemikiran-pemikiran yang mendalam dan kegiatan-kegiatan ilmiah di

bidang teknik dan perekonomian yang dilakukan pada abad ke-16 dan

abad ke-17.

Khusus pembahasan pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan

ilmiah di bidang perekonomian bahwa pemikiran-pemikiran dan

kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang perkonomian tersebut termasuk pula mencakup

gagasan dasar berkoperasi. Gagasan dasar berkoperasi tersebut untuk

pertama kali dicetuskan dalam bentuk pamflet pada tahun 1759 di Inggris.

Yang mencetuskan gagasan dasar berkoperasi tersebut adalah seorang

keturunan Belanda, yang bernama Pieter Corneliszoon Plockboy dengan

gagasan yang berjudul Self Supporting Colony dan seorang berkebangsaan

Inggris, yang bernama John Beller dengan gagasan yang berjudul Society

(16)

Pamflet tersebut berisi anjuran dan ajakan untuk menyatukan

konsumen dan petani dalam satu perkumpulan dengan rasa secara

sukarela, berdasarkan demokrasi, dengan persamaan derajat, self help1 dan

mutual aid2 dimana tujuannya yang utama pada waktu itu adalah untuk

meniadakan tengkulak. Pemikiran inilah yang merupakan benih untuk

mewujudkan koperasi.

Tepat pada tanggal 12 Desember 1844, terdapat koperasi modern

yang pertama kali didirikan dimana koperasi tersebut adalah koperasi

Rochdale yang terletak di Inggris. Pendirian koperasi Rochdale tersebut

diilhami oleh pemikiran Robert Owen. Walaupun pendirian koperasi

Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen, koperasi

Rochdale tidaklah diketuai oleh Robert Owen melainkan oleh Charles

Howard. Lebih dari separuh pendiri koperasi Rochdale adalah penganut

aliran sosialisme owen (Owenite Socialist) yang memiliki latar belakang

berbeda-beda, diantaranya ada politikus, buruh, dan pemuka agama.

Para pendiri koperasi Rochdale tersebut berusaha untuk

menyatukan ide-ide mereka ke dalam satu pemikiran yang utuh sehingga

pemikiran inilah yang kemudian menjadi prinsip-prinsip atau sendi-sendi

1 Self help is the act of helping or improving yourself without relying on anyone else. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa self help adalah tindakan untuk menolong diri sendiri tanpa melanggar kepentingan orang lain. Lihat Anonim, Tanpa Tahun, “Definisi Self

Help”, URL:http://m.artikata.com/arti-293960-selfhelp.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2016. 2 Mutual aid is arrangements made between nations to assist each other. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mutual aid adalah persetujuan di antara bangsa-bangsa untuk memberikan pertolongan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Lihat

(17)

dasar koperasi.3 Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar koperasi tersebut

diantaranya adalah koperasi sebagai landasan kegiatan usaha sebagai

protes terhadap kemelaratan, ketidakadilan, dan terhadap tidak adanya

kesamaan hak. Koperasi ini menumbuhkan kerja sama di antara sesama

anggotanya sehingga tujuan utamanya adalah saling tolong menolong.

Selanjutnya pada tahun 1896 di London, Inggris terbentuklah

International Cooperative Alliance (selanjutnya disebut ICA) dimana

dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi telah menjadi suatu

gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi

disebut juga sebagai the third way atau jalan ketiga. Istilah the third way

tersebut dipopulerkan oleh seorang sosiolog Inggris, yaitu Anthony

Giddens dimana Beliau menyatakan bahwa koperasi pada hakikatnya

merupakan sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara

sistem ekonomi kapitalisme4 dan sistem ekonomi sosialisme5.

Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi bertujuan untuk

memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada

3Ima Suwandi, 1982, Koperasi : Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 23

4 Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Dengan demikian semua proses dalam kehidupan manusia bersumber dari pengelolaan modal baik itu modal milik perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berarti dalam semua aktivitas kehidupan ekonomi membutuhkan modal. Dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka pemilik modal berupaya untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal.

(18)

umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam

rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Hal ini

sesuai dengan landasan konstitusionalitas Indonesia, yaitu

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD

NRI 1945).

Mengingat sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan

UUD NRI 1945 yang antara lain disebutkan bahwa negara Indonesia

berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka

dan pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), serta

tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)6, maka

bertumpu pada apa yang ditegaskan dalam UUD NRI 1945 tersebut makna

adanya koperasi tercantum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI

1945.

Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut disebutkan

bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas

kekeluargaan”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan

juga asas demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk

semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat

sehingga dengan demikian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan

bukan kemakmuran beberapa pihak.

Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasiaan

(19)

(selanjutnya disebut UU Perkoperasian tahun 1992) dinyatakan bahwa

koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau

badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan

prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar

atas asas kekeluargaan.

Merujuk pada bunyi ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasiaan

tahun 1992 tersebut bahwa koperasi berperan sebagai badan usaha yang

berperan untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi orang-orang

yang ekomoninya lemah dimana dalam konteks ini koperasi menganut

prinsip democratic member control.7 Prinsip ini meletakkan dasar bahwa

koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya

yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat

keputusan.8

Jadi jelaslah, bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan dari

orang-orang secara bersama-sama bergotong royong berdasarkan

persamaan kerja untuk memajukan kepentingan perekonomian anggota

dan masyarakat umum.9 Berarti koperasi benar-benar merupakan

pendemokrasian yang harus menjamin bahwa koperasi adalah milik

anggota sendiri dan diatur sesuai keinginan para anggota karena hak

tertinggi dalam koperasi ditentukan oleh rapat anggota. Oleh karena

7Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar dan Nanda Maulisa Benemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 23.

8 Ibid.

(20)

demikian, dalam menjalankan usahanya koperasi Indonesia tidak boleh

meninggalkan asasnya, yaitu asas kekeluargaan dan asas gotong royong.10

Dalam Pasal 7 UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa

“Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan

dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar”. Anggaran dasar

adalah keseluruhan aturan yang mengatur secara langsung kehidupan

koperasi dan hubungan antara koperasi dengan para anggotanya.11 Dalam

batas-batas yang diberikan berdasarkan undang-undang, anggaran dasar

dapat dianggap sebagai peraturan intern koperasi yang mengikat alat

perlengkapan (organ) koperasi dan para anggotanya.

Dalam ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan juga

ketentuan mengenai anggaran dasar. Anggaran Dasar sebagaimana

dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992 memuat

daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta

bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, ketentuan mengenai

pengelolaan, ketentuan mengenai permodalan, ketentuan mengenai jangka

waktu berdirinya, ketentuan mengenai pembagaian sisa hasil usaha, dan

ketentuan mengenai sanksi.12

Dalam pengelolaan koperasi, tidak menutup kemungkinan

pengurus koperasi melakukan tindakan-tindakan yang digolongkan

sebagai tindakan yang melampaui anggaran dasar. Hal tersebut disebabkan

10 Sagimun MD, 1983, Koperasi Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tanpa Kota Penerbit, h. 57.

11 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Koperasi, Alumni, Bandung, h. 40.

(21)

karena pengurus merupakan organ koperasi yang bertanggung jawab

secara penuh dalam melakukan pengelolaan usaha koperasi. Tindakan

melampaui anggaran dasar tersebut sejenis dengan tindakan ultra vires

yang pada umumnya dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan

Terbatas.

Sebenarnya istilah ultra vires ini pada awalnya dikenal dalam

sistem hukum common law. Hal ini tercermin dalam kasus Ashbury

Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang terjadi di

Inggris.13 Pada kasus tersebut, anggaran dasar (memorandum of

association) Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v.

Riche yang didirikan berdasarkan Company Act 1862 menyebutkan bahwa

perusahaan Ashbury Railway Carriage and Iron Company tersebut adalah

perusahaan yang menjalankan usaha dalam bidang pembuatan dan

penjualan gerbong barang dan gerbong penumpang, meminjamkan dan

atau menyewakan gerbong barang dan gerbong penumpang serta segala

sesuatu yang berkaitan dengan bisnis pembuatan, penjualan, dan

penyewaan gerbong.14

Merujuk pada anggaran dasar Ashbury Railway Carriage and Iron

Company, Limited v. Riche tersebut, ternyata direksi perusahaan membuat

kontrak dengan Hector Riche yang isinya antara lain untuk membiayai

13 Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111.

14Johnny Ibrahim, 2011, “Doktrin Ultra Vires dan Konsekuensi Penerapannya Terhadap

(22)

pembangunan jaringan rel kereta api di Belgia. Dalam anggaran dasar

tidak disebutkan mengenai pelaksanaan bisnis berupa pekerjaan kontraktor

mechanical engineering di negara luar sehingga The House Of Lords

dalam putusannya meletakkan dasar bahwa tindakan direksi tersebut

dianggap ultra vires.15

Sesudah putusan tersebut, maka selanjutnya pelaksanaan konsep

ultra vires lebih diperlonggar. Seperti yang dikutip dari Raghvendra Singh

Raghuvanshi16, dalam jurnalnya yang berjudul “Doctrin of Ultra Vires In

Company Law” mengemukakan bahwa :

“a company incorporated under the Company Act has power to

carry out the object set out in the objects clause of its

memorandum and also everything that is reasonably necesary to

enable it to carry those objects”.

Hal tersebut menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewenangan

menjalankan apa yang diatur dalam anggaran dasar serta melakukan segala

sesuatu yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan.

Bertumpu pada istilah ultra vires tersebut memunculkan persoalan

bahwa apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran

dasar dapat dikatakan sebagai tindakan ultra vires dan bagaimana sikap

15 Ibid, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan The House Of Lords yang menegaskan bahwa ultra vires is ought to be reasonable and not reasonable understood and applied and whatever may fairly be regarded as incidental to, or consequental upon, those things which the legislature has authorized, ought not to be held, by judicial construction, to be ultra vires.

(23)

yang dapat diupayakan atas tindakan tersebut. Berdasarkan isu hukum

tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul

“Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui

Anggaran Dasar”.

1.2 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, dapat diuraikan rumusan

masalah sebagai berikut.

1. Bagaimana konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang

melampaui anggaran dasar ?

2. Bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang

melampaui anggaran dasar ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Ruang lingkup masalah sangat berkaitan dengan latar belakang

masalah. Bahwa tujuan dari adanya rumusan masalah adalah

menggambarkan luasnya cakupan lingkup masalah yang akan dilakukan

penelitian serta dibuat untuk mengemukakan batas area penelitian. Pada

umumnya, ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi

pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah

ditetapkan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah

sebagai berikut.

1. Pada rumusan masalah pertama, ruang lingkup masalahnya adalah

mengenai istilah hukum apa yang dapat digunakan untuk menyebut

(24)

untuk menyebut tindakan tersebut maka dilakukan studi perbandingan

terhadap istilah ultra vires yang secara umum dikenal dalam lingkup

badan hukum Perseroan Terbatas. Di samping itu, untuk memperdalam

pengetahuan tentang ultra vires maka dilakukan pula studi

perbandingan terhadap istilah perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) karena dua istilah tersebut memiliki kemiripan.

Selain itu, dicari dasar hukum penerapan tindakan melampaui anggaran

dasar yang tertuang dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran

dasar dari salah satu koperasi, yaitu Koperasi Karangasem Membangun

(selanjutnya disebut KKM).

2. Pada rumusan masalah kedua, ruang lingkup masalahnya adalah

tindakan apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan

pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal ini,

dilakukan studi perbandingan terhadap Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

(selanjutnya disebut UUPT tahun 2007) yang mencakup tindakan apa

yang dapat diambil oleh Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya

disebut RUPS) atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar

yang kemudian diterapkan juga pada badan hukum koperasi. Digunakan

pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH

Perdata) dan doktrin sebagai landasan untuk memberikan penegasan

terhadap batas-batas tindakan yang dapat dilakukan atas tindakan

(25)

1.4 Orisinalitas Penelitian

Pencantuman orisinalitas penelitian dalam suatu karya ilmiah

dimaksudkan sebagai upaya melakukan pemecahan masalah yang hendak

diteliti belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Apabila

permasalahannya mirip maka harus ditegaskan perbedaan penelitiannya

dengan penelitian terdahulu. Adapun pembahasan karya ilmiah terdahulu

tentang koperasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam rangka upaya

penunjukkan orisinalitas penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Skripsi atas nama Shinta Octavia, Mahasiswi Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada

tahun 2012 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anggota

Koperasi Simpan Pinjam Atas Tindakan Melawan Hukum Di Bidang

Penghimpunan Dana Masyarakat Dan Pengelolaan Divestasi”.

Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.

1. Bagaimana pengaturan Peraturan Perundang-undangan terkait

dengan perlindungan hukum bagi anggota koperasi simpan pinjam

atas tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana

masyarakat dan pengelolaan investasi ?

2. Bagaimana peran pemerintah dalam melakukan pengawasan

terhadap koperasi dalam menentukan rate bunga pada koperasi

simpan pinjam pada saat ini ?

3. Apakah diperlukan pengawasan dari lembaga keuangan terkait

(26)

bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi

terhadap anggota koperasi simpan pinjam ?

b. Skripsi atas nama M. Faruq Sulaiman, Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada

tahun 2012 dengan judul “Perbandingan Kedudukan dan Tanggung

Jawab Hukum Pengurus Pada Koperasi dan Perseroan Terbatas (Studi

Kasus : Koperasi Komunika dan PT Bakrie Telecom Tbk)”. Terdapat

tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.

1. Bagaimanakah karakteristik dan kedudukan pengurus koperasi dan

perseroan terbatas dalam perannya sebagai pengurus dalam suatu

badan usaha ?

2. Bagaimanakah tugas, wewenang, dan tanggung jawab hukum bagi

pengurus koperasi dan perseroan terbatas serta hubungannya dengan

pengembangan usaha di tengah persaingan di dunia bisnis ?

3. Bagaimanakah hubungan hirarkis antara kedudukan dan tanggung

jawab hukum pengurus koperasi dan perseroan terbatas dengan

organ atau perangkat organisasi dalam koperasi dan perseroan

terbatas dalam praktek ?

c. Skripsi atas nama Andre Makadao, Mahasiswa Fakultas Hukum

Universitas Sam Ratulangi, Manado, penelitian pada tahun 2013

dengan judul “Aspek Hukum Pertanggungjawaban Pengurus Dalam

Pengelolaan Keuangan dan Manajemen Koperasi”. Terdapat dua

(27)

1. Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai pendirian koperasi ?

2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pengurus dalam

pengelolaan keuangan maupun manajemen koperasi ?

1.5 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan

adanya hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai dilakukan. Rumusan

tujuan mengungkapkan keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas

permasalahan penelitian yang diajukan. Tujuan penelitian dibedakan

menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan umum (het doel van het onderzoek) mengandung uraian

secara garis besar tentang upaya peneliti dalam rangka pengembangan

ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (science as a

process) agar pembahasan mengenai bidang obyeknya masing-masing

tidak pernah final dalam penggalian kebenarannya.17 Tujuan khusus (het

doel in het onderzoek) mengandung uraian tentang upaya peneliti

membahas rumusan masalah yang terdapat dalam pembahasan rumusan

permasalahan penelitian. Selanjutnya tujuan umum dan tujuan khusus

tersebut akan dirumuskan sebagai berikut.

1.5.1 Tujuan umum

a. Agar dapat menunjang pendidikan dan pengetahuan masyarakat di

bidang hukum, terutama dalam bidang hukum bisnis yang secara

khusus membahas tentang koperasi ;

(28)

b. Agar dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa

lain yang ingin melakukan penelitian seputar koperasi.

1.5.2 Tujuan khusus

a. Untuk mengetahui konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang

melampaui anggaran dasar.

b. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus

koperasi yang melampaui anggaran dasar.

1.6 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuannya.

Terdapat dua konsep manfaat penelitian, yaitu manfaat penelitian secara

teoritis dan praktis. Selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai manfaat

teoritis dan praktis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.

1.6.1 Manfaat teoritis

a. Sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum,

khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang

koperasi ;

b. Menambah kepustakaan ilmu hukum, khususnya dalam ilmu hukum

perdata dan hukum bisnis tentang koperasi.

1.6.2 Manfaat praktis

a. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait

sebagai bahan acuan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan

perundang-undangan tentang koperasi agar terdapat uraian yang lebih

(29)

b. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,

khususnya mahasiswa sebagai bahan bacaan yang dapat dijadikan

referensi dalam melakukan penelitian mengenai koperasi.

1.7 Landasan Teoritis

Menurut Edgar Bodenheimer18, pada intinya konsep merupakan

suatu instrumen penting dan tidak dapat dihindari penggunaannya dalam

rangka untuk memberikan solusi-solusi pemecahan masalah-masalah

hukum. Edgar Bodenheimer19 pada intinya mengatakan pula bahwa tanpa

teknik pembatasan buah pikiran, kita tidak dapat berpikir secara jernih dan

rasional ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan hukum dan tanpa

konsep pula kita tidak dapat menempatkan pikiran kita pada hukum dalam

kata-kata dan berkomunikasi kepada orang lain dengan cara yang

dimengerti. Oleh karena demikian, bertumpu pada pemaparan Edgar

Bodenheimer mengenai konsep tersebut bahwa salah satu cara yang

seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah memberi definisi.20

Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat definisi secara

eksplisit tentang pembahasan tindakan melampaui anggaran dasar. Dalam

ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf c UU Perkoperasiaan tahun 1992

disebutkan bahwa pengurus berwenang melakukan tindakan-tindakan dan

(30)

upaya-upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan

tanggung jawabnya dan keputusan-keputusan rapat anggota.

Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun

1992 tersebut maka sebenarnya secara implisit UU Perkoperasiaan tahun

1992 mengatur bahwa pengurus koperasi tidak boleh melakukan tindakan

di luar apa yang diamanatkan oleh UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan

anggaran dasar. Dikatakan tidak boleh melakukan tindakan di luar

anggaran dasar karena atas dasar pertimbangan bahwa anggaran dasar

merupakan “undang-undang” dari sebuah koperasi dimana dalam

penyusunannya berpedoman pada UU Perkoperasiaan tahun 1992. Status

“undang-undang” itu diperoleh setelah koperasi mendapat pengesahan

badan hukum dari pemerintah.

Sehubungan dengan pengesahan badan hukum koperasi dilakukan

oleh pemerintah maka yang menjadi persoalan adalah siapakah yang

dimaksud dengan pemerintah ? Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992

tidak terdapat penjelasan mengenai siapakah yang dimaksud dengan

pemerintah namun demikian bukan berarti tidak dapat dirumuskan siapa

yang dimaksud dengan pemerintah tersebut.

Mengawali pembahasannya, dalam hal ini patut diketahui

penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 dimana dalam ketentuan penjelasan

tersebut koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal

ini berarti koperasi dapat diartikan sebagai pilar atau penyangga utama

(31)

sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional. Oleh karena

demikian, maka pendirian koperasi harus diprioritaskan dan dipermudah

dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pengesahan badan hukum

koperasi cukup dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat

badan hukum koperasi didirikan.

Dalam hal ini patut diketahui konsep wewenang. Seperti yang

dikutip dari S.F Marbun21, wewenang mengandung arti kemampuan untuk

melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah

kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.

Secara teoritik, terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang

pemerintahan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Wewenang atribusi

adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan

perundang-undangan dimana wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.22

Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh dari badan atau

organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan

dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans)

kepada penerima wewenang (delegataris).23 Setelah terjadi pelimpahan

maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat

21 S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154-155.

22 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang, Yogyakarta, h. 66.

23 I Gusti Made Agus Mega Putra, 2016, “Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara Dalam Proses Lelang Jabatan Terkait Sistem Merit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun

(32)

ditarik kembali oleh delegans. Wewenang mandat adalah pelimpahan

wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan

dengan bawahannya.24 Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima

mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat

(mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh

mandans.

Patut ditinjau ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah tahun

2014). Dalam pasal tersebut diberikan definisi tentang tugas pembantuan,

yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk

melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan

Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah

kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang

menjadi kewenangan Daerah.

Bahwa sebelum tanggal 8 April 2016 pengesahan badan hukum

koperasi dilakukan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan

hukum koperasi didirikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat

dalam huruf b poin menimbang Keputusan Menteri Negara Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 123 tahun 2004

tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan dalam Rangka Pengesahan

(33)

Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi

Pada Propinsi dan Kabupaten/Kota dimana disebutkan :

bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat yang secara teknis bertanggung jawab dalam bidang perkoperasiaan di tingkat Propinsi/DI dan Kabupaten/Kota

Kemudian dalam poin memutuskan bagian pertama dan kedua disebutkan

sebagai berikut.

Pertama : Menunjuk Gubernur sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi/DI yang bersangkutan.

Kedua : Menunjuk Bupati/Walikota sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili di wilayah Kabupetan/Kota yang bersangkutan.

Dengan bertumpu pada ketentuan poin menimbang dan

memutuskan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipetik makna

bahwa Gubernur, Bupati atau Walikota mendapatkan pelimpahan

wewenang dari Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Republik Indonesia (selanjutnya disebut Menkop dan UKM RI) untuk

melaksanakan tugas pembantuan dalam hal memberikan pengesahan

badan hukum koperasi. Apabila berpedoman pada cara-cara mendapatkan

(34)

Gubernur, Bupati atau Walikota bertindak sebagai delegataris (penerima

wewenang) dan Menkop dan UKM RI bertindak sebagai delegans

(pemberi wewenang).

Namun mulai tanggal 8 April 2016 sesuai dengan Peraturan

Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia

Nomor 10 tahun 2015 tentang Kelembagaan Koperasi (selanjutnya disebut

Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015),

pengesahan badan hukum koperasi dilaksanakan oleh Menkop dan UKM

RI. Dalam Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan

Koperasi tahun 2015 disebutkan sebagai berikut.

(1) Menteri mendelegasikan pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar, Penggabungan, Peleburan, Pembagian, dan Pembubaran Koperasi kepada Deputi Bidang Kelembagaan.

(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem elektronik.

Bertumpu pada ketentuan pada Pasal 45 Peraturan Menkop dan

UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 tersebut bahwa sudah

jelas terlihat bahwa Deputi Bidang Kelembagaan diberikan pelimpahan

wewenang (delegasi) oleh Menkop dan UKM RI untuk melakukan

pengesahan badan hukum koperasi. Di samping itu, sesuai dengan Pasal 45

ayat (2) Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi

tahun 2015 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Republik Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Notaris Indonesia

(35)

dimana pengesahan badan hukum koperasi dilakukan secara elektronik.25

Untuk memperoleh layanan elektronik tersebut, Notaris pembuat Akta

Pendirian Koperasi yang sudah terdaftar di Kementerian Koperasi dan

Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengakses laman website

sisminbhkop.id dengan melakukan registrasi secara online.

Selanjutnya adalah pembahasan mengenai konsep tindakan

melampaui anggaran dasar. Konsep tindakan melampaui anggaran dasar

dapat dibandingkan dengan istilah ultra vires. Bahwa ultra vires berasal

dari bahasa latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai

“beyond the power” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai

melampaui kewenangan.26 Pemahaman secara akademis tentang ultra vires

dapat ditinjau dari apa yang dikemukakan oleh I.P.M Ranuhandoko

dimana Beliau menyebutkan bahwa ultra vires adalah bertindak melebihi

wewenangnya.27 Disebutkan pula dalam Martin Basiang bahwa ultra vires

adalah tindakan yang dilakukan yang berada di luar wewenang yang

diberikan.28

Kemudian seperti yang dikutip dari Johnny Ibrahim29, misalnya

dituliskan oleh Timothy Endicott, yaitu “ultra vires means beyond (the

25 Dina Ariyanti, 2016, “Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Sekarang Bisa Lewat

Online”, URL:http://m.detik.com/finance/read/2016/04/15/123312/3188743/4/pengesahan-akta-pendirian-koperasi-sekarang-bisa-lewat-online, diakses pada tanggal 31 Mei 2016.

26 Johnny Ibrahim, op.cit, h. 243.

27I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 522. 28 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, Cet. I, Red and White Publishing, Tanpa Kota Penerbit, h. 442.

(36)

agency) legal powers”. Kemudian, Frank Mack30 mengartikan ultra vires

sebagai berikut.

The term ultra vires in its proper sense act or transaction on the part of corporation which although not unlawfull or contrary to public policy if done or executed by an individual, is jet beyond the legitimate powers of the corporation as they are defined by the statute under which it is formed or which are applicable or by its charter or incorporation papers.

Black’s Law Dictionary mendefinisikan tentang ultra vires adalah sebagai

berikut.

Unauthorized ; beyond the scope of power allowed or granted by

a corporate charter or by law”31

Sehubungan dengan definisi ultra vires menurut Black’s Law

Dictionary tersebut di atas bahwa dalam Black’s Law Dictionary

disebutkan pula mengenai definisi extra vires yaitu see ultra vires. Oleh

karena demikian maka tidak perlu untuk diperdebatkan antara ultra vires

dan extra vires karena dua istilah tersebut memiliki maknya yang sama,

yaitu melampaui kewenangan.32

Secara klasik bahwa tindakan yang dilakukan melampaui maksud

dan tujuan adalah batal dan tidak dapat dikuatkan atau disahkan. Hal

tersebut berarti bahwa maksud dan tujuan menentukan batas kewenangan

30 Frank Mack, Tanpa Tahun, “The Law on Ultra Vires Acts and Contracts of Private

Corporations”, URL:http://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgiarticle=4163, diakses pada tanggal 23 November 2015.

31 Bryan A. Garner et.al, (eds), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, Law Prose Inc, Dallas, Texas, h. 1662.

(37)

bertindak berbeda dengan prinsip fiduciary duty.33 Oleh karena demikian,

maksud dari ultra vires ini adalah bukan bertindak di luar kewenangannya

tetapi bertindak di luar hal yang diperbolehkan oleh anggaran dasar

berkenaan dengan maksud dan tujuan badan hukum yang dalam

pembahasan ini adalah mencakup badan hukum perusahaan (koperasi).

Oleh karena berdasarkan ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992,

koperasi dinyatakan sebagai badan usaha yang berbadan hukum maka

koperasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum. Menurut

Meyers terdapat empat kriteria suatu badan usaha dapat dinyatakan

sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut.

a. Terkumpulnya menjadi satu hak-hak subyektif untuk suatu tujuan tertentu dengan cara yang demikian sehingga kekayaan yang bertujuan itu dapat dijadikan obyek tuntutan hutang-hutang tertentu.

b. Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.

c. Meskipun kepentingan itu tak terletak pada orang-orang tertentu namun kepentingan itu harus stabil, artinya tak terikat pada suatu waktu yang pendek saja tetapi untuk jangka waktu yang lama.

d. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga yang dapat dianggap oleh hukum sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya.34

Merujuk pada doktrin dari Meyers tersebut maka salah satu dampak dari

adanya tindakan melampaui anggaran dasar dari pengurus koperasi adalah

dapat timbul tuntutan perdata yang diajukan oleh pihak-pihak yang

dirugikan.

33 Dwi Suryahartati, Tanpa Tahun, “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)”, Jurnal Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, h. 118,URL:http//:www.online-journal.unja.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2015.

(38)

Pandangan tradisional tentang ultra vires pada prinsipnya

memandang bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum,

yaitu batal demi hukum (null and void). Oleh karena itu, berdasarkan

pandangan tradisional ini maka tindakan ultra vires tersebut tidak dapat

disahkan melalui rapat anggota. Pandangan secara tradisional juga

menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan akibat hukum tindakan

ultra vires antara lain sebagai berikut.

a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires

tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang

ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya,

b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires

tersebut,

c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.35

.

Dalam perjalanan sejarahnya, konsep tradisional ultra vires

mengalami modifikasi. Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan dan

kebutuhan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat. Sebagai akibat dari

modifikasi tersebut bahwa adanya tindakan ultra vires tidak selamanya

mutlak tanggung jawab dari petugas yang melakukannya. Pandangan

tersebut menunjukkan perkembangan doktrin ultra vires dari tradisional

menuju ke arah yang luwes.

(39)

1.8 Metode Penelitian

Menurut Morris L. Cohen, “Legal Research is the process of

finding the law that governs activities in human society” dimana pendapat

Morris L. Cohen tersebut diartikan bahwa penelitian hukum merupakan

suatu kegiatan know how dalam ilmu hukum bukan sekadar know about.36

Sebagai kegiatan know how, penelitian hukum dilakukan untuk

memecahkan isu hukum yang dihadapi yang terjadi dalam kehidupan

masyarakat dan di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi

masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang

dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan masalah yang dihadapi.37

1.8.1 Jenis Penelitian

Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif.

Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan atas dasar

adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian

dalam skripsi ini didasarkan pada alasan apakah tindakan melampaui

anggaran dasar oleh pengurus koperasi dapat dikatakan sebagai tindakan

ultra vires serta bagaimana sikap yang dapat diambil oleh rapat anggota

atas tindakan melampaui anggaran dasar tersebut.

1.8.2 Jenis pendekatan

Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yaitu

pendekatan kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan

36 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cet. VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 57 dan 60, dikutip dari Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St. Paul Minn, h. 1.

(40)

(statute approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan analisis

konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan frasa

(words and phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach),

dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dari tujuh jenis

pendekatan dalam penelitian hukum tersebut maka jenis pendekatan dalam

penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute

Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual

Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).

Statute Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada

peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelesaikan isu

hukum yang sedang dibahas akibat kekosongan atau kekaburan norma

hukum. Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 belum terdapat ketentuan

mengenai perlindungan hukum kepada pihak ketiga atas tindakan pengurus

koperasi yang melampaui anggaran dasar.

Analitical and Conceptual Approach adalah pendekatan dengan

berdasarkan pada konsep-konsep hukum. Untuk menentukan konsep

hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar maka

penulis melakukan analisis konsep ultra vires dan konsep perbuatan

melawan hukum (onrechtmatigedaad) dalam rangka untuk memperdalam

pembahasan.

Comparative Approach adalah pendekatan dengan tujuan untuk

membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu

(41)

dilakukan perbandingan terhadap konsep perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) yang berasal dari sistem hukum civil law dengan

konsep ultra vires yang berasal dari sistem hukum common law. Di

samping itu, digunakan pula UUPT tahun 2007 sebagai bahan

perbandingan untuk menemukan upaya apa yang dapat diambil oleh RUPS

atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar dimana hal ini

bertujuan agar dapat diperoleh jawaban terhadap upaya apa yang dapat

diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang

melampaui anggaran dasar.

1.8.3 Sumber bahan hukum

Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum

dimana perwujudan asas dan kaidah hukum dapat berupa peraturan

perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi

Ketatangeraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan

Hukum Adat (tertulis dan tidak tertulis).

Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal

hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam

media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum

menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum

tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya.

Penelitian pada skripsi ini menggunakan bahan hukum primer dan

(42)

NRI 1945, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok

Perkoperasiaan, UU Perkoperasiaan tahun 1992, Undang-Undang Nomor

Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah

dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, UUPT

tahun 2007, UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, Peraturan Pemerintah

Nomor 4 tahun 1994 tentang Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar

Koperasi, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46

tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan

Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin

Usaha Perdagangan, Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan

Koperasi tahun 2015 dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan

Menengah Nomor 19 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Rapat Anggota

Koperasi. Kemudian, bahan hukum sekundernya terdiri dari buku-buku

yang membahas mengenai koperasi, Perseroan Terbatas, dasar-dasar ilmu

hukum, perjanjian, konsep wewenang, dan karya tulis hukum (skripsi).

Juga digunakan kamus-kamus hukum (Oxford Dictionary of Law, Black’s

Law Dictionary, dan The Contemporary Law Dictionary) dan Kamus

Terjemahan Bahasa Inggris-Indonesia, doktrin atau pandangan para

sarjana hukum sesuai dengan pembahasan permasalahan serta internet

dengan menyebutkan secara jelas situsnya.

Di samping menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, penelitian pada skripsi ini juga menggunakan data penunjang

(43)

normatif berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key

person) bidang hukum. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah pihak-pihak

yang kompeten dalam bidang perkoperasiaan.

1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah

teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen dilakukan dengan cara

mencari, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan

perundang-undangan yang terkait dan juga selain itu dilakukan dengan cara

mengumpulkan bahan hukum sekunder ditambah dengan data yang

diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait

dengan perkoperasiaan sebagai penunjang pembahasan masalah.

1.8.5 Teknik analisis bahan hukum

Dalam penelitian hukum, untuk menganalisis bahan-bahan hukum

yang telah terkumpul terdapat beberapa teknik analisis bahan hukum.

Teknik tersebut diantaranya adalah teknik deskripsi, teknik interpretasi,

teknik konstruksi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, dan teknik

sistematisasi.

Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian

skripsi ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi,

teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik

dasar analisis dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau

posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik evaluasi

(44)

tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap

suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik

yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum

sekunder. Teknik argumentasi adalah teknik atas dasar penilaian yang

harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.

Teknik konstruksi adalah adalah teknik yang dilakukan dengan

menggunakan analogi dan pembalikan proposisi. Teknik sistematisasi

adalah teknik yang berupaya mencari hubungan rumusan suatu konsep

hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang

(45)

2.1 Koperasi

2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum

Secara etimologi, koperasi berasal dari bahasa Inggris dari kata co dan

operation. Co berarti bersama dan operation berarti bekerja sehingga

apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka cooperation berarti

bekerja bersama. Kemudian dalam bahasa Belanda disebut cooperatie

dimana berasal dari kata co yang berarti bersama dan operatie yang berarti

bekerja sehingga apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia

cooperatie berarti bekerja bersama. Oleh karena demikian maka apabila

dilafalkan dalam bahasa Indonesia menjadi koperasi.

2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi

Mengawali pembahasannya maka terlebih dahulu dibahas mengenai

pengertian koperasi. Pada umumnya para ahli memberikan pengertian

koperasi secara tersendiri sehingga oleh karena itu sulit untuk memahami

pengertian koperasi. Akan tetapi dari setiap pengertian koperasi yang

diberikan oleh para ahli tersebut terdapat kesamaan sehingga gambaran

tentang adanya kesatuan di antara perbedaan-perbedaan tersebut akhirnya

diperoleh juga. Beberapa pengertian tentang koperasi yang dijadikan

rujukan di antaranya adalah pengertian tentang koperasi dari para ahli

yaitu dari C.R Fay, H.E Erdman, Mohammad Hatta, dan Arifinal

(46)

Chaniago. Beberapa pengertian dari masing-masing ahli tersebut

dikemukakan sebagai berikut.

1. C.R Fay dalam bukunya yang berjudul Cooperative at Home and Abroad mendefinisikan koperasi sebagai :

an association for the purpose of joint trading, originating among the weak and conducted always in unselfish spirit on such terms that all who are prepared to assume the duties of membership share in its rewards in proportion to the degree in which they make uses of their association

2. H.E Erdman dalam tulisannya yang berjudul Passing of Monopoli as an Aim of Cooperatives mengemukakan bahwa :

the cooperatives as a business corporation, is a legal person, distinct from its members and contionous to exist not with standing their outstanding individual debts or withdrawal. In contract to the ordinary corporation the cooperative serves only as an agent for its members of cooperative serve themselves. They are both owners and users of the services and a contractual arrangement requires all margins above the cost of operation to be returned to the

4. Arifinal Chaniago mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkupulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.1

Setelah mengetahui pengertian koperasi dari para ahli maka

selanjutnya adalah patut diketahui dasar hukum dari koperasi itu sendiri.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia, dasar hukum dari

pengertian koperasi terdapat dalam Pasal 1 angka (1) UU Perkoperasiaan

tahun 1992 dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa koperasi adalah

1

(47)

badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum

koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi

sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas

kekeluargaan.

Dengan bertumpu pada pendapat-pendapat para ahli dan ketentuan

UU Perkoperasiaan tahun 1992 dapat dipetik makna bahwa koperasi

adalah badan usaha bersama dimana usaha bersama tersebut menunjukkan

semangat bekerja sama dalam kegotongroyongan dengan mengutamakan

perserikatan (tidak sendiri-sendiri).

2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia

Koperasi di Indonesia telah dikenal lebih dari setengah abad yang

lalu. Sudah tentu koperasi yang pernah didirikan mengalami pasang surut

dalam pelaksanaan usahanya. Dalam uraian berikut ini dilakukan tinjauan

periodesasi sejarah koperasi di Indonesia. Dimulai dari periodesasi pada

zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman

pembangunan/kemerdekaan, zaman orde baru, dan zaman reformasi.

2.2.1 Zaman penjajahan Belanda

Cita-cita untuk mendirikan koperasi telah lama terkandung dalam

pikiran bangsa Indonesia. Dalam kesulitan hidup yang serba dengan

keputusasaan kemudian muncullah seseorang yang memberi semangat

hidup oleh karena Beliau paham tentang jiwa rakyat yang sedang dilanda

kemiskinan dan kebodohan. Seseorang tersebut adalah Raden Aria

Referensi

Dokumen terkait

Dari ketentuan dalam Pasal - Pasal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pengurus Koperasi dipilih dari dan oleh anggota dalam suatu rapat anggota, untuk masa jabatan.. selama

Akibat hukum terhadap PT yang belum melakukan penyesuaian Anggaran Dasar terhadap Perseroan Terbatas tersebut antara lain yaitu status badan hukum dan nama Perseroan

Akibat hukum terhadap PT yang belum melakukan penyesuaian Anggaran Dasar terhadap Perseroan Terbatas tersebut antara lain yaitu status badan hukum dan nama Perseroan

Pengurus KSP dipilih dari dan oleh anggota koperasi serta diangkat dalam rapat anggota, sesuai dengan persyaratan yang diputuskan dalam Anggaran Dasar.. Persyaratan untuk masa

Dalam perkuliahan ini dibahas tentang konsep dasar Koperasi dan manajemen, Manajemen dalam Koperasi, rapat anggota, pengurus dan manajer dalam Koperasi, pengawas Koperasi,

17 Dapat dikatakan, akibat hukum pembubaran koperasi berdasarkan keputusan pemerintah terhadap pengurus yaitu kekuasaan pengurus sudah tidak berfungsi lagi dalam

Akibat hukum terhadap PT yang belum melakukan penyesuaian Anggaran Dasar terhadap Perseroan Terbatas tersebut antara lain yaitu status badan hukum dan nama Perseroan

oleh karena seiring berjalannya waktu Pengurus Koperasi memepertegas dalam rapat anggota dan memberi arahan kepada semua anggota agar koperasi ini berjalan sehat, maka semuanya harus