i
AKIBAT HUKUM TINDAKAN PENGURUS KOPERASI
YANG MELAMPAUI ANGGARAN DASAR (
ULTRA
VIRES
)
I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
ii
Skripsi ini dibuat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
pada Fakultas Hukum Universitas Udayana
I GEDE PARAMA ISWARA NIM. 1203005123
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
iii
SKRIPSI INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 21 MARET 2016
Pembimbing I
Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U NIP. 19560419 198303 1 003
Pembimbing II
iv
Panitia Penguji Skripsi
Berdasarkan Surat Keputusan Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana
Nomor : 119/UN14.1.11/PP.05.02/2016 Tanggal 04 April 2016
Ketua : Prof. Dr. I Putu Sudarma Sumadi, S.H, S.U (...) NIP. 19560419 198303 1 003
Sekretaris : I Nyoman Darmadha, S.H, M.H (...)
NIP. 19541231 198103 1 003
Anggota : 1. Ngakan Ketut Dunia, S.H, M.Hum (...) NIP. 19520104 198003 1 001
2. Ida Bagus Putra Atmadja, S.H, M.H (...) NIP. 19541231 198303 1 018
v
Esa karena atas rahmat-Nya penulisan skripsi yang berjudul “Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui Anggaran Dasar (Ultra Vires)” dapat terselesaikan. Selain tujuan membuat skripsi ini untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Sarjana Hukum di Universitas Udayana, penulis juga merasa
bangga karena melalui skripsi ini dapat memberikan sebuah karya tulis bagi seluruh
civitas academica Universitas Udayana.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan
yang dialami dan tidak akan berhasil dengan baik tanpa dukungan dari berbagai pihak
secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena demikian, izinkan penulis
dengan kerendahan hati menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. I Made Arya Utama, S.H, M.Hum, Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
2. Bapak Dr. Gede Made Swardhana, S.H, M.H, Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
3. Bapak Dr. Ni Ketut Sri Utari S.H, M.H, Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak Dr. I Gede Yusa, S.H, M.H, Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. I Wayan Wiryawan, S.H, M.H, Ketua Bagian Hukum Bisnis
Fakultas Hukum Universitas Udayana sekaligus sebagai Pembimbing
Akademik penulis yang telah memberikan bimbingan kepada penulis
vi
dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyusun skripsi ini.
7. Bapak I Nyoman Darmadha, S.H, M.H, Dosen Pembimbing II yang
dengan penuh kesabaran membimbing serta mengarahkan penulis dalam
menyusun skripsi ini.
8. Seluruh Dosen Pengajar, terutama Dosen Bidang Hukum Bisnis di
Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan wawasan
keilmuan kepada penulis.
9. Seluruh Staff Laboratorium Hukum, Perpustakaan, dan Tata Usaha
Fakultas Hukum Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan
selama penulis mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
10.Bapak I Nengah Suandra, S.H dan Ibu Ni Ketut Suci Anggreni, kedua
orang tua penulis yang sangat penulis hormati yang selama ini telah
memberikan kasih sayang dan dukungan yang tiada henti serta seluruh
keluarga besar penulis yang selama ini mendukung penulis selama
penyusunan skripsi ini.
11.Bapak Ida Bagus Made Parwata, S.E, M.Si, Kepala Badan Penanaman
Modal dan Perizinan Provinsi Bali yang telah memberikan bantuan
kepada penulis dengan menugaskan Staffnya menerbitkan izin
vii
Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Bali yang telah memberikan
bantuan kepada penulis dengan menugaskan Staffnya, yaitu Kepala Seksi
Pelayanan dan Badan Hukum Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Provinsi Bali untuk memberikan informasi yang penulis
perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
13.Bapak I Nengah Taman, S.Sos, Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik
dan Perlindungan Masyarakat (KESBANGPOLINMAS) Kabupaten
Karangasem yang telah memberikan bantuan kepada penulis dengan
menugaskan Staffnya menerbitkan izin rekomendasi sebagai landasan
untuk melakukan penelitian di Dinas Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Kabupaten Karangasem.
14.Bapak I Nengah Mindra, S.E, M.M, Kepala Dinas Koperasi dan Usaha
Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem yang telah menugaskan
Staffnya, yaitu Kepala Seksi Bina Usaha Koperasi Dinas Koperasi Usaha
Kecil dan Menengah Kabupaten Karangasem untuk memberikan
informasi yang penulis perlukan dalam penyusunan skripsi ini.
15.Rekan-rekan di Asian Law Student’s Association Local Chapter
Universitas Udayana, terutama rekan-rekan di Public Relation Division
selama periode kepengurusan tahun 2014-2015 yang saling mendukung
serta tidak pernah berhenti memberikan motivasi kepada penulis untuk
viii
17.Rekan-rekan di Fakultas Hukum Universitas Udayana, khususnya
Mahasiswa Fakultas Hukum Angkatan 2012 yang telah mendukung
penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas
Udayana.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna sehingga dengan
demikian maka penulis dengan terbuka mengharapkan adanya kritik dan saran yang
membangun. Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan menjadi sebuah karya tulis ilmiah yang dapat dipertanggung jawabkan secara
akademis.
Denpasar, 21 Maret 2016
ix
ini merupakan hasil karya penulis, tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun dan sepanjang
pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau
diterbitkan oleh penulis lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan
disebutkan dalam daftar pustaka.
Apabila Karya Ilmiah/Penulisan Hukum/Skripsi ini terbukti merupakan
duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain dan/atau dengan sengaja
mengajukan karya atau pendapat yang merupakan hasil karya penulis lain, maka
penulis bersedia menerima sanksi akademik dan/atau sanksi hukum yang berlaku.
Demikian Surat Pernyataan ini saya buat sebagai pertanggungjawaban ilmiah
tanpa ada paksaan maupun tekanan dari pihak manapun juga.
Denpasar, 21 Maret 2016
Yang Menyatakan,
I Gede Parama Iswara
x
HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ... iii
HALAMAN PENETAPAN PANITIA PENGUJI SKRIPSI ... iv
KATA PENGANTAR ... v
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
ABSTRAK ... xiii
ABSTRACT ... xiv
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 9
1.3 Ruang Lingkup Masalah ... 9
1.4 Orisinalitas Penelitian ... 11
1.5 Tujuan Penelitian ... 13
1.5.1 Tujuan umum ... 13
1.5.2 Tujuan khusus ... 14
1.6 Manfaat Penelitian ... 14
1.6.1 Manfaat teoritis ... 14
1.6.2 Manfaat praktis ... 14
1.7 Landasan Teoritis ... 15
xi
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum ... 29
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum... 29
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG KOPERASI DAN PRINSIP-PRINSIP DASAR KOPERASI 2.1 Koperasi ... 31
2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum ... 31
2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi ... 31
2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia ... 33
2.2.1 Zaman penjajahan Belanda ... 33
2.2.2 Zaman penjajahan Jepang ... 36
2.2.3 Zaman pembangunan atau kemerdekaan ... 38
2.2.4 Zaman orde baru ... 40
2.2.5 Zaman reformasi ... 42
2.3 Prinsip-Prinsip Dasar Koperasi ... 45
2.3.1 Asas koperasi ... 45
2.3.2 Keanggotaan ... 45
2.3.3 Struktur organisasi koperasi ... 47
xii
3.1 Perbandingan Konsep Ultra Vires dengan Perbuatan Melawan
Hukum (Onrechtmatigedaad) ... 54
3.2 Ultra Vires Sebagai Konsep Tindakan Pengurus Koperasi Yang
Melampaui Anggaran Dasar ... 65
3.3 Dasar Hukum Penerapan Konsep Ultra Vires Dalam UU
Perkoperasiaan Tahun 1992 dan Anggaran Dasar KKM... 74
BAB IV UPAYA RAPAT ANGGOTA DALAM MELAKUKAN
PEMULIHAN ATAS TINDAKAN PENGURUS KOPERASI YANG
MELAMPAUI ANGGARAN DASAR
4.1 Keabsahan Rapat Anggota ... 77
4.2 Peluang Pemulihan Tindakan Pengurus Koperasi Yang Melampaui
Anggaran Dasar Oleh Rapat Anggota ... 80
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ... 99
5.2 Saran-Saran ... 100
xiii
Cooperatieve Alliance (ICA) dimana dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi menjadi suatu gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi dinyatakan sebagai the third way atau jalan ketiga dimana maksud dari ungkapan the third way atau jalan ketiga tersebut adalah koperasi difungsikan sebagai sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme.
Dalam pengelolaan koperasi tidak menutup kemungkinan pengurus koperasi melakukan tindakan yang melampaui anggaran dasar oleh karena pengurus koperasi bertanggung jawab penuh atas pengurusan koperasi sehingga memiliki peluang untuk melakukannya. Tindakan melampaui anggaran dasar ini serupa dengan ultra vires
yang pada umumnya dikenal dalam lingkup Perseroan Terbatas dan dapat merugikan pihak ketiga yang berperan dalam menunjang kelangsungan usaha koperasi. Oleh karena demikian pihak ketiga tersebut sangat membutuhkan perlindungan hukum, akan tetapi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 1992 tentang Perkoperasiaan tidak mengaturnya secara jelas. Bertumpu pada istilah ultra vires
tersebut maka yang menjadi persoalan adalah apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires dan bagaimana akibat hukum atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar tersebut ?
Untuk mendapatkan jawaban dan menguraikan masalah yang dibahas maka jenis penelitian hukum yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan analisis konsep hukum, dan pendekatan perbandingan. Bahan hukum yang dianalisis adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang pengumpulannya dilakukan dengan teknik studi dokumen ditunjang dengan data yang diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang berkompeten dalam bidang perkoperasiaan. Bahan-bahan hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi.
Hasil yang diperoleh adalah bahwa tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dapat dikatakan sebagai ultra vires karena istilah ultra vires sering disebut sebagai doktrin dimana konsekuensi dari doktrin adalah menciptakan dasar-dasar yang sifatnya umum sehingga dengan demikian konsep ultra vires dikenal pula dalam lingkup badan hukum koperasi disamping dikenal secara umum dalam lingkup badan hukum Perseroan Terbatas. Kemudian akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar adalah rapat anggota dapat melakukan ratifikasi atas tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar dengan catatan tindakan melampaui anggaran dasar yang diratifikasi tersebut tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kepatutan, dan kebiasaan yang terjadi dalam praktek dunia usaha. Langkah ratifikasi ini didukung dengan upaya pemberian ganti rugi yang dikenal dengan substitution.
xiv
formation of cooperative into an international movement. In discourse of world economic system the cooperative declared as third way, cooperative is functioned as a economic system that serves as a mediator between capitalism and socalism economic system.
The cooperative administrator can act beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative because hold full responsible cooperative management. That act is similar with ultra vires commonly known in corporate limited veil. Ultra vires may damage to the third party that hold significant role for the business of the cooperative. There is no clear and specific certain provisions concerning ultra vires in Indonesia Cooperative Act (Act of 1992 Number 25 about Cooperative). Therefore its legal problems emerged are about the terminology of cooperative administrator act that beyond the scope of powers and remedial means for the third party’s damages.
This research is designed as a normative legal research that employs three kind approach namely the statute approach, the analitical and conceptual approach, and the comparative approach. The legal materials are collected through the library research and support by interview with the parties that competent in cooperative. The legal materials also employs five kind technic of legal analysis like description, evaluation, argumentation, construction and systematization technic.
Beyond the scope of powers by charter or laws of cooperative act that did by cooperative administrator can be defined as ultra vires act because ultra vires terminology is known as doctrine which consequention the doctrine is invent common based so that the ultra vires concept is also known in cooperative legal entity beside in limited corporate legal entity and meeting members can ratificate that act according not against the statute, decency, and custom in exertion practice. The ratification can be implemented through the process of substitutions.
1
1.1 Latar Belakang
Sejarah koperasi di Indonesia tidak dapat terlepas dari sejarah
koperasi di dunia. Sejarah lahirnya koperasi di dunia untuk pertama
kalinya disebabkan oleh karena bergulirnya Revolusi Industri di Inggris.
Revolusi Industri di Inggris sebenarnya dimulai bukan pada saat terjadi
penemuan mesin industri pertama kali, yaitu mesin pintal oleh R.
Hargreaves pada tahun 1764 melainkan telah dimulai dalam bentuk
pemikiran-pemikiran yang mendalam dan kegiatan-kegiatan ilmiah di
bidang teknik dan perekonomian yang dilakukan pada abad ke-16 dan
abad ke-17.
Khusus pembahasan pemikiran-pemikiran dan kegiatan-kegiatan
ilmiah di bidang perekonomian bahwa pemikiran-pemikiran dan
kegiatan-kegiatan ilmiah di bidang perkonomian tersebut termasuk pula mencakup
gagasan dasar berkoperasi. Gagasan dasar berkoperasi tersebut untuk
pertama kali dicetuskan dalam bentuk pamflet pada tahun 1759 di Inggris.
Yang mencetuskan gagasan dasar berkoperasi tersebut adalah seorang
keturunan Belanda, yang bernama Pieter Corneliszoon Plockboy dengan
gagasan yang berjudul Self Supporting Colony dan seorang berkebangsaan
Inggris, yang bernama John Beller dengan gagasan yang berjudul Society
Pamflet tersebut berisi anjuran dan ajakan untuk menyatukan
konsumen dan petani dalam satu perkumpulan dengan rasa secara
sukarela, berdasarkan demokrasi, dengan persamaan derajat, self help1 dan
mutual aid2 dimana tujuannya yang utama pada waktu itu adalah untuk
meniadakan tengkulak. Pemikiran inilah yang merupakan benih untuk
mewujudkan koperasi.
Tepat pada tanggal 12 Desember 1844, terdapat koperasi modern
yang pertama kali didirikan dimana koperasi tersebut adalah koperasi
Rochdale yang terletak di Inggris. Pendirian koperasi Rochdale tersebut
diilhami oleh pemikiran Robert Owen. Walaupun pendirian koperasi
Rochdale tersebut diilhami oleh pemikiran Robert Owen, koperasi
Rochdale tidaklah diketuai oleh Robert Owen melainkan oleh Charles
Howard. Lebih dari separuh pendiri koperasi Rochdale adalah penganut
aliran sosialisme owen (Owenite Socialist) yang memiliki latar belakang
berbeda-beda, diantaranya ada politikus, buruh, dan pemuka agama.
Para pendiri koperasi Rochdale tersebut berusaha untuk
menyatukan ide-ide mereka ke dalam satu pemikiran yang utuh sehingga
pemikiran inilah yang kemudian menjadi prinsip-prinsip atau sendi-sendi
1 Self help is the act of helping or improving yourself without relying on anyone else. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa self help adalah tindakan untuk menolong diri sendiri tanpa melanggar kepentingan orang lain. Lihat Anonim, Tanpa Tahun, “Definisi Self
Help”, URL:http://m.artikata.com/arti-293960-selfhelp.html, diakses pada tanggal 31 Mei 2016. 2 Mutual aid is arrangements made between nations to assist each other. Apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia mutual aid adalah persetujuan di antara bangsa-bangsa untuk memberikan pertolongan terhadap pihak-pihak yang membutuhkan pertolongan. Lihat
dasar koperasi.3 Prinsip-prinsip atau sendi-sendi dasar koperasi tersebut
diantaranya adalah koperasi sebagai landasan kegiatan usaha sebagai
protes terhadap kemelaratan, ketidakadilan, dan terhadap tidak adanya
kesamaan hak. Koperasi ini menumbuhkan kerja sama di antara sesama
anggotanya sehingga tujuan utamanya adalah saling tolong menolong.
Selanjutnya pada tahun 1896 di London, Inggris terbentuklah
International Cooperative Alliance (selanjutnya disebut ICA) dimana
dengan terbentuknya ICA tersebut maka koperasi telah menjadi suatu
gerakan internasional. Dalam wacana sistem ekonomi dunia, koperasi
disebut juga sebagai the third way atau jalan ketiga. Istilah the third way
tersebut dipopulerkan oleh seorang sosiolog Inggris, yaitu Anthony
Giddens dimana Beliau menyatakan bahwa koperasi pada hakikatnya
merupakan sistem ekonomi yang berkedudukan sebagai penengah antara
sistem ekonomi kapitalisme4 dan sistem ekonomi sosialisme5.
Koperasi sebagai suatu sistem ekonomi bertujuan untuk
memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada
3Ima Suwandi, 1982, Koperasi : Organisasi Ekonomi Yang Berwatak Sosial, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, h. 23
4 Sistem ekonomi Kapitalisme adalah sistem ekonomi yang percaya bahwa modal merupakan sumber utama untuk dapat menjalankan sistem ekonomi. Dengan demikian semua proses dalam kehidupan manusia bersumber dari pengelolaan modal baik itu modal milik perorangan, milik sekelompok masyarakat, maupun milik perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini berarti dalam semua aktivitas kehidupan ekonomi membutuhkan modal. Dalam mengelola sumber-sumber ekonomi maka pemilik modal berupaya untuk mengakselerasi perkembangan modalnya dengan cara berusaha seefisien mungkin untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
umumnya serta ikut membangun tatanan perekonomian nasional dalam
rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil dan makmur. Hal ini
sesuai dengan landasan konstitusionalitas Indonesia, yaitu
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut UUD
NRI 1945).
Mengingat sistem pemerintahan negara Indonesia yang ditegaskan
UUD NRI 1945 yang antara lain disebutkan bahwa negara Indonesia
berdasar atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka
dan pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), serta
tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)6, maka
bertumpu pada apa yang ditegaskan dalam UUD NRI 1945 tersebut makna
adanya koperasi tercantum dalam ketentuan Pasal 33 ayat (1) UUD NRI
1945.
Dalam Pasal 33 ayat (1) UUD NRI 1945 tersebut disebutkan
bahwa “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan”. Selanjutnya dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan
juga asas demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk
semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat
sehingga dengan demikian kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan
bukan kemakmuran beberapa pihak.
Kemudian, dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasiaan
(selanjutnya disebut UU Perkoperasian tahun 1992) dinyatakan bahwa
koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan
prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar
atas asas kekeluargaan.
Merujuk pada bunyi ketentuan Pasal 1 angka 1 UU Perkoperasiaan
tahun 1992 tersebut bahwa koperasi berperan sebagai badan usaha yang
berperan untuk memperbaiki tingkat kehidupan ekonomi orang-orang
yang ekomoninya lemah dimana dalam konteks ini koperasi menganut
prinsip democratic member control.7 Prinsip ini meletakkan dasar bahwa
koperasi adalah organisasi demokratis yang dikontrol oleh anggotanya
yang aktif berpartisipasi dalam merumuskan kebijakan dan membuat
keputusan.8
Jadi jelaslah, bahwa koperasi Indonesia adalah kumpulan dari
orang-orang secara bersama-sama bergotong royong berdasarkan
persamaan kerja untuk memajukan kepentingan perekonomian anggota
dan masyarakat umum.9 Berarti koperasi benar-benar merupakan
pendemokrasian yang harus menjamin bahwa koperasi adalah milik
anggota sendiri dan diatur sesuai keinginan para anggota karena hak
tertinggi dalam koperasi ditentukan oleh rapat anggota. Oleh karena
7Andjar Pachta W, Myra Rosana Bachtiar dan Nanda Maulisa Benemay, 2005, Hukum Koperasi Indonesia, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, h. 23.
8 Ibid.
demikian, dalam menjalankan usahanya koperasi Indonesia tidak boleh
meninggalkan asasnya, yaitu asas kekeluargaan dan asas gotong royong.10
Dalam Pasal 7 UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan bahwa
“Pembentukan koperasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dilakukan
dengan akta pendirian yang memuat Anggaran Dasar”. Anggaran dasar
adalah keseluruhan aturan yang mengatur secara langsung kehidupan
koperasi dan hubungan antara koperasi dengan para anggotanya.11 Dalam
batas-batas yang diberikan berdasarkan undang-undang, anggaran dasar
dapat dianggap sebagai peraturan intern koperasi yang mengikat alat
perlengkapan (organ) koperasi dan para anggotanya.
Dalam ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992 disebutkan juga
ketentuan mengenai anggaran dasar. Anggaran Dasar sebagaimana
dimaksud pada Pasal 7 ayat (1) UU Perkoperasiaan tahun 1992 memuat
daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta
bidang usaha, ketentuan mengenai keanggotaan, ketentuan mengenai
pengelolaan, ketentuan mengenai permodalan, ketentuan mengenai jangka
waktu berdirinya, ketentuan mengenai pembagaian sisa hasil usaha, dan
ketentuan mengenai sanksi.12
Dalam pengelolaan koperasi, tidak menutup kemungkinan
pengurus koperasi melakukan tindakan-tindakan yang digolongkan
sebagai tindakan yang melampaui anggaran dasar. Hal tersebut disebabkan
10 Sagimun MD, 1983, Koperasi Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tanpa Kota Penerbit, h. 57.
11 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Koperasi, Alumni, Bandung, h. 40.
karena pengurus merupakan organ koperasi yang bertanggung jawab
secara penuh dalam melakukan pengelolaan usaha koperasi. Tindakan
melampaui anggaran dasar tersebut sejenis dengan tindakan ultra vires
yang pada umumnya dikenal dalam lingkup badan hukum Perseroan
Terbatas.
Sebenarnya istilah ultra vires ini pada awalnya dikenal dalam
sistem hukum common law. Hal ini tercermin dalam kasus Ashbury
Railway Carriage and Iron Company, Limited v. Riche yang terjadi di
Inggris.13 Pada kasus tersebut, anggaran dasar (memorandum of
association) Ashbury Railway Carriage and Iron Company, Limited v.
Riche yang didirikan berdasarkan Company Act 1862 menyebutkan bahwa
perusahaan Ashbury Railway Carriage and Iron Company tersebut adalah
perusahaan yang menjalankan usaha dalam bidang pembuatan dan
penjualan gerbong barang dan gerbong penumpang, meminjamkan dan
atau menyewakan gerbong barang dan gerbong penumpang serta segala
sesuatu yang berkaitan dengan bisnis pembuatan, penjualan, dan
penyewaan gerbong.14
Merujuk pada anggaran dasar Ashbury Railway Carriage and Iron
Company, Limited v. Riche tersebut, ternyata direksi perusahaan membuat
kontrak dengan Hector Riche yang isinya antara lain untuk membiayai
13 Munir Fuady, 2002, Doktrin-Doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, Cet. I, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 111.
14Johnny Ibrahim, 2011, “Doktrin Ultra Vires dan Konsekuensi Penerapannya Terhadap
pembangunan jaringan rel kereta api di Belgia. Dalam anggaran dasar
tidak disebutkan mengenai pelaksanaan bisnis berupa pekerjaan kontraktor
mechanical engineering di negara luar sehingga The House Of Lords
dalam putusannya meletakkan dasar bahwa tindakan direksi tersebut
dianggap ultra vires.15
Sesudah putusan tersebut, maka selanjutnya pelaksanaan konsep
ultra vires lebih diperlonggar. Seperti yang dikutip dari Raghvendra Singh
Raghuvanshi16, dalam jurnalnya yang berjudul “Doctrin of Ultra Vires In
Company Law” mengemukakan bahwa :
“a company incorporated under the Company Act has power to
carry out the object set out in the objects clause of its
memorandum and also everything that is reasonably necesary to
enable it to carry those objects”.
Hal tersebut menegaskan bahwa perusahaan memiliki kewenangan
menjalankan apa yang diatur dalam anggaran dasar serta melakukan segala
sesuatu yang mendukung tercapainya tujuan perusahaan.
Bertumpu pada istilah ultra vires tersebut memunculkan persoalan
bahwa apakah tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran
dasar dapat dikatakan sebagai tindakan ultra vires dan bagaimana sikap
15 Ibid, sebagaimana yang disebutkan dalam putusan The House Of Lords yang menegaskan bahwa ultra vires is ought to be reasonable and not reasonable understood and applied and whatever may fairly be regarded as incidental to, or consequental upon, those things which the legislature has authorized, ought not to be held, by judicial construction, to be ultra vires.
yang dapat diupayakan atas tindakan tersebut. Berdasarkan isu hukum
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan judul
“Akibat Hukum Tindakan Pengurus Koperasi yang Melampaui
Anggaran Dasar”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang di atas, dapat diuraikan rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang
melampaui anggaran dasar ?
2. Bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus koperasi yang
melampaui anggaran dasar ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Ruang lingkup masalah sangat berkaitan dengan latar belakang
masalah. Bahwa tujuan dari adanya rumusan masalah adalah
menggambarkan luasnya cakupan lingkup masalah yang akan dilakukan
penelitian serta dibuat untuk mengemukakan batas area penelitian. Pada
umumnya, ruang lingkup masalah digunakan untuk membatasi
pembahasan, yaitu hanya sebatas pada permasalahan yang sudah
ditetapkan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan dibahas adalah
sebagai berikut.
1. Pada rumusan masalah pertama, ruang lingkup masalahnya adalah
mengenai istilah hukum apa yang dapat digunakan untuk menyebut
untuk menyebut tindakan tersebut maka dilakukan studi perbandingan
terhadap istilah ultra vires yang secara umum dikenal dalam lingkup
badan hukum Perseroan Terbatas. Di samping itu, untuk memperdalam
pengetahuan tentang ultra vires maka dilakukan pula studi
perbandingan terhadap istilah perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad) karena dua istilah tersebut memiliki kemiripan.
Selain itu, dicari dasar hukum penerapan tindakan melampaui anggaran
dasar yang tertuang dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan anggaran
dasar dari salah satu koperasi, yaitu Koperasi Karangasem Membangun
(selanjutnya disebut KKM).
2. Pada rumusan masalah kedua, ruang lingkup masalahnya adalah
tindakan apa yang dapat diambil oleh rapat anggota atas tindakan
pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar. Dalam hal ini,
dilakukan studi perbandingan terhadap Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas
(selanjutnya disebut UUPT tahun 2007) yang mencakup tindakan apa
yang dapat diambil oleh Rapat Umum Pemegang Saham (selanjutnya
disebut RUPS) atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar
yang kemudian diterapkan juga pada badan hukum koperasi. Digunakan
pula Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH
Perdata) dan doktrin sebagai landasan untuk memberikan penegasan
terhadap batas-batas tindakan yang dapat dilakukan atas tindakan
1.4 Orisinalitas Penelitian
Pencantuman orisinalitas penelitian dalam suatu karya ilmiah
dimaksudkan sebagai upaya melakukan pemecahan masalah yang hendak
diteliti belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu. Apabila
permasalahannya mirip maka harus ditegaskan perbedaan penelitiannya
dengan penelitian terdahulu. Adapun pembahasan karya ilmiah terdahulu
tentang koperasi yang dijadikan sebagai pembanding dalam rangka upaya
penunjukkan orisinalitas penelitian ini adalah sebagai berikut.
a. Skripsi atas nama Shinta Octavia, Mahasiswi Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada
tahun 2012 dengan judul “Perlindungan Hukum Terhadap Anggota
Koperasi Simpan Pinjam Atas Tindakan Melawan Hukum Di Bidang
Penghimpunan Dana Masyarakat Dan Pengelolaan Divestasi”.
Terdapat tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.
1. Bagaimana pengaturan Peraturan Perundang-undangan terkait
dengan perlindungan hukum bagi anggota koperasi simpan pinjam
atas tindakan melawan hukum di bidang penghimpunan dana
masyarakat dan pengelolaan investasi ?
2. Bagaimana peran pemerintah dalam melakukan pengawasan
terhadap koperasi dalam menentukan rate bunga pada koperasi
simpan pinjam pada saat ini ?
3. Apakah diperlukan pengawasan dari lembaga keuangan terkait
bidang penghimpunan dana masyarakat dan pengelolaan investasi
terhadap anggota koperasi simpan pinjam ?
b. Skripsi atas nama M. Faruq Sulaiman, Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Daerah Khusus Ibukota Jakarta, penelitian pada
tahun 2012 dengan judul “Perbandingan Kedudukan dan Tanggung
Jawab Hukum Pengurus Pada Koperasi dan Perseroan Terbatas (Studi
Kasus : Koperasi Komunika dan PT Bakrie Telecom Tbk)”. Terdapat
tiga rumusan masalah dalam penelitian tersebut.
1. Bagaimanakah karakteristik dan kedudukan pengurus koperasi dan
perseroan terbatas dalam perannya sebagai pengurus dalam suatu
badan usaha ?
2. Bagaimanakah tugas, wewenang, dan tanggung jawab hukum bagi
pengurus koperasi dan perseroan terbatas serta hubungannya dengan
pengembangan usaha di tengah persaingan di dunia bisnis ?
3. Bagaimanakah hubungan hirarkis antara kedudukan dan tanggung
jawab hukum pengurus koperasi dan perseroan terbatas dengan
organ atau perangkat organisasi dalam koperasi dan perseroan
terbatas dalam praktek ?
c. Skripsi atas nama Andre Makadao, Mahasiswa Fakultas Hukum
Universitas Sam Ratulangi, Manado, penelitian pada tahun 2013
dengan judul “Aspek Hukum Pertanggungjawaban Pengurus Dalam
Pengelolaan Keuangan dan Manajemen Koperasi”. Terdapat dua
1. Bagaimanakah ketentuan hukum mengenai pendirian koperasi ?
2. Bagaimana bentuk pertanggungjawaban pengurus dalam
pengelolaan keuangan maupun manajemen koperasi ?
1.5 Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian merupakan rumusan kalimat yang menunjukkan
adanya hasil yang diperoleh setelah penelitian selesai dilakukan. Rumusan
tujuan mengungkapkan keinginan peneliti untuk memperoleh jawaban atas
permasalahan penelitian yang diajukan. Tujuan penelitian dibedakan
menjadi dua macam, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
Tujuan umum (het doel van het onderzoek) mengandung uraian
secara garis besar tentang upaya peneliti dalam rangka pengembangan
ilmu hukum terkait dengan paradigma ilmu sebagai proses (science as a
process) agar pembahasan mengenai bidang obyeknya masing-masing
tidak pernah final dalam penggalian kebenarannya.17 Tujuan khusus (het
doel in het onderzoek) mengandung uraian tentang upaya peneliti
membahas rumusan masalah yang terdapat dalam pembahasan rumusan
permasalahan penelitian. Selanjutnya tujuan umum dan tujuan khusus
tersebut akan dirumuskan sebagai berikut.
1.5.1 Tujuan umum
a. Agar dapat menunjang pendidikan dan pengetahuan masyarakat di
bidang hukum, terutama dalam bidang hukum bisnis yang secara
khusus membahas tentang koperasi ;
b. Agar dapat dijadikan referensi tambahan bagi mahasiswa-mahasiswa
lain yang ingin melakukan penelitian seputar koperasi.
1.5.2 Tujuan khusus
a. Untuk mengetahui konsep hukum tindakan pengurus koperasi yang
melampaui anggaran dasar.
b. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum dari tindakan pengurus
koperasi yang melampaui anggaran dasar.
1.6 Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian merupakan dampak dari pencapaian tujuannya.
Terdapat dua konsep manfaat penelitian, yaitu manfaat penelitian secara
teoritis dan praktis. Selanjutnya akan dibahas lebih rinci mengenai manfaat
teoritis dan praktis dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
1.6.1 Manfaat teoritis
a. Sebagai bentuk perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum,
khususnya dalam ilmu hukum perdata dan hukum bisnis tentang
koperasi ;
b. Menambah kepustakaan ilmu hukum, khususnya dalam ilmu hukum
perdata dan hukum bisnis tentang koperasi.
1.6.2 Manfaat praktis
a. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi instansi terkait
sebagai bahan acuan untuk melakukan perubahan terhadap ketentuan
perundang-undangan tentang koperasi agar terdapat uraian yang lebih
b. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,
khususnya mahasiswa sebagai bahan bacaan yang dapat dijadikan
referensi dalam melakukan penelitian mengenai koperasi.
1.7 Landasan Teoritis
Menurut Edgar Bodenheimer18, pada intinya konsep merupakan
suatu instrumen penting dan tidak dapat dihindari penggunaannya dalam
rangka untuk memberikan solusi-solusi pemecahan masalah-masalah
hukum. Edgar Bodenheimer19 pada intinya mengatakan pula bahwa tanpa
teknik pembatasan buah pikiran, kita tidak dapat berpikir secara jernih dan
rasional ketika dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan hukum dan tanpa
konsep pula kita tidak dapat menempatkan pikiran kita pada hukum dalam
kata-kata dan berkomunikasi kepada orang lain dengan cara yang
dimengerti. Oleh karena demikian, bertumpu pada pemaparan Edgar
Bodenheimer mengenai konsep tersebut bahwa salah satu cara yang
seringkali digunakan untuk menjelaskan konsep adalah memberi definisi.20
Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 tidak terdapat definisi secara
eksplisit tentang pembahasan tindakan melampaui anggaran dasar. Dalam
ketentuan Pasal 30 ayat (2) huruf c UU Perkoperasiaan tahun 1992
disebutkan bahwa pengurus berwenang melakukan tindakan-tindakan dan
upaya-upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan
tanggung jawabnya dan keputusan-keputusan rapat anggota.
Berdasarkan ketentuan Pasal 30 ayat (2) UU Perkoperasiaan tahun
1992 tersebut maka sebenarnya secara implisit UU Perkoperasiaan tahun
1992 mengatur bahwa pengurus koperasi tidak boleh melakukan tindakan
di luar apa yang diamanatkan oleh UU Perkoperasiaan tahun 1992 dan
anggaran dasar. Dikatakan tidak boleh melakukan tindakan di luar
anggaran dasar karena atas dasar pertimbangan bahwa anggaran dasar
merupakan “undang-undang” dari sebuah koperasi dimana dalam
penyusunannya berpedoman pada UU Perkoperasiaan tahun 1992. Status
“undang-undang” itu diperoleh setelah koperasi mendapat pengesahan
badan hukum dari pemerintah.
Sehubungan dengan pengesahan badan hukum koperasi dilakukan
oleh pemerintah maka yang menjadi persoalan adalah siapakah yang
dimaksud dengan pemerintah ? Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992
tidak terdapat penjelasan mengenai siapakah yang dimaksud dengan
pemerintah namun demikian bukan berarti tidak dapat dirumuskan siapa
yang dimaksud dengan pemerintah tersebut.
Mengawali pembahasannya, dalam hal ini patut diketahui
penjelasan Pasal 33 UUD NRI 1945 dimana dalam ketentuan penjelasan
tersebut koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian nasional. Hal
ini berarti koperasi dapat diartikan sebagai pilar atau penyangga utama
sebagai pilar utama dalam sistem perekonomian nasional. Oleh karena
demikian, maka pendirian koperasi harus diprioritaskan dan dipermudah
dimana hal tersebut dapat dilakukan dengan cara pengesahan badan hukum
koperasi cukup dilaksanakan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat
badan hukum koperasi didirikan.
Dalam hal ini patut diketahui konsep wewenang. Seperti yang
dikutip dari S.F Marbun21, wewenang mengandung arti kemampuan untuk
melakukan suatu tindakan hukum publik atau secara yuridis adalah
kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku
untuk melakukan hubungan-hubungan hukum.
Secara teoritik, terdapat tiga cara untuk memperoleh wewenang
pemerintahan yaitu atribusi, delegasi, dan mandat. Wewenang atribusi
adalah wewenang pemerintah yang diperoleh dari peraturan
perundang-undangan dimana wewenang ini dapat didelegasikan atau dimandatkan.22
Wewenang delegasi adalah wewenang yang diperoleh dari badan atau
organ pemerintahan yang lain. Wewenang delegasi merupakan pelimpahan
dari wewenang atribusi yang diberikan oleh pemberi wewenang (delegans)
kepada penerima wewenang (delegataris).23 Setelah terjadi pelimpahan
maka tanggung jawab beralih kepada delegataris dan bersifat tidak dapat
21 S.F Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 154-155.
22 Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, Laksbang, Yogyakarta, h. 66.
23 I Gusti Made Agus Mega Putra, 2016, “Kewenangan Komisi Aparatur Sipil Negara Dalam Proses Lelang Jabatan Terkait Sistem Merit Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun
ditarik kembali oleh delegans. Wewenang mandat adalah pelimpahan
wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan
dengan bawahannya.24 Setelah terjadi pelimpahan kepada penerima
mandat (mandataris), tanggung jawab tetap ada pada pemberi mandat
(mandans) dan sewaktu-waktu dapat ditarik dan digunakan kembali oleh
mandans.
Patut ditinjau ketentuan yang terdapat dalam Pasal 1 angka 11
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (selanjutnya disebut UU Pemerintahan Daerah tahun
2014). Dalam pasal tersebut diberikan definisi tentang tugas pembantuan,
yaitu penugasan dari Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk
melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan
Pemerintah Pusat atau dari Pemerintah Daerah provinsi kepada Daerah
kabupaten/kota untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan Daerah.
Bahwa sebelum tanggal 8 April 2016 pengesahan badan hukum
koperasi dilakukan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota tempat badan
hukum koperasi didirikan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam huruf b poin menimbang Keputusan Menteri Negara Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia Nomor 123 tahun 2004
tentang Penyelenggaraan Tugas Pembantuan dalam Rangka Pengesahan
Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar dan Pembubaran Koperasi
Pada Propinsi dan Kabupaten/Kota dimana disebutkan :
bahwa untuk efektifitas dan efisiensi pemberian pelayanan pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar, dan pembubaran koperasi kepada masyarakat sebagaimana dimaksud pada huruf a, Menteri dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat yang secara teknis bertanggung jawab dalam bidang perkoperasiaan di tingkat Propinsi/DI dan Kabupaten/Kota
Kemudian dalam poin memutuskan bagian pertama dan kedua disebutkan
sebagai berikut.
Pertama : Menunjuk Gubernur sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili lebih dari satu Kabupaten/Kota dalam wilayah Propinsi/DI yang bersangkutan.
Kedua : Menunjuk Bupati/Walikota sebagai pejabat yang berwenang untuk dan atas nama Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah sebagai penyelenggara tugas pembantuan dalam rangka pengesahan akta pendirian, perubahan anggaran dasar dan pembubaran koperasi primer dan koperasi sekunder yang anggotanya berdomisili di wilayah Kabupetan/Kota yang bersangkutan.
Dengan bertumpu pada ketentuan poin menimbang dan
memutuskan seperti yang telah disebutkan di atas dapat dipetik makna
bahwa Gubernur, Bupati atau Walikota mendapatkan pelimpahan
wewenang dari Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia (selanjutnya disebut Menkop dan UKM RI) untuk
melaksanakan tugas pembantuan dalam hal memberikan pengesahan
badan hukum koperasi. Apabila berpedoman pada cara-cara mendapatkan
Gubernur, Bupati atau Walikota bertindak sebagai delegataris (penerima
wewenang) dan Menkop dan UKM RI bertindak sebagai delegans
(pemberi wewenang).
Namun mulai tanggal 8 April 2016 sesuai dengan Peraturan
Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia
Nomor 10 tahun 2015 tentang Kelembagaan Koperasi (selanjutnya disebut
Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015),
pengesahan badan hukum koperasi dilaksanakan oleh Menkop dan UKM
RI. Dalam Pasal 45 Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan
Koperasi tahun 2015 disebutkan sebagai berikut.
(1) Menteri mendelegasikan pengesahan Akta Pendirian, Perubahan Anggaran Dasar, Penggabungan, Peleburan, Pembagian, dan Pembubaran Koperasi kepada Deputi Bidang Kelembagaan.
(2) Pengesahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan dengan sistem elektronik.
Bertumpu pada ketentuan pada Pasal 45 Peraturan Menkop dan
UKM tentang Kelembagaan Koperasi tahun 2015 tersebut bahwa sudah
jelas terlihat bahwa Deputi Bidang Kelembagaan diberikan pelimpahan
wewenang (delegasi) oleh Menkop dan UKM RI untuk melakukan
pengesahan badan hukum koperasi. Di samping itu, sesuai dengan Pasal 45
ayat (2) Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan Koperasi
tahun 2015 Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah
Republik Indonesia bekerja sama dengan Ikatan Notaris Indonesia
dimana pengesahan badan hukum koperasi dilakukan secara elektronik.25
Untuk memperoleh layanan elektronik tersebut, Notaris pembuat Akta
Pendirian Koperasi yang sudah terdaftar di Kementerian Koperasi dan
Usaha Kecil dan Menengah Republik Indonesia mengakses laman website
sisminbhkop.id dengan melakukan registrasi secara online.
Selanjutnya adalah pembahasan mengenai konsep tindakan
melampaui anggaran dasar. Konsep tindakan melampaui anggaran dasar
dapat dibandingkan dengan istilah ultra vires. Bahwa ultra vires berasal
dari bahasa latin yang dalam bahasa Inggris diterjemahkan sebagai
“beyond the power” atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai
melampaui kewenangan.26 Pemahaman secara akademis tentang ultra vires
dapat ditinjau dari apa yang dikemukakan oleh I.P.M Ranuhandoko
dimana Beliau menyebutkan bahwa ultra vires adalah bertindak melebihi
wewenangnya.27 Disebutkan pula dalam Martin Basiang bahwa ultra vires
adalah tindakan yang dilakukan yang berada di luar wewenang yang
diberikan.28
Kemudian seperti yang dikutip dari Johnny Ibrahim29, misalnya
dituliskan oleh Timothy Endicott, yaitu “ultra vires means beyond (the
25 Dina Ariyanti, 2016, “Pengesahan Akta Pendirian Koperasi Sekarang Bisa Lewat
Online”, URL:http://m.detik.com/finance/read/2016/04/15/123312/3188743/4/pengesahan-akta-pendirian-koperasi-sekarang-bisa-lewat-online, diakses pada tanggal 31 Mei 2016.
26 Johnny Ibrahim, op.cit, h. 243.
27I.P.M Ranuhandoko, 2008, Terminologi Hukum, Cet. V, Sinar Grafika, Jakarta, h. 522. 28 Martin Basiang, 2009, The Contemporary Law Dictionary, Cet. I, Red and White Publishing, Tanpa Kota Penerbit, h. 442.
agency) legal powers”. Kemudian, Frank Mack30 mengartikan ultra vires
sebagai berikut.
The term ultra vires in its proper sense act or transaction on the part of corporation which although not unlawfull or contrary to public policy if done or executed by an individual, is jet beyond the legitimate powers of the corporation as they are defined by the statute under which it is formed or which are applicable or by its charter or incorporation papers.
Black’s Law Dictionary mendefinisikan tentang ultra vires adalah sebagai
berikut.
“Unauthorized ; beyond the scope of power allowed or granted by
a corporate charter or by law”31
Sehubungan dengan definisi ultra vires menurut Black’s Law
Dictionary tersebut di atas bahwa dalam Black’s Law Dictionary
disebutkan pula mengenai definisi extra vires yaitu see ultra vires. Oleh
karena demikian maka tidak perlu untuk diperdebatkan antara ultra vires
dan extra vires karena dua istilah tersebut memiliki maknya yang sama,
yaitu melampaui kewenangan.32
Secara klasik bahwa tindakan yang dilakukan melampaui maksud
dan tujuan adalah batal dan tidak dapat dikuatkan atau disahkan. Hal
tersebut berarti bahwa maksud dan tujuan menentukan batas kewenangan
30 Frank Mack, Tanpa Tahun, “The Law on Ultra Vires Acts and Contracts of Private
Corporations”, URL:http://epublications.marquette.edu/cgi/viewcontent.cgiarticle=4163, diakses pada tanggal 23 November 2015.
31 Bryan A. Garner et.al, (eds), 2009, Black’s Law Dictionary, Ninth Edition, Law Prose Inc, Dallas, Texas, h. 1662.
bertindak berbeda dengan prinsip fiduciary duty.33 Oleh karena demikian,
maksud dari ultra vires ini adalah bukan bertindak di luar kewenangannya
tetapi bertindak di luar hal yang diperbolehkan oleh anggaran dasar
berkenaan dengan maksud dan tujuan badan hukum yang dalam
pembahasan ini adalah mencakup badan hukum perusahaan (koperasi).
Oleh karena berdasarkan ketentuan UU Perkoperasiaan tahun 1992,
koperasi dinyatakan sebagai badan usaha yang berbadan hukum maka
koperasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai badan hukum. Menurut
Meyers terdapat empat kriteria suatu badan usaha dapat dinyatakan
sebagai badan hukum, yaitu sebagai berikut.
a. Terkumpulnya menjadi satu hak-hak subyektif untuk suatu tujuan tertentu dengan cara yang demikian sehingga kekayaan yang bertujuan itu dapat dijadikan obyek tuntutan hutang-hutang tertentu.
b. Harus ada kepentingan yang diakui dan dilindungi oleh hukum dan kepentingan yang dilindungi itu harus bukan kepentingan satu atau beberapa orang saja.
c. Meskipun kepentingan itu tak terletak pada orang-orang tertentu namun kepentingan itu harus stabil, artinya tak terikat pada suatu waktu yang pendek saja tetapi untuk jangka waktu yang lama.
d. Harus dapat ditunjukkan suatu harta kekayaan yang tersendiri yang tidak saja untuk obyek tuntutan tetapi juga yang dapat dianggap oleh hukum sebagai upaya pemeliharaan kepentingan-kepentingan tertentu yang terpisah dari kepentingan anggota-anggotanya.34
Merujuk pada doktrin dari Meyers tersebut maka salah satu dampak dari
adanya tindakan melampaui anggaran dasar dari pengurus koperasi adalah
dapat timbul tuntutan perdata yang diajukan oleh pihak-pihak yang
dirugikan.
33 Dwi Suryahartati, Tanpa Tahun, “Doktrin Ultra Vires (Perspektif Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas)”, Jurnal Universitas Negeri Jakarta, Jakarta, h. 118,URL:http//:www.online-journal.unja.ac.id, diakses pada tanggal 23 November 2015.
Pandangan tradisional tentang ultra vires pada prinsipnya
memandang bahwa tindakan tersebut dapat menimbulkan akibat hukum,
yaitu batal demi hukum (null and void). Oleh karena itu, berdasarkan
pandangan tradisional ini maka tindakan ultra vires tersebut tidak dapat
disahkan melalui rapat anggota. Pandangan secara tradisional juga
menyediakan upaya-upaya hukum yang merupakan akibat hukum tindakan
ultra vires antara lain sebagai berikut.
a. Pihak kreditur mempunyai hak untuk membawa gugatan untuk memaksa perseroan untuk tidak melaksanakan kontrak ultra vires
tersebut jika kreditur dapat membuktikan bahwa dengan kontrak yang
ultra vires tersebut dapat mengakibatkan tidak cukupnya aset perseroan untuk membayar utang-utangnya,
b. Pihak perseroan dapat mengajukan gugatan terhadap direksi atau pejabat perseroan yang melakukan perbuatan yang tergolong ultra vires
tersebut,
c. Atas nama kepentingan umum, jaksa dapat melakukan gugatan yang disebut dengan action in quo warranto untuk membubarkan perseroan.35
.
Dalam perjalanan sejarahnya, konsep tradisional ultra vires
mengalami modifikasi. Hal ini terjadi sejalan dengan perkembangan dan
kebutuhan keadilan bagi pihak-pihak yang terlibat. Sebagai akibat dari
modifikasi tersebut bahwa adanya tindakan ultra vires tidak selamanya
mutlak tanggung jawab dari petugas yang melakukannya. Pandangan
tersebut menunjukkan perkembangan doktrin ultra vires dari tradisional
menuju ke arah yang luwes.
1.8 Metode Penelitian
Menurut Morris L. Cohen, “Legal Research is the process of
finding the law that governs activities in human society” dimana pendapat
Morris L. Cohen tersebut diartikan bahwa penelitian hukum merupakan
suatu kegiatan know how dalam ilmu hukum bukan sekadar know about.36
Sebagai kegiatan know how, penelitian hukum dilakukan untuk
memecahkan isu hukum yang dihadapi yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat dan di sinilah dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasi
masalah hukum, melakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang
dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan masalah yang dihadapi.37
1.8.1 Jenis Penelitian
Penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian hukum normatif.
Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang dilakukan atas dasar
adanya ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Penelitian
dalam skripsi ini didasarkan pada alasan apakah tindakan melampaui
anggaran dasar oleh pengurus koperasi dapat dikatakan sebagai tindakan
ultra vires serta bagaimana sikap yang dapat diambil oleh rapat anggota
atas tindakan melampaui anggaran dasar tersebut.
1.8.2 Jenis pendekatan
Penelitian hukum umumnya mengenal tujuh jenis pendekatan, yaitu
pendekatan kasus (case approach), pendekatan perundang-undangan
36 Peter Mahmud Marzuki, 2013, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cet. VIII, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 57 dan 60, dikutip dari Morris L. Cohen & Kent C. Olson, 1992, Legal Research, West Publishing Company, St. Paul Minn, h. 1.
(statute approach), pendekatan fakta (fact approach), pendekatan analisis
konsep hukum (analitical and conceptual approach), pendekatan frasa
(words and phrase approach), pendekatan sejarah (historical approach),
dan pendekatan perbandingan (comparative approach). Dari tujuh jenis
pendekatan dalam penelitian hukum tersebut maka jenis pendekatan dalam
penelitian skripsi ini adalah pendekatan perundang-undangan (Statute
Approach), pendekatan analisis konsep hukum (Analitical and Conceptual
Approach), dan pendekatan perbandingan (Comparative Approach).
Statute Approach adalah pendekatan dengan berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menyelesaikan isu
hukum yang sedang dibahas akibat kekosongan atau kekaburan norma
hukum. Dalam UU Perkoperasiaan tahun 1992 belum terdapat ketentuan
mengenai perlindungan hukum kepada pihak ketiga atas tindakan pengurus
koperasi yang melampaui anggaran dasar.
Analitical and Conceptual Approach adalah pendekatan dengan
berdasarkan pada konsep-konsep hukum. Untuk menentukan konsep
hukum tindakan pengurus koperasi yang melampaui anggaran dasar maka
penulis melakukan analisis konsep ultra vires dan konsep perbuatan
melawan hukum (onrechtmatigedaad) dalam rangka untuk memperdalam
pembahasan.
Comparative Approach adalah pendekatan dengan tujuan untuk
membandingkan hukum suatu negara dengan hukum negara lain dari suatu
dilakukan perbandingan terhadap konsep perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad) yang berasal dari sistem hukum civil law dengan
konsep ultra vires yang berasal dari sistem hukum common law. Di
samping itu, digunakan pula UUPT tahun 2007 sebagai bahan
perbandingan untuk menemukan upaya apa yang dapat diambil oleh RUPS
atas tindakan direksi yang melampaui anggaran dasar dimana hal ini
bertujuan agar dapat diperoleh jawaban terhadap upaya apa yang dapat
diambil oleh rapat anggota atas tindakan pengurus koperasi yang
melampaui anggaran dasar.
1.8.3 Sumber bahan hukum
Sumber bahan hukum terdiri dari bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri atas asas dan kaidah hukum
dimana perwujudan asas dan kaidah hukum dapat berupa peraturan
perundang-undangan dalam arti luas, Perjanjian Internasional, Konvensi
Ketatangeraan, Putusan Pengadilan, Keputusan Tata Usaha Negara, dan
Hukum Adat (tertulis dan tidak tertulis).
Bahan hukum sekunder terdiri dari buku-buku hukum, jurnal-jurnal
hukum, karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa, kamus dan ensiklopedi hukum (beberapa penulis hukum
menggolongkan kamus dan ensiklopedi hukum ke dalam bahan hukum
tersier), dan internet dengan menyebut nama situsnya.
Penelitian pada skripsi ini menggunakan bahan hukum primer dan
NRI 1945, Undang-Undang Nomor 12 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perkoperasiaan, UU Perkoperasiaan tahun 1992, Undang-Undang Nomor
Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1998, UUPT
tahun 2007, UU Pemerintahan Daerah tahun 2014, Peraturan Pemerintah
Nomor 4 tahun 1994 tentang Pendirian dan Perubahan Anggaran Dasar
Koperasi, Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 46
tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan
Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin
Usaha Perdagangan, Peraturan Menkop dan UKM tentang Kelembagaan
Koperasi tahun 2015 dan Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Nomor 19 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Rapat Anggota
Koperasi. Kemudian, bahan hukum sekundernya terdiri dari buku-buku
yang membahas mengenai koperasi, Perseroan Terbatas, dasar-dasar ilmu
hukum, perjanjian, konsep wewenang, dan karya tulis hukum (skripsi).
Juga digunakan kamus-kamus hukum (Oxford Dictionary of Law, Black’s
Law Dictionary, dan The Contemporary Law Dictionary) dan Kamus
Terjemahan Bahasa Inggris-Indonesia, doktrin atau pandangan para
sarjana hukum sesuai dengan pembahasan permasalahan serta internet
dengan menyebutkan secara jelas situsnya.
Di samping menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, penelitian pada skripsi ini juga menggunakan data penunjang
normatif berupa hasil wawancara mendalam dari tokoh-tokoh kunci (key
person) bidang hukum. Tokoh-tokoh kunci tersebut adalah pihak-pihak
yang kompeten dalam bidang perkoperasiaan.
1.8.4 Teknik pengumpulan bahan hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
teknik studi dokumen. Teknik studi dokumen dilakukan dengan cara
mencari, menginventarisasi, dan mempelajari peraturan
perundang-undangan yang terkait dan juga selain itu dilakukan dengan cara
mengumpulkan bahan hukum sekunder ditambah dengan data yang
diperoleh melalui hasil wawancara dengan pihak-pihak yang terkait
dengan perkoperasiaan sebagai penunjang pembahasan masalah.
1.8.5 Teknik analisis bahan hukum
Dalam penelitian hukum, untuk menganalisis bahan-bahan hukum
yang telah terkumpul terdapat beberapa teknik analisis bahan hukum.
Teknik tersebut diantaranya adalah teknik deskripsi, teknik interpretasi,
teknik konstruksi, teknik evaluasi, teknik argumentasi, dan teknik
sistematisasi.
Teknik analisis bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini adalah teknik deskripsi, teknik evaluasi, teknik argumentasi,
teknik konstruksi, dan teknik sistematisasi. Teknik deskripsi adalah teknik
dasar analisis dengan menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau
posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum. Teknik evaluasi
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah oleh peneliti terhadap
suatu pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik
yang tertera dalam bahan hukum primer maupun dalam bahan hukum
sekunder. Teknik argumentasi adalah teknik atas dasar penilaian yang
harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
Teknik konstruksi adalah adalah teknik yang dilakukan dengan
menggunakan analogi dan pembalikan proposisi. Teknik sistematisasi
adalah teknik yang berupaya mencari hubungan rumusan suatu konsep
hukum atau proposisi hukum antara peraturan perundang-undangan yang
2.1 Koperasi
2.1.1 Pemahaman koperasi secara umum
Secara etimologi, koperasi berasal dari bahasa Inggris dari kata co dan
operation. Co berarti bersama dan operation berarti bekerja sehingga
apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia maka cooperation berarti
bekerja bersama. Kemudian dalam bahasa Belanda disebut cooperatie
dimana berasal dari kata co yang berarti bersama dan operatie yang berarti
bekerja sehingga apabila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
cooperatie berarti bekerja bersama. Oleh karena demikian maka apabila
dilafalkan dalam bahasa Indonesia menjadi koperasi.
2.1.2 Pengertian koperasi dan dasar hukum koperasi
Mengawali pembahasannya maka terlebih dahulu dibahas mengenai
pengertian koperasi. Pada umumnya para ahli memberikan pengertian
koperasi secara tersendiri sehingga oleh karena itu sulit untuk memahami
pengertian koperasi. Akan tetapi dari setiap pengertian koperasi yang
diberikan oleh para ahli tersebut terdapat kesamaan sehingga gambaran
tentang adanya kesatuan di antara perbedaan-perbedaan tersebut akhirnya
diperoleh juga. Beberapa pengertian tentang koperasi yang dijadikan
rujukan di antaranya adalah pengertian tentang koperasi dari para ahli
yaitu dari C.R Fay, H.E Erdman, Mohammad Hatta, dan Arifinal
Chaniago. Beberapa pengertian dari masing-masing ahli tersebut
dikemukakan sebagai berikut.
1. C.R Fay dalam bukunya yang berjudul Cooperative at Home and Abroad mendefinisikan koperasi sebagai :
an association for the purpose of joint trading, originating among the weak and conducted always in unselfish spirit on such terms that all who are prepared to assume the duties of membership share in its rewards in proportion to the degree in which they make uses of their association
2. H.E Erdman dalam tulisannya yang berjudul Passing of Monopoli as an Aim of Cooperatives mengemukakan bahwa :
the cooperatives as a business corporation, is a legal person, distinct from its members and contionous to exist not with standing their outstanding individual debts or withdrawal. In contract to the ordinary corporation the cooperative serves only as an agent for its members of cooperative serve themselves. They are both owners and users of the services and a contractual arrangement requires all margins above the cost of operation to be returned to the
4. Arifinal Chaniago mendefinisikan koperasi sebagai suatu perkupulan yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum yang memberikan kebebasan kepada anggota untuk masuk dan keluar dengan bekerja sama secara kekeluargaan menjalankan usaha untuk mempertinggi kesejahteraan jasmaniah para anggotanya.1
Setelah mengetahui pengertian koperasi dari para ahli maka
selanjutnya adalah patut diketahui dasar hukum dari koperasi itu sendiri.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan Indonesia, dasar hukum dari
pengertian koperasi terdapat dalam Pasal 1 angka (1) UU Perkoperasiaan
tahun 1992 dimana dalam pasal tersebut disebutkan bahwa koperasi adalah
1
badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum
koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi
sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas
kekeluargaan.
Dengan bertumpu pada pendapat-pendapat para ahli dan ketentuan
UU Perkoperasiaan tahun 1992 dapat dipetik makna bahwa koperasi
adalah badan usaha bersama dimana usaha bersama tersebut menunjukkan
semangat bekerja sama dalam kegotongroyongan dengan mengutamakan
perserikatan (tidak sendiri-sendiri).
2.2 Sejarah Koperasi di Indonesia
Koperasi di Indonesia telah dikenal lebih dari setengah abad yang
lalu. Sudah tentu koperasi yang pernah didirikan mengalami pasang surut
dalam pelaksanaan usahanya. Dalam uraian berikut ini dilakukan tinjauan
periodesasi sejarah koperasi di Indonesia. Dimulai dari periodesasi pada
zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan Jepang, zaman
pembangunan/kemerdekaan, zaman orde baru, dan zaman reformasi.
2.2.1 Zaman penjajahan Belanda
Cita-cita untuk mendirikan koperasi telah lama terkandung dalam
pikiran bangsa Indonesia. Dalam kesulitan hidup yang serba dengan
keputusasaan kemudian muncullah seseorang yang memberi semangat
hidup oleh karena Beliau paham tentang jiwa rakyat yang sedang dilanda
kemiskinan dan kebodohan. Seseorang tersebut adalah Raden Aria