• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesantunan berbahasa anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kesantunan berbahasa anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II."

Copied!
232
0
0

Teks penuh

(1)

i

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN

GRIYA TAMANSARI II

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Ika Bonieta Kusumaningtyas 101224012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

ii

SKRIPSI

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN

GRIYA TAMANSARI II

Oleh :

Ika Bonieta Kusumaningtyas 101224012

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I

Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. Tanggal, 21 April 2015

(3)

iii SKRIPSI

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN GRIYA TAMANSARI II

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ika Bonieta Kusumaningtyas

NIM : 101224012

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 4 April 2015

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan panitia penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd. ... Sekretaris : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ... Anggota : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ...

Yogyakarta, 4 April 2015

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(4)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 Mei 2015

(5)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Ika Bonieta Kusumaningtyas Nomor Mahasiswa : 101224012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :

KESANTUNAN

BERBAHASA

ANAK

REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN GRIYA

TAMANSARI II

Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa peru meminta izin dari saya maupun royalti pada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dilihat di Yogyakarta Pada tanggal : 21 April 2015 Yang menyatakan,

(6)

vi MOTTO

Jika pikiran saya bisa membayangkannya, hati saya bisa meyakininya,

(7)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

(8)

viii ABSTRAK

Kusumaningtyas, Ika Bonieta. 2015. Kesantunan Berbahasa Anak Remaja dengan Orang Tua di Perumahan Griya Tamansari II.

Skripsi yang berjudul Kesantunan berbahasa Anak Remaja Dengan Orang Tua di Perumahan Griya Tamansari II ini merupakan kajian pada tuturan yang digunakan oleh anak usia remaja. Kesantunan berbahasa merupakan perangkat yang digunakan penutur agar tuturannya tidak menyinggung mitra tutur. Dengan menggunakan bahasa yang santun, penutur dapat menjaga hubungan interpersonal dengan mitra tutur.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan yang tidak santun, bentuk-bentuk tuturan yang santun, penanda kesantunan berbahasa, dan maksud kesantunan berbahasa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan kesantunan berbahasa anak usia remaja. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang diucapkan anak remaja dalam kegiatan sehari-hari di rumah dengan orang tuanya. Dengan demikian, subjek penelitian ini adalah anak usia remaja. Pengumpulan data diperoleh dengan metode sadap rekam. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Grice, Geoffrey Leech, serta Brown dan Levinson.

Peneliti menemukan bahwa sebagian tuturan usia remaja belum menggunakan bahasa yang santun. Hal ini disebabkan karena penutur melanggar kaidah-kaidah kesantunan berbahasa. Anak usia remaja melakukan pelanggaran pada maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara. Anak usia remaja juga melakukan pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech. Pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan atau maksim kecocokan, dan maksim simpati. Pelanggaran yang paling terakhir adalah pelanggaran konsep muka positif.

(9)

ix ABSTRACT

Kusumaningtyas, Ika Bonieta. 2015. The Politeness of Using Language by Teenagers Speaking in Perum Griya Tamansari II. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study entitled the politeness of using language by teenagers speaking in Perum Griya Tamansari II was an observation on conversations done by teenagers. The politeness of using languages was a system of communication used by the speakers to respect the interlocutors. By using the polite language, the speakers could kindly keep interpersonal relationship with the interlocutors.

This study was aimed to represent kinds of impolite conversations, kinds of polite conversations, signs of politeness using language, and the intension of using polite language. Moreover, this study was indeed aimed to describe the politeness of using languages by teenagers. The data of this study was conversation done by the teenagers speaking to their parents through their daily activities. Therefore, the subjects involved in this study were the teenagers. The researcher carried out recording method to collect the data. The data was analyzed using norms of language politeness by Grice, Geoffrey Leech and Brown and Levinson.

The result of this study revealed that some conversations done by teenagers had not consisted of polite languages since the teenagers against the rules of language politeness. The teenagers disobeyed the rules of language politeness especially on the quantity maxim, relevance maxim, and manner maxim. Furthermore, the teenagers against the principle of politeness of using language proposed by Leech. The infractions were on reception maxim, humbleness maxim, compatibility maxim, and sympathy maxim. The primary finaly was on the good expression.

From the analyzed conversations, the researcher discovered kinds of polite

conversations, signs of teenagers’ politeness, and the intension of teenagers’

(10)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, Yesus Kristus, dan Bunda Maria atas berlimpah karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Anak Remaja dengan Orangtua

di Perumahan Griya Tamansari II”

.

Penyusunan penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Skripsi ini dapat terwujud berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah memberikan perhatian, arahan, pendapat, dan dorongan agar skripsi ini selesai.

2. Dr. R Kunjana Rahardi, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membantu saya untuk membetulkan dan memberikan pendapat agar skripsi ini lebih baik.

3. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. yang telah menguji saya saat ujian pendadaran dan terimakasih atas segala macam masukkan agar skripsi saya menjadi lebih baik dari sebelumnya

4. Dr. Y Karmin yang telah membantu saya menjadi trianggulator dari data yang telah saya buat.

5. Seluruh dosen di PBSI : Dr. Yuliana setiyaningsih, M.Pd., Drs. G. Sukadi, J. Prapta Diharja, M.Hum., Alm. Dr. A. M. Slamet Soewandi,M.Pd., Y. F. Setya Tri Nugraha, S.Pd., M.Pd, L. Rishe Purnama Dewi, S.Pd, M.Hum. dan Drs. P. Haryanto, M.Pd.

6. Staf sekretariat Robertus Marsidiq yang telah membantu dalam hal menyiapkan segala keperluan skripsi sampai selesai.

7. Aurelia Suryani Asriningsih yang selalu memberi semangat dari pertama kali diberi nafas kehidupan dan dengan penuh sabar mendampingi penulis sampai sekarang.

(11)

xi

9. Angela Putri Meriyani yang sudah membantu aku dalam mentranslitkan kata-kata bahasa inggris dan merangkaikannya.

10.Rudolf Marsaud Panjaitan yang selalu mendorongku untuk menyelesaikan skripsi dan juga telah meminjamkan hardisk ke laptopku supaya menyala lagi dan menyelesaikan skripsi ini.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung untuk kelancaran skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan

Penulis, semoga skripsi ini bermanfaat walau sekecil apapun dan bagi siapapun. Penulis juga berharap penelitian ini bukanlah yang terakhir karena tercebur dalam kubangan penelitian begitu mengasyikkan.

Penulis

(12)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH... v

MOTTO... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN... vii

ABSTRAK ...viii

ABSTRACT... ix

KATA PENGANTA... x

DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1Latar Belakang... 1

1.2Rumusan Masalah... 3

1.3Tujuan... 3

1.4Manfaat... 4

1.5Batasan Istilah... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9

2.1 Penelitian yang Relevan... 9

2.2 Teori-teori Kesantunan Berbahasa... 10

(13)

xiii

2.2.2 Prinsip Kesantunan Brown dan Levinson... 15

2.2.3 Prinsip Kerjasama Greace... 20

2.3 Konteks... 22

2.4 Konsep Pragmatik... 24

2.3.1 Tindak Tutur Sebagai Aspek dalam Kesantunan Berbahasa 26 2.3.2 Implikatur Percakapan... 28

2.4 Kerangka berpikir... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1 Jenis Penelitian... 35

3.2 Subjek Penelitian... 36

3.3 Sumber Data... 37

3.4 Teknik Pengumpulan Data... 39

3.5 Instrument penelitian... 40

3.6 Teknik Analisis Data... 40

BAB IV PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN... 43

4.1 Deskripsi Data... 43

4.2 Analisis Data... 45

4.2.1 Manifestasi Kesantunan Berbahasa... 45

4.2.1.1 Bentuk Tuturan yang Tidak Santun... 45

4.2.1.1.1 Pelanggaran Prinsip Kerjasama... 45

4.2.1.1.2 Pelanggaran prinsip kesantunan Berbahasa... 51

4.2.1.1.3 Pelanggaran Kesantunan Konsep Muka... 60

4.2.1.2 Bentuk Tuturan yang Santun... 62

(14)

xiv

4.2.2.1 Penanda Ketidaksantunan Berbahasa... 63

4.2.2.1.1 Penutur Tidak Dapat Mengendalikan Emosi Ketika Bertutur... 63

4.2.2.1.2 Penutur Memaksakan Pendapatnya... 64

4.2.2.1.3 Penutur Memojokkan Mitra Tutur... 65

4.2.2.2 Penanda Tuturan yang Santun... 66

4.2.2.2.1 Menanggapi Mitra Tutur dengan Positif... 67

4.2.2.2.2 Menyampaikan Pendapat dengan Tidak Berbelit-Belit.. 68

4.2.2.2.3 Mengungkapkan Ketidaksetujuan Tanpa Memojokkan Mitra Tutur... 68

4.2.3 Maksud Kesantunan Berbahasa... 69

4.2.3.1 Sikap Kerendahan Hati Penutur... 69

4.2.3.2 Sikap Hormat Penutur Terhadap Mitra Tutur...71

4.2.3.3 Menjaga Perasaan Mitra Tutur... 73

4.2.3.4 Mengembangkan Sikap Diri yang Baik...75

4.2.3.5 Berhati-hati dalam Pemilihan Kata dan Gerak Tubuh...76

4.3 Pembahasan... 77

4.3.1 Manifestasi Kesantunan Berbahasa... 78

4.3.2 Penanda Kesantunan Berbahasa... 92

4.3.3 Maksud Kesantunan Berbahasa... 99

BAB V PENUTUP... 110

5.1 Kesimpulan... 110

(15)

xv

DAFTAR PUSTAKA... 115

(16)

i

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN

GRIYA TAMANSARI II

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh :

Ika Bonieta Kusumaningtyas 101224012

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(17)

ii

SKRIPSI

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN

GRIYA TAMANSARI II

Oleh :

Ika Bonieta Kusumaningtyas 101224012

Telah disetujui oleh :

Pembimbing I

Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. Tanggal, 21 April 2015

(18)

iii SKRIPSI

KESANTUNAN BERBAHASA ANAK REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN GRIYA TAMANSARI II

Dipersiapkan dan ditulis oleh : Ika Bonieta Kusumaningtyas

NIM : 101224012

Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji pada tanggal 4 April 2015

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan panitia penguji

Nama Lengkap Tanda Tangan

Ketua : Dr. Yuliana Setiyaningsih, M.Pd. ... Sekretaris : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota : Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. ... Anggota : Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum. ... Anggota : Dr. B. Widharyanto, M.Pd. ...

Yogyakarta, 4 April 2015

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma

Dekan,

(19)

iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam daftar pustaka sebagaimana layaknya penulisan karya ilmiah.

Yogyakarta, 20 Mei 2015

(20)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertandatangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Ika Bonieta Kusumaningtyas Nomor Mahasiswa : 101224012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, karya ilmiah saya yang berjudul :

KESANTUNAN

BERBAHASA

ANAK

REMAJA

DENGAN ORANGTUA DI PERUMAHAN GRIYA

TAMANSARI II

Dengan demikian saya memberikan kepada Universitas Sanata Dharma, hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikannya secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk keperluan akademis tanpa peru meminta izin dari saya maupun royalti pada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dilihat di Yogyakarta Pada tanggal : 21 April 2015 Yang menyatakan,

(21)

vi MOTTO

Jika pikiran saya bisa membayangkannya, hati saya bisa meyakininya,

(22)

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

(23)

viii ABSTRAK

Kusumaningtyas, Ika Bonieta. 2015. Kesantunan Berbahasa Anak Remaja dengan Orang Tua di Perumahan Griya Tamansari II.

Skripsi yang berjudul Kesantunan berbahasa Anak Remaja Dengan Orang Tua di Perumahan Griya Tamansari II ini merupakan kajian pada tuturan yang digunakan oleh anak usia remaja. Kesantunan berbahasa merupakan perangkat yang digunakan penutur agar tuturannya tidak menyinggung mitra tutur. Dengan menggunakan bahasa yang santun, penutur dapat menjaga hubungan interpersonal dengan mitra tutur.

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk tuturan yang tidak santun, bentuk-bentuk tuturan yang santun, penanda kesantunan berbahasa, dan maksud kesantunan berbahasa. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mendeskripsikan kesantunan berbahasa anak usia remaja. Data dalam penelitian ini adalah tuturan-tuturan yang diucapkan anak remaja dalam kegiatan sehari-hari di rumah dengan orang tuanya. Dengan demikian, subjek penelitian ini adalah anak usia remaja. Pengumpulan data diperoleh dengan metode sadap rekam. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan kaidah-kaidah kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Grice, Geoffrey Leech, serta Brown dan Levinson.

Peneliti menemukan bahwa sebagian tuturan usia remaja belum menggunakan bahasa yang santun. Hal ini disebabkan karena penutur melanggar kaidah-kaidah kesantunan berbahasa. Anak usia remaja melakukan pelanggaran pada maksim kuantitas, maksim relevansi dan maksim cara. Anak usia remaja juga melakukan pelanggaran prinsip kesantunan berbahasa yang dikemukakan oleh Leech. Pelanggaran yang dilakukan adalah pelanggaran maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan atau maksim kecocokan, dan maksim simpati. Pelanggaran yang paling terakhir adalah pelanggaran konsep muka positif.

(24)

ix ABSTRACT

Kusumaningtyas, Ika Bonieta. 2015. The Politeness of Using Language by Teenagers Speaking in Perum Griya Tamansari II. Thesis. Yogyakarta: PBSI, JPBS, FKIP, USD.

This study entitled the politeness of using language by teenagers speaking in Perum Griya Tamansari II was an observation on conversations done by teenagers. The politeness of using languages was a system of communication used by the speakers to respect the interlocutors. By using the polite language, the speakers could kindly keep interpersonal relationship with the interlocutors.

This study was aimed to represent kinds of impolite conversations, kinds of polite conversations, signs of politeness using language, and the intension of using polite language. Moreover, this study was indeed aimed to describe the politeness of using languages by teenagers. The data of this study was conversation done by the teenagers speaking to their parents through their daily activities. Therefore, the subjects involved in this study were the teenagers. The researcher carried out recording method to collect the data. The data was analyzed using norms of language politeness by Grice, Geoffrey Leech and Brown and Levinson.

The result of this study revealed that some conversations done by teenagers had not consisted of polite languages since the teenagers against the rules of language politeness. The teenagers disobeyed the rules of language politeness especially on the quantity maxim, relevance maxim, and manner maxim. Furthermore, the teenagers against the principle of politeness of using language proposed by Leech. The infractions were on reception maxim, humbleness maxim, compatibility maxim, and sympathy maxim. The primary finaly was on the good expression.

From the analyzed conversations, the researcher discovered kinds of polite

conversations, signs of teenagers’ politeness, and the intension of teenagers’

(25)

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Bapa Yang Maha Kuasa, Yesus Kristus, dan Bunda Maria atas berlimpah karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

penelitian yang berjudul “Kesantunan Berbahasa Anak Remaja dengan Orangtua

di Perumahan Griya Tamansari II”

.

Penyusunan penelitian ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat mencapai gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Skripsi ini dapat terwujud berkat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis berterimakasih kepada :

1. Prof. Dr. Pranowo, M.Pd. selaku pembimbing I yang telah memberikan perhatian, arahan, pendapat, dan dorongan agar skripsi ini selesai.

2. Dr. R Kunjana Rahardi, M.Hum. selaku pembimbing II yang telah membantu saya untuk membetulkan dan memberikan pendapat agar skripsi ini lebih baik.

3. Dr. B. Widharyanto, M.Pd. yang telah menguji saya saat ujian pendadaran dan terimakasih atas segala macam masukkan agar skripsi saya menjadi lebih baik dari sebelumnya

4. Dr. Y Karmin yang telah membantu saya menjadi trianggulator dari data yang telah saya buat.

5. Seluruh dosen di PBSI : Dr. Yuliana setiyaningsih, M.Pd., Drs. G. Sukadi, J. Prapta Diharja, M.Hum., Alm. Dr. A. M. Slamet Soewandi,M.Pd., Y. F. Setya Tri Nugraha, S.Pd., M.Pd, L. Rishe Purnama Dewi, S.Pd, M.Hum. dan Drs. P. Haryanto, M.Pd.

6. Staf sekretariat Robertus Marsidiq yang telah membantu dalam hal menyiapkan segala keperluan skripsi sampai selesai.

7. Aurelia Suryani Asriningsih yang selalu memberi semangat dari pertama kali diberi nafas kehidupan dan dengan penuh sabar mendampingi penulis sampai sekarang.

(26)

xi

9. Angela Putri Meriyani yang sudah membantu aku dalam mentranslitkan kata-kata bahasa inggris dan merangkaikannya.

10.Rudolf Marsaud Panjaitan yang selalu mendorongku untuk menyelesaikan skripsi dan juga telah meminjamkan hardisk ke laptopku supaya menyala lagi dan menyelesaikan skripsi ini.

11.Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang telah membantu baik langsung maupun tidak langsung untuk kelancaran skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Harapan

Penulis, semoga skripsi ini bermanfaat walau sekecil apapun dan bagi siapapun. Penulis juga berharap penelitian ini bukanlah yang terakhir karena tercebur dalam kubangan penelitian begitu mengasyikkan.

Penulis

(27)

xii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii HALAMAN PENGESAHAN... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

ILMIAH... v MOTTO... vi HALAMAN PERSEMBAHAN... vii ABSTRAK ...viii ABSTRACT... ix

KATA PENGANTA... x DAFTAR ISI... xii

BAB I PENDAHULUAN... 1 1.1Latar Belakang... 1 1.2Rumusan Masalah... 3 1.3Tujuan... 3 1.4Manfaat... 4 1.5Batasan Istilah... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA... 9 2.1 Penelitian yang Relevan... 9 2.2 Teori-teori Kesantunan Berbahasa... 10

(28)

xiii

2.2.2 Prinsip Kesantunan Brown dan Levinson... 15 2.2.3 Prinsip Kerjasama Greace... 20 2.3 Konteks... 22 2.4 Konsep Pragmatik... 24 2.3.1 Tindak Tutur Sebagai Aspek dalam Kesantunan Berbahasa 26 2.3.2 Implikatur Percakapan... 28 2.4 Kerangka berpikir... 29

BAB III METODE PENELITIAN... 35 3.1 Jenis Penelitian... 35 3.2 Subjek Penelitian... 36 3.3 Sumber Data... 37 3.4 Teknik Pengumpulan Data... 39 3.5 Instrument penelitian... 40 3.6 Teknik Analisis Data... 40

(29)

xiv

4.2.2.1 Penanda Ketidaksantunan Berbahasa... 63 4.2.2.1.1 Penutur Tidak Dapat Mengendalikan Emosi

Ketika Bertutur... 63 4.2.2.1.2 Penutur Memaksakan Pendapatnya... 64 4.2.2.1.3 Penutur Memojokkan Mitra Tutur... 65 4.2.2.2 Penanda Tuturan yang Santun... 66 4.2.2.2.1 Menanggapi Mitra Tutur dengan Positif... 67 4.2.2.2.2 Menyampaikan Pendapat dengan Tidak Berbelit-Belit.. 68 4.2.2.2.3 Mengungkapkan Ketidaksetujuan Tanpa

Memojokkan Mitra Tutur... 68 4.2.3 Maksud Kesantunan Berbahasa... 69 4.2.3.1 Sikap Kerendahan Hati Penutur... 69 4.2.3.2 Sikap Hormat Penutur Terhadap Mitra Tutur...71 4.2.3.3 Menjaga Perasaan Mitra Tutur... 73 4.2.3.4 Mengembangkan Sikap Diri yang Baik...75 4.2.3.5 Berhati-hati dalam Pemilihan Kata dan Gerak Tubuh...76 4.3 Pembahasan... 77 4.3.1 Manifestasi Kesantunan Berbahasa... 78 4.3.2 Penanda Kesantunan Berbahasa... 92 4.3.3 Maksud Kesantunan Berbahasa... 99

(30)

xv

DAFTAR PUSTAKA... 115

(31)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bahasa merupakan alat untuk berkomunikasi dan alat untuk menunjukkan identitas masyarakat. Berkomunikasi yang baik adalah berkomunikasi dengan tuturan yang baik dan tidak menyinggung atau membuat rugi orang lain. Salah satu cara berkomunikasi dengan baik yaitu berbahasa yang santun. Ada penutur yang berusaha membangun hubungan sosial itu dengan cara menggunakan kata atau ungkapan yang singkat dan jelas. Ada juga yang menggunakan bentuk panjang, tidak langsung dan terkadang tidak jelas.

Kesantunan berbahasa secara tradisional diatur oleh norma-norma dan moralitas masyarakat yang dilaksanakan dalam budaya yang sudah melekat pada masyarakat. Tata krama berbahasa antara yang muda kepada yang lebih tua sudah lama tertanam pada diri masyarakat, namun perlahan mulai sirna karena arus modern. Sehingga kesantunan berbahasa luntur begitu saja seiring berubahnya arus jaman saat ini yang terus masuk dan menarik untuk di teliti.

(32)

berbahasa. Malahan menurut mereka menjadi sesuatu yang tidak ‘gaul’ jika

berbahasa sopan terhadap orang yang lebih tua. Hal ini menjadi sangat memprihatinkan bagi orang-orang tua. Bahkan cenderung tidak memiliki kesantunan di dalam setiap bahasa yang mereka lontarkan. Cenderungmereka menyamaratakan bahasa yang digunakan. Tidak melihat siapa yang diajak berbicara, misalnya saja berbicara dengan orang yang lebih tua, bahasa yang mereka gunakan pun tidak sesantun dengan orang yang lebih tua. Terlebih anak-anak yang tinggal pada suatu perumahan akan lebih cepat mengikuti gaya bahasa terkeren yang mereka dapat dan mengaplikasikannya ke dalam bahasa sehari-hari.

Peneliti mengambil data pada tahun 2014 di bulan Oktober. Melihat kurangnya berbahasa Indonesia dengan santun. Hal seperti itu seharusnya dipahami dan dihayati oleh para guru bahasa Indonesia di sekolah. Guru yang hanya menekankan pentingnya pemakaian bahasa yang baik dan benar tetapi melupakan nilai rasa bahasa yang mampu membentuk budi baik dan pekerti luhur sebaiknya dihindari. Lebih-lebih dalam kondisi seperti sekarang, pengaruh televisi, berita-berita yang menurunkan moral bangsa, sinetron, dan juga siaran televisi lainnya yang mampu membawa dampak buruk dalam berbahasa seperti bahasa yang dikatakan ‘gaul’. Peranan guru bahasa sangat penting dan harus

(33)

1.2Rumusan Masalah

Penelitian ini mempunyai rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah manifestasi kesantunan berbahasa dalam tuturan anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II?

2. Penanda kesantunan apa sajakah dalam tuturan anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II?

3. Bagaimana maksud kesantunan berbahasa anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II?

1.3Tujuan

Penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan manifestasi kesantunan berbahasa dalam tuturan anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II.

2. Mendeskripsikan penanda kesantunan berbahasa dalam tuturan anak remaja dengan orangtua di Perumahan Griya Tamansari II.

(34)

1.4Manfaat Penelitian

Penelitian ini memiliki manfaat sebagai berikut :

1. Bagi siswa yang masih bersekolah wajib sembilan tahun mampu menggugah hati mereka untuk sadar akan budaya kita Bangsa Indonesia yang selalu menghormati orang yang lebih tua dengan berbahasa yang santun. Sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini mampu membuat mereka merubah cara berbicara kepada orang tua dengan lebih sopan.

2. Bagi orang tua dapat menyadarkan betapa pentingnya bahasa yang digunakan oleh anak zaman sekarang supaya selalu berbahasa dengan santun. Karena dengan pembiasaan dari orangtua lah mereka akan terbiasa dengan orang lain juga berbicara dengan santun. Diharapkan dapat mempraktekannya untuk kelanjutan berbahasa yang lebih santun dengan memulai dari hal kecil dari anak kepada orangtuanya.

(35)

4. Bagi Guru, penelitian ini memberikan gambaran betapa perlunya pendidikan tidak hanya berdasar pada materi belaka tetapi juga sangat perlu kesopan santunan berbahasa kepada lingkungan. Guru dapat menanamkan kesopan santunan berbahasa kepada orang yang lebih tua saat pelajaran berlangsung supaya terbiasa pada lingkungan sekitar.

1.5Batasan Istilah

1. Kesantunan berbahasa : ekspresi penutur untuk mengurangi ancaman muka pada mitra tutur. (Brown dan Levinson, 1987)

2. Remaja : berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik. (Hurlock, 1992)

3. Orangtua : orang dewasa yang membawa anak kedewasa, terutama dalam masa perkembangan.(Hurlock, 1992)

(36)

5. Kesantunan Positif : kesantunan yang diasosiasikan dengan muka positif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur dihargai dan dipahami keinginannya. (Brown dan Levinson via Nadar, 2009 : 23)

6. Kesantunan Negatif : kesantunan yang diasosiasikan dengan muka negatif mitra tutur, yaitu keinginan agar penutur tidak dilanggar hak-haknya oleh mitra tutur. (Brown dan Levinson via Nadar, 2009 : 23)

7. Maksim kebijaksanaan : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan kerugian orang lain, atau memaksimalkan keuntungan orang lain. (Leech, 1983 : 206)

8. Maksim kemurahan hati : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk bersikap santun dan baik dalam mengungkapkan perasaannya pada orang lain. (Leech, 1983 : 207)

9. Maksim kerendahan hati : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk meminimalkan rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan ketidakhormatan diri sendiri. (Leech, 1983 : 207)

(37)

11.Maksim kesepakatan : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan kesepakatan di antara mereka dan meminimalkan ketidaksepakatan di antara mereka. (Leech, 1983 : 207)

12.Maksim simpati : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk memaksimalkan simpati dan meminimalkan anti pati pada mitra tutur. (Leech, 1983 : 207)

13.Maksim kualitas : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk mengatakan sesuatu yang benar dan tidak mengatakan sesuatu yang tidak ada bukti-buktinya secara memadai. (Leech, 1983 : 207)

14.Maksim kuantitas : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk memberikan informasi yang sesuai kebutuhan saja dan tidak memberikan informasi yang berlebihan dalam suatu pertuturan. (Grice via Leech, 1983 : 108)

15.Maksim relevansi : maksim yang menggariskan setiap peserta pertuturan untuk menghindari informasi yang tidak relevan dengan topik pertuturan yang sedang berlangsung. (Grice via Yule, 2006 : 62)

(38)

17.Konteks : situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. (Mulyana, 2005: 21)

(39)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Peneliti menemukan tiga penelitian yang relevan. Aldila Fajri Nur Rahma (2010) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Penggunaan dan

Penyimpangan Prinsip Kesantunan Berbahasa Di Terminal Giwangan Yogyakarta”. Peneliti melakukan penelitian di bidang pragmatik berupa tuturan

lisan yang terjadi di Terminal Giwangan Yogyakarta. Subjek penelitian adalah semua peristiwa berbahasa yang terjadi di Terminal Giwangan Yogyakarta. Hasil penelitiannya berupa deskripsi jenis penyimpangan dan penggunaan prinsip kesantunan dan faktor yang melatar belakangi penyimpangan dan penggunaan prinsip kesantunan berbahasa di Terminal Giwangan Yogyakarta.

Penelitian kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Joko Sukoco yang berjudul “Penanda Lingual Kesantunan Berbahasa dalam Bentuk Tuturan

Imperatif = Studi Kasus Pemakaian Tuturan Imperaktif di Lingkungan SMU Stella Duce Bantul” dalam penelitian ini, Joko Sukoco membagi tuturan imperatif

adalah ungkapan kata tolong, ayo, mari, silakan, dan maaf sebagai bentuk eufimisme bahasa.

(40)

Surabaya = Analisis Pragmatik” (2001). Lembaga Universitas Airlangga

Surabaya. Penelitian ini membahas kesantunan imperatif, pemakaian tuturan imperatif Bahasa Indonesia dapat mencakup dua macam perwujudan, yaitu kesantunan linguistik dan kesantunan pragmatik. Kesantunan linguistik dimarkahi panjang-pendek tuturan, urutan tuturan, intonasi tuturan, isyarat-isyarat dan penanda kesatuan. Sedangkan kesantunan pragmatik diwujudkan dalam dua wujud tuturan, yakni tuturan deklaratif bermagna pragmatik imperatif dan tuturan intregratif bermakna pragmatik imperatif. Penelitian ini lebih spesifik mengarah ke ranah sosial jawa, khususnya Surabaya.

Ketiga penelitian di atas memiliki kesamaan yaitu meneliti suatu bahasa berdasarkan tuturan langsung dan dianalisis berdasarkan kesantunan berbahasanya. Bagaimana menggunakan prinsip-prinsip kesantunan berbahasa yang diterapkan dalam masyarakat awam dan penggunaan bahasa yang bertutur imperatif dalam bercakap-cakap bahkan pada penelitian terakhir dikemukakan berdasarkan bahasa daerah yang digunakan dalam penelitiannya.

2.2 Teori-teori Kesantunan Berbahasa

(41)

yang digunakan siswa usia remaja dalam percakapan sehari-hari. Berikut ini adalah penjelasan masing-masing teori ahli yang disebutkan di atas.

2.2.1 Prinsip Kesantunan Leech

Leech (1983 : 120), mengemukakan prinsip kesantunan tersebut dibutuhkan untuk menjelaskan hubungan antara makna dan daya. Menurut Leech prinsip kerjasama yang diungkapkan oleh Grice tidak mampu menjelaskan mengapa orang sering cara tidak langsung untuk menyampaikan maksud. Selain itu prinsip kerjasama tidak dapat menjelaskan hubungan antara arti (semantik) dan maksud (situasional) dalam kalimat yang bukan kalimat pernyataan, (Leech,1993 : 121-122). Seseorang penutur seringkali tidak menggunakan tuturan langsung dan lebih memilih untuk mengungkapkan sesuatu secara implisit. Tuturan dengan maksud direktif diungkapkan secara deklaratif sehingga tuturan tersebut tidak terdengar seperti sebuah perintah. Prinsip kesantunan lebih menekankan pada aspek sosial psikologis antara penutur dan mitra tutur.

Sebagai contoh pada maksim relevansi, seorang penutur tidak memenuhi maksim tersebut dan justru melanggarnya. Hal ini dilakukan penutur untuk menjaga kesantunan terhadap mitra tuturnya.

Contoh :

(42)

Tuturan yang diungkapkan oleh Rani melanggar maksim relevansi karena

tanggapan yang diberikan tidak sesuai dengan tuturan ibu. Tuturan “Maaf, saya sedang mengepel lantai” memang tidak ada kaitannya dengan tuturan ibu, namun

secara tidak langsung tuturan Rani merupakan sebuah penolakan pada perintah ibu. Rani menolak mengambilkan kucir karena sedang mengepel lantai. Tuturan Rani tersebut lebih santun daripada Rani mengungkapkan penolakan secara

langsung dengan mengatakan „tidak‟.

Untuk menjaga kesantunan tersebut Leech mengemukakan enam maksim dalam prinsip kesantunan yaitu maksim kebijaksanaan, maksim kemurahan hati, maksim penerimaan, maksim kerendahan hati, maksim kecocokan, dan maksim simpati. Maksim ini berfungsi untuk menjaga kesantunan sebuah tuturan.

Maksim pertama adalah maksim kebijaksanaan. Sebuah tuturan dapat dikatakan memenuhi maksim kebijaksanaan bila tuturan tersebut memberikan keuntungan pada mitra tutur. Dengan mematuhi prinsip kebijaksanaan, penutur dapat menghindari sikap dengki dan kurang santun kepada mitra tutur menurut maksim ini semakin banyak tuturan yang dituturkan maka semakin besar juga keinginan penutur untuk bersikap santun kepada mitra tuturnya.

(43)

dengan prinsip kebijaksanaan. Dengan memberikan tawaran, penutur berarti ingin memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya.

Maksim kedua adalah maksim kemurahan hati. Melalui maksim ini, Leech menyarankan agar penutur mengutamakan kepentingan mitra tuturnya. Dengan memberikan tawaran,penutur berarti ingin memberikan keuntungan kepada mitra tuturnya. Mendahulukan kepentingan mitra tutur dan bersikap murah hati, penutur akan dianggap sebagai orang yang santun. Denagn memberikan tawaran untuk memboncengkan, penutur pada contoh diatas juga bisa dikatakan mematuhi

maksim kemurahan hati. Tuturan “Ayo, bareng aku pulangnya..” sebagai bentuk

kesantunan penutur kepada mitra tuturnya. Dengan memberikan tawaran untuk memboncengkan berarti mengutamakan kepentingan mitra tuturnya dan memberikan keuntungan orang lain.

Mitra tutur akan senang bila mendapatkan sebuah pujian dari pada sebuah penghinaan. Oleh karena itu, penutur disarankan untuk memberikan pujian kepada mitra tuturnya. Dengan memaksimalkan pujian dan penghormatan kepada orang lain, penutur mematuhi maksim penerimaan. Sebagai contoh tuturan berikut :

A : “kemarin nilai ujian tengah semester Bahasa Indonesia ku dapat nilai seratus lho.

B : “wah, padahal aku merasa kesulitan waktu mengerjakannya, kamu

hebat ya.”

(44)

Tuturan B adalah tuturan yang mematuhi maksim penerimaan karena B memberikan pujian kepada A sedangkan tuturan C melanggar maksim penerimaan, karena C tidak berusaha memaksimalkan pujian terhadap lawan tuturnya. C justru terkesan meremehkan A karena C pun merasa ia bisa mendapatkan nilai yang sama seperti A.

Berbeda dengan maksim penerimaan yang berpusat kepada orang lain, maksim kerendahan hati lebih berpusat pada diri sendiri. Maksim ini mewajibkan penutur untuk meminimalkan pujian terhadap diri sendiri dengan kata lain, maksim ini meminta penutur untuk bertutur dengan rendah hati pada contoh tuturan A, B, C, tuturan B melanggar maksim kerendahan hati karena C menonjolkan dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dirinya juga bisa mendapatkan nilai seratus seperti A.

Maksim kecocokan atau disebut juga maksim kesepakatan menekankan agar penutur menjaga kecocokan dalam bertutur dengan mitra tutur. Seorang penutur harus menanggapi tuturan mitra tuturnya agar kegiatan bertutur dapat terus berlangsung. Maksim ini tidak membenarkan jika seorang penutur membelokan atau mengalihkan percakapan.

(45)

menanggapinya dengan menunjukkan rasa simpati. Apabila penutur justru menunjukkan antipatinya, penutur tersebut melanggar maksim simpati.

Contoh :

R : tanganku sakit, kemarin aku jatuh saat main futsal.

T : bagian mana yang sakit? Sudah pergi ke dokter belum?

J : rasain, emang enak!

Pada contoh diatas, T mencoba menunjukkan simpatinya dengan menunjukkan rasa ingin tahunya tentang luka yang dialami R. T juga menunjukkan rasa kawatirnya dengan bertanya apakah lukanya sudah diobati dengan pergi ke dokter. Dengan demikian, T telah mematuhi maksim simpati. Berbeda dengan J yang justru menunjukkan antipati dengan mengolok-olok J.

2.2.2 Prinsip Kesantunan Brown dan Levinson

Pandangan mengenai kesantunan berbahasa menurut Brown dan Levinson populer dengan sebutan pandangan penyelamatan muka (face saving). Pandangan ini banyak didasari oleh konsep penyelamatan muka yang dikemukakan oleh Ervin Goffman. Goffman (via Suharsih, 2007) mendefinisikan muka sebagai berikut :

Positive social value a person effectively claims for him self by the line other

(46)

delineated in terms of approved social attributes-albeit an image that

others may share, a when a person makes a good showing for his profession

or religion by making a good showing for him self.

Goffman menyatakan bahwa kesantunan dalam bertutur atau aktifitas penyelamatan muka merupakan manifestasi penghargaan/penghormatan terhadap individu anggota masyarakat. Menurutnya, warga kelas sosial mempunyai dua jenis muka, yaitu muka negatif dan muka positif. Muka negatif mengacu ke citra diri seseorang (yang rasional) yang berkeinginan agar dihargai dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu. Muka negatif menunjukkan hasrat penuturnya untuk tidak diganggu dalam tindakannya. Sedangkan muka positif mengacu pada citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang merupakan nilai-nilai yang ia yakini (sebagai akibat dari apa yang dilakukan atau apa yang dimilikinya itu) diakui orang lain sebagai sesuatu hal yang baik, menyenangkan, yang patut dihargai, dan seterusnya. Muka positif ini berarti menunjukkan solidaritas (Brown dan Levinson via Gunarwan, 1994).

(47)

Kesantunan positif ditandai dengan penggunaan bahasa yang informal dan menawarkan pertemanan. Setiap tuturan dapat saja mengandung ancaman bagi muka mitra tutur. Ancaman ini, oleh Brown dan Levinson disebut sebagai Face Threatering Act (FTA). Dalam bertutur, penutur diharapkan untuk tidak

melakukan tindak tutur yang mengancam muka mitra tuturnya.

Ketika penutur merespon sebuah tindakan, dia memiliki dua pilihan yaitu dengan tidak mengatakan apapun, hanya menggunakan gesture (don’t do the act) atau menyatakan sesuatu pada mitra tutur (do the act). Apabila penutur memilih untuk mengatakan sesuatu, dia mempunyai pilihan lagi dengan mengatakan secara tidak langsung (off the record) atau secara langsung (on the record). Bila penutur memilih strategi tidak langsung berarti penutur mengatakan dengan tidak berterus terang. Dengan demikian penutur memberi pilihan yang lebih banyak kepada lawan tuturnya. Sebagai contoh bila seorang penutur A sedang belajar di rumah temannya yang jauh dari rumah si A, ternyata A lupa membawa pensil. Ketika ingin meminjam pensil kepada temannya, ia dapat mengatakannya secara langsung maupun secara tidak langsung tergantung pilihan mana yang akan diambil. Bila ia memilih strategi tidak langsung berarti A dapat berkata “Saya lupa membawa pensil, seharusnya saya tadi menyiapkannya sebelum berangkat

kesini,” tuturan A sekilas hanya seperti sebuah informasi, namun sebenarnya A

(48)

Bila penutur memilih strategi langsung berarti penutur mengatakan keinginannya dengan berterus terang. Seandainya penutur ingin mengajak mitra tuturnya, maka ajakan tersebut disampaikan secara langsung, begitu pula bila penutur memberi perintah maka perintah tersebut disampaikan secara langsung pula. Jika A memilih strategi bertutur secara langsung, penutur dapat memilih cara penyampaiannya melalui kesantunan negatif (negative politeness) atau kesantunan positif (positive politeness baldy).

Tindakan yang melanggar muka negatif meliputi tindakan yang terkandung dalam :

a. Ungkapan mengenai : orders and than request, suggestions, advice, remindings threats, warnings, dares (“Perintah dan permintaan, saran,

nasihat, peringatan, ancaman, tantangan”).

b. Ungkapan mengenai offers, promisses, (“tawaran, janji”).

c. Ungkapan mengenai complements, expressions of strong (negative), emotions toward H-e.g. hatred, anger (“pujian, ungkapan perasaan negatif

yang kuat seperti kebencian dan kemarahan terhadap lawan tutur”). (Brown dan Levinson (1987), via Nadar 2009 : 33)

(49)

permintaan maaf atau pertanyaan untuk memberikan pilihan yang lebih banyak pada mitra tutur dan pertanyaan untuk memberikan pilihan yang lebih banyak

pada mitra tutur. Maka pada contoh di atas A dapat bertutur “Saya tidak

membawa pensil, bisakah kamu meminjamkan kepada saya?”. Dengan menggunakan tuturan yang mengandung pertanyaan, A memberikan pilihan pada temannya untuk menolak atau menanggapi tuturan.

Apabila penutur memilih dengan menggunakan kesantunan positif, ia

dapat berkata “Saya lupa membawa pensil, saya akan sangat senang bila kamu

mau meminjamkan pensil pada saya”. Tuturan yang menggunakan kesantunan

positif ingin menunjukkan kedekatan dan solidaritas, persahabatan, membuat orang lain merasa senang. Keterancaman muka terhadap mitra tutur membuat penutur harus menentukan strategi bertutur. Penutur memiliki pilihan strategi berikut ini :

1. Melakukan tindak ujaran apa adanya tanpa basa-basi.

2. Melakukan tindak ujaran dengan kesantunan positif.

3. Melakukan tindak ujaran dengan kesantunan negatif.

4. Melakukan tindak ujaran secara samar-samar.

5. Tidak melakukan tindak ujaran atau diam saja.

(50)

strategi yang dapat dipilih. Pemilihan strategi untuk tidak melakukan tindak ujaran atau diam saja bermakna derajat keterancaman maka penutur maupun mitra tutur begitu besar sehingga seseorang memilih untuk diam, tidak melakukan ujaran.

2.2.3 Prinsip Kerjasama Grice

Grice mengemukakan prinsip-prinsip bertutur agar tujuan itu dapat tercapai. Prinsip bertutur ini disebut dengan prinsip kerjasama. Dengan tercapainya tujuan penuturan, penutur telah bersikap santun. Prinsip ini terdiri dari empat maksim, yaitu maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara.

Maksim kuantitas merujuk pada porsi informasi yang akan dikemukakan oleh penutur. Artinya informasi yang disampaikan harus seinformatif mungkin, namun juga tidak boleh lebih informatif dari yang diperlukan. Penutur maupun mitra tutur harus memberikan informasi yang memadai, dengan demikian tujuan pertuturan dapat tercapai. Contohnya sebagai berikut :

Ani : kemarin kamu pergi kemana?

(51)

menjawab bahwa ia pergi ke Kidsfun dan tidak perlu memberi informasi bahwa ia bertemu dengan Joki dan Lena.

Maksim kualitas merujuk pada kualitas informasi yang disampaikan. Sebuah tuturan dikatakan memenuhi maksim kualitas jika informasi dalam tuturan tersebut benar serta didukung dengan bukti yang cukup. Artinya tuturan tidak boleh mengandung sebuah kebohongan atau harus sesuai dengan kenyataan.

Contoh :

Ibu : Beli kopi dimana sih kok lama sekali? Ayah : Di Singapur

Jawaban yang diberikan ayah melanggar maksim kualitas karena jawaban yang diberikan bukan jawaban yang sebenarnya. Jawaban tersebut tidak masuk akal karena tidaklah mungkin seorang membeli kopi sedikit saja harus pergi ke Singapur.

Sebuah tuturan dikatakan memenuhi maksim relevansi jika ada kontribusi yang relevan antara penutur dan lawan tutur. Antara penutur dan mitra tutur harus terjalin kerjasama yang benar-benar baik. Tanggapan yang diberikan penutur harus sesuai dengan tuturan yang diungkapkan mitra tutur.

Contoh :

(52)

Jika dilihat dengan maksim relevansi, tuturan Loli bukanlah jawaban yang relevan dengan pertanyaan yang diajukan mitra tuturnya. Dodit bertanya dengan kata tanya dimana, maka jawaban yang relevan adalah jawaban yang menunjukkan tempat di atau jambu Dodit sekarang berada.

Maksim cara merujuk pada bagaimana sebuah informasi disampaikan.

Aturan utama maksim ini adalah „harus jelas‟. Artinya penutur harus menghindari ketidak jelasan atau kekaburan ungkapan. Tuturan yang disampaikan tidak boleh ambigu tetapi harus singkat dan teratur.

2.3 Konteks

Mulyana (2005: 21) menyebutkan bahwa konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan atau dialog. Segala sesuatu yang behubungan dengan tuturan, apakah itu berkaitan dengan arti, maksud, maupun informasinya, sangat tergantung pada konteks yang melatarbelakangi peristiwa tuturan itu. Penyimpangan dan pematuhan prinsip kesantunan berbahasa merupakan bagian dari peristiwa tutur. Peristiwa tutur atau peristiwa berbahasa yang terjadi pada kegiatan diskusi kelas ditentukan oleh beberapa faktor. Menurut Dell Hymes (melalui Chaer dan Agustina, 2004 : 48 - 49), bahwa suatu peristiwa tutur harus memenuhi delapan komponen, yang disingkat menjadi SPEAKING, yakni sebagai berikut.

(53)

Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan

scene mengacu para situasi tempat dan waktu atau situasi psikologis pembicaraan.

b. P = Participants

Participants adalah pihak - pihak yang terlibat dalam pertuturan, bisa pembicara

dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima (pesan). c. E = Ends

Ends menunjuk pada maksud dan tujuan pertuturan

d. A = Act Sequences

Act Sequences mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran.

e. K = Key

Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat di mana suatu pesan disampaikan;

dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, dengan sombong, dengan mengejek, dan sebagainya.

f. I = Instrumentalities

Instrumentalities mengacu pada jalur bahasa yang digunakan, seperti jalur lisan,

tertulis, melalui telegraf atau telepon.

g. N = Norms of Interaction and Interpretation

Norms of Interaction and Interpretation mengacu pada norma atau aturan dalam

berinteraksi. h. G = Genres

Genre mengacu pada jenis bentuk penyampaian, seperti narasi, puisi, pepatah, doa

(54)

Imam Syafi‟ie (melalui Mulyana, 2005: 24) menambahkan bahwa, apabila

dicermati dengan benar, konteks terjadinya suatu percakapan dapat dipilah menjadi empat macam, yakni sebagai berikut.

a. Konteks linguistik (linguistic context), yaitu kalimat-kalimat dalam percakapan.

b. Konteks epistemis (epistemis context), adalah latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh partisipan.

c. Konteks fisik (physical context), meliputi tempat terjadinya percakapan, objek yang disajikan dalam percakapan, dan tindakan para partisipan. d. Konteks sosial (sosial context), yaitu relasi sosio-kultural yang melengkapi

hubungan antarpelaku atau partisipan dalam percakapan.

Uraian tentang konteks terjadinya suatu percakapan (wacana) menunjukkan bahwa konteks memegang peranan penting dalam memberi bantuan untuk menafsirkan suatu wacana. Kesimpulannya, secara singkat dapat dikatakan: in language, context is everything. Dalam berbahasa (berkomunikasi), konteks

adalah segala-galanya (Mulyana, 2005: 24). 2.4 Konsep Pragmatik

(55)

Sintaksis adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan formal antara tanda-tanda. Semantik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan objek yang diacunya, sedangkan pragmatik adalah cabang semiotika yang mengkaji hubungan tanda dengan pengguna bahasa.

Berdasarkan tiga ilmu di atas, didapatkan pengertian pragmatik sebagai berikut:

a. Pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatikalisasikan atau terkodifikasikan dalam struktur bahasa (“Pragmatics is study of those relation between laanguage and context that grammaticalized, or encoded in the structure of language”).

(Levinson, melalui Nadar, 2009:4)

b. Topik pragmatik adalah beberapa aspek yang tidak dapat dijelaskan dengan acuan secara langsung pada kondisi sebenarnya dari kalimat yang

dituturkan. (“Pragmatics has as its topic those aspect of the meaning of utterances which cannot be accounted for by straightforward reference ti

the truth conditions of the sentences uttered”). (searle, Kiefer & Bierwich, melalui Nadar, 2009:5)

c. Pragmatik adalah kajian antara lain mengenai deiksis, implikatur, presuposisi, tindak tutur dan aspek-aspek struktur wacana. (“Pragmatics is the study of deixis (at least in part), implicature, presuposisi speech act

(56)

d. Pragmatik mengkaji makna yang terikat konteks. (Wijana,1996:2)

Dari beberapa pendapat di atas, terdapat kesamaan bahwa aspek yang tidak dapat dipisahkan dalam kajian pragmatik adalah bahasa kaitannya dengan konteks.Jadi dapat disimpulkan bahwa pragmatik merupakan penggunaan bahasa untuk menuangkan maksud dalam tindak komunikasi sesuai dengan konteks dan keadaan pembicaraan.

Pragmatik sebagai ilmu bersumber pada beberapa ilmu lain yang juga mengkaji bahasa dan faktor-faktor yang berkaitan dengan penggunaan bahasa ilmu-ilmu itu ialah filsafat bahasa, sosiolinguistik antropologi, dan linguistik – terutama analisa wacana (discourse analysis) dan toeri deiksis. Dari filsafat bahasa pragmatik mempelajari tindak tutur (speech act) dan conversational implicature. Dari sosiolinguistik, pragmatik membicarakan variasi bahasa, kemampuan komunikatif, dan fungsi bahasa. Dari antropologi pragmatik mempelajari etika berbahasa, konteks berbahasa, dan faktor non verbal. Dari linguistik dan analisa wacana dibicarakan lebih dalam pada bagian-bagian selanjutnya.

2.4.1 Tindak Tutur sebagai Aspek dalam Kesantunan Berbahasa

(57)

konteks atau situasi saat tuturan tersebut diucapkan. Seorang penutur yang ingin memberi perintah kepada mitra tuturnya dapat saja menggunakan pertanyaan maupun pernyataan. Dalam hal kesantunan berbahasa, tindak tutur ilokusi sering digunakan oleh penutur dengan tujuan memperhalus tuturan. Tuturan yang halus akan terdengar lebih santun dan lebih berterima bagi mitra tutur daripada tuturan yang kasar dan lugas.

Tindak tutur atau „speech act‟ yang dikemukakan oleh Austin (via Levinson, 1983 : 236) ada tiga macam, yaitu (1) tindak lokusi yang merupakan ujaran yang dikemukakan oleh penutur, (2) tindak ilokusi adalah maksud yang terkandung dalam ujaran, (3) tindak perlokusi berupa efek yang timbul dari ujaran

tersebut. Tuturan “saya lupa membawa penggaris”. Penutur sebenarnya dapat juga mengatakan, “Apakah anda membawa penggaris?”. Tuturan tersebut terdengar

lebih santun dari pada penutur menyatakannya secara langsung dengan tuturan.

“Pinjamkan penggaris pada saya”. Dengan demikian tindak tutur ilokusi dapat mengikis ketidaksantunan sebuah tuturan.

(58)

agar mitra tutur melakukan tindakan tertentu, misalnya memerintah, memohon, menasehati. Tuturan ekspresif adalah tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterimakasih, meminta maaf, menyalahkan, memuji, atau belasungkawa. Bentuk tuturan komisif berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji, bersumpah menawarkan. Tuturan deklarasi adalah tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan, misalnya menghukum, mengangkat.

2.4.2 Implikatur Percakapan

Teori ini membicarakan bagaimana seorang mempergunakan suatu tuturan. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi atau pernyataan yang bukan merupakan bagian dari tuturan yang bersangkutan. Proposisi yang diimplikasikan itu disebut implikatur (Wijana, 1996 : 36-37). Untuk memperjelas konsep implikatur, dapat diperhatikan contoh wacana percakapan di bawah ini.

(1) A : Sudah jam lima sore. B : Wah, kita makan enak. (2) C : Musim hujan akan datang. D : Aduh, siap-siap capek nih!

(59)

pernyataan yang disampaikan oleh C. Jawaban-jawaban tersebut muncul akibat suatu kesimpulan yang didasarkan pada latar belakang tuturan A. Bahwa tiap kurang lebih jam lima sore pasti lewat tukang bakso langganan yang terkenal enak di depan ruamh A. Demikian pula pada wacana percakapan (8), tuturan yang diucapkan D merupakan suatu kesimpulan yang didasarkan pada latar belakang tuturan A bahwa setiap musim hujan datang rumah mereka selalu kebanjiran. Dengan tidak adanya keterkaitan antara suatu tuturan dengan implikasinya maka menimbulkan akibat. Akibatnya adalah suatu tuturan akan menimbulkan implikasi yang tidak terbatas jumlahnya. (Wijana, 1996 : 38 - 39)

2.5 Kerangka berpikir

Dalam penelitian ini mengambil responden dari remaja disebuah perumahan. Perumahan yang notabene terletak di dalam pedesaan, namun kebanyakan siswa yang berumur remaja berasal dari sekolah yang berbeda-beda. Ada yang di pinggiran kota dan ada yang di kota. Oleh karena itu cara bertutur responden penelitian akan sangat berpengaruh pada pencitraan dari keluarga dan sekolah yang mengajarkan bagaimana berbahasa dengan santun terhadap orang yang lebih tua. Karena alasan tersebut, peneliti berasumsi bahwa responden haruslah bisa membedakan dengan siapa mereka bertutur. Apalagi mitra tutur responden tidak seumuran, yaitu bertutur kepada orang yang lebih tua.

(60)

dan Levinson. Teori-teori ini akan saling melengkapi untuk mengupas dan mengategorikan tuturan-tuturan yang santun maupun yang tidak santun.

Prinsip kerjasama yang dikemukakan oleh Grice memungkinkan tujuan sebuah tuturan tercapai dengan baik. Pencapaian tujuan percakapan yang sesuai berarti juga bahwa penutur telah berlaku santun dengan memberikan informasi yang diinginkan oleh mitra mitra tuturnya. Namun dalam bertutur seseorang penutur tidak hanya dihadapkan pada tercapainya tujuan, juga norma-norma sosial yang ada dalam masyarakat penutur. Sebuah kegiatan percakapan tidak saja sekedar pertukaran informasi tetapi juga melibatkan hubungan interpersonal antar penutur. Dalam percakapan, mungkin saja seorang penutur terus mematuhi prinsip kerjasama secara terus menerus dalam tuturannya, namun ternyata pada hal-hal tertentu kepatuhan ini justru dapat mengakibatkan retaknya hubungan interpersonal. Grice dalam prinsip kerjasama cenderung mengabaikan norma-norma sosial yang mewadahi penutur. Akibatnya relasi antara penutur dan mitra tutur dapat terancam karena terlanggarnya norma-norma sosial yang ada.

Leech dengan teorinya menawarkan cara agar tujuan penuturan dapat tercapai sekaligus tidak merusak relasi antara penutur dan mitra tutur. Leech menganjurkan penutur untuk mengungkapkan tuturannya dengan mempertimbangkan posisi mitra tutur. Perhatikan contoh berikut ini.

A : Dari mana?

(61)

Konteks tuturan : A dan B bertetangga, mereka berpapasan di jalan saat B

baru saja dari toko buku.

Tuturan tersebut melanggar prinsip kerjasama yaitu maksim kuantitas. B memberi informasi yang lebih banyak dari yang diminta oleh A. Namun apabila ditinjau dari prinsip kesantunan, tuturan B merupakan tuturan yang santun karena tuturan tersebut memenuhi maksim kecocokan. Dengan memberikan informasi yang lebih banyak dari yang diminta oleh A, B menjaga agar kegiatan bertutur dapat terus berlangsung.

Leech menyebutkan bahwa penggunaan tuturan tidak langsung akan menimbulkan efek yang lebih santun daripada tuturan yang diungkapkan dengan cara yang eksplisit. Terlebih ketika tuturan tersebut bermaksud untuk memberi perintah atau meminta sesuatu. Misalnya ketika penutur meminta mitra tuturnya untuk mengambil kacamatanya yang kebetulan ada didekat lawan tuturnya. Akan

lebih santun jika penutur mengatakan “ Saya tidak bisa membaca tanpa memakai kacamata” daripada “Ambilkan kacamata saya”.

Tuturan “Saya tidak bisa membaca tanpa memakai kacamata”

(62)

Disinilah peran prinsip kerjasama untuk mengontrol agar tuturan tidak berbelit-belit sehingga informasi dapat diterima dengan baik.

Hymes mengemukakan komponen tutur dalam akronim SPEAKING. Dalam akronim tersebut yang akan digunakan untuk menganalisa pada setiap perkataan sehingga dapat mengetahui secara jelas apa yang sedang dibicarakan dan aspek apa saja yang akan dianalisa didalam sebuah perkataan yang akan dianalisis.

Brown dan Levinson yang membagi kesantunan menjadi dua jenis yaitu kesantunan positif dan kesantunan negatif. Masing-masing jenis kesantunan ini mempunyai strategi yang berbeda. Dalam teorinya, Brown dan Levinson memberikan aturan-aturan yang lebih rinci daripada teori Grice dan Leech. Teori ini dapat melengkapi teori-teori sebelumnya.

Aspek-aspek yang akan dibahas adalah manifestasi kesantunan berbahasa yang ada pada tuturan setiap remaja dengan orang tuanya dalam ranah keluarga tersebut dan akan di analisa dengan teori-teori di atas. Kemudian penanda kesantunan yang ada dalam setiap tuturan anak remaja dengan orangtuanya. Kemudian peneliti akan mencari maksud kesantunan berbahasa yang dimaksudkan anak remaja kepada orang tuanya.

Sebagai contoh adalah tuturan berikut ini.

(63)

Ibu : Bantu ibu mencuci piring.

Anak : Aku capek sekali dan tugasku juga banyak. Nanti saja ya, Bu.. Dianalisis dengan prinsip kerjasama tuturan anak melanggar maksim relevansi karena ia memberikan jawaban yang tidak ada hubungannya dengan pertanyaan ibu. Dilihat dengan prinsip kesantunan berbahasa Leech, tuturan tersebut mematuhi maksim kesepakatan. Tuturan anak mengandung maksud yang tersembunyi. Ia menolak secara tidak langsung perintah ibu dengan mengatakan bahwa ia capek dan mempunyai banyak tugas yang harus dikerjakan karena itu tidak mempunyai waktu untuk mengerjakan perintah ibu. Pada model kesantunan Brown dan Levinson, tuturan anak merealisasikan kesantunan positif. Ia memberikan alasan penolakan yang diharapkan dapat mengurangi pertentangan dengan mitra tutur. Dengan memberi alasan, penutur berharap mitra tutur dapat mengerti.

Dilihat dari contoh di atas, tuturan itu melanggar prinsip kerjasama maksim relevansi. Tetapi pelanggaran ini dimaksudkan untuk mematuhi prinsip yang lain yaitu prinsip kesantunan berbahasa. Penutur berusaha meminimalkan ketidaksepakatan dengan mitra tutur. Ia menggunakan strategi dalam kesantunan politik, caranya dengan memberikan alasan yang diharapkan dapat membuat mitra tutur mengerti.

(64)
(65)

35 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Salah satu jenis penelitian kualitatif deskriptif adalah berupa penelitian dengan metode atau pendekatan studi kasus (Case Study). Studi kasus termasuk dalam penelitian analisis deskriptif, yaitu penelitian yang dilakukan terfokus pada suatu kasus tertentu untuk diamati dan dianalisis secara cermat sampai tuntas. Kasus yang dimaksud bisa berupa tunggal atau jamak, misalnya berupa individu atau kelompok.

(66)

variabel yang penting. Fenomena yang menjadi kasus dalam penelitian ini adalah kesantunan berbahasa anak usia remaja dengan orang tua di perumahan griya tamansari 2. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bentuk-bentuk kesantunan anak usia remaja yang kini telah mulai luntur dari kaidah-kaidah Berbahasa Indonesia dengan baik.

3.2 Subjek Penelitian

Subjek penelitian ini adalah anak yang berusia remaja. Sekarang ini sudah jarang sekali ditemukan seorang anak yang bisa berbicara dengan santun terhadap sesama atau bahkan kepada orang yang lebih tua. Banyak budaya yang masuk tertanam dibenak mereka dan membuat mereka memilih mengikuti budaya baru tersebut agar tidak terlihat kuno dan aneh di depan teman-temannya. Namun mereka terkadang juga memukul rata orang-orang yang diajak berbicara, misalnya saja tuturan yang biasa digunakan untuk berbicara dengan teman sebayanya dipakai juga dalam berbicara terhadap orang yang lebih tua. Karena mereka

beranggapan bahwa pasti orang yang lebih tua itu akan mengerti dan memaklumi bahwa bahasa yang ada sekarang ini adalah bahasa yang gaul.

(67)

hanya bisa ditemui ketika sore menjelang malam dan pada hari Minggu atau saat hari libur. Anak usia remaja yang dimaksudkan ini berikut kriterianya :

1. Anak berusia remaja (11-18 tahun).

2. Bersekolah dan masih aktif, bukan anak yang sudah lulus karena akselerasi dan putus sekolah.

3. Merupakan anak kandung dari warga Perumahan Griya Taman Sari 2.

3.3 Sumber Data

Peneliti mengambil data dari meneliti anak usia remaja yang tinggal di Perumahan Griya Taman Sari 2, Desa Kembang Sari, Dusun Srimartani, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Sumber data ini letaknya cukup terpencil karena perumahannya berada di ujung Desa Kembang Sari bahkan di perbatasan Desa petir. Peneliti melihat betapa berbedanya perumahan yang akan dijadikan sumber data ini dibandingkan perumahan lainnya karena objek penelitiannya pun (penduduknya) berasal dari berbagai macam daerah, jadi bukan penduduk lokal desa tersebut.

(68)

No. Objek

1. Astrid, kelas 8, SMP Muhammadiyah Piyungan 2, Abid, kelas 8, SMP Negri 1 Piyungan

3. Elis, kelas 8, SMP Negri 1 Piyungan 4. Danisa, kelas 10, SMK Farmasi

5. Afif, kelas 9, SMP Muhammadiyah Prambanan 6. Aldi, kelas 8, SMP 1 Pathuk

7. Cyntia, kelas 9, SMP Negri 1 Prambanan 8. Fa’I, kelas 8, SMP Negri 2 Prambanan 9. Galuh, kelas 10, SMA Negri Banguntapan 10. Krisna, kelas 8, SMP Kanisius Kalasan 11. Lia, kelas 8, SMP Negri 1 Piyungan 12. Miftah, kelas 11, SMA Negri 1 Kalasan 13. Niken, kelas 10, SMA Negri 1 Kalasan 14. Riska, kelas 9, SMP Negri 1 Piyungan 15. Sharon, kelas 9, SMP Negri 2 Piyungan 16. Sidiq, kelas 11, SMK Pembangunan 17. Tasya, kelas 7, SMP Negri 2 Prambanan 18. Tian, kelas 9, SMP Kanisius Kalasan 19. Tiara, kelas 7, SMP Kanisius Kalasan 20. Yoka, kelas 11, SMA 1 Piyungan

(69)

pemeriksaan data. Setelah itu, data diserahkan kepada ahli bahasa untuk diperiksa kebenarannya.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk mendapatkan data yang diperlukan digunakan metode dan teknik pengumpulan data. Metode pengumpulan data ini diberi nama metode simak karena cara yang digunakan untuk memperoleh data dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Metode ini mempunyai teknik dasar yang berwujud teknik sadap. Teknik sadap disebut sebagai teknik dasar dalam metode simak karena pada hakikatnya penyimakan diwujudkan dengan penyadapan. Dalam penelitian ini, penyadapan penggunaan bahasa secara rekam, karena peneliti berhadapan dengan penggunaan bahasa langsung dengan orang yang sedang berbicara.

(70)

3.5 Instrumen Penelitian

Dalam penelitian ini data yang diteliti berupa :

1. Peneliti mengumpulkan tuturan yang dilakukan oleh anak usia remaja dengan merekam kejadian saat berkomunikasi dengan orang yang lebih tua.

2. Setelah rekaman didapat, peneliti menyimak tuturan yang diucapkan oleh subjek penelitian sambil menuliskan hasil penyimakan dengan dibuat naskahnya.

3. Setelah naskah sudah ada kemudian peneliti menginventerisasi data yang sudah ada.

4. Setelah inventerisasinya selesai kemudian peneliti menganalisisnya.

3.6 Teknik Analisis Data

Setelah proses pengumpulan data selesai maka seluruh data perlu dianalisis. Proses menganalisis hasil data tersebut dilakukan dengan cara:

a. Mengkaji apakah pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh penutur dalam melanggar maksim-maksim yang ada pada teori.

b. Menentukan penanda kesantunan berbahasa apa saja yang ada dalam tuturan yang ada dalam naskah.

Referensi

Dokumen terkait

Waduk Kedung Ombo tergolong pada perairan dengan kesuburan tinggi (eutrofik), hal ini dapat dilihat dari beberapa nilai parameter kualitas air dan nilai tropical index (TRIX)

Lengan yang tidak memegang bola direntangkan ke depan setinggi bahu mengarah ke sasaran, pelaksanaan lemparan diawali dengan ayunan lengan ke depan dan diakhiri dengan

[r]

Model pembelajaran kooperatif Two Stay Two Stray menggunakan bola berwarna hasil penelitian pengembangan ini memiliki beberapa keunggulan yaitu (1) langkah- langkah

Tentang apa yang menjadi kewenangan lembaga baru yang bernama Majelis Kehormatan Notaris dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 66 ayat 1 Undang-Undang Nomor 2

pelayanan yang diberikan seperti pengemudi yang tidak memasang AC ketika membawa penumpang, pengemudi melakukan tawar-menawar atau drop, pengemudi mengambil

Dialog itu diharapkan untuk memberi inspirasi dan mendorong pejabat-pejabat, baik di pusat maupun di daerah, baik yang melayani masyarakat maupun yang memberikan pelayanan

Pada dasarnya sistem yang baru atau yang di usulkan adalah sebuah sistem yang didapat dari proses analisis pada sistem yang sedang berjalan saat ini, yang