KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA:
PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Tika Agustina
NIM : 074114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA:
PENDEKATAN PSIKOLOGI SASTRA
Tugas Akhir
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Tika Agustina
NIM : 074114002
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tugas akhir ini tidak akan terwujud tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu terselesainya Tugas Akhir
ini, yaitu :
1. SE. Peni Adji, S.S, M.Hum. sebagai dosen pembimbing I dengan penuh
kesabaran telah membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
2. Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum sebagai dosen pembimbing II yang
dengan penuh kesabaran membantu penulis menyelesaikan tugas akhir ini.
3. Drs. B Rahmanto M.Hum, Drs. Hery Antono, M.Hum, Prof. Dr. I. Praptomo
Baryadi, M.Hum, SE. Peni Adji, S.S, M.Hum, dan Dra. Fr. Tjandrasih Adji,
M.Hum selaku Bapak/Ibu dosen pengampu mata kuliah di Program Studi
(Prodi) Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma yang telah mengajar
dengan penuh kesabaran kepada penulis.
4. Staf Sekretariat Sastra Universitas Sanata Dharma yang telah membantu
penulis selama proses penulisan tugas akhir.
5. Petugas Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan
pelayanan dengan baik.
6. Ibu Titin, ibu yang telah memberikan doa dan semangat kepada penulis.
7. Lindatin Susanti sebagai kakak yang telah memberikan perhatian kepada
viii
MOTTO
Pertemuan yang mengesankan adalah bagai sepasang tangan, sepasang tangan yang
akan mengusap keringat di saat letih, dan menghapus air mata di saat bersedih.
Katakan “aku mencintaimu” untuk orang yang Anda cintai, jangan
pernah ragukan itu, dan anggap hari ini seolah-olah hari terakhir
ix
Skripsi ini saya persembahkan untuk:
Ibu, kakak, pasangan hidup saya, dan teman-teman
Terima kasih atas dukungan, cinta dan perhatian yang
x
ABSTRAK
Agustina, Tika, 2013. “Konflik Batin Tokoh Saraswati dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira: Pendekatan Psikologi Sastra” Skripsi pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta.
Skripsi ini membahas konfik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren
karya Dianing Widya Yudhistira. Tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini sebagai berikut: pertama, mendeskripsikan struktur novel dalam tokoh dan penokohan Saraswati yang membangun novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Kedua, mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data. Metode pengumpulan data dengan cara teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Teknik tersebut dilakukan dengan cara mengumpulkan referensi sastra dan novel Sintren. Studi pustaka juga dilakukan terhadap artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut. Metode analisis data yang digunakan ialah, metode analisis isi terdiri atas dua macam, yaitu isi laten dan isi komunikasi. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan isi komunikasi adalah isi yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten adalah isi yang dimaksudkan oleh pengarang. Penulis menggunakan metode deskriptif untuk menyajikan hasil analisis data, melalui metode ini penulis memaparkan bagaimana struktur tokoh dan penokohan dalam novel.
Hasil dari penelitian ini adalah sebagai berikut: pertama, menjelaskan struktur novel Sintren yang berisi kata pengantar yang mengungkapkan pentingnya struktur sebuah novel. Alur yang bersifat progresif atau alur maju, menjelaskan dari tahap awal perkenalan tokoh utama yang disertai kelurganya dan berakhir dengan kematian tokoh Saraswati sebagai tokoh yang berpengaruh dalam jalannya cerita pada novel Sintren ini. Tokoh dan penokohan menjelaskan setiap tokoh yang terdapat di dalam novel Sintren, pengarang menjelaskan disertai dengan watak dari masing-masing tokoh yang diperankan. Tentang latar, pengarang menggambarkan latarnya di sebuah daerah pelosok di kota Batang dengan suasana pedesaan yang masyarakatnya masih awam dari segi pendidikan dan pemikirannya. Tema, pengarang memaparkan latar belakang dan semua yang mengenai kehidupan seorang penari sintren yang diperankan oleh tokoh Saraswati serta mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan halus.
Kedua, mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren
xi
xii
ABSTRACT
Agustina, Tika, 2013. “The Inner Conflict of Saraswati Character in the Novel Sintren by Dianing Widya Yudhistira: a Literature Psychology Approach” a Thesis of Indonesian Literature Study Program, Faculty of Letters, Sanata Dharma University, Yogyakarta.
This thesis discusses the inner conflict of Saraswati character in the Novel
Sintren, an artwork by Dianing Widya Yudhistira. The objectives to be accomplished in this thesis are firstly, describing novel structure in the character and Saraswati characterization which establish the novel Sintren by Dianing Widya Yudhistira. Secondly, describing the inner conflict of Saraswati character which embodied in Sintren novel by Dianing Widya Yudhistira.
The methods applies in this research include data collection method, data analysis method, and data analysis result presentation method. The data analysis method applies consists of two types which are namely latent content and communication content. Latent content is the content contained in document and script, while communication content is the content which emerged as a result of the communication occurred. Latent content is the content meant by the author. The researcher utilizes descriptive method in data analysis result presentation; through this method the researcher elaborates on how the character structure and characterization in the novel are.
The research results are as follow: first, it describes Sintren novel structure which consists of a prologue which reveals on how importance a structure in a novel is. The novel plot is progressive or chronological plot, describing from early stage of the main character introduction along with her family and ends with the death of Saraswati character as an influential character of this novel Sintren. The character and characterization are illustrated by every character in Sintren novel, along with the character illustration from each character played, as said by the author. As for the background, the author described it at a remote area in Batang city with rural atmosphere where the community is less sophisticated in terms of education and thoughts. For the theme, the author described the background and all about the life of sintren dancer which is played by Saraswati character and revealed in depth human aspects which was presented delicately.
Secondly, describe inner conflict of Saraswati character in Sintren novel by
Dianing Widya Yudhistira which consists of an inner struggle due to her parent‟s
poverty condition, inner conflict to god, inner conflict due to her suppressed love, inner conflict due to the suburban society, and due to her loneliness feeling. The
author writes about her inner conflict due to her parent‟s financial condition.
xiii
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... iv
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... v
KATA PENGANTAR ... vi
MOTTO ... viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... ix
ABSTRAK . ... x
ABSTRACT. ... xii
DAFTAR ISI. ... xiv
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. Rumusan Masalah ... ... 5
1.3. Tujuan Penelitian.. ... 5
1.4. Manfaat Penelitian ... 5
1.5. Tinjauan Pustaka ... 6
1.6. Landasan Teori ... 6
1.6.1.Struktur Novel ... 6
xv
1.6.1.2. Tokoh dan Penokohan ... 7
1.6.1.3. Latar ... 10
1.6.1.4. Tema ... 11
1.6.2.Psikologi Sastra ... 12
1.6.2.1. Teori Psikologi Sastra ... 12
1.6.2.2. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud ... 15
1.7. Metode Penelitian ... 16
1.7.1.Metode Pengumpulan Data... 17
1.7.2.Metode Analisis Data ... 17
1.7.3.Metode Penyajian Hasil Analisis Data ... 17
1.7.4.Sumber Data ... 18
1.8. Sistematika Penyajian ... 18
BAB II. STRUKTUR NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA. ... 19
2.1. Pengantar ... 19
2.1.1.Alur ... 19
2.1.1.1.Tahap Situation ... 20
2.1.1.2.Tahap Generating Circumstance ... 21
2.1.1.3.Tahap Rising Action ... 22
2.1.1.4.Tahap Klimax ... 24
xvi
2.1.2. Tokoh dan Penokohan ... 30
2.1.3. Latar ... 40
2.1.4. Tema ... 65
BAB III. KONFLIK BATIN TOKOH SARASWATI DALAM NOVEL SINTREN KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA. ... 69
3.1. Sebab-sebab Konflik Batin Tokoh Saraswati ... 69
3.1.1. Konflik Batin karena Kemiskinan Kedua Orang Tuanya ... 69
3.1.2. Konflik Batin terhadap Tuhan ... 73
3.1.3. Konflik Batin karena Cintanya Saraswati Harus Dipendam dalam Hati ... 74
3.1.4. Konflik Batin karena Nikah Paksa ... 75
3.1.5. Konflik Batin karena Orang-orang Kampung ... 77
3.1.6. Konflik Batin karena Kesepian dan Kesendiriannya ... 79
3.2. Akibat Psikis Konflik-konflik Batin Pada Diri Saraswati ... 80
BAB IV. PENUTUP ... 87
4.1. Kesimpulan ... 87
4.2.Saran ... 89
DAFTAR PUSTAKA ... 90
TENTANG PENULIS... ... 92
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Menurut Semi (1988: 8), sastra merupakan bagian dari hasil pola pikir manusia.
Karya sastra tercipta akibat pemikiran manusia yang mengarah pada sesuatu yang memiliki
nilai keindahan di dalamnya. Menurut Wellek dan Warren (1990: 3) sastra adalah suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupan dengan
menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Menurut Jabrohim (2003:9), sastra merupakan bentuk kreatif dan produktif dalam
menghasilkan sebuah teks yang memiliki nilai rasa estetis dan mencerminkan realitas sosial
kemasyarakatan. Istilah „sastra‟ digunakan untuk menyebut gejala budaya yang dapat
dijumpai pada semua masyarakat meskipun secara sosial, ekonomi, dan keagamaan
keberadaannya tidak merupakan keharusan. Dalam hal ini sastra berarti merupakan gejala
yang universal.
Wellek dan Werren (1990:1) mengatakan bahwa sastra sebagai karya seni, yang
dalam perkembangan mutakhirnya hanya bermediumkan bahasa. Maka, sastra sebagai seni
yang berupa karya tulis. Oleh karena itu, menurut Wellek dan Werren karya sastra
merupakan karya imajinatif bermediumkan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Menurut
Teeuw (2010:1), bahasa sastra sangat konotatif, mengandung banyak arti tambahan, sehingga
tidak hanya bersifat referensial. Sebagai wujud pengguna bahasa yang khas, karya sastra
hanya dapat dipahami dan mengerti dengan konsepsi bahasa yang tepat.
Dilihat dari segi ilmu bahasa menurut Atkinson (1996: 7) kata psikologi berasal dari
Pengertian psikologi sering diartikan dengan ilmu pengetahuan tentang jiwa atau sama
dengan ilmu jiwa, jadi psikologi adalah ilmu mengenai jiwa atau ilmu yang menyelidiki dan
mempelajari tingkah laku manusia. Psikologi sastra merupakan bidang interdisipliner antara
ilmu sastra dengan ilmu psikologi. Maka, ilmu psikologi ini berarti berbicara mengenai
pendekatan dalam mengapresiasikan karya sastra untuk studi psikologi.
Terry Eagleton (2010:13) dalam Teori Sastra Sebuah Pengantar Komperehensif,
menyatakan psikoanalisis lahir saat terjadinya krisis hubungan manusia yang dikembangkan
oleh Sigmund Freud di Wina pada akhir abad sembilan belas. Menurut Koswara (1991: 109),
hubungan psikologi dan sastra sudah sejak lama terjalin, tetapi penggunaan psikologi sebagai
suatu pendekatan dalam karya sastra belum lama dilakukan. Kemudian, ilmu tentang emosi
dan jiwa itu berkembang dalam penilaian karya sastra (psikoanalisis). Dalam psikologi
terdapat tiga aliran pemikiran (revolusi yang mempengaruhi pemikiran personologis modern),
pertama, psikoanalisis yang menghadirkan manusia sebagai bentukan dari naluri-naluri dan
konflik-konflik struktur kepribadian. Struktur-struktur kepribadian ialah konflik yang timbul
dari pergumulan id, ego, dan superego. Kedua, behaviorisme mencirikan sebagai korban
yang fleksibel, pasif, dan menurut terhadap stimulus lingkugan. Ketiga, psikologi humanistic
adalah sebuah “gerakan” yang muncul yang menampilkan manusia yang berbeda dari
gambaran psikoanalisis. Manusia digambarkan sebagai makhluk yang bebas dan bermartabat
serta selalu bergerak ke arah mengungkapkan segenap potensi yang dimilikinya apabila
lingkungan memungkinkan.
Dipilihnya Sintren untuk dijadikan objek dalam penelitian ini didasari oleh beberapa
hal. Pertama, konflik batin tokoh Saraswati dengan Emak. Kedua, konflik batin tokoh
Saraswati dengan tuhannya. Ketiga, konflik batin tokoh Saraswati dengan para lelaki di
Kelima, konflik batin tokoh Saraswati dengan perasaan cintanya. Karena itu, penulis memilih
mengangkat konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya
Yudhistira dalam skripsi ini.
Novel Sintren memaparkan kehidupan dunia penari sintren yang tidak lepas dari
aliran animisme, dalam kehidupan masyarakat nusantara di masa lalu. Hal ini dikarenakan
sintren tidak dikenali oleh kekuatan manusia biasa. Selain sintren, kebudayaan lainnya seperti
ronggeng, tayub, reyog, debus, dan cokek yang menggunakan unsur kesaktian, supranatural,
mistis, atau kekuatan yang tidak kasat mata.
Dalam novel Sintren mengkisahkan seorang penari sintren yang bernama Saraswati.
Ia seorang murid cerdas dari keluarga yang miskin dengan latar belakang orang tua seorang
buruh serabutan. Marto sang ayah pekerjaannya membantu tukang, membantu membuat
sumur, selain itu sering menjadi buruh membersihkan ikan dan menjemur ikan di Klidang,
dan yang sering dikerjakan ketika pekerjaan yang lain kosong terbiasa menarik becak
pinjaman dari Kardipemilik becak.
Surti, emak Saraswati panggilan akrabnya, bekerja sebagai buruh membersihkan dan
menjemur ikan sudah hampir 10 tahun dipercaya sebagai pegawai tetap di Klidang milik
juragan Wargotuan kaya raya di daerahnya.Emaknya yang selalu memaksa Saraswati untuk
segera berhenti sekolah dan membantu pekerjaan emaknya agar selalu mencari uang tidak
peduli apa keinginan anaknya yang masih duduk di bangku kelas 4 SD (Sekolah Dasar).
Ketertarikan juragan Wargokepada kecantikan Saraswati menjadikan ia berniat menikahkan
Saras yang usianya belum genap 12 tahun dengan Kirman anaknya yang sudah berusia 30
tahun walau pada akhirnya gagal dinikahinya.
Saraswatisebagai seorang gadis remaja tidak dapat menikmati bermain bebas dengan
yang seperti teman-teman remaja pada umumnya karena harus mencari uang untuk biaya
sekolah. Ia juga harus memendam cita-citanya yang menginginkan sebagai guru karena harus
putus sekolah yang disebabkan keterbatasan biaya. Sejak lulus Sekolah Menengah Atas,
Saraswati dipaksa menikah dengan laki-laki yang seusia ayahnya. Hal ini menjadi
pertimbangan warga setempat karena semenjak Saraswati menjadi seorang penari sintren
banyak mengundang masalah. Masalah yang diciptakan bukan hasil perbuatannya, melainkan
para lelaki yang tergila-gila atas kecantikan Saraswatitermasuk guru olah raga yang menjadi
seperti orang gila karena cintanya ditolak oleh Saraswati.
Beberapa lelaki yang mengejarnya dipastikan akan berakhir tragis, terbukti dari
pernikahannya yang pertama dengan Darma berakhir meninggal dengan tragis. Dilanjutkan
dengan kejadian suami kedua, ketiga, dan keempat meninggal dengan kejadian yang sama,
kecelakaan namun tanpa ada bekas luka atau hal lainnya yang membuktikan kematian
mereka. Ditambah kejadian guru yang bunuh diri karena membantunya saat mengalami
kesusahan dalam pembayaran uang SPP. Hal ini dilakukan oleh sang guru agar Saraswati
tetap dapat melanjutkan sekolah. Namun, karena tunangannya pak Legiman, lebih mencintai
muridnya sendiri dan cintanya yang bertepuk sebelah tangan maka dia mengakhiri hidupnya
dengan gantung diri.
Dari latar belakang di atas, maka penulis ingin mengungkap konflik batin yang
dialami tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira dengan
1.2Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah konflik batin yang dialami tokoh
Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira yang dibahas melalui
pendekatan psikologi sastra adalah sebagai berikut.
1.2.1 Bagaimana struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira?
1.2.2 Bagaimana konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren karya
Dianing Widya Yudhistira?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:
1.3.1 Mendeskripsikan struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.
1.3.2 Mendeskripsikan konflik batin tokoh Saraswati yang terkandung dalam novel Sintren
karya Dianing Widya Yudistira.
1.4 Manfaat Hasil Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.4.1 Manfaat teoritis, penelitian ini menerapkan teori psikologi sastra untuk
mendeskripsikan tokoh dan penokohan.
1.4.2 Manfaat praktis, penulisan ini dapat bermanfaat untuk menambah wawasan karya
sastra dan pemahaman yang lebih mendalam tentang konflik batin tokoh dalam
1.5 Tinjauan Pustaka
Ika Sugiarti (2008) pernah melakukan penelitian dalam skripsinya “Analisis Struktur
Genetik dalam Novel Sintren Karya Dianing Widya Yudhistira”. Pada penelitian ini dibahas
struktur yang membangun novel serta pandangan dunia pengarang dan latar sosial budaya
dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.
Persamaan penelitian ini dengan Ika Sugiarti adalah sama-sama menggunakan objek
novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira serta sama-sama menggunakan analisis
struktur, akan tetapi kajian yang digunakan berbeda. Dalam penelitiannya Ika Sugiarti
menerapkan struktur genetik dan merumuskan pandangan dunia pengarang dan latar sosial
budaya yang ada dalam novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira, sedangkan peneliti
membahas struktur novel dan psikologi tokoh Saraswati dalam novel Sintren karya Dianing
Widya Yudhistira.
1.6 Landasan Teori
1.6.1 Struktur Novel
Nurgiyantoro (2005: 23), mengemukakan tujuh unsur dalam novel yaitu plot atau alur
cerita, tema, penokohan, latar atau setting, sudut pandang, gaya bahasa dan suasana cerita.
Ketujuh unsur instrinsik tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1.6.1.1Alur
Menurut Semi (1988: 43), alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian dalam
cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan
bagian-bagian dari keseluruhan fiksi. Luxemburg (2002:93) menyebut alur atau plot adalah
konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis dan
Nurgiantoro (2005: 113), mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Nurgiyantoro (2005:
135) membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur
progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa berikutnya.
Alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian yang
dikisahkan dalam karya fiksi yang berplot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
tahap awal cerita dilaksanakan. Karya yang berplot jenis ini dengan demikian langsung
menyuguhkan adegan-adegan konflik, bahkan konflik yang meruncing. Nurgiyantoro (2005:
149-150) membagi alur cerita menjadi lima tahapan.
1.6.1.1.1 Tahap situation, pelukisan latar dan cerita atau pengenalan;
1.6.1.1.2 Tahap generating circumstance, pemunculan konflik yang menegangkan cerita;
1.6.1.1.3 Tahap rising action , konflik yang terjadi semakin meningkat;
1.6.1.1.4 Tahap klimax, peristiwa-peristiwa mulai memuncak;
1.6.1.1.5 Tahap denouement, penyelesaian dari semua peristiwa.
Berdasarkan rangkaian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa plot atau alur
adalah urutan atau rangkaian kejadian atau peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki
tahapan-tahapan tertentu secara kronologis.
1.6.1.2Tokoh dan Penokohan
Nurgiantoro (1995: 176-177) menerangkan berdasarkan segi peranan atau tingkat
pentingnya tokoh, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang
dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang munculnya dalam keseluruhan cerita
lebih sedikit, tidak dipentingkan dan ia hadir apabila ada kaitannya dengan tokoh utama baik
secara langsung maupun tidak langsung.
Nurgiyantoro (1995: 178) mengungkapkan berdasarkan fungsi penampilan tokoh,
tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis
adalah tokoh yang kita kagumi yang slah satu jenisnya secara populer sering disebut hero,
tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai, yang ideal bagi kita atau
tokoh antagonis dapat dikatakan sebagai penyebab terjadinya konflik.
Nurgiyantoro (1995: 181) menjelaskan bahwa konflik yang dialami oleh tokoh
protagonis tidak harus disebabkan oleh tokoh antagonis seseorang atau bebrapa orang
individu yang dapat ditunjukkan secara jelas. Ia dapat disebabkan oleh hal-hal lain yang di
luar individualitas seseorang, misalnya bencana alam, kecelakaan, lingkungan sosial ataupun
nilai-nilai sosial, nilai-nilai moral dan kekuasaan yang lebih tinggi.
Nurgiyantoro (2005:165), mengungkapkan bahwa tokoh cerita adalah individu
orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca ditafsirkan
memiliki kualitas moral dan kecenderungan seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa
yang dilakukan dalam tindakan. Pengertian tokoh adalah pelaku dalam karya sastra. Dalam
karya sastra biasanya ada beberapa tokoh, namun biasanya hanya ada satu tokoh utama.
Tokoh utama ialah tokoh yang sangat penting dalam mengambil peranan dalam karya sastra.
Dua jenis tokoh adalah tokoh datar (flash character) dan tokoh bulat (round character).
Tokoh datar adalah tokoh yang hanya menunjukkan satu segi, misalnya baik saja atau buruk
tokoh yang menunjukkan berbagai segi baik buruknya, kelebihan dan kelemahannya jadi ada
perkembangan yang terjadi pada tokoh ini.
Dari segi kejiwaan dikenal ada tokoh introvert dan ekstrovert. Tokoh introvert adalah
pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh ketidaksadarannya. Tokoh ekstrovert adalah
pribadi tokoh tersebut yang ditentukan oleh kesadarannya. Dalam karya sastra dikenal pula
tokoh protagonis dan antagonis. Protagonis adalah tokoh yang disukai pembaca atau
penikmat sastra karena sifat-sifatnya yang baik. Antagonis ialah tokoh yang tidak disukai
pembaca atau penikmat sastra karena sifat-sifatnya yang jahat.
Penokohan atau perwatakan adalah teknik atau cara-cara menampilkan tokoh, ada
beberapa cara menampilkan tokoh. Cara analitik adalah cara penampilan tokoh secara
langsung melalui uraian pengarang, jadi pengarang menguraikan ciri-ciri tokoh tersebut
secara langsung. Cara dramatik adalah cara menampilkan tokoh tidak secara langsung tetapi
melalui gambaran ucapan, perbuatan, dan komentar atau penilaian pelaku atau tokoh dalam
suatu cerita. Dialog adalah cakapan atau ucapan pembicara antara seorang tokoh dengan dua
tokoh atau banyak tokoh lainnya. Monolog adalah cakapan batin terhadap kejadian lampau
dan yang sedang terjadi. Solilokui adalah bentuk cakapan batin terhadap peristiwa yang akan
terjadi.
Fananie (2002: 87), menyatakan bahwa kemampuan pengarang dalam
mendeskripsikan karakter tokoh cerita yang diciptakan sesuai dengan tuntutan cerita dapat
pula dipakai sebagai indikator kekuatan sebuah cerita fiksi. Berdasarkan rangkaian pendapat
di atas dapat disimpulkan bahwa karakter atau penokohan merupakan penentuan tokoh-tokoh
Hendy (1989: 176) menerangkan bahwa penokohan terdiri dari bebrapa hal, yaitu
kualitas nalar tokoh yang bersangkutan, sikap dan tingkah laku tokoh tersebut, kemauan,
pendirian, temperamen, jiwa, dan sebagainya.
1.6.1.3Latar
Menurut Semi (1988: 46), latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah tempat
peristiwa terjadi. Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa
-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya
dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan
peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap
secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke
dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal,
dan dapat menjadi sangat fungsional sehingga tak dapat diganti dengan waktu lain tanpa
mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita
yang lain.
Menurut Fananie (2002: 97), setting hakikatnya tidak hanya sekadar menyatakan di
mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan berkaitan juga dengan
gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita
ditulis. Nurgiyantoro (2005:216) latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu,
mengarah pada pengertian tempat, hubungan waktu dan lingkungan sosial tempat terjadinya
peristiwa-peristiwa yang akan diceritakan. Latar sosial mengarah pada hal-hal yang
berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah yang
pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh
yang bersangkutan.
Berdasarkan rangkaian pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa latar atau setting
adalah keseluruhan lingkungan dalam cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu di
lingkungan tempat, waktu, dan sosial. Latar tempat mengarah pada lokasi terjadinya peristiwa
yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa
tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama
jelas. Penggunaan latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau
paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.
Masing-masing tempat tentu saja memiliki karakteristiknya sendiri yang membedakan
dengan tempat lain.
1.6.1.4Tema
Menurut Semi (1988: 42), kata tema seringkali disamakan dengan pengertian topik:
padahal kedua istilah itu mengandung pengertian yang berbeda. Kata topik berasal dari
bahasa Yunani topoi yang berarti tempat. Topik dalam suatu tulisan atau karangan berarti
pokok pembicaraan, sedangkan tema merupakan tulisan atau karya fiksi. Jadi tema tidak lain
dari suatu gagasan sentral yang menjadi dasar tersebut.
Menurut Fananie (2002: 84), tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang
yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra. Nurgiyantoro (2005:67) menyatakan bahwa
tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan
1.6.2 Psikologi Sastra
Menurut Rahmanto dan Dick Hatoko (1985: 126-127) psikologi sastra artinya
pendekatan dari sudut psikologi dan sastra. Dari sudut psikologi yang digunakan adalah
psikoanalisis struktur kepribadian dari Sigmund Freud, sedangkan dari sudut sastra, teori
yang digunakan adalah teori struktural yang meliputi tokoh dan latar.
Dari sudut psikologi permasalahan akan dianalisis bedasar teori psikoanalisis struktur
kepribadian dari Sigmund Freud. Dalam pendekatan psikologi terdapat teks sendiri sering
digunakan psikoanalisis dari Freud. Teori Freud ini mempergunakan alam bawah sadar untuk
menerapkan pola kelakuan manusia serta penyimpangan-penyimpangan tertentu. Penelaahan
yang menekankan pada karya bertujuan untuk mengetahui aspek-aspek psikologis yang
tercermin dalam perwatakan tokoh-tokoh dengan menggunakan sumbangan pemikiran dari
psikologi sastra.
1.6.2.1. Teori Psikologi Sastra
Menurut Sukada (1987: 102), unsur kejiwaan seorang tokoh dalam novel merupakan
suatu hal yang menarik untuk dikaji. Psikologi merupakan ilmu yang dapat membantu
memecahkan berbagai masalah kejiwaan. Sastra dan psikologi merupakan dua wajah satu hati
dan sama-sama menyentuh manusia dalam persoalan. Untuk memahami faktor-faktor
kejiwaan tokoh dapat ditelaah menggunakan teori dari Freud mengenai unsur-unsur kejiwaan
yang terdiri dari id, ego, super ego.
Menurut Heerdjan (1987: 31) konflik adalah keadaan pertentangan atau
dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus bersama-sama pada diri seseorang.
Nurgiyantoro (1995: 124) menjelaskan konflik batin atau konflik internal merupakan
konflik yang terjadi di dalam hatti, jiwa seseorang tokoh cerita. Konflik batin dapat timbul
karena pertentangan antara dorongan-dorongan yang berlawanan, tetapi ada sekaligus
bersama-sama pada diri seseorang. Konflik timbul pada saat ego mendapat dorongan kuat
dari id yang tidak dapat diterimanya sebagai sesuatu yang berbahaya. Heerdjan (1997: 31)
menjelaskan bila kekuatan naluri melebihi kemampuan ego untuk mengeluarkan dan
mengendalikan, muncullah anxietas, rasa cemas. Ini tanda bahaya yang mengatakan bahwa
ego berhasil menyelesaikan konflik.
Selanjutnya masih menurut Heerdjan (1987: 33-36) untuk melenyapkan kecemasan,
ego sering membentuk mekanisme defensi atau mekanisme pertahanan. Tujuannya adalah
untuk mencegah jangan sampai tujuan yang tidak dapat diterima menimbulkan gangguan
yang lebih kuat lagi karena ini akan mengganggu keutuhan ego. Ada beberapa macam
mekanisme pertahanan, yaitu negasi simple, represi, rasionalisasi, projeksi, formasi reaksi,
mekanisme pelarian, regresi, konversi, substitusi, sublimasi, dan konpensasi.
Menurut Endaswara (2003:96), psikologi sastra adalah telaah karya sastra yang
diyakini mencerminkan proses dan aktivitas kejiwaan. Dalam menelaah suatu karya
psikologis hal penting yang perlu dipahami adalah sejauh mana keterlibatan psikologi
pengarang dan kemampuan pengarang menampilkan para tokoh rekaan yang terlibat dengan
masalah kejiwaan.
Menurut Albertine Mindrop (2010:9), psikologi sastra dipengaruhi oleh beberapa hal
yaitu pertama, karya sastra merupakan kreasi dari suatu proses kejiwaan dan pemikiran
pengarang yang berada pada situasi setengah sadar (subconscious) yang selanjutnya
dituangkan ke dalam bentuk conscious. Kedua, telaah psikologi sastra adalah kajian yang
menelaah cerminan psikologi dalam diri para tokoh yang disajikan sedemikian rupa oleh
problem psikologis kisahan yang kadang kala merasakan dirinya terlibat di dalam cerita.
menampilkan watak para tokoh, walaupun imajinatif dapat menampilkan berbagai problem
psikologis.
Menurut Bimo Walgito (1980: 5), pengertian psikologi itu berupa ilmu mengenai
kejiwaan, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apakah yang dimaksud dengan
jiwa itu. Untuk memberikan jawaban ini bukanlah merupakan hal yang mudah searti
diperkirakan orang banyak. Ini telah dikemukanan oleh Ki Hadjar Dewantara sebagai berikut:
“yang dimaksud dengan „jiwa‟ itu menurut pengajaran pengetahuan yang positif? Menurut
riwayatnya ilmu psikologi sudah ada mulai zaman purba orang memperbincangkan soal ini,
soal tertua di dalam peradaban manusia.
Menurut Minderop (2010: 59) kajian sosiologi maupun psikologi sastra atas dasar
asumsi genesis yang terkait dengan asal-usul kajian sastra. Kajian sosiologi dikaji dalam
kaitannya dengan masyarakat yang menghasilkannya sebagai latar belakang sosialnya. Kajian
psikologi berkaitan dengan aspek kejiwaan pengarang, tokoh, atau pembacanya. Kajian
psikologi diperlukan saat peradaban meningkat, pada saat manusia kehilangan pengendalian
psikologis. Tujuan psikologi sastra adalah memahami aspek-aspek kejiwaan yang terkandung
dalam karya, melalui pemahaman terhadap tokoh-tokohnya pengkaji dapat memahami
perubahan, kontradiksi, dan penyimpangan dalam masyarakat.
Cara yang digunakan untuk memahami hubungan antara psikologi dan sastra, sebagai
berikut :
1.6.2.1.1 Memahami unsur kejiwaan pengarang sebagai penulis;
1.6.2.1.2 Memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra;
1.6.2.1.3 Mamahami unsur kejiwaan pembaca, berkaitan dengan resepsi sastra;
1.6.2.1.4 Melalui pemahaman terhadap teori-teori psikologi, baru melakukan analisis
1.6.2.1.5 Menentukan kajian sastra sebagai objek, lalu dicari teori psikologi yang relevan.
Dalam perkembangannya, kajian psikologi dibedakan menjadi dua prinsip pokok,
yaitu :
Pertama kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia di atas ambang kesadaran.
Kajian ini meliputi tema-tema : konflik batin, motivasi, pembentukan identitas diri, keutuhan
dasar manusia, kepribadian tokoh, dan lain-lain. Dalam pengembangannya hal inilah yang
disebut kajian psikologi.
Kedua kajian yang mempelajari kondisi psikis manusia diambang kesadaran dan di
bawah sadar. Kajian ini disebut Psikoanalisis. Misalnya: ketakutan, kecemasan, seksualitas,
kekerasan, dan lain-lain.
Dengan demikian, teori psikologi sastra menjadi landasan konflik batin dengan
memahami unsur kejiwaan tokoh-tokoh dalam karya sastra. Pembahasan tokoh utama dilihat
dari sifat, watak, dan pribadi tokoh Saraswati yang digambarkan oleh Dianing Widya
Yudhistira dalam karyanya novel Sintren.
1.6.2.2 Teori Psikoanalisis Sigmund Freud
Menurut Freud via Dirgagunarsa (1983: 63) teori psikoanalisis yaitu teori struktur
kepribadian digunakan untuk menganalisis konflik batin tokoh Saraswati. Dalam diri
seseorang terdapat tiga system kepribadian yang disebut id atau es, ego atau ich, dan super
ego atau uberich. Id adalah reservoir atau wadah dalam jiwa seseorang yang berisikan
dorongan-dorongan yang disebut Primitif Drive / Inner Forces. Dorongan-dorongan primitif
ini merupakan dorongan yang menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan. Kalau
dorongan ini dipenuhi dengan segera, maka tercapai perasaan senang dan puas. Oleh karena
bertugas untuk dengan secepatnya melaksanakan dorongan-dorongan primitif agar tercapai
parasaan senang tanpa memperdulikan akibatnya.
Dirgagunarsa (1983: 64) mengungkapkan ego bertugas melaksanakan
dorongan-dorongan dari id, dan ego harus menjaga benar bahwa pelaksanaan dorongan-dorongan
primitif ini tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan-tuntutan dari super ego. ini
adalah untuk mencegah akibat-akibat yang mungkin tidak menyenangkan bagi ego sendiri,
karena itu ego dalam melaksanakan tugasnya yaitu merealisasikan dorongan-dorongan dari
id, ego selalu berpegang pada psinsip kenyataan atau reality principle.
Menurut Dirgagunarsa (1983: 64) super ego adalah sistem kepribadian yang berisi
kata hati (conscience). Kata hati ini berhubungan dengan lingkungan sosial dan mempunyai
nilai-nilai moral sehingga kontrol atau sensor terdapat dorongan-dorongan yang dipenuhi
dengan id. Super ego menghendaki agar dorongan-dorongan yang tidak sesuai dengan
nilai-nilai moral tetap tidak dipenuhi. Kerena itu ada semacam pertentangan antara id dengan super
ego, sehingga ego berperan sebagai pelaksana yang harus dapat memenuhi tuntutan dari
kedua siste kepribadian tersebut secara seimbang. Kalau ego gagal menjaga keseimbangan
antara dorongan dari id dan larangan-larangan dari super ego, maka individu yang
bersangkutan akan menderita konflik batin yang terus-menerus da konflik ini akan menjadi
neurosa.
1.7 Metode Penelitian
Menurut Ratna (2010:34), metode dianggap sebagai langkah-langkah atau cara untuk
1.7.1 Metode Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Teknik tersebut dilakukan
dengan cara mengumpulkan referensi sastra dan novel Sintren. Studi pustaka juga dilakukan
terhadap artikel atau tulisan-tulisan yang berkaitan dengan objek tersebut.
Teknik yang dipakai berikutnya adalah teknik simak dan catat. Teknik simak untuk
menyimak bacaan bagian yang dipilih sebagai bahan penelitian. Teknik catat digunakan
untuk mencatat hal-hal yang dianggap mendukung dalam memecahkan masalah. Novel
Sintren sebagai bahan penelitian yang akan mendeskripsikan tokoh dan penokohan dilihat
dari konflik batin lewat pendekatan psikologi sastra.
1.7.2 Metode Analisis Data
Peneliti menggunakan metode analisis isi untuk menganalisis data-data yang telah
dikumpulkan. Menurut Ratna (2010: 48), metode isi terdiri atas dua macam yaitu isi laten dan
isi komunikan. Isi laten adalah isi yang terkandung dalam dokumen dan naskah, sedangkan
isi komunikasi adalah isi yang terkandung sebagai akibat komunikasi yang terjadi. Isi laten
adalah isi yang dimaksudkan penulis. Isi komunikasi adalah isi yang terwujud dalam
hubungan naskah dengan pembaca. Analisis isi menghasilkan makna yang disampaikan dari
naskah kepada pembaca.
Menurut Ratna (2010: 49), dasar pelaksanaan metode analisis adalah penafsiran pada
isi pesan. Metode analisis isi yang dilakukan terhadap novel Sintren bagaimana konflik batin
yang terdapat pada tokoh Saraswati. Peneliti mencoba mendeskripsikan konflik batin tokoh
Saraswati yang terdapat dalam novel Sintren.
1.7.3 Metode Penyajian Hasil Analisis Data
Peneliti menggunakan metode deskriptif analisis untuk menyajikan hasil analisis data
mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis. Metode deskriptif
analisis dirasa tepat oleh peneliti dalam menginterpretasikan peristiwa-peristiwa yang
terdapat dalam novel Sintren.
1.7.4 Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Judul Buku : Sintren
Pengarang : Dianing Widya Yudhistira
Tahun Terbit : 2007
Terbitan : PT Grasindo
2) Judul Buku : Psikologi Sastra
Pengarang : Albertine Minderop
Tahun Terbit : 2010
Terbitan : PT Yayasan Pustaka Obor Indonesia
1.8 Sistematika Penyajaian
Skipsi ini terdiri dari lima bab yaitu bab I, bab II, bab III, dan bab IV. bab I
merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan
sistematika penyajian. Bab II berisi struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira.
Bab III berisi deskripsi konflik batin tokoh Saraswati dalam novel Sintren. Bab IV
19
KARYA DIANING WIDYA YUDHISTIRA
2.1 Pengantar
Bab ini berisi struktur novel Sintren karya Dianing Widya Yudhistira. Struktur novel
ini penting untuk mengetahui unsur yang dianalisis alur, tokoh penokohan, latar, dan tema
dalam cerita.
2.1.1 Alur
Semi (1988: 43) menyatakan bahwa alur atau plot adalah struktur rangkaian kejadian
dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai
urutan bagian-bagian dari keseluruhan fiksi. Luxemburg (2002:93) menyebut alur atau plot
adalah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logis
dan kronologis saling berkaitan dan diakibatkan atau dialami oleh para pelaku.
Nurgiantoro (2005: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah cerita yang
berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Nurgiyantoro (2000:
135) membedakan alur menjadi dua, yaitu (1) alur lurus, maju, atau dapat dinamakan alur
progresif. Alur sebuah novel dapat dikatakan progresif jika peristiwa-peristiwa yang
dikisahkan bersifat kronologi, peristiwa-peristiwa yang pertama diikuti peristiwa oleh
pristiwa berikutnya.
Alur sorot balik, mundur, flash back, atau dapat disebut regresif, yaitu urutan kejadian
yang dikisahkan dalam karya fiksi yang bepelot regresif tidak bersifat kronologis, cerita tidak
dimulai dari tahap awal, melainkan dari tahap tengah atau bahkan tahap akhir, baru kemudian
progresif atau alur maju. Dijelaskan dari tahap awal perkenalan tokoh utama dan latar
belakang kelurganya.
2.2.1 Tahap Situation
Awal cerita dibuka dengan narasi dari emak yang mukanya masam di hadapan
Saraswati karena melihat anaknya memakai seragam sekolah. Emaknya selalu berharap
Saraswati berhenti sekolah dan membantu pekerjaannya sebagai buruh jemur ikan di Klidang
milik juragan kaya di desanya. Namun, Saraswati tetap pada pendiriannya untuk dapat terus
sekolah dengan dukungan dari ayah. Ayahnya yang membuat Saraswati merasa aman.
Saraswati siswi cerdas sekolah dasar yang tumbuh dari keluarga miskin. Latar belakang
orang tua hanya seorang buruh serabutan. Marto (ayah Saraswati) pekerjaannya pembantu
tukang, membantu membuat sumur, dan menjadi buruh membersihkan ikan atau menjemur
ikan di Klidang, dan pekerjaan yang sering dikerjakan sebagai menarik becak hasil dari
pinjaman.
Surti yang akrab dipanggil emak sebagai buruh membersihkan dan menjemur ikan.
Sudah hampir 10 tahun ia dipercaya menjadi pegawai tetap di Klidang milik juragan Wargo.
Surti selalu memaksa Saraswati untuk segera berhenti sekolah dan membantu pekerjaannya.
Saraswati dengan bekarja bisa membantu mencari uang untuk kebutuhan hidup kelurganya
sehari-hari. Surti tidak peduli keinginan dan cita-cita anaknya yang masih duduk di kelas 4
SD. Ketertarikan juragan Wargo kepada kecantikan Saraswati memiliki niat untuk
menjodohkannya dengan Kirman anak tunggalnya yang sudah berusia tiga puluh tahun.
Cita-cita Saraswati untuk terus bersekolah harus mengubur dalam-dalam mimpinya
dengan kondisi perekonomian kedua orang tuanya yang pas-pasan. Kenyataan itu membuat
sewajarnya seperti teman-temannya yang lain, begitu juga mengenai perasaannya terhadap
Sinur.
2.2.2 Tahap Generating Circumstance
Muncul konflik pertama keputusan emaknya untuk menikahkan Saraswati. Juragan
Wargo memutuskan untuk melamar, maka sebagai ia akan menjadi isteri Kirman pewaris
tunggal juragan kaya nomor satu di desanya. Berbagai persoalan mencul dalam pikiran
Saraswati, ia memikirkan bapak yang selama ini susah payah menarik becak untuk biaya
sekolahnya, kehawatiran bapaknya yang akan ikut menyetujui keputusan emaknya. Alasan
Saraswati karena juragan Wargo tidak mustahil dapat membantu mengangkat keluarganya
dari kemiskinan yang membalut kehidupannya.
Tetapi apabila lamaran itu ditolak kehidupannya akan tetap miskin, dan
mengecewakan emaknya yang menginginkan berbesan dengan juragan Wargo. Semua yang
ia lakukan tidak akan ada yang benar dan di hadapan emaknya. Hal itu menjadi pertimbangan
panjang bagi Saraswati, walau sebenarnya tidak merdeka menjadi perempuan, apa lagi dari
keluarga miskin seperti dirinya. Saraswati terlintas dalam pikirannya coba kalau dirinya
laki-laki dan yang jadi anak juragan Wargo perempuan mungkin cerita hidupnya tidak akan sama
seperti saat ini. Emaknya tidak akan pergi melamarkan anaknya ke juragan Wargo, mungkin
akan memikirkan berulang kali.
Hal ini menjadi sebuah pertimbangan pantaskah anak laki-laki melamar anak
perempuan dari orang kaya raya. Pasti emaknya akan memberikan kesempatan sekolah
setinggi-tingginya. Namun, kenyataannya ia perempuan yang membuat hatinya getir
menerima kenyataan. Ia harus mengikuti semua kehendak orang tua, sekolah sangat dibatasi,
Saraswati tidak sampai hati membatalkan lamaran Kirman. Dapat diduga emak akan
selalu marah-marah pada bapaknya. Sebenarnya Kirman bukanlah lelaki yang jelek, tidak
juga ganteng. Namun, yang menjadi pertimbangan Saraswati itu keinginannya mencapai
cita-citanya agar menjadi seorang pendidik di daerahnya. Impian yang sangat mulia itulah yang
menjadi gerbang pemisah, konflik dalam batinnya antara kenyataan dan harapan. Ia bertarung
dengan pikirannya sendiri. Ia masih ingin sekolah, tetapi pertengkaran emak dan bapaknya
membuatnya lumpuh. Keadaan keluarganya yang masih sangat kekurangan, yang menjadi ia
tidak mungkin dapat melanjutkan sekolah.
2.2.3 Tahap Rising Action
Surti pada awalnya bahagia, tiba-tiba murung karena juragan Wargo membatalkan
lamarannya. Kekecewaan menguasai hati Surti, tetapi hal ini dikarenakan Wastini meminta
tanggung jawab kepada juragan Wargo untuk berbesan. Menikahi Wati anaknya sebagai ganti
rugi meninggalnya nenek Ijah yang beberapa hari lalu ditabrak Kirman. Saraswati
memendam perasaan anatar bahagia dan duka. Berbahagia karena pernikahan dibatalkan,
maka ia dapat kesempatan untuk melanjutkan mimpinya menjadi seorang guru. Disisi lain ia
berduka karena merasa dipermainkan harga dirinya oleh juragan Wargo. Ia kecewa dan sakit
hati, mesti hatinya sebagaian merasa lebih lega.
Diwaktu yang berbeda Larasati teman lama emak yang sedang mencari gadis untuk
dijadikan sintren. Pertemuan itu, emak menawarkan Saraswati untuk mengikuti audisi yang
dipimpin mbah Mo. Adanya konflik antara Surti dengan kelurga juragan Wargo, maka Surti
berhenti bekerja dari Klidang. Berhenti kerjanya emak semakin menyulitkan perekonomian
keluarganya. Apabila Saraswati mau menjadi sintren, ia dapat membantu perekonomian
Saraswati gadis yang lolos melewati ujian pertama dari belasan anak gadis lain. Beberapa
kejadian yang terjadi kepada penari sintren dipengaruhi kekuatan magis yang kuat dengan
menguasai tubuh penari saat pentas. Setelah melewati ujian Saraswati lulus, ia pun resmi
menjadi penari yang profesioanal. Dipercaya menjadi sintren ada yang menguasai raganya
yaitu empat tuyul yang melenggok-lenggokkan tubuhnya yang mengelilingi setiap kali mulai
pentas. Setelah Saraswati menjadi penari sintren dimulainya konflik dalam keluarga dan
lingkungannya.
Saraswati merasa selalu tuhan membedakan hidupnya dengan teman-temannya yang
lebih beruntung. Ia merasa tuhan tidak pernah adil kepadanya, ia terlahir dari keluarga
miskin. Hal itu mempengaruhi pikirannya, maka ia ingin menjadi orang kaya agar orang lain
menghargai dan menghormati keluarga dan dirinya. Setelah Saraswati menjadi penari sintren,
semakin banyak yang mengidolakannya. Sebelumnya, ia hanya dikenal sebagai gadis yang
pintar, baik, dan cantik. Setelah menjadi penari sintren ia terkenal dan dikagumi oleh semua
kalangan di daerahnya. Bapak-bapak dan bujangan mengagumi kecantikannya, termasuk
guru olah raga pak Legiman sebagai tunangan ibu Kartika. Kartika guru yang berperan
penting dalam kelanjutan sekolah Saraswati selama ini.
Saraswati masih belum percaya kalau sekarang ia menjadi sintren. Kalau bukan untuk
biaya sekolah, ia tidak ingin menerima pekerjaan menjadi penari sintren. Tetapi kenyataan
mengharuskan seseorang melakukan sesuatu yang menjadi sesuatu tanpa ada pilihan.
Saraswati telah banyak mengalami perubahan semenjak menjadi penari, dari segi fisik
kulitnya menjadi bersih (kuning langsat) yang sebelumnya berkulit hitam manis, badannya
lebih berisi, tubuhnya semakin tinggi dibandingkan dua minggu lalu, semakin cantik dan
berlomba-lomba untuk mendapatkan sintren cantik itu.
2.2.2.4 Tahap Klimax
Setelah lulus sekolah dasar dan mengikuti pendaftaran, Saraswati masuk SMP favorit.
Ia murid berprestasi dengan berbagai bekal piala. Dengan keterkenalannya Saraswati menjadi
sintren, Wastini isteri Diran semakin geram dan panas. Hal itu membuat Wastini berniat
mencelakai Saraswati dengan kekuatan dukun yang terkenal sakti. Niat Wastini, diketahui
Saraswati karena ia memiliki kekuatan semenjak menjadi penari sintren. Wastini sebelumnya
sudah diperingatkan oleh dukun agar berhati-hati karena orang yang ditujunya bukan orang
sembarangan. Namun, ia tidak peduli tetap berusaha mencari dukun lain yang bersedia
membantunya. Beberapa hari kemudian setelah Wastini pergi ke dukun, warga banyak
membicarakan bahwa ibunya Wati sakit lumpuh secara tiba-tiba. Kelumpuhan Wastini
dipercaya disebabkan hasil perbuatannya sendiri yang mencoba mencelakai Saraswati. Diran
membawanya ke rumah Saraswati untuk meminta kesembuhan. Saraswati mengobati Wastini
dengan disaksikan warga. Saraswati meminta persyaratan bahwa setelah sembuh jangan lagi
mencoba mengusik dan mengganggu kehidupannya. Dengan kelebihannya keesokan paginya
Wastini kembali sehat dan normal seperti sebelumnya.
Semenjak Legiman menari di malam bersama sintren Saraswati, guru olah raganya
menjadi seperti orang gila setiap teringat pesona dan kecantikan Saraswati. Ia tidak ingat
mengajar dan tidak ingat kepada Kartika tunangannya. Legiman sering jalan di
kampung-kampung dengan mengucapkan ingin menikahi Saraswati. Seluruh kampung-kampung tahu Legiman
menjadi sakit karena tergila-gila terhadap sintren Saraswati. Legiman gila, Saraswati
orang-Semenjak Pak Legiman gila, warga dikagetkan dengan kematian Kartika yang
mayatnya tergantung di atas pohon mengkudu. Sebelum Kartika benar-benar meninggal,
disaat tubuhnya diturunkan dari atas pohon kramat, ia sempat memanggil nama Saraswati.
Kartika nekat bunuh diri karena sakit hati kepada Saraswati yang dianggap telah menggoda
tunangannya. Rasa kecewa juga menguasai Kartika kepada Legiman yang lebih mencintai
muridnya daripada dirinya sebagai tunangannya.
Baru satu minggu di kampung Saraswati tinggal, warga masih berduka atas
kejadian-kejadian aneh yang menimpa. Kirman anak juragan Wargo meninggal di kali keramat dengan
tidak wajar. Kirman meninggal karena setelah cintanya ditolak, deretan kejadian aneh di
kampungnya membuat orang-orang menuduh Saraswati sebagai penyebabnya. Saraswati
berpikir apakah ini karma dalam kehidupan sintren, terlalu besar resikonya menjadi seorang
sintren. Saraswati sesungguhnya mengetahui kegilaan Legiman, kematian Kartika dan
Kirman adalah bagian dari resiko itu. Walau di alam sadarnya ia tidak mengetahui
sebenarnya yang menimpa dirinya atas kejadian yang tidak wajar.
Saraswati mempercayai siapapun orang yang hadir di dalam kehidupannya tidak akan
bisa selamat dari celaka. Ia tidak tahu persis apakah dirinya harus menyesali atau tidak atas
kejadian yang telah menimpanya, sebab ketika dirinya menari menjadi sintren ia sangat
menikmati dan merasa tidak pernah merugikan orang lain. Hal itu menjadi konflik bagi
batinnya ditambah lagi Sinur teman lelaki yang disukainya sejak masih duduk di sekolah
dasar tidak menyetujui dirinya menjadi penari sintren. Baginya, itu suatu hal yang sulit untuk
dijadikan pilihan dalam hidupnya. Satu sisi ia harus terus menjadi sintren supaya bisa
mencapai yang dicita-citakannya. Namun, satu sisi permintaan teman lelakinya sebagai
Dadung suami Wati juga jatuh cinta setengah mati pada kecantikannya. Dadung bertindak
nekat ingin melamar Saraswati untuk dijadikan isterinya dan siap menceraikan Wati isterinya.
Dadung setiap malam berteriak memanggil nama Saras di saat tidurnya. Teriakan Dadung
tidak hanya Wati dan keluarganya yang mendengar tetapi tetangga mulai mengeluh suara
keras yang berasal dari rumah Wati. Dua tahun berlalu Dadung selalu memanggil nama
Saraswati setiap malam, orang-orang kampung kehilangan kesabarannya dan memutuskan
untuk mengusirnya. Saraswati sedih karena harus menyaksikan kepergian Wati dan Dadung
dari rumahnya sendiri.
2.2.2.5 Tahap Denouement
Setelah Saraswati lulus dari SMP ia melanjutkan ke SMEA. Semenjak Saraswati
duduk dibangku SMEA teman laki-lakinya silih berganti mendatangi rumahnya. Dari awal
masuk SMEA, Saraswati sudah menjadi idola di sekolah karena kecantikannya. Banyak
laki-laki yang tergila-gila padanya, namun ia justru konflik dengan batinnya karena lelaki-laki yang ia
cinta semenjak SD tidak menyukainya.
Di bulan Agustus, mbah Mo dan Larasati mengadakan pertunjukan sintren di
kampungnya selama sepuluh hari berturut-turut. Saraswati sebagai penari sintren dimalam
pementasannya. Sesuatu telah terjadi, lelaki bujangan dan sudah beristeri yang hadir dalam
pementasan itu, banyak yang pingsan dan jatuh cinta karena melihat kecantikan yang dimiliki
sintren Saraswati. Semakin lama Saraswati menjadi sintren semakin mempesona dan
menggoda para lelaki di daerahnya.
Setiap mendengar pertengkaran rumah tangga, para suami selalu mengancam kata
cerai kepada isteri-isterinya dan akan menikahi Saraswati. Tidak hanya itu para suami juga
mengusirnya justru Jumilah yang kena musibah dibuat bisu oleh Saraswati.
Pagi hari Emak mendengar kabar Ndori, Jali, dan Gino akan menceraikan isterinya
dan melamar Saraswati untuk dijadikan isteri mereka. Seperti yang terjadi pada lelaki
sebelumnya, tiga lelaki ini karena keinginannya untuk menikahi Saras tidak terkabulkan
mereka menjadi gila. Belum selesai kabar gilanya para suami di kampung, pemuda kampung
atas melamar Saraswati dan ditolak dengan alasan masih ingin sekolah. Pemuda itu menjadi
pemalas dan pekerjaannya hanya teriak-teriak memanggil nama Saraswati sepanjang hari.
Para isteri mendatangi rumah Emak agar Saraswati segera dinikahkan. Suatu hari Emak
terkejut kedatangan Dharma ke rumahnya, lelaki kaya untuk melamar Saraswati. Dharma
bersedia menunggu sampai Saras lulus sekolah. Ia menerima lamaran itu demi ketenangan di
kampungnya, walau dalam hatinya tidak ada satu lelakipun yang terbaik untuknya selain
Sinur yang ia cintai.
Saraswati memenuhi janjinya menikah dengan Dharma setelah lulus SMEA. Para
perempuan menyambutnya dengan suka cita, tetapi para lelaki patah hati. Paginya Dharma
menandatangani semua surat wasiat untuk diwariskan kepada isterinya. Saraswati tidak
percaya dengan keputusan suaminya yang mewariskan semua harta kepadanya. Setelah itu
Dharma pamit untuk melaut, pagi harinya dikabarkan meninggal karena kapal yang
ditumpanginya mengalami kecelakaan.
Jimat sintren yang ada di dalam tubuh Saraswati yaitu Den Ayune Lanjar. Ia adalah
sintren sakti yang memiliki kecantikan luar biasa, kecantikannya mampu menaklukan hati
para lelaki. Sintren itu berjanji akan tetap perawan mesti telah menikah. Karena itu sintren
Saraswati walau telah menikah masih tetap perawan karena suaminya sudah meninggal
karena warga di kampungnya tidak menyukai keberadaannya. Orang-orang penasaran ingin
melihat Saraswati yang sudah lama tidak keluar rumah. Banyak orang yang menduga
Saraswati menjadi jelek tidak semempesona dulu. Orang sekampung mengelilingi rumah
mewah Saras, tidak lama membuka pintu banyak lelaki jatuh pingsan karena tidak kuasa
melihat kecantikannya. Setelah kejadian itu orang sekampung tiba-tiba tidak dapat berbicara
atau gagu karena melihat kecantikan Saraswati yang luar biasa.
Kekaguman orang-orang kampung pada Saraswati semakin sempurna. Setiap saat
selalu ada yang membicarakan Saras, para suami dan lelaki lajang kembali tergila-gila pada
kecantikannya. Setiap hari selalu ada yang datang ingin melamar Saraswati, padahal baru
sembilan hari almarhum Dharma suami pertama Saras meninggal dengan tidak wajar. Tepat
empat puluh hari meninggalnya Dharma, Saraswati menerima lamarannya Warno duda kaya
yang belum memiliki anak. Saraswati terpaksa menerima lamaran itu karena desakan dari
warga dan emaknya. Satu minggu telah berlalu pernikahan Saraswati dengan Warno
membuat warga tenang. Memasuki hari kesembilan pernikahannya, Warno yang sedang
memanjat terjatuh dari pohon kelapa di kebun miliknya. Warga kembali geger (heboh)
dengan kabar meninggalnya suami Saraswati yang kedua kalinya. Untuk kedua kalinya
Saraswati memakamkan suaminya, wajahnya tidak bisa menyembunyikan rasa duka.
Kehawatiran yang paling ia tukuti yaitu para suami yang akan kembali menggilainya lagi.
Lagi-lagi para isteri kembali mendesak emak agar segera menikahkan lagi anaknya.
Saraswati menerima usulan warga walau dengan berat hati, tiga bulan kemudian Saraswati
menikah dengan Royali duda tidak memiliki anak pemilik angkutan kota. Kabar yang
mengejutkan kembali didengar warga, Royali baru satu hari menikahi Saraswati mengalami
pernikahannya, namun para lelaki tetap jatuh hati pada kecantikan Saraswati dan ingin
memperisterinya. Maka yang keempat kalinya Saraswati menikah dengan lelaki lajang
bernama Sumito seorang pedagang kelontong. Baru tiga hari usia pernikahan mereka, toko
kelontong Sumito habis terbakar ketika ramai pembeli di siang hari. Sumito terjebak di dalam
toko tidak bisa keluar karena penuh barang dagangannya. Sumito meninggal secara wajar,
tetapi aneh karena jasadnya dalam keadaan sehat tanpa luka, tanpa darah, tanpa terlihat
terbakar.
Hari-hari Saraswati terasa sepi dan lama baginya. Perempuan-perempuan kampung
telah menjauhinya, tidak ada yang mau menyapanya, kecuali para lelaki masih terus melihat
Saraswati tanpa berkedip. Kesepi ini semakin menjadi ketika orang tua yang selama ini
menemaninya menjadi sintren meninggal karena usianya yang sudah tua. Tidak ada satupun
perempuan yang datang untuk berbelasungkawa, hanya beberapa laki-laki yang terlibat
dipertunjukan sintren datang untuk melayat. Hal itu membuat Saraswati sedih. Dalam hatinya
bertanya apakah akan sesepi ini kelak kalau dirinya meninggal? Saraswati mulai menyendiri,
mengurung diri di rumah besar peninggalan Dharma.
Tidak lama dari hari meninggalnya mbah Mo kini Larasati menyusul meninggalkan
Saraswati. Mereka pergi di saat Saraswati ditimpa berbagai musibah yang berturut-turut. Dari
kejadian gilanya pak Legiman, gantung diri ibu Kartika, meninggal keempat suaminya
suaminya, kini ia harus kehilangan orang yang dikasihinya mbah Mo dan Larasati.
Saraswati semakin larut dalam kesedihannya, hidupnya hanya ditemani anak-anak
kecil yang selalu setia di sampingnya. Kecantikannya membawa malapetakan bagi dirinya
Sinur datang mengunjungi dan melamar Saraswati. Dengan pedih, Saraswati menolak
lamarannya tersebut, ia tidak ingin Sinur mati seperti kempat suaminya terdahulu. Tetapi
Sinur bersikukuh ingin menikahinya.
Para isteri di kampung dan ibunya Sinur sudah bertekad akan membakar rumah
Saraswati. Sinur lelaki satu-satunya yang ikut serta, namun dengan tujuan menyelamatkan
Saraswati. Sinur sebelum bisa mencegahnya para perempuan sudah melempar obor ke arah
rumah Saraswati. Namun, sebelum obor membakar rumah terlebih duhulu padam. Sinur
memberanikan diri masuk ke rumah untuk melihat keadaan Saraswati. Saraswati terlihat
berbaring dengan kedua tangan di atas pusat perut. Sinur mendekat, sintren Saraswati telah
meninggal dunia.
Sinur memimpin pemakamannya, seluruh warga kampung termasuk kampung
sebelah yang pernah dikunjungi Saraswati saat menjadi sintren ikut melayat. Kepergiannya
membuat Sinur seperti kehilangan belahan jiwanya. Sinur telah memutuskan menikah dengan
seorang perempuan yang wajah dan tubuhnya sama seperti Saraswati.
2.1.2 Tokoh dan Penokohan
2.1.2.1 Tokoh protagonis: Saraswati dan Sinur
1. Saraswati sebagai tokoh protagonis karena tokoh yang memiliki sifat lembut, otaknya cerdas dengan berbagai prestasi yang ia dapat dimasa sekolah, dan memiliki wajah cantik tetapi tidak menjadikannya sombong. Ia sebagai tokoh utama yang berpengaruh pada alur cerita. Secara terus-menerus sampai akhir cerita dipengaruhi tokoh Saraswati dalam novel Sintren.
lingkungannya. bahasa, tetapi sebenarnya ia penyayang kepada anak dan suaminya.
7. Juragan Wargo tokoh juragan kaya di daerahnya, memiliki sifat dermawan dan ramah.
8. Menur tokoh isteri juragan Wargo, memiliki sifat baik dan ramah.
9. Kirman tokoh seorang lelaki dikenal perjaka tua pewaris tunggal juragan Wargo. 10.Diran tokoh suami Wastini, memiliki sifat mengalah dan penyabar.
11.Wastini tokoh ibunya Wati, memiliki sifat kasar, memiliki otak yang jahat, keras, merasa berkuasa kepada keluarga dan lingkungannya, termasuk tokoh antagonis. 12. Wati tokoh teman SD Saraswati, memiliki sifat yang sirik, dengki, dan memiliki
pemikiran yang jahat.
13.Nenek Ijah tokoh ibunya Wastini.
14.Mbah Mo tokoh seorang guru sepiritual penari sintren, memiliki sifat berwibawa dengan memiliki tinggi ilmu magis. nekat, namun lembut, dan baik terhadap Saraswati.
18.Kardi tokoh seorang pemilik becak.
19.Lina tokoh teman baik Saraswati ketika SD.
20.Keempat suami Saraswati: pertama Dharma seorang duda kaya, kedua Warno seorang duda belum memiliki anak, ketiga Royali seorang duda pemilik angkutan umum, dan keempat Sumito seorang lelaki lajang pemilik toko kelontong.
21.Anak-anak gadis disaat ujian penari sintren: Alpasanah dan Dalipah. 22.Para suami: Bagong, Ndori, Jali, Gino, dan masyarakat lain.
23.Para isteri: Rukiyah, Jumilah, dan masyarakat lain. 24.Yudha tokoh seorang wartawan dari kota.
25.Bondan tokoh pemuda setempat di daerah.
2.1.3 Tokoh dan Penokohan dalam Novel Sintren
Dianing Widya Yudhistira sangat teliti menggambarkan karakter di setiap tokoh yang
pendidikan. Walau dirinya dari keluarga yang tidak mampu, namun berpendirian
teguh agar terus dapat bersekolah. Cita-citanya ingin menjadi seorang guru sangat
kuat tertanam dalam pikirannya. Penurut kepada orang tuanya, mesti sering tidak
cocok dengan emaknya, namun sebenarnya ia sangat menyayangi mereka. Saraswati
seseorang yang berpengaruh keberadaannya setelah menjadi penari sintren. Namun, ia
menjadi gadis yang kesepian walau dikelilingi orang-orang yang menyukai dan
mencintainya. Penjelasan penggambaran tokoh Saraswati, sebagai berikut:
1. “Saya ingin masuk sekolah, Mak”
“Tidak tahu malu! Uang sekolahmu nunggak sampai tiga bulan, kamu masih mau masuk. Mau ditaruh mana mukamu itu?”
“Ayo tunggu apa lagi. Ganti bajumu. Ikut Mak ke Klidang. Pagi ini Mak harus menjemur ikan. Mak tidak sanggup kerja sendiri. Kamu kan tahu bapakmu lagi
sakit.”
Setelah pulang sekolah nanti, saya janji akan ke Klidang membantu Mak.” “Boleh ya, Mak. Saras janji”
“Dasar anak tidak tahu diuntung.”
(Dianing Widya Yudhistira, 2:3 & 4)
Penggambaran tokoh Saraswati dari keluarga yang tidak mampu, namun
berpendirian teguh agar terus dapat bersekolah.
2. “Pak, Saras ingin sekolah sampai kuliah seperti orang-orang kota itu.” (Dianing Widya Yudhistira, 3:6)
Penggambaran tokoh Saraswati memiliki harapan tinggi akan pendidikan.
3. “Kamu jemur ikan yang di sini ke rak sebelah sana… Angkat ember ini ke sana biar kamu tak kejauhan bolak-balik mengambil.”
(Dianing Widya Yudhistira, 9:4) 4. “Bantu angkat, Mak.”
“Niat kamu ke sini mau membantu atau mau manja-manja.”
“Saras tidak kuat mengangkat sendiri seember sebesar ini.” “Dasar anak manja. Ya ayo, kubantu sini.”
(Dianing Widya Yudhistira, 10:1)
Penggambaran tokoh Saraswati penurut kepada orang tuanya. Walau, sering kali