• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI STATUS EKONOMI ORANG TUA SISWAKELAS VII DAN VIII DI SMP NEGERI 5 SLEMAN.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI STATUS EKONOMI ORANG TUA SISWAKELAS VII DAN VIII DI SMP NEGERI 5 SLEMAN."

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

i

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI STATUS EKONOMI ORANG TUA

SISWAKELAS VII DAN VIII DI SMP NEGERI 5 SLEMAN

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh:

Khusnul Maskanah 121042410414

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v MOTTO

Di antara tanda-tanda kekuasan-Nya adalah Alloh menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri, sehingga kamu merasa tenteram {sakinah} dengannya, dan dijadikan-Nya diantara kalian rasa cinta dan kasih sayang {mawaddah wa rahmah}.

Dan di dalam itu semua terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

(Qs. Ar-Ruum: 21)

Janganlah membuang waktu dan energimu hanya untuk membenci dan membuat permusuhan dengan orang lain. Berjalanlah dalam kasih sayang dan kebaikan, serta

pergilah kebencian. Kasih sayang merupakan cara terbaik untuk merangkul musuh-musuhmu

(Hery Alexsander)

Sabar dan percaya, belajar dari kesulitan itu lebih bermakna untuk akhir dari sebuah perjuangan yang manis

{Hadi Uswanto dan Maesaroh}

Man jadda wa jadah, Man shabara zhafira

(6)

vi

PERSEMBAHAN

Skripsi dipersembahkan untuk :

1. Allah SWT yang senantiasa memberikan penunjuk dan penerang jalanku.

2. Papa, mama dan kakak tercinta, atas kasih sayang, pengorbanan, kerja

keras, dan doa yang selalu menjadi pengingat di setiap perjalanan

hidupku.

3. Keluarga besar dan sahabat yang selalu memotivasi untuk menjadi lebih

baik.

(7)

vii

HUBUNGAN KEHARMONISAN KELUARGA DENGAN PERILAKU BULLYING DITINJAU DARI STATUS EKONOMI ORANG TUA SISWA KELAS

VII DAN VIII DI SMP NEGERI 5 SLEMAN

Oleh: Khusnul Maskanah NIM: 12104241014

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan keharmonisan keluarga dengan perilaku bullying ditinjau dari status ekonomi orang tua siswa kelas VII dan VIII di SMP Negeri 5 Sleman.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan jenis penelitian korelasional. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa kelas VII dan VIII SMP Negeri 5 Sleman sebanyak 256 siswa. Penentuan sampel penelitian ini menggunakan teknik stratified proportional random sampling. Sampel dalam penelitian ini adalah 152 siswa. Alat ukur pada penelitian ini adalah skala likert dan angket. Hasil uji reliabititas menggunakan Alpha Cronbach yakni sebesar 0.909 untuk keharmonisan keluarga dan 0.871 untuk perilaku bullying. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan kolerasi dengan variabel moderating uji interaksi.

Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang negatif dan signifikan antara keharmonisan keluarga dan perilaku bullying ditinjau dari status ekonomi orang tua. Besarnya hubungan dilihat dari nilai signifikansinya p=0.006<0.05, maka hipotesis diterima. Terdapat hubungan yang negatif dan signifikan pada keharmonisan keluarga dan perilaku bullying ditinjau dari status ekonomi orang tua rendah (r=-0.292 dan p=0.036<0.05), sedang (r=-0.378 dan p=0.010<0.05), tinggi (r=-0.402 dan p=0.008<0.05), dan sangat tinggi (r=-0.611 dan p=0.045<0.05).

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmannirrahim.

Alhamdulillah, tiada kata yang pantas terucap kecuali Puji Syukur kehadirat

Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia yang telah diberikan. Sholawat dan salam

semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Agung Muhammad S.A.W yang telah

menunjukkan jalan kebenaran dan menuntun manusia menuju tali agama Allah

SWT yang mulia.

Selanjutnya, dengan kerendahan hati penulis ingin menghaturkan

penghargaan dan rasa terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu

penyelesaian skripsi yang berjudul “Hubungan Keharmonisan Keluarga dengan

Perilaku Bullying Ditinjau Terhadap Perilaku Bullying Siswa Kelas VII dan VIII di

SMP Negeri 5 Sleman”. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan partisipasi

berbagai pihak, skripsi ini tidak akan terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Allah SWT, atas berkah dan karunia-Nya yang luar biasa sehingga

peneliti diberi anugerah kesehatan dan mampu menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

2. Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan yang telah memberikan kesempatan

untuk melakukan penelitian.

3. Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah

(9)

ix

4. Ibu Dr. Budi Astuti, M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah

memberikan banyak ilmu, arahan, dorongan, dan motivasi serta kesabaran

kepada peneliti untuk mengerjakan skripsi ini.

5. Bapak Muh. Farozin, M.Pd, terima kasih atas bimbingan dan arahan

selama masa kuliah.

6. Buat kedua orang tua ku papa Hadi Uswanto dan mama Maesaroh atas

doa, penyemangat dan dukungan moril maupun materil yang telah

diberikan.

7. Kakak tercinta Rizki Chaerul Pajar yang tiada henti memberikan

dukungan, dorongan serta selalu setia mendampingi penulis.

8. Kepala SMP Negeri 5 Sleman yang telah mengizinkan peneliti melakukan

penelitian di sekolah tersebut.

9. Guru-guru Bimbingan dan Konseling di SMP Negeri 5 Sleman, yang telah

memberi banyak ilmu dan saran.

10.Pangestu Tri Wulan Ndari, Anisah, Ely Fauziyah dan Ajeng Priharsanti,

terima kasih atas semua dukungan dan semangatnya. Terima kasih atas

kesabaran dan telah menjadi sahabat sejatiku selama ini.

11.Untukmu Bintangku, Mas Muhammad Arifin and Rizki Intan Hariyati,

yang jauh disana namun selalu dekat di doa. Terima kasih atas doa,

semangatnya dan waktu yang selalu diluangkan. Walau jauh dukungan

(10)
(11)

xi

B. Identifikasi Masalah ... 11

C. Batasan Masalah ... 12

D. Rumusan Masalah ... 12

E. Tujuan ... 12

F. Manfaat ... 13

BAB II KAJIAN TEORI ... 14

A. Keharmonisan Keluarga ... 14

1. Pengertian Keluarga Harmonis ... 14

2. Ciri-ciri Keluarga Harmonis ... 16

3. Ciri-ciri Keluarga Tidak Harmonis ... 18

4. Unsur-Unsur Keluarga ... 20

5. Fungsi Keluarga ... 21

B. Status Ekonomi Orang Tua ... 24

1. Pengertian Status Ekonomi Orang Tua ... 24

(12)

xii

Orang Tua ... 25

3. Tingkat Status Ekonomi Orang Tua ... 28

C. Perilaku Bullying ... 30

1. Pengertian Perilaku Bullying ... 30

2. Macam-Macam Perilaku Bullying ... 32

3. Pelaku Perilaku Bullying ... 35

4. Gejala Korban Perilaku Bullying ... 36

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying ... 37

6. Tempat Terjadinya Perilaku Bullying ... 39

D. Penelitian Relevan ... 42

(13)

xiii

1. Deskripsi Waktu, Lokasi, dan Subyek Penelitian ... 68

2. Deskripsi Hasil Data Penelitian ... 70

3. Hasil Pengujian Persyaratan Analisis ... 77

4. Hasil Uji Analisis ... 79

B. Pembahasan ... 84

1. Pembahasan Mengenai Keharmonisan Keluarga ... 84

2. Pembahasan Mengenai Status Ekonomi Orang Tua ... 85

3. Pembahasan Mengenai Perilaku Bullying ... 87

4. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Bullying Ditinjau Dari Status Ekonomi Orang Tua ... 88

C. Keterbatasan Penelitian ... 93

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 94

A. Kesimpulan ... 94

B. Saran ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Tabel1. Jumlah Sampel Penelitian ... 51

Tabel 2. Pola Opsi Alternatif Pilihanpada Skala ... 54

Tabel 3. Kisi-Kisi Keharmonisan Keluarga ... 55

Tabel 4. Kisi-Kisi Status Ekonomi Orang Tua ... 56

Tabel 5. Kisi-Kisi Perilaku Bullying ... 57

Tabel 6. Item Valid dan Tidak Valid Pada Skala Keharmonisan Keluarga . 61 Tabel 7. Item Validitas Angket Status Ekonomi Orang Tua ... 63

Tabel 8. Item Valid dan Tidak Valid Pada Skala Perilaku Bullying ... 63

Tabel 9. Penentuan Skor Keharmonisan Keluarga ... 70

Tabel 10. Distribusi Frekuensi Kategori Keharmonisan Keluarga ... 71

Tabel 11. Distribusi Frekuensi Angket Status Sosial Ekonomi Orang Tua . 73 Tabel 12. Penentuan Skor Perilaku Bullying ... 75

Tabel 13. Distribusi Frekuensi Kategori Perilaku Bullying ... 76

Tabel 14. Hasil Uji Normalitas ... 78

Tabel 15. Hasil Uji Linearitas ... 79

Tabel 16. Koefesiensi Kolerasi ... 80

(15)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Desain Penelitian ... 47

Gambar 2. Grafik Distribusi Frekuensi Kategori Keharmonisan Keluarga . 72

Gambar 3. Grafik Distribusi Frekuensi Penghasilan Ayah ... 74

Gambar 4. Grafik Distribusi Frekuensi Penghasilan Ibu ... 74

(16)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Hasil Reliabilitas Keharmonisan Keluarga Sebelum

Pengguguran ... 102

Lampiran 2. Hasil Reliabilitas Perilaku Bullying Sebelum Pengguguran ... 104

Lampiran 3. Hasil Reliabilitas Keharmonisan Keluarga Setelah Pengguguran ... 106

Lampiran 4. Hasil Reliabilitas Perilaku Bullying Sebelum Pengguguran ... 107

Lampiran 5. Pernyataan Instrumen Sebelum Uji Coba ... 109

Lampiran 6. Pernyataan Instrumen Setelah Uji Coba ... 117

Lampiran 7. Hasil Uji Normalitas ... 122

Lampiran 8. Hasil Uji Linearitas ... 122

Lampiran 9. Hasil Uji Moderasi ... 123

Lampiran 10. Hasil Uji Korelasi ... 124

Lampiran 11. Surat Izin Penelitian Fakultas ... 125

Lampiran 12. Surat Izin Penelitian BAPEDA ... 126

(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Manusia senantiasa hidup dalam suatu lingkungan, baik lingkungan fisik,

psikis, ataupun spiritual yang di dalamnya terdapat interaksi sejak individu itu

dilahirkan. Dalam interaksi tersebut, tentulah terjadi interaksi yang saling

mempengaruhi antara manusia dan lingkungannya. Dalam menguraikan

hubungan masyarakat terhadap perkembangan sosial, untuk pertama kalinya

manusia terlebih dahulu menjumpai kelompok sosial yakni kelompok

keluarganya sejak individu tersebut dilahirkan.

Kelompok keluarga merupakan satuan kekerabatan yang sangat mendasar

dalam masyarakat. Kelompok keluarga pada umumnya terdiri dari bapak, ibu,

dengan anak-anaknya; atau orang seisi rumah yang menjadi tanggungannya.

Keluarga inti biasanya disebut sebagai keluarga batih, yakni keluarga yang

terdiri dari suami, istri dan anak (dalam Agus Riyadi, 2013:101).

Sebuah keluarga tentunya menginginkan jalinan yang harmonis, penuh

dengan kasih sayang serta memiliki keturunan yang baik, mempunyai

kepribadian yang kuat dan sikap mental yang sehat serta akhlak yang terpuji.

Perilaku-perilaku tersebut dapat diwujudkan melalui interaksi dan pendidikan.

Tiga tempat pendidikan yang dapat membentuk individu menjadi manusia

seutuhnya yakni pendidikan yang diberikan oleh keluarga, sekolah, dan

(18)

2

Keluarga adalah tempat titik tolak perkembangan anak. Peran keluarga

sangat dominan dalam perkembangan kepribadian anak agar menjadikan

individu yang cerdas, sehat dan memiliki penyesuaian sosial yang baik.

Dikutip oleh Lazarus, Freud (dalam Hermawati, 2014: 49) yang mengatakan

bahwa hubungan lingkungan keluarga terhadap perkembangan anak

merupakan titik tolak perkembangan kemampuan atau ketidakmampuan

penyesuaian sosial anak khususnya para remaja. Menurutnya pula, pada masa

ini sangat menentukan dan tidak dapat diabaikan oleh keluarga.

Pada dasarnya peran keluarga yang pertama dan utama yakni memberikan

pendidikan kepada anggota keluarga, terlebih kepada anak-anak remajanya.

Pada umumnya keluarga mempunyai peran untuk mensosialisasikan adat

istiadat, menjalin komunikasi yang baik dengan keluarga maupun masyarakat

luas, menaati peraturan, mematuhi nilai-nilai moral yang diartikan sebagai

seruan untuk berbuat baik kepada orang lain, memelihara ketertiban dan

keamanan, serta memelihara hak orang lain.

Hal serupa juga disampaikan oleh Yulia Singgih D Gunarsa (2002:13)

yang mengatakan bahwa hubungan baik dalam keluarga dapat dibina serta

dibentuk jika setiap anggota keluarga mempunyai pasangan hidup yang teguh

imannya serta dilandaskan dengan dasar-dasar petunjuk, yakni norma-norma

yang sudah terinternalisasi. Suasana kekeluargaan dan kelancaran

(19)

3

menyadari dan menjalankan tugas serta kewajiban masing-masing sambil

menikmati haknya sebagai anggota keluarga.

Setiap keluarga mendambakan suasana yang bahagia, penuh cinta, dan

kasih sayang. Namun tidak dipungkiri untuk mewujudkan itu semua, tidaklah

banyak yang dapat melakukannya. Ada berbagai masalah, baik besar maupun

kecil sering kali menghadang perjalanan rumah tangga. Baik karena

kurangnya pengetahuan, kurangnya komunikasi antar suami istri, atau

berbagai permasalahan sehari-hari lainnya yang sering dihadapi karena

kekurangan masing-masing pribadi maupun gangguan atau campur tangan

dari pihak luar. Terkadang terlihat bahwa lebih mudah “menjalin” hubungan

dengan orang lain di luar ikatan keluarga.

Kharuddin (2008:132) memberikan beberapa gambaran mengenai

ketegangan yang sering terjadi didalam keluarga antara lain; hilangnya secara

berangsur-angsur tujuan bersama dan mengalihkan tujuan pribadi menjadi

lebih penting dari pada tujuan-tujuan keluarga, adanya usaha kerjasama yang

semakin menurun, tidak adanya pelayanan yang baik antara suami istri dan

hubungan-hubungan interpersonal tidak lagi terkoordinasi dengan baik antar

sesama anggota, serta adanya pertentangan sikap-sikap emosional antara

suami istri. Keadaan yang seperti ini tentunya mengubah suasana keluarga

menjadi lebih tidak harmonis.

Adanya fenomena tersebut, tidak menutup kemungkinan masalahpun

(20)

4

anak. Jika ditelaah lebih lanjut, dampak yang paling dirugikan yakni jatuh

pada kondisi anak terlebih pada kalangan anak-anak yang memasuki usia

remaja. Aristoteles (dalam Syamsu Yusuf, 2006:20) membagi tiga tahap

sebagai gambaran dari perkembangan individu. Pada tahap ketiga dijelaskan

bahwa masa remaja merupakan tahapan transisi dari masa anak-anak menuju

masa dewasa. Menurut Rita Eka Izzaty, dkk (2008:135) masa remaja

merupakan masa terjadinya ketegangan emosi yang bersifat khas sehingga

masa ini dianggap sebagai massa “badai dan topan”. Dimasa ini ketegangan

emosi remaja tidak menentu, tidak stabil serta meledak-meledak sehingga

tidak heran jika banyak kalangan remaja yang salah dalam memilih pergaulan.

Salah satu bentuk pergaulan yang salah dikalangan remaja yakni perilaku

bullying. Menurut Olweus (dalam Khare, 2005: 197) bullying merupakan

perilaku seseorang yang dianggap menjadi korban apabila anak dihadapkan

pada tindakan negatif dari seseorang ataupun sebuah kelompok dengan

melakukannya secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu.

Tindakan negatif pada perilaku bullying ini dapat berupa secara langsung

seperti adanya penyerangan secara fisik (memukul, menendang, mencakar,

menjambak dan lain sebagainnya) maupun secara tidak langsung

(mengucilkan secara sosial, memandang secara sinis, menyebar fitnah, dan

lain sebagainnya). Bullying telah dikenal sebagai masalah sosial yang utama di

dunia pendidikan terutama pada kalangan remaja. Perilaku tersebut dapat

dilakukan oleh laki-laki maupun perempuan. Namun, pada umumnya laki-laki

(21)

5

Senada dengan adanya perilaku bullying tersebut,Menteri Komnas

Khofifah Indar Parawansa mengungkapkan, bahwa sebanyak 40 persen

anak-anak di Indonesia meninggal karena bunuh diri akibat tak kuat

menahan bullying (Moch Harun Syah, Liputan6.com, Jakarta 09 November

2015). Fakta di lapangan menunjukan bahwa perkembangan perilaku bullying

setiap tahunnya meningkat dengan pesat. Hal tersebut didukung oleh data

Hazliansyah (dalam republika.co.id 30/12/2015) yang menyatakan bahwa

jumlah anak sebagai pelaku kekerasan (bullying) di sekolah mengalami

kenaikan dari 67 kasus pada tahun 2014 menjadi 79 kasus pada tahun 2015.

Terdapat berbagai macam pemicu yang melatarbelakangi timbulnya

perilaku bullying pada remaja. Salah satunya yaitu tidak adanya hubungan

yang harmonis antara anggota keluarga yang tidak sedikit berakhir dengan

percerain. Di Indonesia kasus perceraian telah mengalami peningkatan dari

tahun ke tahun. Berdasarkan berita yang dilansir dari Baiquni

(Dream.news.co.id, 2016) menyatakan jumlah kasus perceraian yang diputus

Pengadilan Tinggi Agama seluruh Indonesia pada tahun 2014 yang mencapai

382.231 kasus, naik sekitar 131.023 dibanding tahun 2010 sebanyak 251.208

kasus. Di Yogyakarta sendiri khususnya di kota Sleman jumlah angka

perceraian juga mengalami peningkatan, seperti yang dilansir dari Rima

Sekarani (Harianjogja.com, 2015) yang menyatakan bahwa jumlah perkara

yang diterima Pengadilan Agama Sleman pada tahun 2014 mengalami

(22)

6

perkara dan dari jumlah tersebut hanya lima persen yang akhirnya dapat

terselamatkan.

Kasus lain yang mendukung terjadinya disintegritas dalam keluarga yakni

kesibukan orang tua di era modern ini. Sebagian besar orang tua lebih memilih

untuk bekerja dibanding melaksanakan perannya sebagaimana

mestinya.Kondisi keluarga yang sudah tidak harmonis rawan akan tindakan

kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan perselingkuhan. Hal tersebut

didukung pula dengan adanya pengeluaran catatan tahunan dari Komnas

Perempuan yang menyatakan terjadi peningkatan kekerasan pada keluarga

khususnya pada perempuan dari tahun sebelumnya dari 3166 kasus pada tahun

2015 menjadi 3184 kasus pada tahun 2016 (Melati Yuniasari Fauziyah

diunduh pada Error! Hyperlink reference not valid. 05/12/2016). Jika semuanya

terjadi, maka anaklah yang menjadi korbannya.

Keadaan keluarga yang tidak harmonis dapat mengakibatkan tidak

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar pada anak khususnya remaja seperti

rasa aman, kasih sayang, harga diri dan sebagainya. Hal tersebut dapat

berdampak pada perilaku remaja seperti melakukan tindakan bullying baik di

lingkungan sekolah maupun masyarakat sebagai pelampiasan dari tidak

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut. Jika mengaitkannya dalam

hirarki kebutuhan pada teori Maslow, remaja yang hidup dalam keluarga tidak

harmonis tentu tidak mudah untuk mencapai kebutuhan yang paling tinggi.

(23)

7

merupakan lembaga pertama yang mampu memenuhi kebutuhan dasar

tersebut melalui perawatan dan perlakuan yang baik dari orang tua baik secara

fisik-biologis maupun sosio-psikologisnya (dalam Syamsu yusuf, 2006: 37).

Faktor lain yang mendukung penyebab perilaku bullying pada remaja

yakni keadaan status ekonomi pada keluarga. Masalah ekonomi merupakan

faktor yang sangat rentan dalam menimbulkan problem rumah tangga.

Permasalahan tersebut dapat berdampak pula pada remaja, baik masalah

ekonomi yang cukup berlebihan hingga masalah ekonomi yang kurang bahkan

sangat kekurangan.

Remaja yang berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi rendah,

memiliki masalah dengan ketidakmampuan bersaing dengan remaja dari

kalangan atas. Hal ini disebabkan karena kurangnya hak-hak mendapatkan

keistimewaan dan fasilitas materiil. Akibatnya, untuk mampu memainkan

fungsi sosial tertentu dan memberikan arti bagi eksistensi hidupnya, juga

untuk mengangkat martabat dirinya serta untuk menegakkan fungsi egonya,

para remaja lebih memilih untuk melakukan perbuatan kenakalan seperti

perilaku bullying serta melanggar norma-norma yang ada.

Rand Conger dkk (dalam Syamsu Yusuf, 2006: 53) menyatakan bahwa

orang tua yang mengalami tekanan ekonomi atau perasaan tidak mampu

mengatasi masalah finansialnya, cenderung menjadi depresi dan mengalami

konflik dalam keluarga. Hal ini pula yang pada akhirnya mampu

(24)

8

rendah, kurang dapat bergaul dengan teman, atau bahkan memilih pergaulan

yang salah seperti melakukan perilaku bullying terhadap lingkungan

sekitarnya baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat. Tuntutan

kehidupan yang keras menjadikan remaja-remaja kelas sosial ekonomi rendah

menjadi agresif. Sementara itu, orang tua yang sibuk mencari nafkah untuk

memenuhi kebutuhan ekonomi tidak sempat memberikan bimbingan dan

melakukan pengawasan terhadap perilaku putra-putrinya, sehingga remaja

cenderung dibiarkan menemukan dan belajar sendiri serta mencari

pengalaman sendiri.

Selain lingkungan keluarga, lingkungan sekolahpun banyak berperan

dalam membentuk perilaku remaja. Pendidikan di sekolah merupakan lanjutan

dan bantuan terhadap pendidikan di rumah. Kehadiran teman-teman sebaya di

lingkungan sekolah memiliki peran lebih besar dari pada keluarga dalam

pembentukan perilaku remaja. Hal ini dikarenakan remaja lebih banyak

berada di luar rumah bersama teman-teman sebaya sebagai kelompok,

sehingga dapatlah dimengerti bahwa keberadaan teman-teman sebaya dapat

mempengaruhi pembentukan pada sikap, pembicaraan, minat, penampilan

maupun kebiasaannya. Beragam bentuk hubungan yang diberikan oleh teman

sebaya baik yang berupa positif maupun yang negatif seperti adanya kebiasaan

mem-bully sesamannya.

Fenomena perilaku bullying telah lama menjadi bagian dari dinamika

(25)

9

penggencetan, pemalakan, pengucilan, intimidasi, dan lain-lain. Istilah

bullying sendiri memiliki makna lebih luas, mencakup berbagai bentuk

penggunaan kekuasaan atau kekuatan untuk menyakiti orang lain sehingga

korban merasa tertekan, trauma, dan tak berdaya. Dr. Amy Huneck

mengungkapkan bahwa 10-60% siswa di Indonesia melaporkan mendapat

ejekan, cemoohan, pengicilan, pemukulan, tendangan ataupun dorongan,

sedikitnya sekali dalam seminggu (dalam Novan Ardy Wiyani 2013: 18). Hal

serupa sering di jumpai bahkan sudah menjadi tradisi di dalam dunia

pendidikan ketika pada saat penerimaan siswa baru yang dikenal dengan

istilah MOS (Masa Orientasi Siswa). Pada saat MOS berlangsung tidak sedikit

tindakan kakak senior yang mencerminkan perilaku bullying seperti

mempermalukan adik junior di depan kelas.

Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti ketika Praktik

Pengalaman Lapangan (PPL) pada bulan Juli-Agustus 2015 di SMP Negeri 5

Sleman ditemukan beberapa perilaku bullying. Seperti yang dialami NR salah

satu siswi kelas VIII yang mendapatkan perilaku bullying dari teman kelas

berupa olokan karena mencari perhatian terhadap semua guru dan merebut

pacar kakak tingkatnya. NR mengaku pernah dilabrak oleh geng kakak

tingkatnya tersebut. Dari hasil wawancara dengan guru BK, didapatkan

informasi bahwa kejadian yang di alami NR benar adanya.Guru BK

menuturkan pula bahwa NR sempat tidak ingin melanjutkan sekolah akibat

(26)

10

Selain NR, perilaku bullying juga diterimaoleh FZ siswa kelas VII dari

kakak kelasnya. Ketika pulang sekolah FZ mengaku dihadang dan di ancam

oleh kakak kelasnya. Dari hasil wawancara dengan guru BK, fokus

permasalahan yang dialami FZ karena kecemburuan kakak kelasnya dengan

FZ yang menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya. Berbeda pula dengan

PT salah satu siswa kelas VII yang mendapatkan bully dari teman kelasnya

berupa ejekan karena keadaan keluarganya yang tidak utuh serta

penampilannya yang tampak kurang terurus. PT juga sempat mengalami

trauma saat PT tengah duduk di banguku SD yang berakibatkan PT berhenti

sekolah selama setahun.

Dari hasil wawancara bersama guru BK pada hari rabu, 30 maret 2016,

selain PT salah satu siswi kelas IX juga mengalami bullying karena keadaan

ekonomi keluarga yang rendah. Perilaku bullying yang diperolehnya berupa

verbal dan non verbal. Perlakuan yang diterima siswi tersebut berupa

direndahkan serta diejek dengan tampang yang sinis oleh temannya. Hal ini

membuat mental siswi tersebut menjadi turun dan tidak percaya diri saat

berada disamping teman-temannya.

Berdasarkan beberapa kasus di sekolah yang telah dikemukakan di atas,

diketahui bahwa perilaku bullying menyumbangkan dampak yang sangat

serius bagi kehidupan remaja khususnya psikis remaja yang kemudian dapat

berhubungan pada permasalahan belajar dan pribadi-sosialnya. Fenomena

(27)

11

berikutnya apabila tidak segera ditangani. Dibutuhkannya kerjasama dari

berbagai pihak, baik sekolah, orang tua maupun masyarakat dalam menangani

perilaku tersebut.

Peran guru Bimbingan dan Konseling (Guru BK) tidak kalah pentingnya

untuk dapat membantu membimbing serta mengarahkan para siswa dalam

menyelesaikan permasalahannya termasuk dalam mengatasi dan menghadapi

perilaku bullying ini. Perilaku bullying termasuk dalam permasalahan siswa

yang membutuhkan layanan bimbingan pribadi-sosial. Guru BK dapat

memberikan arahan serta membantu memecahkan masalah siswa dengan

memberikan beberapa alternatif materi baik secara klasikal maupun

bimbingan kelompok atau konseling individual sehingga siswa dapat

menyelesaikan permasalahannya seperti cara menghadapi konflik, menjalin

hubungan yang baik dengan teman, dan berlaku asertif. Oleh sebab itu,

peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai sebagaimana besar

hubungan keharmonisan keluarga dengan perilaku bullying ditinjau dari status

ekonomi orang tua siswa kelas VII dan VIII di SMP Negeri 5 Sleman.

B. IDENTIFIKASI MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dibuat identifikasi masalah

sebagai berikut:

1. Kurang berperannya keluarga dengan baik dapat mempengaruhi

keharmonisan keluarga serta mempengaruhi perilaku remaja seperti

(28)

12

2. Jumlah kasus kekerasan rumah tangga di Indonesia setiap tahun

meningkat.

3. Adanya perbedaan status ekonomi orang tua menjadi salah satu pemicu

terjadinya penyimpangan sosial misalnya perilaku bullying.

4. Perilaku bullying dapat dilakukan oleh anak laki-laki maupun perempuan

serta bisa terjadi dimana saja khususnya pada dunia pendidikan/ sekolah.

5. Diduga tingkat keharmonisan keluarga dan status ekonomi orang tua dapat

meminimalisir perilaku penyimpangan sosial pada remaja seperti perilaku

bullying.

C. BATASAN MASALAH

Dari hasil paparan beberapa identifikasi masalah pada penelitian ini lebih

berfokus dan dibatasi pada masalah hubungan keharmonisan keluarga dengan

perilaku bullying yang ditinjau dari status ekonomi orang tua siswa kelas VII

dan VIII di SMP Negeri 5 Sleman.

D. RUMUSAN MASALAH

Dari batasan masalah yang disusun maka didapatkan rumusan masalah

dalam penelitian yaitu apakah terdapat hubungan keharmonisan keluarga

dengan perilaku bullying ditinjau dari status ekonomi orang tua pada siswa

kelas VII dan VIII di SMP N 5 Sleman?

E. TUJUAN

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang diuraikan di atas,

(29)

13

keluarga dengan perilaku bullying ditinjau dari status ekonomi orang tua pada

siswa kelas VII dan VIII di SMP N 5 Sleman.

F. MANFAAT PENELITIAN

1. Secara Teoritis

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

pengembangan keilmuan khususnya pada bidang Bimbingan dan

Konseling pribadi-sosial dan dapat dijadikan acuan untuk penelitian

selanjutnya khususnya perilaku bullying pada remaja.

2. Secara Praktis

a) Bagi Siswa

Penelitian ini diharapkan menjadi sarana untuk dapat memberikan

kesadaran kepada siswa akan pentingnya saling menghargai dalam

perbedaan dan berbahayanya perilaku bullying jika berkelanjutan.

b) Bagi guru bimbingan dan konseling

Guru Bimbingan dan Konseling diharapkan dapat menjadikan hasil

penelitian ini sebagai landasan berpikir dalam pemberian layanan

bimbingan dan konseling terutama pada layanan BK pribadi-sosial dengan

menggunakan layanan yang bervariansi seperti melalui sosiodrama,

sehingga anak mampu meresapi dari efek yang akan ditimbulkan dari

perilaku yang telah dilakukan serta diharapkan guru BK juga dapat

bekerjasama dengan orang tua siswa agar dapat dengan mudah melihat

(30)

14 BAB II KAJIAN TEORI

A. KEHARMONISAN KELUARGA

1. Pengertian Keluarga Harmonis

Definisi dari kata “keluarga” tentu akan memberikan banyak pengertian

dari berbagai sudut pandangannya. Agus Riyadi (2013:101) memberikan

pengertian bahwa keluarga merupakan satuan kekerabatan yang sangat

mendasar dalam masyarakat. Keluarga pada umumnya terdiri dari bapak, ibu,

dengan anak-anaknya; atau orang seisi rumah yang menjadi tanggungannya.

Keluarga batih biasanya disebut keluarga inti, yaitu keluarga yang terdiri dari

suami, istri dan anaknya. Senada dengan pendapat yang diutarakan oleh Farida

Hanum (2013:148) keluarga merupakan jalinan dua orang atau lebih yang

terhubung melalui ikatan perkawinan atau hubungan darah yang biasanya

tinggal bersama dalam satu tempat.

Helmawati (2014: 45) memberikan penjelasan mengenai definisi keluarga

yang dilihat dari segi struktur yang ada di dalam keluarga tersebut. Menurut

pendangannya keluarga merupakan kelompok kecil yang memiliki pemimpin

dan anggota, selain itu mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan

kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Melalui keluarga, anak

mendapatkan berbagai pelajaran kehidupan untuk pertama kali seperti

mempelajari sifat-keyakinan, sifat-sifat mulia, komunikasi dan interaksi

sosial, serta keterampilan hidup. Lebih lanjut dijelaskan oleh M. Munandar

(31)

15

dimiliki manusia sebagai makhluk sosial, yang ditandai dengan adanya

kerjasama ekonomi.

Pembahasan mengenai keluarga tentu erat kaitannya dengan keadaan yang

terjadi di dalamnya baik harmonis ataupun tidak harmonis. Penjelasan

menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia kata harmonis memiliki makna

selaras atau serasi. Makna dari kata keharmonisan lebih menitik beratkan pada

suatu keadaan, dimana keharmonisan merupakan pencapaian keselarasan dan

keserasian. Dalam rumah tangga keserasian dan keselarasan perlu dijaga untuk

mewujudkan suasana keluarga yang harmonis. Keharmonisan sebuah keluarga

juga dapat dilihat dari sisi fungsi yang berperan di dalam lingkungan keluarga

tersebut. Hal ini senada dengan penjelasan yang disampaikan oleh Syamsu

Yusuf (2006:388) bahwa keluarga harmonis ialah keluarga yang mampu

memerankan fungsinya dengan baik pada anggota keluarganya seperti

memberikan rasa aman, kasih sayang dan mengembangkan hubungan baik

antar anggota keluarga. Hubungan cinta kasih dalam keluarga tidak sebatas

perasaan, akan tetapi juga menyangkut pemeliharaan, rasa tanggung jawab,

perhatian, pemahaman, respek, dan keiinginan untuk menumbuh kembangkan

anak yang dicintainnya.

Selain dua pendapat di atas, Suryani (2008:107) memberikan pandangan

bahwa keluarga sehat adalah keluarga yang harmonis yaitu keadaan keluarga

yang para anggotanya bisa bekerjasama sebagai sebuah tim, satu sama lain

(32)

16

dengan pendapat Dadang Hawari (1997:282) yang menyatakan bahwa

keluarga yang harmonis dapat dilihat dari sisi keeratan hubungan silaturahmi

yang terjalin antar anggota di dalam keluarga tersebut.

Berdasarkan dari paparan definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa

keluarga harmonis yakni keadaan dimana seluruh anggota keluarga berusaha

untuk menciptakan suasana keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang,

saling menghormati, perhatian, respek, serta menyadari hak dan kewajiban

sesuai porsinya masing-masing.

2. Ciri-Ciri Keluarga Harmonis

Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang

memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan juga kesejahteraan serta

keharmonisan dalam keluarga. Defrain dan Stinnett (dalam Sri Lestari,

2012:24-25) mendefinisikan enam karakteristik keluarga yang kukuh

(harmonis) yaitu pertama, sebuah keluarga tentunya memiliki komitmen

bersama untuk saling membantu meraih keberhasilan dalam membangun

keluarga yang harmonis. Kedua, keluarga memiliki kesedian waktu untuk

mengungkapkan apresiasinya pada anggota keluarga yang lainnya, seperti

adanya kebiasaan mengucapkan rasa terima kasih serta mengakui sisi baik dari

setiap anggota sebagai wujud dari penghargaan, sehingga dengan demikian

komunikasi dalam keluarga bersifat positif, cenderung bernada memuji, dan

menjadi kebiasaan.

Penjelasan lebih lanjut pada poin ketiga, yakni adanya waktu luang untuk

(33)

17

bersama atau bahkan memiliki hari libur bersama sehingga menjadi rutinitas

yang selalu dinantikan keluarga sebagai wadah untuk menyatukan dan

menguatkan mereka. Keempat, memiliki pengembangan spiritualitas di dalam

keluarga. Kelima, adanya penyelesaiaan konflik serta cara menghadapi

tekanan dan krisis secara efektif, dan keenam, keluarga memiliki ritme dalam

rutinitas, kebiasaaan, dan tradisi yang memberikan arahan, makna dan struktur

terhadap mengalirnya kehidupan sehari-hari.

Ciri-ciri keluarga yang dapat dikatakan sebagai keluarga harmonis juga

disampaikan oleh dua pendapat ahli yakni Agus Riyadi (2013:105) yang di

dukung pula dengan Dadang Hawari (1997:283) yang menyatakan bahwa

terdapat enam hal yang mampu memhubungani keharmonisan keluarga yakni

adanya kehidupan dalam beragama di dalam keluarga, memiliki waktu untuk

bersama keluarga, membangun komunikasi yang baik dengan anggota

keluarga, saling menghargai antar anggota keluarga, memiliki ikatan yang

terkait erat antar anggota keluarga serta adanya penyelesaian konflik dalam

keluarga secara positif dan kondusif.

Berdasarkan ulasan pendapat para ahli, dapat diambil kesimpulan bahwa

untuk mewujudkan keluarga yang harmonis setidaknya memiliki beberapa

ciri atau karakteristik yang harus dijalani seperti; (1) menciptakan kehidupan

agama dalam keluarga, (2) meluangkan waktu untuk keluarga walau hanya

sebentar, (3) menciptakan hubungan yang baik dengan anggota keluarga

(34)

18

erat dengan keluarga serta (6) meminimalisir konflik dalam keluarga. Dengan

demikian, untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga tidak

cukup hanya dengan melihat dari sisi kelarasan dan keserasian saja, akan

tetapi perlu juga melihat hal-hal yang mampu meningkatkan serta menjaga

keutuhan keluarga

Ciri-ciri tersebut digunakan oleh Agus Riyadi sebagai kriteria terciptanya

keluarga harmonis. Karakteristik atau ciri-ciri keluarga harmonis ini akan

digunakan peneliti sebagai padoman dalam menyusun instrumen skala

keharmonisan keluarga.

3. Ciri-Ciri Keluarga Tidak Harmonis

Proses disorganisasi dalam keluarga sedikit banyaknya berasal dari konflik

yang berlangsung terus dalam sikap-sikap yang merenggangkan ikatan

bersama dari pasangan tersebut. Kharuddin (2008:132) menjelaskan bahwa

ketegangan-ketegangan yang saling berdampingan tersebut mempunyai

ciri-ciri umum yakni lunturnya tujuan bersama secara perlahan dan lebih

mementingkan tujuan pribadi, selain itu adanya penurunan kerjasama antar

anggota di dalam keluarga, kurangnya perhatian dan layanan istri terhadap

suami sehingga dapat pula memicu timbulnya ketidakharmonisan di dalam

keluarga. Faktor lain yang dapat mengakibatkan disorganisasi dalam keluarga

yakni tidak terkoordinasikan lagi hubungan antar anggota keluarga serta

adanya perubahan dari hubungan suami istri dengan kelompok-kelompok

lainnya dan terjadinya perselisihan antara sikap suami dan istri secara

(35)

19

Helmawati (2014:43-44) memaparkan mengenai ciri-ciri keluarga yang

tidak tenteram dan bahagia yang tentunya kebalikan dari tanda-tanda keluarga

ideal seperti;

1. Keluarga tidak terikat dalam pernikahan

2. Pernikahannya tidak sesuai agama dan hukum pemerintahan. 3. Berbeda keyakinan dengan pasangan

4. Perikatan keluarga tidak direstui oleh kedua orang tua.

5. Keluarga tidak lengkap (single parent), hanya satu orang tua dan anak

6. Pasangan telah berkeluarga tidak memiliki keturunan 7. Pasangan satu sama lain tidak saling kenal

8. Pasangan tidak saling menyayangi. 9. Pasangan menikah karena dipaksa.

10.Keluarga tidak merasa cocok satu sama yang lain.

11.Setiap anggota hidup terpisah atau tidak tinggal dalam satu atap 12.Setiap anggota dalam keluarga kehilangan hak dan kewajiban 13.Tidak adanya sikap saling menghormati dan menghargai antara

sesama anggota keluarga terhadap hak dan kewajiban.

14.Pembagian tugas kerja di antara anggota keluarga tidak sesuai dengan porsinya

15.Tidak cukupnya waktu untuk berkumpul bersama keluarga 16.Komunikasi dengan keluarga tidak lancar

17.Tidak pernah ada bimbingan, pembinaan, dan pengawasan dalam keluarga.

Penjelasan lain yang sejalan dengan dua pendapat ahli sebelumnya

diungkapkan oleh Dadang Hawari (dalam Syamsu yusuf, 2006; 43) yang

memberikan pandangan bahwa ciri-ciri keluarga disfungsi ialah ketika salah

satu dari kedua orang tuanya meninggal, hubungan antara kedua orang tua

yang tidak baik serta suasana keluarga yang tegang dan tidak hangat, orang

tua mengalami perpisahan atau perceraian. Selain itu, pendukung lain keluarga

yang mengalami disfungsi yakni kesibukan kedua orang tua sehingga jarang

meluangkan waktu untuk keluarga dan keadaan dari salah satu atau kedua

(36)

20

Berdasarkan pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terciptanya

sebuah keluarga yang tidak tentram atau tidak harmonis dapat dilihat dari

berbagai keadaan yang dialaminya seperti adanya pertengkaran antar anggota

keluarga, keluarga tidak lengkap (single parent) baik karena meninggal

ataupun bercerai, keluarga yang tidak mempunyai keturunan, keluarga yang

hidup terpisah, adanya sikap yang tidak saling menghormati dan menghargai

baik dari hak-haknya maupun kewajiban yang seharusnya dilakukan,

kurangnya komunikasi dan waktu luang yang disediakan untuk keluarga serta

lunturnya tujuan bersama dalam menciptakan keluarga yang harmonis

4. Unsur-Unsur Keluarga

Unsur-unsur keluarga bisa berbeda-beda jika dilihat dari segi berbagai

perspektif dan berbagai pendapat. Hal ini akan bergantung dari perspektif

masyarakat mana yang memandang. Istilah lain yang lebih komperhenshif

keluarga itu mencakup kakek, nenek, paman, bibi, dan sepupu dari dua belah

pihak ikatan pernikahan. Dalam arti luasnya, keluarga dapat dipandang

sebagai unit yang bahkan lebih besar, yang sama dengan umat, atau keluarga

mukmin (Esposito, 2001:154 dalam Agus riyadi)

Oleh karena itu, unsur keluarga jika dijabarkan meliputi;

1. Ayah/ Bapak, sebagai pimpinan seluruh keluarga

2. Ibu, sebagai pendamping ayah, yang bertanggung jawab mengurus segala urusan keluarga terutama pendidikan dan ekonomi keluarga. Ibu juga bertugas sebagai sekretaris, bendahara sekaligus juga sebagai pelaksana operasional.

3. Anak-anak, sebagai anggota keluarga (baik laki-laki maupun perempuan, baik anak kandung maupun anak tiri/ angkat)

(37)

21

5. Saudara lain yang tinggal serumah dan dianggap sebagai keluarga (biasanya dimasukan dalam daftar KK)

Lee (dalam Sri Lestari 2012:6) menjelaskan mengenai unsur-unsur

keluarga dari segi keberadaan anggota keluarga tersebut. Menurutnya

unsur-unsur keluarga dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu keluarga inti dan

keluarga batih. Keluarga inti adalah keluarga yang di dalamnya hanya terdapat

tiga posisi sosial yaitu; suami-ayah, istri-ibu dan anak-sibling. Adapun

keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan posisi lain

selain ketiga posisi diatas misalnya adanya paman, bibi, kakek, nenek,

keponakan ataupun saudara lain yang tinggal dalam satu atap.

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur

dari sebuah keluarga pada umumnya terdiri dari dua yakni keluarga inti yang

terdiri dari ayah-suami, ibu-istri, dan anak-anaknya dan keluarga yang lebih

luas yang terdiri dari nenek, kakek, paman, bibi, sepupu, keponakan, ataupun

saudara lainnya yang hidup bersama dalam satu atap.

5. Fungsi Keluarga.

Dalam menjalani stuktur di dalam lingkungan keluarga, tentunya setiap

anggota memiliki peran dan fungsinya masing-masing. Farida Hanum

(2013:148) memaparkan beberapa fungsi dalam keluarga yang hendaknya

dilaksanakan agar tercipta keluarga bahagia di antaranya yakni; pertama,

fungsi biologis: yaitu tempat anak-anak dilahirkan. Peran dalam fungsi ini

merupakan penerus generasi suatu keluarga, komunitas maupun negara dan

(38)

22

yang diawali dari dasar perkawinan dibentuk. Peran dalam fungsi ini sangat

penting dan khas sehingga sulit untuk digantikan oleh lembaga lain. Ketiga,

fungsi sosialisasi: yaitu fungsi yang melekat secara universal pada sistem

keluarga. Pada fungsi ini yang paling dekat kaitanya dengan pendidikan,

bahkan sering disebut sebagai pendidikan keluarga. Keempat, seiring

berjalannya waktu serta perkembangan dinamika masyarakat, fungsi keluarga

mengalami perubahan, khususnya fungsi sosial keluarga antara lain seperti

berikut:

a) Fungsi pendidikan.

Pada fungsi ini mengalami perubahan yang cukup pesat. Hal ini dapat

dilihat dari perkembangan yang dahulunya pendidikan hanya didapatkan

hanya melalui keluarga saja, sedangkan sekarang sudah beralih ke

lembaga pendidikan yang mengajarkan pribadi anak secara komperhensif.

b) Fungsi rekreasi.

Pada fungsi ini tidak jauh berbeda dengan keadaan fungsi pendidikan.

Seiring dengan adanya perkembangan, rekreasi saat ini tidak hanya

dilakukan bersama keluarga saja, akan tetapi banyak juga yang melakukan

rekreasi di luar keluarga dengan tempat yang lebih menarik dan bervariasi.

c) Fungsi keagamaan.

Seiring perkembangan zaman, fungsi keagamaan ini tidak lagi

berperan aktif di dalam keluarga kerana fungsi ini telah di ambil alih oleh

(39)

23

d) Fungsi perlindungan.

Keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk dapat memperoleh

perlindungan khususnya bagi anak-anak, namun untuk saat ini keadaan ini

mulai melemah karena banyak diambil alih oleh

perkumpulan-perkumpulan sosial yang lain (untuk anak cacat, orang jompo, dan

lain-lain).

Pemaparan lain mengenai fungsi dalam keluarga juga disampaikan oleh

Syamsu Yusuf (2006:39) yang juga senada dengan pendapat Helmawati

(2014: 44-48) dan Khairuddin (2008: 48) menyatakan bahwa fungsi keluarga

terdiri dari; fungsi biologis, fungsi ekonomis, fungsi pendidikan, fungsi

sosialisasi, fungsi perlindungan, fungsi rekreasi, dan fungsi keagamaan.

Berdasarkan beberapa pemaparan para ahli, maka dapat diambil

kesimpulan bahwa di dalam sebuah struktur keluarga memiliki beberapa

fungsi antara lain yakni adanya (1) fungsi dalam bidang agama yang memiliki

peran dalam penanaman nilai-nilai keyakinan berupa iman dan taqwa, (2)

fungsi biologis yang berperan sebagai pemenuhan kebutuhan dalam

keberlangsungan hidup keluarga, (3) fungsi ekonomi yang berperan sebagai

pengatur penghasilan dalam keluarga, (4) fungsi kasih sayang yang memiliki

peranan sebagai wadah dalam menyalurkan rasa kasih sayang terhadap

anggota keluarga, (5) fungsi perlindungan untuk setiap anggota keluarga, (6)

fungsi pendidikan yang memiliki peranan penting dan utama dalam

(40)

24

fungsi sosialisasi anak baik dalam keluarga maupun lingkungan sekitar, serta

(8) fungsi rekreasi yang berperan sebagai penghibur serta pengerat jalinan

dalam keluarga dengan anggota keluarga lainnya.

B. STATUS EKONOMI ORANG TUA

1. Pengertian Status Ekonomi

Istilah dari kata “status” memiliki makna sebuah keadaan atau kedudukan

seseorang dalam hubungan dengan masyarakat di sekitarnya (dalam Suwarto

dan Agus Sumali, 2007:5; Hartomo dan Arnicun Aziz, 2001: 195). Status di

dalam masyarakat tentu memiliki peranan yang berarti bagi setiap keluarga.

Melalui peranan status ini pula, kedudukan seseorang dalam lingkungan

masyarakat akan dinilai baik dari segi ekonomi maupun status sosialnya.

Kata ekonomi merupakan bahasa yang berasal dari Yunani yaitu

oikonomia. Oikonomia terdiri dari dua kata yaitu oikos dan nomos. Oikos

adalah rumah tangga dan nomos adalah aturan. Dengan demikian, ekonomi

berarti ilmu yang mengatur rumah tangga (DJ. Subroto dan Daru Wahyuni,

2004: 22; Hasan Budi Sulistyo dan Bambang Suprobo ,2006: 146, Dadang

Supardan, 2008: 366). Menurut kamus lengkap bahasa Indonesia ekonomi

diartikan sebagai ilmu yang mempelajari azas-azas produksi, dan pemakaian

barang-barang serta kekayaan.

Penjelasan mengenai ilmu ekonomi juga disampaikan oleh ahli Albert L.

Mayers. Menurut pendapatnya, ilmu ekonomi adalah ilmu yang

(41)

25

Supardan, 2008: 336). Dalam hal ini, kebutuhan yang dimaksud berupa

kebutuhan atau keperluan manusia terhadap barang dan jasa yang sifat dan

jenisnya bermacam-macam dalam jumlah yang tidak terbatas. Sedangkan,

pemuas kebutuhan disini diartikan sebagai kebutuhan yang diperlukan

manusia yang memiliki ciri-ciri terbatas.

Berdasarkan pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa status

ekonomi adalah keadaan atau kebutuhan seseorang di lingkungan masyarakat

dalam mempelajari kedudukannya serta cara mengatur urusan rumah tangga

dalam memenuhi kebutuhan serta pemuas kebutuhannya sehari-hari.

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Status Ekonomi Keluarga.

Setiap masyarakat senantiasa memiliki tingkatan status ekonomi yang

berbeda-beda. Banyak hal yang mampu mempengaruhi perkembangan status

ekonomi keluarga yang tentunya akan berbeda-beda pula dari setiap keluarga

di dalam masyarakat. Salah satu faktor yang mampu mempengaruhi status

ekonomi keluarga dapat dilihat dari perbedaan pendapatan dari setiap keluarga

yang disesuaikan dengan harga barang pokok (dalam Kartono, 2006).

Namun pada umumnya, tidak hanya pada hasil pendapatan yang diperoleh

dari setiap keluarga saja yang mampu mempengaruhi status dari ekonomi

keluarga di dalam masyarakat. Akan tetapi, kedudukan serta tingginya tingkat

pendidikan pun dapat berpengaruh terhadap status ekonomi keluarga. Seperti

halnya yang disampaikan oleh A.C Fadila dan D.A Hidayati (2012) yang juga

senada dengan pendapat Syahril Syarbaini dan Rusdiyanta (2013:54)

(42)

26

perbedaan status ekonomi dapat diukur melalui tingkat pendidikan orang tua,

pekerjaan atau mata pencaharian serta penghasilan yang di dapatkan dari hasil

pekerjaannya tersebut.

Lebih lanjut dijelaskan oleh S. Nasution (2009: 26) bahwa terjadinya

konsep mengenai golongon sosial bergantung pada cara seseorang

menggolongkan sosial tersebut, sehingga dalam penggolongannya bersifat

fleksibel dan senantiasa dapat mengalami perubahan sesuai dengan keadaan

masyarakat tersebut. Menurut pandangannya salah satu metode yang dapat

menggolongkan status ekonomi masyarakat yakni melalui metode obyektif.

Metode obyektif merupakan metode yang ditentukan berdasarkan kriteria

obyektif antara lain melalui;

a) Jumlah pendapatan orang tua,

Hal ini sangat menentukan kedudukan kelas sosial seseorang dalam

masyarakat. Pada dasarnya kelas sosial merupakan suatu cara hidup,

diperlukan banyak uang untuk dapat hidup menurut cara hidup orang

yang berkelas sosial. Sumber dan jenis penghasilan sosial seseorang

memberikan gambaran tentang latar belakang keluarga dan

kemungkinan cara hidupnya atau kelas sosialnya.

b) Lama atau tingginya pendidikan

Tinggi rendahnya pendidikan memhubungani stratifikasi seseorang

dalam kehidupan sosial. Melalui pendidikan yang telah diperoleh,

(43)

27

dalam mengambil keputusan dalam memilih pekerjaan sehingga hal

tersebut berhubungan pula pada status sosial yang dimilikinya di

dalam lingkungan masyarakat.

c) Jenis pekerjaan atau mata pencaharian orang tua.

Jenis pekerjaan merupakan bagian dari cara hidup yang sangat berbeda

dengan jenis pekerjaan lain. Pekerjaan merupakan indikator terbaik

untuk mengetahui kelas sosial orang. Menurut Dumairy (1997: 81)

sebaran angkatan kerja dapat ditinjau dari tiga aspek yaitu,

1) lapangan pekerjaan, yang memberi menggambarkan bahwa sesorang berada di sektor produksi jenis apa sehingga sesorang menyandarkan sumber nafkahnya.

2) status pekerjaan, yang member gambaran bahwa seseorang memiliki kedudukan dalam sebuah pekerjaan yang dijalaninnya, dan

3) jenis pekerjaan, dimana seseorang menunjukan kegiatan konkretnya dalam menjalankan pekerjaan yang ditekuninnya.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa faktor

yang mampu mempengaruhi status ekonomi keluarga antara lain adanya

perbedaan dari jumlah pendapatan orang tua, jenis atau mata pencaharian

orang tua, serta tinggi rendahnya tingkat pendidikan orang tua.

Adanya penggolongan timbul karena adanya perbedaan status dikalangan

anggota masyarakat. Perbedaan tersebut dapat pula dilihat secara spesifik pada

pendapatan orang tua setiap harinya yang disesuaikan dengan harga barang

pokok. Melalui perbedaan pendapatan ini, selanjutnya peneliti akan

menggunakannya sebagai pedoman dalam menyusun instrument angket status

(44)

28 3. Tingkat Status Ekonomo Keluarga

Perbedaan kelas sosial di Indonesia ditandai dengan perbedaan

pendapatan. Perbedaan pendapatan tersebut kemudian membuat masyarakat

dapat dikelompokan menjadi beberapa status ekonomi. Menurut Badan Pusat

Statistik (BPS, 2008) pengelompokan status ekonomi masyarakat menjadi

empat golongan yaitu (Eko, dkk 2011: 192):

- Golongan pendapatan sangat tinggi, adalah jika pendapatan rata-rata lebih dari Rp. 3.500.000,00 per bulan

- Golongan pendapatan tinggi adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp. 2.500.000,00 – s/d Rp. 3.500.000,00 per bulan

- Golongan pendapatan sedang adalah jika pendapatan rata-rata antara Rp.

1.500.000,00 s/d Rp. 2.500.000,00 per bulan

- Golongan pendapatan rendah adalah jika pendapatan rata-rata

1.500.000,00 per bulan

Filsuf Aristoteles juga memberikan pandangan bahwa di dalam negara

terdapat tiga kelompok dalam pembagian status ekonomi yaitu pertama,

mereka yang kaya sekali yakni sekelompok kecil dalam masyaraka yang

terdiri dari pengusaha, tuan tanah,ataupun seorang bangsawan. Pada poin

kedua, yakni mereka yang berada pada status sekonomi menengah yakni

sekelompok golongan yang cukup banyak terdapat dalam masyarakat yang

terdiri dari para pedagang dsb, dan pada poin yang ketiga, dijelaskan bahwa

mereka yang berada pada golongan melarat yakni sekelompok golongan

terbanyak dalam masyarakat yang kebanyakan berasal dari rakyat biasa

(dalam Soerjono Soekanto, 2010: 197).

Terdapat perbedaan pandangan dalam pengelompokan tingkatan ekonomi

(45)

29

tingkatan ekonomi yang dimiliki masyarakat dapat dibagi menjadi 4 tingkat

ekonomi yakni:

a. Adekuat.

Adekuat menyatakan uang yang dibelanjakan atas dasar suatu

permohonan bahwa pembiayaan adalah tanggung jawab kedua orang

tua. Keluarga menganggarkan dan mengatur biaya secara relisitis.

b. Marginal

Pada tingkat marginal sering terjadi ketidaksepakatan dan perselisihan

siapa yang seharusnya mengontrol pendapatan dan pengeluaran.

c. Miskin

Keluarga tidak bisa hidup dengan caranya sendiri. Pengaturan

keuangan yang buruk akan menyebabkan didahulukannya kemewahan.

Diatas kebutuhan pokok, manajemen keuangan yang sangat buruk

dapat atau tidak membahayakan kesejahteraan anak, tetapi pengeluaran

dan kebutuhan keuangan melebihi penghasilan.

d. Sangat Miskin

Menejemen keuangan yang sangat jelek, termasuk pengeluaran saja

dan berhutang terlalu banyak, serta kurang tersedianya kebutuhan

dasar.

Gloria E. Wenas, dkk (2015) memberikan pandangan bahwa status

ekonomi merupakan segala sesuatu yang berkaitan dengan pemenuhan

kebutuhan yang ada di masyarakat atau yang lebih umumnya terkait dengan

(46)

30

dari pekerjaan, pendidikan kesehatan dan pemenuhan kebutuhan hidup dalam

rumah tangga. Berdasarkan ini masyarakat dapat digolongkan kedudukan

sosial ekonomi atas, menengah dan bawah.

Menurut kriteria Bank Dunia (dalam Yuliana Sudremi, dkk. 2007: 19),

porsi pendapatan nasional dinikmati oleh tiga golongan masyarakat yaitu:

a.Golongan pendapatan tinggi: 20% dari jumlah penduduk b.Golongan pendapatan menengah: 40% dari jumlah penduduk c.Golongan pendapatan rendah: 40% dari jumlah penduduk.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa di dalam

masyarakat terdapat tiga tingkatan dalam menggolongkan status ekonomi

masyarakat yaitu adanya tingkat tinggi, tingkat sedang/menengah dan tingkat

rendah. Pada umumnya golongan yang menduduki tingkatan rendah bawah

jumlah orangnya lebih banyak dari pada tingkatan sedang/menengah,

demikian seterusnya semakin tinggi golongan semakin sedikit jumlah

orangnya. Dengan demikian sistem pelapisan masyarakat itu menikuti bentuk

piramid.

C. PERILAKU BULLYING 1. Pengertian Perilaku Bullying

Bullying merupakan suatu perilaku agresif dan negatif yang dilakukan

seseorang atau sekelompok orang secara berulang kali yang menyalah

gunakan ketidakseimbangan kekuatan dengan tujuan menyakiti targetnya

(korban) secara mental atau secara fisik (dalam Novan Ardy Wiyani 2013:14).

Terjadinya perilaku bullying, tentu akan ada korban serta pelaku tindakan

(47)

31

seseorang dianggap menjadi korban apabila anak dihadapkan dengan tindakan

negatif dari seseorang ataupun sebuah kelompok dimana hal tersebut

dilakukan secara berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu (dalam

Khare, 2005: 197).

Tindakan bullying dapat terjadi dengan berbagai bentuk seperti bullying

langsung dimana korban menerima perlakuan yang berupa pemukulan,

menendang, mencakar. Bentuk lainnya yaitu berupa perilaku bullying yang

dilakukan secaratidak langsung yakni perilaku bullying yang secara fisik tidak

dirasakan oleh korban seperti adanya rasa terancam, terkucil, ataupun terasingi

secars sosial. Adapun bentuk dari bullying tidak langsung yakni mengancam,

melihat secara sinis, menggosipkan.

Senada dengan pendapat yang dituturkan oleh SEJIWA (2008: 2) bahwa

perilaku bullying merupakan suatu tindakan yang menyalahgunakan kekuatan

dan kekuasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang. Selain

pendapat yang diutarakan oleh para ahli sebelumnya, Ponny Retno Astuti

(2008:3) juga memberikan penjelasan bahwa perilaku bullying adalah suatu

perilaku yang memiliki hasrat untuk menyakiti yang ditunjukkan dalam

bentuk tindakan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih

kuat dan tidak bertanggung jawab, sehingga menyebabkan seseorang

menderita dan biasanya dilakukan berulang-ulang kali dengan perasaan

(48)

32

Berdasarkan beberapa definisi dari para ahli di atas dapat ditarik

kesimpulan bahwa perilaku bullying merupakan suatu perilaku yang memiliki

hasrat untuk menyakiti seseorang secara berulang kali baik secara langsung

maupun tidak langsung yang melibatkan kekuasaan dan kekuatan sehingga

mengakibatkan seseorang menderita baik secara fisik ataupun mentalnya.

2. Macam-Macam Perilaku Bullying.

Terdapat berbagai jenis dari perilaku bullying yang kerap terjadi disekitar

kita khususnya pada kalangan remaja di sekolah. Risauskina, Djuwita, dan

Soesetio (dalam Novan Ardy Wiyani 2013:27) mengelompokan beberapa

macam bentuk-bentuk dari perilaku bullying antara lain; pertama adanya

kontak fisik langsung yang dilakukannya terhadap korban seperti dengan

memukul, mendorong, menggigit, menjambak, menendang, mengunci

seseorang dalam ruangan, mencubit, mencakar, memeras, dan merusak

barang-barang milik orang lain. Kedua, bentuk perilaku bullying yang kerap

terjadi dikalangan anak remaja yakni adanya kontak verbal langsung, seperti

mengancam, mempermalukan, sarkasme, merendahkan (putdowns),

mencela/mengejek, mengintimidasi, memaki, dan menyebar gosip.

Dijelaskan lebih lanjut perilaku yang ketiga yakni perilaku bullying secara

non-verbal langsung, seperti melihat sinis, menjulurkan lidah, menampilkan

ekspresi muka yang merendahkkan, mengejek atau mengancam biasanya

disertai oleh bullying fisik atau verbal. Selanjutnya yang keempat, yakni

adanya perilaku bullying secara non-verbal tidak langsung, seperti

(49)

33

mengucilkan atau mengabaikan, mengirim surat kaleng, dan yang kelima

yakni perilaku bullying dalam bentuk pelecehan seksual. Hal ini terkadang

dikategorikan sebagai perilaku agresif fisik atau verbal.

Hal serupa juga disampaikan oleh Ponny Retno Astuti (2008: 22)

mengenai bentuk dari perilaku bullying. Menurut pandangannya perilaku

bullying dapat dibagi menjadi dua jenis yakni;

a. Fisik.

Hal ini dapat dilihat dari adanya perilaku seseorang yang misalnya;

menggigit, menjambak rambut korban, memukul, menendang,

mengunci, dan mengintimidasi korban di ruang atau dengan mengitari,

memelintir, menjorok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam,

dan meruk kepemilikan (property) korban, atau bahkan penggunaan

sentaja dan perbuatan kriminal.

b. Non-Fisik

Perilaku bullying pada bagian non-fisik terdiri dari dua bagian yakni

adanya perilaku bullying secara verbal dan non-verbal.

1)Verbal.

Hal ini dapat diperhatikan dari adanya perilaku bullying

seperti; aksi pemalakan, pemerasan, mengancam, atau

intimidasi, penghasutan, berkata jorok pada korban,

(50)

34

2) Non-Verbal, terbagi menjadi langsung dan tidak langsung:

a) Tidak langsung: contohnya adanya manipulasi pertemanan,

mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim pesan

mengasut, curang dan sembunyi-sembunyi.

b) Langsung: contohnya adanya gerakan (tangan, kaki, atau

anggota badan lain) kasar atau mengancam, menatap, muka

mengancam, menggeram, hentakan mengancam atau

menakuti.

Hal serupa juga dipaparkan oleh SEJIWA (2008:2-5) dengan

mengelompokan perilaku bullying tersebut ke dalam tiga jenis yakni sebagai

berikut:

a. Perilaku bullying fisik

Jenis perilaku bullying yang dikategorikan kasat mata. Hal ini

dikarenakan siapapun dapat melihatnya karena terjadi sentuhan

langsung dengan fisik korbannya. Misalnya, pelaku bullying

melakukan pemukulan, menampar, merampas, menjanggal, melempar

dengan barang.

b. Perilaku bullying verbal

Jenis perilaku bullying ini tidak jauh berbeda dengan jenis perilaku

bullying fisik karena perilaku ini dapat terdeteksi dengan panca indera

kita. Misalnya, adanya perilaku menebar gosip, memaki, menghina,

memberikan julukan, mempermalukan di depan umum, menjulurkan

(51)

35

c. Perilaku bullying mental/ psikologis

Jenis perilaku bullying yang dapat dikategorikan sangat berbahaya

karena tidak dapat diketahui oleh mata dan telinga apabila kita tidak

cukup awas dalam mendeteksinya. Perilaku ini terjadi secara tidak kita

sadari dan diluar radar pemantauan kita. Misalnya, mengucilkan,

mendiamkan seseorang, memandang dengan sinis, memandang dengan

penuh ancaman, melototi dan mencibir, memberi pesan teror baik

melalui sosial media atau telepon.

Berdasarkan pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

macam-macam dari bentuk perilaku bullying dapat dikelompokan kedalam lima

bentuk yaitu adanya perilaku bullying secara fisik, perilaku bullying secara

non-fisik yang berupa verbal, non-verbal yang terdiri secara langsung dan

tidak langsung serta perilaku bullying dalam bentuk pelecehan seksual.

Melalui macam-macam bentuk perilaku bullying yang mengacu pada pendapat

Novan Ardy Wiyani, selanjutnya peneliti akan menggunakannya sebagai

pedoman dalam membuat instrumen skala perilaku bullying.

3. Pelaku Perilaku Bullying

Dalam kejadian bullying tentu terdapat pihak-pihak yang berperan di

dalamnya. Novan Ardy Wiyani (2013:60) memberikan penjelasan mengenai

lima pihak sebagai berikut:

a. Bully yaitu siswa yang dapat dikatakan sebagai pemimpin atau ketua

(52)

36

b. Asisten bully yaitu seseorang yang juga berperan aktif dalam perilaku

bullying, akan tetapi dia lebih cenderung bergantung perintah ketua

atau bully.

c. Rinforce adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut

menyaksikan, menertawakan korban, memprofokasi bully, mengajak

siswa lain untukk menonton san sebagainya.

d. Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu

korban, sering kali akhrinya mereka menjadi korban juga.

e. Outsider adalah orang- orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun

tidak melakukan apapun, seoah-olah tidak peduli.

4. Gejala Korban Perilaku Bullying

Setiap perilaku yang terjadi, tentu akan memiliki dampak yang

diterimanya. Novan Ardy Wiyani Ardy Wiyani (2013:59) memberikan

gambaran mngenai dampak yang terjadi akibat dari perilaku bullying sebagai

berikut:

a. Mengalami luka (berdarah, memar, dan goresan) b. Sakit kepala/ sakit perut

c. Barang miliknya mengalami kerusakan.

d. Mengalami kesulitan untuk mengikuti pelajaran. e. Takut pergi sekolah sehingga sering bolos f. Mengubah rute pergi sekolah

g. Prestasi akademiknya menurun

h. Menarik diri dari pergaulan atau merasa malu

i. Tidak mau berpartisipasi lagi dalam kegiatan yang biasanya disukainya

j. Gelisah, murung, dan menjadi agresif dengan melakukan bullying kepada saudara kandung

(53)

37

Menurut SEJIWA (2008:12) gejala yang terjadi akibat dari perilaku

bullying antara lain anak akan mengalami tidak semangat sekolah, menjadi

pendiam, mudah tersinggung, sering mimpi buruk, anak menjadi pendendam,

mudah cemas, kepercayaan pada diri anak berkurang, menjadi lebih kasar,

lebih sensitif, menjadi rendah diri, prestasi anak jadi menurun, konsentrasi

dalam belajar juga menurun, tidak ingin bersosialisasi dengan lingkungan

sekitarnya, adanya memar di bagian tubuh anak, dan kemungkinan juga anak

akan melakukan hal yang sama terhadap orang lain.

Berdasarkan dari pemaparan para ahli dapat disimpulkan bahwa gejala

yang dapat terjadi pada anak yang menerima perilaku bullying berupa adanya

bentuk kekerasan fisik (seperti bekas memar, cakaran dan lain sebagainya),

adanya perubahan dalam bentuk kebiasaan anak (seperti menjadi pendiam,

mengubah rute pergi dan pulang sekolah, dan lain sebagainnya) dan juga

adanya gangguan psikis (seperti gelih, mudah cemas, percaya diri menurun

dan lain sebagainnya).

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Ponny Retno Astuti (2008:4-5) memaparkan beberapa faktor yang dapat

memhubungani adanya tindakan bullying pada remaja antara lain yakni;

a. Adanya perbedaan kelas (senioritas), ekonomi, agama, gender,

etnisitas atau rasisme. Pada perbedaan kelas seringkali terjadi

perbedaan anggapan antara senior dan junior di sekolah. Dalam

fenomena ini, sering kali senior menyalah artikan kedudukannya

(54)

38

adik-adik juniornya sesuai kehendaknya hingga timbullah perilaku

bullying. Keadaan siswa yang memiliki perbedaan status sosial serta

ekonomi di dalam suatu kelompok akan rentan menjadi korban

perilaku bullying.

b. Adanya tradisi senioritas. Dengan adanya tradisi yang turun-temurun

ini misalnya adanya Masa Orientasi Siswa (MOS) yang merupakan

suatu kegiatan awal untuk siswa baru agar dapat beradaptasi dengan

lingkungan barunya. Akan tetapi, tidak sedikit yang menyalah gunakan

kesepatan ini sebagai ajang pem-bully-an terhadap adik kelasnya

secara berlebihan.

c. Adanya senioritas. Salah satu wadah dalam perkembangan perilaku

bullying yakni dengan adanya peran senioritas. Melalui peran

senioritas ini lebih lanjut dimanfaatkan sebagai hiburan, balas dendam,

iri hati, mencari popularitas, melanjutkan tradisi atau menunjukkan

kekuasaan bagi pelaku bullying.

d. Keadaan keluarga yang tidak harmonis. Keadaan keluarga yang

bertentangan serta perceraian dari kedua orang tua dapat menjadikan

seorang anak kurang mendapatkan perhatian dan kasih sayang serta

komunikasi yang kurang sehingga menyebabkan anak melakukan

perilaku bullying.

e. Keadaan sekolah yang tidak harmonis dan diskriminatif. Keadaan

sekolah yang tidak harmonis serta kondusif misalnya adanya pergaulan

(55)

39

atau mendiskriminatif terhadap teman-teman atau kelompok teman

dalam satu kelas yang tidak disukai, serta adanya sikap guru yang

tidak memberikan kesempatan berkontribusi dalam membentuk

lingkungan belajar mengajar yang sehat dapat memicu terjadinya

perilaku bullying.

f. Adanya karekteristik dari individu atau kelompok itu sendiri misalnya

adanya rasa dendam atau iri hati, adanya semangat ingin menguasai

korban, dengan kekuatan fisik, dan daya tarik seksual, atau bahkan

hanya untuk meningkatkan popularitas pelaku dikalangan teman

sepermainannya.

g. Adanya persepsi nilai yang salah atas perilaku korban. Kurangnya

komunikasi dapat menimbulkannya kesalahpahaman antara persepsi

pelaku terhadap korban sehingga mengakibatkan timbulnya perilaku

bullying diantara keduanya.

6. Tempat Terjadinya Perilaku Bullying

Bullying dapat terjadi di mana saja, di lingkungan dimana terjadi interaksi

sosial antara manusia. Novan Ardy Wiyani Ardy Wiyani (2012:14)

memberikan gambaran beberapa tempat terjadinya perilaku bullying, antara

lain seperti:

a. Sekolah, yang disebut school bullying

Perilaku bullying yang terjadi dilingkungan sekolah. Perilaku ini sering

terjadi ditempat-tempat yang bebas dari pantau guru maupun orang tua

(56)

40

b. Tempat kerja, yang disebut workplace bullying

Perilaku workplace bullying adalah perilaku yang dilakukan oleh

seseorang terhadap orang lain dilingkungan kerjanya yang bertujuan

untuk menyakiti atau merugilan orang lain di organisasi yang sama

(Khare, 2005: 203). Pelaku dalam perilaku bullying ini biasa dilakukan

dengan rekan kerja baik yang sepantaran maupun rekan kerja yang

senior, bahkan tidak menutup kemungkinan jajaran atas di lingkungan

kerjanya tersebut.

c. Internet atau teknologi digital, yang disebut cyber bullying.

Seiring perkembangan zaman, tidak menutup kemungkinan perilaku

bullying dapat terjadi dengan memanfaatkan media sosial melalui

gadget yang dimiliki. Perilaku bullying ini tersebar melalui beberapa

macam akun sosial media yang dimiliki misalnya melaui facebook,

instagram, twetter, path, bahkan bisa juga melalui pesan singkat

handphone, e-mail dan lain sebagainya.

d. Lingkungan politik, yang disebut political bullying.

Salah satu perilaku yang dapat mencerminkan adanya perilaku bullying

dalam sebuah politik yakni dengan memanfaatkan wadah politik

tersebut sebagai praktik untuk menjatuhkan reputasi lawan politik

lainnya. Hal ini biasa terjadi ketika adanya pemilihan- pemilihan

Gambar

Gambar 2. Desain Penelitian
Tabel 1. Jumlah sampel penelitian
Tabel 2. Pola Opsi Alternatif Pilihan Pada Skala
Tabel 3. Kisi-kisi Keharmonisan Keluarga.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan metode sistem pakar, diharapkan kemampuan seorang pakar yang ahli dalam masalah kesehatan, khususnya mengenai penyakit pada tulang (dalam hal ini adalah

18 Table 4.3 Pun Expressing Humor in Source Language and Target Language

Untuk mengetahui pengaruh Non Performing loan (NPL) terhadap profitabilitas pada Bank Internasional Indonesia diperlukan analisis data untuk menguji kebenaran dari

Hasil yang diperoleh dari praktikum menyatakan bahwa dari ketiga macam jenis bahan bakar tersebut yaitu spiritus, minyaktanah, dan biosolar, nilai kalori tertinggi

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan Unit Simpan Pinjam (USP) Pada KUD “Sido Makmur” Kecamatan Sumbersuko Kabupaten Lumajang tahun 2009-2013 dan untuk

Otomotif FT UNY telah meluluskan 48 mahasiswa yang pernah mengambil bagian untuk mengelola operasional bengkel.. Otomotif FT UNY yang ikut ambil bagian dalam

the writer current study, not always referred to exactly the same type of experience. The differences of the previous study with this study are the place of

Timor Lorosa’e pada waktunya, seharusnya diijinkan untuk memisahkan diri dari Indonesia, bila itu memang kehendak rakyatnya…meskipun secara tersirat, Amien Rais, masih